hubungan antara subjective well being dengan kesabaran pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai...
DESCRIPTION
hjshdjsakTRANSCRIPT
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif,
dan sosio-emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki
masa dewasa (Larson dkk, 2002 dalam Santrock 2007). Rentang usia remaja dapat
bervariasi. Hal ini terkait dengan lingkungan, budaya, dan history.
Di Amerika dan sebagian besar budaya lain, usia remaja dimulai sekitar usia
10 hingga 13 tahun dan berakhir di usia 18 hingga 22 tahun (Santrock, 2007).
Penentuan usia remaja di Amerika tentunya berbeda dengan remaja di Indonesia.
Usia remaja Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dimulai dari usia 14
tahun dan berakhir di usia 24 tahun (Sarwono, 2003).
Para ahli membedakan masa remaja menjadi dua periode, periode awal dan
periode akhir. Masa remaja awal berlangsung di masa sekolah menengah pertama
atau sekolah menengah akhir. Sedangkan masa remaja akhir, berlangsung kurang
lebih pada dasawarsa yang kedua kehidupan. Pada masa remaja akhir, remaja
lebih sering menonjolkan minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas (Santrock,
2007).
Remaja tentunya membutuhkan dukungan dari lingkungan untuk dapat
melakukan minatnya, khususnya dukungan keluarga sebagai lingkungan terdekat
untuk membesarkan dan mendidik individu. Setiap individu tentunya
1
2
menginginkan dirinya dibesarkan di dalam keluarga yang harmonis, memberikan
rasa aman, nyaman dan saling menyayangi antar anggota keluarga. Sayangnya,
tidak semua remaja memperoleh kesempatan untuk dibesarkan di dalam keluarga
yang harmonis. Misalnya ketika satu keluarga harus berpisah karena orangtuanya
memutuskan untuk bercerai.
Ketika orangtua bercerai, keluarga menjadi tidak utuh dan dinilai tidak
ideal. Hal ini dikarenakan, orangtua yang menjalani perceraian sering
menunjukkan labilitas emosional yang ditandai dengan euforia dan optimisme
bergantian dengan kemarahan, kecemasan, kesepian, kesedihan, depresi bahkan
memiliki keinginan bunuh diri. Orangtua yang bercerai juga mengalami
perubahan terkait dalam konsep diri dan harga diri. (Tennant, 2002). Hal ini tentu
saja berefek langsung maupun tidak langsung terhadap anak termasuk anak dalam
usia remaja. Usia remaja merupakan usia yang paling rentan terhadap perceraian
orangtua, biasanya dari segi psikis, seperti malu, sensitif, rendah diri, bahkan
menarik diri dari lingkungan (Endang dalam Aminah dkk, 2010).
Hal senada juga diungkapkan oleh penelitian-penelitian lain, baik penelitian
terdahulu maupun terbaru. Menurut Harsanti dan Verasari (2013), perceraian juga
menimbulkan anak–anak tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih
sayang dari orang tuanya. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma
untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Adapun menurut Wildaniah
(2007) perceraian dapat menjadikan anak mempunyai resiko yang tinggi untuk
menjadi nakal dengan tindakan-tindakan anti sosial.
3
Selain itu, penelitian-penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa
perceraian yang terjadi pada orangtua dalam jangka pendek berhubungan dengan
kemalangan yang cenderung terjadi pada anak jika dibandingkan dengan anak
yang memiliki orangtua utuh. Kemalangan yang dimaksud adalah kemalangan
secara emosi, kesulitan dalam akademik, penyelarasan perilaku dan masalah, serta
peningkatan penggunaan narkoba (Amato & Keith, 1991; Doherty & Needle,
1991; Furstenberg, Peterson, Nord, & Zill, 1983; Hetherington, 1989 dalam
Jonsson dkk, 2000).
Rasa sedih yang mendalam juga tentunya dialami remaja ketika mengetahui
orangtuanya bercerai. Penelitian dalam artikel yang penulis unduh menemukan
bahwa 23 persen remaja yang ditinggal cerai orang tuanya saat usianya masih
belum mencapai 5 tahun mengalami kesedihan yang mendalam. Akibatnya,
mereka punya risiko dihinggapi masalah kesehatan 50 persen lebih besar
ketimbang remaja lain yang usianya lebih tua. Penelitian ini juga menemukan
bahwa anak laki-laki lebih dapat mengatasi masalah yang terjadi akibat
perpisahan orangtuanya daripada anak perempuan. Irunna Culpin (2013)
menyebutkan anak perempuan di bawah lima tahun yang berpisah dari ayahnya
karena perceraian, sangat berisiko mengalami masalah kesehatan mental.
(tempo.co diunduh pada 27 Januari 2014).
Perceraian selain berdampak jangka pendek yang menyebabkan perasaan
sedih dan marah pada anak, juga dapat berdampak panjang. Seperti melampiaskan
perasaan sedih dan marah dengan melakukan hal negatif. Penelitian yang di
lakukan oleh University of Toronto pada 19.000 subjek menemukan bahwa anak
4
lelaki yang orangtuanya bercerai sebelum ia berusia 18 tahun memiliki 48% lebih
tinggi untuk mengarah pada aktivitas merokok dibandingkan dengan anak laki-
laki yang orangtuanya tidak bercerai. Sedangkan anak perempuan memiliki
kecenderungan 39% lebih tinggi. (okezone.com diunduh pada 27 Januari 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk (2005) tentang konsekuensi
perceraian orangtua terhadap hidup anak-anak Kanada yang dilakukan pada
10.749 responden berusia 15 tahun ke atas. Berdasarkan penelitian ini, diperoleh
hasil bahwa anak-anak yang orangtuanya telah bercerai memiliki kecenderungan
yang besar untuk hamil di luar nikah, menjalankan kohabitasi, atau mengalami
perceraian setelah menikah. Aktivitas seksual dini dan kelahiran pranikah bisa
dianggap sebagai tindakan memberontak anak yang diakibatkan oleh
ketidaksenangannya pada perceraian yang terjadi pada orangtua (Cherlin dkk,
1995).
Kebanyakan anak yang orangtuanya bercerai akan tinggal bersama ibunya.
Sedangkan ibu yang bercerai akan berpengaruh kuat dengan pengalaman seksual
pranikah yang terjadi pada keturunan mereka (Axinn & Thornton, 1996). Hal ini
dapat berefek pada anaknya baik dalam pernikahan, perilaku kohabitasi, kelahiran
di usia dini maupun kelahiran pranikah. Baik penelitian terdahulu maupun
penelitian terbaru banyak yang mendukung temuan tersebut. Gadis yang
mengalami perceraian orang tua memiliki kecenderungan untuk melahirkan
sebelum usia 20, terlepas dari situasi perkawinan mereka (Le Bourdais & Marcil –
Gratton, 1998). Cherlin dkk (1995 dalam Martin dkk, 2005) menemukan bahwa
5
anak-anak di Inggris yang orangtuanya bercerai cenderung untuk berkohabitasi
dibandingkan anak-anak yang orangtuanya utuh
Penelitian lain yang dilakukan oleh Le Bourdais dan Marcil – Gratton
menemukan hasil yang serupa. Le Bourdais dan Marcil - Gratton (1998)
menemukan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai di Kanada dua kali lebih
mungkin mengalami kohabitasi sebelum usia 25 tapi cenderung kurang berminat
untuk menikah di masa muda mereka jika dibandingkan dengan anak yang berasal
dari keluarga yang orangtuanya tidak bercerai. Remaja menilai kohabitasi sebagai
alternatif yang dapat mereka lakukan daripada harus menikah dan mengalami
perceraian seperti orangtuanya. Mills dan Blossfeld (2005) menyatakan bahwa
kohabitasi dianggap sebagai jawaban “rasional” dari keraguan para remaja atas
hubungan seperti pernikahan. Beberapa pasangan menganggap bahwa kohabitasi
merupakan “uji coba” sebelum menjalankan pernikahan.
Dalam bukunya, The Adolescent: Development, Relationships, and Culture,
Phillip dan Dolgin (2008) menjabarkan bahwa anak dan remaja yang orangtuanya
bercerai akan berisiko tinggi mengalami berbagai masalah perilaku, baik saat
mereka masih kanak-kanak maupun setelah mereka dewasa. Meski perbedaannya
tidak selalu besar namun secara keseluruhan, anak yang orangtuanya bercerai
cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih buruk, terlibat dalam kenakalan
remaja, kurang dapat bergaul dengan baik dengan rekan sebaya, dan terlibat dalam
pemakaian obat-obatan terlarang (Hines, 1997; McLanahan & Sandefur, 1994).
Selain kecenderungan dalam memiliki masalah perilaku, prestasi akademik
yang buruk, dan kurang dapat bergaul dengan teman sebaya, anak yang
6
orangtuanya bercerai juga memiliki risiko jangka panjang untuk berkonflik
dengan saudara kandungnya. Poortman dan Voorpostel (2009) menemukan dalam
penelitian jangka panjangnya pada dua saudara kandung yang orangtuanya
bercerai bahwa perceraian orangtuanya menyebabkan kontak antar saudara
menjadi terbatas. Perceraian orangtua juga menimbulkan risiko besar terjadinya
konflik antar saudara. Kedua hal ini menyebabkan efek tidak baik pada kualitas
hubungan persaudaraan mereka ketika telah dewasa.
Selain efek-efek yang telah peneliti jabarkan di atas, peneliti juga
mewawancarai beberapa subjek untuk mengetahui efek yang ia rasakan setelah
orangtuanya bercerai. Hasil wawancara peneliti dengan T (20 tahun) menyatakan
bahwa ia seringkali tertekan karena ia dan adik-adiknya jarang dapat akur
keluarga baru dari ayah dan ibunya. Ia juga merasa tertekan karena kerap merasa
diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya sejak mereka memiliki keluarga yang
baru. Hal ini dikarenakan ia dan adik-adiknya harus tinggal terpisah dengan
orangtuanya. Hal-hal di atas seringkali membuatnya menjadi kurang percaya diri
saat bergaul dengan teman-teman seusianya, khususnya lawan jenis. Subjek juga
kerapkali melanggar peraturan sekolah dan kampus, seperti tidak membayarkan
uang spp selama berbulan-bulan tapi justru menggunakannya untuk berbelanja
atau main dengan teman-temannya.
