penyelenggaraan kekuasaan …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · web viewkekuasaan...

32
PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Aan Eko Widiarto, SH MHum 1 Abstrak Implikasi dari putusan-putusan MK dalam mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD perlu dikaji dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Dalam konteks yang demikian ini semakin penting dikaji implikasi- implikasi putusan MK terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman beserta tingkat konsistensi isi putusan-putusan MK yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Kata Kunci : Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Konstitusi Pendahuluan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan 1 Pengajar Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1

Upload: dinhdiep

Post on 15-Mar-2019

263 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh : Aan Eko Widiarto, SH MHum1

Abstrak

Implikasi dari putusan-putusan MK dalam mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD perlu dikaji dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Dalam konteks yang demikian ini semakin penting dikaji implikasi-implikasi putusan MK terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman beserta tingkat konsistensi isi putusan-putusan MK yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.

Kata Kunci : Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Konstitusi

Pendahuluan

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam

pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung

berwenang pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya

yang diberikan oleh undang-undang.

1 Pengajar Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya1

Page 2: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran

partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga

baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi

Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Akibat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan

kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dilakukan perubahan secara

komprehensif dengan dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 

4  Tahun  2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2

Page 3: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai badan-badan peradilan

penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan

kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam

hukum dan dalam mencari keadilan.  Selain itu diatur pula ketentuan yang

menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan

kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat

peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain

yang  fungsinya  berkaitan  dengan   kekuasaan kehakiman.  Untuk  memberikan

kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan

peradilan di bawah Mahkamah Agung maka diatur dalam ketentuan peralihan.

 Selain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  4 

Tahun  2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, badan-badan peradilan

penyelenggara kekuasaan kehakiman diatur dalam beberapa Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor

14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2004 tentang Komisi Yudisial, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi,

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

3

Page 4: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan

Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001 membawa konsekuensi harus

dibentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi. Setelah disahkannya Perubahan

Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah

Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk

sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil

Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan

Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan

mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan

disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus

2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara

pada tanggal 16 Agustus 2003.

Mahkamah Konstitusi (MK) sejak periode Nopember 2003 sampai dengan

Maret 2007 telah memutuskan 16 permohonan judicial review Undang-Undang

yang terkait dengan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap

Undang-Undang Dasar 1945. Keenam belas Putusan MK tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Pengujian Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara terhadap UUD 1945;

2. Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap UUD 1945;

4

Page 5: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

3. Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;

4. Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

terhadap UUD 1945;

5. Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Pengujian Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 terhadap UUD 1945;

6. Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;

7. Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;

8. Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap

Undang Undang Dasar 1945;

9. Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman Bab VI Pasal 36 Ayat (1), (2), (3), (4) dan Pasal 11 Ayat (4)

terhadap UUD 1945;

10.Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 74 Tentang

Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor1 Tahun 1987 tentang

Kamar Dagang & Industri terhadap UUD 1945;

11.Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 ayat (1) Tentang

Pengadilan HAM terhadap UUD 1945;

12.Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,

5

Page 6: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

khususnya Pasal 36 menyangkut Penasehat hukum terhadap Undang-Undang

Nomor18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 12 terhadap UUD

1945;

13.Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 74 Tentang

Mahkamah Konstitusi;

14.Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

15.Pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman;

16.Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung.

Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim MK sangat bervariasi mulai

dari dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak, hingga tidak dapat diterima.

Tentunya putusan MK tersebut berimplikasi yuridis dalam penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman disini adalah

sebagaimana dimaksud dalam BAB IX Pasal 24 UUD 1945 berikut peraturan

perundang-undangan organiknya yang menjadi dasar pengaturan Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara,

Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.

Pembahasan

Telaah yang mendalam tentang implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah sangat

berguna untuk merekonstruksi kekuasaan kehakiman berdasarkan putusan-

6

Page 7: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dibangun dari proses identifikasi

tingkat konsistensi antar isi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait

dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan implikasi putusan Mahkamah

Konstitusi yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap

kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Dengan demikian diharapkan akan diperoleh manfaat praktis bagi

pemecahan masalah implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di bidang

kekuasaan kehakiman. Selain itu diharapkan pula dapat membangun sistem

ketatanegaraan yang mampu menciptakan checks and balances system demi

pengembangan penegakan sepremasi hukum.

