bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang …eprints.umm.ac.id/43067/3/bab ii.pdf · 2019....
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian
a. Perceraian dalam Hukum Islam
Pada dasarnya perkawanan itu dilakukan untuk selama-
lamanya sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah
sebenarnya yang dikehendaki agama islam. Walau demikian segala
sesuatunya terletak di luar kekuasaan manusia. Semuanya
tergantung pada kekuasaan Allah SWT yang menetapkan keadaan
dan perkembangan yang menurut istilah agama Islam disebut “takdir
Ilahi”. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang
menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan
perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi.
Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai
langkah terakhir dari usahamelanjutkan rumah tangga.
Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan
keluar yang baik. Penggunan istilah putusnya perkawinan harus
dilakukan dengan hati-hati karena untuk pengertian perkawinan
yang putus itu dalam istilah Jigh digunakan kata “ba’in”, yaitu suatu
bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi kepada
mantan istrinya kecuali dengan melalui akad nikah yang baru. Ba’in
itu merupakan satu bagian atau bentuk dari perceraian, sebgai lawan
14
pengertian dari perceraian dalam bentuk “raj’iy”, yaitu
berceraianya suami dengan istrinya namun belum dalam bentuknya
yang tuntas, karena dia masih mungkin kembali kepada mantan
istrinya itu tanpa akad nikah baru selama istrinya masih berada
dalam iddah atau masa tunggu. Setelah habis masa tunggu itu
ternyata dia tidak kembali kepada mantan istrinya, barulah
perkawinannya dikatakan putus dalam arti sebenarnya, atau disebut
ba’in.
Kata perceraian bisa diartikan sebagai perpisahan atau juga
perihal bercerai (antara suami istri). Pengertian perceraian adalah
salah satu aspek dari bubarnya perkawinan, itulah sebabnya
pengaturan masalah perceraian selalu berada dalam perundang-
undangan yang mengatur tentang perkawinan. Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) putusnya perkawinan
menggunakan istilah “pembubaran perkawinan” (outbinding des
huwelijks) yang diatur dalam Bab X dengan 3 (tiga) bagian, yaitu
tentang “pembubaran perkawinan pada umumnya” (Pasal 199),
tentang “pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan ranjang”
(Pasal 200-206b), tentang “perceraian perkawinan” (Pasal 207-
232a), dan yang tidak dikenal dalam hukum adat atau hukum agama
islam walaupun kenyataannya juga terjadi ialah Bab XI yaitu tentang
“pisah meja dan ranjang” (Pasal 233-249).
15
b. Perceraian dalam Hukum Perdata
Menurut hukum perdata, perceraian adalah pengakhiran
suatu pernikahan karena suatu sebab, dengan keputusan hakim.
Perceraian atas persetujuan suami/istri tidak diperkenankan (Pasal
208 BW). Alasan-alasan yang digunakan agar permohonan
perceraian berhasil adalah :
a. Zina
b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
c. Mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih dalam
suatu keputusan hakim yang diucapkan selama pernikahan
d. Melukai berat atau menganiaya, yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya, dengan demikian sehingga
membahayakan jiwa korban atau sehingga korban memperoleh
luka-luka yang membahayakan (Pasal 209 KUHPdt = BW)
e. Keretakan yang tidak dapat dipulihkankan (yurisprudensi).
c. Perceraian berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Mengenai putusnya perkawinan terdapat dalam pasal 38 UUP,
yakni perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas putusan pengadilan.
Dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
16
sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sedangkan
dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai
suami istri.
2. Alasan-alasan Perceraian
Pada Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menentukan bahwa untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa diantara suami/istri sudah tidak akan
dapat hidup rukun lagi sebagai pasangan suami/istri dalam rumah
tangga.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, alasan perceraian semata-
mata didasarkan pada ketidakmungkinan tercapainya kerukunan antara
suami/istri dalam suatu kehidupan berumah tangga. Akan tetapi
sebenarnya alasan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam penjelasan tersebut
ada beberapa peristiwa yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian
yang sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-
17
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan-
alasan perceraian yang dimaksud terdiri dari :
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/istri;
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dengan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga (syiqaq).
