hubungan antara subjective well being dengan kesabaran pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai...

84
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio- emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa (Larson dkk, 2002 dalam Santrock 2007). Rentang usia remaja dapat bervariasi. Hal ini terkait dengan lingkungan, budaya, dan history . Di Amerika dan sebagian besar budaya lain, usia remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir di usia 18 hingga 22 tahun (Santrock, 2007). Penentuan usia remaja di Amerika tentunya berbeda dengan remaja di Indonesia. Usia remaja Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dimulai dari usia 14 tahun dan berakhir di usia 24 tahun (Sarwono, 2003). Para ahli membedakan masa remaja menjadi dua periode, periode awal dan periode akhir. Masa remaja awal

Upload: megan-franklin

Post on 27-Dec-2015

96 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

hjshdjsak

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak

dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif,

dan sosio-emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki

masa dewasa (Larson dkk, 2002 dalam Santrock 2007). Rentang usia remaja dapat

bervariasi. Hal ini terkait dengan lingkungan, budaya, dan history.

Di Amerika dan sebagian besar budaya lain, usia remaja dimulai sekitar usia

10 hingga 13 tahun dan berakhir di usia 18 hingga 22 tahun (Santrock, 2007).

Penentuan usia remaja di Amerika tentunya berbeda dengan remaja di Indonesia.

Usia remaja Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dimulai dari usia 14

tahun dan berakhir di usia 24 tahun (Sarwono, 2003).

Para ahli membedakan masa remaja menjadi dua periode, periode awal dan

periode akhir. Masa remaja awal berlangsung di masa sekolah menengah pertama

atau sekolah menengah akhir. Sedangkan masa remaja akhir, berlangsung kurang

lebih pada dasawarsa yang kedua kehidupan. Pada masa remaja akhir, remaja

lebih sering menonjolkan minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas (Santrock,

2007).

Remaja tentunya membutuhkan dukungan dari lingkungan untuk dapat

melakukan minatnya, khususnya dukungan keluarga sebagai lingkungan terdekat

untuk membesarkan dan mendidik individu. Setiap individu tentunya

1

Page 2: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

2

menginginkan dirinya dibesarkan di dalam keluarga yang harmonis, memberikan

rasa aman, nyaman dan saling menyayangi antar anggota keluarga. Sayangnya,

tidak semua remaja memperoleh kesempatan untuk dibesarkan di dalam keluarga

yang harmonis. Misalnya ketika satu keluarga harus berpisah karena orangtuanya

memutuskan untuk bercerai.

Ketika orangtua bercerai, keluarga menjadi tidak utuh dan dinilai tidak

ideal. Hal ini dikarenakan, orangtua yang menjalani perceraian sering

menunjukkan labilitas emosional yang ditandai dengan euforia dan optimisme

bergantian dengan kemarahan, kecemasan, kesepian, kesedihan, depresi bahkan

memiliki keinginan bunuh diri. Orangtua yang bercerai juga mengalami

perubahan terkait dalam konsep diri dan harga diri. (Tennant, 2002). Hal ini tentu

saja berefek langsung maupun tidak langsung terhadap anak termasuk anak dalam

usia remaja. Usia remaja merupakan usia yang paling rentan terhadap perceraian

orangtua, biasanya dari segi psikis, seperti malu, sensitif, rendah diri, bahkan

menarik diri dari lingkungan (Endang dalam Aminah dkk, 2010).

Hal senada juga diungkapkan oleh penelitian-penelitian lain, baik penelitian

terdahulu maupun terbaru. Menurut Harsanti dan Verasari (2013), perceraian juga

menimbulkan anak–anak tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih

sayang dari orang tuanya. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma

untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Adapun menurut Wildaniah

(2007) perceraian dapat menjadikan anak mempunyai resiko yang tinggi untuk

menjadi nakal dengan tindakan-tindakan anti sosial.

Page 3: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

3

Selain itu, penelitian-penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa

perceraian yang terjadi pada orangtua dalam jangka pendek berhubungan dengan

kemalangan yang cenderung terjadi pada anak jika dibandingkan dengan anak

yang memiliki orangtua utuh. Kemalangan yang dimaksud adalah kemalangan

secara emosi, kesulitan dalam akademik, penyelarasan perilaku dan masalah, serta

peningkatan penggunaan narkoba (Amato & Keith, 1991; Doherty & Needle,

1991; Furstenberg, Peterson, Nord, & Zill, 1983; Hetherington, 1989 dalam

Jonsson dkk, 2000).

Rasa sedih yang mendalam juga tentunya dialami remaja ketika mengetahui

orangtuanya bercerai. Penelitian dalam artikel yang penulis unduh menemukan

bahwa 23 persen remaja yang ditinggal cerai orang tuanya saat usianya masih

belum mencapai 5 tahun mengalami kesedihan yang mendalam. Akibatnya,

mereka punya risiko dihinggapi masalah kesehatan 50 persen lebih besar

ketimbang remaja lain yang usianya lebih tua. Penelitian ini juga menemukan

bahwa anak laki-laki lebih dapat mengatasi masalah yang terjadi akibat

perpisahan orangtuanya daripada anak perempuan. Irunna Culpin (2013)

menyebutkan anak perempuan di bawah lima tahun yang berpisah dari ayahnya

karena perceraian, sangat berisiko mengalami masalah kesehatan mental.

(tempo.co diunduh pada 27 Januari 2014).

Perceraian selain berdampak jangka pendek yang menyebabkan perasaan

sedih dan marah pada anak, juga dapat berdampak panjang. Seperti melampiaskan

perasaan sedih dan marah dengan melakukan hal negatif. Penelitian yang di

lakukan oleh University of Toronto pada 19.000 subjek menemukan bahwa anak

Page 4: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

4

lelaki yang orangtuanya bercerai sebelum ia berusia 18 tahun memiliki 48% lebih

tinggi untuk mengarah pada aktivitas merokok dibandingkan dengan anak laki-

laki yang orangtuanya tidak bercerai. Sedangkan anak perempuan memiliki

kecenderungan 39% lebih tinggi. (okezone.com diunduh pada 27 Januari 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk (2005) tentang konsekuensi

perceraian orangtua terhadap hidup anak-anak Kanada yang dilakukan pada

10.749 responden berusia 15 tahun ke atas. Berdasarkan penelitian ini, diperoleh

hasil bahwa anak-anak yang orangtuanya telah bercerai memiliki kecenderungan

yang besar untuk hamil di luar nikah, menjalankan kohabitasi, atau mengalami

perceraian setelah menikah. Aktivitas seksual dini dan kelahiran pranikah bisa

dianggap sebagai tindakan memberontak anak yang diakibatkan oleh

ketidaksenangannya pada perceraian yang terjadi pada orangtua (Cherlin dkk,

1995).

Kebanyakan anak yang orangtuanya bercerai akan tinggal bersama ibunya.