Sedangkan wawancara peneliti dengan N (19 tahun) menyatakan bahwa ia
seringkali tertekan karena pandangan buruk keluarga dan lingkungannya terhadap
keadaan keluarganya setelah bercerai. Ia menjadi semakin tertekan karena ia dan
adiknya dilarang untuk bertemu ibunya oleh ayahnya sendiri. Ia harus sembunyi-
7
sembunyi jika ingin bertemu ibunya. Selain itu, ia dan adiknya juga kerapkali
dipukuli ayahnya tanpa alasan yang jelas. Hingga saat ini, Subjek enggan jika
harus berbicara dengan ayahnya.
Sedikit berbeda dengan dua wawancara di atas. Wawancara yang dilakukan
peneliti pada A (18) menyatakan bahwa subjek cukup tertekan dengan keadaan
orangtuanya yang sudah bercerai dan tidak akur seperti dulu. Namun, ia juga
merasa jika ia tidak dapat terus larut dalam kesedihan. Hal ini yang membuatnya
terus bersemangat dalam belajar hingga dapat masuk ke salah satu perguruan
tinggi negeri ternama di Bandung.
Amato (2000) dalam penelitiannya, The Consequencies of Divorce for Adult
and Children menyatakan bahwa perceraian dapat menyebabkan konsekuensi
yang bervariasi. Sebagian orang dapat merasakan keuntungan dari perceraian.
Sebagian orang lain dapat mengalami penurunan sementara dalam kepuasan
hidup, sedangkan sisanya bisa dapat mengalami penurunan kepuasan hidup yang
mungkin tidak pernah pulih sepenuhnya. Kepuasan hidup yang menurun pada
anak tidak dapat terlepas dari konflik yang biasanya terjadi pada kedua orangtua
baik sebelum maupun setelah perceraian. Konflik tersebut dapat berimbas pada
hubungan anak-orangtua dan mengakibatkan anak merasa kehilangan dukungan
emosi dari salah satu maupun kedua orangtuanya. Penurunan kepuasan hidup
pada anak juga dapat terjadi karena kesulitan ekonomi setelah terjadi perceraian,
dan peningkatan peristiwa negatif yang terjadi.
Keadaan keluarga yang sudah tidak utuh, kurangnya perhatian orangtua, dan
tekanan dari lingkungan sekitar membuat anak yang orangtuanya bercerai,
8
kebanyakan menjadi tertekan, sedih, marah, malu, dan kecewa. Perasaan tertekan,
sedih, marah, kecewa, serta pelampiasan kemarahan dan kekecewaan remaja pada
hal-hal negatif seperti merokok atau seks dini merupakan beberapa ciri dari
rendahnya kepuasan hidup yang dimiliki remaja yang orangtuanya bercerai.
Meski demikian, seperti yang dikatakan Amato (2000), tingkat kepuasan hidup
yang dirasakan oleh setiap anak yang orangtuanya bercerai dapat berbeda satu
dengan yang lain. Kepuasan hidup dalam psikologi, seringkali disetarakan dengan
konsep subjective well being (Eryilmaz, 2011).
Subjective well being adalah evaluasi seseorang terhadap kehidupannya baik
secara kognitif maupun secara afektif (Diener, Lucas, & Oishi, 2002). Evaluasi ini
termasuk juga di dalamnya reaksi terhadap kejadian serta penilaian kognitif atas
kepuasan dan pemenuhan. Subjective well being merupakan konsep umum yang
mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat mood
negatif dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener dkk, 2002). Maka bisa
disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki subjective well being yang tinggi
adalah ia yang sering mengalami emosi yang positif, jarang mengalami emosi
yang negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.
Terdapat berbagai macam faktor pendukung kepuasan hidup atau subjective
well being, salah satunya adalah agama. Hal ini tentu saja tidak dapat terlepas dari
ajaran-ajaran yang diajarkan suatu agama. Salah satu ajaran agama yang sering
dikaitkan dengan subjective well being atau kepuasan hidup adalah
kebersyukuran. Penelitian yang dilakukan oleh Froh dkk (2009) yang dilakukan
pada 154 murid sekolah menengah pertama menemukan bahwa kebersyukuran
9
berasosiasi dengan afek positif, kepuasan hidup secara global maupun kepuasan
hidup pada domain tertentu, optimisme, dukungan sosial, dan perilaku prososial.
Kebersyukuran dalam hidup, dipercaya dapat menyebabkan ketenangan dalam
berpikir, kebahagiaan, kesehatan fisik, bahkan kepuasaan dalam menjalin
hubungan antar personal (Emmons & Shelton, 2002). Kebersyukuran dalam
keadaan psikologis berarti perasaan takjub, syukur, serta apresiasi bagi kehidupan
(Emmons & Shelton, 2002).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebersyukuran juga
dapat mempengaruhi subjective well being. Menurut peneliti, hubungan antara
kebersyukuran dengan subjective well being pada remaja akhir yang orangtuanya
bercerai menarik untuk diteliti karena subjective well being setiap remaja akhir
yang orangtuanya bercerai bisa saja berbeda meskipun orangtua mereka sama-
sama mengalami perceraian dan hal ini mungkin saja berhubungan dengan
kebersyukuran mereka. Peneliti, lewat penelitian ini ingin mengetahui apakah
kepuasan hidup remaja yang orangtuanya bercerai berhubungan dengan
kebersyukuran yang mereka miliki. Maka rumusan permasalahan yang akan
diteliti adalah “apakah ada hubungan antara kebersyukuran dengan subjective well
being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai?”
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara subjective
well-being dengan kebersyukuran pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai.
10
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mengenai ilmu
psikologi pada umumnya dan disiplin ilmu psikologi perkembangan dan Psikologi
Islami pada khususnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan mampu memberikan
referensi bagi masyarakat dan pemerintah mengenai subjective well-being dan
kebersyukuran pada remaja akhir orangtuanya bercerai.
A. Keaslian Penelitian
Menurut pengamatan penulis, sudah banyak penelitian yang membahas
tentang subjective well being. Namun penelitian ini orisinil karena belum ada
penelitian yang membahas tentang hubungan subjective well being dengan
kebersyukuran pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai.
Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) dengan judul Hubungan Antara
Spiritualitas dengan Subjective well being pada penderita kanker payudara.
Penelitian ini membahas hubungan antara spiritualitas dengan subjective well
being pada penderita kanker payudara.
Penelitian selanjutnya dilakukan Eryilmaz (2011) dengan judul The
Relationship Between Adolescents Subjective Well-being and Positive
Expectations Towards Future. Penelitian ini membahas hubungan antara
subjective well being dengan ekspektasi masa depan yang potitif selama remaja.
11
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Krisna (2012) dengan judul Work-life
Balance Ditinjau dari Kebersyukuran pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Wonogiri. Penelitian ini membahas hubungan work-life balance
ditinjau dari kebersyukuran yang dilakukan kepada pegawai negeri sipil dinas
kehutanan dan perkebunan Wonogiri.
Berikut beberapa keaslian data yang dapat digunakan untuk meningkatkan
orisinalitas penelitian, antara lain:
1. Keaslian Topik
Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) memiliki variable spritualitas
dan subjective well being. Penelitian yang dilakukan oleh Eryilmaz (2011)
memiliki variabel bebas subjective well being dan variable tergantung positive
expectations. Penelitian selanjutnya yang diteliti oleh Krisna (2012) meneliti
tentang work-life balance ditinjau dari kebersyukuran. Ketiga penelitian di atas
berbeda tema dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang membahas
tentang hubungan antara kebersyukuran dan subjective well-being pada remaja
akhir yang orangtuanya bercerai.
2. Keaslian Teori
Eryilmaz (2011), dalam penelitiannya Investigating Adolescents Subjective
Well-Being with Respect to Using Subjective Well-Being Increasing Strategies
and Determining Life Goals menggunakan teori dari Emmons (1986). Sedangkan
Krisna (2012) dalam penelitiannya Work-Life Balance Ditinjau dari
Kebersyukuran pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Kehutanan dan Perkebunan
12
Wonogiri menggunakan teori Watkins (2003). Peneliti menggunakan sintesa teori
dari penelitian-penelitian telah dilakukan sebelumnya.
3. Keaslian Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang telah
disesuaikan dengan topik penelitian dan kebutuhan subjek, dengan mengadaptasi
dan memodifikasi alat ukur yang telah ada sebelumnya. Alat ukur kebersyukuran
berdasarkan aspek-aspek kebersyukuran dalam Islam.
Metodologi dalam penelitian Investigating Adolescents Subjective Well-
Being with Respect to Using Subjective Well-Being Increasing Strategies and
Determining Life Goals oleh Eryilmaz (2011) menggunakan alat ukur Strategies
Scale for Adolescents (Eryilmaz, 2010), Satisfaction with Life Scale yang
dikembangkan oleh Diener dkk (1984) dan diadaptasi dari Koker (1991), dan
Likert form of Life Goals Scale for Adolescents (Eryilmaz, 2010).
Metodologi yang dilakukan dalam penelitian Work-life balance ditinjau dari
kebersyukuran pada pegawai negeri sipil dinas kehutanan dan perkebunan
wonogiri oleh Krisna (2012) menggunakan alat ukur Watkins diadaptasi.
4. Keaslian Subjek Penelitian
Penelitian mengenai remaja sudah banyak dilakukan. Meskipun demikian,
penelitian ini orisinil karena meneliti remaja dengan tema yang berbeda dari
penelitian-penelitian sebelumnya.
Pada penelitian Eryilmaz (2011), menggunakan subjek remaja dari Turki
dari 233 subjek remaja (121 laki-laki dan 112 perempuan). Pada penelitian Krisna
(2012), menggunakan subjek Pegawai negeri sipil yang bekerja di dinas
13
kehutanan dan perkebunan wonogiri, laki-laki dan perempuan yang berkeluarga
dan keduanya bekerja, usia 25-26 tahun, dan memiliki 1-4 anak. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Putri (2012), menggunakan subjek penderita kanker payudara
berusia antara 20-60 tahun. Sedangkan penelitian ini menggunakan subjek remaja
usia 18-24 tahun yang orangtuanya bercerai.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Subjective Well-Being
1. Pengertian Subjective Well-Being
Subjective well being adalah evaluasi seseorang terhadap kehidupannya baik
secara kognitif maupun secara afektif (Diener dkk, 2002). Evaluasi ini termasuk
juga di dalamnya reaksi terhadap kejadian serta penilaian kognitif atas kepuasan
dan pemenuhan. Subjective well being merupakan konsep umum yang mencakup
pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif dan
kepuasan hidup yang tinggi (Diener dkk, 2002). Hal ini termasuk apa yang disebut
dengan kebahagiaan, kedamaian, pemenuhan dan kepuasan hidup (Diener dkk,
2002). Sedangkan Eryilmaz (2011) berpendapat bahwa subjective well being
adalah evaluasi dan penilaian seseorang atas hidupnya sendiri tentang afeksi yang
ia rasakan.