Selanjutnya dalam peraturan lain, yaitu dalam Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahhun 1991 juncto Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154
Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Thun
1991 Tanggal 10 Juni 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, untuk
selanjutnya disebut dengan Kompilasi Hukum Islam, khusus untuk
18
mereka yang memeluk/beragama Islam alasan perceraian ditambah 2
(dua) hal, yakni :
7. Suami melanggar Ta’lik Talak
8. Peralihan agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan yang terjadi didalam rumah tangga.
Sedangkan isi/bunyi dari Shigat Ta’lik Talak, yakni :
“Sesudah Akad Nikah Saya berjanji dengan sepenuh hati bahwa saya
akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya
pergauli istri saya dengan baik (muasyarah bin ma’ruf) menurut ajaran
syariat islam. Selanjutnya saya membaca Shigat Ta’lik Talak atas Istri
saya tersebut sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan Istri saya 2 (dua) Tahun berturut-turut
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan
lamanya
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya
4. Atau saya membiarkan (tidak memerdulikan) istri saya 6 (enam)
bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh
Pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,-
19
(sepuluh ribu rupiah) sebagai Iwadh (pengganti) kepada saya, maka
jatuhlah talak saya satu kepadanya”.
Alasan-alasan sebagaimana tersebut diatas, tidak harus keseluruhan
atau harus terpenuhi semua alasan-alasan tersebut untuk mengajukan
perceraian, melainkan cukup salah satu atau beberapa saja diantara
alasan-alasan tersebut.
3. Akibat Hukum Perceraian
1. Kedudukan Anak
Kelahiran seorang anak ditunggu dengan cinta dan kasih,
akan tetapi sebaliknya ada pula kelahiran anak tersebut tidak
diharapkan. Namun apapun jadinya, asalkan ia disebut anak, sama-
sama mempunyai hak perlindungan hukum yang sama, tidak boleh
ada perbedaan. Kalaupun ada perbedaan hanya dalam perolehan rasa
cinta dan kasih sayang orang tua dan keluarga.
Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 5 mengajarkan :
مادعوهم بائآهآ ندأقسطهولآ اللآعآ
“Panggillah anak-anak dengan nasab (garis keturunan) ayah-ayah
mereka, demikian itulah yang lebih adil menurut Allah....”. Dari ayat
ini kita peroleh ketentuan bahwa anak selalu bernasab kepada ayah,
tidak bernasab kepada ibu.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 42 yang berbunyi : “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Anak
20
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak
tersebut selanjutnya di atur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 43).
2. Kewajiban Orang Tua
Dalam hukum islam, yang dibebani tugas kewajiban
memelihara dan mendidik anak adalah ayah, sedangkan ibu bersifat
membantu. Ibu hanya berkewajiban menyusui dan merawatnya.
Sesungguhnya dalam hukum Islam sifat hubungan hukum antara
orang tua dan anak dapat dilihat dari segi material, yaitu memberi
nafkah, menyusukan (irdla) dan mengasuh (hadlanah). Dari segi
immaterial yaitu curahan cinta kasih, penjagaan, dan perlindungan
serta pendidikan rohani dan lain-lain.
Kewajiban seorang ayah dalam memberi nafkah kepada
anaknya terbatas kemampuannya, sebagaimana digariskan dalam
Al-Qur’an At-thalaq (65) ayat 7 yang dinyatakan :
نسعة ذولآينفآق سعتآهآمآ رومن زقهعليهآقدآ مافلينفآقرآ اللآتاهمآ انالليكل آفل إآلفسا
آتاهاما اعسر بعداللسيجعل يسرا
“Hendaklah orang (ayah) yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang (ayah) yang rezekinya sempit
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT
kepadanya. Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan
(sekedar) apa yang AllahSWT berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
Jadi betapapun cintanya ayah dan ibu kepada anaknya,
janganlah memelihara anak berlebih-lebihan karena Allah SWT
tidak suka yang serba berlebih-lebihan. Ukur keperluan dengan
21
kemampuan, dan apapun yang dihadapi hendaknya bersifat sabar
dan yakinlah jika sekarang dalam kesempitan kelak akan datang
kelapangan, tetapi kelapangan itu tidak datang dengan sendirinya
tanpa berusaha. Oleh karenanya Islam selalu menekankan kesabaran
dalam mengarungi kehidupan.
Menurut hukum perdata bahwa kekuasaan orang tua
(ounderlijke macht : Pasal 198 dan seterusnya). Orang tua wajib
memelihara dan memberi bimbingan anak-anaknya yang belum
cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Kepada
orang tua wajib menafkahi (kewajiban alimentasi) yaitu kewajiban
untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup
umur.
a. Kewajiban orangtua menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
Kewajiban bersama antara suami dan istri dalam membina
rumah tangga akan luntur apabila rumah tangga yang dibangun
tersebut mengalami perceraian. Perihal mengenai hal ini ada
beberapa kewajiban kepada anak-anak mereka yang harus
dilakukan oleh suami dan istri setelah terjadinya perceraian. Hal
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Didalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut :
1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya
22
2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
berlaku sampai anak-anak itu kawin atau berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
keduanya putus.
