bab ii tinjauan pustaka a. sistem peradilan pidana di ...eprints.umm.ac.id/41103/3/bab ii.pdf ·...

27
19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia A.1. Konsep Sistem Peradilan Pidana Secara umum sistem peradilan pidana dapat dimaknai sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga yang dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga adanya putusan hakim yang dijalankan oleh lembaga pemasyarakatan. 22 Menurut Romli Atmasasmita yang dikutip dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Michael Barama mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu penegakan hukum atau law enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi berjalannya suatu peraturan perundang-undangan dalam hal mengupayakan penanggulangan kejahatan dan bertujuan untuk mencapai kepastian hukum. 23 Kemudian menurut Mardjono yang dikutip dalam buku Romli Atmasasmita yang berjudul Sistem Peradilan Pidana Kontemporer menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada di batas-batas 22 Supriyanta, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, http://download. portalgaruda.org/article.php?article=114843&val=5264, diakses tanggal 09 Desember 2017 23 Michael Barama. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3. No. 8. Hal. 9

Upload: others

Post on 22-Jan-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

A.1. Konsep Sistem Peradilan Pidana

Secara umum sistem peradilan pidana dapat dimaknai sebagai suatu

proses bekerjanya beberapa lembaga yang dimulai dari tahap penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga adanya putusan hakim yang

dijalankan oleh lembaga pemasyarakatan.22 Menurut Romli Atmasasmita

yang dikutip dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Michael Barama

mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu penegakan

hukum atau law enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum

yang menitik beratkan kepada operasionalisasi berjalannya suatu peraturan

perundang-undangan dalam hal mengupayakan penanggulangan kejahatan

dan bertujuan untuk mencapai kepastian hukum.23

Kemudian menurut Mardjono yang dikutip dalam buku Romli

Atmasasmita yang berjudul Sistem Peradilan Pidana Kontemporer

menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu

masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi

diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada di batas-batas

22 Supriyanta, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, http://download.

portalgaruda.org/article.php?article=114843&val=5264, diakses tanggal 09 Desember 2017

23 Michael Barama. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan. Jurnal

Ilmu Hukum. Vol. 3. No. 8. Hal. 9

20

toleransi masyarakat. Sehingga definisi disini memberikan maksud bahwa

dengan adanya sistem peradilan pidana digunakan untuk upaya

pengendalian terhadap masalah hukum yangtimbul agar tetap berada di

batas toleransi masyarakat atau dapat dikatakan tidak melebihi batas.24

Selanjutnya pembahasan mengenai tujuan akhir dari sistem

peradilan pidana yakni dalam jangka panjang untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial dan

dalam jangka pendek untuk mengurangi terjadinya kejahatan dan

residivisme (kecenderungan individu atau kelompok untuk mengulangi

perbuatan tercela walaupun telah pernah dihukum karena melakukan

perbuatan tersebut). Jika tujuan ini tidak tercapai maka dapat dipastikan

bahwa sistem itu tidak berjalan secara efisien.25

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana

merupakan suatu ciri dengan pendekatan sistem dalam mengatasi

kejahatan yang ada di masyarakat untuk menjamin kesejahteraan dan

perlindungan terhadap masyarakat di Indonesia.

Kemudian berdasarkan peraturan perundang-undangan tahapan

dalam proses peradilan pidana di Indonesia ada 4 yakni tahap penyelidikan

dan penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan pengadilan dan

24 Romli Atmasasmita, 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana

Prenadamedia Group. Hal. 3

25 Ibid

21

tahap pelaksanakan putusan.26 Sehingga dalam hal ini tahapan-tahapan

tersebut harus dilewati untuk menyelesaikan perkara pidana.

Pada umumnya dalam menjalankan sistem peradilan di Indonesia

disini dilakukan oleh suatu lembaga peradilan seperti Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawah

Mahkamah Agung yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap lembaga peradilan

memiliki tugas dan wewenang masing-masing dalam menjalankan

peradilan di Indonesia. Akan tetapi dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara pidana ialah peradilan umum seperti pengadilan negeri dan/atau

pengadilan khusus yang diatur oleh undang-undang lain.

