bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum kekuasaan ...repository.ump.ac.id/7751/3/ade yiyit...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Kekuasaan Kehakiman
1. Kekuasaan Kehakiman
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman (Selanjutnya akan disebut
dengan istilah independensi) memang sudah sejak lama dipandang perlu
dalam sistem peradilan, tetapi konsep tersebut tidak memperoleh perhatian
yang cukup berarti dalam praktiknya. Namun demikian, indepedensi
kekuasaan kehakiman sebagai suatu konsep telah mendapat perhatian
penuh dan menjadi bahan kajian (Ahmad Kamil, 2012: 206).
Berkembangnya kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari peran
dan organisasi internasional seperti Internasional Commision of Jurist
yang berhasil mengajukan dokumen Milan Principles yang diadopsi oleh
sidang umum United Nations pada tahun 1985. Pada tingkat regional,
Komite Menteri pada Dewan Eropa menerima Recommendation on the
Indepedence, Efficiency, and the Role of Judges, dan kemudian diadopsi
oleh Dewan Uni-Eropa pada tahun 1998 dengan sebutan European Chaier
on the Statute for Judges (Djohansyah, 2008:123).
Milan principles maupun instrumen-instrumen internasional
tersebut di atas merupakan hasil perkembangan internasional yang
kemudian dilanjutkan ke tingkat lokal oleh masing-masing negara seperti
yang dianjurkan oleh United Nations agar setiap pemerintah negara
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
13
mempertimbangkan prinsip-prinsip independensi kekuasaan kehakiman
yang telah diadopsi oleh United Nations dalam setiap pembuatan peraturan
perundang-undangan mereka. Pada dasarnya negara-negara di dunia
mengakui pentingnya independensi kekuasaan kehakiman untuk
diterapkan di negara masing-masing tentunya berdasarkan landasan
teoritis dan filosofis masing-masing negara. Secara umum pendekatan
teoritis tentang independensi kekuasaan kehakiman, seputar ajaran
kepastian hukum dan keadilan hukum (Ahmad Kamil, 2012: 207).
Macdonald, Matscher dan Petzold, dalam bukunya yang berjudul “
The euoropean System for the Protection of Human Rights”(1993).
sebgaimana dikutip Jimmly Asshidiqieu: “ Indepedence judicary is a
fundamental requierement for democracy. Within this undestanding is the
nation that judicial indepedence must first exist in relation to the executive
and in relation to the parties. It must also involve indepedence in relation
to the legislative powers as well as in relation to political, economic, or
social pressure groups.”
Independensi kekuasaan kehakiman merupakan syarat utama
demokrasi. Dalam pengertian tersebut terkandung penekanan bahwa
independensi kekuasaan kehakiman pertama-tama harus terdapat dalam
hubungan kepada eksekutif dari para pihak (dalam suatu perkara). Hal
tersebut juga termasuk independensi dalam hubungan dengan kekuasaan
legislatif, sebagaimana juga dalam hubungan dengan kelompok politik,
ekonomi atau kelompok penekanan sosial”(Ahmad Kamil, 2012: 212).
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
14
Kekuasaan Kehakiman adalah ciri pokok dari negara hukum
(rechtsstaaat) dan prinsip the rule of law. Dalam catatan sejarah, setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, perkembangan
lembaga kekuasaan kehakiman dapat dikatakan sangat bergantung pada
keinginan baik (political will) pembuat Undang-undang atau rezim yang
berkuasa. Desain kelembagaan maupun status dan kedudukannya amat
ditentukan oleh siapa yang memerintah. Jika sang penguasa menghendaki
agar lembaga kekuasaan kehakiman berada di bawah pengaruhnya,
kekuasaan kehakiman pun tidak dapat berbuat banyak. Hal itu semakin
mengkristalkan jika konstitusi tidak secara eksplisit menjamin
kemandirian dan imparsialitas kekuasaan kehakiman (Komisi Yudisial,
2014:4).
Independensi kekuasaan kehakiman mulai banyak diperbincangkan
dalam berbagai kesempatan seiring menguatnya jaminan UUD NRI
Tahun 1945 tentang independensi hakim dalam menjalankan
kewenangannya. Sebagian menaruh harapan akan masa depan pengadilan
yang lebih dipercaya, jauh dari intervensi kekuasaan eksternal
sebagaimana terjadi di era orde baru. Tetapi tidak sedikit pula yang
mengkhawatirkan intervensi justru datang dari kekuasaan kehakiman itu
sendiri, atau dari pihak-pihak yang berperkara dengan modus transaksi.
Independensi adalah proteksi yang berbasis pada kepercayaan terhadap
manusia penyandang kewenangan yudikatif sebagai penegak keadilan
yang harus dilindungi dari kemungkinan intervensi dari manapun agar
dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
15
Karena independensi kekuasaan kehakiman adalah sebuah ide yang
kompleks, tidak semata-mata sebagai sesuatu nilai, tetapi sebagai
instrumen yang bermanfaat untuk mengejar nilai-nilai lain yang lebih
tinggi, yaitu rule of law. Kompleksitas pemikiran tentang independensi
kekuasaan kehakiman terjadi karena pemikiran tersebut tidak dapat
dilepaskan dari ide lain dalam masyarakat, khususnya mengenai
kekuasaan kehakiman dan fungsinya. Ide-ide tersebut, termasuk ide
mengenai independensi kekuasaan kehakiman digambarkan seperti
matriks yang saling berkaitan.
