bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang …repository.ub.ac.id/3250/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Kehakiman
1. Tugas dan Wewenang Hakim
Salah satu produk hukum yang mengatur perihal penyelenggaraan
peradilan Indonesia adalah Undang-Undang nomr 48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan dari
Negara merdeka dalam pelaksanaan peradilannya menegakkan hukum dan
keadilan yang berlandaskan Pancasila, demi terselengaranya negara
hukum Republik Indonesia.1 Kekuasaan kehakiman pada awalnya berasal
dari Teori Trias Politica dari Monstesquei yang mengatakan bahwa
kekuasaan Negara dibagi menjadi 3 bagian yakni :2
a. Legislatif
Kekuasaan yang memiliki wewenang dalam membuat Undang-
Undang
b. Eksekutif
Kekuasaan yang berwenang untuk melaksanakan hal-hal yang
terdapat didalam Undang-Undang
c. Yudikatif
Kekuasaan yang berwenang untuk mengawasi serta mengadili
apabila terjadi suatu pelanggaran Undang-Undang.
1 Undang-Undang Nomer 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. pasal 1 ayat 1
2 Pontang Moerad B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, Alumni Bandung, Bandung, 2005 hlm 46
2
Hakim merupakan satu-satunya pejabat Peradilan Negara yang oleh
undang-undang diberikan kewenang untuk mengadili.3 Syarat-syarat yang
senantiasa harus dipenehui oleh seoang hakim yaitu jujur tidak dapat
disuap bebas merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari
pengaruh dan tekanan, dalam mengemban tugas penegakan hukum dan
keadilan, para hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus di
tunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan.4
Kewajiban Hakim diatur dalam undang-undang Nomer 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman isinya sebagai berikut :
a. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
b. Hakim dan hakim konstitusi berkewajiban dalam menggali,
mengikuti,bahkan memahami nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup didalam masyarakat.
c. Hakim dan hakim konstitusi mempunyai kewajiban untuk
menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
d. Dalam mempertimbangkan ringan maupun berat sanksi pidana,
didasarkan pada keterangan semua pihak terutama dengan saksi
dan terdakwa bahkan penasihat hukumnya yang di peroleh
hakim dalam persidangan, serta hakim mempunyai kewajiban
mempertimbangkan unsur yang melekat dalam diri terdakwa
yakni sifat yang jahat maupun baiknya.
3 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam pasal butir 8
KUHAP 4 R. Soesilo, Kedudukan Hakim, jaksa, jaksa pembantu dan penyidik, PT. Karya
Nusantara Cabang Bandung, 1978, hlm11
3
Wewenang hakim diatur dalam pasal 1 butir 8 KUHAP seperti
yang diuraikan diatas tampak jelas, bahwa wewenang hakim utamanya
adalah untuk mengadili yang meliputi kegiatan-kegiatan menerima,
memeriksa, dan memutus perkara pidana.
2. Pemeriksaan Sidang Pengadilan.
Penentuan hari sidang dilakukan seorang hakim yang ditunjuk
langsung oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara (pasal 152
ayat (1) KUHAP). KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang
pengadilan yakni :5
a. Acara Pemeriksaan Singkat
Dalam KUHAP terdapat pembatasan mengenai acara
pemeriksaan singkat antara lain perkara kejahatan atau pelanggaran
yang menurut penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya
mudah dan bersifat sederhana.6
Pada persidangan dengan Acara Pemeriksaan Singkat yang
dihadiri oleh tiga orang majelis hakim, penuntut umum, panitera
pengganti, dan terdakwa. Persidangan yang didahului oleh penyerahan
berkas (Berita Acara Pemeriksaan) pada hari persidangan hari itu juga
tanpa disertai dengan surat dakwaan. Sidang pertama dengan Acara
Pemeriksaan singkat, seperti sidang dengan Acara Pemeriksaan Biasa
hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang terbuka untuk
5 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 2013 ,hlm 237
6 Pasal 203 ayat 1, Undang-undang Nomer 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Yang
menjelaskan bahwa Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan
atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana
4
umum, kemudian penuntut umum membacakan secara lisan apa yang
dicatatat oleh penuntut umum kepada Terdakwa.7 Apa yang dibacakan
oleh penuntut umum terkait dengan catatan tersebut harus memenuhi
syarat formil dan materiil surat dakwaan.8 Saksi dan barang bukti
dihadirkan pada hari persidangan pertama ini sekaligus. Setelah
penuntut umum membacakan catatan layaknya surat dakwaan tersebut,
jika dirasa perlu untuk mengajukan keberatan maka Terdakwa dapat
mengajukan Nota Keberatan (eksepsi) dan hakim akan menunda
persidangan selama tujuh hari sebagaimana yang dijelaskan pada pasal
203 ayat (2) huruf c Kitab Hukum Acara Pidana.. Adanya eksepsi yang
diajukan Terdakawa akan ditanggapi oleh penuntut umum.
