bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang perlindungan...

73
18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Hukum Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan adalah (1) Tempat berlindung; (2) Perbuatan (hal dan sebagainya) memperlindungi 11 . Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu (1) unsur tindakan melindungi; (2) unsur pihak-pihak yang melindungi; (3) unsur cara-cara melindungi. Dengan demikian, kata melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu. Perlindungan yang diberikan terhadap konsumen bermacam- macam, dapat berupa perlindungan ekonomi, sosial, politik. Perlindungan konsumen yang paling utama dan yang menjadi topik pembahasan ini adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan yang utama karena berdasarkan pemikiran bahwa hukum sebagai sarana yang dapat mengakomodasi kepentingan dan hak konsumen secara komprehensif. Di samping itu, hukum memiliki kekuatan memaksa yang diakui secara resmi di dalam negara, sehingga dapat dilaksanakan secara permanen. Berbeda dengan perlindungan 11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua Cet. 1, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 595

Upload: others

Post on 03-Nov-2019

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan

perlindungan adalah (1) Tempat berlindung; (2) Perbuatan (hal dan

sebagainya) memperlindungi11. Pemaknaan kata perlindungan secara

kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur,

yaitu (1) unsur tindakan melindungi; (2) unsur pihak-pihak yang

melindungi; (3) unsur cara-cara melindungi. Dengan demikian, kata

melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu

dengan menggunakan cara-cara tertentu.

Perlindungan yang diberikan terhadap konsumen bermacam-

macam, dapat berupa perlindungan ekonomi, sosial, politik. Perlindungan

konsumen yang paling utama dan yang menjadi topik pembahasan ini

adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan bentuk

perlindungan yang utama karena berdasarkan pemikiran bahwa hukum

sebagai sarana yang dapat mengakomodasi kepentingan dan hak

konsumen secara komprehensif. Di samping itu, hukum memiliki

kekuatan memaksa yang diakui secara resmi di dalam negara, sehingga

dapat dilaksanakan secara permanen. Berbeda dengan perlindungan

11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua Cet. 1, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 595

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

19

institusi lainnya seperti perlindungan ekonomi atau politik misalnya,

yang bersifat temporer atau sementara12.

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan oleh

hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana

hukum. Hukum dalam memberikan perlindungan dapat melalui cara-cara

tertentu, antara lain yaitu dengan:

a. Membuat peraturan (by giving regulation) bertujuan untuk:

1) Memberikan hak dan kewajiban;

2) Menjamin hak-hak para subjek hukum.

b. Menegakkan peraturan (by law enforcement) melalui:

1) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah

(preventive) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan

perijinan dan pengawasan;

2) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive)

pelanggaran UUPK, dengan mengenakan sanski pidana dan

hukuman;

3) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative;

recovery; remedy) dengan membayar kompensasi atau ganti

kerugian.

2. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika),

atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer

12 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung: UNILA, 2007, hlm. 30-31

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

20

adalah setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan

barang dan jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana

pengguna tersebut.13

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

konsumen adalah:

“setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”

Penjelasan pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen disebutkan di dalam kepustakaan

ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.

Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu

produk, sedangkan kosnumen antara adalah konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk

lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah

konsumen akhir.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, konsumen adalah

setiap orang/badan hukum yang memperoleh dan/atau memakai

barang/jasa yang berasal dari pelaku usaha dan tidak untuk

diperdagangkan (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004:7). Sedangkan

pengertian konsumen muslim adalah sekelompok konsumen yang 13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001, hlm. 3

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

21

menerapkan syarian atau hukum islam dalam kehidupan sehari-hari

termasuk didalamnya pada aspek makanan yang aman, tidak hanya

sekedar terbebas dari bahaya fisik, kimia ataupun mikrobiologi semata,

namun juga terdapat suatu unsure yang hakiki yakni aman dari bahaya

barang yang diharamkan dan diragukan kehalalannya.

3. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen

dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan dari hal-hal yang merugikan

konsumen itu sendiri. Pengertian perlindungan konsumen dalam pasal 1

angka 1 Undang-UndangNo. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum

untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada dua persyaratan utama

dalam perlindungan konumen, yaitu adanya jaminan hukum (law

guarantee) dan adanya kepastian hukum (law certanty).

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang

diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar

pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu

merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya undang-undang

perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen

memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

22

menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau

dilanggar oleh pelaku usaha14.

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia.

Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan

berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling

ketergantungan anatara konsumen, pengusaha dan pemerintah.

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan

(Nurmadjito,2000:7):

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan

seluruh pelaku usaha;

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang

menipu dan menyesatkan;

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan dan

perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan lain.

Sebagai pemakai barang atau jasa, konsumen memiliki sejumlah

hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat

penting agar orang bias bertindak sebagai konsumen yang kritis dan

mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil

terhadap dirinya. Konsumen kemudian bias bertindak lebih jauh untuk

14 Happy Susanto, Hak-hak konsumen jika dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008, hlm. 4

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

23

memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal

diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh

pelaku usaha.

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 4, hak-

hak konsumen sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang atau jasa;

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan

nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa

yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian,

jika barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau

tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

24

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-

hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum

tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden

Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962, melalui “A special

Massage for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal

dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer

Right) yaitu terdiri dari:

a. Hak memperoleh keamanan;

Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap

pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan

jiwa atau diri konsumen.

b. Hak memilih;

Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan

membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang

dibutuhkannya.

c. Hak mendapat informasi;

Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang

lengkap mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya, baik

secara langsung maupun secara umum melalui media komunikasi agar

tidak menyesatkan

d. Hak untuk didengar;

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa

kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

25

kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam

pembentukan kebijakan tersebut15.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak

Asasi Manusia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada pasal 3, 8,

19, 21, dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia

(International Organization of Consumers Union/IOCU) ditambahkan

empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu16:

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Kewajiban konsumen sebagaimana diatur pada Pasal 5 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang da/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut. 15 Ari Purwari, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika: FH UNAIR, 1992, Hlm. 49-50. 16 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2006, hlm. 2

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

26

5. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen

Dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen

muncul doktrin-doktrin mengenai kedudukan konsumen dalam

hubungannya dengan pelaku usaha (Shidarta, 2000:50), yakni:

a. Let the buyer beware

Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak

yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si

konsumen.

b. The due care theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk baik barang

maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat

dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku sistem pembuktian siapa yang

mendalilkan maka dialah yang membuktikan.

c. The privity of contract

Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut baru bisa dilakukan

apabila antara konsumen dan pelaku usaha telah melakukan hubungan

secara kontraktual.

6. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Tugas dari hukum sendiri khususnya hukum ekonomi adalah

menciptakan kesimbangan baru antara kepentingan-kepentingan

konsumen, para produsen, masyarakat dan pemerintah. Dinamika yang

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

27

reaksioner, khususnya dengan globalisasi ekonomi, membuat kita

berpikir proaktif termasuk didalamnya dengan melakukan pembaharuan

hukum17.

Komitmen konstitusional bangsa dengan jelas menyebutkan,

seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh kesejahteraan dan keadilan.

Tapi harapan itu berhadapan dengan kenyataan mengenai perkembangan

ekonomi yang semakin terbuka. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan pembangunan ekonomi

nasional pada era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang

dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana

penting kesejahteraan rakyat dan sekaligus mendapatkan kepastian atas

barang dan jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan

kerugian konsumen.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam realitanya banyak produk

yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.

Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki

keterkaitan dengan pengaturan produk halal belum memberikan

kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Pada penjelasan

Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen berasaskan

manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen,

serta kepastian hukum”. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut

17 N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta: Panta Re, 2005, hlm. 81

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

28

mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan

hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen

yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, asas yang relevan dalam

pembangunan nasional yaitu:

a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen

dan pelaku usaha secara keseluruhan;

b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa

melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen

ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak

dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu undang-undang

perlindungan konsumen mengatur sejumlah hak dan kewajiban

konsumen dan pelaku usaha;

c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan kepentingan konsumen, pelaku usaha dan

pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki

agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat

yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen. kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

29

pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai

dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat

perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain

sebagai komponen Bangsa dan Negara;

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada

konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki

adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat

dari produk yang dikonsumsi/dipakai dan sebaliknya bahwa produk

itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan

harta bendanya;

e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin

kepastian hukum. Artinya undang-undang perlindungan konsumen

mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang

terkandung didalamnya harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-

hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh

karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-

undang perlindungan konsumen sesuai dengan yang diharapkan.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

30

Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam pasal 3 Undang-

Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau

jasa;

c. Meingkatkan pemberdayaan konsumen dan memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meingkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

7. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen

Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam rangka melindungi

kepentingan konsumen dapat ditempuh melalui banyak cara, yakni:

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

31

a. Perlindungan secara individual

Mengingat bahwa konsumen pada umumnya menjadi pihak yang

lemah dan banyak dirugikan atas tindakan pelaku usaha yang tidak

bertanggung jawab dan masih banyaknya konsumen yang tidak

menyadari akan hak-haknya sebagai konsumen maka salah satu cara

perlindungan individual yang dilakukan adalah memberdayakan

konsumen dengan memberikan pendidikan konsumen, pendidikan

disini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam memilih dan

menggunakan produk yang akan dikonsumsi sehingga diharapkan

dapat terhindar dari kerugian yang diderita akibat penggunaannya.

Dari hal tersebut konsumen akan dapat melindungi dirinya sendiri dan

dapat bertindak benar ketika dirugikan.

b. Perlindungan dari pelaku usaha

Pada perlindungan ini, pelaku usaha harus memperhatikan

kewajibannya sebagai pelaku usaha terhadap konsumen seperti

tercantum secara yuridis pada pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen. pelaku usaha harus memenuhi

persyaratan keamanan dan keselamatan yang ditentukan oleh

pemerintah.

