sejarah kekuasaan kehakiman yang merdeka indonesia

28
Makalah Sejarah Hukum ASAS KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM DI INDONESIA Oleh: SUBAGYO NIM: 10.6.9.0006 Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sunan Giri Surabaya 2010

Upload: subagyo-yangdari-banggle

Post on 30-Jun-2015

1.693 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Makalah Sejarah Hukum

ASAS KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM

DI INDONESIA

Oleh:

SUBAGYO

NIM: 10.6.9.0006

Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

Universitas Sunan Giri Surabaya 2010

Page 2: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

A. PENDAHULULAN

1. Latar Belakang

Sejarah hukum tentang perkembangan pelaksanaan asas kekuasaan

kehakiman yang merdeka (disebut juga asas kebebasan kekuasaan kehakiman) di

Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah hukum nasional, terkait

dengan konsep negara hukum (rechtstaat) yang dianut Undang-undang Dasar

1945 (disingkat UUD 1945).

Dalam penyusunan badan-badan negara pemerintahan Indonesia, para

pendiri negara Indonesia dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica tentang

pemisahan kekuasaan. Muhammad Yamin selaku salah satu penyusun Naskah

Persiapan UUD 145 menjelaskan bahwa Bab IX UUD 1945 tentang kekuasaan

kehakiman (judicial power) yang berdiri sendiri atau dalam keadaan bebas dan

terpisah dari kekuasaan lainnya (eksekutif dan legislatif) sebagai akibat dari

ajaran Trias Politica.1

Ajaran Trias Politica pada mulanya dikemukakan John Locke di abad XVII

dalam Two Treatises On Civil Government yang mengritik kekuasaan raja Inggris

yang sewenang-wenang. John Locke mengemukakan gagasan agar kekuasaan

negara dibagi menjadi tiga, yakni: kekuasaan membuat undang-undang

(legislatif), kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan

di bidang keamanan dalam hubungannya dengan negara lain (federatif).2

1 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid III, Siguntang,

Jakarta, 1960, hal. 798. 2 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. XI, 1988, hal. 151.

Page 3: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Ajaran John Locke selanjutnya dikembangkan oleh Montesquieu, seorang

filsuf Perancis, yang dalam karyanya L’Esprit des Lois membagi kekuasaan

negara menjadi tiga, yaitu kekusaan legislatif, eksekutif dan yudisiil (kekuasaan

mengadili).3

Hingga saat ini, satu-satunya sistem yang rasional untuk menghindari

absolutisme kekuasaan adalah dengan pembagian kekuasaan negara. M. Nasroen

menyatakan bahwa bentuk wajar suatu negara yang berdasarkan kemauan rakyat

bukanlah negara berbentuk absolut, tetapi bentuk negara yang terdapat

pembagian kekuasaan negara di mana tiap-tiap kekuasaan negara dijalankan oleh

badan-badan tertentu.4

Meskipun pada kenyataannya ajaran Trias Politica tidak dapat dilaksanakan

secara murni, pada umumnya para ahli hukum sepakat bahwa pemisahan

kekuasaan (separation of power) yudisiil dari kekuasaan lainnya harus

dilaksanakan secara murni. Pendirian tersebut juga dapat dilihat dari sejarah

penyusunan Bab IX UUD 1945 sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Yamin

tersebut.

Di Indonesia, ajaran Trias Politica dijalankan dengan konsep distribution of

power (distribusi kekuasaan), bukan lagi separation of power (pemisahan

kekuasaaan). Pola itu dapat dilihat di dalam UUD 1945 di mana lembaga

tertinggi negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang secara

struktural membawahi lembaga legislatif, eksekutif dan yudisiil. Lembaga

legislatif dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama atau

3 Ibid, hal. 152. 4 M. Nasroen, Asal Mula Negara, Aksara Baru, Jakarta, Cet. Kedua, 1986, hal. 63.

Page 4: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

bekerjasama dengan Presiden. Sedangkan lembaga yudisiil semula dijalankan

oleh Mahkamah Agung (MA) dan lembaga-lembaga pengadilan di bawahnya.

Namun dalam perkembangannya lembaga yudisiil juga dilaksanakan Mahkamah

Konstitusi (MK) setelah amandemen UUD 1945.

Perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia, dengan adanya amandemen

UUD 1945, wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi

berkurang, di mana MPR tidak lagi mengangkat Presiden, sebab kini Presiden

juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Namun demikian fungsi distribusi

kekuasaan masih ada di tangan MPR yang berwenang memberhentikan jabatan

Presiden melalui alasan khusus dan hukum acara yang ditentukan dalam UUD

1945 yang telah diamandemen (pasal 7A dan 7B. Sistem bikameral MPR yang

berisi DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana ditentukan pasal

2 UUD 1945 yang telah diamandemen menunjukkan kekuasaan-kekuasaan MPR

yang terdistribusi melalui kedua lembaga negara tersebut, serta membagi-bagi

kekuasaan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 yang perubahan dan

penetapannya memang menjadi wewenang MPR sebagaimana ditentukan pasal 3

ayat (1) UUD 1945.