Hakim akan mengeluarkan putusan yang bersifat sela guna
menentukan apakah eksepsi yang daiajukan Terdakwa atau penasihat
hukumnya diterima atau ditolak. Hakim memiliki kewenangan jika
dirasa perlu memerintahkan penuntut umum untuk melakukan
pemeriksaan tambahan selama empat belas hari guna menentukan
kesesuaian perkara dengan Acara Pemeriksaan Singkat, jika penuntut
umum tidak selesai dalam waktu tersebut maka akan disidangkan
dengan Acara Pemeriksaan Biasa oleh hakim. Putusan yang dibuat
oleh hakim tidak dibuat secara khusus seperti perkara dengan Acara
Pemeriksaan Biasa, karena pembuktian perkara dengan Acara
7 Pasal 203 ayat (3) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
8Adami Chazawi, Kemahiran & Ketrampilan Praktik Hukum Pidana, Bayumedia
Publishing, Malang, 2007, hlm 132.
5
pemeriksaan Singkat tidak serumit perkara dengan Acara Pemeriksaan
Biasa.
b. Acara Pemeriksaan Cepat
Pemeriksaan cepat dibagi dua menurut KUHAP antara lain Acara
pemeriksaan Tipiring (Tindak Pidana Ringan) dan perkara pelanggaran
lalu lintas jalan. Tindak pidana ringan yang dijelaskan Kitab Hukum
Acara Pidana adalah yang diancam dengan pidana penjara tidak lebih
dari 3 (tiga) bulan, atau denda maksimum Rp. 7.500,- dan tindak
pidana ringan sebagaimana yang diatur dalam pasal 315 Kitab Hukum
Pidana. Perkara pidana dengan Acara Pemeriksaan Cepat disidangkan
oleh hakim tunggal dan penyidik atas kuasa penuntut umum sehingga
posisinya dalam persidangan sejajar (sama). Berkas perkara yang telah
dilimpahkan oleh penyidik harus secepatnya disidangan dan diputus
oleh pengadilan hari itu dengan menghadirkan terdakwa disertai
barang bukti di persidangan.9 Catatan yang diterbitkan oleh penyidik
memiliki fungsi seperti surat dakwaan karena berisi hasil pemeriksaan
Terdakwa pada proses sebelumnya. Hakim yang telah mendapatkan
kelengkapan berkas dan barang bukti akan langsung memutus perkara
tindak pidana ringan atau pelanggaran lalu lintas tersebut dalam satu
berkas yang berisi catatan dari penyidikan hingga penuntutan dan
dilengkapi dengan putusan. Putusan dibacakan hari itu juga dan dicatat
dalam buku register oleh panitera.
9Pasal 207 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
6
c. Acara Pemeriksaan Biasa
Untuk acara pemeriksaan biasa, sebenarnya berlaku juga bagi
pemeriksaan singkat dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang
secara tegas dinyatakan lain. Dimulai hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, terkecuali persidangan
yang berkaitan dengan kejahatan kesusilaan kejahatan yang
terdakwanya adalah anak (Pasal 153 ayat (3) KUHAP). Acara
Pemeriksaan Biasa diatur dalam pasal 152 sampai dengan 182 Kitab
Hukum Acara Pidana.
