bab ii tinjauan pustaka a. subjective well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Subjective Well-Being
1. Pengertian Subjective Well-Being pada Desainer Grafis
SWB sering dikaitkan dengan kebahagiaan dan kondisi-kondisi yang bersifat
positif berdasarkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Kejadian masa lalu
seperti kesejahteraan, kesenangan, kepuasan. Kejadian masa sekarang seperti
kegembiraan, kelegaan, konsentrasi, kesenangan, semangat, dan kerukunan. Kejadian
masa depan seperti optimisme, harapan, spiritualitas (Diener, 2009). SWB dianggap
sebagai sisi afektif seseorang (emosi) dan evaluasi kognitif kehidupan seseorang yang
dapat dipengaruhi oleh budaya atau derajat sosial yang dimilikinya. Hasil evaluasi
yang berarti penilaian. yang dilakukan berdasarkan standar hidup seseorang sendiri
yang dibandingkan dengan standar kesejahteraan hidup manusia secara umum
(Diener, 2009).
Eddington dan Shuman (2005) mendefinisikan SWB sebagai penilaian
individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan
hidup dan penilaian afektif mengenai mood (suasana hati) dan emosi seperti perasaan
emosional positif dan negatif. Penilaian tersebut terdiri dari kesejahteran,
kebahagiaan, ketahanan diri, dan kepuasan hidup. Snyder dan Lopez (2002)
menyatakan bahwa SWB merupakan pengalaman emosi yang menyenangkan dan
tingginya kepuasan hidup. Kim-Prieto (dalam Wills, 2007) menjelaskan tentang
13
konsep dari SWB sebagai evaluasi individu, baik evaluasi positif maupun negatif, dan
tentang bagaimana individu menjalani sendi-sendi kehidupannya. Menurut Carr
(2004) SWB dan happiness, yakni sebuah keadaan psikologis yang positif yang
dikarakteristikan dengan tingginya afek positif, tingginya tingkat kepuasan hidup, dan
rendahnya afek negatif.
SWB dapat dimiliki siapa saja, salah satunya dapat dimiliki desainer grafis.
Supriyono (2010) menyatakan bahwa desain grafis dapat terealisasikan melalui
campur tangan dari perancang grafis atau biasa disebut juga sebgai desainer grafis.
Lebih lanjut, desainer grafis merupakan seseorang yang merancang sajian informasi
agar menarik, sehingga makna pesannya dapat ditangkap dengan mudah oleh setiap
orang yang melihat karyanya. Tugas pekerjaan desainer grafis yaitu memahami
unsur-unsur desain seperti garis, bidang, warna, gelap terang, tekstur, dan ukuran,
sehingga menghasilkan karya suatu karya yang indah. Tugas menjadi desainer grafis
membutuhkan kreativitas dan wawasan yang luas untuk menyampaikan karya
desainer kepada sasaran yang dituju. Selain itu, desainer grafis harus bekerja dengan
berbagai macam rintangan seperti pekerjaan yang diatur oleh batas waktu tertentu
untuk menyelesaikan desain, harus cermat memperhatikan setiap elemen desain yang
akan dibuat, dan melakukan pekerjaannya sesuai dengan desain yang diinginkan
klien. Oleh karena itu, desainer grafis tidak bisa membuat suatu karya sesuai dengan
keinginannya sendiri, tetapi harus menyatukan karya yang akan dibuat dengan
keinginan kliennya (Sriwitari & Widnyana, 2014). Menurut Eddington dan Shuman
(2005) seseorang yang puas dalam menjalan aktivitas atau pekerjaannya, maka
14
seseorang tersebut akan menunjukkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketahanan diri
yang didapatkannya melalui SWB yang dimilikinya. Lebih lanjut adanya SWB
membuat seseorang menunjukkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketahanan diri,
sehingga seseorang merasakan kepuasan dalam menjalani kehidupannya.
Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SWB pada desainer grafis
merupakan evaluasi yang dimiliki desainer grafis dalam memandang peristiwa di
kehidupannya dengan kesejahteraan, kepuasan hidup, dan kebahagiaan dalam
menjalani pekerjaannya.