Dalam hal ini pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama

dengan konsumen, sebagaimana tercantum dalam pasal 6 Undang-

Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen yakni:

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

32

1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketan konsumen;

4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan;

5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

c. Perlindungan dari negara atau pemerintah

Selain memberikan perlindungan konsumen melalui berbagai

undang-undang, langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah

dengan mengatur dan mengawasi dan mengendalikan produksi,

distribusi, dan peredaran produk.

Selama ini upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk melindungi

umat dari mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk

mendukung hak informasi konsumen agar mengetahui kehalalan

produk sudah berjalan dengan baik, yaitu melalui sertifikasi halal dari

MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal pada label produk.

pelaku usaha yang melakukan pelanggaran karena pemalsuan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

33

sertifikat halal dan label halal melanggar beberapa ketentuan peraturan

perundangan, diantaranya pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2012

tentang Pangan disebutkan pada pasal 141, yakni:

“Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan pangan

yang tidak sesuai dengan kemasan pangan dan mutu pangan yang

tercantum dalam label kemasan pangan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 89, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau

denda paling banyak Rp. 4.000.000.000 (empat miliar rupiah”.

Ketentuan mengenai sanksi pidana pada Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan dalam pasal

62 ayat (1), bahwa:

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17

ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda

paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah)”.

Ancaman pidana tambahan bagi pelaku usaha yang melanggar

ketentuan, yang disebutkan pada pasal 63 yakni: “Terhadap sanksi

pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan

hukuman tambahan berupa:

a. Perampasan barang tertentu;

b. Pengumuman keputusan hakim;

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

34

c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan

timbulnya kerugian konsumen;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau;

f. Pencabutan izin usaha.”

Selain sanksi pidana terdapat sanksi administratif seperti

disebutkan pada PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan iklan

Pangan yang tercantum pada pasal 61 yang menyebutkan:

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam peraturan pemerintah ini dikenakan tindakan

administratif;

2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. Peringatan secara tertulis;

b. Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau

perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran;

c. Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan

dan jiwa manusia;

d. Penghentian produksi untuk sementara;

e. Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000 (lima puluh juta

rupiah), dan/atau;

f. Pencabutan ijin usaha atau ijin produksi.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

35

d. Perlindungan dari lembaga atau organisasi konsumen

Undang-undang perlindungan konsumen memberikan pengakuan

terhadap keberadaan organisasi konsumen atau Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) seperti

disebutkan pada pasal 44 ayat (1) undang-undang no. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, yakni:

(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat yang memenuhi syarat.

Untuk melindungi kepentingan konsumen, tugas dari LPKSM

adalah:

a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran

atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. Bekerja sama dengan instansi terkat dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen;

d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk

menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat

terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

36

B. Tinjauan tentang Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal

1. Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat atau Provinsi tentang halalnya

suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang

diproduksi oleh perusahaan setelah diteliti dan dinyatakan halal oleh

LPPOM MUI. Pemegang otoritas menerbitkan sertifikasi produk halal

adalah MUI yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian

Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM). Masa berlaku sertifikat

ini adalah 2 tahun. Menurut Girindra (1997) pelaksanaan sertifikasi dan

labelisasi pada produk pangan terus dikembangkan sejalan dengan

harapan sebagian besar masyarakat (pemeluk agama islam) yang

menghendaki adanya jaminan kepastian kehalalan setiap jenis pangan

yang dikonsumsinya.

Pengertian sertifikat halal menurut Surat Keputusan Menteri

Agama RI No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara

Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal yakni pada Pasal 1 huruf (d)

bahwa “Sertifikat halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan

suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh lembaga pemeriksaan”.

Fatwa MUI yang menyatakn kehalalan suatu produk sesuai dengan

syariat islam. Tujuan pelaksanaan sertifikasi halal pada produk pangan

adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga

dapat menentramkan batin yang mengkonsumsinya.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

37

Bagi konsumen, sertifikat halal memiliki beberapa fungsi. Pertama,

terkindunginya konsumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat-

obatan dan kosmetik yang tidak halal. Kedua, secara kejiwaan perasaan

hati dan batin konsumen akan tenang. Ketiga, mempertahankan jiwa dan

raga dari keterpurukan akibat produk haram. Keempat, akan memberikan

kepastian dan perlindungan hukum18.

Bagi produsen, sertifikat halal mempunyai beberapa peran penting.

Pertama, sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen

muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup

muslim. Kedua, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen.

ketiga, meningkatkan citra dan daya saing perusahaan. Dan keempat,

sebagai alat pemasaran serta untuk memperluas area jaringan pemasaran

dan kelima, memberi keuntungan pada produsen dengan meningkatkan

daya saing dan omzet produksi dan penjualan19.

Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang

berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal

dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik

untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan

telah memenuhi halal. Sebelum mendapatkan label halal maka terlebih

dahulu produsen harus mendapatkan sertifikasi halal dari LPPOM MUI20.

18 KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014, hlm. 232 19 Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan Komoditas

Agama, Malang: Madani, 2009, hlm. 31-55 20 Elvi Zahara Lubis, Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area, moral dan adil, Vol. 1 No. 1, 2009, hlm 5

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

38

Beberapa ketentuan dasar yang harus dilaksanakan produsen dalam

menyiapkan sistem jaminan halal sesuai dengan pedoman untuk

memperoleh sertifikat halal yang dikeluarkan LPPOM MUI adalah:

a. Produsen menyiapkan suatu sistem jaminan halal (Halal Assurance

sistem);

b. sistem jaminan halal harus didokumentasikan secara jelas dan rinci

serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan;

c. Dalam pelaksanaannya, sistem jaminan halal ini diuraikan dalam

bentuk panduan halal. Tujuannya adalah untuk memberikan uraian

sistem manajemen halal yang dijalankan produsen. Selain itu

panduan halal dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam

melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut;

d. Produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standar

Operating Prosedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar

kehalalan produknya dapat terjamin. Dalam hal ini termasuk

prosedur bahan baku (Purchasing), prosedur pengembangan produk

(Research and Development), prosedur penggantian bahan baku,

prosedur pemusnahan bahan dan lain-lain;

e. Panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan

harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen,

sehingga seluruh jajaran dari direksi sampai karyawan memahami

dengan baik bagaimana memproduksi produk halal dan baik;

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

39

f. Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta

mengevaluasi apakah sistem jaminan halal yang menjadi produk ini

dilakukan sebagaimana mestinya;

g. Untuk melakukan butir (f), perusahaan harus mengangkat minimal

seorang auditor halakl internal yang beragama islam dan berasal dari

bagian yang terkait dengan produksi halal.

Jaminan suatu produk halal memerlukan sistem yang memuat

jaminan kehalalan, baik ditinjau dari sisi bahan baku dan turunannya

maupun dari proses produksinya. sistem harus mampu menjamin bahwa

produk yang dikonsumsi masyarakat adalah halal yang disertai lembaga

penentu kehalalan suatu produk, adanya tanda/label produk yang halal

dilihat secara mudah oleh konsumen, dan sistem pengawasan secara

berkesinambungan agar tidak terjadi penyimpangan. Untuk inilah sangat

diperlukan adanya sistem jaminan halal oleh perusahaan.

Sistem Jaminan halal (SJH) adalah suatu sistem yang dibuat dan

dilaksanakan oleh perusahaan pemegang sertifikat halal dalam rangka

menjamin kesinambungan proses produksi halal. sistem ini dibuat

sebagai bagian dari kebijakan suatu sistem yang berdiri sendiri. Sehingga

produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya, sesuai dengan aturan

yang digariskan oleh LPPOM MUI21.

Sistem Jaminan Halal harus diuraikan secara tertulis dalam bentuk

manual halal. Pertama, pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal

21 Muslich, Perusahaan Harus Penuhi Syarat SJH, Jurnal Halal, No. 91 Th. XIV Tahun 2011, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 20-21

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

40

(halal Policy). Kedua, panduan halal (Halal Guidelines) dengan

berlandaskan Standart Operating Procedure. Ketiga, sistem manajemen

halal (Halal Management System). Keempat, uraian kritis keharaman

produk (Haram Critical Control Point). Kelima, sistem audit halal

(Internal Halal Audit System). Dalam kaitan ini, perusahaan yang telah

mensertifikatkan halal untuk produknya dituntut menyiapkan suatu

sistem untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara

konsisten, yang disebut sebagai sistem jaminan halal.

2. Prosedur Sertifikasi Halal

Produsen yang menginginkan sertifikat halal mendaftarkan ke

sekretariat LPPOM MUI Jawa Timur. Adapun bagan prosedur

pendaftaran sertifikat halal ke LPPOM MUI beserta penjelasannya

sebagai berikut:

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

41

Prosedur Perolehan Sertifikasi Halal Oleh LPPOM MUI

1

2

9

5

4

3

7

6

8

Sumber data: Website LPPOM MUI

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

42

Penjelasan:

1. Sebelum produsen mengajukan Sertifikat halal terlebih dahulu harus

mempersiapkan Sistem Jaminan halal;

2. Setiap produsen yang mengajukan permohonan sertifikat halal bagi

produknya harus mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir

tersebut berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama

produk serta bahan yang digunakan serta melengkapi persyaratan

seperti:

a. Fotocopy KTP pemilik/penanggung jawab;

b. Fotocopy Surat Ijin Usaha;

c. Fotocopy Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP);

d. Fotocopy tanda daftar industry (TDI);

e. Fotocopy sertifikat penyuluhan dan sertifikat PIRT khusus untuk

industry rumah tangga;

f. Fotocopy MD untuk industri selain industri rumah tangga;

g. Fotocopy auditor halal internal;

h. Fotocopy sertifikat halal yang akan diajukan (apabila melakukan

perpanjangan);

i. Bagan alir proses produksi untuk seluruh produk yang diajukan;

j. Dokumen sertifikat halal/keterangan asal usul/spesifikasi seluruh

bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan baku, bahan

tambahan, bahan penolong);

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

43

k. Manual halal (pedoman pelaksanaan system jaminan halal

perusahaan) dan penerapamnya mengacu pada panduan

penyusunan SJH LPPOM MUI;

l. Fotocopy kemasan seluruh produk;

m. Menyerahkan contoh produk.