A.2. Sub Sistem Peradilan Pidana

Sub sistem peradilan pidana di Indonesia yang diakui baik dalam

pengetahuan kebijakan pidana maupun dalam ruang lingkup penegakan

hukum terdiri dari beberapa 4 sub dan/atau komponen dan/atau unsur

yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

Namun, apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu

pendukung dari suatu kebijakan kriminal maka unsur pembuat undang-

undang juga memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana.27

26 Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta. UII

Press. Hal. 62

27 Romli Atmasasmita, Op.cit. Hal. 16

22

Hal yang mendasari dari sub sistem yang disebutkan di atas,

Indonesia mengacu kepada peraturan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana dalam hal ini,

peraturan tersebut juga memuat tugas dan wewenang dari tiap sub sistem

yang dimulai dari penyelidikan hingga pelaksanaan hukuman.28

Penjelasan lebih lanjut mengenai sub sistem dalam peradilan

pidana akan diuraikan sebagai berikut :

a. Kepolisian

Kepolisian diatur dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menurut pasal 13

kepolisian mempunyai tugas pokok yakni memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Kemudian sebelum berlakunya KUHAP, penyidik terdahulu adalah

kejaksaan dan polisi hanya sebagai pembantu jaksa penyidik akan tetapi

setelah diberlakukan KUHAP di Indonesia diatur dalam pasal 5 sampai

7 KUHAP polisi memiliki kewenangan khusus yakni sebagai penyidik.

b. Kejaksaan

Kejaksaan diatur dalam Undang-undang RI Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah

28 Junelpri saragih, Komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, http://www.

hukumpedia.com/junelsidauruk/komponen-sistem-peradilan-pidana-di-indonesia, diakses tanggal

17 Desember 2017

23

satu sub sistem peradilan pidana, mempunyai tugas dan wewenang

dibidang pidana sebagaimana diatur Pasal 14 KUHAP, yaitu :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari

penyidik atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat

(3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka

penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan

atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan

setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang

ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai

surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi

untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung

jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-

undang ini;

j. Melaksanakan penetapan hakim.29

c. Pengadilan

Keberadaan lembaga pengadilan diatur dalam Undang-undang

RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana pada

pasal 1 disebutkan bahwa :

”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya

negara hukum Republik Indonesia.”

Tugas Pengadilan dalam hal ini adalah menerima, memeriksa

dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam peradilan

29 Ibid

24

pidana apabila memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak

pada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan

mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184

KUHAP, yang kemudian dengan alat bukti sekurang-kurangnya 2 alat

bukti dan keyakinan hakim.

d. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS

diatur dalam Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyaratakan. Hal ini mengubah sistem pemenjaraan menjadi

sistem pemsyarakatan. Sistem pemsyarakatan disini merupakan suatu

rangkaian penegakan hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak

dapat terlepas dari pengembangan konsep umum mengenai

pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan disini adalahsebagai tempat

untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik

pemsyarakatan.30

A.3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana untuk

menanggulangi kejahatan dengan tujuan untuk :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah di pidana;

30 Ibid

25

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan

tidak mengulangi lagi kejahatan.31

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari sistem

peradilan pidana disini adalah sebagai upaya pencegahan agar masyarakat

tidak menjadi korban kejahatan dengan cara menyelesaikan permasalahan

dan kasus-kasus yang terjadi sehingga masyarakat merasa aman dan

mengusahakan agar perbuatan kejahatan tersebut tidak diulangi kembali

baik dari pelaku sendiri maupun dari orang lain.

B. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

B.1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Setiap proses acara di pengadilan selalu dipimpin oleh hakim yang

berwenang untuk memutuskan suatu perkara di pengadilan. Pada proses

pemberian putusan hakim memiliki kewenangan atau kekuasaan yang

dikenal dengan istilah Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman

dapat diartikan sebagai kewenangan untuk dalam situasi konkret tertentu,

menetapkan nilai hukum dan tindakan warga masyarakat atau keadaan

tertentu berdasarkan kaidah hukum positif dan menautkan akibat hukum

tertentu pada tindakan atau keadaan tersebut.32 Menurut Undang-undang

RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan

31 H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Restu

Agung. Hal. 3

32 Rachmani Puspitadewi. 2006. Sekelumit Catatan Tentang Perkembangan Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 24 No.1. Hal. 1

