bab ii tinjauan pustaka 2.1 tinjauan tentang...

19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang Kajian Dalam kamus Ilimiah kata kajian, berarti telaah, pelajari, analisa, dan selidiki. 1 Adapun pengartian lain yang memiliki makna sama tentang kajian, yaitu berarti hasil mengkaji, kata kajian adalah merupakan : - Kata yang perlu ditelaah lebih jauh lagi maknanya karena jenis kata ini tidak bisa langsung dipahami oleh semua orang. - Kata yang dipakai untuk suatu kepentingan keilmuan. - Kata yang dipakai oleh para ahli ilmuan dalam bidangnya. - Kata yang dikenal dan dipakai oleh ilmuan atau kaum pelajar dalam dalam karya-karya ilmiah. 2 2.2 Tinjauan Tentang Yuridis Yuridis atau yang lebih dikenal dengan hukum pada dasarnya adalah kumpulan peraturan-peraturan yang didalamnya mengatur tingkah laku manusia, yang dibuat oleh lembaga-lembaga Negara yang berwenang, yang bersifat memaksa, dan berakibat sanksi tegas bagi pelanggarnya. 1 Pius A. partanto, 2001, Kamus Ilimiah, Arkola, Surabaya.. Halm. 295 2 www. Slidershare.net/edhos/katakajian. Diakses pada tanggal 24 juni 2013

Upload: dinhkiet

Post on 17-May-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Kajian

Dalam kamus Ilimiah kata kajian, berarti telaah, pelajari, analisa, dan selidiki. 1

Adapun pengartian lain yang memiliki makna sama tentang kajian, yaitu berarti hasil

mengkaji, kata kajian adalah merupakan :

- Kata yang perlu ditelaah lebih jauh lagi maknanya karena jenis kata ini tidak

bisa langsung dipahami oleh semua orang.

- Kata yang dipakai untuk suatu kepentingan keilmuan.

- Kata yang dipakai oleh para ahli ilmuan dalam bidangnya.

- Kata yang dikenal dan dipakai oleh ilmuan atau kaum pelajar dalam dalam

karya-karya ilmiah.2

2.2 Tinjauan Tentang Yuridis

Yuridis atau yang lebih dikenal dengan hukum pada dasarnya adalah

kumpulan peraturan-peraturan yang didalamnya mengatur tingkah laku manusia,

yang dibuat oleh lembaga-lembaga Negara yang berwenang, yang bersifat memaksa,

dan berakibat sanksi tegas bagi pelanggarnya.

1 Pius A. partanto, 2001, Kamus Ilimiah, Arkola, Surabaya.. Halm. 295

2 www. Slidershare.net/edhos/katakajian. Diakses pada tanggal 24 juni 2013

Para ahli hukum juga mempunyai pendapat masing-masing perihal hukum itu

sendiri. Antara lain penjabaran artian hukum menurut para ahli adalah;

Mochtar Kusumaatmadja, mengartikan hukum sebagai suatu aturan yang mengatur

tindakan manusia dalam masyarakat dan lembaga-lembaga yang berwenang

menegakkan hukum secara adil menurut hukum itu sendiri.

Van Apeldoorn beranggapan bahwa hukum telah ada dalam diri manusia, artinya

bahwa hukum telah lahir dari perasaan moral seseorang sejak ia dilahirkan.

Aristoteles Hukum adalah sesuatu yang berbeda dari pada sekedar mengatur dan

mengekspresikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah

laku para hakim dan putusannya di Pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman

terhadap pelanggar.

Van Kant mengartikan hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan

individu ataupun masyarakat dari tindakan absolut oleh seseorang atau sekelompok

orang. 3

Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan

tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat

mengatur tata tertip dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota

masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.

3 Http://www. Pengertian-hukum.com di asks pada tanggal 23 juni 2013

Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata meteril,

sedangkan dalam arti kata formal, hukum adalah kehendak ciptaan manusia berupa

norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh

dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk

dilakukan. Oleh karena itu, hukum mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan

kepastian dalam masyarakat tempat hukum diciptakan. 4

2.3 Tinjauan tentang Harta Bersama

Harta bersama dalam kamus Hukum berarti syirkah adalah harta yang

diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan

perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa

mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. 5

Harta bersama disebut juga dengan harta kekayaan bersama. Harta bersama

adalah harta pencaharian bersama. Harta pencaharian merupakan istilah untuk harta

bersama yang suami istri peroleh selama perkawinan. Sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 35 ayat 1 tentang

Perkawinan bahwa: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama”.