Subjective well being menurut Eddington dan Shuman (2008) mengacu
pada evaluasi hidup seseorang atas kehidupannya, yang termasuk di dalamnya
penilaian kognitif, seperti kepuasan hidup, dan afektif evaluasi (suasana hati dan
emosi), seperti perasaan emosional yang positif dan negatif. Berdasarkan pendapat
para ahli di atas maka, subjective well being adalah evaluasi hidup seseorang
terhadap kehidupannya baik secara kognitif maupun secara afektif.
2. Aspek Subjective Well Being
Eddington dan Shuman (2008) mengungkapkan bahwa subjective well being
terdiri atas beberapa komponen utama. Komponen ini termasuk di dalamnya,
14
15
kepuasan hidup secara global, kepuasan hidup dengan domain tertentu, sering
adanya afek positif, dan relatif tidak adanya afek negatif.
Afek positif umumnya dibagi menjadi sukacita, kegembiraan, kepuasan,
kebanggaan, kasih sayang, kebahagiaan dan kegembiraan yang meluap-luap.
Sedangkan afek negatif dibagi menjadi bersalah dan malu, sedih, kecemasan, dan
kekhawatiran, kemarahan, stres, depresi, dan iri hati. Kepuasan hidup
dikategorisasikan menjadi kepuasan hidup pada masa kini, kepuasan hidup pada
masa lalu, dan kepuasan hidup pada masa depan.
Subjective well being dibangun dari berbagai variable meliputi kepuasan
hidup secara keseluruhan maupun berdasarkan domain tertentu, afek positif serta
afek negatif. (Arthaud Day dkk 2005; Diener & Ryan, 2009; Galinha Pais-
Ribeiro, 2008 dalam Galinha & Pais-Ribeiro 2011).
Sedangkan menurut Eryilmaz (2011) terdapat tiga komponen utama dalam
subjective well-being, yaitu:
a. Afeksi positif, berisi emosi berupa kepercayaan, perhatian, harapan,
kegembiraan, kebanggaan, dan sukacita.
b. Afeksi negatif, berisi emosi berupa kemarahan, kebencian, self-blame, dan
kesedihan.
c. Kepuasan dalam hidup, kepuasan dalam hidup dianggap sebagai komponen
kognitif pada subjective well-being. Kepuasan dalam hidup meliputi evaluasi
individu terhadap kepuasan berbagai domain kehidupan.
16
Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek subjective well being adalah
kepuasan hidup secara global, kepuasan hidup dengan domain tertentu, sering
adanya afek positif, dan relatif tidak adanya afek negatif.
3. Faktor Subjective Well Being
Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well being menurut Hooghe
dan Vanhoutte (2011) antara lain:
a. Usia, jenis kelamin dan struktur keluarga
Dalam kebanyakan studi, jenis kelamin tidak banyak memainkan peran penting
dalam menentukan subjective well being. Sedangkan kelompok usia termuda dan
tertua memiliki tingkat signifikan lebih tinggi dalam subjective well being
daripada tingkat terendah yang tercatat di antara kelompok usia menengah (Clark
& Oswald 1994; Blanchflower & Oswald 2007). Penelitian menunjukkan bahwa
menikah memberikan kontribusi signifikan terhadap tingkat subjective well being.
Sementara, mereka yang bercerai, menjanda atau terpisah memiliki dampak
negatif sama (Lucas dkk 2003; Clark & Oswald 1994).
b. Kondisi Materi
Individu yang tidak memiliki pekerjaan akan memiliki subjective well being
yang lebih rendah daripada individu yang memiliki penurunan penghasilan (Clark
& Oswald, 1994; Di Tella dkk, 2001; Frey & Stutzer, 2000; Oswald, 1997;
Kahneman & Krueger 2006). Individu yang bekerja tidak hanya untuk
mendapatkan penghasilan tapi juga untuk merealisasikan diri merupakan salah
satu kunci kesejahteraan.
17
c. Social capital
Modal sosial mengacu pada dampak jaringan sosial pada individu dan
masyarakat. Individu yang memiliki jaringan sosial yang baik antar individu
maupun dengan masyarakat, baik dalam kondisi formal maupun informal,
memiliki dampak baik pada kesejahteraannya. Selain itu, kepercayaan seseorang
bahwa orang lain dapat dipercaya juga memiliki pengaruh positif pada subjective
well being.
d. Struktur kepribadian
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa subjective well being yang
tinggi terutama terkait dengan rendahnya tingkat neuroticism dan tingkat
extraversion yang lebih tinggi (Gutierrez dkk, 2005). Kecenderungan untuk
memiliki pandangan optimis terhadap kehidupan jelas memiliki efek positif pada
evaluasi kehidupan, terlepas dari keadaan tertentu (Veenhoven, 1994).
Selanjutnya penelitian tentang hubungan antara optimisme dan subjective well
being menunjukkan korelasi positif yang signifikan (Wrosch & Scheier, 2003).
e. Community Level Determinants
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa tingkat pengangguran
(Oswald, 1997), tingkat pendapatan (Clark dan Oswald, 1994), tingkat kejahatan
(Dolan dkk, 2008), keterbukaan institusi politik (Frey & Stutzer, 2000) dan etnis
keragaman dalam komunitas (Putnam, 2007; Hooghe dkk, 2009) diharapkan
berpengaruh dalam subjective well being. Asumsinya, bagaimanapun, bahkan
ketika dapat mengendalikan sendiri tingkat pendapatan, atau pengalaman tingkat
18
kejahatan, pengangguran dan pendapatan masih akan berdampak pada
kesejahteraan individu.
Faktor-faktor subjective well being menurut Eddington dan Shuman (2008),
antara lain:
a. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin dilaporkan memiliki pengaruh yang sangat kecil pada
subjective well being. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh The World
Value Survey (Inglehart, 1990), dengan jumlah responden 170.000 dari 16 negara
menunjukkan perbedaan subjective well-being antara pria dan wanita sangat kecil.
Meski demikian, literatur menunjukkan bahwa perempuan lebih sering mengalami
afek negatif daripada laki-laki dan lebih sering meminta bantuan dari para ahli
untuk bisa mengatasi gangguan tersebut.
Fujita, Diener, dan Sandvik (1991), berhipotesis bahwa rata-rata perempuan,
terbuka terhadap pengalaman emosional, hal ini dapat menciptakan kerentanan
terhadap depresi yang diberikan oleh banyak peristiwa buruk tetapi hal ini juga
dapat menciptakan kesempatan bagi kebahagiaan pada saat menghadapi peristiwa
baik .
b. Usia
Penelitian internasional yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan
bahwa kepuasan hidup tidak mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya
usia (Butt & Beiser, 1987; Inglehart, 1990, Veenhoven, 1984). Diener dan Suh
(1998) melakukan penelitian pada 60.000 orang dewasa dari 40 negara dan
menemukan sedikit kenaikan dalam kepuasan hidup pada usia 20-an ke 80-an.
19
Kurangnya penurunan yang signifikan dalam kepuasan hidup di seluruh masa
hidup menunjukkan kemampuan orang untuk beradaptasi dengan kondisi mereka.
Penurunan pendapatan dan perkawinan terjadi di seluruh usia di masa dewasa
nanti, namun kepuasan hidup tetap stabil. Beberapa peneliti telah menunjukkan
bahwa temuan ini berfungsi sebagai bukti bahwa orang menyesuaikan kembali
tujuan mereka saat menua (Campbell dkk, 1976; Rapkin & Fischer, 1992).
c. Pendidikan
Pendidikan berkorelasi dengan kesejahteraan lebih untuk individu dengan
pendapatan rendah (Campbell, 1981; Diener dkk, 1993) dan di Negara-negara
miskin (Veenhoven, 1994). Campbell (1981) mencatat bahwa pada tahun 1957,
44% lulusan perguruan tinggi dilaporkan menjadi sangat bahagia dibandingkan
dengan 23% dari mereka yang tidak sekolah tinggi. Pendidikan juga
mempengaruhi status sosial seseorang, hal ini juga dapat mempengaruhi kepuasan
hidup seseorang. Hal ini menunjukkan meski tidak berpengaruh secara langsung,
tingkat pendidikan dapat mempengaruhi subjective well being.
d. Penghasilan
Penghasilan berpengaruh kecil terhadap kepuasan hidup bahkan ketika
diadakan penelitian terhadap orang yang sangat kaya. Smith dan Razzell (1975)
mempelajari individu yang memenangkan uang dalam jumlah besar di kolam
sepakbola Inggris dan menemukan 39% menggambarkan diri mereka sangat
bahagia. Namun, beberapa dampak negatif juga muncul sebagai pemenang ketika
mereka berhenti dari pekerjaan mereka dan kemudian mengalami kehilangan
20
hubungan sosial dan penurunan perasaan prestasi, serta beberapa ketegangan dari
keluarga dan teman-teman yang mengharapkan bantuan keuangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Richens dan Dawson (1992) menemukan bahwa
orang yang menghargai uang lebih tinggi dari tujuan-tujuan lain kurang puas
dengan standar hidup dan dengan hidup mereka. Ditemukan bahwa materialistis
dapat menjadi prediktor negatif pada subjective well-being sebab mengganggu
prososial dan self-actualization (Scitovsky, 1976). Orang kaya hanya agak lebih
bahagia daripada orang miskin di negara-negara kaya, meskipun negara kaya jauh
lebih bahagia daripada negara-negara miskin, dan perubahan penghasilan kadang-
kadang mungkin memiliki efek negatif (Eddington, 2008).
e. Pernikahan
Hubungan positif antara pernikahan dan subjective well-being secara konsisten
dilaporkan di Amerika Serikat (Glenn, 1975; Gove dan Shin, 1989), Kanada
(White, 1992), Norwegia (Mastekaasa, 1995), dan dalam penelitian internasional
(Diener dkk, 1998). Skala besar survey ini menunjukkan bahwa orang yang
menikah dilaporkan lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah
menikah atau bercerai, berpisah, atau janda. Diener, dkk (1998) menemukan
bahwa pernikahan menawarkan manfaat yang lebih besar untuk laki-laki daripada
wanita dalam hal emosi positif, tetapi pria dan wanita yang menikah tidak ada
perbedaan dalam kepuasan hidup. Dalam sebuah studi longitudinal yang
dilakukan oleh Headey, Veenhoven, dan Wearing (1991), menemukan bahwa di
antara enam domain kehidupan yang mereka pelajari (misalnya, pekerjaan,
21
kesehatan), hanya kepuasan perkawinan memiliki pengaruh kausal yang
signifikan pada kepuasan hidup global.