Implikasi putusan MK yang cukup mendasar dalam penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman adalah atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya telah

menimbulkan persoalan baru yaitu polemik mengenai pengadilan korupsi di masa

depan. Dalam Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dinyatakan

bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Pasal 53 UU KPK berbunyi, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan

memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi.” Pemohon mendalilkan, jika ketentuan Pasal 1 Angka 3

7

Page 8: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

dihubungkan dengan Pasal 53 UU KPK dan konsiderans UU KPK huruf b yang

menyatakan, “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak

pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas

tindak pidana korupsi”, maka undang-undang a quo telah menempatkan

Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak pidana

korupsi yang merupakan fungsi eksekutif, bukan bagian dari kekuasaan yudikatif.

Dengan demikian, menurut Pemohon, Pengadilan Tipikor sulit diharapkan dapat

menjalankan fungsinya secara merdeka, mandiri dan imparsial. Jika memang

Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari kekuasaan yudikatif, ia seharusnya

dibentuk dengan undang-undang yang terpisah dari undang-undang yang

mengatur tentang suatu lembaga negara tertentu, sebagaimana yang berlaku

selama ini. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat: pertama,

bahwa pelaku kekuasaan kehakiman, menurut Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945,

adalah sebuah Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan yang berada di

empat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung) dan sebuah

Mahkamah Konstitusi. Kedua, bahwa badan-badan peradilan dari keempat

lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945

adalah badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Keempat,

bahwa dengan demikian pula, pembentukan pengadilan-pengadilan khusus,

sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan peradilan

sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, dimungkinkan. Kelima,

bahwa selanjutnya, Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Susunan,

kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan

peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Pengertian frasa “diatur

8

Page 9: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

dengan undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 tersebut berarti

pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan

dengan undang-undang. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai

implementasi dari Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 Ayat (1) tersebut

berbunyi, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-

undang“. Penjelasan ayat tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ”pengadilan

khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan

niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi,

pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan

pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Meskipun Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dibuat lebih

kemudian dari UU KPK, akan tetapi ketentuan yang sama telah tercantum dalam

Pasal 10 Ayat (1) (beserta Penjelasannya) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bunyi ketentuan

Pasal 10 Ayat (1) tersebut adalah, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh

Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c.

Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.” Sementara itu, Penjelasannya

berbunyi, “Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan

yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan

meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan

Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena

mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu,

9

Page 10: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya

mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana. Perbedaan dalam empat

lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan

(differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam

Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas,

Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-

undang.” Di samping itu, frasa yang berbunyi “diatur dengan undang-undang”

yang tersebut dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 juga berarti bahwa susunan,

kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan

peradilan di bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-

undangan lain selain undang-undang.

Dengan demikian maka Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4250) dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun demikian MK memandang bahwa peralihan dampak hukum dari putusan

harus smoot/halus sehingga diputuskan bahwa Pasal 53 tetap mempunyai kekuatan

hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung

sejak putusan diucapkan.

Berdasarkan Putusan MK atas Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, struktur lembaga

kekuasaan kehakiman di Indoesia telah berubah.

10

Page 11: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Draft sementara dari Tim Perumus Undang-Undang Pemberantasan

Korupsi justru bisa berimplikasi pada hilangnya pengadilan khusus korupsi

sebagaimana kita kenal sekarang. Begitu pula eksistensi hakim ad hoc korupsi.

Pada gilirannya juga memandulkan fungsi KPK. Wajar saja, jika putusan MK

mengenai hal ini diwarnai perbedaan persepsi.

Ada yang berpendapat, putusan ini membuat eksistensi Pengadilan

Korupsi dan KPK (bahkan eksistensi pemberantasan korupsi) terancam. Karena

jika dalam waktu tiga tahun pemerintah dan DPR gagal melahirkan Undang-

Undang Pengadilan Korupsi maka perkara korupsi akan diadili di pengadilan

biasa, yang selama ini telah melahirkan putusan-putusan kontroversial. Itu berarti

pada 19 Desember 2009 sudah harus ada Undang-Undang Pengadilan Tipikor

yang menyatukan sistem peradilan tindak pidana korupsi. Jika pada tanggal itu tak

terbentuk, Pengadilan Tipikor yang ada sekarang kehilangan dasar hukumnya.