3. Putusan Hakim
Putusan pengadilan hanya dapat dijatuhkan kepada terdakwa apabila
perbuatan atau kesalahanya telah dan dapat di buktikan didalam
persidangan pengadilan. Untuk membuktikan perbuatan terdakwa harus
disertakan minimum dua (2) alat bukti yang sah. apabila alat bukti hanya
satu belum dikatakan alat bukti itu bertujuan agar segala sesuatu yang
berkaitan dengan tegaknya kebenaran serta keadilan dapat terjamin dan
adanya kepastian hukum.10
Dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal 3 (tiga) macam
putusan hakim pidana yang diatur dalam Pasal 191 hingga Pasal 193
KUHAP. Macam putusan hakim pidana yang diatur dalam KUHAP yaitu :
a. Putusan Bebas (Vrijspraak) Putusan bebas dirumuskan dalam Pasal
191 ayat (1) KUHAP. Putusan bebas adalah sebuah kesalahan
seorang terdakwa atas perbuatan yang didakwakan padanya tidak
10
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm 89
7
tebukti secara sah dan meyakini, maka dari itu terdakwah di putus
bebas.11
Yang dimaksud dengan “segala perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan” adalah Menurut hakim tidak cukup terbukti dari
perbuatan yang dilakuka terdakwa serta tidak terpenuhinya
ketentuan batas minimum pembuktian.
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum(Ontslag van Alle
Rechtsvervolging) ini diatur dalam pasal 191 ayat 2 KUHAP, yang
dimaksud putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat
disebabkan karena Salah satu sebutan hukum pidana yang
didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana, serta terdapat
keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak
dapat dihukum.
c. Putusan Pemidanaan diatur dalam pasal 193 ayat 1 KUHAP, Jika
Tindak pidana yang di tuduhkan kepada terdakwa dalam proses
pemeriksaan dipersidangan terbukti bahwa terdakwa melakukanya
maka dilakukan penjatuhan pidana yang setimpal dengan hukuman
perbuatan yang dilakukanya. Ukuran pidana yang dijatuhkan
merupakan kewenangan dari judex facti untuk menjatuhkan pidana,
dimana hal tersebut tidak diatur dalam undang-undang dan hanya
ada batasan maksimal pidana yang dapat dijatuhkan, sebagaimana
dalam KUHP atau dalam Undang-Undang tertentu ada batas
minimal.
11
Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, Penebar Sawadaya Grup,
Jakarta, 2012, Hlm 140
8
4. Dasar Pertimbangan Hakim
Demi mewujudkan suatu putusan yang mengandung keadilan dan
mengandung kepastian hukum, maka seorang hakim harus
mempertimbangkan segala aspek didalam putusannya. Terdapat teori yang
dapat dipergunakan hakim dalam mempertimbangkan putusannya, yaitu
sebagai berikut: 12
a. Teori Keseimbangan
Maksud dari teori keseimbangan ini adalah seimbangnya antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang maupun dengan
kepentingan pihak-pihak (kepentingan dari pihak terdakwa maupun
dari korban) yang berkaitan dengan perkara.
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Yang dimaksud dalam teori ini adalah dalam pejatuhan putusan
merupakan kewenangan yang dimiliki oleh hakim. Dalam
menjatuhkan putusan, hakim melakukan penyesuaian untuk
memberikan hukuman yang wajar bagi terdakwa. Dalam
penjatuhan putusan yang menggunakan pendekatan seni dan
intiusi, lebih menitikberatkan kepada insting hakim dibandingkan
dengan pengetahuan dari seorang hakim.
c. Teori Pendekatan Keilmuwan
12
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Sinar Grafika.Jakarta, 2010, Hlm 102.
9
Titik tolak teori ini adalah bahwa dalam proses penjatuhan pidana
dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya
dalam kaitannya dengan putusan hakim terdahulu sebagai bahan
rujukan hakim serta menjamin konsistensi dari putusan hakim.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Dalam teori ini dilihat dari pengalaman dari seorang hajim dalam
menyelesaikan perkara yang di tangani dengan demikian hakim
mengetahui dampak yang ditimbulkan dari penjatuhan putusan.
Pengalaman dari seorang hakim dalam teori ini merupakan bahan
utama yang dapat membantu dalam menghadapi setiap perkara
pidana.
e. Teori Ratio Decindendi
Dalam teori ini berdasarkan pada filsafat hukum, dengan
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan perkara
selanjutnaya mencari peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar
hukum dalam penjatuhan putusan. Teori ini hakim juga harus
menggunakan hati nuraninya dalam memutuskan putusan sehingga
tercapainya tujuan hukum yakni keadilan
f. Teori Kebijaksanaan
Dalam teori ini menekankan kepada keluarga yakni orangtua,
masyarakat serta pemerintah ikut bertanggung jawab dalam hal
mendidik, membina, bahkan melindungi terdakwa, agar terdakwa
dapat menjadi manusia yang berguna.
