bab ii tinjauan pustaka a. subjective well-beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/bab ii.pdf ·...

23
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being pada Desainer Grafis SWB sering dikaitkan dengan kebahagiaan dan kondisi-kondisi yang bersifat positif berdasarkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Kejadian masa lalu seperti kesejahteraan, kesenangan, kepuasan. Kejadian masa sekarang seperti kegembiraan, kelegaan, konsentrasi, kesenangan, semangat, dan kerukunan. Kejadian masa depan seperti optimisme, harapan, spiritualitas (Diener, 2009). SWB dianggap sebagai sisi afektif seseorang (emosi) dan evaluasi kognitif kehidupan seseorang yang dapat dipengaruhi oleh budaya atau derajat sosial yang dimilikinya. Hasil evaluasi yang berarti penilaian. yang dilakukan berdasarkan standar hidup seseorang sendiri yang dibandingkan dengan standar kesejahteraan hidup manusia secara umum (Diener, 2009). Eddington dan Shuman (2005) mendefinisikan SWB sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan penilaian afektif mengenai mood (suasana hati) dan emosi seperti perasaan emosional positif dan negatif. Penilaian tersebut terdiri dari kesejahteran, kebahagiaan, ketahanan diri, dan kepuasan hidup. Snyder dan Lopez (2002) menyatakan bahwa SWB merupakan pengalaman emosi yang menyenangkan dan tingginya kepuasan hidup. Kim-Prieto (dalam Wills, 2007) menjelaskan tentang

Upload: dolien

Post on 07-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective Well-Being pada Desainer Grafis

SWB sering dikaitkan dengan kebahagiaan dan kondisi-kondisi yang bersifat

positif berdasarkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Kejadian masa lalu

seperti kesejahteraan, kesenangan, kepuasan. Kejadian masa sekarang seperti

kegembiraan, kelegaan, konsentrasi, kesenangan, semangat, dan kerukunan. Kejadian

masa depan seperti optimisme, harapan, spiritualitas (Diener, 2009). SWB dianggap

sebagai sisi afektif seseorang (emosi) dan evaluasi kognitif kehidupan seseorang yang

dapat dipengaruhi oleh budaya atau derajat sosial yang dimilikinya. Hasil evaluasi

yang berarti penilaian. yang dilakukan berdasarkan standar hidup seseorang sendiri

yang dibandingkan dengan standar kesejahteraan hidup manusia secara umum

(Diener, 2009).

Eddington dan Shuman (2005) mendefinisikan SWB sebagai penilaian

individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan

hidup dan penilaian afektif mengenai mood (suasana hati) dan emosi seperti perasaan

emosional positif dan negatif. Penilaian tersebut terdiri dari kesejahteran,

kebahagiaan, ketahanan diri, dan kepuasan hidup. Snyder dan Lopez (2002)

menyatakan bahwa SWB merupakan pengalaman emosi yang menyenangkan dan

tingginya kepuasan hidup. Kim-Prieto (dalam Wills, 2007) menjelaskan tentang

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

13

konsep dari SWB sebagai evaluasi individu, baik evaluasi positif maupun negatif, dan

tentang bagaimana individu menjalani sendi-sendi kehidupannya. Menurut Carr

(2004) SWB dan happiness, yakni sebuah keadaan psikologis yang positif yang

dikarakteristikan dengan tingginya afek positif, tingginya tingkat kepuasan hidup, dan

rendahnya afek negatif.

SWB dapat dimiliki siapa saja, salah satunya dapat dimiliki desainer grafis.

Supriyono (2010) menyatakan bahwa desain grafis dapat terealisasikan melalui

campur tangan dari perancang grafis atau biasa disebut juga sebgai desainer grafis.