Dalam Pasal 47 disebutkan sebagai berikut :
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan
orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan
hukum didalam dan diluar Pengadilan.
b. Kewajiban orangtua menurut Kompilasi Hukum Islam
Didalam Kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum
materil tentang perkawinan, kewarisan dan juga wakaf yang
dirumuskan secara sistematis hukum islam di Indonesia secara
konkrit, oleh karena itu perlu perlu ditinjau beberapa hal
mengenai ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam
yang mengatur tentang kewajiban orangtua terhadap anak.
Berkaitan dengan kewajiban orangtua setelah putusnya
perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal-pasalnya
menggunakan istilah dengan namanya pemeliharaan anak yang
dimuat didalam Bab XIV Pasal 98 sampai dengan Pasal 106,
tetapi secara eksplisit pasal yang mengatur tentang kewajiban
23
pemeliharaan anak jika terjadi perceraian hanya terdapat didalam
Pasal 105 dan Pasal 106.
Dalam Pasal 98 KHI ditegaskan :
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut
apabila kedua orangtuanya tidak mampu.
Sementara Pasal 105 KHI, menyebutkan :
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada
anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Didalam Pasal 106 KHI, menyebutkan :
1. Orang tua berkwajiban merawat dan mengembangkan harta
anaknya yang belum dewasa atau masih dibawah
pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau
24
menggadaikan kecuali karena keperluan yang sangat
mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu
menghendaki atau sesuatu kenyataan tidak dapat dihindarkan
lagi.
2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban
tersebut pada ayat (1).
4. Harta Kekayaan dalam Perkawinan
a. Harta Bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang
diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Hal itu diatur
dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
Dari pengertian Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, dapat dipahami bahwa segala harta yang diperoleh selama
dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah, dan hadiah
merupakan harta bersama. Karena itu, harta yang diperoleh suami
atau istri berdasarkan usahanya masing-masing merupakan milik
bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh masing-
masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau
harta bawaan. Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing-masih
keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal dan tidak
25
mempunyai anak. Hal ini berdasarkan frman Allah Surah An-Nisa’
(4) ayat 32 sebagai berikut :
على بعضكمبآهآاللفضلماتتمنواول بعض جالآ يب لآلر آ مانصآ وااكتسبمآ ل ن آساءآولآ
يب مانصآ اكتسبنمآ ...
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang
mereka usahakan...”.
Ayat tersebut menjelaskan lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 85, 86, 87 yakni berbunyi sebagai berikut :
Pasal 85 KHI :
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
Pasal 86 KHI :
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara harta suami
dan harta istri karena perkawinan.
(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai
penuh olehnya.
Pasal 87 KHI :
26
(1) Harta bawaan dari masing-masingsebagai hadiah atau warisan
adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
hadiah, shodaqoh, atau lainnya.
b. Pertanggung Jawaban terhadap Hutang
Pada dasarnya, salah satu tanggung jawab suami adalah
memberikan nafkah kepada istrinya dan keluarganya, baik nafkah
lahir maupun nafkah bathin (ketentraman, keamanan) sesuai dengan
kemampuannya. Tanggung jawab dimaksud, dijelaskan oleh Allah
berdasarkan Al-Qur’an Surah At-Thalaq (65) ayat 7 sebagai berikut
:
نسعة ذولآينفآق سعتآهآمآ رومن زقهعليهآقدآ مافلينفآقرآ اللآتاهمآ
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah
menurut kemampuannya, dan orang terbatas rezekinya, hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya...”
Bila dihubungkan dengan Pasal 93 KHI, dapat dipahami
bahwa Kompilasi Hukum Islam menegaskan hutang suami, atau istri
menjadi tanggungan masing-masing. Hal ini, berarti Kompilasi
Hukum Islam tidak menegaskan jenis dan sifat hutang itu sendiri.
Jika terjadi persoalan semacam ini kemudian diajukan ke Pengadilan
Agama, sebaiknya hakim perlu mempertimbangkan berbagai aspek
27
untuk kepentingan, yaitu untuk apa suami berhutang, dan bagaimana
juga kewajiban nafkah istri dan keluarganya dipenuhi. Hal itu dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 93 sebagai berikut :
Pasal 93 KHI
(1) Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri
dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2) Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta
suami.