26

kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumusan

berdasar atas hukum (rechtsstaat). Pengertian kekuasaan yang dijabarkan

oleh Aristoteles dalam buku Zainal Arifin yang berjudul Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia menyatakan bahwa kekuasaan harus bersumber

kepada hukum dan oleh sebab itu hukum disini tidak hanya harus memiliki

kewibawaan ataupun kedaulatan melainkan juga harus menjadi landasan

kehidupan bernegara bagi yang diperintah maupun yang memerintah

sehingga kedua belah pihak memiliki kedudukan hukum yang sama.

Kemudian arti mengenai kehakiman diberikan oleh Subekti yang

menyatakan bahwa kehakiman dapat diartikan sebagai hukum dan

peradilan.33

Sehingga dari dua pengertian yang dikemukakan oleh dua ahli

tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang bersumber dari hukum yang nantinya akan

menjadi landasan atau dasar dalam menjalankan peradilan dimana setiap

orang memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum.

33 Zainal Arifin Hoesein, 2016. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Setara Press.

Malang. Hal. 47

27

B.2. Pengaturan Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman disini diatur tersendiri di dalam bab IX

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diaturnya

kekuasaan kehakiman secara tersendiri dalam bab tertentu menunjukkan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mandiri

(otonom) yang berarti tidak diperintah, tidak menerima perintah maupun

mendampingi kekuasaan pemerintah lainnya. Kekuasaan kehakiman disini

memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga pemerintahan negara

lainnya sehingga dalam hal ini kekuasaan kehakiman dapat menjalankan

fungsinya mengenai penegakan hukum dan penemuan hukum.34

Selanjutnya selain diatur tersendiri di dalam bab IX Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kekuasaan

kehakiman juga diatur dalam Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya mengatur mengenai

pelaku kekuasaan kehakiman disertai dengan asas-asas hingga

pengangkatan para hakimnya. Kemudian di dalam pasal 24 angka 3

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan

bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan

lembaga peradilan dibawahnya yang meliputi Lingkungan Peradilan

Negeri, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Agama, dan

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara serta oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

34 Zainal Arifin Hoesein, Op.cit. Hal. 131 dan 132

28

B.3. Kekuasaan Kehakiman Sebagai Kekuasaan yang Merdeka

Kekuasaan kehakiman sebagaimana disebutkan dalam Undang-

undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni

sebagai kekuasa negara yang merdeka dalam memutus suatu perkara,

hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari

pihak manapun yang dikenal dengan ungkapan “Kekuasaan kehakiman

yang merdeka” atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang

bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan kehakiman yang

merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang

dimiliki oleh hakim yang bertujuan untuk terciptanya suatu putusan yang

bersifat objektif dan imparsial.35

Maksud dari sifat putusan yang objektif adalah dalam proses

pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang

benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan

mengacu pada ukuran atau kriteria objektif yang berlaku umum,

sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial adalah putusan

yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu pihak

yang menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara

atau bersengketa. Disamping itu, keputusan yang diberikan tersebut secara

langsung memberi kepastian hukum kepada masyarakat. Jadi, kekuasaan

kehakiman yang merdeka, harus menjamin terlaksananya peradilan yang

35 Rachmani Puspitadewi, Loc.cit

29

jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum masyarakat berdasarkan

aturan yang berlaku.36

C. Putusan Mahkamah Konstitusi

C.1. Pengertian Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan merupakan hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala

kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak

proses bermula telah membebani para pihak. Menurut Sudikno

Mertokusumo putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,

sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan

dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu

perkara atau sengketa antara para pihak.37

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi,

mempunyai karakter khas yang membedakannya dengan peradilan umum

atau peradilan biasa. Salah satu sifat khas tersebut ialah sifat putusan

Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya.