Lebih lanjut, desainer grafis merupakan seseorang yang merancang sajian informasi

agar menarik, sehingga makna pesannya dapat ditangkap dengan mudah oleh setiap

orang yang melihat karyanya. Tugas pekerjaan desainer grafis yaitu memahami

unsur-unsur desain seperti garis, bidang, warna, gelap terang, tekstur, dan ukuran,

sehingga menghasilkan karya suatu karya yang indah. Tugas menjadi desainer grafis

membutuhkan kreativitas dan wawasan yang luas untuk menyampaikan karya

desainer kepada sasaran yang dituju. Selain itu, desainer grafis harus bekerja dengan

berbagai macam rintangan seperti pekerjaan yang diatur oleh batas waktu tertentu

untuk menyelesaikan desain, harus cermat memperhatikan setiap elemen desain yang

akan dibuat, dan melakukan pekerjaannya sesuai dengan desain yang diinginkan

klien. Oleh karena itu, desainer grafis tidak bisa membuat suatu karya sesuai dengan

keinginannya sendiri, tetapi harus menyatukan karya yang akan dibuat dengan

keinginan kliennya (Sriwitari & Widnyana, 2014). Menurut Eddington dan Shuman

(2005) seseorang yang puas dalam menjalan aktivitas atau pekerjaannya, maka

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

14

seseorang tersebut akan menunjukkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketahanan diri

yang didapatkannya melalui SWB yang dimilikinya. Lebih lanjut adanya SWB

membuat seseorang menunjukkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketahanan diri,

sehingga seseorang merasakan kepuasan dalam menjalani kehidupannya.

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli

sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SWB pada desainer grafis

merupakan evaluasi yang dimiliki desainer grafis dalam memandang peristiwa di

kehidupannya dengan kesejahteraan, kepuasan hidup, dan kebahagiaan dalam

menjalani pekerjaannya.

2. Aspek-aspek Subjective Well-Being

Menurut Diener (2009) SWB terbagi dalam dua aspek umum, yaitu:

a. Aspek kognitif

Aspek kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai

penilaian dari kehidupan seseorang. Evaluasi ini terbagi menjadi dua yaitu secara

global dan domain tertentu. Kepuasaan hidup secara global merupakan evaluasi

seseorang terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Selanjutnya, kepuasan

hidup domain adalah penilaian dalam mengevaluasi kehidupannya, seperti

kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga.

Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah karena saling berkaitan.

b. Aspek afektif

Aspek afektif merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di

dalam hidup seseorang dengan mood dan emosi terhadap peristiwa yang

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

15

menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Aspek

tersebut ditunjukkan dengan tingginya afek positif dan rendahnya afek negatif.

Afek positif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti tertarik atau berminat akan

sesuatu, gembira, kuat, antusias, waspada atau siap siaga, bangga, bersemangat,

penuh tekad, penuh perhatian, dan aktif. Sedangkan afek negatif terlihat dari

emosi-emosi spesifik seperti sedih atau susah, kecewa, bersalah, takut,

bermusuhan, lekas marah, malu, gelisah, gugup, dan khawatir.

Aspek-aspek SWB selanjutnya dikemukakan oleh Ryff dan Keyes (2005)

yang menghasilkan suatu model kesejahteraan dalam bentuk multidimensi yang

terdiri atas enam fungsi psikologis positif, yaitu:

a. Penerimaan diri

Penerimaan diri yang dimiliki seseorang bukan berarti bersikap pasif atau pasrah

yang ditunjukan oleh seseorang kepada orang lain, akan tetapi pemahaman yang

jelas akan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sehingga seseorang dapat

memberikan tanggapannya secara efektif agar dapat menerima dirinya sendiri

(Lopez & Synder, 2007).

b. Hubungan positif dengan sesama

Diener dan Seligman (2002) menemukan bahwa hubungan sosial yang baik

dengan sesama merupakan sesuatu yang diperlukan, tapi tidak cukup untuk

membuat SWB seseorang tinggi. Artinya, hubungan sosial yang baik tidak

membuat seseorang mempunyai SWB yang tinggi, namun seseorang dengan

SWB yang tinggi mempunyai ciri-ciri berhubungan sosial yang baik.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

16

c. Autonomi

Ciri utama dari seorang individu yang memiliki autonomi yang baik antara lain

dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self determining) dan mandiri.