2. Aspek-aspek Subjective Well-Being
Menurut Diener (2009) SWB terbagi dalam dua aspek umum, yaitu:
a. Aspek kognitif
Aspek kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai
penilaian dari kehidupan seseorang. Evaluasi ini terbagi menjadi dua yaitu secara
global dan domain tertentu. Kepuasaan hidup secara global merupakan evaluasi
seseorang terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Selanjutnya, kepuasan
hidup domain adalah penilaian dalam mengevaluasi kehidupannya, seperti
kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga.
Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah karena saling berkaitan.
b. Aspek afektif
Aspek afektif merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di
dalam hidup seseorang dengan mood dan emosi terhadap peristiwa yang
15
menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Aspek
tersebut ditunjukkan dengan tingginya afek positif dan rendahnya afek negatif.
Afek positif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti tertarik atau berminat akan
sesuatu, gembira, kuat, antusias, waspada atau siap siaga, bangga, bersemangat,
penuh tekad, penuh perhatian, dan aktif. Sedangkan afek negatif terlihat dari
emosi-emosi spesifik seperti sedih atau susah, kecewa, bersalah, takut,
bermusuhan, lekas marah, malu, gelisah, gugup, dan khawatir.
Aspek-aspek SWB selanjutnya dikemukakan oleh Ryff dan Keyes (2005)
yang menghasilkan suatu model kesejahteraan dalam bentuk multidimensi yang
terdiri atas enam fungsi psikologis positif, yaitu:
a. Penerimaan diri
Penerimaan diri yang dimiliki seseorang bukan berarti bersikap pasif atau pasrah
yang ditunjukan oleh seseorang kepada orang lain, akan tetapi pemahaman yang
jelas akan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sehingga seseorang dapat
memberikan tanggapannya secara efektif agar dapat menerima dirinya sendiri
(Lopez & Synder, 2007).
b. Hubungan positif dengan sesama
Diener dan Seligman (2002) menemukan bahwa hubungan sosial yang baik
dengan sesama merupakan sesuatu yang diperlukan, tapi tidak cukup untuk
membuat SWB seseorang tinggi. Artinya, hubungan sosial yang baik tidak
membuat seseorang mempunyai SWB yang tinggi, namun seseorang dengan
SWB yang tinggi mempunyai ciri-ciri berhubungan sosial yang baik.
16
c. Autonomi
Ciri utama dari seorang individu yang memiliki autonomi yang baik antara lain
dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self determining) dan mandiri.
Seseorang akan mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur
tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam
menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta
dapat mengevaluasi diri dengan standar personal.
d. Penguasaan lingkungan
Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan
dan kompetensi dalam mengatur kehidupan di setiap lingkungan yang
ditinggalinya. Seseorang dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang
berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi
kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya,
serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhan dan nilai-nilai pribadi.
e. Tujuan dalam hidup
Tujuan dalam hidup menjadi sangat berarti bagi proses dan keberlangsungan
kehidupan seseorang. Tujuan hidup yang dimiliki membuat seseorang bisa
mempunyai komitmen dalam mengejar tujuan hidupnya, seseorang akan dapat
memahami makna hidup dan mampu mengatasi setiap permasalahan yang
dihadapinya. Hal itu memiliki arti pada masa sekarang dan masa lalu dalam
kehidupan seseorang.
17
f. Pertumbuhan pribadi
Pertumbuhan pribadi merupakan gambaran dan sikap pribadi yang mampu
berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mempunyai locus of control sebagai
alat evaluasi, dimana seseorang tidak melihat orang lain untuk mendapatkan
persetujuan, tetapi mengevaluasi diri dengan menggunakan standar pribadinya.
Evaluasi diri tersebut mampu menciptakan pribadi yang mandiri sehingga dapat
menjalani aktivitasnya dengan baik.