Franken, (1997: 9,10) ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa
indepedensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam 4 (empat)
bentuk yaitu :
a. Indepedensi Konstitusional (Constitusionale Onafhan Kelikjheid).
b. Indepedensi Fungsional (Zakelijke of Functionale Onafhankelijekheid).
c. Indepedensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionale
Onafhankelijekheid).
d. Indepedensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke
Onafhankelijekheid).
Independensi konstitusional adalah Indepedensi yang dihubungkan
dengan doktrin trias politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut
Montesquieu lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti
kedudukan kelembagaannya harus bebas dari pengaruh politik.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
16
Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh hakim ketika menghadapi sengketa dan harus memberikan
suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh
menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan Undang-undang apabila
Undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena
bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi
Undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan.
Independensi hakim adalah mengenai kebebasan hakim secara
individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa. Brenninkmeijer
mengatakan bahwa: “ De zakelike onafhankelijekheid moet worden gezien
als een uitvloeisel van de persoonlijke onafhankeljkeheid. Ik denk dat men
eerder van het omgekerde kan spreken, aangeizen de zakelijke
onafhankelijkheid direct betrekking heeft of de invulling van de
Constitusionele toegedachte taken.”(franken, H. 1997: 41).
Independensi fungsional harus dilihat sebagai hasil dari
indepedensi personal hakim. Saya berpendapat bahwa orang dapat saja
berbicara lebih dahulu secara kebalikannya, melihat indepedensi personal
memiliki hubungan langsung dengan tugas-tugas yang ditetapkan oleh
konstitusi.”
Independensi praktis adalah indepedensi hakim untuk tidak
berpihak (imparsial). Hakim itu harus mengikuti perkembangan
pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media.
Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
17
norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat (Ahmad Kamil, 2012:
217).
Dalam transaksi politik di Indonesia pasca orde baru, memang
terdapat perubahan mendasar kedudukan kekuasaan kehakiman di dalam
UUD 1945 yang baru yang menandakan adanya transisi rezim ke
demokrasi secara signifikan. Perubahan dimaksud dimuat dalam pasal 24
A ayat (1) yang berbunyi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum
dan keadilan. Ayat (2)- nya berbunyi kekuasaan kehakiman tidak hanya
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, tetapi juga oleh sebuah
Mahkamah Konsitusi.
Di luar itu, dalam Pasal 24 B ayat (1) terdapat pula lembaga negara
baru yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Substansi yang dimuat dalam rangkaian Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945
itu menegaskan dan menjamin tiga dimensi kekuasaan kehakiman, yaitu :
pertama, dimensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kedua, dimensi kekuasaan
kehakiman lain oleh Mahkamah Konstitusi, dan ketiga, dimensi kekuasaan
kehakiman dalam rangka mengusulkan pengangkatan hakim agung
menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim (Komisi Yudisial, 2012:285).
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
18
Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan sebagai
cabang yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan
Presiden. Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum
perubahan ditentukan “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Berhubung
dengan itu, harus diadakan jaminan Undang-undang tentang kedudukan
hakim”.
Terhadap dua pasal beserta penjelasannya itu Prof. Wirjono
Prodjodikoro, S.H. memberikan pengertian sebagai berikut:
a. Bahwa ada Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif) terlepas dari kekuasaan
perundang-undangan (Legislatif) dan Kekuasaan pemerintah
(Eksekutif).
b. Bahwa kekuasaan kehakiman ini adalah merdeka dalam arti terlepas
dari pengaruh pemerintah.
c. Bahwa ada satu Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi
di Indonesia.
d. Bahwa adanya badan-badan pengadilan lain di Indonesia diserahkan
pada Undang-undang untuk menentukannya.
e. Bahwa susunan dan kekuasaan in concerto dari Mahkamah Agung dan
lain-lain badan pengadilan itu diserahkan kepada Undang-undang
untuk mengaturnya.
f. Bahwa pun syarat-syarat untuk pengangkatan dan pemberhentian
sebagai hakim diserahkan kepada Undang-undang untuk mengaturnya.
g. Bahwa ada semacam instruksi kepada pembentuk Undang-undang agar
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
19
dijamin kedudukan yang layak dari para hakim di tengah tengah
masyarakat (Bambang Arumanadi, 1990:86).
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu unsur kekuasaan di
Indonesia selain kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Ketiga
cabang tersebut bersinergi dan saling berhubungan satu sama lain baik
dengan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) maupun
pembagian kekuasaan (distribution power) (Jimmly Asshiddiqe, 2006:23).
Pemberian dan pembatasan kekuasaan dari lembaga-lembaga
negara secara konstitusional tersebut dalam perkembangannya berevolusi
dalam beragam bentuk dan mekanisme sesuai dengan dinamika politik dan
ketatanegaraan suatu negara yang tergambar dalam konstitusi bangsa itu
sendiri. Dalam hubungan antar lembaga negara dikenal adanya suatu
mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (check and
balances) diantara cabang kekuasaan negara tersebut dalam menjalankan
kewenangannya.