Seseorang akan mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur

tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam

menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta

dapat mengevaluasi diri dengan standar personal.

d. Penguasaan lingkungan

Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan

dan kompetensi dalam mengatur kehidupan di setiap lingkungan yang

ditinggalinya. Seseorang dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang

berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi

kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya,

serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan

kebutuhan dan nilai-nilai pribadi.

e. Tujuan dalam hidup

Tujuan dalam hidup menjadi sangat berarti bagi proses dan keberlangsungan

kehidupan seseorang. Tujuan hidup yang dimiliki membuat seseorang bisa

mempunyai komitmen dalam mengejar tujuan hidupnya, seseorang akan dapat

memahami makna hidup dan mampu mengatasi setiap permasalahan yang

dihadapinya. Hal itu memiliki arti pada masa sekarang dan masa lalu dalam

kehidupan seseorang.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

17

f. Pertumbuhan pribadi

Pertumbuhan pribadi merupakan gambaran dan sikap pribadi yang mampu

berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mempunyai locus of control sebagai

alat evaluasi, dimana seseorang tidak melihat orang lain untuk mendapatkan

persetujuan, tetapi mengevaluasi diri dengan menggunakan standar pribadinya.

Evaluasi diri tersebut mampu menciptakan pribadi yang mandiri sehingga dapat

menjalani aktivitasnya dengan baik.

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat dua aspek

SWB yaitu aspek kognitif merupakan evaluasi dari kepuasan hidup secara

menyeluruh serta kepuasan secara domain dan aspek afektif merupakan representasi

mood dan emosi positif terhadap peristiwa hidup yang berjalan sesuai keinginkan

yang ditandai dengan tingginya afek positif dan rendahnya afek negatif, selain itu

SWB juga mencangkup enam aspek lainnya yaitu penerimaan diri merupakan sikap

positif yang ditunjukan seseorang untuk menerima dirinya sendiri, hubungan positif

dengan sesama merupakan seseorang yang mampu berinteraksi sosial dengan baik,

autonomi merupakan kemampuan mengambil keputusan tanpa tekanan, penguasaan

lingkungan merupakan kemampuan mengendalikan berbagai aktivitas, tujuan dalam

hidup merupakan komitmen dalam mengejar tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi

merupakan sikap pribadi seseorang yang mampu berfungsi sepenuhnya dalam

menjalani aktivitasnya.

Dari beberapa aspek-aspek SWB yang telah dijabarkan, maka peneliti

memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan Diener (2009) yaitu kognitif

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

18

dan afektif. Aspek tersebut dipilih oleh peneliti sebagai acuan yang digunakan untuk

mengukur SWB pada desainer grafis yang bekerja di Yogyakarta. Peneliti memiliki

pertimbangan dalam memilih aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian,

penjabarannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil dari wawancara dengan

subjek, dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, dan kedua aspek

tersebut mampu mengungkap SWB yang dimiliki oleh subjek.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Menurut Ariati (2010) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi SWB,

antara lain:

a. Harga diri positif

Menurut Campbell (dalam Compton, 2005) harga diri merupakan prediktor yang

menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri menyebabkan mengontrol rasa

marah, mempunyai hubungan yang baik dengan orang lain, serta kapasitas

produktif dalam pekerjaan. Seseorang juga dapat mengembangkan kemampuan

hubungan interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat.

b. Kontrol diri

Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa dirinya akan mampu

berperilaku dengan cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol

diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktivitas fisik

serta mampu mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta

mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut. Menurut Stoltz (2004) kemampuan

menghadapi suatu peristiwa dapat melalui adversity quotient (AQ) yang

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

19

merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan,

hambatan dan mampu untuk mengatasinya secara teratur. AQ membantu individu

memperkuat ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-sehari, dengan

mengamati kesulitan dan mengolanya melalui kecerdasan yang dimilikinya,

sehingga seseorang dapat meraih kesuksesan dan merasa sejahtera karena telah

menyelesaikan berbagai peristiwa dalam hidupnya.

c. Ekstrovert

Individu dengan kepribadian ekstrovert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di

luar dirinya. Penelitian Diener, dkk. (2005) menunjukan bahwa kepribadian

ekstrovert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual

karena memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, memiliki sensitivitas

yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain.

d. Optimis

Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia

dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara

yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga

memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa depan.

e. Relasi sosial yang positif

Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman

emosional. Hubungan yang di dalamnya ada dukungan dan keintiman dalam

kehidupan pernikahan akan membuat individu mampu mengembangkan harga

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

20

diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan

masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.

f. Memiliki arti dan tujuan dalam hidup

Pada beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep

religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan

religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.