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat dua aspek
SWB yaitu aspek kognitif merupakan evaluasi dari kepuasan hidup secara
menyeluruh serta kepuasan secara domain dan aspek afektif merupakan representasi
mood dan emosi positif terhadap peristiwa hidup yang berjalan sesuai keinginkan
yang ditandai dengan tingginya afek positif dan rendahnya afek negatif, selain itu
SWB juga mencangkup enam aspek lainnya yaitu penerimaan diri merupakan sikap
positif yang ditunjukan seseorang untuk menerima dirinya sendiri, hubungan positif
dengan sesama merupakan seseorang yang mampu berinteraksi sosial dengan baik,
autonomi merupakan kemampuan mengambil keputusan tanpa tekanan, penguasaan
lingkungan merupakan kemampuan mengendalikan berbagai aktivitas, tujuan dalam
hidup merupakan komitmen dalam mengejar tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi
merupakan sikap pribadi seseorang yang mampu berfungsi sepenuhnya dalam
menjalani aktivitasnya.
Dari beberapa aspek-aspek SWB yang telah dijabarkan, maka peneliti
memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan Diener (2009) yaitu kognitif
18
dan afektif. Aspek tersebut dipilih oleh peneliti sebagai acuan yang digunakan untuk
mengukur SWB pada desainer grafis yang bekerja di Yogyakarta. Peneliti memiliki
pertimbangan dalam memilih aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian,
penjabarannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil dari wawancara dengan
subjek, dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, dan kedua aspek
tersebut mampu mengungkap SWB yang dimiliki oleh subjek.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being
Menurut Ariati (2010) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi SWB,
antara lain:
a. Harga diri positif
Menurut Campbell (dalam Compton, 2005) harga diri merupakan prediktor yang
menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri menyebabkan mengontrol rasa
marah, mempunyai hubungan yang baik dengan orang lain, serta kapasitas
produktif dalam pekerjaan. Seseorang juga dapat mengembangkan kemampuan
hubungan interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat.
b. Kontrol diri
Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa dirinya akan mampu
berperilaku dengan cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol
diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktivitas fisik
serta mampu mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta
mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut. Menurut Stoltz (2004) kemampuan
menghadapi suatu peristiwa dapat melalui adversity quotient (AQ) yang
19
merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan,
hambatan dan mampu untuk mengatasinya secara teratur. AQ membantu individu
memperkuat ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-sehari, dengan
mengamati kesulitan dan mengolanya melalui kecerdasan yang dimilikinya,
sehingga seseorang dapat meraih kesuksesan dan merasa sejahtera karena telah
menyelesaikan berbagai peristiwa dalam hidupnya.
c. Ekstrovert
Individu dengan kepribadian ekstrovert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di
luar dirinya. Penelitian Diener, dkk. (2005) menunjukan bahwa kepribadian
ekstrovert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual
karena memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, memiliki sensitivitas
yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain.
d. Optimis
Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia
dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara
yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga
memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa depan.
e. Relasi sosial yang positif
Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman
emosional. Hubungan yang di dalamnya ada dukungan dan keintiman dalam
kehidupan pernikahan akan membuat individu mampu mengembangkan harga
20
diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan
masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.
f. Memiliki arti dan tujuan dalam hidup
Pada beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep
religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan
religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.
Faktor – faktor yang mempengaruhi SWB selanjutnya dikemukakan oleh
Compton (2005), yaitu :
a. Harga diri
Self-esteem yang positif merupakan variabel yang terpenting dalam SWB karena
evaluasi terhadap diri akan mempengaruhi bagaimana seseorang menilai
kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan yang dirasakan.
b. Arti kontrol pribadi
Kontrol pribadi merupakan keyakinan individu dalam memaksimalkan hasil yang
bagus. Kayakinan ini membuat seseorang dapat mempengaruhi peristiwa yang
terjadi dan menginterpretasikan hasil dari pilihannya, sehingga dapat membantu
mewujudkan keinginannya yang kemudian dapat membawa kepuasan hidupnya.
c. Ekstrovert
Individu dengan kepribadian ekstrovert akan tertarik pada hal yang terjadi di luar
dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Kepribadian ekstrovert secara
signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang
21
ekstrovert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, memiliki
sensitifitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain.
d. Optimis
Orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan
kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan
memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan
harapan yang positif tentang masa depan.
e. Hubungan positif
Hubungan yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman
emosional. Adanya dukungan membuat individu mampu mengembangkan harga
diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan
masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.
f. Makna dan tujuan hidup
Memiliki makna dan tujuan dalam hidup merupakan faktor penting dari SWB,
karena individu akan merasakan kepuasan maupun kebahagiaan dalam hidupnya.