Adapun pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai

kesamaan satu sama lain. Menurut H. Ismuha mengatakan, tidaklah semua harta

4 ibid

5 Kamus hukum, 2008 Citra Kumbara, Bandung halm. 139

kekayaan ssuami istri merupakan kesatuan harta kekayaan, hanya harta kekayaan

yang di peroleh bersama dalam masa perkawinan saja yang merupakan harta suami

istri.6

Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha

masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan

harta bersama bagi suami isteri tersebut. 7

Menurut Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah

harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja

sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah, sekali

mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka

semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya.8

Senada dengan ketiga tokoh di atas, Iman Sudiyat juga memberikan definisi

harta bersama, yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan, baik

suami maupun isteri bekerja untuk kepentingan kehidupan keluarga. Syarat terakhir

ini sering juga ditiadakan, sehingga harta benda yang diperoleh selama masa

perkawinan itu selalu menjadi harta bersama keluarga. 9 Dalam Kompilasi Hukum

Islam Pasal 1 huruf (f) juga mengartikan bahwa: “Harta kekayaan dalam perkawinan

6 Drs. H. M. Anshary. 2010. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 132

7 htmlhttp://pengertianpengertian.blogspot.com/2011/12/pengertian-harta-bersama.html di akses

tanggal 10 desember 2012 8 ibid

9 ibid

atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri

selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama,

tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun”.10

Harta bersama yang dimaksud itu yakni semua harta benda yang diperoleh

selama ikatan perkawinan tanpa mempersoalkan ke dalam atas nama siapa harta itu

diperoleh. “Harta bersama yakni semua harta pencaharian selama terjadinya ikatan

perkawinan, tidak termasuk harta bawaan”. Akan tetapi j ika ada perjanjian terdahulu

harta bawaan bisa termasuk harta bersama, seperti yang di uraikan pada pasal 29

UUP dan pasal 45-47 KHI

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 35 ayat 2

ditegaskan bahwa: “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta

benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. 11

Harta bawaan yakni harta benda yang masing-masing suami atau istri bawa

masuk dalam perkawinan, biasa diperoleh dari warisan, hibah, hadiah dan lain

sebagainya.12

Sedangkan harta bersama yaitu benar-benar murni dari hasil

pencaharian suami istri selama perkawinan berlangsung, baik harta suami peroleh

dari hasil pekerjaannya maupun dari hasil pekerjaan sang istri yang disebut sebagai

harta bersama. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban

10

Undang-Undang Peradilan Agama. Yogyakarta: Graha Pustaka, hal. 139 11

UU. Perkawinan ibid hal 24 12

J. andy Hartanto. 2012. Hukum Harta Kekayaan. Surabaya : Laksbag Grafika. Halm. 63

yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus

mendapat persetujuan kedua belah pihak.

2.4 Ruang Lingkup Harta Bersama

Pada bagian ini akan diuraikan tentang ruang lingkup harta bersama dalam suatu

perkawinan serta objek-objek yang termasuk di dalamnya. Dengan merujuk pada

ketentuan perundang-undangan, maka segala harta yang diperoleh selama ikatan

perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun penerapannya di

dalam kenyataan tidak demikian sederhana karena berbagai unsur terkait yang

menyebabkan menjadi demikian rumit. Hal ini membutuhkan analisis dan

keterampilan yang memadai pada proses penyelesaiannya dengan tidak lupa melalui

pendekatan yurisprudensi.