Faktor – faktor yang mempengaruhi SWB selanjutnya dikemukakan oleh

Compton (2005), yaitu :

a. Harga diri

Self-esteem yang positif merupakan variabel yang terpenting dalam SWB karena

evaluasi terhadap diri akan mempengaruhi bagaimana seseorang menilai

kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan yang dirasakan.

b. Arti kontrol pribadi

Kontrol pribadi merupakan keyakinan individu dalam memaksimalkan hasil yang

bagus. Kayakinan ini membuat seseorang dapat mempengaruhi peristiwa yang

terjadi dan menginterpretasikan hasil dari pilihannya, sehingga dapat membantu

mewujudkan keinginannya yang kemudian dapat membawa kepuasan hidupnya.

c. Ekstrovert

Individu dengan kepribadian ekstrovert akan tertarik pada hal yang terjadi di luar

dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Kepribadian ekstrovert secara

signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

21

ekstrovert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, memiliki

sensitifitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain.

d. Optimis

Orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan

kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan

memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan

harapan yang positif tentang masa depan.

e. Hubungan positif

Hubungan yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman

emosional. Adanya dukungan membuat individu mampu mengembangkan harga

diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan

masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.

f. Makna dan tujuan hidup

Memiliki makna dan tujuan dalam hidup merupakan faktor penting dari SWB,

karena individu akan merasakan kepuasan maupun kebahagiaan dalam hidupnya.

Dengan adanya makna dan arah dalam hidup akan menimbulkan kepuasan dalam

hidup dan kebahagiaan.

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat enam faktor

yang mempengaruhi SWB yaitu harga diri positif merupakan perasaan berharga yang

dimiliki seseorang dalam memandang dirinya sendiri, kontrol diri merupakan

kemampuan seseorang dalam melakukan tindakan yang tepat disetiap situasi,

ekstrovert merupakan karakteristik terbuka dan mudah berinteraksi dengan orang lain

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

22

atau dengan lingkungannya, optimis merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya

bisa melakukan segala sesuatunya dengan usahanya, relasi sosial yang positif

merupakan hubungan antara seseorang dengan orang lain yang terjalin dengan baik

atau harmonis, dan memiliki arti serta tujuan dalam hidup merupakan pandangan

seseorang bahwa hidupnya berharga dan memiliki tujuan untuk mencapainya, selain

itu terdapat enam faktor lainnya yang dapat mempengaruhi SWB yaitu harga diri

merupakan evaluasi seseorang tentang seberapa besar hidupnya berniat, arti kontrol

kesadaran merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat mewujudkan

keinginannya, ekstrovert merupakan seseorang yang tertarik terhadap dunia luar dan

senang berinteraksi dengan lingkungannya, optimis merupakan sikap positif

seseorang dalam menjalani kehidupannya, hubungan positif merupakan dukungan

positif antara satu dengan individu lainnya, serta makna dan tujuan hidup merupakan

bagaimana seseorang memandang bahwa hidupnya bermakna dan berusaha untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkannya.

Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti akan menggunakan faktor yang

mempengaruhi SWB dari Ariati (2010), yaitu faktor kontrol diri. Kontrol diri

diartikan sebagai keyakinan individu bahwa dirinya akan mampu berperilaku dengan

cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Menurut Stoltz (2004)

kemampuan menghadapi suatu peristiwa dapat melalui AQ yang merupakan

kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan mampu

untuk mengatasinya secara teratur melalui kecerdasan yang dimilikinya, sehingga

seseorang dapat meraih kesuksesan dan merasa sejahtera karena telah menyelesaikan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

23

peristiwa dalam hidupnya. Hal tersebut didukung berdasarkan hasil penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Puspitasari (2015) yang mengungkapkan bahwa

terdapat hubungan antara kontrol diri dengan SWB. Menurut Stoltz (2004) kontrol

diri merupakan bagian dari aspek AQ, dimana seseorang yang memiliki AQ akan

dapat mengontrol dirinya dalam bersikap untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan

kesulitan di kehidupannya. Hal tersebut juga didukung berdasarkan hasil wawancara

yang menunjukan bahwa SWB dapat tumbuh dalam diri subjek karena adanya peran

penting dari AQ. Oleh karena itu, AQ akan menjadi satu faktor dominan dan variabel

bebas dalam penelitian ini.