Sedangkan ibu yang bercerai akan berpengaruh kuat dengan pengalaman seksual

pranikah yang terjadi pada keturunan mereka (Axinn & Thornton, 1996). Hal ini

dapat berefek pada anaknya baik dalam pernikahan, perilaku kohabitasi, kelahiran

di usia dini maupun kelahiran pranikah. Baik penelitian terdahulu maupun

penelitian terbaru banyak yang mendukung temuan tersebut. Gadis yang

mengalami perceraian orang tua memiliki kecenderungan untuk melahirkan

sebelum usia 20, terlepas dari situasi perkawinan mereka (Le Bourdais & Marcil –

Gratton, 1998). Cherlin dkk (1995 dalam Martin dkk, 2005) menemukan bahwa

Page 5: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

5

anak-anak di Inggris yang orangtuanya bercerai cenderung untuk berkohabitasi

dibandingkan anak-anak yang orangtuanya utuh

Penelitian lain yang dilakukan oleh Le Bourdais dan Marcil – Gratton

menemukan hasil yang serupa. Le Bourdais dan Marcil - Gratton (1998)

menemukan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai di Kanada dua kali lebih

mungkin mengalami kohabitasi sebelum usia 25 tapi cenderung kurang berminat

untuk menikah di masa muda mereka jika dibandingkan dengan anak yang berasal

dari keluarga yang orangtuanya tidak bercerai. Remaja menilai kohabitasi sebagai

alternatif yang dapat mereka lakukan daripada harus menikah dan mengalami

perceraian seperti orangtuanya. Mills dan Blossfeld (2005) menyatakan bahwa

kohabitasi dianggap sebagai jawaban “rasional” dari keraguan para remaja atas

hubungan seperti pernikahan. Beberapa pasangan menganggap bahwa kohabitasi

merupakan “uji coba” sebelum menjalankan pernikahan.

Dalam bukunya, The Adolescent: Development, Relationships, and Culture,

Phillip dan Dolgin (2008) menjabarkan bahwa anak dan remaja yang orangtuanya

bercerai akan berisiko tinggi mengalami berbagai masalah perilaku, baik saat

mereka masih kanak-kanak maupun setelah mereka dewasa. Meski perbedaannya

tidak selalu besar namun secara keseluruhan, anak yang orangtuanya bercerai

cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih buruk, terlibat dalam kenakalan

remaja, kurang dapat bergaul dengan baik dengan rekan sebaya, dan terlibat dalam

pemakaian obat-obatan terlarang (Hines, 1997; McLanahan & Sandefur, 1994).

Selain kecenderungan dalam memiliki masalah perilaku, prestasi akademik

yang buruk, dan kurang dapat bergaul dengan teman sebaya, anak yang

Page 6: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

6

orangtuanya bercerai juga memiliki risiko jangka panjang untuk berkonflik

dengan saudara kandungnya. Poortman dan Voorpostel (2009) menemukan dalam

penelitian jangka panjangnya pada dua saudara kandung yang orangtuanya

bercerai bahwa perceraian orangtuanya menyebabkan kontak antar saudara

menjadi terbatas. Perceraian orangtua juga menimbulkan risiko besar terjadinya

konflik antar saudara. Kedua hal ini menyebabkan efek tidak baik pada kualitas

hubungan persaudaraan mereka ketika telah dewasa.

Selain efek-efek yang telah peneliti jabarkan di atas, peneliti juga

mewawancarai beberapa subjek untuk mengetahui efek yang ia rasakan setelah

orangtuanya bercerai. Hasil wawancara peneliti dengan T (20 tahun) menyatakan

bahwa ia seringkali tertekan karena ia dan adik-adiknya jarang dapat akur

keluarga baru dari ayah dan ibunya. Ia juga merasa tertekan karena kerap merasa

diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya sejak mereka memiliki keluarga yang

baru. Hal ini dikarenakan ia dan adik-adiknya harus tinggal terpisah dengan

orangtuanya. Hal-hal di atas seringkali membuatnya menjadi kurang percaya diri

saat bergaul dengan teman-teman seusianya, khususnya lawan jenis. Subjek juga

kerapkali melanggar peraturan sekolah dan kampus, seperti tidak membayarkan

uang spp selama berbulan-bulan tapi justru menggunakannya untuk berbelanja

atau main dengan teman-temannya.

Sedangkan wawancara peneliti dengan N (19 tahun) menyatakan bahwa ia

seringkali tertekan karena pandangan buruk keluarga dan lingkungannya terhadap

keadaan keluarganya setelah bercerai. Ia menjadi semakin tertekan karena ia dan

adiknya dilarang untuk bertemu ibunya oleh ayahnya sendiri. Ia harus sembunyi-

Page 7: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

7

sembunyi jika ingin bertemu ibunya. Selain itu, ia dan adiknya juga kerapkali

dipukuli ayahnya tanpa alasan yang jelas. Hingga saat ini, Subjek enggan jika

harus berbicara dengan ayahnya.

Sedikit berbeda dengan dua wawancara di atas. Wawancara yang dilakukan

peneliti pada A (18) menyatakan bahwa subjek cukup tertekan dengan keadaan

orangtuanya yang sudah bercerai dan tidak akur seperti dulu. Namun, ia juga

merasa jika ia tidak dapat terus larut dalam kesedihan. Hal ini yang membuatnya

terus bersemangat dalam belajar hingga dapat masuk ke salah satu perguruan

tinggi negeri ternama di Bandung.

Amato (2000) dalam penelitiannya, The Consequencies of Divorce for Adult

and Children menyatakan bahwa perceraian dapat menyebabkan konsekuensi

yang bervariasi. Sebagian orang dapat merasakan keuntungan dari perceraian.

Sebagian orang lain dapat mengalami penurunan sementara dalam kepuasan

hidup, sedangkan sisanya bisa dapat mengalami penurunan kepuasan hidup yang

mungkin tidak pernah pulih sepenuhnya. Kepuasan hidup yang menurun pada

anak tidak dapat terlepas dari konflik yang biasanya terjadi pada kedua orangtua

baik sebelum maupun setelah perceraian. Konflik tersebut dapat berimbas pada

hubungan anak-orangtua dan mengakibatkan anak merasa kehilangan dukungan

emosi dari salah satu maupun kedua orangtuanya. Penurunan kepuasan hidup

pada anak juga dapat terjadi karena kesulitan ekonomi setelah terjadi perceraian,

dan peningkatan peristiwa negatif yang terjadi.

Keadaan keluarga yang sudah tidak utuh, kurangnya perhatian orangtua, dan

tekanan dari lingkungan sekitar membuat anak yang orangtuanya bercerai,

Page 8: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

8

kebanyakan menjadi tertekan, sedih, marah, malu, dan kecewa. Perasaan tertekan,

sedih, marah, kecewa, serta pelampiasan kemarahan dan kekecewaan remaja pada

hal-hal negatif seperti merokok atau seks dini merupakan beberapa ciri dari

rendahnya kepuasan hidup yang dimiliki remaja yang orangtuanya bercerai.

Meski demikian, seperti yang dikatakan Amato (2000), tingkat kepuasan hidup

yang dirasakan oleh setiap anak yang orangtuanya bercerai dapat berbeda satu

dengan yang lain. Kepuasan hidup dalam psikologi, seringkali disetarakan dengan

konsep subjective well being (Eryilmaz, 2011).

Subjective well being adalah evaluasi seseorang terhadap kehidupannya baik

secara kognitif maupun secara afektif (Diener, Lucas, & Oishi, 2002). Evaluasi ini

termasuk juga di dalamnya reaksi terhadap kejadian serta penilaian kognitif atas

kepuasan dan pemenuhan. Subjective well being merupakan konsep umum yang

mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat mood

negatif dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener dkk, 2002). Maka bisa

disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki subjective well being yang tinggi

adalah ia yang sering mengalami emosi yang positif, jarang mengalami emosi

yang negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.