Dengan adanya makna dan arah dalam hidup akan menimbulkan kepuasan dalam
hidup dan kebahagiaan.
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat enam faktor
yang mempengaruhi SWB yaitu harga diri positif merupakan perasaan berharga yang
dimiliki seseorang dalam memandang dirinya sendiri, kontrol diri merupakan
kemampuan seseorang dalam melakukan tindakan yang tepat disetiap situasi,
ekstrovert merupakan karakteristik terbuka dan mudah berinteraksi dengan orang lain
22
atau dengan lingkungannya, optimis merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya
bisa melakukan segala sesuatunya dengan usahanya, relasi sosial yang positif
merupakan hubungan antara seseorang dengan orang lain yang terjalin dengan baik
atau harmonis, dan memiliki arti serta tujuan dalam hidup merupakan pandangan
seseorang bahwa hidupnya berharga dan memiliki tujuan untuk mencapainya, selain
itu terdapat enam faktor lainnya yang dapat mempengaruhi SWB yaitu harga diri
merupakan evaluasi seseorang tentang seberapa besar hidupnya berniat, arti kontrol
kesadaran merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat mewujudkan
keinginannya, ekstrovert merupakan seseorang yang tertarik terhadap dunia luar dan
senang berinteraksi dengan lingkungannya, optimis merupakan sikap positif
seseorang dalam menjalani kehidupannya, hubungan positif merupakan dukungan
positif antara satu dengan individu lainnya, serta makna dan tujuan hidup merupakan
bagaimana seseorang memandang bahwa hidupnya bermakna dan berusaha untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkannya.
Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti akan menggunakan faktor yang
mempengaruhi SWB dari Ariati (2010), yaitu faktor kontrol diri. Kontrol diri
diartikan sebagai keyakinan individu bahwa dirinya akan mampu berperilaku dengan
cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Menurut Stoltz (2004)
kemampuan menghadapi suatu peristiwa dapat melalui AQ yang merupakan
kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan mampu
untuk mengatasinya secara teratur melalui kecerdasan yang dimilikinya, sehingga
seseorang dapat meraih kesuksesan dan merasa sejahtera karena telah menyelesaikan
23
peristiwa dalam hidupnya. Hal tersebut didukung berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Puspitasari (2015) yang mengungkapkan bahwa
terdapat hubungan antara kontrol diri dengan SWB. Menurut Stoltz (2004) kontrol
diri merupakan bagian dari aspek AQ, dimana seseorang yang memiliki AQ akan
dapat mengontrol dirinya dalam bersikap untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan
kesulitan di kehidupannya. Hal tersebut juga didukung berdasarkan hasil wawancara
yang menunjukan bahwa SWB dapat tumbuh dalam diri subjek karena adanya peran
penting dari AQ. Oleh karena itu, AQ akan menjadi satu faktor dominan dan variabel
bebas dalam penelitian ini.
B. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity Quotient
Menurut Stolt (2004) AQ adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
menentukan seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi dan
mengatasi berbagai kesulitan maupun rintangan di dalam kehidupannya. Lebih lanjut,
AQ adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan
dan mampu untuk mengatasinya secara teratur. AQ membantu individu memperkuat
kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-sehari, dengan
mengamati kesulitan dan mengolah kesulian tersebut melauli kecerdasan yang
dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk menyelesaikannya.