f. Kepuasan kerja
Tait, Padgett, dan Baldwin (1989) menemukan hubungan kuat antara kerja dan
kepuasan hidup wanita dalam beberapa dekade terakhir sebagai peran sosial
mereka yang telah berubah dan pilihan karir telah diperluas. Pekerjaan diduga
terkait dengan subjective well being karena menawarkan tingkat stimulasi optimal
bagi individu untuk dapat menemukan kesenangan (Csikszentmihalyi, 1990;
Scitovsky, 1976), hubungan sosial yang positif, identitas, dan makna. Orang-
orang yang puas dengan kehidupan mereka umumnya menemukan kepuasan yang
lebih dalam pekerjaan mereka. (Sones & Kozma 1986). Orang menganggur
memiliki kesulitan yang lebih tinggi, kehidupan dengan kepuasan lebih rendah,
dan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada individu yang bekerja (Oswald,
1997; Platt & Kreitman, 1985).
g. Kesehatan
Campbell, dkk (1976) menemukan responden untuk menilai kesehatan yang
baik sebagai hal yang paling penting dari berbagai domain kehidupan. Individu
dengan kondisi yang parah atau memiliki berbagai masalah kronis melaporkan
subjective well-being yang rendah, sedangkan jika kondisi agak berat
kemungkinan dia bisa beradaptasi (Menhert dkk, 1990). Kesehatan yang buruk
diperkirakan berdampak negatif pada subjective well-being karena mengganggu
goal-attainment.
22
h. Agama
Sebagian besar penelitian yang didasarkan pada sampel nasional, menunjukkan
bahwa subjective well being berkorelasi secara signifikan (meskipun efek ukuran
tidak besar) dengan kepastian agama (Ellison, 1991), kekuatan seseorang
hubungan dengan Tuhan (Pollner, 1989), prayer experiences (Poloma &
Pendleton, 1991), kebaktian dan aspek partisipatif religiusitas (Ellison, Gay, &
Glass, 1989), bahkan setelah mengendalikan usia, pendapatan dan perkawinan
status. Pengalaman religius mungkin dapat memberikan rasa makna dalam
kehidupan sehari-hari (Pollner, 1989). Selain itu, agama menyediakan pemenuhan
sosial melalui hubungan ke jaringan sosial yang terdiri dari orang yang memiliki
sikap dan nilai-nilai yang sama (Taylor dan Chatters, 1988). Ellison (1991)
menyimpulkan bahwa akun variabel agama sekitar 5%-7% dari kehidupan
kepuasan varians, tetapi hanya 2%-3 % dari varians dalam afektif kesejahteraan.
i. Waktu luang
Veenhoven, dkk (1994) mengatakan bahwa kebahagiaan berkorelasi dengan
kepuasan bersantai dan luangnya waktu berekreasi, tapi korelasi itu berkurang
setelah mengendalikan berbagai variabel demografis seperti pekerjaan dan kelas
sosial. Korelasi itu terbesar bagi mereka yang tidak bekerja, seperti pengangguran,
pensiun, orang tua, orang-orang yang kaya atau kelas sosialnya tinggi, serta orang
yang telah menikah tapi tidak memiliki anak (Zuma, 1989). Penelitian yang
dilakukan oleh Glancy, Willits, dan Farrell (1986) yang dilakukan pada 1.521
siswa SMA selama 24 tahun, menemukan bahwa rekreasi remaja diprediksi dapat
mempengaruhi kepuasan hidup dewasa, dengan jumlah kontrol diterapkan.
23
Heady, Holmstrom, dan Wearing (1985) meneliti 600 penduduk Australia dengan
interval dua tahun dan menemukan bahwa kepuasan rekreasi meningkat
kesejahteraan subjektif. Heady, dkk (1985) menemukan bahwa kepuasan bersantai
mempengaruhi subjective well-being. Salah satu bentuk bersantai adalah olahraga
seperti aerobik yang dilakukan 8-10 minggu, 2-4 kali seminggu, dapat
meningkatkan kebahagiaan, menurunnya gejala depresi dan kecemasan (Biddle &
Mutrie, 1991). Selain itu, periode latihan mengurangi efek negatif pada detak
jantung dan tekanan darah akibat tugas yang penuh tekanan (Kimbell & Basford,
1996). Olahraga dan latihan efektif karena dapat melepaskan endorphin, interaksi
sosial dengan orang lain, pengalaman berhasil atau self-efficacy. Tari dan musik
efektif memberikan rangsangan mood dan manfaat sosial. Hal ini dimungkinkan
untuk memenuhi sejumlah kebutuhan sosial melalui kegiatan tersebut, termasuk
keakraban, kerjasama dan sebagainya (Argyle, 1996). Rubenstein (1980),
mensurvey sejumlah pembaca Psychology Today dan menemukan bahwa 21%
mengalami sakit kepala bila tidak berlibur dibandingkan dengan 3% pembaca
yang berlibur.
j. Peristiwa hidup yang pernah dialami
Kanner dkk (1981) menemukan bahwa frekuensi peristiwa positif berkorelasi
dengan afek positif. Para peneliti menunjukkan bahwa pengalaman positif yang
intensif tidak berpengaruh banyak pada kebahagiaan. Penyebab utama sukacita
dalam lima negara Eropa adalah: hubungan dengan teman; kesenangan dasar dari
makanan, minuman, dan hubungan seksual; dan pengalaman berhasil (Scherer
dkk, 1986). Orang mengalami suasana hati yang lebih positif ketika dengan
24
teman-teman dibandingkan dengan berada bersama keluarga atau sendirian
(Larson, 1990). Headey, Holmstrom, dan Wearing (1985) menemukan bahwa
peristiwa menguntungkan dalam hubungan persahabatan dan kerja diprediksi
dapat meningkatkan subjective well being.
k. Kompetensi
Penelitian telah menemukan korelasi yang sangat kecil, namun positif antara
kompetensi kecerdasan dan kebahagiaan. Mirip dengan pendidikan, kecerdasan
dapat meningkatkan aspirasi yang mungkin tidak terpenuhi, dengan demikian
dapat meningkatkan kesenjangan pencapaian tujuan. Daya tarik fisik memiliki
efek yang lebih kuat terutama untuk perempuan muda. Ini menghasilkan
kebahagiaan yang lebih besar (Agnew, 1984) mungkin karena menghasilkan
popularitas dengan lawan jenis. Tubuh tinggi pada pria memiliki efek yang serupa
namun memiliki korelasi yang kecil pada kebahagiaan. Selain daya tarik fisik,
keterampilan sosial juga memiliki korelasi dengan kebahagiaan. Keterampilan
sosial menyebabkan kebahagiaan karena keterampilan sosial dapat meningkatkan
kemungkinan mencapai hubungan yang diinginkan dengan orang lain. Sebaliknya,
mereka yang tidak kompeten secara sosial kemungkinan akan ditolak secara
sosial, dan menjadi terisolasi kemudian tidak dapat menemukan dukungan sosial
atau persahabatan (Sarason dan Sarason, 1985).
Eryilmaz (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penting pada
subjective well-being, yaitu: kerentanan genetik, goal-oriented atau tindakan atau
25
perilaku yang disengaja, karakteristik demografis yang terdiri dari umur, jenis
kelamin, asal etnis, pekerjaan dan status pernikahan.
Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor subjective well being adalah jenis
kelamin, usia, struktur keluarga, kondisi materi, struktur kepribadian, pendidikan,
pernikahan, agama, peristiwa hidup yang pernah dialami, dan kompetensi.
B. Kebersyukuran
1. Pengertian Kebersyukuran
Kebersyukuran dalam keadaan psikologis berarti perasaan takjub, syukur,
serta apresiasi bagi kehidupan (Emmons dan Shelton, 2002). Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) dikatakan bahwa syukur
telah dikonseptualisasikan sebagai emosi, sikap, kebajikan moral, kebiasaan,
kepribadian sifat, atau respon coping.
Kata syukur (gratitude) berasal dari bahasa Latin, gratia, yang berarti
rahmat, keanggunan, atau terima kasih. Syukur ini harus dilakukan dengan
kebaikan, murah hati, hadiah, keindahan memberi dan menerima, atau
mendapatkan sesuatu untuk apa-apa (Pruyser, 1976). Tujuan syukur adalah
ditujukan kepada orang, serta impersonal (alam) atau sumber bukan manusia. Hal
yang dimaksud bukan manusia misalnya, Tuhan, hewan, alam semesta (Solomon,
1977; Teigen, 1997)
Kebersyukuran menurut Watkins (2003) dapat didefinisikan sebagai
perasaan syukur untuk mengapresiasi nikmat yang telah diterima. Sedangkan
menurut APA dictionary of psychology (2007), kebersyukuran adalah rasa syukur
26
dan bahagia dalam menanggapi penerimaan sesuatu, baik yang bermanfaat
secaranya seperti kado atau bantuan, maupun yang merupakan keberuntungan,
seperti hari yang indah.
Syukur secara bahasa berasal dari kata “syakara” yang berarti pujian atas
kebaikan, penuhnya sesuatu. Menurut Imam Ghazali (dalam Bantanie, 2009)
syukur terdiri dari tiga perkara, yaitu:
a. Pengetahuan tentang nikmat, pengetahuan tentang nikmat bahwa seluruh
nikmat berasal dari Allah dan Allah-lah yang memberikan nikmat pengetahuan itu
kepada orang yang dikehendaki-Nya.
b. Sikap jiwa yang tetap dan tidak berubah, hal ini sebagai buah dari pengetahuan
yang mendorong untuk selalu senang dan mencintai yang member nikmat dalam
bentuk kepatuhan kepada Allah.
c. Menghindari perbuatan maksiat. Sikap demikan hanya terjadi jika seseorang
telah mengenal kebijaksanaan Allah dalam menciptakan seluruh makhluk-Nya.
2. Aspek Kebersyukuran
Menurut Ibnu Qudamah (dalam Bantanie, 2009), syukur dapat terjadi
dengan lisan, hati dan perbuatan. Bersyukur dengan hati adalah keinginan untuk
selalu berbuat baik. Bersyukur dengan lidah ialah mewujudkan rasa terima kasih
kepada Allah melalui ucapan dalam bentuk pujian kepada-Nya. Syukur dengan
perbuatan adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah yang
member nikmat itu.