10
Dasar pertimbangan yang di lakukan hakim berdasarkan kesalahan
terdakwa tentunya sebagaimana yang ada dalam dakwaan penuntut
umum, dakwaan hanya dapat dijatuhkan apabila ada kesalahan yang
dibuktikan di sidang pengadilan dan didukung oleh alat bukti minimum
yang sah. Alat bukti minimum itu harus dapat meyakinkan hakim akan
kesalahan terdakwa. Setelah itu, barulah pidana dapat dijatuhkan. Hal itu
sesuai dengan rumusan pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa
hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
terdapat minimum dua alat bukti yang sah berdasarkan KUHAP.
Undang-Undang khusunya KUHAP menghendaki adanya minimum
alat bukti yaitu dua alat bukti yang bisa membuat hakim yakin atas
kesalahan yang dilakukan, dimana termasuk dalam kategori tindak
pidana. Dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, menyebutkan bahwa alat bukti
yang digunakan meliputi keterangan dari saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan dari terdakwa, alat bukti ini dipergunakan untuk
semua acara pemeriksaan yang tertuang dalam KUHAP.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus
mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang dengan
pembuktian alat bukti yang ada serta pengetahun dan pemahaman dari
hakim. Ada beberapa jenis-jenis sistem pembuktian menurut KUHAP
Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHAP adalah:
a. Teori Conviction In Time. Sistem pembuktian ini berdasarkan
keyakinan hakim semata teori tersebut tergantung pada penilaian
11
“keyakinan” hakim terhadap bersalah tidaknya perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa.13
b. Teori (Conviction In Raisone). Yang dimaksud dalam teori ini
yakni pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang
logis, Teori tersebut didasarkan pada penilaian keyakinan hakim
sebagai dasar satu-satunya alasan dalam menghukum terdakwa,
namun disini keyakinan tersebut harus disertai dengan
pertimbangan yang logis dan sesuai fakta.14
c. Teori (Positif Wettelijk Bewijstheorie). Pembuktian Berdasarkan
Undang-Undang Positif Teori ini berdasarkan pada bersalah atau
tidaknya terdakwa didasarkan kepada alat-alat bukti yang telah
diatur dalam undang-undang. Teori positif Wettelijk tidak
memerulukan pertimbangan keyakinan hakim. Meskipun hakim
meyakini kesalahan terdakwa, tetapi tidak didukung alat bukti
yang sah menurut KUHAP, sehingga terdakwa patut dibebaskan.15
d. Teori (negative wettelijk), Yakni pembuktian yang didasarkan
pada undang-undang secara negatif. Menurut teori tersebut hakim
hanya diperbolehkan menjatuhkan pidana apabila memenuhi
minimum alat-alat bukti yang sudah di tentukan, serta keyakinan
hakim atas alat bukti yang ada. Teori tersebut tercermin dalam
Pasal 183 KUHAP.
13
Andi Hamzah, 2000, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2000, hlm 241 14
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata, Bandung, Citra Aditya,
2006, hlm 56 15
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung
2007, Hlm 186
12
B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
1. Tindak Pidana dan Sanksi Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana belanda yaitu strafbaar feit, yang secara teoritis merupakan kreasi
daripada ahli hukum belanda dan Indonesia hingga saat ini. Menurut
pendapat Moeljanto mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana
yakni perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dimana
disertai ancaman atau dengan kata lain sanksi yang berupa pemidanaan
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.16
Berbeda dengan pendapat
moeljanto, Wirjono mengemukakan bahwa tindak pidana itu adalah
perbuatan yang pelaku dapat dikenakan Hukum Pidana.17
Jika di uraikan pandangan moeljanto terhadap perbuatan pidana yaitu
dengan memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan ini
disebut dengan pandangan dualisme berbeda dengan pendapat Wirjono
yang tidak membedakan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan
diri orangnya disebut dengan pandangan monisme.18
Setelah mengetahui pengertian tindak pidana, maka dapat diuraikan
unsur-unsur didalamnya. Mengenai masalah unsur tindak pidana ini
menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subjektif dan unsur
objektif yakni :19
a. Unsur objektif
16
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2012 hlm, 67 17
Ibid, hlm 75 18
Ibid, hlm 19
Teguh Prasetya, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011 hlm 50
13
Unsur ini merupakan unsur yang ada diluar diri terdakwa. Unsur
ini ada hubungan nya dengan keadaaan yaitu dalam keadaaan
dimana tindakan pelaku harus dilakukan yakni sifat melawan
hukum, kualitas dari si pelaku serta Kausalitas
b. Unsur Subjektif
Adalah unsur yang ada dalam diri terdakwa, termasuk yang ada
didalamnya yakni segala hal yang terdapat dalam hatinya.