3. Borang yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnya

dikembalikan ke sekretariat LPOOM MUI untuk diperiksa

kelengkapannya, dan bila belum memadai perusahaan harus

melengkapi sesuai dengan ketentuan;

4. LPPOM MUI akan memberitahukan perusahaan mengenai jadwal

audit. Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/audit

ke lokasi produsen dan pada saat audit, perusahaan harus dalam

keadaan memproduksi produk yang disertifikasi;

5. Hasil audit yang belum memenuhi persyaratan diberitahukan kepada

perusahaan melalui audit memorandum;

6. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium (bila diperlukan)

dievaluasi dalam rapat auditor LPPOM MUI. Jika telah memenuhi

persyaratan, auditor akan membuat laporan hasil audit guna diajukan

pada sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status

kehalalannya;

7. Laporan hasil audit disampaikan oleh pengurus LPPOM MUI dalam

Sidang Komisi Fatwa MUI pada waktu yang telah ditentukan;

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

44

8. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika

dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan,

dan hasilnya akan disampaikan kepada produsen pemohon sertifikasi

halal;

9. Sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status

kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.

Tata cara pemeriksaan (audit) produk halal mencakup:

1. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk (Sistem

Jaminan Halal);

2. Pemeriksaan dokumen-dokumen spesifikasi yang menjelaskan asal-

usul bahan, komposisi dan proses pembuatannya dan/atau sertifikat

halal pendukungnya, dokumen pengadaan dan penyimpanan bahan,

formula produksi serta dokumen pelaksanaan produksi halal secara

keseluruhan;

3. Observasi lapangan yang mencakup proses produksi secara

keseluruhan mulai dari penerimaan bahan, produksi, pengemasan

dan penggudangan serta penyajian untuk restoran/catering/outlet;

4. Keabsahan dokumen dan kesesuaian secara fisik untuk setiap bahan

harus terpenuhi;

5. Pengambilan contoh dilakukan untuk bahan yang dinilai perlu.

3. Labelisasi Halal

Labelisasi adalah kata yang bersasal dari bahasa Inggris “Label”

yang berarti “nama” atau “memberi nama” (Jhon Echol 2000:346)

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

45

sedangkan dalam termenologi materi ini merupakan setiap keterangan

mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya,

atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam,

ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang

selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah disebut Label.

Labelisasi halal merupakan rangkaian persyaratan yang seharusnya

dipenuhi oleh pelaku usaha yang bergerak dibidang produk pengolahan

makanan dan minuman atau diistilahkan secara umum sebagai pangan.

Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan, dalam ketentuan umunya, pengertian label pangan adalah setiap

keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi

keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan

kedalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan,

yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah disebut label. Labelisasi

halal adalah izin pemasangan kata halal pada kemasan produk dengan

logo halal yang diajukan oleh suatu perusahaan dengan izin Departemen

Kesehatan RI atau sekarang menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM)

Label memiliki kegunaan untuk memberikan infomasi yang benar,

jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal

lain yang diperlukan mengenai barang yang diperdagangkan. Dengan

adanya label konsumen akan memperoleh informasi yang benar, jelas

dan baik mengenai kuantitas, isi, kualitas mengenai barang / jasa beredar

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

46

dan dapat menentukan pilihan sebelum membeli atau mengkonsumsi

barang dan jasa.

label halal sebagai tanda atau bukti tertulis sebagai jaminan produk

yang halal dengan tulisan Halal dalam huruf Arab, halal huruf latin dan

nomor kode dari Menteri yang di keluarkan atas dasar pemeriksaan halal

dari lembaga pemeriksa halal yang dibentuk/ direkomendasikan MUI,

fatwa halal dari MUI, sertifikat halal dari MUI sebagai jaminan yang sah

bahwa produk yang dimaksud adalah halal untuk konsumsi serta

digunakan oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan syariah (Depag RI,

2005: 136)

Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang

berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang

disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau

merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan

Pemerintah ini disebut Label. Pasal 1 Angka 3 PP Nomor 69 Tahun 1999

tentang Label dan Iklan Pangan.

Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai

pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan

dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan,

yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Iklan. Pasal 1

Angka 4 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Sedangkan undang-undang tentang pangan halal adalah pasal 1

angka 5 Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 69 Tahun

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

47

1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang berbunyi. Pangan halal

adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau

dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan

baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong

lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa

genetika dan eradiasi, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan

ketentuan hukum agama Islam (Depag RI, 2005: 12).

Secara etimologi, kata Halal berasal dari bahasa Arab (ل�� halalan

yang berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau

tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Sedangkan

thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya,

atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan

yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik

serta akalnya, dalam Al-Quran, kata halalan selalu diikuti kata thayyib.

(Aisjah Girindra.2005:20 )

Makanan yang halalan dan thayyiban harus diterjemahkan lebih

jauh lagi, yakni halalan dan thayyiban terhadap asal dan jenis bahan

baku, campuran, proses pembuatan, pemasaran serta akibat dari

menkonsumsi makanan tersebut. Sehingga makanan itu boleh untuk

dikonsumsi secara syariah dan baik bagi tubuh secara kesehatan (medis).

Al-Qur’an secara tegas menyebutkan tentang makanan halalan

thayyibãt dalam beberapa ayat dalam firmanya, yakni diantaranya:

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

48

1. Surah Al-Baqarah ayat 168.

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa

yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-

langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh

yang nyata bagimu” (Depag RI, 2006: hal. 36)

Makanan halal dalam ayat ini adalah makanan yang tidak

haram, yakni yang tidak dilarang oleh agama memakannya.

Makanan haram ada dua macam yaitu: karena zat seperti babi,

bangkai dan darah. Dan yang haram karena sesuatu bukan dari

zatnya, seperti makanan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya

untuk dimakan atau digunakan. Makanan yang halal adalah yang

bukan termasuk kedua macam ini. (M.Quraish Shihab. Volume, 1

hal. 354).

2. Surah Al-Ma’idah ayat 88

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang

Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah

yang kamu beriman kepada-Nya” (Depag RI, 2006 : hal. 126)

Ayat ini memerintahkan untuk memakan makanan yang halal

lagi baik. Bahwa tidak semua makanan yang halal otomatis baik.

Karena yang dinamai halal terdiri dari empat macam, yaitu: wajib,

sunnah, mubah dan makruh. Ada aktivitas walaupun halal, namun

makruh atau sangat tidak disukai Allah, yaitu pemutusan

hubungan. Selanjutnya, tidak semua yang halal sesuai dengan

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

49

kondisi kesehatan tertentu, ada makanan yang halal, tetapi tidak

bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang baik. Yang diperintahkan

adalah yang halal lagi baik. (Shihab. Volume 3: hlm. 188).

Labelisasi halal mempunyai tujuan untuk memenuhi tuntutan pasar

(masyarakat konsumen) secara universal. Maka apabila tuntutan itu bisa

terpenuhi, secara ekonomi, para pebisnis (industriawan) Indonesia akan

mampu menjadi tuan rumah dari segala produk yang dipasarkan, tujuan

lain yang sangat mendasar adalah melidungi akidah konsumen terutama

yang beragama Islam. Artinya, dengan adanya labelisasi halal, para

konsumen muslim tidak akan lagi ragu dalam mengkonsumsi makanan

yang dibutuhkan.

Halalan tayyiban diatas harus memenuhi kriteria seperti yang ada

dalam buku Himpunan Label Halal MUI (2010:39), bahwasanya ada

ketentuan yang difatwakan MUI tentang kehalalan.produk pangan halal

sesuai dengan syariat Islam meliputi, Halalnya prolehan Bahan Baku

(bahan utama untuk proses produksi), Proses pngelolaannya dan

pengiriman hingga penyajiannya. Sedangkan Produk makanan halal

adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at

Islam (Depag RI, 2008:2), yakni:

1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi;

2. Tidak mengadung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-

bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran dan lain

sebagainya;

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

50

3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih

menurut tata cara syari’at Islam;

4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan,

tempat pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk

babi dan/atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah dipergunakan

untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus

dibersihkan dengan tata cara syari’at Islam;

5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengadung khamar.

4. Prosedur Labelisasi Halal

Label halal dikeluarkan oleh Balai POM, sedangkan sertifikat halal

dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Prosedur pendaftaran label halal adalah

dengan mengajukan surat permohonan ijin pemasangan label halal

dilampiri dengan fotocopi sertifikat halal kepada Balai POM. Adapun

prosedur untuk mendapatkan label, sebagai berikut:

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

51

Prosedur Labelisasi Halal

8

4

3 2

1

5

7

6

Sumber data: Jurnal BPOM

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

52

Penjelasan:

1. pemohon mengajukan permohonan ke Badan Pengawas Obat dan

Makanan dengan persyaratan:

a. surat permohonan pencantuman tulisan label halal pada label

makanan;

b. nama dan alamat pemohon dan/atau nama dan alamat sarana

produksi;

c. nama dagang dan jenis pangan;

d. pernyataan kesediaan memenuhi peraturan pencantuman tulisan

pada label pangan;

e. matrik bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan

pangan;

f. sertifikat halal bahan baku, bahan penolong, dan bahan

tambahan;

g. spesifikasi asal bahan;

h. bagan alir proses produksi;

i. tata letak proses produksi;

j. fotocopi nomor persetujuan pendaftaran (MD/ML/P-IRT) dan

label yang dilegalisir;

k. prosedur kerja (SOP)/ system jaminan mutu.

