bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang perlindungan...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan
perlindungan adalah (1) Tempat berlindung; (2) Perbuatan (hal dan
sebagainya) memperlindungi11. Pemaknaan kata perlindungan secara
kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur,
yaitu (1) unsur tindakan melindungi; (2) unsur pihak-pihak yang
melindungi; (3) unsur cara-cara melindungi. Dengan demikian, kata
melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu
dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Perlindungan yang diberikan terhadap konsumen bermacam-
macam, dapat berupa perlindungan ekonomi, sosial, politik. Perlindungan
konsumen yang paling utama dan yang menjadi topik pembahasan ini
adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan bentuk
perlindungan yang utama karena berdasarkan pemikiran bahwa hukum
sebagai sarana yang dapat mengakomodasi kepentingan dan hak
konsumen secara komprehensif. Di samping itu, hukum memiliki
kekuatan memaksa yang diakui secara resmi di dalam negara, sehingga
dapat dilaksanakan secara permanen. Berbeda dengan perlindungan
11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua Cet. 1, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 595
19
institusi lainnya seperti perlindungan ekonomi atau politik misalnya,
yang bersifat temporer atau sementara12.
Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan oleh
hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana
hukum. Hukum dalam memberikan perlindungan dapat melalui cara-cara
tertentu, antara lain yaitu dengan:
a. Membuat peraturan (by giving regulation) bertujuan untuk:
1) Memberikan hak dan kewajiban;
2) Menjamin hak-hak para subjek hukum.
b. Menegakkan peraturan (by law enforcement) melalui:
1) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah
(preventive) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan
perijinan dan pengawasan;
2) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive)
pelanggaran UUPK, dengan mengenakan sanski pidana dan
hukuman;
3) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative;
recovery; remedy) dengan membayar kompensasi atau ganti
kerugian.
2. Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika),
atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer
12 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung: UNILA, 2007, hlm. 30-31
20
adalah setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan
barang dan jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana
pengguna tersebut.13
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
konsumen adalah:
“setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Penjelasan pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disebutkan di dalam kepustakaan
ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk, sedangkan kosnumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah
konsumen akhir.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, konsumen adalah
setiap orang/badan hukum yang memperoleh dan/atau memakai
barang/jasa yang berasal dari pelaku usaha dan tidak untuk
diperdagangkan (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004:7). Sedangkan
pengertian konsumen muslim adalah sekelompok konsumen yang 13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001, hlm. 3
21
menerapkan syarian atau hukum islam dalam kehidupan sehari-hari
termasuk didalamnya pada aspek makanan yang aman, tidak hanya
sekedar terbebas dari bahaya fisik, kimia ataupun mikrobiologi semata,
namun juga terdapat suatu unsure yang hakiki yakni aman dari bahaya
barang yang diharamkan dan diragukan kehalalannya.
3. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan dari hal-hal yang merugikan
konsumen itu sendiri. Pengertian perlindungan konsumen dalam pasal 1
angka 1 Undang-UndangNo. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada dua persyaratan utama
dalam perlindungan konumen, yaitu adanya jaminan hukum (law
guarantee) dan adanya kepastian hukum (law certanty).
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang
diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar
pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu
merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya undang-undang
perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen
memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa
22
menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau
dilanggar oleh pelaku usaha14.
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia.
Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan
berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling
ketergantungan anatara konsumen, pengusaha dan pemerintah.
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan
(Nurmadjito,2000:7):
a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;
b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan
seluruh pelaku usaha;
c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang
menipu dan menyesatkan;
e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan dan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan lain.
Sebagai pemakai barang atau jasa, konsumen memiliki sejumlah
hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat
penting agar orang bias bertindak sebagai konsumen yang kritis dan
mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya. Konsumen kemudian bias bertindak lebih jauh untuk
14 Happy Susanto, Hak-hak konsumen jika dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008, hlm. 4
23
memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal
diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh
pelaku usaha.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 4, hak-
hak konsumen sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang atau jasa;
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian,
jika barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
24
Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-
hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum
tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden
Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962, melalui “A special
Massage for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal
dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer
Right) yaitu terdiri dari:
a. Hak memperoleh keamanan;
Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap
pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan
jiwa atau diri konsumen.
b. Hak memilih;
Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan
membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang
dibutuhkannya.
c. Hak mendapat informasi;
Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang
lengkap mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya, baik
secara langsung maupun secara umum melalui media komunikasi agar
tidak menyesatkan
d. Hak untuk didengar;
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa
kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola
25
kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam
pembentukan kebijakan tersebut15.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak
Asasi Manusia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada pasal 3, 8,
19, 21, dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia
(International Organization of Consumers Union/IOCU) ditambahkan
empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu16:
a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Kewajiban konsumen sebagaimana diatur pada Pasal 5 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang da/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut. 15 Ari Purwari, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika: FH UNAIR, 1992, Hlm. 49-50. 16 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2006, hlm. 2
26
5. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen
Dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen
muncul doktrin-doktrin mengenai kedudukan konsumen dalam
hubungannya dengan pelaku usaha (Shidarta, 2000:50), yakni:
a. Let the buyer beware
Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak
yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si
konsumen.
b. The due care theory
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk baik barang
maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat
dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku sistem pembuktian siapa yang
mendalilkan maka dialah yang membuktikan.
c. The privity of contract
Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut baru bisa dilakukan
apabila antara konsumen dan pelaku usaha telah melakukan hubungan
secara kontraktual.
6. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Tugas dari hukum sendiri khususnya hukum ekonomi adalah
menciptakan kesimbangan baru antara kepentingan-kepentingan
konsumen, para produsen, masyarakat dan pemerintah. Dinamika yang
27
reaksioner, khususnya dengan globalisasi ekonomi, membuat kita
berpikir proaktif termasuk didalamnya dengan melakukan pembaharuan
hukum17.
Komitmen konstitusional bangsa dengan jelas menyebutkan,
seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
Tapi harapan itu berhadapan dengan kenyataan mengenai perkembangan
ekonomi yang semakin terbuka. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan pembangunan ekonomi
nasional pada era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang
dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana
penting kesejahteraan rakyat dan sekaligus mendapatkan kepastian atas
barang dan jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan
kerugian konsumen.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam realitanya banyak produk
yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.
Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki
keterkaitan dengan pengaturan produk halal belum memberikan
kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Pada penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen,
serta kepastian hukum”. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut
17 N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta: Panta Re, 2005, hlm. 81
28
mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan
hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen
yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, asas yang relevan dalam
pembangunan nasional yaitu:
a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa
melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen
ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak
dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu undang-undang
perlindungan konsumen mengatur sejumlah hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha;
c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan kepentingan konsumen, pelaku usaha dan
pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki
agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat
yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen. kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan
29
pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai
dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat
perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain
sebagai komponen Bangsa dan Negara;
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki
adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat
dari produk yang dikonsumsi/dipakai dan sebaliknya bahwa produk
itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan
harta bendanya;
e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin
kepastian hukum. Artinya undang-undang perlindungan konsumen
mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang
terkandung didalamnya harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh
karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-
undang perlindungan konsumen sesuai dengan yang diharapkan.
30
Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam pasal 3 Undang-
Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau
jasa;
c. Meingkatkan pemberdayaan konsumen dan memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meingkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
7. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen
Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam rangka melindungi
kepentingan konsumen dapat ditempuh melalui banyak cara, yakni:
31
a. Perlindungan secara individual
Mengingat bahwa konsumen pada umumnya menjadi pihak yang
lemah dan banyak dirugikan atas tindakan pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab dan masih banyaknya konsumen yang tidak
menyadari akan hak-haknya sebagai konsumen maka salah satu cara
perlindungan individual yang dilakukan adalah memberdayakan
konsumen dengan memberikan pendidikan konsumen, pendidikan
disini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam memilih dan
menggunakan produk yang akan dikonsumsi sehingga diharapkan
dapat terhindar dari kerugian yang diderita akibat penggunaannya.
Dari hal tersebut konsumen akan dapat melindungi dirinya sendiri dan
dapat bertindak benar ketika dirugikan.
b. Perlindungan dari pelaku usaha
Pada perlindungan ini, pelaku usaha harus memperhatikan
kewajibannya sebagai pelaku usaha terhadap konsumen seperti
tercantum secara yuridis pada pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. pelaku usaha harus memenuhi
persyaratan keamanan dan keselamatan yang ditentukan oleh
pemerintah.
Dalam hal ini pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama
dengan konsumen, sebagaimana tercantum dalam pasal 6 Undang-
Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen yakni:
32
1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketan konsumen;
4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
c. Perlindungan dari negara atau pemerintah
Selain memberikan perlindungan konsumen melalui berbagai
undang-undang, langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah
dengan mengatur dan mengawasi dan mengendalikan produksi,
distribusi, dan peredaran produk.
Selama ini upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk melindungi
umat dari mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk
mendukung hak informasi konsumen agar mengetahui kehalalan
produk sudah berjalan dengan baik, yaitu melalui sertifikasi halal dari
MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal pada label produk.