B. Adversity Quotient

1. Pengertian Adversity Quotient

Menurut Stolt (2004) AQ adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk

menentukan seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi dan

mengatasi berbagai kesulitan maupun rintangan di dalam kehidupannya. Lebih lanjut,

AQ adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan

dan mampu untuk mengatasinya secara teratur. AQ membantu individu memperkuat

kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-sehari, dengan

mengamati kesulitan dan mengolah kesulian tersebut melauli kecerdasan yang

dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk menyelesaikannya.

AQ merupakan kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan

mengolah kesulitan yang dirasakan seseorang dengan kecerdasan yang dimiliki

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

24

sehingga hal-hal yang menghambatnya menjadi sebuah tantangan untuk

menyelesaikannya (Stoltz, 2004). Leman (2007) mendefinisikan AQ secara ringkas,

yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi berbagai masalah yang terjadi

di dalam kehidupannya. Menurut Agustian (dalam Rachmawati, 2007) AQ

merupakan kecerdasan seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup yang

berakar pada bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan

tantangan-tantangan, sehingga kesulitan tersebut dapat teratasi. Nashori (2007)

menyatakan bahwa AQ merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan

kecerdasan yang dimilikinya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan

tindakannya. Seseorang akan dapat menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa

menyengsarakan dirinya dengan tindakan-tindaknya yang dilakukannya.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli di atas dapat disimpulkan

bahwa AQ merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi peristiwa yang

menyulitkannya, seseorang akan bertahan dan mengelola peristiwa tersebut sehingga

dapat memecahkan masalah yang ringan maupun sulit dalam kehidupannya.

2. Aspek-aspek Adversity Quotient

Stoltz (2004) bahwa aspek-aspek dari AQ mencakup empat, antara lain:

a. Control (kendali)

Control atau kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan

mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang.

Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

25

dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas untuk tetap

berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaannya.

b. Origin (asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan)

Origin yaitu kepemilikan atau asal-usul permasalahan tersebut berada dalam diri

seseorang. Selanjutnya, ownership atau pengakuan sejauh mana seseorang

mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal

dari dirinya, sejauh mana mempermasalahkan orang lain, dan lingkungan yang

menjadi sumber kegagalan seseorang. Seseorang akan mengakui akibat-akibat

kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggungjawab atas kesalahan atau

kegagalan tersebut.

c. Reach (jangkauan)

Reach (jangkauan) merupakan sejauh mana kesulitan ini akan merambah

kehidupan seseorang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu

aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang

dihadapi.

d. Endurance (daya tahan)

Endurance adalah aspek ketahanan individu. Sejauh mana kecepatan dan

ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, pada aspek ini

dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab

kesulitan itu akan berlangsung. Hal ini berkaitan dengan pandangan individu

terhadap kepermanenan dan ketemporeran kesulitan yang berlangsung.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

26

Stoltz (2005) menyatakan bahwa seseorang yang dapat bertahan, mengelola,

dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya merupakan definisi dari

AQ. Menurut Binet dan Simon (dalam Alder, 2001) seseorang dapat mengatasi

masalah dalam kehidupannya ketika memiliki tiga komponen dalam dirinya, yaitu :

a. Kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan

Kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan merupakan kemampuan

seseorang dalam menentukan hasil dari pikirannya kemudian melakukan tindakan

yang tepat untuk menjalani aktivitasnya.

b. Kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan

Kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan

merupakan kemampuan seseorang dalam mengubah pandangan sebelumnya

dengan berbagai strategi yang digunakan, ketika pandangan tersebut dianggapnya

dapat merugikan.

c. Kemampuan mengkritik diri sendiri

Kemampuan mengkritik diri sendiri merupakan kemampuan seseorang dalam

mengevaluasi tindakannya, dimana seseorang tersebut akan mengkritisi dirinya

kemudian menjadikannya sebuah gambaran untuk menjadi lebih baik.

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat empat aspek

AQ yaitu control merupakan kemampuan mengendalikan dan mengelola sebuah

peristiwa, origin dan ownership merupakan sejauh mana seseorang menerima dan

mengakui kesalahan yang telah diperbuat, reach (jangkauan) merupakan sejauh mana

kesulitan seseorang yang mengganggu aktivitas lainnya, endurance merupakan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

27

kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah, selain itu

kecerdasan juga mencangkup tiga aspek lainnya yaitu kemampuan mengarahkan

pikiran atau tindakan merupakan kemampuan dalam menentukan hasil dari

pikirannya, kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah

dilakukan merupakan kemampuan mengubah tindakan dalam situasi sulit, dan

kemampuan mengkritik diri sendiri merupakan kemampuan mengevaluasi diri.