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan
kepada harta istri.
B. Tinjauan Umum Tentang Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam
perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah
ibu, ataupun nenek seterusnya keatas. Tetapi mengenai pembiayaan untuk
penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi
tanggung jawab ayahnya.
Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa
ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Kalau anak tersebut memilih
ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak tersebut, tetapi jika anak
tersebut memilih ikut dengan ayahnya maka hak mengasuh pindah pada
ayah.
28
Ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sejalan dengan ketentuan dalam hukum islam, yang
mendasarkan bahwa kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah
tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan oleh ibu dan ayah.
Walaupun kewajiaban memelihara dan membiayai pendidikan anak adalah
tanggung jawab suami, tetapi dalam hal suami tidak mampu tidak ada
salahnya tanggung jawab ini diambil alih oleh si ibu atau dilaksanakan
bersama-sama antara ibu dan ayah sesuai dengan kemampuannya masing-
masing. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak menjadi korban. Walaupun
terjadi perceraian antara suami dengan istri.
1. Definisi dan Kedudukan Hukum Hadhanah
Hadhanah adalah perkara mengasuh anak dalam arti mendidik dan
menjaganya untuk masa ketika anak-anak itu masih membutuhkan
wanita pengasuh. Mengasuh seorang anak yang masih kecil itu
hukumnya wajib sebab yang mengabaikannya berarti menghadapkan
kepada bahaya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa hadhanah
adalah hak ibu. Sehingga Hadhanah dapat dimaksudkan “pendidikan
dan pemeliharaan anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri,
mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.”1 Sebagaimana
hadits Nabi SAW :
بنآمحمدآبنأحمدأخبرنآىالحافآظاللآعبدآأبوأخبرنا ى عبدوس يد بنعثمانحدثناالعنزآ سعآ
ى مآ مشقآى خالآد بنمحمودحدثناالدارآ وأبوحدثنآىمسلآم بنالولآيدحدثناالد آ ى عمر الأوزاعآ
1 H. Abd. Rahman Ghazaly, 2003, Fiqh Munakahat, Jakarta : Prenada Media, hlm. 175.
29
هآعنأبآيهآعنشعيب بنعمروحدثنآى وبنآاللآعبدآجد آ نإآاللآرسولياقالتامرأةاأن:عمر
عاءالهبطنآىكانهذاابنآى قاءالهوثديآىوآ ىسآ واءالهوحجرآ عأنوأرادطلقنآىأباهوإآنحآ هينزآ
ن آى ىلممابآهآأحق أنتآ:»-وسلمعليهاللهصلى-اللآرسوللهافقالمآ حآ «.تنكآ
"Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa seorang perempuan bertanya "ya
Rasulullah, sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang
mengandungnya dan susuku yang menjadi minumnya dan pengkuanku
yang memeluknya sedang bapaknya telah menceraikan aku dan ia
mengambilnya dariku" lalu Rasulullah Saw., bersabda kepadanya
"Engkau yang lebih banyak berhak dengan anak itu selama engkau
belum menikah" (Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud,
Baihaqi, Hakim dan dia menshahihkannya).
Anak kecil yang sudah mumayyiz dan mengerti dengan dirinya
sendiri, ia boleh memilih siapakah yang akan mengasuhnya. Apakah
ibunya atau bapaknya. Dan apabila keduanya tidak mampu maka yang
lebih utama mengasuhnya adalah bibinya. Seperti hadits di bawah ini:
لخالتهاةحمزابنةفىقضىوسلمعليهاللهصلىلنبياأنعنهاللهرضيعازبابنالبراءعن
(البخارىرواه)الأمبمنزلةالخالة:وقال
"Dari al-Barra' bin Azib r.a. bahwasanya Nabi Saw., telah memutuskan
dalam perkara anak perempuan oleh Hamzah (dalam perkara
mengasuh) untuk bibinya (adik permpuan bibinya), dan beliau
bersabda "Bibi itu yang mengambil tempat ibunya" (HR. Bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari
pada kerabat ayah.
2. Syarat-syarat Hadhanah
1. Berakal dan telah baligh
2. Dewasa
3. Dapat menjaga kehormatan dirinya
30
4. Amanah dan berbudi
5. Islam, agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak
yang diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak
Muslim. sebagaimana firman Allah:
ينالليجعلولن لكافآرآ نآينعلىلآ المؤمآ سبآيلا
"Dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk
mengalahkan orang-orang yang beriman" (Qs. An-Nisa': 141).