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran karena pemalsuan
33
sertifikat halal dan label halal melanggar beberapa ketentuan peraturan
perundangan, diantaranya pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2012
tentang Pangan disebutkan pada pasal 141, yakni:
“Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan pangan
yang tidak sesuai dengan kemasan pangan dan mutu pangan yang
tercantum dalam label kemasan pangan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 89, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau
denda paling banyak Rp. 4.000.000.000 (empat miliar rupiah”.
Ketentuan mengenai sanksi pidana pada Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan dalam pasal
62 ayat (1), bahwa:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah)”.
Ancaman pidana tambahan bagi pelaku usaha yang melanggar
ketentuan, yang disebutkan pada pasal 63 yakni: “Terhadap sanksi
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan
hukuman tambahan berupa:
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman keputusan hakim;
34
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau;
f. Pencabutan izin usaha.”
Selain sanksi pidana terdapat sanksi administratif seperti
disebutkan pada PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan iklan
Pangan yang tercantum pada pasal 61 yang menyebutkan:
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan pemerintah ini dikenakan tindakan
administratif;
2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Peringatan secara tertulis;
b. Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau
perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran;
c. Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan
dan jiwa manusia;
d. Penghentian produksi untuk sementara;
e. Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah), dan/atau;
f. Pencabutan ijin usaha atau ijin produksi.
35
d. Perlindungan dari lembaga atau organisasi konsumen
Undang-undang perlindungan konsumen memberikan pengakuan
terhadap keberadaan organisasi konsumen atau Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) seperti
disebutkan pada pasal 44 ayat (1) undang-undang no. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yakni:
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat.
Untuk melindungi kepentingan konsumen, tugas dari LPKSM
adalah:
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran
atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerja sama dengan instansi terkat dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
36
B. Tinjauan tentang Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal
1. Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat atau Provinsi tentang halalnya
suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang
diproduksi oleh perusahaan setelah diteliti dan dinyatakan halal oleh
LPPOM MUI. Pemegang otoritas menerbitkan sertifikasi produk halal
adalah MUI yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM). Masa berlaku sertifikat
ini adalah 2 tahun. Menurut Girindra (1997) pelaksanaan sertifikasi dan
labelisasi pada produk pangan terus dikembangkan sejalan dengan
harapan sebagian besar masyarakat (pemeluk agama islam) yang
menghendaki adanya jaminan kepastian kehalalan setiap jenis pangan
yang dikonsumsinya.
Pengertian sertifikat halal menurut Surat Keputusan Menteri
Agama RI No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal yakni pada Pasal 1 huruf (d)
bahwa “Sertifikat halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan
suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh lembaga pemeriksaan”.
Fatwa MUI yang menyatakn kehalalan suatu produk sesuai dengan
syariat islam. Tujuan pelaksanaan sertifikasi halal pada produk pangan
adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga
dapat menentramkan batin yang mengkonsumsinya.
37
Bagi konsumen, sertifikat halal memiliki beberapa fungsi. Pertama,
terkindunginya konsumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat-
obatan dan kosmetik yang tidak halal. Kedua, secara kejiwaan perasaan
hati dan batin konsumen akan tenang. Ketiga, mempertahankan jiwa dan
raga dari keterpurukan akibat produk haram. Keempat, akan memberikan
kepastian dan perlindungan hukum18.
Bagi produsen, sertifikat halal mempunyai beberapa peran penting.
Pertama, sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen
muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup
muslim. Kedua, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen.
ketiga, meningkatkan citra dan daya saing perusahaan. Dan keempat,
sebagai alat pemasaran serta untuk memperluas area jaringan pemasaran
dan kelima, memberi keuntungan pada produsen dengan meningkatkan
daya saing dan omzet produksi dan penjualan19.
Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang
berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal
dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik
untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan
telah memenuhi halal. Sebelum mendapatkan label halal maka terlebih
dahulu produsen harus mendapatkan sertifikasi halal dari LPPOM MUI20.
18 KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014, hlm. 232 19 Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan Komoditas
Agama, Malang: Madani, 2009, hlm. 31-55 20 Elvi Zahara Lubis, Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Medan Area, moral dan adil, Vol. 1 No. 1, 2009, hlm 5
38
Beberapa ketentuan dasar yang harus dilaksanakan produsen dalam
menyiapkan sistem jaminan halal sesuai dengan pedoman untuk
memperoleh sertifikat halal yang dikeluarkan LPPOM MUI adalah:
a. Produsen menyiapkan suatu sistem jaminan halal (Halal Assurance
sistem);
b. sistem jaminan halal harus didokumentasikan secara jelas dan rinci
serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan;
c. Dalam pelaksanaannya, sistem jaminan halal ini diuraikan dalam
bentuk panduan halal. Tujuannya adalah untuk memberikan uraian
sistem manajemen halal yang dijalankan produsen. Selain itu
panduan halal dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam
melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut;
d. Produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standar
Operating Prosedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar
kehalalan produknya dapat terjamin. Dalam hal ini termasuk
prosedur bahan baku (Purchasing), prosedur pengembangan produk
(Research and Development), prosedur penggantian bahan baku,
prosedur pemusnahan bahan dan lain-lain;
e. Panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan
harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen,
sehingga seluruh jajaran dari direksi sampai karyawan memahami
dengan baik bagaimana memproduksi produk halal dan baik;
39
f. Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta
mengevaluasi apakah sistem jaminan halal yang menjadi produk ini
dilakukan sebagaimana mestinya;
g. Untuk melakukan butir (f), perusahaan harus mengangkat minimal
seorang auditor halakl internal yang beragama islam dan berasal dari
bagian yang terkait dengan produksi halal.
Jaminan suatu produk halal memerlukan sistem yang memuat
jaminan kehalalan, baik ditinjau dari sisi bahan baku dan turunannya
maupun dari proses produksinya. sistem harus mampu menjamin bahwa
produk yang dikonsumsi masyarakat adalah halal yang disertai lembaga
penentu kehalalan suatu produk, adanya tanda/label produk yang halal
dilihat secara mudah oleh konsumen, dan sistem pengawasan secara
berkesinambungan agar tidak terjadi penyimpangan. Untuk inilah sangat
diperlukan adanya sistem jaminan halal oleh perusahaan.
Sistem Jaminan halal (SJH) adalah suatu sistem yang dibuat dan
dilaksanakan oleh perusahaan pemegang sertifikat halal dalam rangka
menjamin kesinambungan proses produksi halal. sistem ini dibuat
sebagai bagian dari kebijakan suatu sistem yang berdiri sendiri. Sehingga
produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya, sesuai dengan aturan
yang digariskan oleh LPPOM MUI21.
Sistem Jaminan Halal harus diuraikan secara tertulis dalam bentuk
manual halal. Pertama, pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal
21 Muslich, Perusahaan Harus Penuhi Syarat SJH, Jurnal Halal, No. 91 Th. XIV Tahun 2011, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 20-21
40
(halal Policy). Kedua, panduan halal (Halal Guidelines) dengan
berlandaskan Standart Operating Procedure. Ketiga, sistem manajemen
halal (Halal Management System). Keempat, uraian kritis keharaman
produk (Haram Critical Control Point). Kelima, sistem audit halal
(Internal Halal Audit System). Dalam kaitan ini, perusahaan yang telah
mensertifikatkan halal untuk produknya dituntut menyiapkan suatu
sistem untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara
konsisten, yang disebut sebagai sistem jaminan halal.
2. Prosedur Sertifikasi Halal
Produsen yang menginginkan sertifikat halal mendaftarkan ke
sekretariat LPPOM MUI Jawa Timur. Adapun bagan prosedur
pendaftaran sertifikat halal ke LPPOM MUI beserta penjelasannya
sebagai berikut:
41
Prosedur Perolehan Sertifikasi Halal Oleh LPPOM MUI
1
2
9
5
4
3
7
6
8
Sumber data: Website LPPOM MUI
42
Penjelasan:
1. Sebelum produsen mengajukan Sertifikat halal terlebih dahulu harus
mempersiapkan Sistem Jaminan halal;
2. Setiap produsen yang mengajukan permohonan sertifikat halal bagi
produknya harus mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir
tersebut berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama
produk serta bahan yang digunakan serta melengkapi persyaratan
seperti:
a. Fotocopy KTP pemilik/penanggung jawab;
b. Fotocopy Surat Ijin Usaha;
c. Fotocopy Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP);
d. Fotocopy tanda daftar industry (TDI);
e. Fotocopy sertifikat penyuluhan dan sertifikat PIRT khusus untuk
industry rumah tangga;
f. Fotocopy MD untuk industri selain industri rumah tangga;
g. Fotocopy auditor halal internal;
h. Fotocopy sertifikat halal yang akan diajukan (apabila melakukan
perpanjangan);
i. Bagan alir proses produksi untuk seluruh produk yang diajukan;
j. Dokumen sertifikat halal/keterangan asal usul/spesifikasi seluruh
bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan baku, bahan
tambahan, bahan penolong);
43
k. Manual halal (pedoman pelaksanaan system jaminan halal
perusahaan) dan penerapamnya mengacu pada panduan
penyusunan SJH LPPOM MUI;
l. Fotocopy kemasan seluruh produk;
m. Menyerahkan contoh produk.