Apabila diteliti seksama, tampaknya UUD 1945 memang dikonstruksikan

adanya distribusi kekuasaan negara yang dilakukan MPR tetapi di sisi lain

mempertahankan konsep separation of power khusus untuk lembaga yudisiil

dengan lembaga-lembaga lainnya dalam pemerintahan negara, dalam rangka

mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, kemerdekaan

kekuasaan kehakiman tidak dimaksudkan sebagai kebebasan yang liberal sebab

Page 5: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

dalam sistem kekuasaan kehakiman dibentuk Komisi Yudisial (KY) yang

merupakan lembaga di luar badan peradilan yang berwenang mengontrol para

hakim berkaitan dengan penegakan kehormatan, keluhuran martabat serta

perilaku para hakim (lihat pasal 24B ayat (1) UUD 1945).

Perkembangan Hukum Tata Negara tersebut mempunyai korelasi penting

dan sejalan dengan sejarah perkembangan pelaksanaan asas kekuasaan

kehakiman yang merdeka yang akan dijelaskan berikut ini.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut, maka pokok masalah

yang dikemukakan dalam makalah ini adalah: “Bagaimanakah sejarah hukum

implementasi asas kebebasan kekuasaan kehakiman di Indonesia?”

B. PEMBAHASAN

Studi yang mempelajari perkembangan pelaksanaan asas kebebasan

kerkuasaan kehakiman merupakan bagian dari studi sejarah hukum. Apabila

dilihat dalam sejarahnya, asas kebebasan kekuasaan kehakiman merupakan

pengembangan dari Ilmu Negara dan kini menjadi bagian Hukum Tata Negara,

terbukti asas tersebut termaktub dalam Bab IX UUD 1945 (pasal 24 ayat (1) dan

penjelasannya.

Sejarah hukum dalam suatu negara tentu berbeda dengan negara-negara

lainnya. Setiap negara mempunyai karakteristik hukum yang dipengaruhi oleh

perkembangan kebudayaan masing-masing sebagai faktor internal dan pengaruh-

Page 6: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

pengaruh eksternal karena adanya interaksi dengan kebudayaan-kebudayaan

maupun sistem hukum asing.

Perkembangan sejarah hukum Indonesia dipengaruhi oleh unsur-unsur

kebudayaan dan cara hidup bangsa Indonesia serta pengaruh hukum Belanda

yang beraliran Eropa Kontinental (Civil Law), karena faktor sejarah penjajahan

Belanda yang menerapkan hukumnya di Indonesia, serta terdapat pengaruh

hukum aliran Anglo Saxon (Common Law) karena banyak sarjana hukum yang

menjadi pemikir negara yang telah menjalani studi di Amerika Serikat, Australia

dan Inggris. Sedangkan perkembangan hukum Belanda setidaknya dipengaruhi

oleh kebudayaan dan tata cara hidup bangsa Belanda yang dipengaruhi juga oleh

hukum Perancis yang pernah menjajahnya serta pemikiran-pemikiran hukum

modern yang berkembang di dunia.

Sebagaimana Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa sejarah hukum

adalah suatu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul

sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan memperbandingkan antara

hukum yang berbeda kerena dibatasi oleh perbedaan waktu.5

Tentu saja bahwa asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat berkaitan

dengan pengaruh faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan tersebut.

Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) merupakan pelopor sejarah hukum,

sebagai reaksi terhadap mazhab hukum alam yang berkembang di Eropa pada

zamannya. Pemikiran Von Savigny melahirkan mazhab sejarah hukum dalam

ilmu pengetahuan hukum. Von Savigny mengatakan bahwa hukum merupakan

5 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. Ketiga, 1991, hal. 58-59.

Page 7: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati jika suatu

bangsa kehilangan kepribadiannya.6

Hukum tentang asas kekuasaan kehakiman yang merdeka bermula dari kritik

terhadap absolutisme kekuasaan monarki atau raja-raja di Eropa, sebagaimana

dikemukakan John Locke dan Montesquieu tersebut. Apabila membaca sejarah

pemikiran kedua filsuf tersebut, harus diakui bahwa mereka merupakan para

filsuf beraliran liberal yang mengedepankan pemikiran tentang perlindungan hak-

hak individu.

Namun demikian, konsep pemisahan kekuasaan negara (separation of

power) yang digagas Locke dan Montesquieu sejalan dengan prinsip negara

demokrasi yang tidak menghendaki penumpukan kekuasaan di satu tangan.