Meskipun sering disalah pahami sebagai penggagas teori
pemisahan kekuasaan (the separation of power) secara murni, sebenarnya
Montesquieu sendiri meyakini urgensi mekanisme pengawasan dari suatu
lembaga terhadap lembaga lainnya dalam menjalanan kekuasaanya. Lebih
jelas Monstequieu mengatakan bahwa: “constan experience shows us that
every man invested with power is apt to abuse it....(it is) necesary from the
every nature of things that power should be a check to power.... that the
government should be devided among different persons and bodies, which
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
20
would act as on each other” (2016: 78).
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman, pada Pasal 19 menyebutkan bahwa demi
kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentigan
masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turut atau campur
tangan dalam soal-soal pengadilan. Tentu sangat jelas bahwa norma
kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam penjelasan UUD 1945 tidak
dapat diterjemahkan, meminjam bahasa laku dalam doktrin orde baru,
pelaksanaan secara konsisten dan konsekuen dalam Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1964. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka
sangat bergantung pada sistem dan corak politik kekuasaan yang
berlangsung.
Reformasi membawa angin segar pembaharuan kekuasaan
kehakiman. Pada awal reformasi lahirlah Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 menggeser induk organisasi
lingkungan peradilan berada dibawah Mahkamah Agung sepenuhnya.
Penyatuan ini ditindak lanjuti pengaturannya dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004. Lebih
fundamental, perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 semakin menegaskan kemandirian kekuasaan
kehakiman. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebut bahwa “kekuasaan
kehakiman merupakan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
21
guna menegakan hukum dan keadilan”. Jaminan konstitusi yang kuat hadir
untuk memastikan bahwa kekuasaan kehakiman merdeka dari campur
tangan kekuasaan kehakiman.
Pembaharuan peradilan meliputi banyak agenda, mulai dari
penyatuatapan, perbaikan sistem kepegawaian dan pengkajian, penerapan
sistem informasi di pengadilan , dan lain sebagainya. Namun, kekuasan
kehakiman belum sepenuhnya dipercaya hadir oleh masyarakat. Apabila
pada masa lalu kekuasaan kehakiman tidak merdeka dari campur tangan
kekuasaan lain, pada masa reformasi dunia peradilan justru dicurigai tidak
merdeka secara oleh begitu banyak persoalan yang bisa terpicu secara
eksternal (Komisi Yudisial, 2014: 289).
Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan
kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang
melakukan rule of law , antara lain meliputi:
a. Judicial Indefedence, lembaga peradilan harus merupakan suatu
lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap
masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan
yang terbuka untuk umum yang dilaksanakan oleh pengadilan yang
berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri
merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang
mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil
dan menerapkan hukum yang baik.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
22
b. Objective of the judiciary, tujuan peradilan adalah:
1) Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman dibawah the rule
of law .
2) Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.
3) Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama
warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.
c. Appoinment of Judges. Para hakim harus diangkat beradasarkan
kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan
harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa
hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur
pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (Suku,
warna, kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).
d. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui
pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar
hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia
tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga
merugikan hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya
boleh diberhentikan sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak
mampu , dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai
dengan kedudukannya sebagai hakim, dan harus berdasarkan prosedur
yang jelas.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
23
Secara khusus kekuasaan kehakiman telah diatur pula dalam UU
No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU
No 48 Tahun 2009 merupakan undang-undang organik, sekaligus sebagai
induk dan kerangka umum yang meletakan asas-asas, landasan dan
pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di Indonesia.
Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh Mahkamah Konstitusi”.
Dengan demikian, badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Mengenai kedudukan dan wewenang masing-masing lingkungan
peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan
perundang-undangan di bawah ini, yakni :
a. UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan beberapa
perubahannya dalam UU No 5 Tahun 2004 dan UU No 3 Tahun 2009.
b. UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan beberapa
perubahannya dalam UU No 8 Tahun 2004 dan UU No 49 Tahun
2009.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
24
c. UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
beberapa perubahannya dalam UU No 9 Tahun 2004 dan UU No 51
Tahun 2009.
d. UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahannya
dalam UU No 3 Tahun 2006 dan UU No 50 Tahun 2009.
e. UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
f. UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
perubahannya dalam UU No 8 Tahun 2011.
g. UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan perubahannnya.
Sasaran penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk
menciptakan kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman
dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para
penyelenggara dilakukan dengan meningatkan integritas, ilmu
pengetahuan, dan kemampuan. Adapun peradilan yang berkualitas
merupakan produk dari kinerja para penyelenggara peradilan tersebut
(Muhammad Nuh, 2011:95).
Kompetensi atau wewenang pengadilan dibedakan atas lingkungan
dan tingkat peradilan, berdasarkan lingkungannya pengadilan dibedakan
atas :
a. Pengadilan Negeri
Adalah suatu peradilan umum yang berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata
dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
25
b. Pengadilan Agama
Adalah suatu peradilan yang memeriksa dan memutuskan perkara-
perkara yang timbul antara orang-orang islam yang berkaitan dengan
nikah, rujuk, talak, nafkah waris dan lain-lain.
c. Pengadilan Tata Usaha Negara
Adalah pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua
sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama.
d. Pengadilan Militer
Adalah pengadilan yang berwenang mengadili dalam lapangan pidana
bagi anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian
Republik Indonesia atau orang yang disamakan dengannya.
Wewenang peradilan berdasarkan tingkatannya dibedakan atas:
a. Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
Wewenang pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa dan
memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang khususnya tentang:
1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyelidikan atau penghentian tuntutan.