2. setelah data-data diberikan, maka BPOM akan memeriksa

kelengkapan data yang diajukan oleh pemohon;

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

53

3. jika data yang diajukan kurang lengkap maka BPOM akan

mengembalikan kepada pemohon untuk melengkapi data tersebut;

4. setelah berkas dinyatakan lengkap maka tim auditor akan

melaksanakan audit. Pelaksanaan audit dilakukan pada waktu pabrik

sedang produksi dan tidak renovasi;

5. proses audit dilakukan oleh Badan POM, Departemen Agama dan

LPPOM MUI. Dalam pelaksanaan audit Badan POM melakukan

audit terhadap penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB),

LPPOM MUI melakukan audit terhadap kehalalan bahan yang

digunakan, proses produksi dan penerapan system jaminan halal,

serta Departemen Agama melakukan audit dalam bentuk bimbingan

syariah kepada manajemen perusahaan dan karyawan muslim;

6. Proses audit tidak dilaksanakan secara serentak, dimana pemohon

setelah mendapatkan ijin edar dari BPOM harus mengurus sertifikat

halal produk ke LPPOM MUI. Setelah semua berkas yang diajukan

dan proses audit memenuhi syarat maka MUI mengeluarkan fatwa

halal dan sertifikat halal diterbitkan;

7. sertifikat halal yang dikeluarkan digunakan untuk syarat

permohonan pencantuman label halal pada kemasan produk;

8. Setelah semua prosedur terpenuhi maka Badan POM akan

memberikan persetujuan tulisan halal pada label pangan.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

54

5. Label Halal

Label adalah sejumlah keterangan pada kemasan produk. Secara

umum, label harus berisi nama atau merek produk, bahan baku, bahan

tambahan komposisi, informasi gizi, tanggal kadaluarsa, isi produk, dan

keterangan legalitas22.

Sejumlah keterangan yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui

apakah produk yang dibeli mengandung unsure-unsur yang diharamkan

atau membahayakan bagi kesehatan adalah sebagai berikut:

a. Keterangan bahan tambahan

Kebanyakan produsen tidak merinci jenis bahan-bahan

tambahan yang digunakan. Biasanya digunakan istilah-istilah umum

kelompok seperti stabilizer, pewarna, flavor, enzim, gelling agent atau

hanya menyantumkan kode internasional E untuk bahan tambahan

makanan.

Kode E sendiri adalah kode internasional (Eropa) untuk bahan

tambahan makanan yang diikuti dengan tiga angka dibelakangnya

yang berfungsi sebagai identitas dan pembeda jenis. Beberapa yang

harus diwaspadai misalnya: E252 (dapat berasal dari limbah hewan

atau tumbuhan), E334 (berasal dari limbah pembuatan minuman

anggur/wine), E335, E336, E337, dan E353 (turunan asam tartarat

yang dapat berasal dari limbah pengolahan minuman anggur)23.

22 Anton Apriyantono, Nurbowo, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta: Khairul Bayaan, 2003, hlm. 68 23 Ibid, hlm. 69

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

55

b. Komposisi dan nilai gizi

Secara umum informasi gizi yang diberikan adalah kadar air,

kadar protein, kadar lemak, vitamin, dan mineral. Sering pada

kemasan ditambahkan informasi tambahan seperti kolesterol, tinggi

kalsium dan lainnya. Yang perlu dicermati oleh konsumen adalah

iklan yang bombastis atau berlebihan mengenai manfaat maupun

khasiat yang kondisinya tidak seperti dicantumkan pada iklan.

c. Batas kadaluarsa

Sebuah produk harus dilengkapi dengan tanggal kadaluarsa yang

menyatakan umur pemakaian dan kelayakan pemakaian atau

penggunaan produk. Menurut PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan

Iklan Pangan Pasal 27 ayat 2 berbunyi “Pencantuman tanggal, bulan,

dan tahun yang dimaksud dalam ayat 1 dilakukan setelah

pencantuman tulisan “Baik digunakan sebelum tanggal” sesuai dengan

jenis dan daya tahan produk yang bersangkutan. Sedangkan ayat 3

berbunyi “dalam hal produk pangan yang kadaluarsa lebih dari tiga

bulan dibolehkan hanya mencantumkan bulan dan tahun kadaluarsa

saja”.

d. Keterangan legalitas

Keterangan legalitas memberikan informasi bahwa produk telah

terdaftar dibadan pengawas obat dan makanan (BPOM), berupa kode

nomor registrasi. Kode MD dan SP adalah untuk makanan local dan

ML untuk makanan impor. Kode MD untuk produk industry

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

56

menengah-besar, sedangkan SP untuk industry menengah-kecil.

Namun, masih banyak produk yang berlabel halal akan tetapi tidak

terdaftar sebagai produk yang telah disertifikasi halal, hal ini

khususunya produk yang berkode SP atau tidak berkode sama sekali.

Untuk produk-produk yang demikian, maka pengetahuan konsumen

yang menentukan apakah diragukan kehalalannya atau tidak, jika

ragu-ragu maka sikap yang terbaik adalah tidak membeli produk yang

diragukan kehalalannya.

Suatu benda atau sebuah perbuatan yang kita lakukan tidak

terlepas dari lima perkara, yaitu halal, haram, syubhat, makruh dan

mubah. Terhadap barang atau perilaku yang halal secara mutlak kita

disuruh oleh Allah untuk memakannya, sedangkan terhadap barang

atau perilaku yang haram kita disuruh untuk menjauhinya. Kedua hal

ini disebabkan karena perilaku atau makanan yang halal dapat

menambah cahaya iman dan membuat terkabulnya doa24. Allah Swt

berfirman:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa

yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-

langkah syaiton; karena sesungguhnya syaiton itu adalah musuh yang

nyata bagimu” (Al-Baqarah: 168)

Halal berarti diperbolehkan (oleh hukum agama); tidak haram.

Halal dalam bahasa Arab berasal dari kata halla, yahillu, hillan, yang

24 Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Surabaya: Putra Pelajar, 2002, hlm. 9

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

57

berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan, dan

membolehkan25. Sedangkan secara etimologi halal berarti hal-hal

yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan

ketentuan-ketentuan yang melarangnya26.

Halal sering dikaitkan dengan kata thayyiba. Kata thayyiba

memiliki makna lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama.

Makanan yang thayyiba berarti makanan yang tidak kotor dari segi

zatnya atau rusak (kadaluarsa) atau tercampur dengan benda najis.

Selain itu kata thayyiba juga mengandung beberapa pengertian:

Pertama, makanan sehat yaitu makanan yang mengandung gizi cukup

dan seimbang sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah27:

“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu),

agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan

kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan

kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari

(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur” (An-

Nahl: 14).

Kedua, proporsional yaitu sesuai dengan kebutuhan konsumen,

tidak terlalu berlebihan atau berkekurangan. Hal ini tertuang dalam

surat Al- A’raf ayat 31.

25 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. 1, 1997, hlm. 505 26 Aisyah Girindra, LPPOM MUI Sejarah Sertifikasi Halal, Jakarta: LPPOM, 1998, hlm. 20 27 Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label Halal: Antara Spiritual Bisnis dan Komoditas

Agama, Malang: Madani, 2009, hlm. 10

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

58

“hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap

(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-

lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

berlebihan”.

Ketiga, aman dalam arti makanan yang tidak mendatangkan

penyakit, seperti dalam ayat: “Dan makanlah makanan yang halal lagi

baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah

kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (Al-Maidah: 88)

Pada dasarnya, semua jenis makanan halal dan baik. Akan

tetapi ada beberapa jenis makanan yang diharamkan atau tidak

dibenarkan menurut syariat islam. Sedangkan makanan yang baik

memiliki kualitas yang tinggi dan tidak membahayakan kesehatan.

Begitu juga sebaliknya, ada beberapa makanan yang diharamkan

menjadi halal apabila dalam keadaan darurat, dan menjadi haram

apabila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak28

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,

(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang

tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam

binatang buas, keculali yang sempat kamu menyembelihnya, dan

(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala, dan

(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi

28 Atiqah Hamid, Buku Pintar Halal Haram Sehari-Hari, Jogjakarta: Diva Press, 2012, hlm. 17-18

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

59

nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-

orang kafir telah putusasa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu

janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada

hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-

cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu Jadi

agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa

sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang”. (Surah Al-Maidah : 3)

Semua bahan yang berasal dari hewan, tumbuhan, tanaman

atau bahan tambahan yang diperoleh melalui proses kimia yang

digunakan untuk memproduksi makanan, minuman, obat, kosmetika

dan produk lainnya adalah halal kecuali bahan yang dilarang oleh

syariat Islam29. Berikut ini merupakan makanan dan minuman yang

halal, yaitu :

1. Bukan terdiri atau mengandung bagian atau benda dari binatang

yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang

tidak disembelih menurut ajaran Islam;

2. Tidak mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut

ajaran Islam;

3. Tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan

yang diharamkan menurut ajaran Islam;

29Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm. 38

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

60

4. Dalam proses, penyimpanan dan menghidangkan tidak

bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak

memenuhi persyaratan atau bendan yang dihukumkan sebagai

najis menurut ajaran Islam.