Dalam negara modern sering terjadi sengketa antara warga negara dengan

penguasa, terutama sengketa antara badan atau pejabat pemerintah dengan

masyarakat. Jika kekuasaan mengadili (yudisiil) berada di tangan badan atau

pejabat pemerintah itu sendiri, tentu kemungkinan besar tidak akan membuahkan

putusan perkara yang dilandasi independensi hakim. Itulah yang menjadi bagian

dari pemikiran dasar dilaksanakannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Sejarah penerapan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dibagi

dalam dua masa, sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Masa sebelum

kemerdekaan dapat dibagi menjadi dua rentang waktu, yakni masa kolonial

Belanda dan masa pendudukan Jepang. Sengaja pada masa penjajahan Inggris

yang sebentar tidak akan diuraikan di sini sebab pada masa itu tidak ada

6 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

Cet. Ketujuh, 1986, hal. 60-61.

Page 8: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

perubahan hukum yang substansial tentang penerapan asas kekuasaan kehakiman

di Hindia Belanda.

Sedangkan pada masa setelah kemerdekaan dapat dibagi kurun sejarah di

masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Selengkapnya akan dibahas

selanjutnya ini.

1. Masa Kolonial Belanda

Untuk melihat kesinambungan sejarah asas kekuasaan kehakiman yang

merdeka di Indonesia, hendaknya kita juga melacak perkembangan hukumnya di

Belanda, sebab harus diakui bahwa sistem hukum di Indonesia dan peradilannya

banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda.

Mr. R. Tresna mencatat bahwa tanggal 1 Mei 1848 merupakan garis waktu

yang amat penting untuk mengetahui riwayat perkembangan hukum Indonesia.

Tanggal itu merupakan saat hapusnya kekuatan hukum Belanda kuno dan hukum

Romawi yang dinyatakan dalam pasal 1 Bepalingen omtrent de invoering van-en

de overgang tot de nieuwe wet geving (Ketentuan-ketentuan tentang berlakunya

dan peralihan perundang-undangan baru) tanggal 3 Maret 1848, Stb. nomor 10).

Perundang-undangan baru tersebut adalah akibat dari penghapusan hukum

Kerajaan Perancis setelah Belanda merdeka dari Perancis.7

Berdasarkan asas concordans-beginsel (penyesuaian) maka perundang-

undangan baru di negeri Belanda tersebut diberlakukan pula di Indonesia (Hindia

Belanda). Firman Raja Belanda tanggal 15 Desember 1845 Nomor 67

7 MR. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. Keenam, 1976. hal. 5.

Page 9: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

menetapkan Mr. H.L. Wichers diutus ke Hindia Belanda untuk memangku

jabatan Ketua Mahkamah Agung (MA) dan MA Tentara. Selanjutnya Raja

Belanda mengeluarkan firman tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 untuk

memberlakukan beberapa produk hukum Belanda kepada Hindia Belanda.8

Dalam firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 tersebut

ditentukan bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda berwenang mengatur dan

menentukan berlakunya peraturan-peraturan yang diberlakukan di Hindia

Belanda termasuk Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan

pengadilan (pasal 1 dan 2), serta diberikan kuasa untuk menetapkan dan

mengeluarkan segala ketentuan hukum dan peraturan serta petunjuk yang

dianggap perlu untuk memperlakukan peraturan perundang-undangan baru secara

tertib yang akan disahkan Raja di dalam hal-hal yang ditentukan Peraturan

Pemerintah.9

Catatan sejarah tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan asas kekuasaan

kekuasaan kehakiman yang merdeka di tahun 1846 itu masih dalam tahap

kebebasan fungsional, belum sampai pada kemerdekaan struktural. Pembagian

kekuasaan pemerintahan Belanda pada masa itu telah dilakukan, namun fungsi-

fungsi legislatif dijalankan oleh Raja Belanda dan di Hindia Belanda juga

dijalankan Gubernur Jenderal. Sedangkan lembaga yudisiil di Hindia Belanda

masih berada di bawah kontrol Gubernur Jenderal, meskipun sudah dibentuk

badan peradilan yang secara teknis berpuncak di MA (Hooggerechtshof).

8 Ibid, hal. 5-6. 9 Ibid, hal. 6-8.

Page 10: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Dalam pasal 9 firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 tersebut

memang ditentukan bahwa dalam menetapkan peraturan-peraturan di Hindia

Belanda, atas kuasa raja, dengan meminta pertimbangan MA, namun pasal 4

firman raja Belanda tersebut juga memberi wewenang Gubernur Jenderal untuk

menetapkan peraturan-peraturan termasuk tentang tata usaha pengadilan sipil.