2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang
perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
b. Pengadilan Tingkat Kedua
Wewenang pengadilan tingkat kedua adalah :
1) Mengadili perkara yang diputuskan oleh pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
26
2) Berwenang untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas
perkara dan surat-surat untuk diteliti dan memberi penilaian
terhadap kecakapan dan kerajinan hakim.
c. Kasasi oleh Mahkamah Agung
Wewenang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut :
1) Mengadili semua perkara yang dimintakan kasasi.
2) Meminta keterangan dari semua pengadilan lingkungan peradilan.
Pengadilan dalam menegakan hukum yang telah di buat dan
disediakan oleh pembentuk Undang-undang, berbeda dengan
komponen eksekutif, yaitu menjalankan penegakan hukum itu dengan
aktif, sedangkan peradilan dapat disebut pasif, karena harus menunggu
datangnya pihak-pihak yang membutuhkan jasa peradilan. Para pencari
keadilan datang membawa persoalan mereka untuk diselesaikan
melalui proses peradilan.
Undang-undang yang telah dibuat dan disediakan oleh
pembentuk Undang-undang itu, tidak selamanya dapat diterapkan
begitu saja pada peristiwanya. Tetapi ketentuan perundang-undangan
itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan sesuai dengan
peristiwanya, kemudian baru dapat diterapkan pada peristiwanya.
Penerapan atau penegakan Undang-undang yang bersifat abstrak dan
umum seperti ini lazimnya dilakukan melalui peradilan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa, kalaupun Undang-
undang itu jelas, Undang-undang itu tidak sempurna tidak mungkin
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
27
Undang-undang itu lengkap dan tuntas. Tidak mungkin Undang-
undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas,
karena kegiatan manusia itu tidak terbilang banyaknya.
Sejalan dengan pernyataan diatas, Ismail Shaleh menyatakan
bahwa Menegakan hukum bukanlah sekedar melaksanakan huruf,
kalimat atau Pasal “mati” dalam peraturan Perundang-undangan
sebagai hukum positif. Hukum positif mempunyai kekurangan-
kekurangan atau kekosongan-kekosongan, karena hukum positif
memang tidak dapat mengikuti kecepatan dinamika perkembangan
masyarakat, bahkan dalam beberapa hal ketinggalan dengan masalah-
masalah yang timbul dalam masyarakat. Kekosongan hukum tersebut
dapat diisi oleh hakim, sehingga hakim pun dalam hal ini menjadi
pembuat hukum.
Penegakan melalui peradilan tidak selamanya menerapkan
ketetuan perundang-undangan, tetapi peradilan juga dapat menciptakan
hukum. Sebagaimana dinyatakan Sudikno Mertokusumo : “ Mengingat
hakim adalah pembentuk hukum, di samping pembentuk Undang-
undang, dan mengingat pula akan kebebasan hakim, maka selama
pembentuk Undang-undang impoten dalam menciptakan atau
membentuk peraturan masyarakat, maka kita dapat mengharapkan
kreativitas dari hakim untuk atau mencipatakan hukum yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus diberi
kebebasan yang lebih besar. Untuk itu cukuplah kiranya pembentuk
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
28
Undang-undang menciptakan atau membentuk Undang-undang yang
bersifat umum, agar hakim tidak akan menghadapinya dan akan lebih
bebas untuk menafsirkannya”.
Selain dengan pernyataan diatas, Lie Oen Hock dalam pidato
pengukuhannya sebagai guru besar pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia menegaskan bahwa : “Hakim dalam menjalankan tugasnya,
yaitu melakukan peradilan, turut serta menciptakan hukum. Ini berarti
di samping hukum yang terdapat dalam Undang-undang terdapat pula
hukum hakim (rechterrecht), yang lebih dikenal dengan
yurisprudensi”.
Pernyataan diatas menunjukan bahwa penegakan hukum
melalui peradilan, disuatu pihak menerapkan atau melaksanakan
peraturan perundang-undangan, dan di pihak lain melakukan diskresi
dalam keadaan tertentu dengan menciptakan hukum melalui
putusannya (Komisi Yudisial, 2014: 147).
B. Tinjauan tentang Hakim
1. Pengertian Hakim
Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum,
yang dipundaknya telah diletakan kewajiban dan tanggung jawab agar
hukum dan keadilan itu ditegakan, baik yang berdasarkan kepada tertulis
atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
29
bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha
Esa (Bambang Waluyo, 1991:11).
Pengertian hakim menurut pasal 1 ayat (5) UU komisi Yudisial
Nomor 22 Tahun 2004 adalah hakim agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Hakikat keberadaan hakim adalah sebagai penengah dan
penjembatan bilamana terdapat konflik antara dua belah pihak.
Penyelesaian sengketa mengalami perkembangan jika awalnya hanya
melibatkan dua pihak (two party) kini melibatkan pihak ketiga (third
party) sebagai upaya menyelesaikan sengketa (Ahmad syahrizal, 2006:
46).
Hakim adalah suatu elemen dasar dalam sistem peradilan selain
jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagai subjek yang
melakukan tindakan putusan atas suatu perkara di dalam suatu pengadilan.