AQ merupakan kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan
mengolah kesulitan yang dirasakan seseorang dengan kecerdasan yang dimiliki
24
sehingga hal-hal yang menghambatnya menjadi sebuah tantangan untuk
menyelesaikannya (Stoltz, 2004). Leman (2007) mendefinisikan AQ secara ringkas,
yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi berbagai masalah yang terjadi
di dalam kehidupannya. Menurut Agustian (dalam Rachmawati, 2007) AQ
merupakan kecerdasan seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup yang
berakar pada bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan
tantangan-tantangan, sehingga kesulitan tersebut dapat teratasi. Nashori (2007)
menyatakan bahwa AQ merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan
kecerdasan yang dimilikinya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan
tindakannya. Seseorang akan dapat menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa
menyengsarakan dirinya dengan tindakan-tindaknya yang dilakukannya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa AQ merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi peristiwa yang
menyulitkannya, seseorang akan bertahan dan mengelola peristiwa tersebut sehingga
dapat memecahkan masalah yang ringan maupun sulit dalam kehidupannya.
2. Aspek-aspek Adversity Quotient
Stoltz (2004) bahwa aspek-aspek dari AQ mencakup empat, antara lain:
a. Control (kendali)
Control atau kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan
mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang.
Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang
25
dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas untuk tetap
berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaannya.
b. Origin (asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan)
Origin yaitu kepemilikan atau asal-usul permasalahan tersebut berada dalam diri
seseorang. Selanjutnya, ownership atau pengakuan sejauh mana seseorang
mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal
dari dirinya, sejauh mana mempermasalahkan orang lain, dan lingkungan yang
menjadi sumber kegagalan seseorang. Seseorang akan mengakui akibat-akibat
kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggungjawab atas kesalahan atau
kegagalan tersebut.
c. Reach (jangkauan)
Reach (jangkauan) merupakan sejauh mana kesulitan ini akan merambah
kehidupan seseorang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu
aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang
dihadapi.
d. Endurance (daya tahan)
Endurance adalah aspek ketahanan individu. Sejauh mana kecepatan dan
ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, pada aspek ini
dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab
kesulitan itu akan berlangsung. Hal ini berkaitan dengan pandangan individu
terhadap kepermanenan dan ketemporeran kesulitan yang berlangsung.
26
Stoltz (2005) menyatakan bahwa seseorang yang dapat bertahan, mengelola,
dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya merupakan definisi dari
AQ. Menurut Binet dan Simon (dalam Alder, 2001) seseorang dapat mengatasi
masalah dalam kehidupannya ketika memiliki tiga komponen dalam dirinya, yaitu :
a. Kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan
Kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan merupakan kemampuan
seseorang dalam menentukan hasil dari pikirannya kemudian melakukan tindakan
yang tepat untuk menjalani aktivitasnya.
b. Kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan
Kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan
merupakan kemampuan seseorang dalam mengubah pandangan sebelumnya
dengan berbagai strategi yang digunakan, ketika pandangan tersebut dianggapnya
dapat merugikan.
c. Kemampuan mengkritik diri sendiri
Kemampuan mengkritik diri sendiri merupakan kemampuan seseorang dalam
mengevaluasi tindakannya, dimana seseorang tersebut akan mengkritisi dirinya
kemudian menjadikannya sebuah gambaran untuk menjadi lebih baik.
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat empat aspek
AQ yaitu control merupakan kemampuan mengendalikan dan mengelola sebuah
peristiwa, origin dan ownership merupakan sejauh mana seseorang menerima dan
mengakui kesalahan yang telah diperbuat, reach (jangkauan) merupakan sejauh mana
kesulitan seseorang yang mengganggu aktivitas lainnya, endurance merupakan
27
kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah, selain itu
kecerdasan juga mencangkup tiga aspek lainnya yaitu kemampuan mengarahkan
pikiran atau tindakan merupakan kemampuan dalam menentukan hasil dari
pikirannya, kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah
dilakukan merupakan kemampuan mengubah tindakan dalam situasi sulit, dan
kemampuan mengkritik diri sendiri merupakan kemampuan mengevaluasi diri.