Adapun syarat-syarat produk makanan halal menurut syari’at

islam antara lain adalah sebagai berikut:

a. Halal zatnya

Semua jenis makanan adalah halal dan bisa dimakan, serta sedikit

dari makanan yang diharamkan. Hikmah di balik larangan

tersebut adalah demi kebaikan kita semua, sebagai ujian ketaatan

secara ruhani agar selalu bersyukur dengan semua yang diberikan

oleh Allah.

b. Halal cara memperolehnya

Jika kita sangat berhati-hati dalam memilih makanan, hal tersebut

juga berdampak pada tubuh kita. Oleh karena itu, kita harus

mendapatkannya dengan cara yang baik. Jika cara

mendapatkannya salah maka bisa berdampak pada kehidupan

spiritual (hidup tidak tenang, tidak pernah bersyukur, tidak pernah

puas, serta ibadah dan doanya tidak diterima oleh Allah).

c. Halal dalam memprosesnya

Ketika kita menginginkan makanan halal, terlebih dahulu kita

harus mengetahui prosesnya. Saat prosesnya tidak benar,

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

61

meskipun makanan tersebut halal maka bisa haram. Proses

tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Orang yang menyembelih hewan bukan muslim, tidak

menyebut nama Allah, dan tidak menggunakan pisau tajam;

2. Menyembelih hewan untuk sesaji (dipersembahkan kepada

berhala);

3. Ketika menyembelih hewan, darahnya harus keluar secara

tuntas, serta urat nadi leher dan saluran napasnya harus putus;

4. Bahan-bahan atau alat yang digunakan untuk menyembelih,

memasak, tempat masak, bumbu, dan bahan baku lainnya

diproses secara tidak halal.

d. Halal dalam penyimpanannya

Tempat penyimpanan makanan atau pangan halal tidak boleh

mengandung barang yang diharamkan seperti, babi dan anjing.

e. Halal dalam pengangkutannya

Makanan halal dan barang guna lainnya tidak boleh

diangkut oleh transportasi yang juga dipakai untuk mengangkut

panganan haram seperti daging babi, karena makanan halal

tersebut dapat terkontaminasi oleh pangan haram tersebut.

f. Halal dalam penyajiannya.

Ada beberapa macam teknik mengolah dan menyajikan makanan

yang halal, diantaranya harus cermati asal-usul bahan, jangan

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

62

sampai ada yang berasal dari bahan yang tidak halal, dan tidak

tercemar oleh bahan yang tidak halal, misalnya:

2. Dapur tempat mengolah makanan.

3. Bahan baku, bumbu, dan bahan tambahan lainnya.

4. Bahan mentah sebelum diolah.

5. Bahan jadi setelah diolah.

6. Alat-alat dan tempat makanan yang digunakan.

7. Tempat mencuci alat-alat dan wadah makanan.

Berikut ini beberapa makanan yang diharamkan oleh Allah,

sebagaiman yang dijelaskan di dalam Al-Quran, diantaranya adalah

sebagai berikut:

1. Bangkai

Bangkai merupakan hewan yang mati bukan karena disembelih

atau diburu. Pada bangkai terdapat darah yang mengendap

sehingga bisa membahayakan kesehatan. Secara umum, ada

beberapa macam bangkai, di antaranya:

a. Binatang yang mati tercekik (baik disengaja maupun tidak).

b. Binatang yang dipukul dengan benda keras atau disetrum.

c. Binatang yang mati karena terjatuh dari ketinggian atau

tercebur ke dalam sumur sampai mati.

Dikecualikan dari bangkai tersebut diatas, maka bangkai

yang ada di bawah ini adalah halal untuk dimakan:

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

63

a. Bangkai ikan dan belalang.

b. Bangkai binatang dan tidak mempunyai darah mengalir

seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika

ia jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah

menyebabkan bernajis.

c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit

serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci, karena

asalnya semua ini adalah suci.

2. Darah

Semua jenis darah adalah haram, baik darah yang mengalir atau

tumpah. Darah mengandung bakteri patogen dan bersifat toksik

(beracun).

3. Daging babi

Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran, babi hukumnya

haram, yaitu semua yang terdapat pada babi (daging, lemak, dan

bagian-bagian lainnya). Penyebab babi diharamkan karena

dagingnya mengandung cacing pita (taenia solium) yang

membahayakan tubuh manusia ketika dikonsumsi, lemaknya

paling tinggi daripada lemak hewan lainnya, mengandung

kolesterol tinggi, dan darahnya mengandung asam urat.

4. Binatang yang disembelih bukan karena Allah

Binatang yang disembelih bukan karena Allah yaitu binatang

yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, misalnya

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

64

nama berhala. Jadi sebab diharamkannya binatang yang

disembelih bukan karena Allah di sini ialah semata-mata karena

agama, dengan tujuan untuk melindungi aqidah tauhid,

kemurnian aqidah dan memberantas kemusyrikan dengan sagala

macam manifestasi berhalanya dalam seluruh lapangan.

5. Al-Munkhaniqah

Ialah binatang yang mati karena dicekik, baik dengan cara

menghimpit leher binatang tersebut ataupun meletakkan

kepalanya pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga

binatang tersebut mati.

6. Al-Mauqudzah

Ialah binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan

sebagainya

7. Al-Mutaraddiyah

Ialah binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati.

Yang seperti ini ialah bianatang yang jatuh dalam sumur.

8. An-Nathihah

Ialah binatang yang baku hantam antara satu dengan yang lain

sehingga mati.

9. Maa Akalas Sabu’

Ialah binatang yang disergap oleh binatang buas dengan

dimakan sebagian dagingnya sehingga mati.

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

65

Label halal adalah tanda kehalalan suatu produk30. Produk

merupakan barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,

minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk

rekaya genetic, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau

dimanfaatkan oleh masyarakat berstatus sebagai produk halal.

Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai

dengan syariat islam. Berdasarkan peraturan Pemerintah No. 69

Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa

label pangan adalah setiap keterangan mengenai suatu produk yang

berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau berbentuk lain

yang disertakan pada produk, dimasukkan kedalam, ditempelkan

pada, atau merupakan bagian kemasan pangan31.

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan

yang dikemas dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib

mencantumkan label pada, didalam, dan/atau di kemasan pangan.

Label yang dimaksud adalah label yang tidak mudah luntur atau rusan

serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah dilihat dan

dibaca.

Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999

tentang Label dan Iklan Pangan menyatakan bahwa pencantuman

keterangan halal atau tulisan halal pada label pangan merupakan

30 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Jaminan Produk Halal, Pasal 1 Butir (11) 31Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 1 Butir (3)

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

66

kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan/atau memasukkan

pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan bahwa produknya

halal bagi umat islam.

Pencantuman halal pada suatu label produk adalah suatu

keharusan yang harus dijalankan oleh pelaku usaha untuk lebih

memperhatikan hak konsumen. label halal pun juga harus

mencantumkan hal-hal yang bersifat esensial pada bagian utama label

halal seperti adanya larangan tentang penulisan label halal ditulis

dalam bentuk tulisan yang sulit dilihat, diamati, atau dibaca, hal

tersebut akan berdampak pada hak-hak konsumen32. label halal adalah

jaminan yang diberikan oleh suatu lembaga yang berwenang yaitu

LPPOM MUI untuk memastikan bahwa suatu produk sudah lolos

pengujian kehalalannya.

Tidak mudah untuk memperoleh sertifikasi halal dari LPPOM

MUI. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan oleh perusahaan.

Prosedur sertifikasi halal tersebut yaitu33:

1. Pengajuan permohonan

a. Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha

secara tertulis kepada BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan

Produk Halal)

b. Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan

dokumen:

32 Ibid, Pasal 14 33 Ibid, Pasal 30-34

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

67

1. Data pelaku usaha;

2. Nama dan jenis produk;

3. Daftar produk dan bahan yang digunakan;

4. Proses pengolahan produk.

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan

permohonan sertifikat halal diatur dalam Peraturan Mentri

2. Penetapan Lembaga Pemeriksaan Halal

a. BPJPH menetapkan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) untuk

melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan

produk;

b. Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja

terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap;

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH

diatur dalam Peraturan Menteri.

3. Pemeriksaan dan Pengujian

a. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk

sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dilakukan

oleh auditor halal;

b. Pemeriksaan terhadap produk dilakukan dilokasi usaha pada

saat proses produksi;

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

68

c. Dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdapat bahan yang diragukan kehalalannya, dapat

dilakukan pengujian di laboratorium;

d. Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), pelaku usaha wajib memberikan

informasi kepada auditor halal;

e. LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian

kehalalan produk kepada BPJPH;

f. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian

kehalalan produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan

kehalalan produk.

4. Penetapan Kehalalan Produk

a. Penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI;

b. Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dalam siding fatwa halal;

c. Sidang fatwa halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

mengikutsertakan pakar, unsure kementrian/lembaga,

dan/atau instansi terkait;

d. Sidang fatwa halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

memutuskan kehalalan produk paling lama 30 hari kerja

sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian

produk dari BPJPH;

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

69

e. Keputusan penetapan halal produk sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI;

f. Keputusan penetapan halal produk sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi

dasar penerbitan sertifikat halal.

5. Penerbitan Sertifikat Halal

A. Dalam hal sidang fatwa halal sebagaimana dimaksud dalam

pasal 33 ayat (2) menetapkan halal pada produk yang

dimohonkan pelaku usaha, BPJPH menerbitkan sertifikat

halal;

B. Dalam hal siding fatwa halal sebagaimana dimaksud dalam

pasal 33 ayat (2) menyatakan produk tidak halal, BPJPH

mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku

usaha disertai dengan alasan.