3. Borang yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnya
dikembalikan ke sekretariat LPOOM MUI untuk diperiksa
kelengkapannya, dan bila belum memadai perusahaan harus
melengkapi sesuai dengan ketentuan;
4. LPPOM MUI akan memberitahukan perusahaan mengenai jadwal
audit. Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/audit
ke lokasi produsen dan pada saat audit, perusahaan harus dalam
keadaan memproduksi produk yang disertifikasi;
5. Hasil audit yang belum memenuhi persyaratan diberitahukan kepada
perusahaan melalui audit memorandum;
6. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium (bila diperlukan)
dievaluasi dalam rapat auditor LPPOM MUI. Jika telah memenuhi
persyaratan, auditor akan membuat laporan hasil audit guna diajukan
pada sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status
kehalalannya;
7. Laporan hasil audit disampaikan oleh pengurus LPPOM MUI dalam
Sidang Komisi Fatwa MUI pada waktu yang telah ditentukan;
44
8. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika
dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan,
dan hasilnya akan disampaikan kepada produsen pemohon sertifikasi
halal;
9. Sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status
kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
Tata cara pemeriksaan (audit) produk halal mencakup:
1. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk (Sistem
Jaminan Halal);
2. Pemeriksaan dokumen-dokumen spesifikasi yang menjelaskan asal-
usul bahan, komposisi dan proses pembuatannya dan/atau sertifikat
halal pendukungnya, dokumen pengadaan dan penyimpanan bahan,
formula produksi serta dokumen pelaksanaan produksi halal secara
keseluruhan;
3. Observasi lapangan yang mencakup proses produksi secara
keseluruhan mulai dari penerimaan bahan, produksi, pengemasan
dan penggudangan serta penyajian untuk restoran/catering/outlet;
4. Keabsahan dokumen dan kesesuaian secara fisik untuk setiap bahan
harus terpenuhi;
5. Pengambilan contoh dilakukan untuk bahan yang dinilai perlu.
3. Labelisasi Halal
Labelisasi adalah kata yang bersasal dari bahasa Inggris “Label”
yang berarti “nama” atau “memberi nama” (Jhon Echol 2000:346)
45
sedangkan dalam termenologi materi ini merupakan setiap keterangan
mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya,
atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam,
ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang
selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah disebut Label.
Labelisasi halal merupakan rangkaian persyaratan yang seharusnya
dipenuhi oleh pelaku usaha yang bergerak dibidang produk pengolahan
makanan dan minuman atau diistilahkan secara umum sebagai pangan.
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan, dalam ketentuan umunya, pengertian label pangan adalah setiap
keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi
keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan
kedalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan,
yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah disebut label. Labelisasi
halal adalah izin pemasangan kata halal pada kemasan produk dengan
logo halal yang diajukan oleh suatu perusahaan dengan izin Departemen
Kesehatan RI atau sekarang menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM)
Label memiliki kegunaan untuk memberikan infomasi yang benar,
jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal
lain yang diperlukan mengenai barang yang diperdagangkan. Dengan
adanya label konsumen akan memperoleh informasi yang benar, jelas
dan baik mengenai kuantitas, isi, kualitas mengenai barang / jasa beredar
46
dan dapat menentukan pilihan sebelum membeli atau mengkonsumsi
barang dan jasa.
label halal sebagai tanda atau bukti tertulis sebagai jaminan produk
yang halal dengan tulisan Halal dalam huruf Arab, halal huruf latin dan
nomor kode dari Menteri yang di keluarkan atas dasar pemeriksaan halal
dari lembaga pemeriksa halal yang dibentuk/ direkomendasikan MUI,
fatwa halal dari MUI, sertifikat halal dari MUI sebagai jaminan yang sah
bahwa produk yang dimaksud adalah halal untuk konsumsi serta
digunakan oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan syariah (Depag RI,
2005: 136)
Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang
berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang
disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau
merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini disebut Label. Pasal 1 Angka 3 PP Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan.
Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai
pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan
dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan,
yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Iklan. Pasal 1
Angka 4 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Sedangkan undang-undang tentang pangan halal adalah pasal 1
angka 5 Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 69 Tahun
47
1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang berbunyi. Pangan halal
adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau
dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan
baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong
lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa
genetika dan eradiasi, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum agama Islam (Depag RI, 2005: 12).
Secara etimologi, kata Halal berasal dari bahasa Arab (ل�� halalan
yang berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau
tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Sedangkan
thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya,
atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan
yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik
serta akalnya, dalam Al-Quran, kata halalan selalu diikuti kata thayyib.
(Aisjah Girindra.2005:20 )
Makanan yang halalan dan thayyiban harus diterjemahkan lebih
jauh lagi, yakni halalan dan thayyiban terhadap asal dan jenis bahan
baku, campuran, proses pembuatan, pemasaran serta akibat dari
menkonsumsi makanan tersebut. Sehingga makanan itu boleh untuk
dikonsumsi secara syariah dan baik bagi tubuh secara kesehatan (medis).
Al-Qur’an secara tegas menyebutkan tentang makanan halalan
thayyibãt dalam beberapa ayat dalam firmanya, yakni diantaranya:
48
1. Surah Al-Baqarah ayat 168.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu” (Depag RI, 2006: hal. 36)
Makanan halal dalam ayat ini adalah makanan yang tidak
haram, yakni yang tidak dilarang oleh agama memakannya.
Makanan haram ada dua macam yaitu: karena zat seperti babi,
bangkai dan darah. Dan yang haram karena sesuatu bukan dari
zatnya, seperti makanan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya
untuk dimakan atau digunakan. Makanan yang halal adalah yang
bukan termasuk kedua macam ini. (M.Quraish Shihab. Volume, 1
hal. 354).
2. Surah Al-Ma’idah ayat 88
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah
yang kamu beriman kepada-Nya” (Depag RI, 2006 : hal. 126)
Ayat ini memerintahkan untuk memakan makanan yang halal
lagi baik. Bahwa tidak semua makanan yang halal otomatis baik.
Karena yang dinamai halal terdiri dari empat macam, yaitu: wajib,
sunnah, mubah dan makruh. Ada aktivitas walaupun halal, namun
makruh atau sangat tidak disukai Allah, yaitu pemutusan
hubungan. Selanjutnya, tidak semua yang halal sesuai dengan
49
kondisi kesehatan tertentu, ada makanan yang halal, tetapi tidak
bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang baik. Yang diperintahkan
adalah yang halal lagi baik. (Shihab. Volume 3: hlm. 188).
Labelisasi halal mempunyai tujuan untuk memenuhi tuntutan pasar
(masyarakat konsumen) secara universal. Maka apabila tuntutan itu bisa
terpenuhi, secara ekonomi, para pebisnis (industriawan) Indonesia akan
mampu menjadi tuan rumah dari segala produk yang dipasarkan, tujuan
lain yang sangat mendasar adalah melidungi akidah konsumen terutama
yang beragama Islam. Artinya, dengan adanya labelisasi halal, para
konsumen muslim tidak akan lagi ragu dalam mengkonsumsi makanan
yang dibutuhkan.
Halalan tayyiban diatas harus memenuhi kriteria seperti yang ada
dalam buku Himpunan Label Halal MUI (2010:39), bahwasanya ada
ketentuan yang difatwakan MUI tentang kehalalan.produk pangan halal
sesuai dengan syariat Islam meliputi, Halalnya prolehan Bahan Baku
(bahan utama untuk proses produksi), Proses pngelolaannya dan
pengiriman hingga penyajiannya. Sedangkan Produk makanan halal
adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at
Islam (Depag RI, 2008:2), yakni:
1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi;
2. Tidak mengadung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-
bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran dan lain
sebagainya;
50
3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih
menurut tata cara syari’at Islam;
4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan,
tempat pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk
babi dan/atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah dipergunakan
untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus
dibersihkan dengan tata cara syari’at Islam;
5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengadung khamar.
4. Prosedur Labelisasi Halal
Label halal dikeluarkan oleh Balai POM, sedangkan sertifikat halal
dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Prosedur pendaftaran label halal adalah
dengan mengajukan surat permohonan ijin pemasangan label halal
dilampiri dengan fotocopi sertifikat halal kepada Balai POM. Adapun
prosedur untuk mendapatkan label, sebagai berikut:
51
Prosedur Labelisasi Halal
8
4
3 2
1
5
7
6
Sumber data: Jurnal BPOM
52
Penjelasan:
1. pemohon mengajukan permohonan ke Badan Pengawas Obat dan
Makanan dengan persyaratan:
a. surat permohonan pencantuman tulisan label halal pada label
makanan;
b. nama dan alamat pemohon dan/atau nama dan alamat sarana
produksi;
c. nama dagang dan jenis pangan;
d. pernyataan kesediaan memenuhi peraturan pencantuman tulisan
pada label pangan;
e. matrik bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan
pangan;
f. sertifikat halal bahan baku, bahan penolong, dan bahan
tambahan;
g. spesifikasi asal bahan;
h. bagan alir proses produksi;
i. tata letak proses produksi;
j. fotocopi nomor persetujuan pendaftaran (MD/ML/P-IRT) dan
label yang dilegalisir;
k. prosedur kerja (SOP)/ system jaminan mutu.
