bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/bab i.pdf · 2018. 11. 29. ·...

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan sistem ketatanegaraan sejumlah negara belakangan ini menunjukkan bahwa begitu banyak negara yang kemudian menjadikan konsepsi tentang negara hukum sebagai konsep ideal dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu menunjukkan bahwa betapa tingginya posisi dan kedudukan hukum dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam rangka mengatur kehidupan suatu negara menjadi lebih baik. Hukum menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengatur dan menata kehidupan manusia. 1 Sebagaimana telah tercantum dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwasannya Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Dalam konsep Negara Hukum yang ideal tersebut hukum dijadikan panglima diatas segalanya, bukan politik maupun ekonomi. Karena itu, hal yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris menyebutkan salah satu prinsip Negara Hukum yakni“The rule of law, not of man”. Pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario sistem yang mengaturnya. 2 1 Haposan Siallagan. 2016. Penerapan Prinsip Hukum di Negara Indonesia. Medan. Sosiohumaniora. Vol. 18 No. 2. Fakultas Hukum HKBP Nommensen. Hal. 122 2 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum di Indonesia, http://www.jimly.com, diakses tanggal 8 September 2017

Upload: others

Post on 04-Dec-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan sistem ketatanegaraan sejumlah negara belakangan ini

menunjukkan bahwa begitu banyak negara yang kemudian menjadikan

konsepsi tentang negara hukum sebagai konsep ideal dalam membangun

kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu menunjukkan bahwa betapa

tingginya posisi dan kedudukan hukum dalam perjalanan kehidupan berbangsa

dan bernegara, khususnya dalam rangka mengatur kehidupan suatu negara

menjadi lebih baik. Hukum menjadi sesuatu yang sangat penting untuk

mengatur dan menata kehidupan manusia.1

Sebagaimana telah tercantum dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwasannya Negara Indonesia

merupakan Negara Hukum. Dalam konsep Negara Hukum yang ideal tersebut

hukum dijadikan panglima diatas segalanya, bukan politik maupun ekonomi.

Karena itu, hal yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris menyebutkan salah

satu prinsip Negara Hukum yakni“The rule of law, not of man”. Pemerintahan

pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang

hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario sistem yang mengaturnya.2

1 Haposan Siallagan. 2016. Penerapan Prinsip Hukum di Negara Indonesia. Medan.

Sosiohumaniora. Vol. 18 No. 2. Fakultas Hukum HKBP Nommensen. Hal. 122

2 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum di Indonesia, http://www.jimly.com,

diakses tanggal 8 September 2017

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

2

Sehingga dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara

Indonesia merupakan negara yang didasarkan kepada hukum (rechstaat)

bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan semata (machtstaat).

Kemudian Konsep Negara Hukum dalam proses bekerjanya aparatur

penegak hukum memiliki tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu :

1. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan

prasarana yang mendukung mekanisme kerja kelembagaannya;

2. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai

kesejahteraan aparatnya;

3. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja

kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang

dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum

acaranya.

Upaya penegakan hukum haruslah memperhatikan ketiga aspek

tersebut secara komprehensif, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan

itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.3

Adapun dari suatu permasalahan hukum yang muncul haruslah melalui

beberapa tahapan-tahapan, seperti salah satu contohnya dalam perkara pidana,

menurut sistem yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) maka tahapan-tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam

peradilan pidana adalah tahap penyidikan oleh kepolisian, tahap penuntutan

oleh kejaksaan, tahap pemeriksaan di pengadilan oleh hakim, tahap

3 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, http://www.jimly.com, diakses tanggal 14

September 2017

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

3

pelaksanaan putusan (eksekusi) oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan.

Namun, apabila suatu putusan belum menyelesaikan suatu permasalahan atau

perkara maka untuk selanjutnya ada tahapan yang disebut dengan upaya

hukum.4 Dalam pasal 1 angka 12 Undang-undang Republik Indonesia Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya biasa disebut

KUHAP, dijelaskan bahwa :

“Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk

tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau

banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan hak

peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-

undang ini.”5

Upaya hukum tersebut terdiri dari 2 (dua) yakni upaya hukum biasa

yang meliputi banding dan kasasi dan upaya hukum luar biasa meliputi kasasi

demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Upaya hukum terakhir

yang sering ditempuh untuk mengakhiri suatu permasalahan hukum yakni

pengajuan peninjauan kembali. Hal ini ditunjukkan dari data dibawah ini yang

dilansir dari laman website Mahkamah Agung dan hukum online sebagai

berikut :

1. Tahun 2013 sebanyak 4.687

2. Tahun 2014 sebanyak 2.426

3. Tahun 2015 sebanyak 2.755

4. Tahun 2016 sebanyak 3.487

5. Tahun 2017 sebanyak 3.904

4 Muhammad Nursal NS, Proses Peradilan Pidana, http://www.negarahukum.com

/hukum/proses-peradilan-pidana.html, diakses tanggal 6 Oktober 2017

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

4

Dari data diatas menunjukkan bahwa pengajuan PK terbanyak ada di

tahun 2013 yang kemudian sempat menurun di tahun 2014 dan tahun 2015.