Akibat lanjutan jika pengadilan korupsi hilang karena tidak adanya Undang-

Undang Pengadilan Korupsi maka ketajaman KPK dalam memberantas korupsi

pun akan hilang. KPK lebih banyak akan bertindak secara preventif dan

melakukan pendidikan anti korupsi dan sebagainya. Justru tindakan represif dari

KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi ke pengadilan korupsi lah

yang selama ini menjadi pusat apresiasi masyarakat. Sementara itu, mungkin ada

pandangan berbeda yang menyatakan, putusan MK menimbulkan ketidakpastian

dimana di satu sisi pengadilan Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD

1945 tetapi putusannya tidak langsung berlaku dan masih memberi kesempatan

tiga tahun lagi. (Topo Santoso: 2007)

11

Page 12: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Putusan lain misalnya tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dinyatakan tidak dapat diterima

oleh Mahkamah Konstitusi. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya

dirugikan dengan adanya pasal 16 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Bunyi

pasal 16, "Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada

atau belum jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili. Menurut

pemohon, hal ini berakibat putusan peradilan menjadi tidak konsisten dan

menyebabkan ketidakpastian hukum, khususnya terhadap kasus yang menimpa

kliennya. Namun Mahkamah Kontitusi berpendapat pasal tersebut tidak

bertentangan sama sekali dengan jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh

kepastian hukum. Sebaliknya asas ini justru mengukuhkan pengakuan jaminan

perlindungan dan kepastian hukum yang adil, seperti yang termuat dalam pasal

28D ayat 1 UUD 1945. Bila memang pemohon dirugikan dengan putusan

peradilan bukan karena berlakunya pasal 16, melainkan perbedaan penafsiran dan

penerapan hukum yang dilakukan peradilan sehingga tidak terbukti adanya hak

konstitusional pemohon yang dirugikan.

Dalam Putusan Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa

Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan

Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

12

Page 13: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi menetapkan undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah

undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga telah menghambat

konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi Pemohon untuk mengajukan

permohonan pengujian undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan

UUD 1945 dan merugikan hak konstitusi Pemohon dalam memperjuangkan hak

untuk memajukan diri secara kolektif membangun masyarakat, bangsa dan negara

dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah, maka Pasal

50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan Pasal

28C ayat (2) UUD RI 1945. Apabila tetap konsisten berpegang pada Pasal 50

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, akan tercipta tolak ukur ganda dalam

sistem hukum Indonesia dengan tetap membiarkan berlaku sahnya suatu undang-

undang yang bertentangan dengan UUD 1945 in casu Pasal 4 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1987 yang berbunyi “dengan undang-undang ini ditetapkan

adanya satu Kamar Dagang dan Industri yang merupakan wadah bagi pengusaha

Indonesia baik yang tidak bergabung maupun yang bergabung dalam organisasi

pengusaha dan/atau organisasi perusahaan”, yang jelas-jelas merugikan hak

konstitusi Pemohon beserta puluhan ribu anggota untuk membentuk organisasi

yang sebanding dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia tersebut. Namun

demikian MK menolak permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 4

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri

13

Page 14: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3346).

Berdasarkan putusan tersebut maka telah terjadi perluasan kewenangan

salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi untuk menguji

undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Putusan Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 dinyatakan Pasal 36

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan Pasal 36

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.

Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 2004 sebagai perubahan atas UU Nomor 14

Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa: "Mahkamah

Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan

Notaris" diangap bertentangan dengan ketentuan, semangat dan jiwa Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 24 ayat

(1) dan (3). Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: "Kekuasaan Kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan". Pasal 24 ayat (3) UUD 1945

menyebutkan:"Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

Kehakiman diatur dalam undang-undang”.