Hakim yang merupakan personafikasi atas hukum harus menjamin rasa
keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum
legal, dan untuk menjamin rasa keadilan itu maka seorang hakim dibatasi
oleh rambu-rambu seperti akuntabilitas, integritas, moral dan etika,
transparansi dan pengawasan.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
30
2. Etika Profesi Hakim
Etika profesi hakim telah dituangkan dalam keputusan bersama
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan ketua Komisi Yudisial
Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor
02/SKB/P-KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
yang mengatur perilaku hakim sebagai berikut:
a. Berperilaku Adil
Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan
yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa
semua orang sama kedudukannya di depan hukum.
b. Berperilaku Jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar
adalah benar dan salah adalah salah. Kejujuran mendorong
terbentuknya pribadi yang ikut dan mengakibatkan kesadaran akan
hakikat yang hak dan yang batil.
c. Berlaku Arif dan Bijaksana
Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-
norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum,
norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan
dengan memerhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu
memperhitungkan akibat dari tindakannya.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
31
d. Bersikap Mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain,
bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh apapun.
e. Berintegritas Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur
dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada
sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma
yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
f. Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-
baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta
memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas
pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
g. Menjunjung Tinggi Harga Diri
Harga diri bermakna bahwa diri manusia melekatkan martabat dan
kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap
orang.
h. Berdisplin Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah
yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta
kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
i. Berperilaku Rendah Hati
Rendah hati bermakna kesadaran dan keterbatasan kemampuan diri,
jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
32
j. Bersikap Profesional
Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad
untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan,
yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, ketrampilan dan
wawasan (H.M Agus Santoso, 2014:102).
3. Tugas Hakim
Tugas daan kewajiban hakim dalam bidang peradilan menurut UU
No 48 Tahun 2009 , Antara lain :
a. Tugas hakim secara normatif
1) Peradilan dilakukan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 2 ayat (1) UU No 48
Tahun 2009).
2) Peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila (Pasal 2 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).
3) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1
UU No 48 Tahun 2009).
4) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).
5) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (1) UU No
48 Tahun 2009).
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
33
6) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat ( Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).
7) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan
berpengalaman di bidang hukum ( Pasal 5 ayat (2) UU No 48
Tahun 2009).
8) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati kode etik dan pedoman
perilaku hakim (Pasal 5 ayat (3) UU No 48 Tahun 2009).
9) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, tetapi wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).
10) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan
susunan sekurang-kurangnya tiga orang hakim kecuali Undang-
undang menyatakan lain ( Pasal 11 ayat (1) UU No 48 Tahun
2009).
11) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan
(Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009).
12) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum ( Pasal 13
ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
34
13) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (
Pasal 14 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).
b. Tugas Hakim secara Konkret
1) Mengonstatir (mengonstatasi) yaitu menetapkan atau merumuskan
peristiwa konkret, hakim mengakui atau membenarkan telah
terjadinya peristiwa yang telah diajukan para pihak di muka
persidangan. Syaratnya adalah peristiwa itu konkret itu harus di
buktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh
menyatakan bahwa suatu peristiwa konkret itu benar-benar terjadi.
Mengonstatir berarti menetapkan peristiwa konkret dengan
membuktikan peristiwanya atau menganggap telah terbuktinya
peristiwa tersebut.
2) Mengualifisir (mengualifikasi) yaitu menetapkan atau merumuskan
peritiwa hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap
benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang
mana atau seperti apa. Dengan kata lain, mengualifisir adalah
menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah di konstatir
dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa
tersebut. Mengualifikasi dilakukan dengan cara mengarahkan
peristiwanya kepada aturan hukum atau undang-undang, agar
aturan hukum atau undang-undang tersebut dapat diterapkan pada
peristiwanya.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
35
3) Mengkonstituir (mengkonstitusi atau memberikan konstitusinya)
yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada
para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil
kesimpulan dari adanya premisse mayor (peraturan hukumnya) dan
premissse minor (peristiwanya). Dalam menyampaikan putusannya
hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya di terapkan
secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukumnya, dan
kemanfaatannya (Muhammad Nuh, 2011:108).
C. Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi
1. Pengertian Mahkamah Konstitusi
Pengertian Mahkamah Konstitusi menurut pasal 1 ayat (1) Undang-
undang Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi
(Maruaar Siahaan, 2011:1).
2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi
a. Kedudukan
1) Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
36
2) Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik
Indonesia.
b. Susunan
1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 ( sembilan) orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden.
2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan
7 ( tujuh) orang aggota hakim konstitusi.
3) Ketua dan wakil dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa
jabatan 3(tiga) tahun.
4) Hakim konstitusi adalah pejabat negara (Kansil:2011:129).
Lebih jelas lagi Jimlly Asshidiqie menguraikan sebagai
berikut: “Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi
dikontruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakan
keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat Mahkamah
Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar negara secara
konsisten dan bertanggung jawab”. Di tengah kelemahan sistem
konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir
agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan
bernegara bermasyarakat (cetak biru, 2004:4).
3. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Sesuai ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah
Konstitusi memiliki lima kewenangan peradilan yaitu :
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
37
a. Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalisme Undang-undang.
b. Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
c. Peradilan perselisihan hasil pemilihan umum.
d. Peradilan pembubaran partai politik.
e. Peradilan atas pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden
menurut Undang-undang.