Dari beberapa aspek-aspek AQ yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih
untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Stoltz (2004) yaitu control
(kendali), origin (asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan), reach
(jangkauan), dan endurance (daya tahan). Aspek tersebut dipilih oleh peneliti sebagai
acuan yang digunakan untuk mengukur AQ pada desainer grafis yang bekerja di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek
tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, dilihat
dari kondisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, dan didukung berdasarkan hasil
wawancara yang menunjukan bahwa aspek tersebut mampu menggungkap AQ yang
dimiliki oleh subjek (desainer grafis).
C. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Subjective Well-Being pada
Desainer Grafis yang bekerja di Yogyakarta
Bisnis desain grafis yang semakin ketat membuat perusahaan mengharuskan
desainer grafis untuk bekerja secara optimal dan bekerja sesuai target yang ditetapkan
(Wibowo, 2013). Terlebih lagi, tugas sebagai desainer grafis dituntut untuk
28
merancang sajian informasi agar menarik dan memiliki unsur keindahan, sehingga
makna pesannya harus bisa ditangkap dengan mudah oleh setiap orang yang melihat
karyanya (Supriyono, 2010). Tuntutan sebagai desainer grafis dalam memenuhi target
yang ditetapkan perusahaan dalam menjalani pekerjaannya, tidak menutup
kemungkinan adanya hal-hal tersebut menjadikan pekerjaan sebagai desainer grafis
memiliki banyak kesulitan dalam menjalani berbagai tugas pekerjaanya (Wibowo,
2013). Hal tersebut memungkinkan berdampak pada emosi yang tidak menyenangkan
dan merefleksikan respon negatif terhadap kehidupannya seperti mengabaikan
kesehatan, merasa sedih atau susah, kecewa, bersalah, takut dan gelisah menghadapi
aktivitasnya (Diener, 2009).Oleh karena itu, dibutuhkan AQ agar desainer grafis
dapat memiliki daya tahan di bisnis yang semakin ketat. Menurut Soltz (2004)
seseorang yang memiliki AQ akan dapat mengelola dan mengatasi setiap peristiwa di
dalam kehidupannya tanpa adanya rasa khawatir.
Stoltz (2004) menyatakan bahwa AQ harus memenuhi aspek tertentu agar
dapat berpengaruh baik bagi kehidupan seseorang. Aspek tersebut akan mendorong
seseorang untuk memiliki kemampuan dalam mempertahankan dirinya dalam situasi
apapun di lingkungannya sebagai usaha dalam memuaskan kebutuhannya, sebaliknya
kepuasan atas kebutuhan tidak tercapai akan membuat seseorang kurang memiliki
kecakapan mengendalikan dirinya. Empat aspek antara lain control (kendali), origin
(asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan), reach (jangkauan), dan
endurance (daya tahan).
29
Control (kendali) merupakan aspek AQ yang meliputi kemampuan seseorang
dalam mengendalikan dan mengelola peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa
mendatang. Semakin besar kendali yang dimiliki, maka semakin besar seseorang
untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam mencari
penyelesaian (Stoltz, 2004). Seseorang yang memiliki kendali akan rajin bekerja,
menunjukkan hasil kerja, termotivasi menyelesaikan pekerjaan, dan terpenuhi
kebutuhan rasa aman dalam dirinya (Wexley & Yukl, 2003). Terpenuhinya
kebutuhan terhadap rasa aman dapat melalui SWB yaitu seseorang akan merasa
kelegaan hati, kasih sayang, dan kegembiraan dalam menjalani setiap kehidupannya
(Diener, 2009). Sebaliknya, jika semakin rendah kendali akibatnya seseorang menjadi
mudah menyerah, merasa bahwa peristiwa buruk berada di luar kendali dan sering
menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan (Stoltz, 2004). Menurut Ryff dan
Keyes (2005) ketidak berdayaan seseorang dalam menjalani kehidupannya akan
berdampak pada SWB yang dimilikinya, dengan demikian pertumbuhan sikap pribadi
seseorang tidak akan mampu berfungsi sepenuhnya. Wexley dan Yukl (2003)
menyatakan seseorang yang kurang dapat mengambil sikap pribadi maka akan
merasa adanya kesenjangan sosial, kurang tanggung jawab, tidak keterampilan, malas
bekerja, dan penurunan kinerja secara kuantitas maupun kualitas.