Sifat ini berbeda dengan putusan lembaga peradilan di lingkungan

Mahkamah Agung (MA) yang menyediakan mekanisme upaya hukum

lain, termasuk melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Pasal 47

Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi

36 Ibid. Hal. 2

37 Fajar Laksono Soeroso. 2014. Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah

Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Vol. 11. No. 1. Hal 80

30

mempertegas sifat final tersebut dengan menyatakan bahwa Putusan MK

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno

yang terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan tersebut, sifat final

menunjukkan sekurang-kurangnya 2 (dua) hal, yaitu (1) bahwa Putusan

MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; (2) karena telah

memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum

bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan.38

Hal ini merupakan ciri khas yang membedakan putusan MK

dengan putusan peradilan lain. Selain bersifat final, putusan MK disini

juga bersifat konkrit dan mengikat, dimana konkrit disini berarti putusan

ini dianggap ada dan/atau nyata sedangkan mengikat yakni mengikat bagi

seluruh masyarakat Indonesia termasuk bagi lembaga dan badan negara.

C.2. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi

Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan,

yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili

yang disebut dengan putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan

menjaid bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau

sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan

sela atau putusan provisi merupakan putusan yang diberikan oleh hakim

berdasarkan permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan sesuatu

hal yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa yang dapat berupa

38 Ibid. Hal. 60

31

permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan

status hukum sebelum adanya putusan akhir.

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, pada awalnya putusan

sela atau putusan provisi hanya ada dalam perkara sengketa kewenangan

lembaga negara. Namun seiring dengan perkembangan akhirnya putusan

sela disini juga dikenal dalam perkara pengujian undang-undang (judicial

review) dan juga perselisihan hasil pemilu.39

Dilihat dari amar dan akibat hukumnya putusan dapat dibedakan

menjadi tiga yakni :

a. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan

apa yang menjadi hukum.

b. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu

keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum

baru.

c. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi

penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu

prestasi.40

Lebih khususnya mengenai putusan dalam perkara pengujian

undang- undang (judicial review) terdapat beberapa jenis putusan, yakni :

a. Putusan tidak diterima, dimana dalam hal ini pemohon ataupun

termohon tidak memenuhi syarat legal standing;

39 Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Hal. 51

40 Ibid. Hal. 55

32

b. Putusan dikabulkan, dalam hal permohonan yang diajukan

beralasan;

c. Putusan ditolak, dalam hal permohonan yang diajukan tidak

berasalan hukum.

Pada perkembangannya, Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku

kekuasaan kehakimn menciptakan beberapa varian putusan yakni putusan

konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), putusan

inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional,, putusan yang

menunda pemberlakuan putusan (limited constitutional) dan yang terakhir

putusan yang merumuskan norma baru.dari keempat varian putusan

tersebutlah Mahkamah Konstitusi mengubah perannya dari negative

legislatore menjadi positive legislator dimana Mahkamah Konstitusi ikut

berperan penting dalam proses legislasi.41

Putusan konstitusional bersyarat dan putusan inkonstitusional

bersyarat, pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi menjadi pencipta hukum

meskipun tidak secara langsung melalui proses legislasi, karena pada

dasarnya memang bukan merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi.

Kedua varian putusan tersebut memberikan syarat dan makna kepada

addressat bahwa putusan MK dalam memaknai dan melaksanakan suatu

ketentuan undang-undang dengan memperhatikan penafsiran Mahkamah

Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan materiil undang-undang yang

41 Mohammad Mahrus Ali.(et.al). 2014. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi

yang Bersifat Konstitutional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru.http://www.mahkamah

konstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/Tindak%20Lanjut%20Putusan%20Konsti

tusional%20Bersyarat%20MK.pdf. Diakses pada tanggal 27 Desember 2017

33

sudah diuji. Bilamana syarat itu tidak dipenuhi atau ditafsirkan lain oleh

addressat putusan MK, maka ketentuan undang-undang yang sudah diuji

tersebut dapat diajukan pengujian kembali ke Mahkamah Konstitusi (re-

judicial review).