Dari beberapa aspek-aspek AQ yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih

untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Stoltz (2004) yaitu control

(kendali), origin (asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan), reach

(jangkauan), dan endurance (daya tahan). Aspek tersebut dipilih oleh peneliti sebagai

acuan yang digunakan untuk mengukur AQ pada desainer grafis yang bekerja di

Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek

tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, dilihat

dari kondisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, dan didukung berdasarkan hasil

wawancara yang menunjukan bahwa aspek tersebut mampu menggungkap AQ yang

dimiliki oleh subjek (desainer grafis).

C. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Subjective Well-Being pada

Desainer Grafis yang bekerja di Yogyakarta

Bisnis desain grafis yang semakin ketat membuat perusahaan mengharuskan

desainer grafis untuk bekerja secara optimal dan bekerja sesuai target yang ditetapkan

(Wibowo, 2013). Terlebih lagi, tugas sebagai desainer grafis dituntut untuk

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

28

merancang sajian informasi agar menarik dan memiliki unsur keindahan, sehingga

makna pesannya harus bisa ditangkap dengan mudah oleh setiap orang yang melihat

karyanya (Supriyono, 2010). Tuntutan sebagai desainer grafis dalam memenuhi target

yang ditetapkan perusahaan dalam menjalani pekerjaannya, tidak menutup

kemungkinan adanya hal-hal tersebut menjadikan pekerjaan sebagai desainer grafis

memiliki banyak kesulitan dalam menjalani berbagai tugas pekerjaanya (Wibowo,

2013). Hal tersebut memungkinkan berdampak pada emosi yang tidak menyenangkan

dan merefleksikan respon negatif terhadap kehidupannya seperti mengabaikan

kesehatan, merasa sedih atau susah, kecewa, bersalah, takut dan gelisah menghadapi

aktivitasnya (Diener, 2009).Oleh karena itu, dibutuhkan AQ agar desainer grafis

dapat memiliki daya tahan di bisnis yang semakin ketat. Menurut Soltz (2004)

seseorang yang memiliki AQ akan dapat mengelola dan mengatasi setiap peristiwa di

dalam kehidupannya tanpa adanya rasa khawatir.

Stoltz (2004) menyatakan bahwa AQ harus memenuhi aspek tertentu agar

dapat berpengaruh baik bagi kehidupan seseorang. Aspek tersebut akan mendorong

seseorang untuk memiliki kemampuan dalam mempertahankan dirinya dalam situasi

apapun di lingkungannya sebagai usaha dalam memuaskan kebutuhannya, sebaliknya

kepuasan atas kebutuhan tidak tercapai akan membuat seseorang kurang memiliki

kecakapan mengendalikan dirinya. Empat aspek antara lain control (kendali), origin

(asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan), reach (jangkauan), dan

endurance (daya tahan).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

29

Control (kendali) merupakan aspek AQ yang meliputi kemampuan seseorang

dalam mengendalikan dan mengelola peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa

mendatang. Semakin besar kendali yang dimiliki, maka semakin besar seseorang

untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam mencari

penyelesaian (Stoltz, 2004). Seseorang yang memiliki kendali akan rajin bekerja,

menunjukkan hasil kerja, termotivasi menyelesaikan pekerjaan, dan terpenuhi

kebutuhan rasa aman dalam dirinya (Wexley & Yukl, 2003). Terpenuhinya

kebutuhan terhadap rasa aman dapat melalui SWB yaitu seseorang akan merasa

kelegaan hati, kasih sayang, dan kegembiraan dalam menjalani setiap kehidupannya

(Diener, 2009). Sebaliknya, jika semakin rendah kendali akibatnya seseorang menjadi

mudah menyerah, merasa bahwa peristiwa buruk berada di luar kendali dan sering

menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan (Stoltz, 2004). Menurut Ryff dan

Keyes (2005) ketidak berdayaan seseorang dalam menjalani kehidupannya akan

berdampak pada SWB yang dimilikinya, dengan demikian pertumbuhan sikap pribadi

seseorang tidak akan mampu berfungsi sepenuhnya. Wexley dan Yukl (2003)

menyatakan seseorang yang kurang dapat mengambil sikap pribadi maka akan

merasa adanya kesenjangan sosial, kurang tanggung jawab, tidak keterampilan, malas

bekerja, dan penurunan kinerja secara kuantitas maupun kualitas.