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah
sifat melawan hukum, dalam bahasa belanda melawan hukum itu adalah
wedrrechtelijk (weder artinya bertentangan dengan, melawan, recht artinya
hukum). Berdasarkan paham sifat melawan hukum doktrin ini
membedakan perbuatan melawan hukum atas :20
1. Sifat melawan hukum formil yaitu suatu perbuatan melawan
hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam Undang-
Undang jadi sandaranya adalah hukum tertulis yang di kaitkan
dalam asas legalitas yang pada pasal 1 ayat 1 KUHP yang
menyebutkan bahwa “tiada suatu perbuatan dapat di pidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada”
2. Sedangkan Sifat melawan hukum materil yaitu suatu perbuatan
itu bersifat melawan hukum, menurut ajaran ini melawan hukum
sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis). Dalam sifat melawan hukum yang materiil itu
20
A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2006 hlm 48
14
perlu dibedakan yakni pertama sifat melawan hukum materil
dalam fungsinya yang negatif dengan meniadakan sifat melawan
hukumnya perbuatan. Yang kedua sifat melawan hukum materil
dalam fungsinya yang positif bahwa sekalipun suatu perbutan
tidak dilarang oleh Undang-undang tetapi masyarakat menanggap
bahwa itu bertentangan dengan nilai yang ada. maka perbuatan
tersebut dianggap sebagai perbuatan pidana.
Selain sifat melawan hukum dalam unsur tindak pidana, bahwa salah
satu unsur tindak pidana sebagai syarat untuk pengenaan pidana adalah
adanya perbuatan manusia yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam
Undang-undang. Persyaratan ini merupakan kosekuensi logis dari
dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana. Untuk perumusan norma
tentang tindak pidana dalam rumusan Undang-Undang (tindak pidana)
dalam hukum pidana biasanya di lakukan dengan tiga cara yakni :21
a) Penempatan norma dan sanksi sekaligus dalam satu pasal. Cara ini
dilakukan dalam Buku II dan III KUHP kecuali pasal 112 sub 2
KUHP
b) Penempatan terpisah, artinya norma hukum dan sanksi pidana
ditempatkan dalam pasal atau ayat yang terpisah. Cara ini diikuti
dalam peraturan pidana di luar KUHP.
c) sanksi pidana telah dicantumkan terlebih dahulu, sedangkan
normanya belum ditentukan.
21
Ibid, hlm49
15
Ketika perbuatan seseorang memenuhi unsur tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan dan dapat dibuktikan maka dilakukan
Penjatuhan sanksi pidana, sanksi pidana diartikan pengenaan suatu
derita kepada seorang yang terbukti melakukan tindak pidana atau
perbuatan pidana melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh
kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan untuk hal itu
sanksi pidana adalah hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya
dan akibat adalah hukumnya. Sanksi pidana merupakan suatu jenis
sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap
perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat
mengganggu atau membahayakan kepentigan hukum.22
Salah satu sumber utama hukum pidana adalah KUHP sebagai
induk telah menguraikan jenis pidana, yang dirumuskan pada pasal 10
KUHP. Menurut KUHP, pidana dibagi dalam dua kelompok, antara
pidana pokok dengan pidana tambahan.23
Pidana Pokok terdiri dari :
a. Pidana mati
Berdasarkan pasal 69, pidana mati adalah pidana yang terberat, yang
pelaksanaanya berupa perampasan hak hidup bagi manusia. Pidana
mati hanya diancam untuk kejahatan yang jumlahnya sangat terbatas.