Selain itu, ternyata fungsi legislatif di Hindia Belanda di masa tersebut juga

melibatkan pejabat lembaga yudisiil. Mr. Wichers yang telah diangkat Raja

Belanda menjadi Ketua MA di Hindia Belanda juga ditugaskan untuk menyusun

perundang-undangan dalam tim Hooggerechtshof (pengadilan tertinggi di Hindia

Belanda yang berpusat di Jakarta, sejenis MA). Salah satu produk perundang-

undangan yang disusun dan akhirnya disetujui Gubernur Jenderal Rochussen

adalah Inlandsch Reglement tanggal 5 April 1848, Stb. nomor 16 yang kemudian

disahkan dengan firman Raja Belanda tanggal 29 September 1849 Nomor 93 Stb.

nomor 63.10

Begitu pula soal jabatan hakim. Ketua atau Presiden Hooggerechtshof

ditetapkan oleh raja Belanda. Para hakim di pengadilan karesidenan

(Residentiegerecht) di luar Jawa juga ada yang merupakan pegawai pemerintah

Belanda. Bahkan pengadilan distrik (Districtsgerecht) bagi golongan Indonesia di

Jawa dan Madura diselenggarakan oleh Wedana sebagai hakim tunggal.

Pengadilan banding di kabupaten (Regentschapsgerecht) juga diselenggarakan

oleh bupati atau Patih. Begitu pula pengadilan Magistraatsgerecht ditangani para

10 Ibid, hal. 10-14.

Page 11: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

pegawai pemerintah Belanda di daerah masing-masing yang diangkat Residen.

Hal serupa juga berlaku di pengadilan Landgerecht.11

Pada 1854 di Hindia Belanda juga diterbitkan Regerings Reglement

(disingkat RR) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan yang mengatur tentang

pembatasan terhadap eksekutif (Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap

proses peradilan yang bebas. Namun demikian Kerajaan Belanda sendiri

mempunyai Menteri Kehakiman yang mengatur para hakim, sehingga sistem

hukum demikian berpengaruh di Hindia Belanda. Meski secara asas dijamin

adanya peradilan yang bebas namun secara struktural tidak ada pemisahan

lembaga yudisiil dengan lembaga eksekutif.

Di masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut asas kekuasaan kehakiman

yang merdeka tidak ditunjukkan adanya pemisahan tegas badan pemerintah

(eksekutif) dengan lembaga yudisiil. Tetapi justru badan-badan pengadilan diatur

oleh pemerintah yang menugaskan para pegawai pemerintah Hindia Belanda

serta pejabat administrasi negara semacam Wedana dan Bupati untuk menjadi

hakim yang menjalankan fungsi peradilan di daerah-daerah masing-masing. Di

Kerajaan Belanda pada waktu itu juga ada Menteri Kehakiman yang merupakan

kekuasaan eksekutif yang mengatur kekuasaan kehakiman.

2. Masa Pendudukan Jepang

Pada 7 Maret 1942 Balatentara Jepang menguasai Hindia Belanda, sehingga

pemerintahan Hindia Belanda waktu itu dijalankan oleh Pemerintah Balatentara

11 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Bandung, Edisi

Kedua, Cet. Ketiga, 1996 hal. 34-43.

Page 12: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Jepang yang berpedoman pada undang-undang yang disebut Gunseirei. Untuk

pemerintahan di Jawa dan Madura dibuat pedoman Osamu Seirei berdasarkan

Gunseirei tersebut. Peraturan pelaksanaannya disebut Osamu Kanrei.12

Dalam bidang hukum Pemerintah Balatentara Jepang menerbitkan Osamu

Seirei Nomor 1 Tahun 1942, di mana pasal 3-nya menentukan bahwa semua

badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari

pemerintah yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak

bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.

Pengadilan-pengadilan yang ada di zaman kolonial Belanda hanya diubah

namanya. Tetapi untuk Hooggerechtshof tidak disebut dalam beberapa peraturan

konversi nama-nama badan-badan pengadilan yang ada. Hanya saja pemerintah

Balatentara Jepang membentuk Saiko Hooin (Pengadilan Agung) dan Kootoo

Hooin (Pengadilan Tinggi).13

Pada masa pendudukan Jepang ini tidak terlalu banyak perubahan berkaitan

dengan pelaksanaan asas kebebasan kekuasaan kehakiman. Justru Pemerintah

Balatentara Jepang mempunyai kekuasaan absolut untuk mengatur badan-badan

pengadilan.

3. Masa Orde Lama

Setelah Indonesia merdeka maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan

UUD 1945 sebagai hukum dasar (konstitusi) tertulis negara. Aturan Peralihan

12 Ibid, hal. 55. 13 Ibid, hal. 57.

Page 13: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

yang ada di pasal I UUD 1945 menjadi dasar untuk mengambil alih segala

peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga negara atau pemerintah

yang ada di masa sebelum kemerdekaan selama belum diganti dengan yang baru

menurut UUD 1945.

Seperti diuraikan di bagian terdahulu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman di

masa kolonial Belanda dan pemerintahan Balatentara Jepang di Indonesia tidak

mecerminkan adanya pemisahan tegas antara lembaga yudisiil dengan lembaga-

lembaga lainnya, terutama masih ada hakim-hakim yang merangkap menjadi

pegawai pemerintah (eksekutif).