Begitupula dengan varian putusan yang merumuskan norma baru,

Mahkamah Konstitusi tidak hanya sekadar membatalkan norma, akan

tetapi mengubah atau membuat baru suatu bagian tertentu dari isi suatu

undang-undang yang diuji, sehingga akibatnya norma dari undang-undang

yang diuji juga berubah dari yang sebelumnya.42

C.3. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap

sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dimana hal ini

merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang

bersifat mengikat dan final. Dimana berarti putusan Mahkamah Konstitusi

disini mengikat bagi seluruh lapisan masyarakat dan final berarti tidak ada

upaya hukum. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan,

Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para

pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan

diucapkan.43

42 Ibid

43 Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Op.cit. Hal. 59

34

D. Upaya Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Sebagaimana telah tercantum dalam pasal 1 angka 12 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

disebutkan bahwa :

“Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk

tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau

banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan hak

peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-

undang ini.”

Sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya hukum merupakan suatu

usaha dari diri pribadi dan/atau suatu badan hukum dalam hal merasa tidak

puas terhadap adanya putusan dari suatu pengadilan.

Upaya hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ada 2 (dua)

yakni upaya hukum biasa yang meliputi banding dan kasasi dan upaya hukum

luar biasa yang meliputi peninjauan kembali dan kasasi demi kepentingan

umum.44 Upaya hukum terakhir yang sering digunakan oleh masyarakat kita

pada umumnya adalah upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali.

Dimana peninjauan kembali disini diartikan sebagai upaya hukum terakhir

yang dapat ditempuh untuk memperjuangkan hak-hak yang telah dianggap

hilang.

Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibjo dalam artikel yang ditulis oleh

Ravica Setia Anggarini, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum atas

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

44 Ihsan Fauzia, Pengertian Upaya Hukum dalam Acara Perdata, http://www.

academia.edu/18431091/PENGERTIAN_UPAYA_HUKUM_Acara_Perdata, akses tanggal 31

Oktober 2017

35

berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dahulu tidak diketahui

oleh hakim. Kemudian menurut Soedirjo dalam artikel yang ditulis oleh

Ravica Setia Anggarini, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang

dipakai untuk memperoleh pemeriksaan kembali yang pada umumnya tidak

dapat diganggu gugat lagi.45

Pada umumnya pengertian peninjauan kembali tidak ada definisi

khusus sehingga definisi peninjauan kembali mengacu pada pendapat para ahli

tersebut. Kemudian menurut ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, jika diurai

mengenai ketentuan pasal tersebut memiliki unsur yang sangat limitatif yaitu :

1. Putusan pengadilan yang dimintakan peninjauan kembali telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Bukan merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan.

3. Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Selanjutnya dalam ketentuan pasal 263 ayat (2) diatur mengenai syarat

pengajuan peninjauan kembali yaitu :

1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,

bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih

berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan

lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum

tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan

pidana yang lebih ringan.

2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu

telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan

putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu

dengan yang lain.

3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan

hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.46

45 Ravica Setia Anggraini et.al, Kesesuaian Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali

dalam Perkara Korupsi dan Pemerasan dengan Ketentuan Pasal 263 KUHAP,

file:///C:/Users/User/Downloads/391-742-1-SM.pdf, akses tanggal 31 Oktober 2017

46 Ahmad Fauzi, Analisis Yuridis Terhadap Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan

Kembali (PK) oleh Jaksa dalam Sistem Hukum Acara di Indonesia,

file:///C:/Users/User/Downloads/103-268-1-SM.pdf, akses tanggal 31 Oktober 2017

36

Sehingga dapat disimpulkan bahwa peninjauan kembali merupakan

suatu upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap putusan yang telah

memiliki kekuatan hukum atau inkrah yang dilakukan oleh terpidana atau ahli

warisnya dengan beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian mengenai tata cara pengajuan permintaan peninjauan

kembali yakni diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus

perkara tersebut pada tingkat pertama dengan menyebut secara jelas alasannya

(pasal 264 ayat (1) KUHAP).47

Hal ini berarti berbeda dengan permohonan kasasi yang harus

mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kemudian baru menyusul berkas

memori kasasi. Pada permintaan peninjauan kembali, pengajuan peninjauan

kembali telah memuat alasan-alasannya. Dengan demikian permintaan dan

alasan permintaan telah dilengkapi dalam satu surat permintaan.48

Selanjutnya mengenai pengajuan peninjauan kembali disini yang

berwenang menangani ialah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung

merupakan lembaga tinggi negara di bidang kehakiman yang membawahi

badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata

usaha negara.