Berikut ini adalah luas cakupan harta bersama:

a) Harta yang dibeli selama ikatan perkawinan

Semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan, maka harta

tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan:

1) Apakah isteri atau suami yang membeli

2) Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami

3) Apakah harta itu terletak dimana

Jadi apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis

menjadi harta bersama.13

13

H. M. Anshary ibid hal 134

b) Harta yang dibeli dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta

bersama

Semua barang termasuk objek harta bersama, ditentukan oleh asal usul

biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun

barang itu dibeli atau sesudah terjadi perceraian. Misalnya harta bersama

yang belum diadakan pembagiannya sejak perceraian dan kemudian

digunankan oleh salah satu pihak yang menguasainya untuk membeli

suatu barang atau membangun suatu bangunan maka pada barang atau

bangunan tersebut tetap melekat secara mutlak wujud harta bersama. Asas

kemutlakan harta bersama ini harus secara teguh penerapannya guna

menghindari itikad buruk dari salah satu pihak yang pada akhirnya

bertentangan dengan hukum kepatutan.

c) Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan

Dalam suatu sengketa perkara harta bersama, terkadang salah satu pihak

mengajukan gugatan bantahan bahwa harta yang digugat tidak termasuk

harta bersama, melainkan harta pribadi dan hak kepemilikan itu dialihkan

berdasarkan atas hak pembelian, warisan ataupun hibah.

Jika pihak lain dalam hal ini penggugat dapat membutikan bahwa harta

yang menjadi sengketa itu benar diperoleh selama perkawinan, maka harta

itu termasuk objek harta bersama itu sudah dialihkan dengan memakai

nama orang lain.

d) Penghasilan harta bersama atau harta bawaan

Harta bersama dan penghasilan yang tumbuh karenanya sudah semestinya

turut manjadi objek harta bersama namun disamping itu penghasilan yang

tumbuh dari harta pribadi suami isteri akan jatuh juga menjadi objek harta

bersama meskipun barang pokok atau harta pribadi itu tetap berstatus

sebagai milik pribadi yang tidak dapat digugat. Tetapi hasil yang tumbuh

daripadanya itulah yang menjadi harta bersama. Ketentuan ini berlaku

sepanjang suami isteri tidak menentukan lain didalam perkawinan.

Berbeda dengan hasil harta pribadi tidak termasuk harta bersama

melainkan secara mutlak tetap menjadi harta pribadi. Jadi jelas adanya

bahwa harta pribadi dalam hal perkawinan turut menopang dan

meningkatkan kesejahteraan keluarga.14

e) Segala penghasilan suami isteri

Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang

diperoleh perdagangan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh

menjadi harta bersama suami isteri. Hal ini merujuk pada putusan

Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454K/SIP/1970.

Pengabungan penghasilan pribadi ke dalam harta bersama dengan

sendirinya tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

f) Harta bersama dari perkawinan poligami

14

Ibid halm.136

Dalam hal suami hidup berpoligami atau mempunyai isteri lebih dari

seorang. Maka dalam penentuan dan batas harta bersama berlaku beberapa

asas yang antara lain sebagai berikut:

1) Dalam perkawinan poligami terbentuk beberapa harta bersama

sebanyak isteri yang dikawini oleh suami.

2) Untuk menentukan saat terbentuknya masing-masing harta bersama

antara suami dengan setiap isteri, terhitung sejak tanggal

berlangsungnya pernikahan suami dengan masing-masing isteri.

3) Dalam perkawinan poligami masing-masing harta bersama antara

suami dengan isteri-isterinya terpisah dan berdiri sendiri.15

Asas ini

sesuai dengan penegasan Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:16

“Isteri yang kedua dan seterusnya mempunyai hak atas harta yang

telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua dan berikutnya itu

terjadi“.

Uraian diatas adalah bagian kecil dari ruang lingkup harta bersama dengan

batas-batasnya, baik pada perkawinan tunggal maupun pada perkawinan poligami

yang penerapannya diupayakan di dalam praktek pada sengketa harta bersama yang

ada dimasyarakat.

15

Drs. H. M. Anshary ibid hal 149 16

Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 65 ayat 1 huruf b (Yogyakarta:new merah putih:2009) hal 35

2.5 Dasar Hukum Harta Bersama

Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan KUHPerdata dan UU No. 1

tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam,. Jadi secara yuridis formal eksistensi harta

bersama sebagai suatu fenomena hukum yang sudah melembaga dan, telah

memperoleh pengakuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan

hukum perkawinan.17

Harta bersama sebagai lembaga hukum yang terdapat dalam hukum positif

diatur, yakni dalam KUHPerdata mulai pasal 119-138, Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, yakni dalam Pasal 35-37 dan dalam intruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pada pasal 85- 97.