27
Senada dengan Ibnu Qudamah, Bantanie (2009) juga berpendapat bahwa
syukur harus memenuhi tiga unsur:
a. Syukur hati, meyakini dengan sepenuh hati bahwa segala nikmat yang
diperoleh merupakan karunia Allah, maka Allah juga berhak mengambilnya
kembali jika Dia menghendaki.
b. Syukur lisan, keyakinan dalam hati bahwa Allah-lah sumber dari segala nikmat
yang diperoleh harus dinyatakan dengan lisan dalam bentuk pujian kepada Allah.
c. Syukur perbuatan, mempergunakan segala nikmat yang dikaruniakan Allah
menurut kehendak Allah yang memberi nikmat dengan cara menggunakannya
untuk ketaatan dan kemaslahatan orang lain.
Sedangkan McCullough dkk (2002) mengungkapkan bahwa aspek
kebersyukuran terdiri dari empat elemen, yaitu:
a. Intensitas
Seseorang yang bersyukur cenderung menunjukkan rasa syukurnya lebih intens
saat mengalami peristiwa positif daripada orang yang kurang bersyukur.
b. Frekuensi
Seseorang yang bersyukur akan cenderung lebih sering dalam mengungkapkan
rasa syukurnya dalam satu hari, bahkan saat ia mengalami kebaikan atau peristiwa
positif yang sederhana. Berbeda dengan orang yang kurang bersyukur. Orang
yang kurang bersyukur cenderung lebih jarang dalam mengungkapkan rasa
syukurnya.
28
c. Span
Grateful span mengacu pada sejumlah peristiwa di mana ia bersyukur. Orang
yang bersyukur cenderung akan mensyukuri lebih banyak aspek kehidupannya.
Orang yang bersyukur akan bersyukur atas keluarga, pekerjaan, kesehatan, dan
banyak hal dalam hidupnya. Sedangkan orang yang kurang bersyukur akan
mensyukuri lebih sedikit aspek kehidupannya.
d. Destiny
Destiny merujuk pada jumlah orang yang dapat membuat seseorang dapat
bersyukur. Orang yang bersyukur cenderung akan menyebutkan lebih banyak
orang yang membuatnya bersyukur atas kehadiran mereka. Sedangkan orang yang
kurang bersyukur cenderung menyebut lebih sedikit nama orang yang dapat
membuatnya bersyukur atas kehadiran mereka.
Dari penjelasan di atas mengenai aspek-aspek kebersyukuran, maka peneliti
menarik kesimpulan bahwa aspek-aspek kebersyukuran yang akan digunakan
dalam penelitian ini yaitu syukur dengan hati, lisan, dan perbuatan.
C. Remaja Akhir yang Orangtuanya Bercerai
Selama remaja mengalami fase remaja akhir, remaja mulai memandang
dirinya sebagai orang dewasa dan mampu menunjukkan pemikiran, sikap, dan
perilaku yang semakin dewasa. Interaksi dengan orangtua pun menjadi lebih baik
dan lancar karena mereka memiliki kebebasan penuh dan emosi yang mereka
miliki pun mulai stabil (Ali & Asrori, 2010).
29
Menurut Sarwono (2003), fase remaja akhir adalah masa konsolidasi
menuju periode dewasa yang ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu:
a. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam
pengalaman-pengalaman baru.
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d. Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan sendiri dan
orang lain.
e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum.
Meskipun remaja akhir telah menganggap dirinya dewasa, seringkali dalam
masyarakat atau keluarga, remaja justru diposisikan dalam posisi yang tidak jelas.
Remaja seringkali masih dianggap masih anak-anak dan tidak dimintai pendapat
tentang masalah keluarga, namun dituntut untuk mengerti dan menerima
keputusan orangtua seperti orang dewasa.
Padahal perceraian yang terjadi pada orangtua, berpengaruh kepada remaja.
Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sejumah besar praktisi
kesehatan mental melihat perceraian sebagai peristiwa negatif yang merangsang
rasa tidak aman, kebingungan, dan emosi yang menyakitkan. Meskipun demikian
mayoritas praktisi ini merasa bahwa kebanyakan anak tidak dirugikan secara
permanen dengan perceraian yang terjadi pada orangtuanya, sementara praktisi
lain bersikeras bahwa perceraian menyebabkan kemarahan akibat perceraian
mengganggu pertumbuhan emosi dan social dalam jangka panjang (Wallerstein
dan Lewis, 2004 dalam Rice dan Dolgin, 2008).
30
Pada penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk (2005) mengenai The
Consequences of Parental Divorce on the Life Course Outcomes of Canadian
Children, ditemukan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai, tiga kali lebih
berisiko memutuskan untuk kohabitasi dan memiliki anak di luar nikah
dibandingkan dengan remaja yang orangtuanya tidak bercerai.
Remaja yang orangtuanya bercerai juga satu setengah kali lebih berisiko
untuk mengalami perceraian setelah menikah dibandingkan dengan remaja yang
orangtuanya utuh atau salah satu orangtuanya meninggal (Martin dkk, 2005).
D. Dinamika Psikologi Kebersyukuran dengan Subjective Well Being
pada Remaja Akhir yang Orangtuanya Bercerai
Berbagai penelitian terdahulu, mencatat bahwa perceraian berdampak tidak
hanya pada pasangan yang mengalaminya tetapi juga pada anak dari pasangan
tersebut. Beberapa reaksi jangka pendek yang terjadi setelah remaja sebagai anak
saat mengetahui perceraian orangtuanya, di antaranya adalah shock, tidak percaya,
takut, cemas, dan merasa tidak aman (Rice, 2008). Selain itu, remaja merasa
marah dan menunjukkan sikap permusuhan. Remaja akan menyalahkan orangtua
atas perceraian yang terjadi. Remaja juga dapat merasa bersalah dan menyalahkan
dirinya sendiri atas perceraian yang terjadi pada orangtuanya (Rice, 2008).
Perasaan-perasaan negatif yang dirasakan remaja setelah orangtuanya
bercerai tentunya dapat berdampak pada hubungan sosial maupun pendidikan
remaja. Hubungan sosial dan pendidikan yang kurang baik meski tidak secara
31
langsung, dapat mengurangi tingkat kepuasan hidup atau subjective well being
(Hooghe & Vanhoutte, 2011; Eddington & Shuman, 2008).
Diener dan Larsen (Eddington, 2008), menyatakan bahwa subjective well-
being dapat didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang
hidupnya. Hal ini meliputi penilaian emosional seseorang terhadap berbagai
kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan
dan pemenuhan hidupnya. Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being
yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka, seringkali
merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. Kepuasan hidup,
afek positif dan afek negatif merupakan tiga komponen utama penyusun
subjective well-being. Afek positif dan afek negatif masuk ke dalam komponen
afektif, sedangkan kepuasan hidup termasuk dalam komponen kognitif subjective
well being.
Menurut Seligman (2002), salah satu upaya untuk meraih subjective well-
being adalah dengan memiliki enam keutamaan hidup, yakni wisdom and
knowledge, courage, humanity, justice, temperance, dan transcendence. Dari
enam keutamaan tersebut, maka 24 karakter kekuatan (character of strength) yang
bisa dimiliki oleh manusia untuk meraih keutamaan hidup hadir, termasuk salah
satu di dalamnya adalah bersyukur (gratitude).
Hal tersebut juga senada dengan penelitian sebelumnya. Ellison (1991)
menyatakan bahwa subjective well being berkorelasi secara signifikan dengan
agama, meski tidak berefek besar. Hubungan agama dengan kepuasan hidup tidak
dapat terlepas dari ajaran-ajaran agama, salah satunya konsep syukur. Penelitian
32
yang dilakukan oleh Froh dkk (2009) yang dilakukan pada 154 murid sekolah
menengah pertama menemukan bahwa kebersyukuran berasosiasi dengan aspek-
aspek subjective well being, yaitu: afek positif, kepuasan hidup secara global
maupun kepuasan hidup pada domain tertentu. Kebersyukuran juga berasosiasi
dengan optimisme, dukungan sosial, dan perilaku prososial.
Froh dkk (2009) menemukan bahwa menghitung berkat-berkat itu tidak
berhubungan dengan peningkatan afek positif tetapi terkait dengan penurunan
afek negatif. Dengan kata lain, individu yang mensyukuri hidupnya akan
cenderung memiliki kepuasan hidup yang tinggi meskipun ia tengah mengalami
peristiwa yang tidak menyenangkan. Kebersyukuran membantu individu dalam
penelitian ini remaja, untuk dapat menurunkan efek dari peristiwa tidak
menyenangkan dan tetap memiliki kepuasan hidup yang tinggi.
Peterson dan Seligman (2004) mengatakan bahwa individu yang bersyukur
adalah individu yang menerima sebuah karunia dan sebuah penghargaan, dan
mengenali nilai dari karunia tersebut. Orang yang bersyukur mampu
mengidentifikasikan diri mereka sebagai seorang yang sadar dan berterima kasih
atas anugerah Tuhan, pemberian orang lain, dan menyediakan waktu untuk
mengekspresikan rasa terima kasih mereka (Arbiyah dkk, 2008).
Penelitian Peterson dan Seligman (2004) pun senada dengan hasil-hasil
penelitian terdahulu (misalnya, Lazarus & Lazarus 1994; Mayer, Salovey,
Gomberg Kaufman, & Blainey, 1991; Ortony, Clore, dan Collins, 1986; Weiner,
1985). Penelitian terdahulu telah mencatat bahwa syukur biasanya memiliki
valensi emosional yang positif. Penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa
33
rasa syukur adalah mendatangkan perasaan yang cukup menyenangkan dan
mengaktifkan emosi. Penelitian telah menunjukkan bahwa rasa syukur adalah
tahap menyenangkan dan dihubungkan dengan emosi positif termasuk kepuasan
(Walker & Pitts, 1998), kebahagiaan, kebanggaan, dan harapan (Overwalle,
Mervielde, & De Schuyter, 1995).
Kondisi keluarga yang tidak utuh, tekanan dari lingkungan serta kurangnya
perhatian dari orang tua yang bercerai dapat membuat remaja merasa kurang
memiliki kepuasan hidup. Namun, tidak sedikit remaja yang dapat memahami
keadaan keluarganya dan menerimanya dengan baik. Kemampuan remaja dengan
orang tua yang bercerai dalam menerima setiap kondisi hidup yang dijalaninya
dapat memberi efek positif dalam memandang hidup yang dijalani. Kemampuan
ini dapat membuatnya memiliki kebersyukuran. Kebersyukuran dapat dilihat
berdasarkan perilaku yang mencerminkan syukur dengan hati, lisan, dan
perbuatan. Dengan memiliki kebersyukuran dalam menerima dan menjalani
hidupnya, remaja dapat memiliki subjective well being.