Dalam menjalankan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi
memiliki kemerdekaan yudisial. secara kelembagaan, Mahkamah
Konstitusi adalah merdeka dari campur tangan kekuasaan lembaga negara
lainnya dalam menegakan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan kewenangannya
sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman memiliki panduan
dalam menjalankan persidangan. Panduan asas hukum yang digunakan
sebagai pedoman para hakim dalam menjalankan konstitusi adalah sebagai
berikut :
a. Persidangan terbuka untuk umum
Pasal 19 Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman menyatakan bahwa pengadilan terbuka untuk umum
kecuali Undang-undang menentukan lain. Hal ini juga berlaku bagi
persidangan pengujian Undang-undang. Dalam Pasal 40 ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perlindungan terbuka untuk
umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan yang
terbuka merupakan sarana pengawasan secara langsung oleh rakyat.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
38
b. Independen dan imparsial
Mahkamah Konstitusi merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman yang bersifat mandiri dan merdeka. Sifat mandiri dan
mereka berkiatan dengan sikap imparsial (tidak memihak). Sikap
independen dan imparsial yang harus dimiliki hakim bertujuan agar
menciptakan peradilan yang netral dan bebas dari campur tangan pihak
manapun. Sekaligus sebagai upaya pengawasan terhadap cabang
kekuasaan lain.
c. Peradilan cepat, sederhana dan murah
Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan kehakiman mengamanahkan
bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya
ringan. Dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi membuat terobosan
besar dengan menyediakan sarana sidang jarak jauh melalui fasilitas
video conference. Hal tersebut sebagai upaya dari mahkamah konstitusi
mewujudkan persidangan yang efisien.
d. Putusan bersifat erga omnes
Berbeda dengan peradilan di Mahakamah Agung yang bersifat
inter partes artinya hanya mengikat para pihak bersengketa dan
lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian Undang-undang di
Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan pada ranah hukum publik.
Sifat peradilan di Mahkamah Konstitusi adalah erga omnes yang
mempunyai kekuatan mengikat.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
39
e. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et eltram partem)
Dalam berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon
beserta penasihat hukum yang ditunjuk berhak menyatakan
pendapatnya di muka persidangan.
f. Hakim aktif dan pasif dalam persidangan
Karakteristik peradilan konstitusi adalah kental dengan
kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan. Sehingga
proses persidangan tidak dapat digantungkan seterusnya pada inisiatif
para pihak. Mekanisme constitutional harus digerakan pemohon
dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersifat pasif
dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk melakukan pengujian
tanpa permohonan.
g. Ius curia novit
Pasal 16 UU kekuasaan kehakiman menyatakan pengadilan tidak
boleh menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih tidak ada dasar hukumnya atau kurang
jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan
demikian pengadilan dianggap mengetahui hukum. Asas ini ditafsirkan
sehingga mengarahkan hakim pada proses penemuan hukum untuk
menemukan keadilan.
Praktik beracara di Mahkamah Konstitusi menggunakan hukum
acaranya yang tersendiri dan khas. Sumber hukum acara di Mahkamah
Konstitusi tersebut adalah :
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
40
a. Undang- undang Mahkamah Konstitusi.
b. Peraturan Mahkamah Konstitusi.
c. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.
d. Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Pidana.
e. Pendapat Sarjana.
f. Hukum acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (Marauarar
Siahaan, 2006: 84).
4. Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi
Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri
sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi dan dibaca/diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh hakim
konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat dan tidak ada
upaya hukum.
Jenis putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak
jauh beda dengan peradilan lain yakni putusan yang bersifat Declaratoir,
constitutief, dan condemnatoir. Putusan yang bersifat Condemnatoir
apabila putusan tersebut berisi peghukuman agar tergugat atau termohon
melakukan suatu prestasi. Putusan yang bersifat Condemnatoir di MK
adalah putusan yang menengahi sengketa antar lembaga negara.
Mahkamah Konstitusi dapat menghukumi agar lembaga tersebut
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
41
dinyatakan tidak berwenang sebagai mana termaktub dalam Pasal 64 ayat
(3) UU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal permohonan dikabulkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan
dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.
Putusan declaratoir adalah putusan yang menjadikan hakim
menyatakan apa yang berlaku sebagai hukum. Putusan hakim seperti ini
adalah putusan yang menyatakan permohonan atau gugatan di tolak.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat declaratoir ini ada dalam
Pasal 56 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal permohonan
dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi
menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, Pasal dan/atau bagian dari
Undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan
hukum atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan Mahkamah
Konstitusi pada perkara pengujian Undang-undang yang bersifat
constitutif. Pada putusan ini Mahkamah Konstitusi menyatakan suatu
Undang-undang bertentangan dengan konstitusi baik secara keseluruhan
atau pada Pasal tertentu.
Beradasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian
Undang-undang Pasal 36 Amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam
beberapa bentuk :
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
42
a. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, dalam hal
permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56
ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003.
b. Mengabulkan permohonan Pemohon, menyatakan bahwa materi
muatan ayat, Pasal dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan
dengan UUD 1945, Menyatakan bahwa materi muatan ayat, Pasal
dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, dalam hal ini permohonan beralasan sebagaimana dimaksud
Pasal 56 ayat (2) ayat (3), dan Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun
2003.
c. Mengabulkan permohonan pemohon. Menyatakan bahwa
pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
UU berdasaran UUD 1945, menyatakan UU tersebut tidak mempunyai
Kekuataan hukum mengikat, dalam hal permohonan beralasan
sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (4) dan Pasal 57 ayat (2) UU No
24 Tahun 2003.
d. Menyatakan permohonan pemohon di tolak. Dalam hal UU yang
dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik
mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan
sebagiamana dimaksud Pasal 56 ayat (5).