Keadaan tersebut tampaknya berlanjut di masa Orde Lama. Prof. Dr. Jur. A.

Hamzah, S.H. menguraikan bahwa dalam hal "mandiri", hakim dan jaksa 1945-

1959 berada dibawah "atap" departemen (kementerian) Kehakiman. Namun

semua orang tahu dari pengalaman empiris, bahwa baik hakim maupun jaksa

sungguh-sungguh independen pada waktu itu. Jaksa Agung Suprapto pernah

menangkap Menteri Kehakiman yang secara administratif adalah atasannya.

Itulah bukti betapa independennya Jaksa Agung yang pensiun pada umur 65

tahun (teoritis seumur hidup) pada waktu itu. Di sini juga ternyata, bahwa boleh

saja tidak mandiri asal independen dalam menjalankan tugasnya.14

Pada zaman Orde Lama, dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 1964

diatur campur tangan presiden dalam peradilan. Ketua Mahkamah Agung

diangkat menjadi menteri (pembantu presiden). Dengan demikian, asas

14 Jur. A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah dalam

acara yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Denpasar, 14 -18 juli 2003.

Page 14: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut UUD 1945, telah dihapuskan oleh

suatu undang-undang yang lebih rendah tingkatnya.15

Pada zaman Orde Lama diterbitkan berbagai undang-undang terkait

kekuasaan kehakiman tersebut antara lain: (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun

1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan

Kejaksaan, (2) Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Susunan

dan Kekuasaan Pengadilan, (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, (4) Undang-undang Nomor

13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Peradilan Umum dan Mahkamah

Agung.

Begitu halnya dengan kekuasaan kehakiman pada pengadilan militer dapat

dilacak dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-

undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan

Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan sebagai Undang-

undang Federal, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22

Pnps Tahun 1965. Ketua, Ketua Pengganti, Hakim Perwira pada Pengadilan

Tentara (Militer) dan Pengadilan Tentara (Militer) Tinggi diangkat oleh Menteri

Koordinator Kompartimen Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan

Bersenjata atas usul Menteri/Penglima Angkatan yang bersangkutan (pasal 9 ayat

(1) dan pasal 15 ayat (1)). Di tingkat MA-pun ada hakim-hakim perwira yang

berpangkat serendah-rendahnya Kolonel juga diangkat oleh Menteri Koordinator

15 Ibid.

Page 15: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Kompartimen Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata atas usul

Menteri/Penglima Angkatan yang bersangkutan (pasal 23 ayat (2)).

Di masa Orde Lama pada mulanya pengakuan asas kekuasaan kehakiman

yang merdeka dapat dibaca dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948. Pasal

3 ayat (2) dan ayat (3) undang-undang ini menentukan:

(2) Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya

tunduk pada undang-undang;

(3) Pemegang kekuasaan pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan

kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang

Dasar.

Namun dalam perkembangannya asas tersebut diterjang dengan Undang-

undang Nomor 19 Tahun 1964 yang pada pasal 19-nya menentukan bahwa demi

kepentingan revolusi, kemerdekaan negara dan bangsa atau kepentingan

masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-

soal pengadilan. Penjelasan pasal 19 tersebut menjelaskan: “Pengadilan adalah

tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-

undang, bahwa Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau

campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana.

Demikian pula dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang

Pengadilan dalam Peradilan Umum dan Mahkamah Agung yang mewajibkan

hakim untuk memihak pada kebenaran sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila

dan Manipol Usdek yang menempatkan Presiden sebagai Pemimipin Besar

Page 16: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Revolusi yang memiliki kedudukan seperti terhadap lembaga-lembaga negara

lainnya, termasuk terhadap kekuasaan kehakiman.

Keseluruhan undang-undang yang terkait kekuasaan kehakiman zaman

Orde Lama tersebut meski dimaksudkan sebagai undang-undang organik untuk

melaksanakan pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang memuat asas kekuasaan

kehakiman yang merdeka, namun ternyata masih menempatkan kekuasaan

kehakiman sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif karena keberadaan Menteri

Kehakiman sebagai atasan organisatoris, administratif dan finansial dari para

hakim, bahkan para hakim dinyatakan harus tunduk kepada Manipol Usdek yang

dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

4. Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru tampil muncul arus pemikiran tentang pemurnian

pelaksanaan UUD 1945 yang salah satu agendanya adalah menyusun undang-

undang yang baru yang mengatur kembali asas kebebasan kekuasaan kehakiman

yang bebas dan mandiri seperti telah pernah diatur sebelumnya oleh Undang-

undang Nomor 19 Tahun 1948.16

Dalam hal tersebut Yudhi Setiawan menguraikan sejarahnya sebagai

berikut:

Dengan Keputusan Presiden RI Nomor 38 tahun 1967 tanggal 28 Maret 1967 pemerintah membentuk Panitia Interdepartemental Peninjauan Kembali Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965. Selanjutnya dengan Keppres Nomor 271 Tahun 1967 tanggal 29

16 Yudhi Setiawan, Pengaturan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Mandiri,

http://fh.wisnuwardhana.ac.id, 19 Mei 2010.