6. Keadaan perempuan tidak bersuami; kecuali kalau dia bersuami
dengan keluarga dari anak yang memang berhak pula untuk
mendidik nak itu, maka haknya tetap
7. Merdeka.2
3. Upah Hadhanah
Seorang ibu tidak berhak atas upah hadhanah dan menyusui, selama
ia masih menjadi istri dari ayah si anak atau dalam masa iddah karena
dalam hal ini ia masih mempunyai hak nafkah istri atau masa idah.3
Allah Swt berfirman :
عنوالوالآدات لينآحولينآأولدهنيرضآ كامآ الرضاعةيتآمأنأرادلآمن لهالمولودآوعلى
زقهن سوتهنرآ بآالمعروفآوكآ
"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyusui secara smpurna. Dan kewajiban ayah
2 Rasjid Sulaiman, 2011, Fiqh Islam, cet. 52, Bandung : Sinar Baru Algensindo, Hlm. 428. 3 sahrani Sohari dan Tihami, 2010, Fikih Munakahat, Jakarta : Rajawali Pers, Hlm. 225.
31
menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut" (Qs.
Al-Baqarah (2): 233).
4. Orang yang Berhak Hadhanah
Drs.H. Ibnu Mas'ud dalam bukunya fiqih menurut mazdhab syafi'I
menyebutkan bahwa orang yang paling utama untuk mengasuh anak
adalah dengan urutan sebagai berikut:
1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain
2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas
3. Bapak
4. Ibu dari Bapak
5. Saudara yang perempuanTante (Bibi)
6. Anak perempuan
7. Anak perempuan dari saudara laki-laki
8. Saudara perempuan dari Bapak
5. Hak Waris Hadhanah
Hadlanah juga berhak mendapatkan waris sebagaimana firman
Allah:
ماموالآيجعلناولآكل والأقربوننآالوالآداتركمآ ين يبهمفآتوهمأيمانكمعقدتوالذآ نصآ إآن
يدااشيء كل آعلى كانالل شهآ
"Tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu, bapak
dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewaris dan jika ada orang-
orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah
kepada mereka bagian yang sesungguhnya, Allah menyaksikan segala
sesuatu" (QS. An-Nisa': 33).
32
C. Tinjauan Umum Tentang Asas Kepastian Hukum, Asas Keadilan
Hukum, Asas Kemanfaatan Hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,
yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut
harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional
seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan
kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.4
Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan perlu
digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum.
Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering
berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun
sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi
benturan, maka mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang
digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai
berikut:5
1. Keadilan Hukum
2. Kemanfaatan Hukum
3. Kepastian Hukum.
1. Asas Kepastian Hukum
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik
4 Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 161 5 Tujuan Hukum. http://statushukum.com/tujuan-hukum.html
33
beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum
akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan
sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari
kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap
suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan
adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang
akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian
diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum
tanpa diskriminasi.6
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan
terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang
terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak
hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu
kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian
hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak
mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang
oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui
penoramaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan
jelas pula penerapanya. Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti
6 Jaka Mulyata, Keadilan, Kepastian, dan akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 100/PUU-X/2012 Tentang Judicial Review Pasal 96 Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2015, hlm. 47
34
tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumanya.
Akan tetapi kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap
sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan
sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat
dan efisiensi.
Dalam upaya menerapkan kepastian hukum, putusan hakim harus
sesuai dengan tujuan dasar dari suatu pengadilan dan mengandung
kepastian hukum sebagai berikut :7
a. Pertama, melakukan solusi autoritatif, yakni memberikan jalan
keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak;
b. Kedua, efisiensi yang berarti dalam prosesnya harus cepat,
sederhana, dan biaya ringan;
c. Ketiga, putusan harus sesuai denga tujuan undang-undang yang
dijadikan dasar dari putusan majelis hakim tersebut;
d. Keempat, mengandung aspek stabilitas yakni dapat memberikan
rasa tertib dan rasa aman dalam masyarakat; Kelima,
mengandung eguality yang bermakna kesempatan yang sama
bagi pihak yang berperkara.