2. setelah data-data diberikan, maka BPOM akan memeriksa
kelengkapan data yang diajukan oleh pemohon;
53
3. jika data yang diajukan kurang lengkap maka BPOM akan
mengembalikan kepada pemohon untuk melengkapi data tersebut;
4. setelah berkas dinyatakan lengkap maka tim auditor akan
melaksanakan audit. Pelaksanaan audit dilakukan pada waktu pabrik
sedang produksi dan tidak renovasi;
5. proses audit dilakukan oleh Badan POM, Departemen Agama dan
LPPOM MUI. Dalam pelaksanaan audit Badan POM melakukan
audit terhadap penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB),
LPPOM MUI melakukan audit terhadap kehalalan bahan yang
digunakan, proses produksi dan penerapan system jaminan halal,
serta Departemen Agama melakukan audit dalam bentuk bimbingan
syariah kepada manajemen perusahaan dan karyawan muslim;
6. Proses audit tidak dilaksanakan secara serentak, dimana pemohon
setelah mendapatkan ijin edar dari BPOM harus mengurus sertifikat
halal produk ke LPPOM MUI. Setelah semua berkas yang diajukan
dan proses audit memenuhi syarat maka MUI mengeluarkan fatwa
halal dan sertifikat halal diterbitkan;
7. sertifikat halal yang dikeluarkan digunakan untuk syarat
permohonan pencantuman label halal pada kemasan produk;
8. Setelah semua prosedur terpenuhi maka Badan POM akan
memberikan persetujuan tulisan halal pada label pangan.
54
5. Label Halal
Label adalah sejumlah keterangan pada kemasan produk. Secara
umum, label harus berisi nama atau merek produk, bahan baku, bahan
tambahan komposisi, informasi gizi, tanggal kadaluarsa, isi produk, dan
keterangan legalitas22.
Sejumlah keterangan yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui
apakah produk yang dibeli mengandung unsure-unsur yang diharamkan
atau membahayakan bagi kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Keterangan bahan tambahan
Kebanyakan produsen tidak merinci jenis bahan-bahan
tambahan yang digunakan. Biasanya digunakan istilah-istilah umum
kelompok seperti stabilizer, pewarna, flavor, enzim, gelling agent atau
hanya menyantumkan kode internasional E untuk bahan tambahan
makanan.
Kode E sendiri adalah kode internasional (Eropa) untuk bahan
tambahan makanan yang diikuti dengan tiga angka dibelakangnya
yang berfungsi sebagai identitas dan pembeda jenis. Beberapa yang
harus diwaspadai misalnya: E252 (dapat berasal dari limbah hewan
atau tumbuhan), E334 (berasal dari limbah pembuatan minuman
anggur/wine), E335, E336, E337, dan E353 (turunan asam tartarat
yang dapat berasal dari limbah pengolahan minuman anggur)23.
22 Anton Apriyantono, Nurbowo, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta: Khairul Bayaan, 2003, hlm. 68 23 Ibid, hlm. 69
55
b. Komposisi dan nilai gizi
Secara umum informasi gizi yang diberikan adalah kadar air,
kadar protein, kadar lemak, vitamin, dan mineral. Sering pada
kemasan ditambahkan informasi tambahan seperti kolesterol, tinggi
kalsium dan lainnya. Yang perlu dicermati oleh konsumen adalah
iklan yang bombastis atau berlebihan mengenai manfaat maupun
khasiat yang kondisinya tidak seperti dicantumkan pada iklan.
c. Batas kadaluarsa
Sebuah produk harus dilengkapi dengan tanggal kadaluarsa yang
menyatakan umur pemakaian dan kelayakan pemakaian atau
penggunaan produk. Menurut PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan Pasal 27 ayat 2 berbunyi “Pencantuman tanggal, bulan,
dan tahun yang dimaksud dalam ayat 1 dilakukan setelah
pencantuman tulisan “Baik digunakan sebelum tanggal” sesuai dengan
jenis dan daya tahan produk yang bersangkutan. Sedangkan ayat 3
berbunyi “dalam hal produk pangan yang kadaluarsa lebih dari tiga
bulan dibolehkan hanya mencantumkan bulan dan tahun kadaluarsa
saja”.
d. Keterangan legalitas
Keterangan legalitas memberikan informasi bahwa produk telah
terdaftar dibadan pengawas obat dan makanan (BPOM), berupa kode
nomor registrasi. Kode MD dan SP adalah untuk makanan local dan
ML untuk makanan impor. Kode MD untuk produk industry
56
menengah-besar, sedangkan SP untuk industry menengah-kecil.
Namun, masih banyak produk yang berlabel halal akan tetapi tidak
terdaftar sebagai produk yang telah disertifikasi halal, hal ini
khususunya produk yang berkode SP atau tidak berkode sama sekali.
Untuk produk-produk yang demikian, maka pengetahuan konsumen
yang menentukan apakah diragukan kehalalannya atau tidak, jika
ragu-ragu maka sikap yang terbaik adalah tidak membeli produk yang
diragukan kehalalannya.
Suatu benda atau sebuah perbuatan yang kita lakukan tidak
terlepas dari lima perkara, yaitu halal, haram, syubhat, makruh dan
mubah. Terhadap barang atau perilaku yang halal secara mutlak kita
disuruh oleh Allah untuk memakannya, sedangkan terhadap barang
atau perilaku yang haram kita disuruh untuk menjauhinya. Kedua hal
ini disebabkan karena perilaku atau makanan yang halal dapat
menambah cahaya iman dan membuat terkabulnya doa24. Allah Swt
berfirman:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaiton; karena sesungguhnya syaiton itu adalah musuh yang
nyata bagimu” (Al-Baqarah: 168)
Halal berarti diperbolehkan (oleh hukum agama); tidak haram.
Halal dalam bahasa Arab berasal dari kata halla, yahillu, hillan, yang
24 Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Surabaya: Putra Pelajar, 2002, hlm. 9
57
berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan, dan
membolehkan25. Sedangkan secara etimologi halal berarti hal-hal
yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang melarangnya26.
Halal sering dikaitkan dengan kata thayyiba. Kata thayyiba
memiliki makna lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama.
Makanan yang thayyiba berarti makanan yang tidak kotor dari segi
zatnya atau rusak (kadaluarsa) atau tercampur dengan benda najis.
Selain itu kata thayyiba juga mengandung beberapa pengertian:
Pertama, makanan sehat yaitu makanan yang mengandung gizi cukup
dan seimbang sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah27:
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu),
agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan
kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan
kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur” (An-
Nahl: 14).
Kedua, proporsional yaitu sesuai dengan kebutuhan konsumen,
tidak terlalu berlebihan atau berkekurangan. Hal ini tertuang dalam
surat Al- A’raf ayat 31.
25 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. 1, 1997, hlm. 505 26 Aisyah Girindra, LPPOM MUI Sejarah Sertifikasi Halal, Jakarta: LPPOM, 1998, hlm. 20 27 Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label Halal: Antara Spiritual Bisnis dan Komoditas
Agama, Malang: Madani, 2009, hlm. 10
58
“hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan”.
Ketiga, aman dalam arti makanan yang tidak mendatangkan
penyakit, seperti dalam ayat: “Dan makanlah makanan yang halal lagi
baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah
kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (Al-Maidah: 88)
Pada dasarnya, semua jenis makanan halal dan baik. Akan
tetapi ada beberapa jenis makanan yang diharamkan atau tidak
dibenarkan menurut syariat islam. Sedangkan makanan yang baik
memiliki kualitas yang tinggi dan tidak membahayakan kesehatan.
Begitu juga sebaliknya, ada beberapa makanan yang diharamkan
menjadi halal apabila dalam keadaan darurat, dan menjadi haram
apabila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak28
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, keculali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala, dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi
28 Atiqah Hamid, Buku Pintar Halal Haram Sehari-Hari, Jogjakarta: Diva Press, 2012, hlm. 17-18
59
nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-
orang kafir telah putusasa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (Surah Al-Maidah : 3)
Semua bahan yang berasal dari hewan, tumbuhan, tanaman
atau bahan tambahan yang diperoleh melalui proses kimia yang
digunakan untuk memproduksi makanan, minuman, obat, kosmetika
dan produk lainnya adalah halal kecuali bahan yang dilarang oleh
syariat Islam29. Berikut ini merupakan makanan dan minuman yang
halal, yaitu :
1. Bukan terdiri atau mengandung bagian atau benda dari binatang
yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang
tidak disembelih menurut ajaran Islam;
2. Tidak mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut
ajaran Islam;
3. Tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan
yang diharamkan menurut ajaran Islam;
29Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm. 38
60
4. Dalam proses, penyimpanan dan menghidangkan tidak
bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak
memenuhi persyaratan atau bendan yang dihukumkan sebagai
najis menurut ajaran Islam.