Page 17: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Desember 1967 Panitia Interdepartemenal ini diganti dengan Panitia Negara dengan tugas yang sama yaitu meninjau kembali kedua undang-undang tersebut dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang baru sebagai penggantinya. Pada tanggal 30 Juni 1968 Panitia tersebut telah berhasil merampungkan tugas-tugasnya dan pada tanggal 13 Agustus 1968 Presiden secara resmi menyampaikan kedua rancangan undang-undang tersebut kepada Ketua DPRGR untuk dibicarakan dan mendapat persetujuan. Akhirnya Rancangan Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berhasil disetujui DPRGR dan kemudian disahkan serta diundangkan pada tanggal 17 Desember 1970 sebagai Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Undang-Undang ini menentukan 4 jenis “peradilan” untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Keempat jenis peradilan itu adalah : a. Peradilan Umum diatur dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986. b. Peradilan Agama diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. c. Peradilan Tata Usaha Negara diatur dengan Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986. d. Peradilan Militer diatur dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.17

Meskipun semangat pembentukan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970

tersebut adalah pemurnian pelaksanaan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka

menurut UUD 1945, namun dalam praktiknya menimbulkan dugaan kuat adanya

intervensi kekuasaan eksekutif sebab pada hakim juga menjadi bawahan Menteri

Kehakiman secara administrasi, organisasi dan finansial.

Contohnya adalah keluarnya Surat Ketua MA No. KMA/126/IV/1985,

tanggal 5 April 1995 yang menyatakan bahwa putusan Peninjauan Kembali MA

No. 381 PK/Pdt/1989 tanggal 28 Juli 1992 tidak dapat dieksekusi (nonexecutable)

dengan alasan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya (dan tergugat

lainnya) bukan badan hukum publik yang mempunyai kekayaan sendiri tetapi

hanya mewakili daerahnya. Dalam perkara Tanah Adat Jayapura ini para

penggugat memenangkan perkara tanah adat hak mereka di mana pengadilan

mewajibkan Tergugat I, IV dan VIII untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 18,6

17 Ibid.

Page 18: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

miliar. Perkara tersebut menjadi kontroversi pada saat itu dan disinyalir akan

intervensi ekstrayudisiil yang mengakibatkan adanya intervensi Ketua MA untuk

menyatakan putusan tersebut tidak dapat dieksekusi.

Begitu pula dalam kasus pembebasan tanah rakyat Kedung Ombo, diputus

oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan

Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi

MA No. 2263.K/Pdt/1991 yang memberi keadilan bagi rakyat.

Tetapi putusan kasasi tersebut dibatalkan oleh putusan PK MA No. 650

PK/Pdt/1994 yang menyatakan gugatan warga Kedungombo tidak dapat diterima.

Salah satu pertimbangan putusan PK MA tersebut adalah: pada saat gugatan kasus

Kedung Ombo ini diperiksa ditingkat kasasi, telah terjadi perubahan peraturan

yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, diganti dengan

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, sehingga berdasar atas azas Lex

posteriori derogat legi priori, maka akan diterapkan ketentuan Keputusan

Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan MA mengharuskan penyelesaiannya melalui

Keppres tersebut. Tentu saja putusan PK demikian itu irasional sebab gugatan

warga Kedung Ombo diajukan tahun 1990.

Selain kasus Tanah Adat Jayapura, kasus Kedung Ombo, juga kasus-kasus

pembredelan pers pada zaman Orde Baru yang disahkan dengan putusan-putusan

MA sehingga membuahkan kontroversi hukum, disinyalir akibat intervensi

kekuasaan eksekutif karena keberadaan lembaga yudisiil yang dikatakan

kepalanya ada di MA tetapi perutnya ada di eksekutif (di bawah Departemen

Page 19: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Kehakiman). Hal itu dirumuskan dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor

14 Tahun 1970.

5. Masa Orde Reformasi

Setelah berakhirnya pemerintahan tirani Orde Baru, hukum mengalami

perkembangan yang lebih demokratis. Pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang

Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan pada Sidang MPR bulan November 1998.

Ketetapan MPR tersebut dilaksanakan dengan Keputusan Presiden Nomor

21 tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Kerja Terpadu untuk melakukan kajian

Tap MPR tersebut yang memerintahkan pemisahan yang tegas antara fungsi

yudisiil dengan fungsi eksekutif. Hasil kerja Tim Terpadu tersebut

merekomendasikan pemisahan fungsi yudisiil dari fungsi eksekutif dengan

mengubah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, khususnya pasal 11 dan pasal

22. Berdasarkan rekomendasi tersebut Presiden B.J. Habibie mengajukan

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1970, khususnya pasal 11 dan pasal 22.