Asas kepastian hukum terkandung dalam surat Al-Ma’idah ayat
95, ayat tersebut berbunyi :
7Fence M. Wantu, 2012, Mewujudkan Kepatian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12, No. 3 September 2012, hlm. 483
35
ينأي هايا حرم وأنتمالصيدتقتلوالآمنواالذآ نكمقتلهومن داامآ ثلفجزاء متعم آ قتلاممآ
ن نكمعدل ذوابآهآيحكمالنعمآمآ ينطعامكفارة أوالكعبةآبالآغهدياامآ لآكعدلأومساكآ ذ اصآ ياما
هآوباللآيذوق أمرآ سلفعمااللعفا نهاللفينتقآمعادومن مآ يز والل انتآقام ذوعزآ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara
kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu
sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya)
membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau
berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya
dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah
memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha
Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Dari ayat tersebut disimpulkan bahwa tidak ada satu perbuatan
pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk
perbuatan itu. Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum islam.8
2. Asas Keadilan
Sesungguhnya konsep suatu putusan yang mengandung keadilan
sangat sulit dicarikan tolak ukurnya bagi pihak-pihak yang bersengketa.
Adil bagi satu pihak belum tentu dirasakan adil pula oleh pihak lainnya.
Hakim mempunyai tugas untuk menegakkan keadilan. Hal ini sesuai
dengan kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.9
8 Anwar Harjono, 1968, Hukum Islam, Keluasan, dan Keadilan, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 155 9 Yohanes Suhardin, 2009, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 21, No. 2 Juni 2009, hlm. 350
36
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum
bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan
hukum. Idealnya, hukum memang mengakomodasikan ketiganya.
Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan resultant dari
ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, bahwa di
antara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum
yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan
adalah tujuan hukum satu-satunya.
Pengertian keadilan adalah keseimbangan antara yang patut
diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa
kerugian. Dalam bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai
memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau
pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa
berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi
jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan
tidaklah ada artinya sama sekali.
Dari sekian banyak para ahli hukum telah berpendapat tentang apa
keadilan yang sesungguhnya serta dari literatur-literatur yang ada dapat
memberikan kita gambaran mengenai arti adil. Adil atau keadilan adalah
menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain yang menyangkut
hak dan kewajiban. Yaitu bagaimana pihak-pihak yang saling
37
berhubungan mempertimbangkan haknya yang kemudian dihadapkan
dengan kewajibanya, disitulah berfungsi keadilan.
Membicarakan keadilan tidak semuda yang kita bayangkan, karena
keadilan bisa bersifat subjektif dan bisa individualistis, artinya tidak
bisa disama ratakan. Karena adil bagi si A belum tentu adil oleh si B.
Oleh karena itu untuk membahas rumusan keadilan yang lebih
komprehensif, mungkin lebih obyaktif kalau dilakukan atau dibantu
dengan pendekatan disiplin ilmu lain seperti filsafat, sosiologi dan lain-
lain. Oleh karena itu penegakkan hukum bukanlah semata-mata berarti
pelaksanaan perundang-undangan ataupun peraturan-peraturan yang
ada, walaupun dalam kenyataannya adalah demikian.10
Keadilan yang dimaksudkan didalam putusan majelis hakim harus
memuat adanya persamaan hak dan kewajiban dan pihak yang memang
dapat menuntut haknya serta pihak yang kalah memenuhi
kewajibannya.11
Asas keadilan merupakan asas yang paling penting dan subtantif,
serta mencakup semua asas dalam bidang hukum islam. Allah menyebut
kata “keadilan” sebanyak lebih dari 1.000 kali dalam Al-Qur’an. Hal
tersebut mengingatkan kepada kita betapa pentingnya menegakkan
keadilan diatas segalanya, terutama dalam mengegakkan hukum.
10 Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet-5, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm. 5 11 Fence M. Wantu, Op. Cit, hlm. 487
38
Salah satu ayat yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan
adalah Surat Shadd ayat 26, yang berbunyi :
فآيخلآيفةاجعلناكإآناداووديا بينفاحكمالأرضآ آالناسآ الهوى تتبآعآولبآالحق عنلكفيضآ
اللآسبآيلآ ينإآن ل ونالذآ يد عذاب لهماللآسبآيلآعنيضآ سابآيومنسوابآماشدآ الحآ
“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, Maka berilah keputusan (Perkara) diantara manuasia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan”.12
Keadilan dalam hukum islam berarti keseimbangan antara
kewajiban dan harus dipenuhi oleh manusia dengan kemampuan untuk
menunaikan kewajiban.
3. Asas Kemanfaatan Hukum
Pelaksanaan dan penegakan hukum juga harus memperhartikan
kemanfaatannya dan kegunaannya bagi masyarakat. Sebab hukum
justru dibuat untuk kepentingan masyarakat. Karenanya pelaksanaan
dan penegakan hukum harus memberikan manfaat bagi masyarakat.