Namun kembali naik di tahun berikutnya yakni di tahun 2016 dan 2017. Hal

tersebut menunjukkan bahwa upaya hukum mengenai PK mengalami keadaan

naik turun di tiap-tiap tahun yang berbeda yang digunakan sebagai jalan paling

terakhir untuk menempuh suatu penyelesaian hukum selain upaya hukum

kasasi.6

Namun seiring dengan berkembangannya hukum keefektifan dalam

penerapan peninjauan kembali menjadi sangat kurang dikarenakan terdapat

berbagai peraturan yang tidak berkesinambungan.7 Hal ini menyebabkan

sebagian masyarakat beranggapan bahwa mengenai upaya hukum peninjauan

kembali dirasa kurang konsisten, efisien, dan efektif dalam penerapannya.

Mengenai ketentuan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK)

dalam ranah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Peninjauan Kembali

(PK) terdapat dan diatur dalam Bab XVIII Pasal 263 Sampai dengan 269

KUHAP. Pasal-pasal ini merupakan upaya hukum yang mengatur tata cara

untuk melakukan peninjauan kembali terhadap suatu putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap. Jadi ini merupakan Rechteerljike Dwaling atau

Misscarriage of Justice terhadap seseorang yang telah di jatuhi pidana

6 Asep Nursobah, Inilah Putusan yang diajukan PK di Tahun 2016, https://kepaniteraan.

mahkamahagung.go.id/index.php/kegiatan/1410-inilah-putusan-yang-diajukan-peninjauan-kemb

ali-di-tahun-2016, diakses tanggal 22 Januari 2018

7 Setyawan Nurdaya Sakti, Disampaikan pada saat perkuliahan Hukum Acara Pidana

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

5

berdasarkan bukti-bukti kuat dan signifikan dia tidak bersalah atau ternyata

perbuatan pidana yang yang dituduhkan dilakukan oleh orang lain.8

Adapun upaya hukum luar biasa mengenai pengajuan peninjauan

kembali terjadi polemik ketika putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan

dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Mahkamah Konstitusi

tepatnya pada tanggal 6 Maret 2014 mengeluarkan putusan Nomor 34/PUU-

XI/2013 yang mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi

Pemberantasan Korupsi yakni Antasari Azhar, S.H., M.H sebagai Pemohon I,

istrinya yakni Ida Laksmiwaty, S.H., sebagai Pemohon II,dan anaknya Ajeng

Oftarifka Antasariputri sebagai Pemohon III. Dimana para pemohon

mengajukan permohonan terhadap pembatalan pasal 268 ayat (3) Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana. Pasal tersebut mengatur mengenai pengajuan peninjauan kembali yang

hanya dapat dilakukan satu kali, sehingga Antasari Azhar sebagai pemohon I

yang sedang terjerat kasus hukum saat itu telah mengajukan peninjauan

kembali dan untuk mengajukan peninjauan kembali untuk kedua kalinya

terganjal oleh pasal 268 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.9

8 Seno Wibowo Gumbira. 2016. Problematika Peninjauan Kembali Dalam Sistem

Peradilan Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Pasca Sema Ri No. 7 Tahun 2014

(Suatu Analisa Yuridis Dan Asas-Asas Dalam Hukum Peradilan Pidana). Jurnal Hukum dan

Pembangunan. Vol. 46 No.1. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Terbuka. Hal. 108

9 MA : PK Hanya Satu Sekail, Putusan MK Tak Dapat Dikesampingkan. Sumber Cetak.

http://icjr.or.id/ma-pk-pidana-hanya-satu-kali-putusan-mk-tak-dapat-dikesampingkan/. Di pos

pada tanggal 02 Januari 2015. Diakses tanggal 27 Desember 2017

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

6

Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 268 ayat (3) Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar 1945.10 Sehingga dengan adanya putusan Mahkamah

Konstitusi ini upaya hukum peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari

satu kali dalam perkara pidana. Dalam hal ini putusan Mahkamah Konstitusi

bersifat konkrit, final dan mengikat hingga ke seluruh lapisan masyarakat

(erga omnes).