14

Page 15: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Didalilkan Pemohon, Ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985

dimaksud seharusnya dengan berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat sebagai undang-undang yang khusus di mana isinya kontradiktif. Artinya

ada dua badan yang melakukan pengawasan terhadap Advokat. Dengan

berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14

Tahun 1985 khusus pada Pasal 36 beserta Penjelasannya (selanjutnya disebut UU

Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985) yang sama

sekali tidak dirubah, sehingga masih tetap berlaku ketentuan bahwa “Mahkamah

Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan

Notaris” di satu pihak, sedangkan menurut Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003

bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan Organisasi Advokat. Bahwa

dengan adanya dua badan pengawasan yang diatur dengan undang-undang yang

berlainan terhadap suatu materi muatan ayat yang sama, maka timbullah dualisme

hukum dan terjadinya pertentangan antara dua undang-undang yang berlaku.

Akibatnya telah terjadi ketidakpastian hukum dalam pengawasan terhadap

Pemohon dan Advokat umumnya.

Dengan demikian putusan-putusan Mahkamah Konstitusi khususnya yang

berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dapat berimplikasi

merubah konfigurasi pengaturan kehakiman sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan ada pula

yang justru menguatkan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

ada.

15

Page 16: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Beberapa Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah

diuraikan tersebut tentunya perlu dipandang dalam konteks kekuasaan kehakiman

yang merdeka dan kebebasan hakim.

Konsep yuridis “Kekuasaan kehakiman yang merdeka” secara

konstitusional meliputi:

1. Larangan terhadap upaya campur tangan (intervensi) pihak lain di luar

kekuasaan kehakiman (termasuk eksekutif) kecuali campur tangan itu

dibolehkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam hal ini,

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2)

secara limititatif menetapkan wewenang “intervensi” eksekutif

terhadap urusan peradilan hanya menyangkut grasi, rehabilitasi,

amnesti, serta abolisi. Wewenang ini disebut “Wewenang Pseudo

Yudisial.” Dalam bentuk aturan hukum, konsepsi “Kekuasaan

kehakiman yang merdeka” dituangkan dalam Undang-undang Nomor

4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 1, “Kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Dalam

“Penjelasan” Pasal 1 a quo dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman

yang merdeka mengandung pengertian “kekuasaan kehakiman bebas

dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali

dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar

Tahun 1945.” Untuk mengafirmasi ketentuan Pasal 1 a quo, Undang-

16

Page 17: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

undang Nomor 4 Tahun 2004 mengancam setiap orang yang dengan

sengaja mengintervensi kekuasaan kehakiman dengan ancaman pidana.

(Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (4)).

2. Pembentukan “Kekuasaan kehakiman satu atap (one roof system)”.

Munculnya ide one roof system menurut Montesquieu untuk mencegah

munculnya kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang.

Montesquieu berpendapat setiap percampuran di satu tangan antara

legislatif, eksekutif, dan yudisial dipastikan akan menimbulkan

kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang. Untuk

mencegah kesewenang-wenangan, badan (alat kelengkapan) organisasi

negara harus dipisahkan satu sama lain. Yang satu independen

terhadap yang lain. Implikasi yuridis pembentukan “Kekuasaan

kehakiman satu atap” adalah adanya borders (tapalbatas) terhadap

wewenang cabang kekuasaan, oleh karena itu, hanya organ-organ

kekuasaan kehakiman sajalah yang berhak melakukan tindakan-

tindakan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Secara kontrario,

tindakan organ eksekutif dalam proses penegakan hukum dan keadilan

merupakan intervensi yang dilarang oleh konstitusi. (Bagir Manan,

Sistem Peradilan Berwibawa, halaman 120-121).

Menurut Jur. A. Hamzah dengan mengutip pendapat Paulus E. Lotulong,

kekuasaan kehakiman merdeka atau independen itu sudah bersifat universal.

Ketentuan universal yang terpenting ialah The Universal Declaration of Human

Rights, Pasal 10 mengatakan:

"Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an

17

Page 18: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligation of any criminal charge agains him. "(Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya).

Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

"Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law."(Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberitakan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang).

UUD 1945 Ayat (1) sesudah amandemen ketiga berbunyi: "Kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan." Ayat (2) mengatakan:

"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."