Aspek origin dan ownership juga menjadi salah satu yang berperan untuk
mengetahui sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya dan orang lain ketika
kesalahan tersebut berasal dari dirinya. Hal tersebut membuat seseorang dapat
mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggungjawab terhadap kesulitan dan
30
mampu belajar dari kesalahan (Stoltz, 2004). Seseorang yang mampu belajar dari
kesalahan membuatnya memiliki harapan untuk tidak melakukan kesalahan yang
sama dan memperbaikinya. Menurut Diener (2009) harapan dapat dikaitkan dengan
SWB yaitu kebahagiaan dan kondisi-kondisi yang bersifat positif berdasarkan
kejadian masa depan seperti optimisme untuk melakukan aktivitasnya, spiritualitas
dalam mempererat hubungannya dengan Tuhannya, dan harapan yang akan terjadi
pada kehidupan mendatang (Diener, 2009). Di lain sisi, ketika seseorang tidak merasa
adanya kepemilikan dan pengakuan maka akan cenderung berfikir bahwa semua
kesulitan yang datang berasal dari kesalahan dan kecerobohan dirinya sendiri
sehingga merasa khawatir atas apa yang diperbuatnya (Stoltz, 2004). Perasaan
khawatir dapat terjadi melalui afek negatif dari SWB. Seseorang yang memiliki
khawatiran akan menunjukan emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan
merefleksikan respon negatif sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan,
keadaan, dan peristiwa yang dialaminya (Diener, 2009). Respon negatif akan
berdampak pada ketidakpuasan seseorang, sehingga memberikan hubungan buruk
dengan lingkungannya yaitu terjadinya penyimpangan di tempat kerja (tidak sopan
dengan rekan kerja maupun konsumen) (Kaswan, 2017).
Lingkungan kehidupan seseorang tidak lepas dari seberapa besar aspek reach
yaitu sejauh mana kesulitan akan merambah kehidupan seseorang yang menunjukkan
bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya. Adanya aspek tersebut
membuat seseorang tidak akan terganggu oleh permasalahan di luar aktivitasnya,
tetap melaksanakan aktivitasnya dengan baik, dan dapat menghadapi peristiwa
31
tersebut dengan kemampuannya (Stoltz, 2004). Menurut Compton (2005) Seseorang
yang mampu menghadapi peristiwa akan menimbulkan kontrol pribadi, di mana
seseorang dapat mempengaruhi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, memilih hasil
yang diinginkan, menghadapi konsekuensi dari pilihannya, dan memahami serta
menginterpretasikan hasil dari pilihannya untuk mewujudkan apa yang diinginkan
dan kemudian dapat membawa kepuasan akan hidupnya. Snyder dan Lopez (2002)
menyatakan bahwa kepuasan hidup bisa didapatkan seseorang melalui SWB yang
dimilikinya, karena SWB merupakan pengalaman emosi yang menyenangkan dan
tingginya kepuasan hidup. Lain halnya, peristiwa maupun kesulitan yang tidak bisa
dihadapi membuat seseorang bersikap negatif dengan menunjukkan kemampuan
dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stres (Stoltz,
2004). Sikap negatif akan mengarah pada ketidakpuasan seseorang dalam menjalani
pekerjaannya yaitu dengan menarik diri, penarikan dalam berpikir (pasif), dan
menunjukkan ketidakhadiran (Kaswan, 2017). Menurut Diener (2009) sikap negatif
erat kaitannya dengan perasaan ketidaksenangan seseorang dalam memandang
kehidupannya yang didapatkan melalui SWB. Ketidaksenangan dalam memandang
kehidupan membuat seseorang menunjukan emosi-emosi spesifik seperti sedih,
kecewa, bersalah, dan takut untuk melangkah menuju harapan yang ingin dicapainya.