C. Tugas, Wewenang, Fungsi LPPOM MUI Surabaya

LPPOM MUI Jawa Timur mempunyai visi menjadikan lembaga

sertifikasi halal yang diakui konsumen muslim, produsen pangan, obat-obatan

dan kosmetika, pemerintah dalam dan luar negeri. Sedangkan misi dari

LPPOM MUI Jawa Timur adalah melindungi konsumen muslim dari produk-

produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang diharamkan Syari’at Islam.

Sehingga visi dan misi tersebut sejalan dengan motto yang dimiliki yaitu

“Empat Sehat Lima Sempurna Enam Halal Tujuh Thoyyib dan Tidak

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

70

Berlebihan”. Secara garis besar ruang lingkup kegiatan LPPOM MUI Jawa

Timur meliputi:

1. Terlibat secara aktif dalam pengkajian Sistem Jaminan Mutu Halal (Halal

Assurance System atau HAS);

2. Turut serta terlibat secara aktif dalam memasyarakatkan HAS melalui

tulisan di media massa, forum-forum seminar, lokakarya;

3. Menyediakan jasa konsultasi dan pelatihan untuk sosialisasi HAS pada

para pelaku usaha;

4. Menyediakan pelayanan sertifikai halal;

5. Membangun jaringan secara luas antara lembaga sejenis dan lembaga

pendukung dalam skala nasional dan internasional;

6. Melakukan riset secara terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu;

7. Memberi penyuluhan secara berkala akan pentingnya konsumen

mengetahui hak-haknya;

8. Melakukan kegiatan lain yang sejalan dengan visi dan misi LPPOM MUI

Jawa Timur.

Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis ulama

Indonesia Nomor: Kep. 311/MUI/IX/2000, tugas LPPOM MUI adalah

sebagai berikut:

1. Mengaudit makanan, obat-obatan dan kosmetika yang diajukan oleh

produsen untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI;

2. Mengaudit makanan, obat-obatan dan kosmetika yang mencantumkan

label halal pada kemasan produknya;

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

71

3. Menyampaikan hasil auditnya secara rinci dan hasil pengkajiannya

kepada Komisi Fatwa untuk mendapatkan pertimbangan hukum,

selanjutnya akan dikeluarkan sertifikatnya oleh MUI;

4. Mengadakan kegiatan-kegiatan dalam rangka kerjasama dengan instansi

pemerintah dan swasta dalam dan luar negeri, serta melaksanakan tugas

lainnya yang diberikan oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia.

Adapun wewenang LPPOM MUI berdasarkan Surat keputusan

tersebut sebagai berikut:

1. Bersama-sama dengan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia

melaksanakan pembentukan lembaga pengkajian pangan, obat-obatan

dan kosmetika MUI daerah;

2. Mengadakan rapat kerja nasional sekurang-kurangnya dua tahun sekali;

3. Mengadakan kegiatan dalam rangka memasyarakatkan pangan halal

kepada umat islam;

4. Mengundang para ahli untuk mendiskusikan suatu masalah yang

berhubungan dengan pangan, obat-obatan, dan kosmetika;

5. Memberikan teguran, peringatan, baik lisan maupun tertulis kepada

produsen yang menyalahgunakan sertifikat halal yang telah diberikan

MUI, termasuk produsen sengaja mengganti bahan produknya dari yang

diajukan dalam proses sertifikasi.

D. Pengawasan LPPOM MUI Terhadap Sertifikasi Halal

Sistem penegakan hukum dan perlindungan hak dalam pelembagaan

sertifikasi halal adalah yang dilakukan secara kolektif baik oleh pemerintah

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

72

maupun masyarakat, adanya koordinasi lintas kementrian dan lembaga.

Namun setidaknya, pelaksanaan perlindungan dan penegakan hukum perlu

dilakukan upaya pengawasan oleh pemerintah melalui tiga sistem

pengawasan, yakni34:

1. Sistem pengawasan preventif

Pengawasan preventif adalah pengawasan sebelum suatu tindakan

dalam pelaksanaan kegiatan, yang biasanya berbentuk prosedur yang harus

ditempuh dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Sistem pengawasan ini

dilakukan secara dini terhadap produk pangan halal, antara lain berupa

kegiatan pendaftaran yang berbentuk dokumen. Yang mana perusahaan

melaporkan semua data yang berhubungan dengan produk yang meliputi

bahan yang digunakan, proses produksi serta tempat produksi dan

distribusi. Sehingga kecurangan maupun penyalahgunaan terhadap

sertifikat halal dapat diminimalisir keberadaannya.

2. Sistem pengawasan represif

Sistem pengawasan represif ini merupakan pengawasan yang

dilakukan setelah suatu tindakan dilakukan dengan membandingkan apa

yang telah terjadi dengan apa yang seharusnya dan diwujudkan dalam

bentuk pemeriksaan sertempat, verifikasi, monitoring, dan sebagainya.

Pengawasan ini dilakukan ketika sertifikat halal sudah diterbitkan oleh

LPPOM MUI.

34 KN. Sofyan Hasan, Pengawasan dan Penegakan Hukum terhadap Sertifikasi dan Labelisasi

Halal Produk Pangan, Jurnal IUS QUIA IUSTUM no. 2, Vol. 22 April 2015: 290-307

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

73

3. Sistem pengawasan insidental

Sistem pengawasan insidental merupakan proses pengawasan yang

dilakukan lembaga terkait yaitu LPPOM MUI beserta penegak hukum

lainnya dan masyarakat terhadap keamanan dan keselamatan pangan halal

yang dilakukan dengan cara inspeksi mendadak (sidak).

Ketiga sistem diatas, selain dilakukan oleh aparat penegak hukum, perlu

juga melibatkan peran serta masyarakat dan lembaga yang berkompeten

terutama mengenai persoalan halal-haram, representasi mayoritas penduduk

muslim, dan sekaligus lembaga yang mendapat pengakuan pemerintah dalam

rangka menegakkan hukum Undang-Undang Jaminan Produk Halal, upaya

perlindungan dan penegakan hukum khususunya sertifikasi dan labelisasi

produk halal. Undang-Undang Jaminan Produk Halal juga telah mengatur

ketentuan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Jaminan Produk

Halal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 53 Undang-Undang Jaminan

Produk Halal35.

Dalam pengawasan preventif dilakukan oleh auditor LPPOM MUI.

Setelah dokumen dimasukkan oleh pelaku usaha ke sekretariat LPPOM MUI,

maka LPPOM MUI akan memeriksa kelengkapan berkas dan untuk

selanjutnya auditor akan melihat proses produksi hingga pengemasan secara

langsung. Auditor LPPOM MUI adalah orang yang diangkat oleh LPPOM

MUI setelah melalui proses seleksi kompetensi, kualitas dan integritasnya dan

ditugaskan untuk melaksanakan audit halal. Auditor LPPOM MUI berperan

35 Ibid, hlm. 305

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

74

sebagai wakil ulama dan saksi untuk melihat dan menemukan fakta kegiatan

produksi halal di perusahaan. Sesuai dengan pasal 13 Undang-Undang

Jaminan Produk Halal, yang berbunyi bahwa untuk mendirikan LPH harus

dipenuhi syarat salah satunya memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga)

orang. Pada LPPOM MUI mempunyai 23 orang auditor halal, diantaranya:

1. Prof. Dr. H. Noor Cholis Zaini, Apt.

2. Prof. Dr. H. Sugijanto, M.S.

3. Harjana, Drs., M.Sc.

4. Yusuf Syah, Drs., M.S.

5. Dr. R.Y. Perry Burhan

6. Adam Wiryawan, Ir., M.S.

7. Ainul Yaqin, S. Si. Apt.

8. Prof. H. Mas’ud Hariadi, drh., M.Phill., Ph.D.

9. Dr.rer. nat. H. M. Yuwono, M.S.

10. Rosyidan Usman, Ir

11. Yulfi Zetra, Dra., M.S.

12. Fitri Choirun Nisa, S.T.P., M.P.

13. Siti Narsito Wulan, S.T.P., M.P

14. Lilik Fatmawati, S.T.P.

15. Khoirul Anwar, S. Ag., M.E.I.

16. Sofiyan Hadi, Drs., M.Kes.

17. Abdul Samik, drh., M.Si.

18. Abdul Hakim, S.Si. Apt.

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

75

19. Ervin Tri Suryandari, S.Si., M.Si.

20. Qurrotu Aini, S.Si.

21. Nur Indah Syamsiyati, S.Si.

22. Dr. Aulanni’am, drh., DES

23. Anna Roosdiana, Dra., M.App.Sc

Syarat untuk menjadi auditor halal yang tercantum dalam Pasal 14 ayat

(2) Undang-undang Jaminan Produk Halal yaitu:

1. Warga negara Indonesia;

2. Beragama islam;

3. Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 di bidang pangan, kimia,

biokimia, teknik industry, biologi atau farmasi;

4. Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk

menurut syariat islam;

5. Mendahulukan kepentingan umat diatas kepentingan pribadi dan/atau

golongan, dan;

6. Memperoleh sertifikat MUI.

Dalam menjalankan tugasnya, auditor halal mempunyai tugas

diantaranya:

1. Memeriksa dan mengkaji bahan yang digunakan;

2. Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan produk;

3. Memeriksa dan mengkaji system penyembelihan;

4. Meneliti lokasi produk;

5. Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;

Page 59: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

76

6. Memeriksa pendistribusian dan penyajian produk;

7. Memeriksa system jaminan halal pelaku usaha, dan;

8. Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

Setelah melakukan pemeriksaan di lokasi produksi, auditor halal akan

melaporkan semua kegiatan produksi mulai dari awal proses produksi hingga

pengemasan untuk selanjutnya akan dilakukan sidang fatwa. Namun ketika

dalam kegiatan tersebut auditor menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan

prosedur maka auditor akan memberikan peringatan supaya prosedur tersebut

disesuaikan dengan berkas yang diberikan atau proses pengeluaran sertifikat

halal tidak akan dilanjutnya sampai perusahaan menyesuaikan berkasnya.