Terdapat berbagai macam faktor pendukung kepuasan hidup atau subjective

well being, salah satunya adalah agama. Hal ini tentu saja tidak dapat terlepas dari

ajaran-ajaran yang diajarkan suatu agama. Salah satu ajaran agama yang sering

dikaitkan dengan subjective well being atau kepuasan hidup adalah

kebersyukuran. Penelitian yang dilakukan oleh Froh dkk (2009) yang dilakukan

pada 154 murid sekolah menengah pertama menemukan bahwa kebersyukuran

Page 9: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

9

berasosiasi dengan afek positif, kepuasan hidup secara global maupun kepuasan

hidup pada domain tertentu, optimisme, dukungan sosial, dan perilaku prososial.

Kebersyukuran dalam hidup, dipercaya dapat menyebabkan ketenangan dalam

berpikir, kebahagiaan, kesehatan fisik, bahkan kepuasaan dalam menjalin

hubungan antar personal (Emmons & Shelton, 2002). Kebersyukuran dalam

keadaan psikologis berarti perasaan takjub, syukur, serta apresiasi bagi kehidupan

(Emmons & Shelton, 2002).

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebersyukuran juga

dapat mempengaruhi subjective well being. Menurut peneliti, hubungan antara

kebersyukuran dengan subjective well being pada remaja akhir yang orangtuanya

bercerai menarik untuk diteliti karena subjective well being setiap remaja akhir

yang orangtuanya bercerai bisa saja berbeda meskipun orangtua mereka sama-

sama mengalami perceraian dan hal ini mungkin saja berhubungan dengan

kebersyukuran mereka. Peneliti, lewat penelitian ini ingin mengetahui apakah

kepuasan hidup remaja yang orangtuanya bercerai berhubungan dengan

kebersyukuran yang mereka miliki. Maka rumusan permasalahan yang akan

diteliti adalah “apakah ada hubungan antara kebersyukuran dengan subjective well

being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai?”

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara subjective

well-being dengan kebersyukuran pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai.

Page 10: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

10

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mengenai ilmu

psikologi pada umumnya dan disiplin ilmu psikologi perkembangan dan Psikologi

Islami pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan mampu memberikan

referensi bagi masyarakat dan pemerintah mengenai subjective well-being dan

kebersyukuran pada remaja akhir orangtuanya bercerai.

A. Keaslian Penelitian

Menurut pengamatan penulis, sudah banyak penelitian yang membahas

tentang subjective well being. Namun penelitian ini orisinil karena belum ada

penelitian yang membahas tentang hubungan subjective well being dengan

kebersyukuran pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai.

Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) dengan judul Hubungan Antara

Spiritualitas dengan Subjective well being pada penderita kanker payudara.

Penelitian ini membahas hubungan antara spiritualitas dengan subjective well

being pada penderita kanker payudara.

Penelitian selanjutnya dilakukan Eryilmaz (2011) dengan judul The

Relationship Between Adolescents Subjective Well-being and Positive

Expectations Towards Future. Penelitian ini membahas hubungan antara

subjective well being dengan ekspektasi masa depan yang potitif selama remaja.

Page 11: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

11

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Krisna (2012) dengan judul Work-life

Balance Ditinjau dari Kebersyukuran pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Wonogiri. Penelitian ini membahas hubungan work-life balance

ditinjau dari kebersyukuran yang dilakukan kepada pegawai negeri sipil dinas

kehutanan dan perkebunan Wonogiri.

Berikut beberapa keaslian data yang dapat digunakan untuk meningkatkan

orisinalitas penelitian, antara lain:

1. Keaslian Topik

Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) memiliki variable spritualitas

dan subjective well being. Penelitian yang dilakukan oleh Eryilmaz (2011)

memiliki variabel bebas subjective well being dan variable tergantung positive

expectations. Penelitian selanjutnya yang diteliti oleh Krisna (2012) meneliti

tentang work-life balance ditinjau dari kebersyukuran. Ketiga penelitian di atas

berbeda tema dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang membahas

tentang hubungan antara kebersyukuran dan subjective well-being pada remaja

akhir yang orangtuanya bercerai.

2. Keaslian Teori

Eryilmaz (2011), dalam penelitiannya Investigating Adolescents Subjective

Well-Being with Respect to Using Subjective Well-Being Increasing Strategies

and Determining Life Goals menggunakan teori dari Emmons (1986). Sedangkan

Krisna (2012) dalam penelitiannya Work-Life Balance Ditinjau dari

Kebersyukuran pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Page 12: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

12

Wonogiri menggunakan teori Watkins (2003). Peneliti menggunakan sintesa teori

dari penelitian-penelitian telah dilakukan sebelumnya.

3. Keaslian Alat Ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang telah

disesuaikan dengan topik penelitian dan kebutuhan subjek, dengan mengadaptasi

dan memodifikasi alat ukur yang telah ada sebelumnya. Alat ukur kebersyukuran

berdasarkan aspek-aspek kebersyukuran dalam Islam.

Metodologi dalam penelitian Investigating Adolescents Subjective Well-

Being with Respect to Using Subjective Well-Being Increasing Strategies and

Determining Life Goals oleh Eryilmaz (2011) menggunakan alat ukur Strategies

Scale for Adolescents (Eryilmaz, 2010), Satisfaction with Life Scale yang

dikembangkan oleh Diener dkk (1984) dan diadaptasi dari Koker (1991), dan

Likert form of Life Goals Scale for Adolescents (Eryilmaz, 2010).

Metodologi yang dilakukan dalam penelitian Work-life balance ditinjau dari

kebersyukuran pada pegawai negeri sipil dinas kehutanan dan perkebunan

wonogiri oleh Krisna (2012) menggunakan alat ukur Watkins diadaptasi.

4. Keaslian Subjek Penelitian

Penelitian mengenai remaja sudah banyak dilakukan. Meskipun demikian,

penelitian ini orisinil karena meneliti remaja dengan tema yang berbeda dari

penelitian-penelitian sebelumnya.

Pada penelitian Eryilmaz (2011), menggunakan subjek remaja dari Turki

dari 233 subjek remaja (121 laki-laki dan 112 perempuan). Pada penelitian Krisna

(2012), menggunakan subjek Pegawai negeri sipil yang bekerja di dinas

Page 13: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

13

kehutanan dan perkebunan wonogiri, laki-laki dan perempuan yang berkeluarga

dan keduanya bekerja, usia 25-26 tahun, dan memiliki 1-4 anak. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Putri (2012), menggunakan subjek penderita kanker payudara

berusia antara 20-60 tahun. Sedangkan penelitian ini menggunakan subjek remaja

usia 18-24 tahun yang orangtuanya bercerai.

Page 14: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective Well-Being

Subjective well being adalah evaluasi seseorang terhadap kehidupannya baik

secara kognitif maupun secara afektif (Diener dkk, 2002). Evaluasi ini termasuk

juga di dalamnya reaksi terhadap kejadian serta penilaian kognitif atas kepuasan

dan pemenuhan. Subjective well being merupakan konsep umum yang mencakup

pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif dan

kepuasan hidup yang tinggi (Diener dkk, 2002). Hal ini termasuk apa yang disebut

dengan kebahagiaan, kedamaian, pemenuhan dan kepuasan hidup (Diener dkk,

2002). Sedangkan Eryilmaz (2011) berpendapat bahwa subjective well being

adalah evaluasi dan penilaian seseorang atas hidupnya sendiri tentang afeksi yang

ia rasakan.

Subjective well being menurut Eddington dan Shuman (2008) mengacu

pada evaluasi hidup seseorang atas kehidupannya, yang termasuk di dalamnya

penilaian kognitif, seperti kepuasan hidup, dan afektif evaluasi (suasana hati dan

emosi), seperti perasaan emosional yang positif dan negatif. Berdasarkan pendapat

para ahli di atas maka, subjective well being adalah evaluasi hidup seseorang

terhadap kehidupannya baik secara kognitif maupun secara afektif.