Mengenai harta bersama bagi mereka yang beragama Islam, proses

penyelsaiannya dilaksanakan di Pengadilan Agama setempat serta tunduk pada azas-

azas hukum Islam tanpa mengenyampingkan hukum adat-istiadat setempat dan

hukum nasional.

2.6 Wujud Harta Bersama

Selanjutnya mengenai wujud harta bersama dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Benda berwujud, meliputi:

a. Benda yang tidak bergerak (benda tetap)

b. Benda bergerak

c. Surat-surat berharga18

17

J. Andy Hartanto. 2012. Hukum Harta Kekayaan. Surabaya: Laksbag Grafika, hal 59 18

M. Anshary.2010. hokum Perkawinan DiIndonsia. Yogyakarta. Halm. 137

2. Benda tidak terwujud, meliputi:

a. Hak-hak

b. Kewajiban-kewajiban19

Adapun benda tetap (tidak bergerak) misalnya tanah, rumah dan bangunan,

sedangkan benda bergerak seperti mobil dan motor maupun prabot rumah tangga,

sedangkan surat-surat berharga misalnya piutang, saham dan lain sebagainya.20

Sedangkan hak-hak dan kewajiban ada pula yang dapat digolongkan sebagai

objek harta bersama, seperti hak diatas sesuatu usaha yang didirikan selama ikatan

perkawinan berlangsung, demikian pula sebaiknya segala kewajiban dari usaha

bersama tersebut menjadi kewajiban suami istri.

Kaitannya dengan hal tersebut, maka apabila harta bersama dijadikan sebagai

kredit maka menurut ketentuan dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan haruslah atas persetujuan kedua belah pihak (suami-

isteri).21

Hal itu penting, karena terhadap harta benda yang dijadikan agunan

dimaksud melekat dan kewajiban masing-masing pihak (suami-isteri).

2.7 Kewenangan Dan Kepemilikan

19

Ibid halm. 138 20

Ibid 21

Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 36 ayat 1(Yogyakarta:new merah putih:2009) hal 25

Wewenang suami-istri atas harta bersama dalam perkawinan ditentukan oleh

jenis harta dan kekayaan yang terdapat dalam sebuah rumah tangga.22

Menurut

ketentuan pasal 35 UU. Perkawinan dapat diketahui bahwa terdapat beberapa

kelompok harta benda dalam suatu perkawinan, pertama harta bersama dan yang

kedua harta pribadi. Yang dimaksud harta bersama menurut UU. No. 1 tahun 1974

adalah harta benda yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan berlansung.

Artinya harta bersama tersebut diperoleh sejak peresmian perkawinan sampai

perkawinan tersebut putus, baik karena perceraian maupun karena kematian. Dengan

melihat rentang waktu perolehan harta bersama tersebut, maka harta yang diperoleh

suami-istri sebelum melangsungkan perkawinan dan dibawa masuk kedalam

perkawinan tidak termasuk harta bersama, tapi merupakan harta pribadi suami-istri

yang bersangkutan. Sedangkan harta pribadi adaalah harta yang sudah dimiliki oleh

suami istri pada saat perkawinan dilangsungkan, atau harta yang diperoleh suami-istri

sebelum melangsungkan perkawinan. Harta pribadi tersebut tidak masuk dalam

golongan harta bersama kecuali suami-istri yang bersangkutan memperjanjikan lain.23

Seperti yang telah diuraikan diatas, harta bersama adalah harta benda yang

diperoleh selama perkawinan berlangsung. Terhadap harta bersama pasal 36 ayat 1

Undang Undang no. 1 tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa suami-istri dapat

bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pada ketentuan selanjutnya yakni pada

pasal 36 ayat 2 telah ditegaskan bahwa suami-istri berhak melakukan suatu perbuatan

22

J. Andy Hartanto.2010. Hukum Harta Kekayaan. Surabaya: Laksbag Grafika. Halm. 61 23

Ibid halm. 63

hukum. Dari kedua ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa suami dan

istri, keduanya berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama.