47 Leden Marpaung, 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan

Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Ekseskusi). Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 209

48 Ibid. Hal. 210

37

Kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan pasal 24A ayat

(1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung

berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-

undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.49

Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang yakni tercantum

dalam pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terkahir kalinya dengan

Undang-undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang

menyatakan bahwa Mahakamah Agung berwenang memeriksa, mengadili dan

memutus permohonan peninjauan kembali.50

Selain itu, Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan memberikan

petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan

Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

E. Mahkamah Konstitusi

Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang

ditentukan oleh pasal 24C Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang meliputi :

49 Jimly Asshidiqie, 2010. Perkembangan dan Konslidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 135

50 Sovia Hasanah, Perbedaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum dengan Peninjauan

Kembali, http://m.hukumonline.com/klinik/detai/lt5970264663d2d/perbedaan-kasasi-demi-

kepentingan-hukum-dengan-peninjauan-kembali, diakses tanggal 09 November 2017

38

a. Menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar NRI Tahun

1945.

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar NRI Tahun

1945.

c. Memutus pembubaran partai politik.

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain 4 kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki

kewajiban memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia.51

Kewenangan-kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi

tersebut diharapkan agar menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung

konstitusi (the guardian of constitution) terutama untuk melindungi hak-hak

asasi manusia dan hak konstitusional warga negara untuk mewujudkan Negara

Indonesia menjadi Negara Hukum yang demokratis.52

F. Hierarki Peraturan Perundang-undangan

F.1. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia, saat ini merujuk pada pasal 7 ayat (1) Undang-

51 Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Op.cit. Hal. 11

52Ibid

39

undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, yang menyebutkan:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai

berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.53

F.2. Kedudukan SEMA dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) adalah sebuah produk-

produk hukum MA berbentuk surat yang berisi bimbingan dalam

penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi. SEMA

merupakan petunjuk bagi hakim peradilan dibawah MA dalam

menjalankan fungsi “Pembinaan dan Pengawasan” sebagaimana tercantum

dalam pasal 32 ayat (4) Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Mahkamah Agung.

Petunjuk tersebut merupakan penjelasan atau penafsiran peraturan

undang-undang agar dalam praktek pengadilan tidak terjadi disparitas

53 Ali Salmandhe, Hierarki Peraturan Perundang-undangan, http://www. hukum

online.com, diakses tanggal 15 Maret 2017

40

dalam memberikan keadilan yang menimbulkan tidak tercapainya

kepastian hukum.54

Merujuk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diganti dengan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun

2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur:

“Jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam

pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR,

DPR, DPD, MA, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau

pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi,

Gubernur, DPRD Kab/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau

setingkat”.

Kemudian pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan peraturan

perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.55

Sehingga disini dapat disimpulkan bahwa SEMA berkedudukan

sebagai peraturan meskipun tidak dikatakan jelas dalam pasal 7 ayat (1).

Namun, keberadaannya diperkuat dengan adanya pasal 8 ayat (1) Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

54 Padang Saputra, Op.cit. Hal. 16

55 Muhammad Yasin, Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA,

Fatwa, SK KMA),http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-

produk-hukum-ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma), diakses tanggal 22 Oktober 2017

41

Perundang-undangan, akan tetapi perlu diketahui pula bahwa SEMA disini

dibuat sebagai petunjuk pelaksanaan atau peraturan semu yang tidak wajib

untuk diikuti.

F.3. Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hierarki

Peraturan Perundang-undangan

Sebagaimana tercantum dalam pasal 53 ayat (1), (2), dan (3)

disebutkan bahwa :

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya

menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian

undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan, ayat,

pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya

menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud

tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang

berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, undang-undang tersbut tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan

pemohon wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka

waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan

diucapkan.

Apabila melihat putusan MK mengenai pengujian undang-undang

terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa materi muatan,

ayat dan pasal atas suatu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI

Tahun 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,

maka dapat dikategorikan ke dalam jenis putusan declaratoir constitutief.

Declaratoir yang artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakn apa

yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Bersifat constitutief

42

artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan

hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru.56

Putusan Mahkamah Konstitusi disini, seperti yang telah banyak

diketahui memiliki sifat final dan mengikat. Dimana putusan Mahkamah

Konstitusi tidak ada upaya hukum lagi untuk lakukan dan mengikat sejak

putusan itu diucapkan baik bagi para pihak, badan hukum, lembaga negara

hingga seluruh masyarakat.