Namun, bila remaja tersebut tidak mampu menerima kondisi perceraian
orang tuanya, menyebabkan remaja menyalahkan diri dan lingkungan dan
membuatnya tidak dapat mencapai kebersyukuran. Sehingga, subjective well
being kurang dapat tercapai. Hal ini berpengaruh pada perilakunya yang kurang
bersyukur dan cenderung merasa kurang puas dengan menyalahkan diri dan orang
tua serta lingkungannya dan dapat berpengaruh negatif secara lebih luas dalam
tindakan, serta sikapnya dalam menjalani kehidupannya.
34
E. Hipotesa
Ada hubungan positif antara kebersyukuran dengan subjective well being
pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai. Semakin tinggi kebersyukuran yang
dimiliki oleh remaja akhir yang orangtuanya bercerai, maka semakin tinggi pula
subjective well-being dan bila semakin rendah kebersyukuran yang dimiliki
remaja akhir yang orangtuanya bercerai maka semakin rendah pula subjective
well-being.
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
1. Variabel Tergantung : Subjective well-being
2. Variabel Bebas : Kebersyukuran
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Subjective Well-Being
Subjective well being adalah evaluasi individu mengenai hidupnya, seperti
kepuasan dalam hidupnya, seringnya merasakan emosi positif (contoh: sukacita,
kegembiraan, kebanggaan, kasih sayang, kebahagiaan, rasa nyaman, keriangan,
kepuasan hati, kepercayaan, perhatian, dan harapan), dan relative tidak adanya
emosi negatif (contoh: rasa bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, khawatir,
marah, stres, depresi, iri, takut, cemburu, kebencian, dan self-blame). Subjective
well-being diukur dengan menggunakan skala yang mempertimbangkan aspek-
aspek dari subjective well-being, yaitu kepuasan hidup dan afek positif maupun
aspek negatif. Semakin tinggi skor yang dicapai maka subjek merasa dirinya
bahagia.
2. Kebersyukuran
Syukur adalah ungkapan terima kasih individu kepada orang lain, alam
semesta atau kepada Tuhan atas pertolongan maupun pemberian yang didapat.
Kebersyukuran diketahui dari skor yang dicapai subjek melalui skala
35
36
kebersyukuran dengan melihat aspek-aspek dari kebersyukuran, antara lain syukur
dengan hati, yakni meyakini segala hal yang didapat merupakan karunia dari
Tuhan; syukur dengan lisan, seperti memuji Tuhan yang telah memberikan
nikmat; dan syukur dengan perbuatan, yakni menggunakan nikmat yang telah
diberikan Tuhan bisa dengan bersedekah kepada orang lain. Semakin tinggi total
skor yang dicapai maka semakin tinggi kebersyukuran.
C. Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan subjek remaja akhir usia 18-24 tahun yang
orangtuanya bercerai Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling
dan snowball sampling. Purposive sampling adalah pemilihan kelompok
subjeknya didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya (Hadi, 2000). Sedangkan snowball sampling adalah teknik penentuan
sampling yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar (Sugiyono,
2008). Sampel remaja akhir yang orangtuanya bercerai ini didasarkan pada tujuan
dari penelitian ini sendiri yang ingin mengungkap kebersyukuran dan subjective
well-being remaja akhir yang orangtuanya bercerai.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode skala yang
dibuat oleh Zulaikha (2013) yang telah disesuaikan untuk mengungkap kedua
variabel yang ada, yaitu variabel subjective well-being dan variabel
kebersyukuran. Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala subjective well-
being dan skala kebersyukuran.
1. Skala Subjective Well-Being
37
Skala subjective well-being berisi tiga aspek utama, yaitu:
a. Kepuasan hidup, seperti: kepuasan saat ini, kepuasan dengan masa lalu, dan
kepuasan dengan masa depan.
b. Afek positif, seperti: sukacita, kegembiraan, kebanggaan, kasih sayang,
kebahagiaan, rasa nyaman, keriangan, kepuasan hati, kepercayaan, perhatian, dan
harapan.
c. Afek negatif, seperti: rasa bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, khawatir,
marah, stres, depresi, iri, takut, cemburu, kebencian, dan self-blame.
Penyebaran aitem yang digunakan dalam skala subjective well-being ini disajikan
dalam Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1Distribusi Aitem Skala Subjective Well-Being
AspekButir favorable
JumlahNomor Butir
1 Kepuasan Hidup 1, 2, 3, 4, 5, 14, 15, 16, 17, 27, 28, 29, 30
13
2 Afek Positif 6, 7, 8, 9, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 34 123 Afek Negatif 10, 11, 12, 13, 22, 23, 24, 25, 26, 35,
36, 37, 38, 39, 40, 41, 4217
Total 42
Untuk skala subjective well-being, hanya ada pernyataan favorable.
Pernyataan favorable artinya pernyataan yang mendukung aspek yang akan
dinilai. Skala ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS),
Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan
favorable diberi skor 4 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), 3 untuk jawaban
Sesuai (S), 2 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk jawaban Sangat
Tidak Sesuai (STS).
38
2. Skala Kebersyukuran
Skala kebersyukuran memuat tiga komponen, antara lain:
a. Syukur dengan hati, seperti: menghindari perilaku buruk yang dibenci manusia
dan Tuhan (contoh: kikir, pamer, fasik, mungkar, keji, dendam, sombong, takabur,
munafik), dimana pun dan dalam situasi apapun selalu ingat kepada-Nya,
berusaha meraih kebahagiaan di akhirat.
b. Syukur dengan lisan, seperti: membiasakan diri membaca kitab suci,
menyebarkan dan mengajarkan ilmu yang dimiliki, selalu mengucapkan puji-
pujian kepada Tuhan, senantiasa berdoa kepada Tuhan.
c. Syukur dengan perbuatan, seperti: menjalankan apa-apa yang diperintahkan
Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, belajar dan mengamalkan ilmu yang telah
didapat, tolong-menolong sesama manusia.
Penyebaran aitem yang digunakan dalam skala kebersyukuran ini disajikan dalam
tabel berikut ini:
Tabel 2Distribusi Aitem Skala Kebersyukuran
AspekButir favorable Butir unfavorable
JumlahNomor Butir Nomor Butir
1 Syukur dengan hati
1, 2, 3, 22, 23, 24,38 12, 13, 14, 31, 39, 40
13
2 Syukur dengan lisan
4, 5, 6, 7, 25, 26, 27 15, 16, 17, 18, 32, 33, 34
14
3 Syukur dengan perbuatan
8, 9, 10, 11, 28, 29, 30, 42
19, 20, 21, 35, 36, 37,41
15
Total 42
39
Skala ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS),
Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan
favorable diberi skor 4 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), 3 untuk jawaban
Sesuai (S), 2 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk jawaban Sangat
Tidak Sesuai (STS). Sebaliknya, pernyataan unfavorable diberi skor 1 untuk
jawaban Sangat Sesuai (SS), 2 untuk jawaban Sesuai (S), 3 untuk jawaban Tidak
Sesuai (TS), dan 4 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS).
E. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data dengan menggunakan
analisis statistik. Adapun teknik statistik yang digunakan adalah dengan korelasi
product moment dari Pearson dengan bantuan program SPSS 16.0. Teknik ini
digunakan untuk menguji apakah ada korelasi positif antara kebersyukuran dan
subjective well-being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai.
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Uji Validitas
Validitas, dalam pengertiannya yang paling umum, adalah ketepatan dan
kecermatan skala dalam menjalankan fungsinya. Validitas adalah karakteristik
utama yang harus dimiliki oleh setiap skala. Apakah suatu skala berguna atau
tidak sangat ditentukan oleh validitasnya (Azwar, 2006).
40
Dalam penelitian ini pengujian validitas dilakukan dengan cara menguji
konsistensi internal dengan cara melihat korelasi aitem dan total. Perhitungan
dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan
hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran yang
tidak reliable akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena
perbedaan skor yang terjadi di antara individu lebih ditentukan oleh faktor eror
(kesalahan) daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Pengukuran yang
tidak reliabel tentu tidak akan konsisten pula dari waktu ke waktu (Azwar, 2006).
41
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di provinsi D.I Yogyakarta dan Solo. Dalam
proses pengumpulan data tempat pelaksanaan bersifat fleksibel yaitu, disesuaikan
dengan kesepakatan subjek. Ada pun penulis memilih subjek remaja akhir yang
orangtuanya bercerai karena penelitian-penelitian sebelumnya hanya membahas
dampak psikis anak dan remaja yang memiliki orangtua yang bercerai. Sedangkan
dampak psikis yang terjadi pada remaja akhir jarang sekali dibahas. Padahal pada
masa remaja akhir, remaja lebih sering menonjolkan minat karir, pacaran, dan
eksplorasi identitas (Santrock, 2007). Sehingga pengabaian dampak psikis yang
terjadi pada remaja akhir bisa saja berakibat pada interaksinya dengan lingkungan.
Proses pengambilan data penelitian ini dilakukan dengan menetapkan
populasi penelitian terlebih dahulu, yaitu remaja akhir (laki-laki maupun
perempuan) yang orangtuanya bercerai, beragama Islam. Sedangkan sampel
42
penelitian ini adalah remaja akhir laki-laki maupun perempuan berusia 18-24
tahun, dan memiliki orangtua yang telah bercerai.
2. Persiapan penelitian
a. Persiapan administrasi
Pengambilan data dalam penelitian ini tidak menggunakan sistem perijinan
formal. Hal ini dikarenakan penelitian ini tidak melibatkan suatu institusi tertentu.
Peneliti melakukan perijinan dengan cara meminta responden mengisi lembar
persetujuan penelitian. Lembar persetujuan penelitian ini diberikan kepada subjek
sebelum subjek mengisi skala.
b. Persiapan Alat Ukur
Persiapan alat ukur adalah penyusunan alat ukur yang akan digunakan dalam
pengambilan data penelitian. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari dua buah skala. Skala yang pertama adalah skala subjective well-being,
sedangkan skala kedua adalah skala kebersyukuran. Penyusunan skala
kebersyukuran dan subjective well-being pada penelitian ini diawali dengan
mengidentifikasi tujuan pengukuran dan operasionalisasi dari konsep masing-
masing variabel. Skala subjetive well-being pada penelitian ini berisi tiga aspek
utama, yaitu: kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif. Skala subjective well-
being diadaptasi dari skala subjective well-being dari Zulaikhah (2013), dengan
jumlah item 42 pernyataan yang semuanya merupakan aitem favorable. Setiap
aitem memliki empat pilihan jawaban, dengan rentang skor 1 hingga 4.