dalam pasal 36 ayat 2 UU. No1 tahun 1974 disebutkan bahwa tindakan hukum harus

dilakukan dengan persetujuan, yang maknanya harus ditafsirkan secara praktis

dengan berbagai pengertian. Artinya persetujuan yang dimaksud tidak harus

diberikan untuk tiap-tiap tindakan atas harta bersama guna memenuhi kebutuhan

hidup dan rumah tangga. Apabila kata “persetujuan” yang dimaksud dalam pasal 36

ayat 2 diartikan secara umum khusus maka justru akan menimbulkan kesulitan dalam

melakukan tindakan hukum. Misalnya untuk belanja kebutuhan sehari-hari akan

sangat menyulitkan jika istri harus meminta persetujuan suami. Lain halnya untuk

transaksi yang sifatnya penting, maka persetujuan atas tindakan suami/istri harus

diberikan secara tegas.24

Lain halnya dengan seorang suami mempunyai isteri lebih dari seorang,

misalnya dua, tiga ataupun empat. kewenangan harta bersama dapat dilakukan

dengan cara pengusutan asal usul, waktu pengadaan dan sumber yang dipergunakan

membeli barang yang dimaksud.

Kepemilikan harta bersama bagi suami yang mempunyai isteri lebih dari

seorang, adalah terpisah dan berdiri sendiri dihitung sejak saat berlangsungnya

perkawinan yang kedua, ketiga dan keempat.

Semua barang yang diperoleh dengan isteri pertama menjadi harta bersama

terhadapnya, sedangkan untuk istri kedua, dan ketiga, serta keempat akan

24

Ibid halm. 64

memperoleh harta bersama terhitung dari akad pernikahannya. Penentuan suatu benda

menjadi harta bersama bagi masing-masing isteri dapat di teliti dari waktu pengadaan

ataupun pembelinya.

Berkenaan dengan hal diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa segala

tindakan yang berhungan dengan harta bersama harusah dilakukan dengan perstujuan

dari suami maupun istri. harta bersama juga tidak hanya untuk istri pertama, akan

tetapi dapat pula terjadi untuk isteri kedua, ketiga, dan keempat. Yang tentunya

berdiri terpisah dari istri pertama sehingganya kepastian dan perlindungan hukum

terhadap harta bersama menjadi jelas.

2.8 Penyelesaian Perselisihan

Selama ikatan perkawinan masih berlangsung dengan baik dan dapat

dipertahankan keutuhannya, maka selama itu pula tidak ada permasalahan berkenan

dengan harta bersama. Pengaturan harta bersama dan dilaksanakan apabila

perkawinan menjadi bubar, atau terjadi perceraian. Pada saat inilah sering timbul

perselisihan diantara para pihak.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 37 dengan

tegas menyebutkan bahwa: “Bila Perkawinan putus karena perceraian, harta bersama

diatur menurut hukumnya masing-masing”.

Lingkungan Hukum yang akan diberlakukan berkenaan dengan pengaturan harta

bersama yakni Hukum Agama, Hukum Adat dan Hukum-hukum yang lainnya. Hal

ini sesuai dengan penjelasan resminya Pasal 35 dan 37 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974.

Bagi suami-isteri yang beragama Islam dan bermaksud mengatur pembagian

harta bersama, haruslah melalui Kantor Pengadilan Agama setempat yang tata cara

dan prosedurnya telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 yang sekarang sudah diganti dengan Undang-Undang no 3 tahun 2006 tentang

peradilan Agama. Berkaitan dengan hal tersebut dalam al-qur’an Allah SWT

berfirman dalam surat An-Nisa ayat 35. 25

Yang artinya :

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka

kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga

perempuan. Jika kedua Orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,

niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Disamping itu varia peradilan memberikan ulusan, bahwa terjadinya perselisihan

mengenai harta bersama dapat dikarenakan oleh:

1. Kurang pengetahuan mengenai harta bersama

2. Tidak tahu membagi harta bersama

3. Sulit membagi harta bersama

4. Ada sifat serakah

25

Al-qu’ran dan terjemahan. CV. Kathoda. Jakarta: 2005

5. Tidak mau membagi harta bersama.26

Pengetahuan hukum bagi masyarakat memang masih digolongkan terlalu

minim sehingga tidak dapat membedakan mana harta bersama dan yang mana harta

bawaan. Disamping itu, ada pula pasangan yang tidak tahu tata cara dan prosedur

membagi harta bersama, serta berapa bagian dari masing-masing pihak yang berhak

atas harta bersama dimaksud. Kesulitan dalam hal membagi harta bersama masih

menjadi fenomena hukum yang perlu dibantu oleh lembaga yang berwenangan.