2. Aspek Subjective Well Being

Eddington dan Shuman (2008) mengungkapkan bahwa subjective well being

terdiri atas beberapa komponen utama. Komponen ini termasuk di dalamnya,

14

Page 15: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

15

kepuasan hidup secara global, kepuasan hidup dengan domain tertentu, sering

adanya afek positif, dan relatif tidak adanya afek negatif.

Afek positif umumnya dibagi menjadi sukacita, kegembiraan, kepuasan,

kebanggaan, kasih sayang, kebahagiaan dan kegembiraan yang meluap-luap.

Sedangkan afek negatif dibagi menjadi bersalah dan malu, sedih, kecemasan, dan

kekhawatiran, kemarahan, stres, depresi, dan iri hati. Kepuasan hidup

dikategorisasikan menjadi kepuasan hidup pada masa kini, kepuasan hidup pada

masa lalu, dan kepuasan hidup pada masa depan.

Subjective well being dibangun dari berbagai variable meliputi kepuasan

hidup secara keseluruhan maupun berdasarkan domain tertentu, afek positif serta

afek negatif. (Arthaud Day dkk 2005; Diener & Ryan, 2009; Galinha Pais-

Ribeiro, 2008 dalam Galinha & Pais-Ribeiro 2011).

Sedangkan menurut Eryilmaz (2011) terdapat tiga komponen utama dalam

subjective well-being, yaitu:

a. Afeksi positif, berisi emosi berupa kepercayaan, perhatian, harapan,

kegembiraan, kebanggaan, dan sukacita.

b. Afeksi negatif, berisi emosi berupa kemarahan, kebencian, self-blame, dan

kesedihan.

c. Kepuasan dalam hidup, kepuasan dalam hidup dianggap sebagai komponen

kognitif pada subjective well-being. Kepuasan dalam hidup meliputi evaluasi

individu terhadap kepuasan berbagai domain kehidupan.

Page 16: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

16

Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek subjective well being adalah

kepuasan hidup secara global, kepuasan hidup dengan domain tertentu, sering

adanya afek positif, dan relatif tidak adanya afek negatif.

3. Faktor Subjective Well Being

Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well being menurut Hooghe

dan Vanhoutte (2011) antara lain:

a. Usia, jenis kelamin dan struktur keluarga

Dalam kebanyakan studi, jenis kelamin tidak banyak memainkan peran penting

dalam menentukan subjective well being. Sedangkan kelompok usia termuda dan

tertua memiliki tingkat signifikan lebih tinggi dalam subjective well being

daripada tingkat terendah yang tercatat di antara kelompok usia menengah (Clark

& Oswald 1994; Blanchflower & Oswald 2007). Penelitian menunjukkan bahwa

menikah memberikan kontribusi signifikan terhadap tingkat subjective well being.

Sementara, mereka yang bercerai, menjanda atau terpisah memiliki dampak

negatif sama (Lucas dkk 2003; Clark & Oswald 1994).

b. Kondisi Materi

Individu yang tidak memiliki pekerjaan akan memiliki subjective well being

yang lebih rendah daripada individu yang memiliki penurunan penghasilan (Clark

& Oswald, 1994; Di Tella dkk, 2001; Frey & Stutzer, 2000; Oswald, 1997;

Kahneman & Krueger 2006). Individu yang bekerja tidak hanya untuk

mendapatkan penghasilan tapi juga untuk merealisasikan diri merupakan salah

satu kunci kesejahteraan.

Page 17: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

17

c. Social capital

Modal sosial mengacu pada dampak jaringan sosial pada individu dan

masyarakat. Individu yang memiliki jaringan sosial yang baik antar individu

maupun dengan masyarakat, baik dalam kondisi formal maupun informal,

memiliki dampak baik pada kesejahteraannya. Selain itu, kepercayaan seseorang

bahwa orang lain dapat dipercaya juga memiliki pengaruh positif pada subjective

well being.

d. Struktur kepribadian

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa subjective well being yang

tinggi terutama terkait dengan rendahnya tingkat neuroticism dan tingkat

extraversion yang lebih tinggi (Gutierrez dkk, 2005). Kecenderungan untuk

memiliki pandangan optimis terhadap kehidupan jelas memiliki efek positif pada

evaluasi kehidupan, terlepas dari keadaan tertentu (Veenhoven, 1994).

Selanjutnya penelitian tentang hubungan antara optimisme dan subjective well

being menunjukkan korelasi positif yang signifikan (Wrosch & Scheier, 2003).

e. Community Level Determinants

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa tingkat pengangguran

(Oswald, 1997), tingkat pendapatan (Clark dan Oswald, 1994), tingkat kejahatan

(Dolan dkk, 2008), keterbukaan institusi politik (Frey & Stutzer, 2000) dan etnis

keragaman dalam komunitas (Putnam, 2007; Hooghe dkk, 2009) diharapkan

berpengaruh dalam subjective well being. Asumsinya, bagaimanapun, bahkan

ketika dapat mengendalikan sendiri tingkat pendapatan, atau pengalaman tingkat

Page 18: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

18

kejahatan, pengangguran dan pendapatan masih akan berdampak pada

kesejahteraan individu.

Faktor-faktor subjective well being menurut Eddington dan Shuman (2008),

antara lain:

a. Jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin dilaporkan memiliki pengaruh yang sangat kecil pada

subjective well being. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh The World

Value Survey (Inglehart, 1990), dengan jumlah responden 170.000 dari 16 negara

menunjukkan perbedaan subjective well-being antara pria dan wanita sangat kecil.

Meski demikian, literatur menunjukkan bahwa perempuan lebih sering mengalami

afek negatif daripada laki-laki dan lebih sering meminta bantuan dari para ahli

untuk bisa mengatasi gangguan tersebut.

Fujita, Diener, dan Sandvik (1991), berhipotesis bahwa rata-rata perempuan,

terbuka terhadap pengalaman emosional, hal ini dapat menciptakan kerentanan

terhadap depresi yang diberikan oleh banyak peristiwa buruk tetapi hal ini juga

dapat menciptakan kesempatan bagi kebahagiaan pada saat menghadapi peristiwa

baik .

b. Usia

Penelitian internasional yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan

bahwa kepuasan hidup tidak mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya

usia (Butt & Beiser, 1987; Inglehart, 1990, Veenhoven, 1984). Diener dan Suh

(1998) melakukan penelitian pada 60.000 orang dewasa dari 40 negara dan

menemukan sedikit kenaikan dalam kepuasan hidup pada usia 20-an ke 80-an.

Page 19: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

19

Kurangnya penurunan yang signifikan dalam kepuasan hidup di seluruh masa

hidup menunjukkan kemampuan orang untuk beradaptasi dengan kondisi mereka.