Perbedaan dengan Pasal 24 lama ialah kekuasaan kehakiman yang

merdeka sudah disebut dalam rumusan bukan hanya dalam penjelasan. Juga

dirinci peradilan dibawah Mahkamah Agung, termasuk yang baru yaitu

Mahkamah Konstitusi.

Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah

bagaimana hakim dalam mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam

menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono Prodjodikuro

menolak pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurut

18

Page 19: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

beliau hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim katanya mendekati

pembuatan undangundang tetapi tidak sama. Beliau berpendapat bahwa walaupun

Ter Haar menyatakan isi hukum adat baru tercipta secara resmi dianggap ada

apabila ada beberapa putusan dari penguasa terutama para hakim, ucapan Ter

Haar itupun tidak dapat dianggap bahwa dengan putusan hakim dan lain penguasa

itu terciptalah hukum adat, tetapi hanya merumuskan hukum adat itu.

Untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi

dan pendapat ahli hukum terkenal (doktrin). Mengenai yurisprudensi, van

Apeldoorn berpendapat sejajar dengan Wirjono Prodjodikuro tersebut di muka. Di

negeri Belanda katanya, hakim tidak terikat kepada putusan hakim-hakim lain dan

juga tidak kepada hakim yang lebih tinggi. Apabila suatu peraturan dalam putusan

hakim diterima secara tetap dan nyata menjadi keyakinan hukum umum, atau

dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk suatu yurisprudlensi

tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan berdasarkan keputusan

hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah laku hakim-hakim

terciptalah keyakinan hukum umum. (Jur. A. Hamzah: 2003).

Menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya Pasal 24 UUD 1945 telah

menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman berpuncak pada Mahkamah Agung

yang merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Namun, dalam perjalanan,

praktek kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu selalu dipengaruhi oleh kekuasaan

pemerintah yang terpusat di tangan Presiden. Makin lama seorang Presiden

berkuasa, makin kuat pengaruhnya terhadap kinerja kekuasaan kehakiman kita,

sehingga prinsip ‘fair and impartial judiciary’ selalu gagal diwujudkan dalam

kenyataan. Pemisahan unsur pembinaan acara peradilan di bawah Mahkamah

19

Page 20: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Agung dan pembinaan administrasi peradilan di bawah Pemerintah (c.q.

Departemen Kehakiman) terbukti telah menjadi salah satu penyebab utama

meluasnya pengaruh pemerintah terhadap kinerja kekuasaan kehakiman kita.

Karena itu, setelah reformasi dewasa ini, kita menegaskan prinsip kemandirian

dan kemerdekaan hakim itu dalam wujud pengorganisasian kekuasaan kehakiman

dalam satu atap pembinaan di bawah Mahkamah Agung. Prinsip demikian

dikukuhkan dalam ketetapan MPR tahun 1999 dan kemudian ditegaskan kembali

dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sejak itu, resmilah

sistem kekuasaan kehakiman kita mandiri dan merdeka. Akan tetapi, bersamaan

dengan itu, pengawasan dan kontrol politik terhadap kekuasaan kehakiman juga

ditingkatkan untuk mengatasi jangan sampai kemandirian kekuasaan kehakiman

itu justru dimanfaatkan untuk melanggengkan praktek-praktek KKN (korupsi,

kolusi dan nepotisme) di lingkungan peradilan pada umumnya.

Penutup

Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang berdasarkan

UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Dengan demikian

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan yudikatif

yang antara lain mempunyai wewenang mengawal dan menafsir konstitusi.

Implikasi dari putusan-putusan MK dalam mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

UUD perlu dikaji dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman.

20

Page 21: PENYELENGGARAAN KEKUASAAN …aanekowidiarto.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/... · Web viewKekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Dalam konteks yang demikian ini semakin penting dikaji implikasi-

implikasi putusan MK terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman beserta

tingkat konsistensi isi putusan-putusan MK yang terkait dengan penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman. Harapannya adalah akan diperoleh manfaat praktis bagi

pemecahan masalah implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di bidang

kekuasaan kehakiman. Selain itu diharapkan pula dapat membangun sistem

ketatanegaraan yang mampu menciptakan checks and balances system demi

pengembangan penegakan sepremasi hukum.

21