Adapun syarat-syarat produk makanan halal menurut syari’at
islam antara lain adalah sebagai berikut:
a. Halal zatnya
Semua jenis makanan adalah halal dan bisa dimakan, serta sedikit
dari makanan yang diharamkan. Hikmah di balik larangan
tersebut adalah demi kebaikan kita semua, sebagai ujian ketaatan
secara ruhani agar selalu bersyukur dengan semua yang diberikan
oleh Allah.
b. Halal cara memperolehnya
Jika kita sangat berhati-hati dalam memilih makanan, hal tersebut
juga berdampak pada tubuh kita. Oleh karena itu, kita harus
mendapatkannya dengan cara yang baik. Jika cara
mendapatkannya salah maka bisa berdampak pada kehidupan
spiritual (hidup tidak tenang, tidak pernah bersyukur, tidak pernah
puas, serta ibadah dan doanya tidak diterima oleh Allah).
c. Halal dalam memprosesnya
Ketika kita menginginkan makanan halal, terlebih dahulu kita
harus mengetahui prosesnya. Saat prosesnya tidak benar,
61
meskipun makanan tersebut halal maka bisa haram. Proses
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Orang yang menyembelih hewan bukan muslim, tidak
menyebut nama Allah, dan tidak menggunakan pisau tajam;
2. Menyembelih hewan untuk sesaji (dipersembahkan kepada
berhala);
3. Ketika menyembelih hewan, darahnya harus keluar secara
tuntas, serta urat nadi leher dan saluran napasnya harus putus;
4. Bahan-bahan atau alat yang digunakan untuk menyembelih,
memasak, tempat masak, bumbu, dan bahan baku lainnya
diproses secara tidak halal.
d. Halal dalam penyimpanannya
Tempat penyimpanan makanan atau pangan halal tidak boleh
mengandung barang yang diharamkan seperti, babi dan anjing.
e. Halal dalam pengangkutannya
Makanan halal dan barang guna lainnya tidak boleh
diangkut oleh transportasi yang juga dipakai untuk mengangkut
panganan haram seperti daging babi, karena makanan halal
tersebut dapat terkontaminasi oleh pangan haram tersebut.
f. Halal dalam penyajiannya.
Ada beberapa macam teknik mengolah dan menyajikan makanan
yang halal, diantaranya harus cermati asal-usul bahan, jangan
62
sampai ada yang berasal dari bahan yang tidak halal, dan tidak
tercemar oleh bahan yang tidak halal, misalnya:
2. Dapur tempat mengolah makanan.
3. Bahan baku, bumbu, dan bahan tambahan lainnya.
4. Bahan mentah sebelum diolah.
5. Bahan jadi setelah diolah.
6. Alat-alat dan tempat makanan yang digunakan.
7. Tempat mencuci alat-alat dan wadah makanan.
Berikut ini beberapa makanan yang diharamkan oleh Allah,
sebagaiman yang dijelaskan di dalam Al-Quran, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Bangkai
Bangkai merupakan hewan yang mati bukan karena disembelih
atau diburu. Pada bangkai terdapat darah yang mengendap
sehingga bisa membahayakan kesehatan. Secara umum, ada
beberapa macam bangkai, di antaranya:
a. Binatang yang mati tercekik (baik disengaja maupun tidak).
b. Binatang yang dipukul dengan benda keras atau disetrum.
c. Binatang yang mati karena terjatuh dari ketinggian atau
tercebur ke dalam sumur sampai mati.
Dikecualikan dari bangkai tersebut diatas, maka bangkai
yang ada di bawah ini adalah halal untuk dimakan:
63
a. Bangkai ikan dan belalang.
b. Bangkai binatang dan tidak mempunyai darah mengalir
seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika
ia jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah
menyebabkan bernajis.
c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit
serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci, karena
asalnya semua ini adalah suci.
2. Darah
Semua jenis darah adalah haram, baik darah yang mengalir atau
tumpah. Darah mengandung bakteri patogen dan bersifat toksik
(beracun).
3. Daging babi
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran, babi hukumnya
haram, yaitu semua yang terdapat pada babi (daging, lemak, dan
bagian-bagian lainnya). Penyebab babi diharamkan karena
dagingnya mengandung cacing pita (taenia solium) yang
membahayakan tubuh manusia ketika dikonsumsi, lemaknya
paling tinggi daripada lemak hewan lainnya, mengandung
kolesterol tinggi, dan darahnya mengandung asam urat.
4. Binatang yang disembelih bukan karena Allah
Binatang yang disembelih bukan karena Allah yaitu binatang
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, misalnya
64
nama berhala. Jadi sebab diharamkannya binatang yang
disembelih bukan karena Allah di sini ialah semata-mata karena
agama, dengan tujuan untuk melindungi aqidah tauhid,
kemurnian aqidah dan memberantas kemusyrikan dengan sagala
macam manifestasi berhalanya dalam seluruh lapangan.
5. Al-Munkhaniqah
Ialah binatang yang mati karena dicekik, baik dengan cara
menghimpit leher binatang tersebut ataupun meletakkan
kepalanya pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga
binatang tersebut mati.
6. Al-Mauqudzah
Ialah binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan
sebagainya
7. Al-Mutaraddiyah
Ialah binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati.
Yang seperti ini ialah bianatang yang jatuh dalam sumur.
8. An-Nathihah
Ialah binatang yang baku hantam antara satu dengan yang lain
sehingga mati.
9. Maa Akalas Sabu’
Ialah binatang yang disergap oleh binatang buas dengan
dimakan sebagian dagingnya sehingga mati.
65
Label halal adalah tanda kehalalan suatu produk30. Produk
merupakan barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk
rekaya genetic, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat berstatus sebagai produk halal.
Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai
dengan syariat islam. Berdasarkan peraturan Pemerintah No. 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa
label pangan adalah setiap keterangan mengenai suatu produk yang
berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau berbentuk lain
yang disertakan pada produk, dimasukkan kedalam, ditempelkan
pada, atau merupakan bagian kemasan pangan31.
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan
yang dikemas dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, didalam, dan/atau di kemasan pangan.
Label yang dimaksud adalah label yang tidak mudah luntur atau rusan
serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah dilihat dan
dibaca.
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan menyatakan bahwa pencantuman
keterangan halal atau tulisan halal pada label pangan merupakan
30 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Jaminan Produk Halal, Pasal 1 Butir (11) 31Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 1 Butir (3)
66
kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan/atau memasukkan
pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan bahwa produknya
halal bagi umat islam.
Pencantuman halal pada suatu label produk adalah suatu
keharusan yang harus dijalankan oleh pelaku usaha untuk lebih
memperhatikan hak konsumen. label halal pun juga harus
mencantumkan hal-hal yang bersifat esensial pada bagian utama label
halal seperti adanya larangan tentang penulisan label halal ditulis
dalam bentuk tulisan yang sulit dilihat, diamati, atau dibaca, hal
tersebut akan berdampak pada hak-hak konsumen32. label halal adalah
jaminan yang diberikan oleh suatu lembaga yang berwenang yaitu
LPPOM MUI untuk memastikan bahwa suatu produk sudah lolos
pengujian kehalalannya.
Tidak mudah untuk memperoleh sertifikasi halal dari LPPOM
MUI. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan oleh perusahaan.
Prosedur sertifikasi halal tersebut yaitu33:
1. Pengajuan permohonan
a. Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha
secara tertulis kepada BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal)
b. Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan
dokumen:
32 Ibid, Pasal 14 33 Ibid, Pasal 30-34
67
1. Data pelaku usaha;
2. Nama dan jenis produk;
3. Daftar produk dan bahan yang digunakan;
4. Proses pengolahan produk.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
permohonan sertifikat halal diatur dalam Peraturan Mentri
2. Penetapan Lembaga Pemeriksaan Halal
a. BPJPH menetapkan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) untuk
melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
produk;
b. Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja
terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap;
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH
diatur dalam Peraturan Menteri.
3. Pemeriksaan dan Pengujian
a. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk
sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dilakukan
oleh auditor halal;
b. Pemeriksaan terhadap produk dilakukan dilokasi usaha pada
saat proses produksi;
68
c. Dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdapat bahan yang diragukan kehalalannya, dapat
dilakukan pengujian di laboratorium;
d. Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pelaku usaha wajib memberikan
informasi kepada auditor halal;
e. LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan produk kepada BPJPH;
f. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan
kehalalan produk.
4. Penetapan Kehalalan Produk
a. Penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI;
b. Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam siding fatwa halal;
c. Sidang fatwa halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengikutsertakan pakar, unsure kementrian/lembaga,
dan/atau instansi terkait;
d. Sidang fatwa halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
memutuskan kehalalan produk paling lama 30 hari kerja
sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
produk dari BPJPH;
69
e. Keputusan penetapan halal produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI;
f. Keputusan penetapan halal produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi
dasar penerbitan sertifikat halal.
5. Penerbitan Sertifikat Halal
A. Dalam hal sidang fatwa halal sebagaimana dimaksud dalam
pasal 33 ayat (2) menetapkan halal pada produk yang
dimohonkan pelaku usaha, BPJPH menerbitkan sertifikat
halal;
B. Dalam hal siding fatwa halal sebagaimana dimaksud dalam
pasal 33 ayat (2) menyatakan produk tidak halal, BPJPH
mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku
usaha disertai dengan alasan.
C. Tugas, Wewenang, Fungsi LPPOM MUI Surabaya
LPPOM MUI Jawa Timur mempunyai visi menjadikan lembaga
sertifikasi halal yang diakui konsumen muslim, produsen pangan, obat-obatan
dan kosmetika, pemerintah dalam dan luar negeri. Sedangkan misi dari
LPPOM MUI Jawa Timur adalah melindungi konsumen muslim dari produk-
produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang diharamkan Syari’at Islam.