Penurunan pendapatan dan perkawinan terjadi di seluruh usia di masa dewasa

nanti, namun kepuasan hidup tetap stabil. Beberapa peneliti telah menunjukkan

bahwa temuan ini berfungsi sebagai bukti bahwa orang menyesuaikan kembali

tujuan mereka saat menua (Campbell dkk, 1976; Rapkin & Fischer, 1992).

c. Pendidikan

Pendidikan berkorelasi dengan kesejahteraan lebih untuk individu dengan

pendapatan rendah (Campbell, 1981; Diener dkk, 1993) dan di Negara-negara

miskin (Veenhoven, 1994). Campbell (1981) mencatat bahwa pada tahun 1957,

44% lulusan perguruan tinggi dilaporkan menjadi sangat bahagia dibandingkan

dengan 23% dari mereka yang tidak sekolah tinggi. Pendidikan juga

mempengaruhi status sosial seseorang, hal ini juga dapat mempengaruhi kepuasan

hidup seseorang. Hal ini menunjukkan meski tidak berpengaruh secara langsung,

tingkat pendidikan dapat mempengaruhi subjective well being.

d. Penghasilan

Penghasilan berpengaruh kecil terhadap kepuasan hidup bahkan ketika

diadakan penelitian terhadap orang yang sangat kaya. Smith dan Razzell (1975)

mempelajari individu yang memenangkan uang dalam jumlah besar di kolam

sepakbola Inggris dan menemukan 39% menggambarkan diri mereka sangat

bahagia. Namun, beberapa dampak negatif juga muncul sebagai pemenang ketika

mereka berhenti dari pekerjaan mereka dan kemudian mengalami kehilangan

Page 20: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

20

hubungan sosial dan penurunan perasaan prestasi, serta beberapa ketegangan dari

keluarga dan teman-teman yang mengharapkan bantuan keuangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Richens dan Dawson (1992) menemukan bahwa

orang yang menghargai uang lebih tinggi dari tujuan-tujuan lain kurang puas

dengan standar hidup dan dengan hidup mereka. Ditemukan bahwa materialistis

dapat menjadi prediktor negatif pada subjective well-being sebab mengganggu

prososial dan self-actualization (Scitovsky, 1976). Orang kaya hanya agak lebih

bahagia daripada orang miskin di negara-negara kaya, meskipun negara kaya jauh

lebih bahagia daripada negara-negara miskin, dan perubahan penghasilan kadang-

kadang mungkin memiliki efek negatif (Eddington, 2008).

e. Pernikahan

Hubungan positif antara pernikahan dan subjective well-being secara konsisten

dilaporkan di Amerika Serikat (Glenn, 1975; Gove dan Shin, 1989), Kanada

(White, 1992), Norwegia (Mastekaasa, 1995), dan dalam penelitian internasional

(Diener dkk, 1998). Skala besar survey ini menunjukkan bahwa orang yang

menikah dilaporkan lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah

menikah atau bercerai, berpisah, atau janda. Diener, dkk (1998) menemukan

bahwa pernikahan menawarkan manfaat yang lebih besar untuk laki-laki daripada

wanita dalam hal emosi positif, tetapi pria dan wanita yang menikah tidak ada

perbedaan dalam kepuasan hidup. Dalam sebuah studi longitudinal yang

dilakukan oleh Headey, Veenhoven, dan Wearing (1991), menemukan bahwa di

antara enam domain kehidupan yang mereka pelajari (misalnya, pekerjaan,

Page 21: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

21

kesehatan), hanya kepuasan perkawinan memiliki pengaruh kausal yang

signifikan pada kepuasan hidup global.

f. Kepuasan kerja

Tait, Padgett, dan Baldwin (1989) menemukan hubungan kuat antara kerja dan

kepuasan hidup wanita dalam beberapa dekade terakhir sebagai peran sosial

mereka yang telah berubah dan pilihan karir telah diperluas. Pekerjaan diduga

terkait dengan subjective well being karena menawarkan tingkat stimulasi optimal

bagi individu untuk dapat menemukan kesenangan (Csikszentmihalyi, 1990;

Scitovsky, 1976), hubungan sosial yang positif, identitas, dan makna. Orang-

orang yang puas dengan kehidupan mereka umumnya menemukan kepuasan yang

lebih dalam pekerjaan mereka. (Sones & Kozma 1986). Orang menganggur

memiliki kesulitan yang lebih tinggi, kehidupan dengan kepuasan lebih rendah,

dan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada individu yang bekerja (Oswald,

1997; Platt & Kreitman, 1985).

g. Kesehatan

Campbell, dkk (1976) menemukan responden untuk menilai kesehatan yang

baik sebagai hal yang paling penting dari berbagai domain kehidupan. Individu

dengan kondisi yang parah atau memiliki berbagai masalah kronis melaporkan

subjective well-being yang rendah, sedangkan jika kondisi agak berat

kemungkinan dia bisa beradaptasi (Menhert dkk, 1990). Kesehatan yang buruk

diperkirakan berdampak negatif pada subjective well-being karena mengganggu

goal-attainment.

Page 22: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

22

h. Agama

Sebagian besar penelitian yang didasarkan pada sampel nasional, menunjukkan

bahwa subjective well being berkorelasi secara signifikan (meskipun efek ukuran

tidak besar) dengan kepastian agama (Ellison, 1991), kekuatan seseorang

hubungan dengan Tuhan (Pollner, 1989), prayer experiences (Poloma &

Pendleton, 1991), kebaktian dan aspek partisipatif religiusitas (Ellison, Gay, &

Glass, 1989), bahkan setelah mengendalikan usia, pendapatan dan perkawinan

status. Pengalaman religius mungkin dapat memberikan rasa makna dalam

kehidupan sehari-hari (Pollner, 1989). Selain itu, agama menyediakan pemenuhan

sosial melalui hubungan ke jaringan sosial yang terdiri dari orang yang memiliki

sikap dan nilai-nilai yang sama (Taylor dan Chatters, 1988). Ellison (1991)

menyimpulkan bahwa akun variabel agama sekitar 5%-7% dari kehidupan

kepuasan varians, tetapi hanya 2%-3 % dari varians dalam afektif kesejahteraan.

i. Waktu luang

Veenhoven, dkk (1994) mengatakan bahwa kebahagiaan berkorelasi dengan

kepuasan bersantai dan luangnya waktu berekreasi, tapi korelasi itu berkurang

setelah mengendalikan berbagai variabel demografis seperti pekerjaan dan kelas

sosial. Korelasi itu terbesar bagi mereka yang tidak bekerja, seperti pengangguran,

pensiun, orang tua, orang-orang yang kaya atau kelas sosialnya tinggi, serta orang

yang telah menikah tapi tidak memiliki anak (Zuma, 1989). Penelitian yang

dilakukan oleh Glancy, Willits, dan Farrell (1986) yang dilakukan pada 1.521

siswa SMA selama 24 tahun, menemukan bahwa rekreasi remaja diprediksi dapat

mempengaruhi kepuasan hidup dewasa, dengan jumlah kontrol diterapkan.

Page 23: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

23

Heady, Holmstrom, dan Wearing (1985) meneliti 600 penduduk Australia dengan

interval dua tahun dan menemukan bahwa kepuasan rekreasi meningkat

kesejahteraan subjektif. Heady, dkk (1985) menemukan bahwa kepuasan bersantai

mempengaruhi subjective well-being. Salah satu bentuk bersantai adalah olahraga

seperti aerobik yang dilakukan 8-10 minggu, 2-4 kali seminggu, dapat

meningkatkan kebahagiaan, menurunnya gejala depresi dan kecemasan (Biddle &

Mutrie, 1991). Selain itu, periode latihan mengurangi efek negatif pada detak

jantung dan tekanan darah akibat tugas yang penuh tekanan (Kimbell & Basford,

1996). Olahraga dan latihan efektif karena dapat melepaskan endorphin, interaksi

sosial dengan orang lain, pengalaman berhasil atau self-efficacy. Tari dan musik

efektif memberikan rangsangan mood dan manfaat sosial. Hal ini dimungkinkan

untuk memenuhi sejumlah kebutuhan sosial melalui kegiatan tersebut, termasuk

keakraban, kerjasama dan sebagainya (Argyle, 1996). Rubenstein (1980),

mensurvey sejumlah pembaca Psychology Today dan menemukan bahwa 21%

mengalami sakit kepala bila tidak berlibur dibandingkan dengan 3% pembaca

yang berlibur.