Aspek origin dan ownership juga menjadi salah satu yang berperan untuk

mengetahui sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya dan orang lain ketika

kesalahan tersebut berasal dari dirinya. Hal tersebut membuat seseorang dapat

mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggungjawab terhadap kesulitan dan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

30

mampu belajar dari kesalahan (Stoltz, 2004). Seseorang yang mampu belajar dari

kesalahan membuatnya memiliki harapan untuk tidak melakukan kesalahan yang

sama dan memperbaikinya. Menurut Diener (2009) harapan dapat dikaitkan dengan

SWB yaitu kebahagiaan dan kondisi-kondisi yang bersifat positif berdasarkan

kejadian masa depan seperti optimisme untuk melakukan aktivitasnya, spiritualitas

dalam mempererat hubungannya dengan Tuhannya, dan harapan yang akan terjadi

pada kehidupan mendatang (Diener, 2009). Di lain sisi, ketika seseorang tidak merasa

adanya kepemilikan dan pengakuan maka akan cenderung berfikir bahwa semua

kesulitan yang datang berasal dari kesalahan dan kecerobohan dirinya sendiri

sehingga merasa khawatir atas apa yang diperbuatnya (Stoltz, 2004). Perasaan

khawatir dapat terjadi melalui afek negatif dari SWB. Seseorang yang memiliki

khawatiran akan menunjukan emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan

merefleksikan respon negatif sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan,

keadaan, dan peristiwa yang dialaminya (Diener, 2009). Respon negatif akan

berdampak pada ketidakpuasan seseorang, sehingga memberikan hubungan buruk

dengan lingkungannya yaitu terjadinya penyimpangan di tempat kerja (tidak sopan

dengan rekan kerja maupun konsumen) (Kaswan, 2017).

Lingkungan kehidupan seseorang tidak lepas dari seberapa besar aspek reach

yaitu sejauh mana kesulitan akan merambah kehidupan seseorang yang menunjukkan

bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya. Adanya aspek tersebut

membuat seseorang tidak akan terganggu oleh permasalahan di luar aktivitasnya,

tetap melaksanakan aktivitasnya dengan baik, dan dapat menghadapi peristiwa

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

31

tersebut dengan kemampuannya (Stoltz, 2004). Menurut Compton (2005) Seseorang

yang mampu menghadapi peristiwa akan menimbulkan kontrol pribadi, di mana

seseorang dapat mempengaruhi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, memilih hasil

yang diinginkan, menghadapi konsekuensi dari pilihannya, dan memahami serta

menginterpretasikan hasil dari pilihannya untuk mewujudkan apa yang diinginkan

dan kemudian dapat membawa kepuasan akan hidupnya. Snyder dan Lopez (2002)

menyatakan bahwa kepuasan hidup bisa didapatkan seseorang melalui SWB yang

dimilikinya, karena SWB merupakan pengalaman emosi yang menyenangkan dan

tingginya kepuasan hidup. Lain halnya, peristiwa maupun kesulitan yang tidak bisa

dihadapi membuat seseorang bersikap negatif dengan menunjukkan kemampuan

dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stres (Stoltz,

2004). Sikap negatif akan mengarah pada ketidakpuasan seseorang dalam menjalani

pekerjaannya yaitu dengan menarik diri, penarikan dalam berpikir (pasif), dan

menunjukkan ketidakhadiran (Kaswan, 2017). Menurut Diener (2009) sikap negatif

erat kaitannya dengan perasaan ketidaksenangan seseorang dalam memandang

kehidupannya yang didapatkan melalui SWB. Ketidaksenangan dalam memandang

kehidupan membuat seseorang menunjukan emosi-emosi spesifik seperti sedih,

kecewa, bersalah, dan takut untuk melangkah menuju harapan yang ingin dicapainya.