Selanjutnya setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan ini,

Mahkamah Agung tepatnya pada tanggal 31 Desember 2014 mengeluarkan

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Dimana

SEMA ini di dalam poin nomor 3 mempertegas mengenai aturan pengajuan

permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana yang hanya dapat

dilakukan 1 (satu) kali. Kemudian menurut poin nomor 4, PK dapat dilakukan

lebih dari 1 (satu) kali hanya dengan alasan apabila terhadap suatu objek yang

sama, terdapat 2 (dua) putusan PK yang bertentangan, sesuai dengan SEMA

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan

Peninjauan Kembali.11

10 Agung Barok Pratama. 2017. Analisis Yuridis Pengaturan Ideal Peninjauan Kembali

Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Jurnal Pasca

Sarjana UNS. Vol. 5 No.2 Hal. 32

11 Muhammad Tanziel Aziezi, Tentang SEMA RI Nomor 7 Tahun 2014 (Bagian 1),

https://www.selasar.com/jurnal/7051/Tentang-SEMA-RI-Nomor-7-Tahun-2014-Bagian-1, diakses

tanggal 27 Desember 2017

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

7

Selanjutnya dalam pertimbangan poin nomor 1 dan 2 SEMA Nomor 7

Tahun 2014 menyatakan bahwa MK hanya menghapus ketentuan PK dalam

pasal 268 (3) KUHAP namun tidak menghapus ketentuan PK di dalam

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni

pasal 24 ayat (2) dan pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985

jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun

2009 tentang Mahkamah Agung. Dikarenakan kedua pasal tersebut bersifat

umum dan pada saat itu yang dimohonkan judicial review hanya pasal 268

ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana.12

Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi disini dari data yang

dilansir di laman website Mahkamah Agung dan hukum online hanya terdapat

64 perkara PK diatas PK yang ditangani oleh Mahkamah Agung. Hal ini

merupakan bukti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak berpengaruh

terhadap hakim-hakim di pengadilan dikarenakan para hakim di pengadilan

lebih tunduk kepada SEMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.13

Untuk selanjutnya mengenai pertimbangan yang digunakan dalam

SEMA terutama mengenai pasal 24 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, memiliki bunyi yang sama seperti

pada pasal 268 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana dirasa sangat penting untuk menentukan

bagaimana jalannya sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat bahwa

12 Ibid

13 Asep Nursobah, Loc.cit

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

8

pasal tersebut tercantum di dalam Undang-undang tentang Kekuasaan

Kehakiman yang menaungi seluruh ruang lingkup peradilan yang ada di

Indonesia baik ruang lingkup peradilan umum maupun ruang lingkup

peradilan khusus. Dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 24 dan pasal 25

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni bahwa

kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, berarti terlepas dari

pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah (terhubung dengan itu,

harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para

hakim). Hal ini sebagai bukti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh

undang-undang salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu

kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh

kekuasaan legislatif dan eksekutif.14

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya yakni dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militerdan lingkungan peradilan tata usaha negara serta oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi. Sejak awal era kemerdekaan Indonesia, kekuasaan

kehakiman ditujukan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-

lembaga politik seperti legislatif dan presiden dan memiliki hak untuk menguji

14 Threesya Aldina, Kekuasaan Kehakiman, http://www.academia.edu/12280496

/Kekuasaan_Kehakiman_di_Indonesia, diakses tanggal 01 Januari 2018

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

9

yakni hak untuk menguji formil (formele toetsingrecht) dan hak untuk

menguji meteril (materiele toetsingrecht).15

Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi

terselenggaranya Negara Republik Indonesia”. Kemerdekaan atau

independensi sudah menjadi suatu hal yang melekat bahkan menjadi salah satu

sifat kekuasaan kehakiman, sebagaimana disinggung oleh Bagir Manan

tentang kekuasaan kehakiman, bahwa :

1. Kekuasaan kehakiman adalah badan yang merdeka lepas dari

campur tangan kekuasaan lain;

2. Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara

yang lain, lebih mencerminkan asas pemisahan kekuasaan, daripada

pembagian kekuasaan. Bagir Manan menunjuk pada Penjelasan

UUD NRI 1945 sebelum perubahan, Konstitusi RIS dan UUD 1950

diartikan sebagai “terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”.