Seseorang yang ingin mencapai harapan tentunya membutuhkan endurance
(daya tahan) yang merupakan aspek ketahanan individu, sejauh mana kecepatan dan
ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Permasalah yang terpecahkan
membuat seseorang menunjukan bakat-bakatnya, semakin besar serta beragam
32
akivitas yang dilaksanaannya dan semakin tidak menjemukan dalam menjalani
aktivitasnya (menganggap setiap aktivitasnya berarti) (Stoltz, 2004). Keberartian
dalam menjalani aktivitas tidak lepas dari unsur SWB. Menurut Ryff dan Keyes
(2005) seberapa besar aktivitas yang dilakukan seseorang berkaitan dengan SWB
yang dimilikinya. Seseorang akan dapat mengendalikan berbagai aktivitas yang
berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan
sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu
memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai
pribadi. Sebaliknya, seseorang yang memiliki daya tahan lemah menganggap
kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap
peristiwa negatif sebagai sesuatu yang sulit berlalu (Stoltz, 2004). Peristiwa negatif
erat kaitannya dengan afek negatif dalam SWB. Afek tersebut akan membuat
seseorang merasakan ketidaksenangan dengan peristiwa yang dialaminya seperti rasa
sedih, kesal, dan khawatir. Hal tersebut menjadikan seseorang tidak puas dalam
menjalani kehidupannya. (Diener, 2009). Ketidakpuasan tersebut membuat seseorang
dapat dialami di mana saja, salah satunya dialami seseorang dilingkup kerja. Menurut
House dan Mitchell (dalam Kaswan, 2017) ketidakpuasan dalam menjalani
pekerjaannya akan membuat seseorang memandang pekerjaan sebagai aktivitas yang
tidak dapat memuaskan dirinya, kurang menyenangkan, membosankan, terjadinya
turnover (keluar masuknya karyawan), dan sulit untuk menunjukkan kemampuannya
dalam bekerja.
33
Menurut Stoltz (2004) adanya AQ dalam diri seseorang dapat mengatasi
kesulitan yang dihadapinya. Kemampuan seseorang dalam menghadapi dan
mengatasi kesulitan secara teratur membuat kehidupan seseorang menjadi bahagia.
Diener (2009) menyatakan bahwa kebahagian erat hubungannya dengan SWB.
Seseorang yang bahagia akan mengalami efek positif yang menyenangkan seperti
merasa kelegaan hati, kasih sayang, dan gembira. Perasaan gembira membuat
seseorang lebih produktif, motivasi bekerja tinggi, dan senang menjalani
pekerjaannya (As’ad, 2004). Stoltz (2004) menyatakan rendahnya AQ membuat
seseorang sulit menunjukan kemampuan mengendalikan diri untuk menyelesakan
setiap aktivitas atau tugas-tugasnya dengan optimal. Kemampuan tersebut membuat
seseorang merasa bahwa pekerjaan secara keseluruhan tidak dapat memuaskan
kebutuhanhya (As’ad, 2004). Menurut Snyder dan Lopez (2002) ketidakpuasan hidup
akan membuat seseorang lekas marah, malu, gelisah (nervous), gugup ketika
dihadapkan masalah. Hal tersebut dapat terjadi melalui afek negatif dalam SWB.
Menurut Kaswan (2017) ketidakpuasan yang dirasakan akan membuat seseorang
kurang berkomitmen, tidak terlibat dalam bekerjaan, dan sulit menurunkan konflik.
Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Puspitasari (2015) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara kontrol diri
dengan SWB. Lebih lanjut, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa semakin
tinggi AQ maka semakin tinggi SWB, sebaliknya semakin rendah AQ maka semakin
rendah SWB. Menurut Stoltz (2004) kontrol diri merupakan bagian dari aspek AQ,
34
dimana seseorang yang memiliki AQ akan dapat mengontrol dirinya dalam bersikap
untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan kesulitan di kehidupannya.
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian teoritis sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara AQ dengan
SWB pada desainer grafis di Yogyakarta. Semakin tinggi AQ maka semakin tinggi
pula SWB pada desainer grafis. Sebaliknya semakin rendah AQ maka semakin
rendah pula SWB pada desainer grafis.