Seseorang yang ingin mencapai harapan tentunya membutuhkan endurance

(daya tahan) yang merupakan aspek ketahanan individu, sejauh mana kecepatan dan

ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Permasalah yang terpecahkan

membuat seseorang menunjukan bakat-bakatnya, semakin besar serta beragam

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

32

akivitas yang dilaksanaannya dan semakin tidak menjemukan dalam menjalani

aktivitasnya (menganggap setiap aktivitasnya berarti) (Stoltz, 2004). Keberartian

dalam menjalani aktivitas tidak lepas dari unsur SWB. Menurut Ryff dan Keyes

(2005) seberapa besar aktivitas yang dilakukan seseorang berkaitan dengan SWB

yang dimilikinya. Seseorang akan dapat mengendalikan berbagai aktivitas yang

berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan

sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu

memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai

pribadi. Sebaliknya, seseorang yang memiliki daya tahan lemah menganggap

kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap

peristiwa negatif sebagai sesuatu yang sulit berlalu (Stoltz, 2004). Peristiwa negatif

erat kaitannya dengan afek negatif dalam SWB. Afek tersebut akan membuat

seseorang merasakan ketidaksenangan dengan peristiwa yang dialaminya seperti rasa

sedih, kesal, dan khawatir. Hal tersebut menjadikan seseorang tidak puas dalam

menjalani kehidupannya. (Diener, 2009). Ketidakpuasan tersebut membuat seseorang

dapat dialami di mana saja, salah satunya dialami seseorang dilingkup kerja. Menurut

House dan Mitchell (dalam Kaswan, 2017) ketidakpuasan dalam menjalani

pekerjaannya akan membuat seseorang memandang pekerjaan sebagai aktivitas yang

tidak dapat memuaskan dirinya, kurang menyenangkan, membosankan, terjadinya

turnover (keluar masuknya karyawan), dan sulit untuk menunjukkan kemampuannya

dalam bekerja.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

33

Menurut Stoltz (2004) adanya AQ dalam diri seseorang dapat mengatasi

kesulitan yang dihadapinya. Kemampuan seseorang dalam menghadapi dan

mengatasi kesulitan secara teratur membuat kehidupan seseorang menjadi bahagia.

Diener (2009) menyatakan bahwa kebahagian erat hubungannya dengan SWB.

Seseorang yang bahagia akan mengalami efek positif yang menyenangkan seperti

merasa kelegaan hati, kasih sayang, dan gembira. Perasaan gembira membuat

seseorang lebih produktif, motivasi bekerja tinggi, dan senang menjalani

pekerjaannya (As’ad, 2004). Stoltz (2004) menyatakan rendahnya AQ membuat

seseorang sulit menunjukan kemampuan mengendalikan diri untuk menyelesakan

setiap aktivitas atau tugas-tugasnya dengan optimal. Kemampuan tersebut membuat

seseorang merasa bahwa pekerjaan secara keseluruhan tidak dapat memuaskan

kebutuhanhya (As’ad, 2004). Menurut Snyder dan Lopez (2002) ketidakpuasan hidup

akan membuat seseorang lekas marah, malu, gelisah (nervous), gugup ketika

dihadapkan masalah. Hal tersebut dapat terjadi melalui afek negatif dalam SWB.

Menurut Kaswan (2017) ketidakpuasan yang dirasakan akan membuat seseorang

kurang berkomitmen, tidak terlibat dalam bekerjaan, dan sulit menurunkan konflik.

Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Puspitasari (2015) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara kontrol diri

dengan SWB. Lebih lanjut, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa semakin

tinggi AQ maka semakin tinggi SWB, sebaliknya semakin rendah AQ maka semakin

rendah SWB. Menurut Stoltz (2004) kontrol diri merupakan bagian dari aspek AQ,

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3406/3/BAB II.pdf · merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan

34

dimana seseorang yang memiliki AQ akan dapat mengontrol dirinya dalam bersikap

untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan kesulitan di kehidupannya.

D. Hipotesis

Berdasarkan kajian teoritis sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara AQ dengan

SWB pada desainer grafis di Yogyakarta. Semakin tinggi AQ maka semakin tinggi

pula SWB pada desainer grafis. Sebaliknya semakin rendah AQ maka semakin

rendah pula SWB pada desainer grafis.