Skala kebersyukuran dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang
dikemukakan oleh El-Bantanie (2009), yaitu: syukur dengan hati, lisan, dan
43
perbuatan. Berdasarkan ketiga aspek tersebut, kemudian dibuat pernyataan
sebanyak 42 item, yaitu 21 aitem favorable dan 21 aitem unfavorable.
Peneliti menggunakan skala terpakai (try-out terpakai) sehingga
menggunakan satu kali penyebaran skala. Peneliti tidak melakukan alat ukur (try-
out) akan tetapi peneliti meminta professional judgement untuk memastikan
bahwa aitem sudah sesuai dengan blue-print dan indikator perilaku yang hendak
diungkap, ditulis berdasarkan kaidah penulisan yang benar dan tidak mengandung
social desirability yang tinggi. Alasan peneliti tidak menggunakan try-out akan
tetapi menggunakan try-out terpakai adalah karena sedikitnya jumlah sampel
subjek yang akan dilakukan penelitian.
Uji coba kedua skala tersebut dilakukan di D.I Yogyakarta dan Solo pada
tanggal 9-11 Mei 2014. Subjek yang mengisi kedua skala ini memiliki rentang
usianya 18-24 tahun. Subjek yang dibagikan skala pada uji coba ini sebanyak 43
orang, 35 orang dengan jenis kelamin perempuan dan 8 orang yang berjenis
kelamin laki-laki. Semua skala dapat dianalisis dengan baik karena semua item
terisi sempurna.
c. Hasil Alat Ukur
Berdasarkan data yang diperoleh melalui tahap uji coba alat ukur,
selanjutnya dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas dari skala dengan
menggunakan program statistik yaitu SPSS 20,0 for windows. Dari pelaksanaan
uji coba tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Uji Validitas dan Seleksi Aitem
44
Alat ukur yang diujicobakan dalam penelitian adalah skala subjective well-
being dan skala kebersyukuran. Pengujian terhadap alat ukur bertujuan untuk
melakukan seleksi dan memilih aitem yang berkualitas sehingga dapat dipakai
sebagai alat ukur yang valid dan reliable pada penelitian sesungguhnya.
Pengolahan data untuk uji coba validitas alat ukur dilakukan dengan
bantuan software SPSS versi 20.0 for windows. Aitem-aitem yang sahih yaitu
aitem-aitem yang mempunyai daya diskriminasi di atas 0,25. Aitem-aitem yang
yang mempunyai daya diskriminasi dibawah 0,25 dianggap gugur dan tidak
dipakai dalam penelitian.
a. Skala Subjective Well-Being
Skala subjective well-being terdiri dari 42 aitem. Setelah dianalisis,
diketahui bahwa skala subjective well-being menunjukkan koefisien korelasi
aitem bergerak antara 0,124 sampai dengan 0,708. Aitem yang memiliki korelasi
aitem total dibawah 0,25 digugurkan. Aitem yang gugur berjumlah 5 aitem yaitu
nomor 12, 18, 25, 33, 40. Aitem yang sahih berjumlah 37 dengan koefisien
korelasi bergerak dari 0,276 hingga 0,712. Rincian dan sebaran aitem-aitem sahih
dan gugur setelah uji coba dapat dilihat pada tabel 3:
Tabel 3Distribusi Aitem Skala Subjective Well-Being Setelah Uji coba
AspekButir favorable
JumlahNomor Butir
1 Kepuasan Hidup 1, 2, 3, 4, 5, 14, 15, 16, 17, 27, 28, 29, 30
13
2 Afek Positif 6, 7, 8, 9, (18), 19, 20, 21, 31, 32, (33), 34
10
3 Afek Negatif 10, 11, (12), 13, 22, 23, 24, (25), 26, 35, 36, 37, 38, 39, (40), 41, 42
14
Total 37Keterangan : Angka yang di dalam kurung adalah nomor
45
aitem yang gugur
b. Skala Kebersyukuran
Skala kebersyukuran terdiri dari 42 aitem. Setelah dianalisis, diketahui
bahwa skala kebersyukuran menunjukkan koefisien korelasi aitem bergerak antara
-0,016 sampai dengan 0,663. Aitem yang memiliki korelasi aitem total dibawah
0,25 digugurkan. Aitem yang gugur berjumlah 10 aitem yaitu nomor 8, 12, 13, 14,
15, 18, 20, 21, 37, 40. Aitem yang sahih berjumlah 32 dengan koefisien korelasi
bergerak dari 0,252 hingga 0,692. Rincian dan sebaran aitem-aitem sahih dan
gugur setelah uji coba dapat dilihat pada tabel 4:
Tabel 4Distribusi Aitem Skala Kebersyukuran Setelah Uji coba
AspekButir favorable Butir unfavorable
JumlahNomor Butir Nomor Butir
1 Syukur dengan hati
1, 2, 3, 22, 23, 24,38 (12), (13), (14), 31, 39, (40)
9
2 Syukur dengan lisan
4, 5, 6, 7, 25, 26, 27 (15), 16, 17, (18), 32, 33, 34
12
3 Syukur dengan perbuatan
(8), 9, 10, 11, 28, 29, 30, 42
19, (20), (21), 35, 36, (37),41
11
Total 32Keterangan : Angka yang di dalam kurung adalah nomor
aitem yang gugur
2. Realiabilitas Aitem
Uji reliabilitas terhadap kedua skala hanya dikenakan pada aitem-aitem
yang telah memenuhi skala validitas. Uji reliabilitas ini menggunakan teknik
korelasi Alpha Cronbach pada program computer SPSS 20.0 for windows.
Koefisien Alpha Cronbach ditentukan peneliti minimal mencapai 0,8 sebagai
dasar pertimbangan bahwa skala tersebut reliable (Azwar, 2007).
46
Hasil uji coba reliabilitas skala subjective well being menunjukkan bahwa
bahwa korelasinya sebesar 0,932. Hal tersebut menunjukkan tingkat konsistensi
sebesar 93,2% yang artinya skala ini dapat dikatakan reliabel. Sedangkan, skala
kebersyukuran memiliki koefisien korelasi sebesar 0,910. Hal tersebut
menunjukkan tingkat konsistensi sebesar 91,0% yang artinya skala ini pun dapat
dikatakan reliabel. Sehingga dapat dikatakan dari hasil tersebut dapat dikatakan
bahwa kedua skala memenuhi syarat untuk digunakan sebagai alat ukur dalam
pengambilan data penelitian.
B. Laporan Pelaksanaan Penelitian
Proses pengambilan data pada penelitian ini berlangsung selama kurang
lebih satu bulan setengah, yaitu mulai tanggal 27 Maret 2014 sampai 10 Mei
2014. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 43 subjek.
Pengambilan data ini dilakukan dengan memberikan skala kepada remaja akhir
yang orangtuanya telah bercerai. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan sendiri oleh
penulis dan dibantu teman-teman penulis yang memiliki kenalan yang sesuai
dengan kriteria untuk menjadi subjek.
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang orangtuanya bercerai
yang berdomisili di D.I Yogyakarta dan Solo. Berikut adalah gambaran umum
47
mengenai subjek penelitian berdasarkan data-data yang diperoleh dari skala yang
disebarkan.
Tabel 5
Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia
Deskripsi Jumlah Presentase
Usia :
18-20 tahun 15
34.9%
21-22 tahun 18 41,9%
23-24 tahun 10 23,2%
Total 43 100%
Tabel 6Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Deskripsi Jumlah Presentase
Jenis Kelamin :
Laki-laki 8
18,6%
Perempuan 35 81,4%
Total 43 100%
Tabel 7Deskripsi Subjek Berdasarkan Pekerjaan
Deskripsi Jumlah Presentase
Pekerjaan:
Mahasiswa 24
55,9%
48
Pelajar 4 9,3%
Wiraswasta 5 11,6%
Lain-lain 10 23,2%
Total 43 100%
2. Deskripsi Data Penelitian
Berdasarkan analisis data yang ada, maka diperoleh gambaran atau deskripsi
data penelitian yang berisi fungsi-fungsi dasar statistik. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 8 dibawah ini:
Tabel 8Deskripsi Data Penelitian
Variabel Skor Hipotetik Skor Empirik
Max Min Mean SD Max Min Mean SDSubjective Well-
Being148 37 93 18,5 128 63 104.67 14.8
Kebersyukuran 128 32 80 16 125 77 93.88 10.1
Deskripsi data penelitian digunakan untuk mengetahui kriteria kategorisasi
kelompok subjek pada variabel-variabel yang diteliti. Kategorisasi ini
dimaksudkan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang
terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur,
dimana kontinum jenjang ini dari rendah ke tinggi (Azwar, 2010). Dalam hal ini
penulis menggunakan rumus kategorisasi yang dibuat oleh Azwar (2010) dimana
terdapat lima kategori yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat
49
tinggi. Kategori ini berdasarkan pada sebaran empirik yaitu nilai maksimal
dikurangi nilai minimal, sehingga diperoleh perkiraan besarnya standar hipotetik
skor empiris yang terdapat pada suatu deviasi standar di atas mean hipotetik
dikategorikan tinggi, sementara untuk satu deviasi standar di bawah mean empirik
dikategorikan rendah.