Seperti kejahatan yang mengancam keamanan negara, kejahatan-
kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau di lakukan
dengan faktor pemberat, kejahatan terhadap harta benda yang disertai
22
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. 23
Ibid, hlm 25
16
unsur atau faktor yang sangta memberatkan, kejahatan pembajakan
laut, sungai, dan pantai.24
b. Pidana penjara
Pidana penjara dari sifatnya merupakan menghilangkan dan atau
membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan
terpidana dalam suatu tempat (lembaga permasyarakatan) dimana
terpidana tidak bebas untuk keluar masuk, dan didalamnya wajib
tunduk.25
Dalam pasal 12 KUHP mengatur terkait hukuman penjara
yang berbunyi :
a) Pidana penjara merupakan pidana seumur hidup atau
sementara.
b) Lamanya pidana penjara sementara itu sekurang-kurangnya
satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan
selama-lamanya untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam
hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih sendiri
antara pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup dan
penjara sementara begitu juga dalam hal batas 15 tahun itu
dilampaui, sebab tambahan pidana karena ada perbarengan,
pengulangan.
d) Pidana penjara selama waktu tertentu tidak boleh lebih dari
dua puluh tahun.
c. Pidana kurungan
24
Adami Chazawi, Op.cit, hlm 31 25
Ibid, hlm 32
17
Tekait hukuman kurungan ini telah diatur dalam Pasal 18 KUHP,
yang mengatur:
a) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan
selama-lamanya satu tahun.
b) Pidana itu boleh dijatuhkan paling lama satu tahun empat bulan
jika adanya perbarengan ataupun pengulangan.
c) Pidana kurungan tidak boleh melebihi dari satu tahun empat
bulan.
Dalam beberapa hal pidana kurungan sama dengan pidana penjara,
dasar yang membedakan adalah pidana kurungan lebih ringan di
bandingkan dengan pidana penjara.26
d. Pidana denda
Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran baik
sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri.27
mengatakan, didalam KUHP ataupun undang-undang yang lainnya,
ditarik kesimpulan posisi dari hukuman denda sebagai berikut:
1. Pidana denda adalah hukuman utama dengan tidak jatuhkan
jenis pidana lain.
2. Pidana denda adalah hukuman alternatif, dimana pidana
utamanya merupakan pidana kurungan.
3. Pidana denda juga merupakan jenis pidana alternatif dari
pidana penjara.
26
Ibid, hlm 38 27
Ibid, hlm 40
18
4. Denda itu dijatuhkan berbarengan dengan pidana penjara.28
Sedangkan Pidana Tambahan terdiri dari :
1. Pidana Pencabutan hak-hak tertentu.
Pidana ini meliputi pencabutan beberapa hak tertentu, misalnya
hak memegang jabatan dan pencabutan hak lainnya.
2. Pidana perampasan barang-barang tertentu.
Pidana ini merupakan pemidahan kekuasaan atas barang untuk
keperluan proses pemeriksaan. Pengertian dari perampasan
barang ini tertuang pula dalam KUHAP pasal 1 ayat 16.
3. Pidana pengumuman keputusan hakim.
Selain ketentuan Pasal 195 KUHAP yang mengharuskan agar
setiap putusan dibacakan dalam situasi sidang yang terbuka
untuk umum. Bila tidak putusan itu batal demi hukum. Pidana
pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi
ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan
pidana.29
Selain di dalam KUHP di luar KUHP juga banyak termuat sanksi
pidana yang dapat di temui di dalam Peraturan Daerah, Dalam Peraturan
Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Republik Indonesia Nomer 13
Tahun 2009 Tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring),
diuraikan jenis pelanggaran yang termasuk dalam pelanggaran tindak
pidana ringan baik yang diatur dalam KUHP, Non KUHP dan Peraturan
28
Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm 202 29
Adami Chazawi, Op.cit, hlm 54
19
Daerah, sehingga Peraturan Daerah yang memuat sanksi pidana di
kategorikan tindak pidana ringan dasar pembuatan peraturan tersebut
Pasal 205 ayat (1) KUHAP telah di jelaskan bahwa perkara yang di
periksa menurut acara pemeriksaan ringan diancam dengan pidana
kurungan dan denda.30
2. Tindak Pidana Kesusilaan
Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata susila” memiliki arti
sebagai beikut :
a. Baik budi bahasanya, berada, sopan, tertib
b. Adat istiadat yang baik sopan santun kesopanan keadaan
c. Pengetahuan tentang adat
Kata susila” dalam bahasa inggris adalah moral, ethics, decent,
kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan
dengan moril. Kesopanan sedang ethics diterjemahkan dengan kesusilaan
dan decent diterjemahkan dengan kepatuhan.31
Dengan demikian maka “kesusilaan” adalah tindakan yang
berkenaan dengan moral yang terdapat pada setiap diri manusia, makna
tersebut disimpulkan bahwa pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan
yang melanggar hukum, dimana perbuatan tersebut menyangkut etika yang
30
Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 205 ayat 1
menyebutkan bahwa Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan
ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan
atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. 31
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar
Grafika, Jakarta 2008 hlm 2
20
ada dalam diri manusia yang telah diatur dalam perundang-undangan.32
Menurut Sudrajat Bassar, kesusilaan adalah mengenai adat kebiasaan yang
lebih baik dalam perhubungan antara berbagai anggota masyarakat, tetapi
khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seorang manusia.33
Sedangkan menurut Loebby Loqman, membagi delik kesusilaan
menjadi dua bagian yaitu delik kesusilaan dalam arti sempit dan delik
kesusilaan dalam arti luas. Delik kesuilaan dalam arti sempit yaitu
perbuatan yang berhubungan dengan seks yang sudah merupakan istilah
sosiologis artinya masyarakat telah mengenal kesusilaan perbuatan yang
berhubungan dengan seks. Sedangkan kesusilaan dalam arti luas tidak
hanya meliputi kesusilaan dalam arti sempit, tetapi juga perbuatan-
perbuatan yang tidak ada hubungnya dengan seks.34
3. Tindak Pidana Ringan
Definisi mengenai tindak pidana ringan akan sangat sulit ditemuan
dalam KUHP. Definisi tersebut dapat ditemukan dalam KUHAP sebagai
ketentuan hukum pidana formal dari KUHP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP
mengatur mengenai ketentuan pemeriksaan acara cepat yang menyatakan
bahwa:
“Yang di periksa menurut acara pemeriksaan cepat ialah perkara
dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 7.500,00 dan umumnya kasus penghinaan, dengan
pegecualian seperti yang ditentukan paragaf dua bagian ini.”
32
Abd. Kadir, Tinjauan Kriminlogis terhadap tindak pidana incest dnegan korban anak,
Universitas Hasanuddin Makassar, skripsi, 2012 hlm, 27 33
Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu didalam KUHP, CV Remaja Kaerya,
Bandung, cet 2, 1986, hlm 161 34
Loebby Luqman, Delik Kesusilaan, Makalah Lokakarya BPHN 1995
21
Proses pemeriksaan tipiring pada dasarnya sangat sederhana karena
menggunakan pemeriksaan acara cepat. Setelah pelaku ditangkap oleh
pihak kepolisian maka langsung dibuat berita acara pemeriksaan oleh
penyidik, kemudian berita acara tindak pidana ringan yang sudah dibuat
diajukan ke pengadilan untuk disidangkan tanpa melalui kejaksaan,
kemudian pengadilan melaksanakan sidang dan memberi putusan.35
untuk
acara pemeriksaan tindak pidana ringan juga berlaku ketentuan-ketentuan
lainnya dalam KUHAP, sepanjang tidak diatur secara khusus.
4. Teori Pemidanaan
Tujuan Pemidanaan ini menurut Lamintang, pada dasarnya terdapat
pilar pemikiran tentang tujuann yang ingin dicapai yakni agar membenahi
menjadi lebih baik dari pribadi penjahat, agar penjahat jera untuk
melakukan kejahatan, serta untuk membuat penjahat tertentu tidak mampu
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain yakni penjahat yang dengan cara
yang sudah tidak dapat di perbaiki.36
Dari konsep pemikiran di atas,
muncul teori pemidanaan yang dikelompokkan ke dalam tiga golongan
besar yaitu :
1) Teori absolut
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah
yaitu :
1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari
pembalasan);
35 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta, 2010,
hlm 432 36
P.A.F. LAMINTANG, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1994, hlm 49
22
2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam
di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).37
Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik
masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban.
Pendekatan teori absolut meletakkan gagasannya tentang hak untuk
menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang
bertanggung jawab atas perbuatannya.38
Menurut Johannes Andenaes
tujuan dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan
keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-
pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.39
2) Relatif atau Teori Tujuan.
Teori relatif atau teori tujuan, merupakan dasar pemberian
pemidanaan untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Teori ini berbeda dengan teori absolut, pada teori ini penjatuhan pidana
mempunyai tujuan yaitu sebagai cara agar masyarakat takut untuk
melakukan kejahatan dan untuk pelaku kejahtan untuk tidak mengulangi
kembali perbautanya. Menurut van Hamel tujuan pidana itu
mempertahankan ketertiban masyarakat selain itu tujuan pidana juga untuk
menakut-nakuti, memperbaiki dan kejahatannya itu harus dibinasakan.40
Sedangkan menurut Muladi tentang teori ini bahwa pemidanaan bukan
sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan
37
Adami Chazawi, Op.cit, hlm 157 38
Mahrus Ali, Op.Cit,. hlm 187. 39
Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana, Kreasi Wacana. Yogyakarta.