Untuk selanjtnya setelah sertifikat halal diterbitkan, LPPOM MUI tidak

serta merta melepas perusahaan tersebut tanpa adanya pengawasan.

Pengawasan dialihkan kepada auditor halal internal, dimana auditor ini

merupakan kepanjangan tangan dari LPPOM MUI untuk mengawasi proses

produksi di perusahaan. Auditor halal internal adalah petugas yang diangkat

perusahaan untuk mengawasi dan menjaga kehalalan produk sesuai dengan

aturan yang ditetapkan oleh lembaga pemeriksa.

Dalam melaksanakan tugas, tidak sembarang orang dapat menjalankan

hal tersebut, adapun persyaratannya yaitu36:

1. Karyawan tetap perusahaan bersangkutan;

2. Seorang muslim yang mengerti dan menjalankan syariat islam;

3. Berada dalam lingkup manajemen halal;

36 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, hal 19-20

Page 60: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

77

4. Berasal dari bagian yang terlibat dalam proses produksi secara umum

seperti bagian QA/QC, R&D, purchasing, produksi dan pergudangan;

5. Memahami titik kritis kehamaran produk, ditinjau dari bahan maupun

proses produksi secara keseluruhan;

6. Diangkat melalui keputusan pimpinan perusahaan dan diberi kewenangan

penuh untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan

SJH termasuk tindakan perbaikan terhadap kesalahan sampai pada

penghentian produksi atau penolakan bahan baku, sesuai dengan aturan

yang ditetapkan LPPOM MUI.

Tugas dari auditor halal internal diantaranya37:

1. Menyusun manual SJH perusahaan;

2. Mengkoordinasikan pelaksanaan SJH;

3. Membuat laporan pelaksanaan SJH;

4. Melakukan komunikasi dengan pihak LPPOM MUI.

Pengawasan yang dilakukan oleh auditor halal internal ini diatur dalam

Keputusan Menteri Agama RI Nomor 518 tahun 2001 tentang Pedoman dan

Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Audit halal internal ini

dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan atau pada saat terjadi perubahan-

perubahan yang mempengaruhi status kehalalan produk dan kemudian

dilaporkan kepada LPPOM MUI untuk dilakukan evaluasi, yang mana

dijelaskan pada pasal 9, yang berbunyi:

37 Ibid, hal 28

Page 61: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

78

“jika dikemudian hari terjadi perubahan proses produksi, nahan baku,

bahan tambahan atau bahan penolong, auditor halal internal wajib segera

melapor kepada lembaga pemeriksa untuk dievaluasi dan diperoleh

persetujuan sebelum digunakan”

Pengawasan insidental merupakan pengawasan yang dilakukan dengan

cara sidak. Pengawasan ini merupakan gabungan dari auditor LPPOM MUI

dan masyarakat (LPKSM). Dalam hal pengawasan ini diatur dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen pasal 30 yang menentukan bahwa:

1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta

penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan diselenggarakan

oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat;

2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1

dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait;

3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang

beredar di pasar;

4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata

menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil

tindakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;

5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan

Page 62: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

79

kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri

teknis;

6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan, sebagaimana dimaksud pada

ayat 1, ayat 2, ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pengawasan yang melibatkan peran serta masyarakat juga diatur dalam

Pasal 53 undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal dan pada Pasal

12 Keputusan Mentri Agama No. 518 tahun 2001 tentang Pedoman dan

Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Pengawasan ini

dilakukan ketika produk telah beredar di pasaran. Ketika produk tersebut

terindikasi bahan yang tidak sesuai maka Lembaga Pemeriksa (auditor

LPPOM) akan melakukan sidak ke lokasi yang bersangkutan.

E. Tugas, Wewenang, Fungsi BPOM Surabaya

Sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan POM RI, Balai Besar POM di

Surabaya berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Badan POM

RI, mempunyai tugas pokok melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan

produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional,

kosmetika, produk komplemen, keamanan pangan dan bahan berbahaya.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut diatas, Balai Besar POM

menyelenggarakan:

1. Penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan;

2. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian

mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat

tradisional, kosmetika, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya;

Page 63: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

80

3. Pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan penilaian mutu

produk secara mikrobiologi;

4. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan

pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi;

5. Investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum;

6. Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen;

7. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan;

8. Pelaksanaan urutan tata usaha dan kerumahtanggaan;

9. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM, sesuai

dengan bidang tugasnya.

Berdasarkan kondisi umum, potensi, permasalahan dan tantangan

yang dihadapi ke depan, maka BPOM Jawa Timur sesuai dengan tugas dan

fungsinya sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Badan POM di wilayah Jawa

Timur, dituntut untuk dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat/khasiat

sesuai standart yang telah ditetapkan. Untuk itu, ditetapkan visi, misi, tujuan

dan sasaran Balai Besar POM di Surabaya, diantaranya:

I. VISI

“Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan

Daya Saing Bangsa”

Penjelasan Visi:

Proses penjaminan pengawasan Obat dan makanan harus

melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan, dilaksanakan

secara akuntabel serta diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan

Page 64: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

81

kesehatan yang lebih baik. Sejalan dengan itu, maka pengertian kata

aman dan daya saing adalah sebagai berikut:

Aman : Keadaan bebas dari bahaya, semua

produk obat dan makanan harus dijamin

keamanannya agar tidak membahayakan

bagi penggunanya.

Daya Saing : Kemampuan menghasilkan produk

barang dan jasa yang tekah memenuhi

pengujian standart nasional maupun

internasional. Sehingga adanya kesiapan

suatu produk bangsa untuk interaksi daya

saing di masa depan. Agar menjadi

kompetitif dalam arti ini adalah memiliki

peluang untuk menang bagi sejumlah

pemain industry yang menghadapi biaya

tinggi.

II. MISI

Untuk mewujudkan visi diatas, diperlukan tindakan nyata sesuai

dengan penguatan peran Balai Besar POM Jawa Timur sebagaimana

yang telah ditetapkan. Adapaun misi yang akan dilaksanakan sesuai

dengan peran tersebut untuk periode 2015-2019 adalah:

1. Meningkatkan sistem pengawasan obat dan makanan berbasis

risiko untuk melindungi masyarakat;

Page 65: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

82

Pengawasan obat dan makanan merupakan satu kesatuan fungsi

(full spectrum) standarisasi, penilaian produk sebelum beredar,

pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, sampling dan

pengujian produk serta penegakan hukum. Menyadari

kompleksnya tugas yang diemban Balai Besar POM Jawa Timur

dalam melindungi masyarakat dari produk yang tidak aman

dengan tujuan akhir adalah masyarakat sehat serta berdaya saing

maka perlu disusun suatu sasaran strategis khusus yang mampu

mengawalnya. Di satu sisi tantangan dalam pengawasan obat dan

makanan semakin tinggi sementara sumber daya yang dimiliki

terbatas, maka perlu adanya prioritas dalam penyelenggaraan

tugas.

2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan

jaminan keamanan obat dan makanan serta memperkuat

kemitraan dengan pemangku kepentingan;

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Balai Besar POM

Jawa Timur tidak dapat berjalan sendiri, shingga diperlukan

kerjasama atau kemitraan dengan pihak lainnya. Sebagai salah

satu pilar Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) yaitu

pelaku usaha mempunyai peran yang sangat strategis dalam

menjamin keamanan produk obat dan makanan. Pelaku usaha

merupakan pemangku kepentingan yang mampu memberikan

jaminan produk yang memenuhi standart dengan memenuhi

Page 66: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

83

ketentuan yang berlaku terkait dengan produksi dan distribusi

obat dan makanan dengan kepatuhan terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai lembaga pengawas, Balai Besar POM Jawa Timur

harus mampu mendorong pelaku usaha memproduksi produk obat

dan makanan yang aman, bermanfaat/berkhasiat dan bermutu.

Dengan pembinaan secara berkelanjutan, ke depan diharapkan

pelaku usaha mempunyai kemandirian dalam memberikan

jaminan keamanan obat dan makanan.

3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan Badan POM;

Balai Besar POM sebagai UPT Badan POM melaksanakan

tugas tertentu yang tidak hanya bersifat teknis semata (techno

structure) namun juga melaksanakan fungsi pengaturan

(regulating), pelaksana (executing), dan pemberdayaan

(empowering).

4. Misi BPOM merupakan penjabaran pelaksanaan misi yang sesuai

dengan tugas dan fungsinya sebagai unit pelaksana teknis.

Pengawasan pre dan post market yang berstandart

internasional diterapkan dalam rangka memperkuat BPOM

menghadapi tantangan globalisasi. Dengan penjaminan mutu

produk obat dan makanan yang konsisten, yaitu memenuhi

standar aman, berkhasiat/bermanfaat dan bermutu diharapkan

BPOM mampu melindungi masyarakat dengan optimal.