Apabila pemerintah atau lembaga negara lain tidak mematuhi

putusan tersebut dan justru masih memberlakukan undang-undang yang

telah dinyatakan batal dan/atau tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.

Dikarenakan suatu putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku mengikat

berbeda dengan putusan pengadilan biasa, dimana putusan tersebut berlaku

seperti hukum sebagaimana hukum diciptakan oleh pembuat undang-

undang.57

Kemudian berbicara mengenai eksistensi atau kekuatan hukum

suatu putusan MK yang dalam hal ini dikaitkan dengan kedudukannya

dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan

adalah semua hukum dalam arti luas yang dibentuk dengan cara tertentu,

oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam

artian yang luas itu sebenarnya hukum dapat diartikan juga sebagai

56 Amrizal J. Prang, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.academia.edu/

10264897/Implikasi_Hukum_Putusan_Mahkamah_Konstitusi, diakses tanggal 22 Oktober 2017

57 Ibid

43

putusan hakim, terutama yang sudah berkekuatan hukum tetap dan

menjadi yurisprudensi. Hukum dalam arti luas mencakup semua peraturan

yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu sesuai dengan tingkat dan

lingkup kewenangannya yang biasanya disebut peraturan perundang-

undangan.58

Dengan demikian peraturan perundang-undangan adalah berbagai

jenis peraturan tertulis yang dibentuk oleh berbagai lembaga dengan

kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945

sesuai dengan tingkat dan lingkupnya masing-masing. Jadi, status putusan

MK dianggap sederajat dengan undang-undang, karena putusan MK

melahirkan produk perundang-undangan yang nantinya akan berlaku

setelah dibacakan putusan tersebut.59

G. Kepastian Hukum

Kepastian hukum berpegang pada prinsip bahwa bagaimana hukumnya

berlaku secara positif itulah yang berlaku, tidak boleh menyimpang (fiat

justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus

ditegakkan). Hal itulah yang merupakan esensi dari kepastian hukum.

Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap yustisiabel tindakan yang

sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu

yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan kepastian

58 Frista Prilla Sambuari, Eksistensi Putusan Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi,

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/viewFile/3012/2557, diakses tanggal

04 November 2017

59 Ibid

44

hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan kepentingan

masyarakat.60

Adapun penjelasan mengenai apa yang disampaikan oleh Sudikno

Mertokusumo yang dikutip dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Sulardi dan

Yohana Puspita Wardoyo, Kepastian hukum menekankan agar hukum atau

peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau

peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam

hal terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus

berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun

dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan.61

Menurut Radbruch yang dikutip dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh

Sulardi dan Yohana Puspita Wardoyo, memberi pendapat yang cukup

mendasar mengenai kepastian hukum, ada empat hal yang berhubungan

dengan makna kepastian hukum. Pertama bahwa hukum itu positif. Kedua,

bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti

yaitu dengan adanya keterangan. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus

dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam

60 Willy Riawan Tjandra, Dinamika Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Peradilan

Tata Usaha Negara, file:///C:/Users/User/Downloads/16158-30706-1-PB.pdf, diakses tanggal 28

September 2017

61 Sulardi dan Yohana Puspitasari Wardoyo. 2015. Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Dan

Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak (Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt).

Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Hal 258 – 259

45

pemaknaan di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak

boleh mudah berubah.62

Aliran normatif atau yuridis dogmatis memberikan pemikiran yang

bersumber pada positivisme dimana hukum yang otonom dan mandiri terdapat

pada aturan yang tertulis untuk menjamin adanya kepastian hukum. Sehingga

menurut aliran ini, apabila penerapan hukum tidak dapat memberikan rasa adil

dan manfaat yang besar kepada mayoritas masyarakat bukanlah suatu masalah

akan tetapi yang terpenting kepastian hukumnya harus tetap ditegakkan.

Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan

tanpa adanya penyimpangan. 63

62 Ibid

63 Ahmad Rifa’i, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum

Progresif. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 130 dan 131