j. Peristiwa hidup yang pernah dialami

Kanner dkk (1981) menemukan bahwa frekuensi peristiwa positif berkorelasi

dengan afek positif. Para peneliti menunjukkan bahwa pengalaman positif yang

intensif tidak berpengaruh banyak pada kebahagiaan. Penyebab utama sukacita

dalam lima negara Eropa adalah: hubungan dengan teman; kesenangan dasar dari

makanan, minuman, dan hubungan seksual; dan pengalaman berhasil (Scherer

dkk, 1986). Orang mengalami suasana hati yang lebih positif ketika dengan

Page 24: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

24

teman-teman dibandingkan dengan berada bersama keluarga atau sendirian

(Larson, 1990). Headey, Holmstrom, dan Wearing (1985) menemukan bahwa

peristiwa menguntungkan dalam hubungan persahabatan dan kerja diprediksi

dapat meningkatkan subjective well being.

k. Kompetensi

Penelitian telah menemukan korelasi yang sangat kecil, namun positif antara

kompetensi kecerdasan dan kebahagiaan. Mirip dengan pendidikan, kecerdasan

dapat meningkatkan aspirasi yang mungkin tidak terpenuhi, dengan demikian

dapat meningkatkan kesenjangan pencapaian tujuan. Daya tarik fisik memiliki

efek yang lebih kuat terutama untuk perempuan muda. Ini menghasilkan

kebahagiaan yang lebih besar (Agnew, 1984) mungkin karena menghasilkan

popularitas dengan lawan jenis. Tubuh tinggi pada pria memiliki efek yang serupa

namun memiliki korelasi yang kecil pada kebahagiaan. Selain daya tarik fisik,

keterampilan sosial juga memiliki korelasi dengan kebahagiaan. Keterampilan

sosial menyebabkan kebahagiaan karena keterampilan sosial dapat meningkatkan

kemungkinan mencapai hubungan yang diinginkan dengan orang lain. Sebaliknya,

mereka yang tidak kompeten secara sosial kemungkinan akan ditolak secara

sosial, dan menjadi terisolasi kemudian tidak dapat menemukan dukungan sosial

atau persahabatan (Sarason dan Sarason, 1985).

Eryilmaz (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penting pada

subjective well-being, yaitu: kerentanan genetik, goal-oriented atau tindakan atau

Page 25: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

25

perilaku yang disengaja, karakteristik demografis yang terdiri dari umur, jenis

kelamin, asal etnis, pekerjaan dan status pernikahan.

Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor subjective well being adalah jenis

kelamin, usia, struktur keluarga, kondisi materi, struktur kepribadian, pendidikan,

pernikahan, agama, peristiwa hidup yang pernah dialami, dan kompetensi.

B. Kebersyukuran

1. Pengertian Kebersyukuran

Kebersyukuran dalam keadaan psikologis berarti perasaan takjub, syukur,

serta apresiasi bagi kehidupan (Emmons dan Shelton, 2002). Dalam penelitian

yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) dikatakan bahwa syukur

telah dikonseptualisasikan sebagai emosi, sikap, kebajikan moral, kebiasaan,

kepribadian sifat, atau respon coping.

Kata syukur (gratitude) berasal dari bahasa Latin, gratia, yang berarti

rahmat, keanggunan, atau terima kasih. Syukur ini harus dilakukan dengan

kebaikan, murah hati, hadiah, keindahan memberi dan menerima, atau

mendapatkan sesuatu untuk apa-apa (Pruyser, 1976). Tujuan syukur adalah

ditujukan kepada orang, serta impersonal (alam) atau sumber bukan manusia. Hal

yang dimaksud bukan manusia misalnya, Tuhan, hewan, alam semesta (Solomon,

1977; Teigen, 1997)

Kebersyukuran menurut Watkins (2003) dapat didefinisikan sebagai

perasaan syukur untuk mengapresiasi nikmat yang telah diterima. Sedangkan

menurut APA dictionary of psychology (2007), kebersyukuran adalah rasa syukur

Page 26: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

26

dan bahagia dalam menanggapi penerimaan sesuatu, baik yang bermanfaat

secaranya seperti kado atau bantuan, maupun yang merupakan keberuntungan,

seperti hari yang indah.

Syukur secara bahasa berasal dari kata “syakara” yang berarti pujian atas

kebaikan, penuhnya sesuatu. Menurut Imam Ghazali (dalam Bantanie, 2009)

syukur terdiri dari tiga perkara, yaitu:

a. Pengetahuan tentang nikmat, pengetahuan tentang nikmat bahwa seluruh

nikmat berasal dari Allah dan Allah-lah yang memberikan nikmat pengetahuan itu

kepada orang yang dikehendaki-Nya.

b. Sikap jiwa yang tetap dan tidak berubah, hal ini sebagai buah dari pengetahuan

yang mendorong untuk selalu senang dan mencintai yang member nikmat dalam

bentuk kepatuhan kepada Allah.

c. Menghindari perbuatan maksiat. Sikap demikan hanya terjadi jika seseorang

telah mengenal kebijaksanaan Allah dalam menciptakan seluruh makhluk-Nya.

2. Aspek Kebersyukuran

Menurut Ibnu Qudamah (dalam Bantanie, 2009), syukur dapat terjadi

dengan lisan, hati dan perbuatan. Bersyukur dengan hati adalah keinginan untuk

selalu berbuat baik. Bersyukur dengan lidah ialah mewujudkan rasa terima kasih

kepada Allah melalui ucapan dalam bentuk pujian kepada-Nya. Syukur dengan

perbuatan adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah yang

member nikmat itu.

Page 27: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

27

Senada dengan Ibnu Qudamah, Bantanie (2009) juga berpendapat bahwa

syukur harus memenuhi tiga unsur:

a. Syukur hati, meyakini dengan sepenuh hati bahwa segala nikmat yang

diperoleh merupakan karunia Allah, maka Allah juga berhak mengambilnya

kembali jika Dia menghendaki.

b. Syukur lisan, keyakinan dalam hati bahwa Allah-lah sumber dari segala nikmat

yang diperoleh harus dinyatakan dengan lisan dalam bentuk pujian kepada Allah.

c. Syukur perbuatan, mempergunakan segala nikmat yang dikaruniakan Allah

menurut kehendak Allah yang memberi nikmat dengan cara menggunakannya

untuk ketaatan dan kemaslahatan orang lain.

Sedangkan McCullough dkk (2002) mengungkapkan bahwa aspek

kebersyukuran terdiri dari empat elemen, yaitu:

a. Intensitas

Seseorang yang bersyukur cenderung menunjukkan rasa syukurnya lebih intens

saat mengalami peristiwa positif daripada orang yang kurang bersyukur.

b. Frekuensi

Seseorang yang bersyukur akan cenderung lebih sering dalam mengungkapkan

rasa syukurnya dalam satu hari, bahkan saat ia mengalami kebaikan atau peristiwa

positif yang sederhana. Berbeda dengan orang yang kurang bersyukur. Orang

yang kurang bersyukur cenderung lebih jarang dalam mengungkapkan rasa

syukurnya.

Page 28: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

28

c. Span

Grateful span mengacu pada sejumlah peristiwa di mana ia bersyukur. Orang

yang bersyukur cenderung akan mensyukuri lebih banyak aspek kehidupannya.