Jangan sampai terjadi pelaksanaan penegakan hukum yang dapat
merugikan masyarakat, yang pada akhirnya dapat menimbulkan
keresahan pula pada masyarakat.13
Kemamfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang
mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan
12 Muhammad Daud Ali, 2000, Hukum Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hlm. 116 13 Titik Tri Wulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Prestasi Pustaka Pubhliser, hlm. 229
39
masyrakat. Karena jika kita berbicara tentang hukum kita cenderung
hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang terkadang
aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan
masyarakat. Sesuai dengan prinsip tersebut diatas, Prof. Satjipto
Raharjo menyatakan bahwa : “keadilan memang salah satu nilai utama,
tetapi tetap disamping yang lain-lain, seperti kemanfaatan ( utility,
doelmatigheid)”. Olehnya itu didalam penegakan hukum, perbandingan
antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.
Putusan hakim akan mencerminkan asas kemanfaatan, manakala
hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya
mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan
bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan
masyarakat pada umumnya. Artinya hakim dalam menerapkan hukum,
hendaklah mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan
hakim tersebut membawa kemanfaatan bagi semua pihak. Hakim
diharapkan dalam menerapkan undang-undang maupun hukum yang
ada didasarkan pada tujuan atau kemanfaatannya bagi yang berperkara
dan masyarakat.
D. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
Profesi sang pengadil (hakim) adalah profesi yang mulia, bahkan dalam
agama pun dijelaskan ayat-ayat tentang profesi hakim. Hakim juga
dikategorikan sebagai profesi yang paling beruntung, karena memiliki
40
kekuasaan yang menentukan nasib seseorang, sehingga tidak heran hakim
disebut sebagai wakil tuhan dimuka bumi.14
Putusan hakim pada dasarnya mempunyai peranan yang menentukan
dalam menegakkan hukum dan keadilan, oleh karena itu didalam
menjatuhkan putusan, hakim diharapkan agar selalu berhati-hati, hal ini
dimaksudkan untuk menjaga agar putusan yang diambil tidak
mengakibatkan rasa tidak puas, tidak bertumpu pada keadilan yang dapat
menjatuhkan wibawa pengadilan.15
1. Definisi Putusan Hakim
Putusan hakim menurut Andi Hamzah, adalah : Hasil atau
kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan
matang yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.16
Sedangkan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., putusan
hakim adalah : suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak.17
Bukan hanya yang diucapkan saja yang dapat disebut sebagai
putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah
14 Hj. ST. Zubaidah, Hakim (Antara Surga Dan Neraka), diakses pada tanggal 28 September 2016 dari http://www.pa.muarateweh.go.id/index.php/component/content/article/97-berita/note/501-hakim-antara-surga-dan-neraka-oleh-hj-st-zubaidah-s-ag-s-h. 15 Tri Andrisman, 2010, Hukum Acara Pidana, Lampung : Universitas Lampung, hlm. 68 16 Andi Hamzah, 1986, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta : Liberty, hlm. 485 17 Sudikno Mertokusumo, 1986, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm. 206
41
konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan
sebelum diucapkan dipersidangan oleh hakim.18Sehingga dapat
disimpulkan bahwa putusan hakim adalah kesimpulan akhir yang
diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam
menyeleaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara para pihak yang
berperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
2. Susunan Putusan Hakim
Pengadilan dalam mengambil suatu putusan diawali dengan uraian
mengenai asas yang harus ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan
tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR,
Pasal 189 RBg, dan Pasal 19 Undand-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
Menurut ketentuan Undang-Undang ini, setiap putusan harus memuat
hal-hal sebagai berikut :19
a. Kepala Putusan
Suatu putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas
putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
YangMaha Esa” (Pasal 4 (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970) kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada
putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat
melaksanakan putusan tersebut.
b. Identitas Pihak Yang Berperkara
18 Ibid, hlm. 175 19 Riduan Syahrani, 2000, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 120
42
Didalam putusan harus dimuat identitas dari para pihak :
Nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya
apabila yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain.
c. Pertimbangan atau Alasan-Alasan
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua
bagian, yakni : pertimbangan tentang duduk perkara dan
pertimbangan tentang hukumnya.
Pasal 184 HIR/195 RBg/Pasal 23 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 menentukan bahwa :
“Setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan
gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan,
pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya
perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada
waktu putusan diucapkan”.