Sebagaimana putusan peradilan pada umumnya putusan peradilan
konstitusi di Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum. Untuk
putusan pengujian Undang-undang bentuk putusannya adalah declarator
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
43
constitutif. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi dapat menciptakan
suatu keadaan hukum baru atau meniadakan suatu keadaan hukum. Posisi
yang demikian menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai negative
legislator, putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai tiga kekuatan yaitu
kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.
1) Kekuatan mengikat
Sebuah putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan
suatu persoalan atau sengketa dan menetapakan hak atau hukumnya.
Sebagai salah satu lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui
konstitusi Mahkamah Konstitusi juga mempunyai karakter khusus.
Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut
berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus
dilaksanakan.
Mengenai kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi
kita dapat menengok kembali pada Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta
putusannnya bersifat final. Mengikat artinya bahwa hakim tidak boleh
memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak
yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
44
2) Kekuatan Pembuktian
Sebuah putusan pengadilan, khusunya putusan Mahkamah
Konstitusi memiliki kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 60 UU
Mahkamah Konstitusi menyatakan setiap muatan ayat, pasal dan/atau
bagian dalam Undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan
untuk diuji kembali. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut merupakan sebagai alat bakti yang dapat digunakan bahwa
telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti.
Kekuatan hukum pasti yang terdapat dalam putusan Mahkamah
Konstitusi ada dua sisi yakni positif dan negatif. Sisi positif adalah
bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah benar sehingga
tidak diperlukan pembuktian. Sedangkan sifat negatifnya adalah hakim
tidak diperbolehkan memutus perkara yang pernah diajukan
sebelumnya.
3) Kekuatan Eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai perbuatan hukum
pejabat negara untuk mengakhiri sengketa yang akan meniadakan atau
menciptakan hukum. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang
dibentuk berdasarkan konstitusi. Sebagai dasar dan pedoman praktik
ketatanegaraan harus ditaati sebagai dasar hukum bernegara.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji apakah suatu Undang-
undang telah memenuhi syarat konstitusional diadakan melalui
konstitusi.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
45
D. Tinjauan tentang Komisi Yudisial
1. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 24B
Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial.
Pengertian Komisi Yudisial menurut Pasal 2 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 “Komisi Yudisial adalah lembaga negara
sebagaimana maksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan,
Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat
konstutisional.
2. Kedudukan dan Susunan Komisi Yudisial
a. Kedudukan
1) Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri
dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan
atau pengaruh kekuasaan lainnya.
2) Komisi Yudisial berkedudukan di Ibukota Negara Republik
Indonesia.
b. Susunan
1) Komisi Yudisal terdiri atas pemimpin dan anggota.
2) Pemimpin Komisi Yudisial terdiri dari atas seorang ketua dan
seorang wakil ketua yang merangkap anggota.
3) Komisi Yudisial mempunyai 7 anggota, anggota Komisi Yudisial
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
46
adalah pejabat negara.
4) Keanggotan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan
anggota masyarakat.
5) Pimpinan Komisi Yudisial dipilih dari anggota Komisi Yudisial
(C.S.T Kansil, 2011: 137).
3. Wewenang Komisi Yudisial
Wewenang dan tugas Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat
kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang-undang No.22 Tahun 2004
pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah :
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan.
b. Menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
c. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)
bersama-sama Mahkamah Agung.
d. Menjaga dan menegakan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH).
Dalam melaksanakan wewenang, yaitu mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas :
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
47
a. Melakukan pendaftaran calon hakim agung.
b. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung.
c. Menetapkan calon agung, dan
d. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Kemudian Pasal 20 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011
mengatur bahwa :
a. Dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran,
martabat, serta perilaku hakim, komisi yudisial mempunyai tugas:
1) Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim.
2) Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
3) Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
4) Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim.
5) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
b. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi Yudisial
juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan
kesejahteraan hukum.
c. Dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
48
huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat
penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) oleh hakim.
d. Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi
Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Disahkannya Undang-undang tersebut merupakan upaya untuk
memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga
negara yang independen yang menjalankan fungsi checks and balances di
bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang jujur, bersih, transparan dan profesional (Komisi
Yudisial, 2014:270).
4. Proses Pemeriksaan Yang Dilakukan Komisi Yudisial
Dalam melakukan pengawasan sebagai mana di maksud dalam
Pasal 20 ayat(1) huruf a, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat
dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran kode etik dan/atau
pedoman perilaku hakim yaitu :
a. Untuk melaksankan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada badan
peradilan dan/atau hakim.
b. Pimpinan badan peradilan dan/atau hakim wajib memberikan
keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial sebagaimana
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
49
dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.
c. Apabilan badan peradilan dan/atau hakim belum memberikan
keterangan atau data dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Komisi Yudisial meminta keterangan dan/atau data tersebut
melalui pimpinan Mahkamah Agung.
d. Pimpinan Mahkamah Agung meminta kepada badan peradilan
dan/atau hakim untuk memberikan keterangan atau data sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial.
e. Apabila permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, pimpinan badan peradilan atau
hakim yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
f. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Komisi
Yudisial.(2016:126).