2005. Hlm 39 40
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Pidana),
PT Gransindo, Jakarta, 2008, hlm 133
23
yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan
masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah
agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk
pemuasan absolut atas keadilan. 41
3) Teori Gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
pertahanan tata tertib masyarakat dengan kata lain dua alasan ini menjadi
dasar dari penjatuhan pidana. Secara teoritis, teori gabungan berusaha
untuk menggabungkan pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan
teori relatif. Disamping mengakui bahwa penjatuhan sanksi pidana
diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan agar
pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat.42
Munculnya teori gabungan pada dasarya penjatuhan suatu pidana
kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada upaya untuk membalas
tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau
memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang
merugikan masyarakat.43
C. Tinjauan Umum Tentang Eksploitasi Seksual Komersial
1. Pengertian Eksploitasi seksual Komersial
Eksploitasi Seksual Komersial merupakan tindakan eksploitasi
terhadap orang (dewasa dan anak, perempuan dan laki-laki) untuk tujuan
seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara orang, pembeli
41
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,, 2007, hlm. 11. 42
Mahrus Ali, Op.Cit, hlm 192 43
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm 166.
24
jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh
keuntungan dari perdagangan seksualitas orang tersebut.44
Ketentuan
Peraturan Daerah Kota Surakarta ( yang selanjutnya disebut dengan Perda)
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual
ditujukan kepada semua elemen yang berhubungan dengan eksploitasi
seksual komersial elemen tersebut meliputi dari Mucikari atau germo,
PSK, maupun pengguna jasa PSK, PSK yang diatur di dalam Perda
tersebut.
Definisi Pekerja Seks Komersial tidak diuraikan di dalam Perda nomor
3 Tahun 2006 tentang penanggulangan eksploitasi seksual komersial,
menurut pendapat kartono PSK merupakan penjualan jasa seksual dengan
jalan memperjual belikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada
banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan
pembayaran.45
2. Pengertian Pengguna Jasa Pekerja Seks Komersial
Pengguna Jasa PSK itu sendiri sama halnya dengan PSK, pengguna
jasa PSK ini tidak diuraikan jelas dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta.
Jika di tinjau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Pengguna jasa diartikan
sebagai orang yang menggunakan pelayanan diperlukan orang lain atau
dengan kata lain servis.46
Larangan terhadap pengguna jasa PSK ini
dirumuskan juga dalam Perda ini yakni setiap orang dilarang menjadi
44
Pasal 1 ayat 23Peraturan Daerah Nomer 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan
Ekspolitasi Seksual Komersial.
`45
Kartini Kortono, Psikologi umum, Mandar Maju , Bandung, 1996. 46
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai
Pustaka, Jakarta, 2005,
25
pengirim, penerima, perantara, dan atau pembeli jasa dalam kegiatan
dimaksud ayat 1 dan 2.47
Di dalam Perda tersebut pula, mengatur secara jelas pasal-pasal
terkait bagaimana penanggulangan bahkan pecegahan terhadap kegiatan
seksual komersial di Kota Surakarta serta mengatur sanksi yang dapat
dikenakan kepada para pelaku kegiatan eksploitasi seksual komersial
khusunya pengguna jasa PSK. Peraturan daerah secara substantif, sudah
mencakup keseluruhan kebutuhan yang diperlukan dalam rangka
mengurangi tingkat kegiatan seksual komersial di Kota Surakarta,
kemudian yang berkaitan dengan pengenaan sanksi pidanannya di atur
dalam Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang penanggulangan eksploitasi
seksual komersial, ancaman hukuman bagi para PSK, pengguna jasa PSK
serta orang-orang yang terlibat di dalamnya ini diatur pada Pasal 31
sampai dengan pasal 35 Perda nomor 3 Tahun 2006 yang diancam dengan
pidana yaitu kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
47
Terurai dalam pasal 4, Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomer 3 Tahun 2006 tentang
penanggulangan eksploitasi seksual komersial.