Orang yang bersyukur akan bersyukur atas keluarga, pekerjaan, kesehatan, dan

banyak hal dalam hidupnya. Sedangkan orang yang kurang bersyukur akan

mensyukuri lebih sedikit aspek kehidupannya.

d. Destiny

Destiny merujuk pada jumlah orang yang dapat membuat seseorang dapat

bersyukur. Orang yang bersyukur cenderung akan menyebutkan lebih banyak

orang yang membuatnya bersyukur atas kehadiran mereka. Sedangkan orang yang

kurang bersyukur cenderung menyebut lebih sedikit nama orang yang dapat

membuatnya bersyukur atas kehadiran mereka.

Dari penjelasan di atas mengenai aspek-aspek kebersyukuran, maka peneliti

menarik kesimpulan bahwa aspek-aspek kebersyukuran yang akan digunakan

dalam penelitian ini yaitu syukur dengan hati, lisan, dan perbuatan.

C. Remaja Akhir yang Orangtuanya Bercerai

Selama remaja mengalami fase remaja akhir, remaja mulai memandang

dirinya sebagai orang dewasa dan mampu menunjukkan pemikiran, sikap, dan

perilaku yang semakin dewasa. Interaksi dengan orangtua pun menjadi lebih baik

dan lancar karena mereka memiliki kebebasan penuh dan emosi yang mereka

miliki pun mulai stabil (Ali & Asrori, 2010).

Page 29: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

29

Menurut Sarwono (2003), fase remaja akhir adalah masa konsolidasi

menuju periode dewasa yang ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu:

a. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam

pengalaman-pengalaman baru.

c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan sendiri dan

orang lain.

e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum.

Meskipun remaja akhir telah menganggap dirinya dewasa, seringkali dalam

masyarakat atau keluarga, remaja justru diposisikan dalam posisi yang tidak jelas.

Remaja seringkali masih dianggap masih anak-anak dan tidak dimintai pendapat

tentang masalah keluarga, namun dituntut untuk mengerti dan menerima

keputusan orangtua seperti orang dewasa.

Padahal perceraian yang terjadi pada orangtua, berpengaruh kepada remaja.

Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sejumah besar praktisi

kesehatan mental melihat perceraian sebagai peristiwa negatif yang merangsang

rasa tidak aman, kebingungan, dan emosi yang menyakitkan. Meskipun demikian

mayoritas praktisi ini merasa bahwa kebanyakan anak tidak dirugikan secara

permanen dengan perceraian yang terjadi pada orangtuanya, sementara praktisi

lain bersikeras bahwa perceraian menyebabkan kemarahan akibat perceraian

mengganggu pertumbuhan emosi dan social dalam jangka panjang (Wallerstein

dan Lewis, 2004 dalam Rice dan Dolgin, 2008).

Page 30: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

30

Pada penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk (2005) mengenai The

Consequences of Parental Divorce on the Life Course Outcomes of Canadian

Children, ditemukan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai, tiga kali lebih

berisiko memutuskan untuk kohabitasi dan memiliki anak di luar nikah

dibandingkan dengan remaja yang orangtuanya tidak bercerai.

Remaja yang orangtuanya bercerai juga satu setengah kali lebih berisiko

untuk mengalami perceraian setelah menikah dibandingkan dengan remaja yang

orangtuanya utuh atau salah satu orangtuanya meninggal (Martin dkk, 2005).

D. Dinamika Psikologi Kebersyukuran dengan Subjective Well Being

pada Remaja Akhir yang Orangtuanya Bercerai

Berbagai penelitian terdahulu, mencatat bahwa perceraian berdampak tidak

hanya pada pasangan yang mengalaminya tetapi juga pada anak dari pasangan

tersebut. Beberapa reaksi jangka pendek yang terjadi setelah remaja sebagai anak

saat mengetahui perceraian orangtuanya, di antaranya adalah shock, tidak percaya,

takut, cemas, dan merasa tidak aman (Rice, 2008). Selain itu, remaja merasa

marah dan menunjukkan sikap permusuhan. Remaja akan menyalahkan orangtua

atas perceraian yang terjadi. Remaja juga dapat merasa bersalah dan menyalahkan

dirinya sendiri atas perceraian yang terjadi pada orangtuanya (Rice, 2008).

Perasaan-perasaan negatif yang dirasakan remaja setelah orangtuanya

bercerai tentunya dapat berdampak pada hubungan sosial maupun pendidikan

remaja. Hubungan sosial dan pendidikan yang kurang baik meski tidak secara

Page 31: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

31

langsung, dapat mengurangi tingkat kepuasan hidup atau subjective well being

(Hooghe & Vanhoutte, 2011; Eddington & Shuman, 2008).

Diener dan Larsen (Eddington, 2008), menyatakan bahwa subjective well-

being dapat didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang

hidupnya. Hal ini meliputi penilaian emosional seseorang terhadap berbagai

kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan

dan pemenuhan hidupnya. Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being

yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka, seringkali

merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. Kepuasan hidup,

afek positif dan afek negatif merupakan tiga komponen utama penyusun

subjective well-being. Afek positif dan afek negatif masuk ke dalam komponen

afektif, sedangkan kepuasan hidup termasuk dalam komponen kognitif subjective

well being.

Menurut Seligman (2002), salah satu upaya untuk meraih subjective well-

being adalah dengan memiliki enam keutamaan hidup, yakni wisdom and

knowledge, courage, humanity, justice, temperance, dan transcendence. Dari

enam keutamaan tersebut, maka 24 karakter kekuatan (character of strength) yang

bisa dimiliki oleh manusia untuk meraih keutamaan hidup hadir, termasuk salah

satu di dalamnya adalah bersyukur (gratitude).

Hal tersebut juga senada dengan penelitian sebelumnya. Ellison (1991)

menyatakan bahwa subjective well being berkorelasi secara signifikan dengan

agama, meski tidak berefek besar. Hubungan agama dengan kepuasan hidup tidak

dapat terlepas dari ajaran-ajaran agama, salah satunya konsep syukur. Penelitian

Page 32: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

32

yang dilakukan oleh Froh dkk (2009) yang dilakukan pada 154 murid sekolah

menengah pertama menemukan bahwa kebersyukuran berasosiasi dengan aspek-

aspek subjective well being, yaitu: afek positif, kepuasan hidup secara global

maupun kepuasan hidup pada domain tertentu. Kebersyukuran juga berasosiasi

dengan optimisme, dukungan sosial, dan perilaku prososial.

Froh dkk (2009) menemukan bahwa menghitung berkat-berkat itu tidak

berhubungan dengan peningkatan afek positif tetapi terkait dengan penurunan

afek negatif. Dengan kata lain, individu yang mensyukuri hidupnya akan

cenderung memiliki kepuasan hidup yang tinggi meskipun ia tengah mengalami

peristiwa yang tidak menyenangkan. Kebersyukuran membantu individu dalam

penelitian ini remaja, untuk dapat menurunkan efek dari peristiwa tidak

menyenangkan dan tetap memiliki kepuasan hidup yang tinggi.

Peterson dan Seligman (2004) mengatakan bahwa individu yang bersyukur

adalah individu yang menerima sebuah karunia dan sebuah penghargaan, dan

mengenali nilai dari karunia tersebut. Orang yang bersyukur mampu

mengidentifikasikan diri mereka sebagai seorang yang sadar dan berterima kasih

atas anugerah Tuhan, pemberian orang lain, dan menyediakan waktu untuk

mengekspresikan rasa terima kasih mereka (Arbiyah dkk, 2008).