E. Judicial Review
1. Pengertian Judicial Review
Ketentuan tentang penanganan Pancasila ke dalam peraturan
perundang-undangan dan instrumen pengawasannya melalui judicial
review di Indonesia pada saat ini sudah cukup diatur dengan berbagai
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
50
instrumen konstitusi dan hukum. Menurut Pasal 24 C UUD 1945
Mahkamah Konstitusi mempunyai hak pengujian UU terhadap UUD
sedangkan Mahkamah Agung menurut Pasal 24 A melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Meski fungsi pengujian yang
dilakukan oleh Mahkmah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebenarnya
sama-sama merupakan judicial review tapi secara teknis pengujian UU
terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi biasa juga disebut
Constitusional review sedangkan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi oleh Mahkamah Agung biasa disebut judicial review , secara
umum keduanya disebut sebagai judicial review dalam arti pengujian yang
dilakukan oleh lembaga yudisial.
Selain itu, di luar judicial review, sistem ketatanegaraan kita juga
mengenal legislative review yakni peninjauan atau perubahan UU atau
Perda oleh lembaga legislatif (DPR/DPRD dan Pemerintah/Pemda) sesuai
dengan tingkatannya karena isinya dianggap tidak sesuai dengan hukum
dan falsafah yang mendasarinya.
Ada juga istilah executive review yakni pengujian atau peninjauan
atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga
eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
lembaga eksekutif sendiri tanpa dimintakan judicial review ke lembaga
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
51
yudisial karena ada kekeliruan atau kebutuhan baru untuk meninjaunya
(Moh. Mahfud MD, 2012: 65).
Konsep pembagian kekuasaan memberikan Wewenang untuk
melakukan pembentukan hukum kepada legislatif. Apa yang dirumuskan
oleh lembaga legislatif dilakukan dalam pembentukan Undang-undang
setelah disahkan akan mempunyai kekuataan sebagai sebuah produk
hukum.
UUD 1945 tidak memberikan definisi Undang-undang. Namun
definisi Undang-undang dapat kita temukan pada Undang-undang No 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang merupakan seperangkat aturan yang mendatangkan faedah
bagi masyarakat. Undang-undang fungsinya bukan untuk menghukum
masyarakat melainkan agar terciptanya ketertiban di masyarakat.
Dengan dianutnya paham konstitusionalisme yang menganut
adanya pembatasan kekuasaan yang memiliki dua esensi yaitu pertama
sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara,
hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukannya sebaliknya,
kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan, bahwa
kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi tak lain sebagai upaya menegakan
prinsip negara hukum dan konstitusionalisme (Ni‟matul Huda, 2008: 30).
Terdapat banyak pendapat mengenai istilah dari pengujian Undang-
undang terhadap Undang-undang terhadap Undang-undang dasar. Judicial
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
52
review sering diartikan sebagai pengujian Undang-undang terhadap
Undang-undang dasar. Ketentuan judicial review di Amerika Serikat (As)
tidak dicantumkan di dalam Konstitusi AS. Akan tetapi, pada 1803 John
Marshal membuat sejarah baru dalam hukum konstitusi ketika Ketua
Mahkamah Agung tersebut membatalkan judicary act 1789 secara sepihak
dengan alasan act tersebut bertentangan dengan Konstitusi Amerika.
Judicial review oleh Marshall ini kemudian menjadi konvensi di Amerika
Serikat dan menjalar serta diikuti oleh berbagai negara dengan berbagai
variasinya. Marshall mengemukakan alasan mengenai pengujian Undang-
undang yaitu :
a. Hakim bersumpah menjunjung tinggi konstitusi, sehingga peraturan
yang bertentangan dengan konstitusi harus melakukan uji materi.
b. Konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada
pengujian terhadap peraturan yang dbawahnya agar supreme law itu
tidak dilangkahi oleh peraturan di bawahnya.
c. Hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada permohonan
pengujian harus dipenuhi
d. Selain ketiga alasan tersebut melalui desertasi tahun 1933, alasan
adanya judicial review itu yakni karena hukum adalah produk politik.
Karena hukum adalah produk politik, maka harus ada mekanisme
pengujian agar isi maupun prosedur pembuatannya benar secara
hukum dan bukan hanya menjadi alat justifikasi atas kehendak
pemegang kekuasaan politik (Mahfud MD, 2009: 258).
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
53
2. Jenis-Jenis Pengujian Undang-undang
Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa pengujian terhadap
Undang-undang dapat dilakukan dua cara yakni :
a. Pengujian secara Formal (Formale Toetsingrecht)
Adalah pengujian Undang-undang berkenaan dengan bentuk
dan pembentukan yang meliputi pembahasan, pengesahan, dan
pemberlakuan .
b. Pengujian Secara Materiil (Materiele Toetsingrecht)
Adalah pengujian atas bagian Undang-undang yang
bersangkutan, bagian tersebut berupa bab, ayat, Pasal, atau kata
bahkan kalimat dalam suatu Pasal atau ayat dalam sebuah Undang-
undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dapat diminta
untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
(Maruarar Siahaan, 24: 2006).
Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Sedangkan pengujian material berkaitan kemungkinan pertentangan isi
muatan suatu peraturan dengan peraturan yang lainnya
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018