Pada tatanan konsep, teori Kekuasaan kehakiman mengandung dua

segi, diantaranya adalah:

1. Hakim merdeka bebas dari pengaruh siapapun, selain kekuasaan

legislatif dan eksekutif, hakim juga harus bebas dari pengaruh

kekuasaan unsur-unsur judisiil itu sendiri dan pengaruh dari luar

pemerintahan seperti pendapat umum, pers dan sebagainya;

2. Kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya sebatas fungsi hakim

sebagai pelaksana kekuasaan yudisiil atau pada fungsi

yudisiilnya.16

15 Sofyan Jailani. 2012. Independensi Kekuasaan Kehakiman Berdasar Undang-Undang

Dasar 1945. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 6. No. 3. September – Desember 2012. Hal. 2

16 Rahayu Prasetyaningsih. 2011. Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman. Bandung. Jurnal

Konstitusi. Vol. 8 No. 5 Oktober 2011. Hal 835-836

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

10

Dalam hal ini menimbulkan suatu pertanyaan apakah putusan

Mahkamah Konstitusi juga dapat mengikat khususnya pada pasal 24 ayat (2)

Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

dimana Undang-undang tersebut mengikat terhadap seluruh ruang lingkup

peradilan yang berada di Indonesia. Kemudian bagaimana implikasi yang

ditimbulkan atas adanya putusan mengenai pembatalan terhadap pasal 268

ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kemudian dalam uraian latar belakang tersebut membuat penulis

tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai putusan Mahkamah Konstitusi

yang bersifat final, konkrit dan mengikat dapat berimplikasi terhadap sistem

peradilan di Indonesia khususnya pada pasal 24 ayat (2) Undang-undang RI

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan judul

“IMPLIKASI HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 34/PUU-XI/2013 TERHADAP PASAL 24 AYAT (2) UNDANG-

UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009

TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”.

B. Rumusan Permasalahan

1. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-

XI/2013 terhadap pasal 268 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai upaya hukum peninjauan

kembali?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

11

2. Bagaimana implikasi hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

34/PUU-XI/2013 terhadap pasal 24 ayat (2) Undang-undang RI Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas, maka

tujuan dari penelitian hukum ini ialah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa implikasi Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap pasal 268 ayat (3) Undang-

undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai

upaya hukum peninjauan kembali.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa implikasi hukum Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap pasal 24 ayat (2) Undang-

undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian hukum ini ialah sebagai berikut:

a. Bagi Mahasiswa

Memberikan tambahan pengetahuan mengenai pertimbangan

hukum oleh hakim dan kepastian hukum dalam pengajuan peninjauan

kembali serta urgensi pengajuan peninjauan kembali dapat dilakukan lebih

dari satu kali bagi masyarakat di Indonesia. Selain itu, juga untuk

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

12

mengetahui dan memahami implikasi hukum putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan lain.

b. Bagi Penegak Hukum

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan peningkatan

pengetahuan dan memberikan pandangan mengenai kepastian hukum

pengajuan peninjauan kembali dilihat dari segi peraturan perundang-

undangan di Indonesia, sehingga nantinya akan tercapai kepastian hukum

sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri.

c. Bagi Penulis

Penelitian dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan baru untuk penulis terkait implikasi hukum atas putusan

Mahkamah Konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan yang lain

khususnya pada pasal 24 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia. Di samping itu, manfaat penelitian secara subyektif yaitu

sebagai syarat untuk Penulisan Tugas Akhir dan menyelesaikan studi

Srata-1 (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

dengan gelar Sarjana Hukum.

d. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk

memperoleh informasi dan kepastian hukum secara utuh mengenai

pengajuan peninjauan kembali.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

13

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna dalam menemukan dan mengetahui implikasi

hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 24 ayat (2) Undang-

undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

sistem peradilan pidana di Indonesia. Kemudian untuk menambah wawasan

dan ilmu pengetahuan mengenai kepastian hukum pengajuan peninjauan

kembali dan urgensi pengajuan peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari

satu kali untuk menjamin kesejahteraan dan menambah kepercayaan

masyarakat Indonesia untuk penerapan hukum yakni demi keadilan, kepastian,

dan kemanfaatan hukum.

Selain itu, untuk memahami kesesuaian sistem yang diputus oleh

Mahkamah Konstitusi dan Surat Edaran Mahkamah Agung dalam

menemukan kesinambungan dan kepastian hukum mengenai pengajuan

peninjauan kembali. Sehingga penelitian ini dapat memberikan masukan

terhadap perkembangan sistem peradilan pidana di Indonesia yang akan

disesuaikan dengan tujuan hukum. Serta mendorong pemikiran untuk lebih

maju bagi kalangan praktisi hukum maupun pelaku kekuasaan dalam

menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar.