Tabel 9Kriteria Kategorisasi Skala
Kategori Rumus Norma
Sangat Rendah x < (µ - 1,8 σ)
Rendah (µ - 1,8σ) < x ≤ (µ - 0,6 σ)
Sedang (µ - 0,6 σ) < x ≤ (µ + 0,6 σ)
Tinggi (µ + 0,6 σ) < x ≤ (µ + 1,8 σ)
Sangat Tinggi x > (µ + 1,8 σ)
Keterangan: µ: Mean Hipotetik σ: Standar Deviasi
a. Skala Subjective Well-Being
Kategorisasi variabel subjective well-being dapat diperoleh berdasarkan skor
total subjek pada skala subjective well-being. Skala ini terdiri dari 37 aitem,
dengan skor minimal 1 dan skor maksimalnya 4. Rentang skor minimum 37 dan
maksimumnya 148. Standar deviasinya adalah 18,5 sedangkan meannya adalah
93. Berdasarkan data tersebut dapat ditentukan kategorisasi untuk variabel
subjective well-being adalah sebagai berikut:
50
Tabel 10Kriteria Kategorisasi Subjective Well-Being
Skor Kategori Frekuensi Persentase
x < 59,7 Sangat Rendah 0 0%
59,7 < x ≤ 81,9 Rendah 3 7%
81,9 < x ≤ 104,1 Sedang 14 32,5%
104,1 < x ≤ 126,3 Tinggi 25 58,1%
x > 126,3 Sangat Tinggi 1 2,3%
Jumlah 43 100%
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitian
memiliki subjective well-being dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar subjek memiliki subjective well-being pada tingkat tinggi.
b. Skala Kebersyukuran
Kategorisasi variabel spiritualitas dapat diperoleh berdasarkan skor total
subjek pada skala spiritualitas. Skala ini terdiri dari 32 aitem, dengan skor
minimal 1 dan skor maksimalnya 4. Rentang skor minimum 32 dan
maksimumnya 128. Standar deviasinya adalah 16 sedangkan meannya adalah 80.
51
Berdasarkan data tersebut dapat ditentukan kategorisasi untuk variabel
spiritualitas adalah sebagai berikut :
Tabel 11Kriteria Kategorisasi Kebersyukuran
Skor Kategori Frekuensi Persentase
x < 51,2 Sangat Rendah 0 0%
51,2 < x ≤ 70,4 Rendah 0 0%
70,4 < x ≤ 89,6 Sedang 14 32,5%
89,6 < x ≤ 108,8 Tinggi 27 62,8%
x > 108,8 Sangat Tinggi 2 4,6%
Jumlah 43 100%
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitian
memiliki subjective well being dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar subjek memiliki spiritualitas pada tingkat tinggi.
3. Uji Asumsi
Uji asumsi merupakan proses awal sebelum dilakukan uji hipotesis, meliputi
uji normalitas dan linieritas terhadap sebaran data penelitian yang ada. Pengujian
asumsi ini dilakukan dengan bantuan program SPSS 20.0 for windows.
52
a. Uji normalitas
Uji asumsi normalitas dilakukan untuk mengetahui penyebaran data
penelitian yang terdistribusi secara normal dalam sebuah populasi. Dalam
penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan tes of normality One
Sample Kolmogorof-Smirnov Test yang berfungsi untuk menguji apakah suatu
sampel berasal dari populasi dengan distribusi tertentu, terutama distribusi normal
(Azwar, 2010). Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal tidaknya
sebaran data adalah jika p>0,05 maka sebaran dinyatakan normal, namun jika
p<0,05 maka sebaran dinyatakan tidak normal. Hasil Uji Normalitas dapat dilihat
dalam tabel berikut:
Tabel 12Sebaran Uji NormalitasVariabel KS-Z p Normalitas
Subjective Well Being 0,744 0,638 Normal
Kebersyukuran 0,504 0,962 Normal
Hasil uji normalitas data penelitian ini menunjukkan sebaran normal pada
skala subjective well being dengan koefisien KS-Z = 0,744 dan p = 0,638 (p >
0,05). Sedangkan pada skala kebersyukuran, koefisien KS-Z = 0, 504 dan p =
0,962 (p > 0,05). Kesimpulan dari uji asumsi normalitas, baik skala subjective
well being maupun skala kebersyukuran, keduanya memenuhi distribusi normal.
b. Uji Linieritas
Uji linieritas ini digunakan untuk melihat adanya hubungan yang linier
antara kedua variabel dalam penelitian. Hubungan antara kedua variabel dikatakan
53
linier bila p < 0,05 dan dikatakan tidak linier bila p > 0,05. Uji linearitas ini
dianalisis dengan menggunakan program SPSS 20.0 for windows. Berikut adalah
hasil uji linearitas hubungan:
Tabel 13Uji Linearitas Hubungan
Variabel F p
Subjective well being dengan kebersyukuran
6, 553 0,02
Hasil uji linieritas menunjukkan F = 6,553 dan p = 0,02 dengan syarat p <
0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hubungan subjective well being dan
kebersyukuran bersifat linier.
c. Uji hipotesis
Berdasarkan hasil uji asumsi yang telah dilakukan terhadap variabel
subjective well being dan kebersyukuran, kedua variabel tersebut memenuhi uji
normalitas dan uji linieritas, maka untuk selanjutnya dilakukan analisis data untuk
menguji hipotesis apakah ada hubungan antara kebersyukuran dengan subjective
well being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai.
Uji hipotesis ini menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson.
Adapun hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah ada hubungan positif
antara kebersyukuran dan subjective well being pada remaja akhir yang
orangtuanya bercerai. Hasil analisa data penelitian ini menunjukkan bahwa ada
54
hubungan positif antara kebersyukuran dan subjective well being pada remaja
akhir yang orangtuanya bercerai, dengan korelasi r = 0,279 dan p = 0,035 (p <
0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis pada penelitian ini tidak
diterima. Analisis koefisien determinasi (r2) variabel kebersyukuran dengan
subjective well being sebesar 0,078. Artinya kebersyukuran hanya memberikan
sumbangan sebesar 7,8% terhadap tingkat subjective well being pada remaja akhir
yang orangtuanya bercerai. Berikut ini tabel hasil analisis data statistik uji
hipotesis penelitian:
Tabel 14 Hasil Analisis Koefisien Determinasi (r2)
Variabel r r2 p
Kebersyukuran dengan subjective
well being0.279 0.078 0.035
4. Pembahasan
Hasil penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan adanya hubungan positif
antara kebersyukuran dan subjective well being. Hasil statistik menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebersyukuran dan subjective well
being. Hal ini terlihat dari nilai pengaruh kebersyukuran terhadap subjective well
being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai. Hasil analisis data statistik
kedua variabel pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara variabel kebersyukuran dengan subjective well-being, dengan
korelasi r = 0,279 dan p = 0,035 (p< 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa
55
hipotesis penelitian ini diterima, yaitu ada hubungan positif yang signifikan antara
variabel kebersyukuran dan subjective well being. Artinya semakin tinggi
kebersyukuran maka semakin tinggi subjective well being.
Kebersyukuran berpengaruh 7,8% pada subjective well being. Dengan kata
lain, 92,2% subjective well being dipengaruhi faktor lain. Menurut Eddington dan
Shuman (2008), salah satu faktor subjective well-being adalah agama. Sebagian
besar penelitian yang didasarkan pada sampel nasional, menunjukkan bahwa
subjective well being berkorelasi secara signifikan (meskipun efek ukuran tidak
besar) dengan kepastian agama (Ellison, 1991), kekuatan seseorang hubungan
dengan Tuhan (Pollner, 1989), prayer experiences (Poloma & Pendleton, 1991),
kebaktian dan aspek partisipatif religiusitas (Ellison, Gay, & Glass, 1989), bahkan
setelah mengendalikan usia, pendapatan dan perkawinan status. Stone dan Neale
(Zulaikhah, 2013), menjelaskan bahwa agama dapat menjadi koping individu
dalam menghadapi masalah atau tekanan hidup, yaitu dengan berserah diri dan
mencari pertolongan Tuhan. Penerimaan terhadap permasalahan ataupun tekanan
dalam hidup akan menimbulkan perasaan cukup pada diri individu.
Agama sendiri tentunya tidak dapat terlepas dari berbagai ajarannya, salah
satunya kebersyukuran. Teori perkembangan dari Klein (Froh dkk, 2008)
56
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif antara
kebersyukuran dengan subjective well-being pada remaja akhir yang orangtuanya
bercerai. Hal ini berarti semakin tinggi kebersyukuran, tidak menyebabkan
subjective well-being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai semakin
tinggi, sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini tidak diterima.
B. Saran
57
1. Bagi subjek penelitian
Dengan melihat hasil penelitian yang telah dilakukan, para remaja
akhir diharapkan dapat lebih giat belajar mengenai ajaran agama Islam,
meningkatkan keyakinan dalam beragama, serta mengamalkan ajaran-ajaran
agama Islam, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika menghadapi ujian hidup, seperti perceraian yang terjadi pada
orangtua, hendaknya remaja akhir sebagai anak, lebih berusaha untuk ikhlas
dalam menjalani ujian hidup yang tidak dapat diubah. Remaja juga
sebaiknya lebih fokus pada hal-hal yang masih dapat diikhtiarkan, seperti
prestasi. Sehingga remaja akhir, sebagai anak, dapat lebih bersyukur atas
keadaan hidupnya dan dapat memiliki kepuasan hidup atau subjective well
being yang lebih tinggi.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian dengan
subjek yang lebih bervariasi, serta melihat tinjauan faktor-faktor lain yang
secara signifikan dapat mempengaruhi variabel subjective well-being.
Diharapkan juga bagi peneliti selanjutnya, agar dapat menggunakan metode
penelitian lain dalam mengungkap topik subjective well-being, misalkan
dengan metode kualitatif agar dapat mendeskripsikan topik subjective well-
being secara lebih mendalam, atau metode eksperimen untuk meningkatkan
kualitas subjective well-being individu. Peneliti selanjutnya juga disarankan
untuk lebih mengkaji teori-teori khususnya teori yang terbaru untuk
56
58
digunakan sebagai acuan dalam penelitian. Di samping itu peneliti
selanjutnya juga diharapkan lebih memodifikasi aitem-aitem serta lebih
ketat dalam pengawasan terhadap subjek ketika mengisi skala penelitian.
3. Persiapan penelitian
d. Persiapan administrasi
Pengambilan data dalam peneltian ini tidak menggunakan sistem perijinan
Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian dengan subjek
yang lebih bervariasi, serta melihat tinjauan faktor-faktor lain yang secara
signifikan dapat mempengaruhi variabel subjective well-being. Diharapkan juga
bagi peneliti selanjutnya, agar dapat menggunakan metode penelitian lain dalam
mengungkap topik subjective well-being, misalkan dengan metode kualitatif agar
dapat mendeskripsikan topik subjective well-being secara lebih mendalam, atau
metode eksperimen untuk meningkatkan kualitas subjective well-being individu.
Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk lebih mengkaji teori-teori khususnya
teori yang terbaru untuk digunakan sebagai acuan dalam penelitian. Di samping
itu peneliti selanjutnya juga diharapkan lebih memodifikasi aitem-aitem serta
lebih ketat dalam pengawasan terhadap subjek ketika mengisi skala penelitian.