Adanya alasan sebagai dasar daripada putusan menyebabkan
putusan mempunyai nilai objektif dan mempunyai wibawa.20
d. Amar atau Diktum Putusan
Dalam amar dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan
suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan
yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu
ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok
perselisihan.
e. Mencantumkan Biaya Perkara
Mencantumkan biaya perkara dalam putusan diatur dalam
Pasal 184 ayat (1) HIR dan Pasal 187 RBg, bahkan dalam Pasal 183
20 Sudikno Mertokusumo, 2005, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberti, hlm. 160
43
ayat (1) HIR dan Pasal 194 RBg, dinyatakan bahwa banyaknya biaya
perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.
3. Jenis-Jenis Putusan Hakim
Menurut bentuknya, penyelesaian perkara oleh pengadilan/hakim
dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni :
a. Putusan/vonis : suatu putusan diambil untuk memutus suatu perkara.
b. Penetapan/beschikking : suatu penetapan diambil berhubungan
dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan
“yuririksi voluntair”.
Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan dikenal
2 (dua) macam penggolongan putusan yakni :
a. Putusa Sela (Putusan Interlokutoir)
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan
yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan
tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan
pemeriksaan perkara. Dalam beracara dikenal macam-macam
putusan sela :
1. Putusan Preparatuir, putusan persiapan mengenai jalannya
pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna
mengadakan putusan akhir.
2. Putusan Interlocutoir, putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka
putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir.
44
3. Putusan Incidental, putusan yang berhubungan dengan insiden
yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
4. Putusan Provisional, putusan yang menjawab tuntutan provisi
yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan
pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan
akhir dijatuhkan.
b. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada
tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat
Pertama, Pengadilan Tinggi dan mahkamah Agung. Macam-macam
putusan akhir adalah sebagai berikut :
1. Putusan Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya menerangkan,
menegaskan suatu keadaan hukum semata.
2. Putusan Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan suatu
keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan yang baru.
3. Putusan Condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman
kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau
menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi
prestasi.21
4. Tinjauan Tentang Pertimbangan Putusan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang
21 Prof. R. Subekti, S.H., 1989, Hukum Acara Perdata, cet. Ke-3, Bandung : Binacipta, hlm. 129
45
mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian
hukum, disamping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan
teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim yang berasal dari
pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi/Mahkamah Agung.22
Hakim dalam memeriksa suatu perkara juga memerlukan adanya
pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Selain itu, pada
hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-
hal sebagai berikut :
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui oleh dalil-dalil yang tidak
disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek
menyangku semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus
dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat
menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat
dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.23
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan hakim perlu didasarkan
kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga
22 Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet-V, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 140 23 Ibid, hlm. 142
46
didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran
teori dan praktek. Seorang hakim dalam menemukan hukumnya
diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para
ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak
hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, hal ini dijelaskan dlam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2009 yakni : “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Dasar hukum yang terdapat pada pertimbangan hakim Pengadilan
Agama terdiri dari Peraturan Perundang-Undangan Negara dan hukum
Syara’. Peraturan Perundang-Undangan Negara disusun urutan
derajatnya, misalnya Undang-Undang didahulukan dari Peraturan
Pemerintah, lalu urutan tahun terbitnya, misalnya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 didahulukan dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain
adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada
masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan demikian, sehingga
oleh karenannya mempunyai nilai obyektif. Dalam peraturan tersebut
mengharuskan setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan
dan jawaban, alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta hukum
tilak tertulis, pokok perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu
putusa diucapkan.
47
Suatu putusan dapat dinilai cacat tidaknya ditinjau dari asas-asas
putusan yang diambil dalam pertimbangan hakim. Pada hakikatnya
asas-asas tersebut terdapat pada Pasal 178 HIR/189 Rbg dan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, yakni :
a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan
pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi
ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup
pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd. Alasan yang
dijadikan pertimbangan dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan
perundang-undangan , hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin
hukum.24
b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/ Pasal 189
ayat (2) Rbg dan Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan
menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang
diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja
dan mengabaikan gugatan selebihnya.
c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189 ayat (3) Rbg dan
Pasal 50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
24 M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 798
48
yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan itu disebut ultra
petitum partium. Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum
gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultar vires
yakni bertindak melampaui wewenangnya.
d. Diucapkan dimuka Umum
Pemeriksa persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak
awal sampai akhir. Persidangan dan putusan diucapkan dalam
sidang pengadilan yang terbuka untuk umum atau dimuka umum
merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair
trial.