F. Metode Penulisan

Dalam pembuatan karya ilmiah ini penulis akan menggunakan sebuah

metode penulisan. Dimana dalam metode ini dilakukan dengan cara mencari

informasi secara terstruktur dan kemudian diikuti dengan langkah-langkah

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

14

terinci supaya mendapatkan penafsiran yang cukup luas. Selain itu, metode

disini bertujuan untuk menemukan solusi maupun fakta hukum.

1. Metode Pendekatan

Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh punulis, maka metode

yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian

hukum normatif (normatif legal research) yakni menempatkan hukum

sebagai norma dalam masyarakat. Metode penelitian hukum normatif atau

metode penelitian kepustakaan ini adalah metode atau cara yang

dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti dan menggunakan bahan pustaka yang ada.17

Pendekatan yuridis normatif disini dilakukan dengan 2 pendekatan

yakni pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan

konseptual (statute conceptual). Pendekatan undang-undang (statute

approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undangdan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi

penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan

membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi

dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang

lainnya atau antara undang-undang dan UUD NRI 1945 atau antara

regulasi dan undang-undang.

17 Soerjono Soeksanto dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. Cetakan ke – 11. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hal. 13–14

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

15

Sedangkan pendekatan konseptual (statute conceptual) beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam

ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-

asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.18

2. Jenis Bahan Hukum

Dalam proses penyusunan penelitian ini penulis menggunakan 3

(tiga) jenis bahan hukum yaitu :

a. Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau

yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–

undangan dan putusan hakim.19 Bahan hukum primer meliputi

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang RI No. 14

Tahun 1985 jo. Undang-undang RI No. 5 tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung jo. Undang-undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung, Undang-undang RI No. 24 tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang RI No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung

18 Peter Mahmud. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Hal

133-136

19 Peter Mahmud, Op.cit Hal. 93.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

16

(SEMA) No. 7 Tahun 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

34/PUU-XI/2013.

b. Bahan Hukum Sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang tidak

mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang

merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli

yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan

memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang

dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin–

doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum, artikel hukum dan

internet serta hasil seminar penemuan ilmiah.

c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan

pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum

yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa

Indonesia dan Kamus Hukum.20

3. Tekhnik Pengumpulan Bahan

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah model

studi kepustakaan (library research), yakni pengkajian informasi tertulis

mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan

secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif yakni

20 Ibid. Hal 93

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

17

penulisan yang didasari pada data-data yang dijadikan obyek penulisan

kemudian dikaji dan disusun secara komprehensif.21

4. Tekhnik Analisa Bahan Hukum

Tahap analisa bahan hukum yaitu menguraikan bahan hukum

dalam bentuk kalimat yang baik dan benar. Sedangkan analisa yang

digunakan dalam penelitian ini ialah analisa dengan tekhnik deskriptif

kualitatif yaitu dengan cara menganalisa permasalahan dengan konsep dan

bahan hukum terkait. Sehingga akan muncul solusi dari permasalahan

hukum yang ada.

G. Rencana Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan penulisan hukum, penulis membagi dalam 4 bab

dan masing-masing bab terdiri atas sub bab yang dalam hal ini bertujuan

untuk mempermudah pemahamannya. Adapun sistematika penulisannya

sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisikan tentang latar belakang peneliti atau penulis

mengangkat suatu permasalahan atau peroblematika dalam fenomena

di ruang lingkup peradilan yang di dalamnya juga menjelaskan

bagaimana suatu putusan dan surat edaran dapat dikatakan tidak

harmonis dengan mencantumkan pula posisi kasus. Serta, bagaimana

21 Padang Saputra. 2014. Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 17 Tahun

2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Hal. 13

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/41103/2/BAB I.pdf · 2018. 11. 29. · Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan

18

kekuasaan kehakiman sangat penting dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia. Selain itu, juga menyebutkan landasan yuridis dan landasan

sosiologis serta landasan empiris.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang kumpulan beberapa teori yang akan menajdi

acuan atau rujukan dari topik penelitian, sehingga nantinya dapat

mempermudah peneliti atau penulis dalam menguraikannya di

pembahasan yang disesuaikan dengan batasan agar tidak keluar dari

bahasan topik yang diteliti.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisikan tentang hasil dari penelitian yang berkaitan

dengan rumusan masalah yang diangkat peneliti atau penulis yang

berkaitan dengan judul yang diangkatnya. Dalam bab ini, penulis

menguraikan hasilnya serta dikaitkan dengan teori yang diapkai oleh

penulis.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum yang

akan berisikan kesimpulan dari permasalahan yang diangkat dengan

memberikan saran atau solusi.