Page 67: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

84

F. Pengawasan BPOM Terhadap Labelisasi

Dalam rangka pengawasan obat dan makanan dibutuhkan adanya

regulasi yang kuat guna mendukung system pengawasan. Sebagai Lembaga

Pemerintah Non Kementrian (LPNK) yang mempunyai tugas teknis tidak

hanya regulasi yang bersifat teknis saja yang harus dipenuhi, melainkan perlu

adanya regulasi yang bersifat administrative dan strategis. Pengawasan obat

dan makanan merupakan tugas pemerintahan yang tidak dapat dilakukan

sendiri, dan dalam prakteknya dibutuhkan kerjasama dengan banyak sektor

terkait baik pemerintah mapun swasta.

Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan yang

berdimensi luas dan kompleks, maka telah diterapkan Sistem Pengawasan

Obat dan Makanan (SISPOM) tiga pilar, yang melibatkan peran dan tanggung

jawab semua pihak yang terkait dalam satu jaringan yang bersinergi semenjak

awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar di masyarakat.

SISPOM tiga pilar meliputi38:

1. Sistem pengawasan oleh produsen/pelaku usaha, yaitu pelaksanaan cara

produksi yang baik atau GMP dan pemastian mutu produk sebelum

diedarkan melalui uji laboratorium, pemantauan mutu dan pelaporan

keamanan produk yang telah diedarkan. Hal ini karena secara hukum

produsen bertanggung jawab atas jaminan mutu, khasiat/manfaat, dan

keamanan produk serta kebenaran informasi sesuai yang dijanjikan saat

registrasi/pendaftaran produk di Badan POM;

38 Laporan Tahunan BPOM Tahun 2014, hal. 69

Page 68: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

85

2. Pengawasan oleh BPOM, yang dilakukan melalui penyusunan

peraturan, pedoman pengawasan dan standarisasi sarana dan produk,

penilaian keamanan, khasiat/manfaat dan mutu serta informasi produk

sebelum produk diedarkan, inspeksi sarana distribusi dalam rangka

sertifikasi cara distribusi yang baik dan penerapan GDP, sertifikasi

ekspor dan import, penilaian penandaan dan iklan, pengambilan sampel

dan pengujian laboratorium terhadap produk yang telah ada di

peredaran, peringatan kepada public (public warning) terhadap produk

yang ditemukan dapat memberi dampak buruk bagi kesehatan dan

investigasi awal dan proses penegakan hukum terhadap berbagai pihak

yang melakukan penyimpangan cara produksi dan distribusi, maupun

pengedaran produk illegal/palsu;

3. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat

konsumen. BPOM telah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi

untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai kualitas

produk yang digunakan, karena pada akhirnya masyarakat sendiri yang

menentukan penggunaan suatu produk. Masyarakat dengan tingkat

pengetahuan dan kesadaran yang tinggi akan mampu membentengi diri

sendiri dari penggunaan produk yang tidak memenuhi syarat.

Disamping itu masyarakat yang telah diberdayakan akan mendorong

produsen untuk lebih berhati-hati dalam menjaga kualitas produknya

(community empowerment induce voluntary compliance).

Page 69: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

86

Sistem pengawasan obat dan makanan yang diselenggarakan oleh

BPOM merupakan suatu proses yang komprehensif, mencakup pengawasan

pre-market dan post market sistem tersebut terdiri dari39:

1. Standarisasi yang merupakan fungsi penyusunan standart dan kebijakan

terkait dengan pengawasan obat dan makanan. Standarisasi dilakukan

terpusat, dimaksudkan untuk menghindari perbedaan standart yang

mungkin terjadi akibat setiap provinsi membuat standart sendiri;

2. Penilaian (pre-market evaluation) yang merupakan evaluasi produk

sebelum memperoleh ijin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan

diedarkan kepada konsumen. penilaian dilakukan terpusat, dimaksudkan

agar produk yang memiliki ijin edar berlaku secara nasional;

3. Pengawasan setelah beredar (post-market control) untuk melihat

konsistensi mutu produk, keamanan, dan informasi produk yang

dilakukan dengan melakukan sampling produk obat dan makanan yang

beredar, serta pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat dan

makanan, pemantauan farmakovigilan dan pengawasan label/penandaan

dan iklan. Pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan

terpadu, konsisten, dan standart;

4. Pengujian laboratorium, produk yang di sampling berdasarkan risiko

kemudian diuji melalui laboratorium guna mengetahui apakah obat dan

makanan tersebut telah memenuhi syarat keamanan, khasiat/manfaat dan

mutu. Hasil uji laboratorium ini merupakan dasar ilmiah yang digunakan

39 Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Kebijakan Strategis BPOM, www.pom.go.id, diunduh 18 Feb 2017

Page 70: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

87

untuk menetapkan produk tidak memenuhi syarat yang digunakan untuk

ditarik dari peredaran;

5. Penegakan hukum di bidang pengawasan obat dan makanan. Penegakan

hukum didasarkan pada bukti hasil pengujian, pemeriksaan, maupun

investasi awal. Proses penegakan hukum sampai dengan projustitia dapat

berakhir dengan pemberian sanksi administrative seperti dilarang untuk

diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut ijin edar, disita untuk

dimusnahkan. Jika pelanggaran masuk pada ranah pidana, maka terhadap

pelanggaran obat dan makanan dapat diproses secara hukum pidana.

Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawas Obat

dan Makanan terbagi menjadi 2 tahapan yaitu Pre-market dan Post-Market.

Dalam hal pengawasan pre-market dan post-market dilakukan sejalan dengan

misi BPOM yaitu Meningkatkan sistem pengawasan obat dan makanan

berbasis risiko untuk melindungi masyarakat. Bentuk perlindungan yang

diberikan pemerintah kepada konsumen terhadap label yakni pengawasan,

yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan. Pada Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang membahas mengenai label diatur

dalam pasal 97 huruf e, dalam label halal ini menjadi sukarela pengurusannya

tidak menjadi wajib, pemberian label hanya untuk yang menginginkan label.

Setelah dikeluarkannya undang-undang tentang jaminan produk halal,

pengurusan label menjadi wajib, namun fakta dilapangan masih banyak

perusahaan maupun pelaku usaha lain yang belum melakukan pengurusan

sertifikat halal dan label. Dalam pencantuman label bukan hanya sekedar

Page 71: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

88

memberikan agar konsumen percaya bahwa produk tersebut baik dan aman

untuk dikonsumsi. Namun setelah mendapatkan label halal tersebut, pelaku

usaha juga harus mempertanggung jawabkan atas kebenaran yang mana

dijelaskan dalam pasal 101.

Terdapat jaminan yang diberikan pemerintah kepada konsumen muslim

agar terjaganya produk makanan pada label halal agar terhindar dari

kecurangan yang diakukan oleh pelaku usaha. Pemerintah yang melakukan

pengawasan terhadap pangan yakni dijelaskan dalam pasal 108, pasal 109,

dan pasal 110. Dimana secara garis besar pemerintah menyelenggarakan

program pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap

kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau

peredaran pangan oleh pelaku usaha pangan.

Label halal juga dibahas dalam Undang-Undang tentang Jaminan

Produk Halal. Undang-undang yang disikapi terbuka oleh konsumen terutama

konsumen muslim karena dijamin dalam produk pangan menjadi terlindungi

akan kenyamanan dan keamanan pada produk makanan berlabel halal.

Ketentuan terhadap produk makanan berlabel halal dalam UU JPH dijelaskan

pada pasal 4, yakni:

“produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia

wajib bersertifikat halal”

Setelah pengurusan sertifikasi halal, pelaku usaha wajib mencantumkan

label halal terhadap produk, pengaturan ini tertuang dalam pasal 25 huruf a.

Ketentuan ini menjadi pedoman bagi pelaku usaha/produsen bahwa yang

Page 72: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

89

akan beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat

halal. Namun dalam hal ini pengurusan sertifikat halal dan label masih

merupakan sukarela dari pelaku usaha. Padahal dalam undang-undang sudah

diwajibkan untuk pengurusannya. Hal seperti inilah yang menjadi evaluasi

besar pemerintah mengenai kurangnya sosialisasi kepada pelaku usaha

terhadap hal ini.

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 73/M-

DAG/PER/9/2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa

Indonesia Pada Barang secara garis besar dijelaskan bahwa pelaku usaha

wajib mencantumkan label pada produk yang akan diedarkan di pasaran.

Bentuk pengawasan terhadap pencantuman label dilakukan oleh menteri dan

didelegasikan kepada Direktur Jendral yang menangani bidang perlindungan

konsumen.

Menurut pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang

Label dan Iklan Pangan, pengawasan terhadap ketentuan label dan iklan

pangan dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan. Pelaksanaan pencantuman

keterangan halal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari label, turut

menjadi domain Menteri Kesehatan. Menteri Agama beserta lembaga

keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang kehalalan, menurut pasal 11

Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan membuat pedoman dan

tata cara pemeriksaan kebenaran pernyataan halal.

Kementrian Kesehatan melalui BPOM merupakan perwakilan

pemerintah yang bertugas melaksanakan pengawasan atas produk makanan.

Page 73: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perlindungan ...eprints.umm.ac.id/37720/3/jiptummpp-gdl-elianadama-47910-3-babii.pdfPasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

90

Namun, kewenangan BPOM juga terbatas karena BPOM hanya berwenang

menangani produk pangan olahan yang sudah dikemas saja, selain itu

berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996

kewenangan BPOM terbatas menangani perusahaan skala besar dengan ijin

edar berlabel MD (Makanan Dalam Negeri) atau ML (makanan Luar negeri).

Sementara tidak semua produk halal merupakan produk berlabel, hanya

produk yang dikemas saja yang mempunyai label. Untuk produk yang tidak

dikemas seperti produk siap saji dan produk restoran belum ada aturan yang

mengatur berkaitan dengan masalah pengawasan kehalalan40.

40 Ibid, hlm. 127