Akan tetapi ada pula pihak tertentu yang mempunyai sifat-sifat serakah, ingin

mengusai keseluruhan harta bersama sebagai miliknya sendiri tanpa memperhatikan

hak dan kewajiban pihak lain. Sehubungan dengan hal di atas, maka upaya dapat

ditempuh berkenaan dengan pembagian harta bersama bagi pemutusan perkawinan

karena perceraian dapat ditempuh dua cara, yaitu:

1. Mengajukan gugatan/permohonan cerai disertai dengan langsung meminta

pembagian atas harta bersama.

2. Gugatan harta bersama secara mandiri.

Pengajuan gugatan pembagian harta bersama secara sendiri, umumnya

dilakukan jika salah satu pihak (suami isteri) meninggal dunia. Sedangkan pengajuan

gugatan/permohonan cerai bersama pembagian harta warisan karena keutuhan

perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

26

Ikahi, Varia Peradilan,Tahun ke-2 Nomor 18 Maret 1999, Tahun ke-3 Nomor 16 26 Nopember 1999

(Jakarta, 1999), halm. 56

Kedua cara tersebut, dapat ditempuh baik secara langsung dan pribadi maupun

melalui bantuan orang lain, seperti penasehat hukum pengacara dan advokat. Namun

tidak ada keharusan dalam menggunakan jasa-jasa praktisi hukum seperti yang

dimaksud diatas.

2.9 Tinjauan tentang Perceraian

Kata cerai dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai pisah, putus

hubungan antar sumi istri.27

Perceraian juga merupakan berakhirnya suatu

pernikahan, saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya,

mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Perceraian juga merupakan

terputusnya kehidupan rumah tangga karena salah satu atau kedua pasangan

memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan

kewajibannya sebagai suami istri.28

Menurut H.A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya

perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah

tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya

diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.29

Dalam kasus perceraian kadang kala terjadi karena persoalan yang tidak

diinginkan oleh pasangan suami istri dimana persoalan tersebut mungkin merupakan

persoalan yang tidak dapat diatasi lagi oleh keduanya sehingga penyelesaiannyapun

27

Trisno Yuwono, Kamus Bahasa Indinesia, Arkola, Surabaya. Halm. 98 28

Prosedur gugatan cerai+pembagian harta gono-gini+hak asu anak, hal 12 29

Abdul Manan. 2001. Problematika Perceraian Karena Zina Dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, Dalam Jurnal Mimbar Hukum , Al-Hikmah dan DITBINBAPERA. Jakarta: halm. 7

harus ditempuh dengan cara perceraian. Antara lain terdapat berbagai persoalan yang

mendasari pasangan suami-istri untuk bercerai, tentu saja alasan-alasan ini diajukan

sebagai dasar pada saat istri mengajukan gugatan cerai atau suami mengajukan

permohonan talaq di Pengadilan Agama.

Berdasarkan pengertian perceraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa apabila pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak maka, dapat terjadinya perceraian, dimana harus disertai dengan alasan-

alasan tertentu dan dilakukan di depan sidang pengadilan. Seperti yang tercantum

dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

1.10 Alasan perceraian

Untuk dapat menyelesaikan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama bagi

yang beragama Islam harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai dengan

yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Sebagaimana ditegaskan

dalam Pasal 39 ayat 2 bahwa: “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,

bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri “.

Selanjutnya, dipertegas pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan

alasan perceraian sebagai berikut:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya;

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain;

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/ istri;

f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan melihat ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian seperti yang

diatur dalam pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Jo. Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada pasal 19 tersebut di atas, disamping itu adanya

ketentuan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.

Maka dengan demikian, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

sesungguhnya walaupun melakukan perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang,

namun orang yang sudah terikat oleh perkawinan tidak boleh begitu saja memutuskan

hubungan perkawinan atau melakukan perceraian tanpa didasari alasan yang kuat.