Sehingga visi dan misi tersebut sejalan dengan motto yang dimiliki yaitu
“Empat Sehat Lima Sempurna Enam Halal Tujuh Thoyyib dan Tidak
70
Berlebihan”. Secara garis besar ruang lingkup kegiatan LPPOM MUI Jawa
Timur meliputi:
1. Terlibat secara aktif dalam pengkajian Sistem Jaminan Mutu Halal (Halal
Assurance System atau HAS);
2. Turut serta terlibat secara aktif dalam memasyarakatkan HAS melalui
tulisan di media massa, forum-forum seminar, lokakarya;
3. Menyediakan jasa konsultasi dan pelatihan untuk sosialisasi HAS pada
para pelaku usaha;
4. Menyediakan pelayanan sertifikai halal;
5. Membangun jaringan secara luas antara lembaga sejenis dan lembaga
pendukung dalam skala nasional dan internasional;
6. Melakukan riset secara terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu;
7. Memberi penyuluhan secara berkala akan pentingnya konsumen
mengetahui hak-haknya;
8. Melakukan kegiatan lain yang sejalan dengan visi dan misi LPPOM MUI
Jawa Timur.
Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis ulama
Indonesia Nomor: Kep. 311/MUI/IX/2000, tugas LPPOM MUI adalah
sebagai berikut:
1. Mengaudit makanan, obat-obatan dan kosmetika yang diajukan oleh
produsen untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI;
2. Mengaudit makanan, obat-obatan dan kosmetika yang mencantumkan
label halal pada kemasan produknya;
71
3. Menyampaikan hasil auditnya secara rinci dan hasil pengkajiannya
kepada Komisi Fatwa untuk mendapatkan pertimbangan hukum,
selanjutnya akan dikeluarkan sertifikatnya oleh MUI;
4. Mengadakan kegiatan-kegiatan dalam rangka kerjasama dengan instansi
pemerintah dan swasta dalam dan luar negeri, serta melaksanakan tugas
lainnya yang diberikan oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia.
Adapun wewenang LPPOM MUI berdasarkan Surat keputusan
tersebut sebagai berikut:
1. Bersama-sama dengan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
melaksanakan pembentukan lembaga pengkajian pangan, obat-obatan
dan kosmetika MUI daerah;
2. Mengadakan rapat kerja nasional sekurang-kurangnya dua tahun sekali;
3. Mengadakan kegiatan dalam rangka memasyarakatkan pangan halal
kepada umat islam;
4. Mengundang para ahli untuk mendiskusikan suatu masalah yang
berhubungan dengan pangan, obat-obatan, dan kosmetika;
5. Memberikan teguran, peringatan, baik lisan maupun tertulis kepada
produsen yang menyalahgunakan sertifikat halal yang telah diberikan
MUI, termasuk produsen sengaja mengganti bahan produknya dari yang
diajukan dalam proses sertifikasi.
D. Pengawasan LPPOM MUI Terhadap Sertifikasi Halal
Sistem penegakan hukum dan perlindungan hak dalam pelembagaan
sertifikasi halal adalah yang dilakukan secara kolektif baik oleh pemerintah
72
maupun masyarakat, adanya koordinasi lintas kementrian dan lembaga.
Namun setidaknya, pelaksanaan perlindungan dan penegakan hukum perlu
dilakukan upaya pengawasan oleh pemerintah melalui tiga sistem
pengawasan, yakni34:
1. Sistem pengawasan preventif
Pengawasan preventif adalah pengawasan sebelum suatu tindakan
dalam pelaksanaan kegiatan, yang biasanya berbentuk prosedur yang harus
ditempuh dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Sistem pengawasan ini
dilakukan secara dini terhadap produk pangan halal, antara lain berupa
kegiatan pendaftaran yang berbentuk dokumen. Yang mana perusahaan
melaporkan semua data yang berhubungan dengan produk yang meliputi
bahan yang digunakan, proses produksi serta tempat produksi dan
distribusi. Sehingga kecurangan maupun penyalahgunaan terhadap
sertifikat halal dapat diminimalisir keberadaannya.
2. Sistem pengawasan represif
Sistem pengawasan represif ini merupakan pengawasan yang
dilakukan setelah suatu tindakan dilakukan dengan membandingkan apa
yang telah terjadi dengan apa yang seharusnya dan diwujudkan dalam
bentuk pemeriksaan sertempat, verifikasi, monitoring, dan sebagainya.
Pengawasan ini dilakukan ketika sertifikat halal sudah diterbitkan oleh
LPPOM MUI.
34 KN. Sofyan Hasan, Pengawasan dan Penegakan Hukum terhadap Sertifikasi dan Labelisasi
Halal Produk Pangan, Jurnal IUS QUIA IUSTUM no. 2, Vol. 22 April 2015: 290-307
73
3. Sistem pengawasan insidental
Sistem pengawasan insidental merupakan proses pengawasan yang
dilakukan lembaga terkait yaitu LPPOM MUI beserta penegak hukum
lainnya dan masyarakat terhadap keamanan dan keselamatan pangan halal
yang dilakukan dengan cara inspeksi mendadak (sidak).
Ketiga sistem diatas, selain dilakukan oleh aparat penegak hukum, perlu
juga melibatkan peran serta masyarakat dan lembaga yang berkompeten
terutama mengenai persoalan halal-haram, representasi mayoritas penduduk
muslim, dan sekaligus lembaga yang mendapat pengakuan pemerintah dalam
rangka menegakkan hukum Undang-Undang Jaminan Produk Halal, upaya
perlindungan dan penegakan hukum khususunya sertifikasi dan labelisasi
produk halal. Undang-Undang Jaminan Produk Halal juga telah mengatur
ketentuan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Jaminan Produk
Halal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 53 Undang-Undang Jaminan
Produk Halal35.
Dalam pengawasan preventif dilakukan oleh auditor LPPOM MUI.
Setelah dokumen dimasukkan oleh pelaku usaha ke sekretariat LPPOM MUI,
maka LPPOM MUI akan memeriksa kelengkapan berkas dan untuk
selanjutnya auditor akan melihat proses produksi hingga pengemasan secara
langsung. Auditor LPPOM MUI adalah orang yang diangkat oleh LPPOM
MUI setelah melalui proses seleksi kompetensi, kualitas dan integritasnya dan
ditugaskan untuk melaksanakan audit halal. Auditor LPPOM MUI berperan
35 Ibid, hlm. 305
74
sebagai wakil ulama dan saksi untuk melihat dan menemukan fakta kegiatan
produksi halal di perusahaan. Sesuai dengan pasal 13 Undang-Undang
Jaminan Produk Halal, yang berbunyi bahwa untuk mendirikan LPH harus
dipenuhi syarat salah satunya memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga)
orang. Pada LPPOM MUI mempunyai 23 orang auditor halal, diantaranya:
1. Prof. Dr. H. Noor Cholis Zaini, Apt.
2. Prof. Dr. H. Sugijanto, M.S.
3. Harjana, Drs., M.Sc.
4. Yusuf Syah, Drs., M.S.
5. Dr. R.Y. Perry Burhan
6. Adam Wiryawan, Ir., M.S.
7. Ainul Yaqin, S. Si. Apt.
8. Prof. H. Mas’ud Hariadi, drh., M.Phill., Ph.D.
9. Dr.rer. nat. H. M. Yuwono, M.S.
10. Rosyidan Usman, Ir
11. Yulfi Zetra, Dra., M.S.
12. Fitri Choirun Nisa, S.T.P., M.P.
13. Siti Narsito Wulan, S.T.P., M.P
14. Lilik Fatmawati, S.T.P.
15. Khoirul Anwar, S. Ag., M.E.I.
16. Sofiyan Hadi, Drs., M.Kes.
17. Abdul Samik, drh., M.Si.
18. Abdul Hakim, S.Si. Apt.
75
19. Ervin Tri Suryandari, S.Si., M.Si.
20. Qurrotu Aini, S.Si.
21. Nur Indah Syamsiyati, S.Si.
22. Dr. Aulanni’am, drh., DES
23. Anna Roosdiana, Dra., M.App.Sc
Syarat untuk menjadi auditor halal yang tercantum dalam Pasal 14 ayat
(2) Undang-undang Jaminan Produk Halal yaitu:
1. Warga negara Indonesia;
2. Beragama islam;
3. Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 di bidang pangan, kimia,
biokimia, teknik industry, biologi atau farmasi;
4. Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk
menurut syariat islam;
5. Mendahulukan kepentingan umat diatas kepentingan pribadi dan/atau
golongan, dan;
6. Memperoleh sertifikat MUI.
Dalam menjalankan tugasnya, auditor halal mempunyai tugas
diantaranya:
1. Memeriksa dan mengkaji bahan yang digunakan;
2. Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan produk;
3. Memeriksa dan mengkaji system penyembelihan;
4. Meneliti lokasi produk;
5. Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
76
6. Memeriksa pendistribusian dan penyajian produk;
7. Memeriksa system jaminan halal pelaku usaha, dan;
8. Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Setelah melakukan pemeriksaan di lokasi produksi, auditor halal akan
melaporkan semua kegiatan produksi mulai dari awal proses produksi hingga
pengemasan untuk selanjutnya akan dilakukan sidang fatwa. Namun ketika
dalam kegiatan tersebut auditor menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
prosedur maka auditor akan memberikan peringatan supaya prosedur tersebut
disesuaikan dengan berkas yang diberikan atau proses pengeluaran sertifikat
halal tidak akan dilanjutnya sampai perusahaan menyesuaikan berkasnya.