Selanjutnya, DPR menyetujui dengan menetapkan RUU tersebut sebagai

Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

yaitu Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 yang berlaku pada tanggal 31

Agustus 1999. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 merupakan hukum transisi

pemisahan kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif).

Page 20: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 mengubah pasal 11 Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970, di mana Badan-badan Peradilan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansial

berada di bawah kekuasaan MA. Namun demikian pada saat itu status

kepegawaian para hakim secara struktural belum benar-benar terpisah dari

lembaga eksekutif sebab para hakim adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang

masih tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian jo. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan tunduk pula pada Peraturan

Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri

Sipil.

Tahun 2000 MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2000

tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang

Tahunan MPR Tahun 2000. MPR membuat rekomendasi kepada MA agar segera

melaksanakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman, dan MA perlu memantapkan kemandirian dalam melaksanakan tugas

dan fungsinya serta menjadikan MA bebas dari KKN. MPR kembali

mengeluarkan rekomendasi serupa pada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001

tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada

Sidang Tahunan MPR Tahun 2001.

Tahun 2004 di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

merupakan masa pemisahan lembaga yudisiil dengan lembaga eksekutif secara

Page 21: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

lebih tegas, dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999

dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

disusun hampir bersamaan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan

Umum, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Pada tahun 2006 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan Peradilan

Militer tetap diatur dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer.

Terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 termasuk dalam rangka

menyesuaikan dengan amandemen UUD 1945 dengan keberadaan Mahkamah

Konstitusi. Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berkenaan dengan pelaksanaan pemisahan struktural lembaga peradilan

dari kekuasaan eksekutif maka pasal 42 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004

menentukan bahwa pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam

lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan

Page 22: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

paling lambat tanggal 31 Maret 2004, dalam lingkungan peradilan agama selesai

dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004, dalam lingkungan peradilan

militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Pengalihan

organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ditetapkan

dengan Keputusan Presiden.

Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, terjadi konflik

hukum antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudiasial yang menjalankan

fungsi pengawasan eksternal kepada para hakim berdasarkan UUD 1945. Para

Hakim Agung mengajukan uji materiil terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun

2004 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Akhirnya, Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 005/PUU/2006

menyatakan pasal 34 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 dan ketentuan

pengawasan hakim dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dinyatakan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila berkenaan dengan

pengawasan kepada kepada Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sempat menuai kecaman dan

menjadi polemik hukum sebab Mahkamah Konstitusi dianggap memangkas

wewenang konstitusional Komisi Yudisial berdasarkan pasal 24 B ayat (1) UUD

1945. Hakim yang dimaksudkan dalam ketentuan tersebut diartikan hakim secara

keseluruhan sehingga termasuk Hakim Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi bahan untuk menyusun

perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Pada tahun 2009 diterbitkan

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

Page 23: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

menggantikan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dalam undang-undang ini

secara lebih tegas dinyatakan bahwa para hakim dan hakim konstitusi adalah

pejabat negara (pasal 19) sehingga bukan lagi menjadi PNS biasa.

Konsekuensinya, kedudukan para hakim tidak lebih rendah atau sejajar jika

dibandingkan presiden dan para anggota lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.

Dalam Bab VI Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan adanya

bentuk pengawasan para hakim. Para hakim pengadilan yang berada di bawah

MA berada dalam pengawasan internal MA dan dalam pengawasan eksternal

Komisi Yudisial. Sedangkan hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, diubah kedua kalinya

dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009. Dalam undang-undang ini

tampaklah adanya politik hukum negara yang mengembalikan wewenang Komisi

Yudisial yang juga berwenang mengawasi Hakim Agung selain para hakim

pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan pasal

32 A ayat (2) yang menentukan bahwa pengawasan eksternal para Hakim Agung

dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Namun demikian wewenang konstitusional Komisi Yudisial masih tidak

utuh sebab politik hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tetap tidak memberikan akses pengawasan Komisi Yudisial kepada para hakim

Mahkamah Konstitusi. Artinya, dalam hal ini masih terjadi inkonstitusionalitas

dengan cara mereduksi wewenang Komisi Yudisial tersebut. Untuk itu maka

Page 24: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 membuat perbedaan istilah antara

“hakim” dengan “hakim konstitusi” sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 angka

5 dan 7.

Selain adanya perubahan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman

dan Mahkamah Agung, juga terjadi beberapa perubahan undang-undang di bidang

peradilan. Apabila diuraikan, struktur badan peradilan di Indonesia adalah sebagai

berikut:

a. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

dan Mahkamah Agung berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985

sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.

b. Mahkamah Agung membawahi badan-badan peradilan:

- Peradilan Umum berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004

dan Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009.

- Peradilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.

- Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.

- Peradilan Militer masih tetap dengan Undang-undang Nomor 31 tahun

1997.