Untuk selanjtnya setelah sertifikat halal diterbitkan, LPPOM MUI tidak
serta merta melepas perusahaan tersebut tanpa adanya pengawasan.
Pengawasan dialihkan kepada auditor halal internal, dimana auditor ini
merupakan kepanjangan tangan dari LPPOM MUI untuk mengawasi proses
produksi di perusahaan. Auditor halal internal adalah petugas yang diangkat
perusahaan untuk mengawasi dan menjaga kehalalan produk sesuai dengan
aturan yang ditetapkan oleh lembaga pemeriksa.
Dalam melaksanakan tugas, tidak sembarang orang dapat menjalankan
hal tersebut, adapun persyaratannya yaitu36:
1. Karyawan tetap perusahaan bersangkutan;
2. Seorang muslim yang mengerti dan menjalankan syariat islam;
3. Berada dalam lingkup manajemen halal;
36 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, hal 19-20
77
4. Berasal dari bagian yang terlibat dalam proses produksi secara umum
seperti bagian QA/QC, R&D, purchasing, produksi dan pergudangan;
5. Memahami titik kritis kehamaran produk, ditinjau dari bahan maupun
proses produksi secara keseluruhan;
6. Diangkat melalui keputusan pimpinan perusahaan dan diberi kewenangan
penuh untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan
SJH termasuk tindakan perbaikan terhadap kesalahan sampai pada
penghentian produksi atau penolakan bahan baku, sesuai dengan aturan
yang ditetapkan LPPOM MUI.
Tugas dari auditor halal internal diantaranya37:
1. Menyusun manual SJH perusahaan;
2. Mengkoordinasikan pelaksanaan SJH;
3. Membuat laporan pelaksanaan SJH;
4. Melakukan komunikasi dengan pihak LPPOM MUI.
Pengawasan yang dilakukan oleh auditor halal internal ini diatur dalam
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 518 tahun 2001 tentang Pedoman dan
Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Audit halal internal ini
dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan atau pada saat terjadi perubahan-
perubahan yang mempengaruhi status kehalalan produk dan kemudian
dilaporkan kepada LPPOM MUI untuk dilakukan evaluasi, yang mana
dijelaskan pada pasal 9, yang berbunyi:
37 Ibid, hal 28
78
“jika dikemudian hari terjadi perubahan proses produksi, nahan baku,
bahan tambahan atau bahan penolong, auditor halal internal wajib segera
melapor kepada lembaga pemeriksa untuk dievaluasi dan diperoleh
persetujuan sebelum digunakan”
Pengawasan insidental merupakan pengawasan yang dilakukan dengan
cara sidak. Pengawasan ini merupakan gabungan dari auditor LPPOM MUI
dan masyarakat (LPKSM). Dalam hal pengawasan ini diatur dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen pasal 30 yang menentukan bahwa:
1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat;
2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait;
3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar di pasar;
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan
79
kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri
teknis;
6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan, sebagaimana dimaksud pada
ayat 1, ayat 2, ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pengawasan yang melibatkan peran serta masyarakat juga diatur dalam
Pasal 53 undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal dan pada Pasal
12 Keputusan Mentri Agama No. 518 tahun 2001 tentang Pedoman dan
Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Pengawasan ini
dilakukan ketika produk telah beredar di pasaran. Ketika produk tersebut
terindikasi bahan yang tidak sesuai maka Lembaga Pemeriksa (auditor
LPPOM) akan melakukan sidak ke lokasi yang bersangkutan.
E. Tugas, Wewenang, Fungsi BPOM Surabaya
Sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan POM RI, Balai Besar POM di
Surabaya berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Badan POM
RI, mempunyai tugas pokok melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan
produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional,
kosmetika, produk komplemen, keamanan pangan dan bahan berbahaya.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut diatas, Balai Besar POM
menyelenggarakan:
1. Penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan;
2. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian
mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat
tradisional, kosmetika, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya;
80
3. Pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan penilaian mutu
produk secara mikrobiologi;
4. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi;
5. Investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum;
6. Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen;
7. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan;
8. Pelaksanaan urutan tata usaha dan kerumahtanggaan;
9. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM, sesuai
dengan bidang tugasnya.
Berdasarkan kondisi umum, potensi, permasalahan dan tantangan
yang dihadapi ke depan, maka BPOM Jawa Timur sesuai dengan tugas dan
fungsinya sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Badan POM di wilayah Jawa
Timur, dituntut untuk dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat/khasiat
sesuai standart yang telah ditetapkan. Untuk itu, ditetapkan visi, misi, tujuan
dan sasaran Balai Besar POM di Surabaya, diantaranya:
I. VISI
“Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan
Daya Saing Bangsa”
Penjelasan Visi:
Proses penjaminan pengawasan Obat dan makanan harus
melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan, dilaksanakan
secara akuntabel serta diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan
81
kesehatan yang lebih baik. Sejalan dengan itu, maka pengertian kata
aman dan daya saing adalah sebagai berikut:
Aman : Keadaan bebas dari bahaya, semua
produk obat dan makanan harus dijamin
keamanannya agar tidak membahayakan
bagi penggunanya.
Daya Saing : Kemampuan menghasilkan produk
barang dan jasa yang tekah memenuhi
pengujian standart nasional maupun
internasional. Sehingga adanya kesiapan
suatu produk bangsa untuk interaksi daya
saing di masa depan. Agar menjadi
kompetitif dalam arti ini adalah memiliki
peluang untuk menang bagi sejumlah
pemain industry yang menghadapi biaya
tinggi.
II. MISI
Untuk mewujudkan visi diatas, diperlukan tindakan nyata sesuai
dengan penguatan peran Balai Besar POM Jawa Timur sebagaimana
yang telah ditetapkan. Adapaun misi yang akan dilaksanakan sesuai
dengan peran tersebut untuk periode 2015-2019 adalah:
1. Meningkatkan sistem pengawasan obat dan makanan berbasis
risiko untuk melindungi masyarakat;
82
Pengawasan obat dan makanan merupakan satu kesatuan fungsi
(full spectrum) standarisasi, penilaian produk sebelum beredar,
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, sampling dan
pengujian produk serta penegakan hukum. Menyadari
kompleksnya tugas yang diemban Balai Besar POM Jawa Timur
dalam melindungi masyarakat dari produk yang tidak aman
dengan tujuan akhir adalah masyarakat sehat serta berdaya saing
maka perlu disusun suatu sasaran strategis khusus yang mampu
mengawalnya. Di satu sisi tantangan dalam pengawasan obat dan
makanan semakin tinggi sementara sumber daya yang dimiliki
terbatas, maka perlu adanya prioritas dalam penyelenggaraan
tugas.
2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan
jaminan keamanan obat dan makanan serta memperkuat
kemitraan dengan pemangku kepentingan;
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Balai Besar POM
Jawa Timur tidak dapat berjalan sendiri, shingga diperlukan
kerjasama atau kemitraan dengan pihak lainnya. Sebagai salah
satu pilar Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) yaitu
pelaku usaha mempunyai peran yang sangat strategis dalam
menjamin keamanan produk obat dan makanan. Pelaku usaha
merupakan pemangku kepentingan yang mampu memberikan
jaminan produk yang memenuhi standart dengan memenuhi
83
ketentuan yang berlaku terkait dengan produksi dan distribusi
obat dan makanan dengan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai lembaga pengawas, Balai Besar POM Jawa Timur
harus mampu mendorong pelaku usaha memproduksi produk obat
dan makanan yang aman, bermanfaat/berkhasiat dan bermutu.
Dengan pembinaan secara berkelanjutan, ke depan diharapkan
pelaku usaha mempunyai kemandirian dalam memberikan
jaminan keamanan obat dan makanan.
3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan Badan POM;
Balai Besar POM sebagai UPT Badan POM melaksanakan
tugas tertentu yang tidak hanya bersifat teknis semata (techno
structure) namun juga melaksanakan fungsi pengaturan
(regulating), pelaksana (executing), dan pemberdayaan
(empowering).
4. Misi BPOM merupakan penjabaran pelaksanaan misi yang sesuai
dengan tugas dan fungsinya sebagai unit pelaksana teknis.
Pengawasan pre dan post market yang berstandart
internasional diterapkan dalam rangka memperkuat BPOM
menghadapi tantangan globalisasi. Dengan penjaminan mutu
produk obat dan makanan yang konsisten, yaitu memenuhi
standar aman, berkhasiat/bermanfaat dan bermutu diharapkan
BPOM mampu melindungi masyarakat dengan optimal.
84
F. Pengawasan BPOM Terhadap Labelisasi
Dalam rangka pengawasan obat dan makanan dibutuhkan adanya
regulasi yang kuat guna mendukung system pengawasan. Sebagai Lembaga
Pemerintah Non Kementrian (LPNK) yang mempunyai tugas teknis tidak
hanya regulasi yang bersifat teknis saja yang harus dipenuhi, melainkan perlu
adanya regulasi yang bersifat administrative dan strategis. Pengawasan obat
dan makanan merupakan tugas pemerintahan yang tidak dapat dilakukan
sendiri, dan dalam prakteknya dibutuhkan kerjasama dengan banyak sektor
terkait baik pemerintah mapun swasta.
Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan yang
berdimensi luas dan kompleks, maka telah diterapkan Sistem Pengawasan
Obat dan Makanan (SISPOM) tiga pilar, yang melibatkan peran dan tanggung
jawab semua pihak yang terkait dalam satu jaringan yang bersinergi semenjak
awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar di masyarakat.
SISPOM tiga pilar meliputi38:
1. Sistem pengawasan oleh produsen/pelaku usaha, yaitu pelaksanaan cara
produksi yang baik atau GMP dan pemastian mutu produk sebelum
diedarkan melalui uji laboratorium, pemantauan mutu dan pelaporan
keamanan produk yang telah diedarkan. Hal ini karena secara hukum
produsen bertanggung jawab atas jaminan mutu, khasiat/manfaat, dan
keamanan produk serta kebenaran informasi sesuai yang dijanjikan saat
registrasi/pendaftaran produk di Badan POM;
38 Laporan Tahunan BPOM Tahun 2014, hal. 69
85
2. Pengawasan oleh BPOM, yang dilakukan melalui penyusunan
peraturan, pedoman pengawasan dan standarisasi sarana dan produk,
penilaian keamanan, khasiat/manfaat dan mutu serta informasi produk
sebelum produk diedarkan, inspeksi sarana distribusi dalam rangka
sertifikasi cara distribusi yang baik dan penerapan GDP, sertifikasi
ekspor dan import, penilaian penandaan dan iklan, pengambilan sampel
dan pengujian laboratorium terhadap produk yang telah ada di
peredaran, peringatan kepada public (public warning) terhadap produk
yang ditemukan dapat memberi dampak buruk bagi kesehatan dan
investigasi awal dan proses penegakan hukum terhadap berbagai pihak
yang melakukan penyimpangan cara produksi dan distribusi, maupun
pengedaran produk illegal/palsu;
3. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat
konsumen. BPOM telah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi
untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai kualitas
produk yang digunakan, karena pada akhirnya masyarakat sendiri yang
menentukan penggunaan suatu produk. Masyarakat dengan tingkat
pengetahuan dan kesadaran yang tinggi akan mampu membentengi diri
sendiri dari penggunaan produk yang tidak memenuhi syarat.
Disamping itu masyarakat yang telah diberdayakan akan mendorong
produsen untuk lebih berhati-hati dalam menjaga kualitas produknya
(community empowerment induce voluntary compliance).
86
Sistem pengawasan obat dan makanan yang diselenggarakan oleh
BPOM merupakan suatu proses yang komprehensif, mencakup pengawasan
pre-market dan post market sistem tersebut terdiri dari39:
1. Standarisasi yang merupakan fungsi penyusunan standart dan kebijakan
terkait dengan pengawasan obat dan makanan. Standarisasi dilakukan
terpusat, dimaksudkan untuk menghindari perbedaan standart yang
mungkin terjadi akibat setiap provinsi membuat standart sendiri;
2. Penilaian (pre-market evaluation) yang merupakan evaluasi produk
sebelum memperoleh ijin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan
diedarkan kepada konsumen. penilaian dilakukan terpusat, dimaksudkan
agar produk yang memiliki ijin edar berlaku secara nasional;
3. Pengawasan setelah beredar (post-market control) untuk melihat
konsistensi mutu produk, keamanan, dan informasi produk yang
dilakukan dengan melakukan sampling produk obat dan makanan yang
beredar, serta pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat dan
makanan, pemantauan farmakovigilan dan pengawasan label/penandaan
dan iklan. Pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan
terpadu, konsisten, dan standart;
4. Pengujian laboratorium, produk yang di sampling berdasarkan risiko
kemudian diuji melalui laboratorium guna mengetahui apakah obat dan
makanan tersebut telah memenuhi syarat keamanan, khasiat/manfaat dan
mutu. Hasil uji laboratorium ini merupakan dasar ilmiah yang digunakan
39 Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Kebijakan Strategis BPOM, www.pom.go.id, diunduh 18 Feb 2017
87
untuk menetapkan produk tidak memenuhi syarat yang digunakan untuk
ditarik dari peredaran;
5. Penegakan hukum di bidang pengawasan obat dan makanan. Penegakan
hukum didasarkan pada bukti hasil pengujian, pemeriksaan, maupun
investasi awal. Proses penegakan hukum sampai dengan projustitia dapat
berakhir dengan pemberian sanksi administrative seperti dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut ijin edar, disita untuk
dimusnahkan. Jika pelanggaran masuk pada ranah pidana, maka terhadap
pelanggaran obat dan makanan dapat diproses secara hukum pidana.
Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawas Obat
dan Makanan terbagi menjadi 2 tahapan yaitu Pre-market dan Post-Market.
Dalam hal pengawasan pre-market dan post-market dilakukan sejalan dengan
misi BPOM yaitu Meningkatkan sistem pengawasan obat dan makanan
berbasis risiko untuk melindungi masyarakat. Bentuk perlindungan yang
diberikan pemerintah kepada konsumen terhadap label yakni pengawasan,
yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan. Pada Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang membahas mengenai label diatur
dalam pasal 97 huruf e, dalam label halal ini menjadi sukarela pengurusannya
tidak menjadi wajib, pemberian label hanya untuk yang menginginkan label.
Setelah dikeluarkannya undang-undang tentang jaminan produk halal,
pengurusan label menjadi wajib, namun fakta dilapangan masih banyak
perusahaan maupun pelaku usaha lain yang belum melakukan pengurusan
sertifikat halal dan label. Dalam pencantuman label bukan hanya sekedar
88
memberikan agar konsumen percaya bahwa produk tersebut baik dan aman
untuk dikonsumsi. Namun setelah mendapatkan label halal tersebut, pelaku
usaha juga harus mempertanggung jawabkan atas kebenaran yang mana
dijelaskan dalam pasal 101.
Terdapat jaminan yang diberikan pemerintah kepada konsumen muslim
agar terjaganya produk makanan pada label halal agar terhindar dari
kecurangan yang diakukan oleh pelaku usaha. Pemerintah yang melakukan
pengawasan terhadap pangan yakni dijelaskan dalam pasal 108, pasal 109,
dan pasal 110. Dimana secara garis besar pemerintah menyelenggarakan
program pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap
kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
peredaran pangan oleh pelaku usaha pangan.
Label halal juga dibahas dalam Undang-Undang tentang Jaminan
Produk Halal. Undang-undang yang disikapi terbuka oleh konsumen terutama
konsumen muslim karena dijamin dalam produk pangan menjadi terlindungi
akan kenyamanan dan keamanan pada produk makanan berlabel halal.
Ketentuan terhadap produk makanan berlabel halal dalam UU JPH dijelaskan
pada pasal 4, yakni:
“produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
wajib bersertifikat halal”
Setelah pengurusan sertifikasi halal, pelaku usaha wajib mencantumkan
label halal terhadap produk, pengaturan ini tertuang dalam pasal 25 huruf a.
Ketentuan ini menjadi pedoman bagi pelaku usaha/produsen bahwa yang
89
akan beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat
halal. Namun dalam hal ini pengurusan sertifikat halal dan label masih
merupakan sukarela dari pelaku usaha. Padahal dalam undang-undang sudah
diwajibkan untuk pengurusannya. Hal seperti inilah yang menjadi evaluasi
besar pemerintah mengenai kurangnya sosialisasi kepada pelaku usaha
terhadap hal ini.
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 73/M-
DAG/PER/9/2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa
Indonesia Pada Barang secara garis besar dijelaskan bahwa pelaku usaha
wajib mencantumkan label pada produk yang akan diedarkan di pasaran.
Bentuk pengawasan terhadap pencantuman label dilakukan oleh menteri dan
didelegasikan kepada Direktur Jendral yang menangani bidang perlindungan
konsumen.
Menurut pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan, pengawasan terhadap ketentuan label dan iklan
pangan dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan. Pelaksanaan pencantuman
keterangan halal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari label, turut
menjadi domain Menteri Kesehatan. Menteri Agama beserta lembaga
keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang kehalalan, menurut pasal 11
Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan membuat pedoman dan
tata cara pemeriksaan kebenaran pernyataan halal.
Kementrian Kesehatan melalui BPOM merupakan perwakilan
pemerintah yang bertugas melaksanakan pengawasan atas produk makanan.
90
Namun, kewenangan BPOM juga terbatas karena BPOM hanya berwenang
menangani produk pangan olahan yang sudah dikemas saja, selain itu
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996
kewenangan BPOM terbatas menangani perusahaan skala besar dengan ijin
edar berlabel MD (Makanan Dalam Negeri) atau ML (makanan Luar negeri).
Sementara tidak semua produk halal merupakan produk berlabel, hanya
produk yang dikemas saja yang mempunyai label. Untuk produk yang tidak
dikemas seperti produk siap saji dan produk restoran belum ada aturan yang
mengatur berkaitan dengan masalah pengawasan kehalalan40.
40 Ibid, hlm. 127