Page 25: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

Selain itu terdapat badan-badan peradilan khusus, antara lain:

Peradilan khusus di bawah Peradilan Umum, yaitu:

- Pengadilan Anak berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.

- Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan Undang-undang

Nomor 26 Tahun 2000.

- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasarkan Undang-undang

Nomor 46 Tahun 2009.

- Pengadilan Perikanan berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004

yang diubah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009.

- Pengadilan Industrial berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004.

- Pengadilan Niaga yang belum diatur dalam undang-undang tersendiri,

semula dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan dengan

Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang selanjutnya

diganti dengan diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, serta

dalam berbagai undang-undang tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual.

Peradilan khusus lainnya di bawah Peradilan Tata Usaha Negara yakni

Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.

Sedangkan Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

berada di dua lingkungan peradilan, yaitu: peradilan khusus di bawah

lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut

kewenangan peradilan agama dan peradilan khusus di lingkungan peradilan

Page 26: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum (pasal 3A

ayat (2) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009).

Pada masa Orde Reformasi kekuasaan lembaga yudisiil benar-benar

terlepas dari kekuasaan eksekutif. Prof. Muchsin mengistilahkan keadaan tersebut

sebagai peradilan satu atap yang implikasinya mengharuskan adanya

pengembangan, peningkatan profesionalisme para hakim serta perbaikan sarana

dan prasarana pengadilan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap

citra lembaga pengadilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan.18

Memang, kini dalam praktiknya ketika MA kurang mampu dalam

melakukan kontrol internal dan Komisi Yudisial kekurangan tenaga dalam kontrol

eksternal, kekebasan kekuasaan kehakiman telah membuahkan peradilan yang

liberal. Dalam kasus-kasus yang melibatkan korporasi besar ada kecenderungan

pengadilan Indonesia tidak memperhatikan keadilan sosial tetapi lebih melindungi

investor. Sebagai contoh pada kasus pencemaran lingkungan di Buyat Sulawesi

Tenggara, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, kasus divestasi saham

Rio Tinto di Kalimantan Timur. Banyak pula pandangan miring masyarakat

kepada pengadilan yang seringkali berlaku tidak adil kepada rakyat kecil yang

sedang berhadapan dengan hukum.

Lembaga yudisiil Indonesia meski telah bebas merdeka dari kekuasaan

lain secara fungsional dan struktural, tetapi masih belum merdeka dari intervensi

uang. Maka selanjutnya yang dibutuhkan adalah membangun sistem pengawasan

dan penegakan kode etik hakim.

18 H. Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Independence Judiciary) Sesudah

Perubahan UUD 1945 Menurut UU No. 48 Tahun 2009, Untag Press, Surabaya, 2010, hal. 116.

Page 27: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari ajaran

Trias Politica, di mana kekuasaan lembaga yudisiil terpisah dengan lembaga-

lembaga lainnya dalam suatu negara. Implementasi pemisahan kekuasaan

kehakiman dengan lembaga lainnya di negara Indonesia baru terwujud pada

era Orde Reformasi, namun masih terdapat masalah baru berupa

ketidakbebasan para hakim dari intervensi uang yang indikasinya tampak dari

kecenderungan keberpihakan para hakim kepada para penguasa modal dan

mengabaikan keadilan sosial.

2. Saran

Fungsi pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial hendaknya dikembalikan

berdasarkan UUD 1945, selain kewenangan mengawasi para hakim di

lingkungan MA juga mengawasi para hakim Mahkamah Konstitusi. Selain

itu, Komisi Yudisial harus melanjutkan dan memperkuat sistem jejaring

masyarakat dalam menjalankan fungsinya. Fungsi pengawasan internal oleh

MA dan Mahkamah Konstitusi juga perlu diperkuat dengan membentuk

tenaga khusus di bidang pengawasan oleh para hakim yang tidak ditugasi

merangkap menangani perkara sehingga pengawasan akan lebih fokus dan

konsisten.

Page 28: Sejarah Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Indonesia

DAFTAR BACAAN

a. Buku

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet. Ketujuh, 1986.

H. Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Independence Judiciary)

Sesudah Perubahan UUD 1945 Menurut UU No. 48 Tahun 2009, Untag Press, Surabaya, 2010.

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. XI,

1988. M. Nasroen, Asal Mula Negara, Aksara Baru, Jakarta, Cet. Kedua, 1986. Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid III,

Siguntang, Jakarta, 1960. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada,

Bandung, Edisi Kedua, Cet. Ketiga, 1996. Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta,

2002. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. Keenam, 1976. Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Cet.

Ketiga, 1991.

b. Makalah

Jur. A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah dalam acara yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Denpasar, 14 -18 juli 2003.

c. Artikel dari internet

Yudhi Setiawan, Pengaturan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan

Mandiri, http://fh.wisnuwardhana.ac.id, 19 Mei 2010.