Penelitian Peterson dan Seligman (2004) pun senada dengan hasil-hasil

penelitian terdahulu (misalnya, Lazarus & Lazarus 1994; Mayer, Salovey,

Gomberg Kaufman, & Blainey, 1991; Ortony, Clore, dan Collins, 1986; Weiner,

1985). Penelitian terdahulu telah mencatat bahwa syukur biasanya memiliki

valensi emosional yang positif. Penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa

Page 33: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

33

rasa syukur adalah mendatangkan perasaan yang cukup menyenangkan dan

mengaktifkan emosi. Penelitian telah menunjukkan bahwa rasa syukur adalah

tahap menyenangkan dan dihubungkan dengan emosi positif termasuk kepuasan

(Walker & Pitts, 1998), kebahagiaan, kebanggaan, dan harapan (Overwalle,

Mervielde, & De Schuyter, 1995).

Kondisi keluarga yang tidak utuh, tekanan dari lingkungan serta kurangnya

perhatian dari orang tua yang bercerai dapat membuat remaja merasa kurang

memiliki kepuasan hidup. Namun, tidak sedikit remaja yang dapat memahami

keadaan keluarganya dan menerimanya dengan baik. Kemampuan remaja dengan

orang tua yang bercerai dalam menerima setiap kondisi hidup yang dijalaninya

dapat memberi efek positif dalam memandang hidup yang dijalani. Kemampuan

ini dapat membuatnya memiliki kebersyukuran. Kebersyukuran dapat dilihat

berdasarkan perilaku yang mencerminkan syukur dengan hati, lisan, dan

perbuatan. Dengan memiliki kebersyukuran dalam menerima dan menjalani

hidupnya, remaja dapat memiliki subjective well being.

Namun, bila remaja tersebut tidak mampu menerima kondisi perceraian

orang tuanya, menyebabkan remaja menyalahkan diri dan lingkungan dan

membuatnya tidak dapat mencapai kebersyukuran. Sehingga, subjective well

being kurang dapat tercapai. Hal ini berpengaruh pada perilakunya yang kurang

bersyukur dan cenderung merasa kurang puas dengan menyalahkan diri dan orang

tua serta lingkungannya dan dapat berpengaruh negatif secara lebih luas dalam

tindakan, serta sikapnya dalam menjalani kehidupannya.

Page 34: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

34

E. Hipotesa

Ada hubungan positif antara kebersyukuran dengan subjective well being

pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai. Semakin tinggi kebersyukuran yang

dimiliki oleh remaja akhir yang orangtuanya bercerai, maka semakin tinggi pula

subjective well-being dan bila semakin rendah kebersyukuran yang dimiliki

remaja akhir yang orangtuanya bercerai maka semakin rendah pula subjective

well-being.

Page 35: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

1. Variabel Tergantung : Subjective well-being

2. Variabel Bebas : Kebersyukuran

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Subjective Well-Being

Subjective well being adalah evaluasi individu mengenai hidupnya, seperti

kepuasan dalam hidupnya, seringnya merasakan emosi positif (contoh: sukacita,

kegembiraan, kebanggaan, kasih sayang, kebahagiaan, rasa nyaman, keriangan,

kepuasan hati, kepercayaan, perhatian, dan harapan), dan relative tidak adanya

emosi negatif (contoh: rasa bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, khawatir,

marah, stres, depresi, iri, takut, cemburu, kebencian, dan self-blame). Subjective

well-being diukur dengan menggunakan skala yang mempertimbangkan aspek-

aspek dari subjective well-being, yaitu kepuasan hidup dan afek positif maupun

aspek negatif. Semakin tinggi skor yang dicapai maka subjek merasa dirinya

bahagia.

2. Kebersyukuran

Syukur adalah ungkapan terima kasih individu kepada orang lain, alam

semesta atau kepada Tuhan atas pertolongan maupun pemberian yang didapat.

Kebersyukuran diketahui dari skor yang dicapai subjek melalui skala

35

Page 36: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

36

kebersyukuran dengan melihat aspek-aspek dari kebersyukuran, antara lain syukur

dengan hati, yakni meyakini segala hal yang didapat merupakan karunia dari

Tuhan; syukur dengan lisan, seperti memuji Tuhan yang telah memberikan

nikmat; dan syukur dengan perbuatan, yakni menggunakan nikmat yang telah

diberikan Tuhan bisa dengan bersedekah kepada orang lain. Semakin tinggi total

skor yang dicapai maka semakin tinggi kebersyukuran.

C. Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek remaja akhir usia 18-24 tahun yang

orangtuanya bercerai Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling

dan snowball sampling. Purposive sampling adalah pemilihan kelompok

subjeknya didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui

sebelumnya (Hadi, 2000). Sedangkan snowball sampling adalah teknik penentuan

sampling yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar (Sugiyono,

2008). Sampel remaja akhir yang orangtuanya bercerai ini didasarkan pada tujuan

dari penelitian ini sendiri yang ingin mengungkap kebersyukuran dan subjective

well-being remaja akhir yang orangtuanya bercerai.

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode skala yang

dibuat oleh Zulaikha (2013) yang telah disesuaikan untuk mengungkap kedua

variabel yang ada, yaitu variabel subjective well-being dan variabel

kebersyukuran. Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala subjective well-

being dan skala kebersyukuran.

1. Skala Subjective Well-Being

Page 37: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

37

Skala subjective well-being berisi tiga aspek utama, yaitu:

a. Kepuasan hidup, seperti: kepuasan saat ini, kepuasan dengan masa lalu, dan

kepuasan dengan masa depan.

b. Afek positif, seperti: sukacita, kegembiraan, kebanggaan, kasih sayang,

kebahagiaan, rasa nyaman, keriangan, kepuasan hati, kepercayaan, perhatian, dan

harapan.

c. Afek negatif, seperti: rasa bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, khawatir,

marah, stres, depresi, iri, takut, cemburu, kebencian, dan self-blame.

Penyebaran aitem yang digunakan dalam skala subjective well-being ini disajikan

dalam Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1Distribusi Aitem Skala Subjective Well-Being

AspekButir favorable

JumlahNomor Butir

1 Kepuasan Hidup 1, 2, 3, 4, 5, 14, 15, 16, 17, 27, 28, 29, 30

13

2 Afek Positif 6, 7, 8, 9, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 34 123 Afek Negatif 10, 11, 12, 13, 22, 23, 24, 25, 26, 35,

36, 37, 38, 39, 40, 41, 4217

Total 42

Untuk skala subjective well-being, hanya ada pernyataan favorable.

Pernyataan favorable artinya pernyataan yang mendukung aspek yang akan

dinilai. Skala ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS),

Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan

favorable diberi skor 4 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), 3 untuk jawaban

Sesuai (S), 2 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk jawaban Sangat

Tidak Sesuai (STS).

Page 38: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

38

2. Skala Kebersyukuran

Skala kebersyukuran memuat tiga komponen, antara lain:

a. Syukur dengan hati, seperti: menghindari perilaku buruk yang dibenci manusia

dan Tuhan (contoh: kikir, pamer, fasik, mungkar, keji, dendam, sombong, takabur,

munafik), dimana pun dan dalam situasi apapun selalu ingat kepada-Nya,

berusaha meraih kebahagiaan di akhirat.

b. Syukur dengan lisan, seperti: membiasakan diri membaca kitab suci,

menyebarkan dan mengajarkan ilmu yang dimiliki, selalu mengucapkan puji-

pujian kepada Tuhan, senantiasa berdoa kepada Tuhan.

c. Syukur dengan perbuatan, seperti: menjalankan apa-apa yang diperintahkan

Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, belajar dan mengamalkan ilmu yang telah

didapat, tolong-menolong sesama manusia.

Penyebaran aitem yang digunakan dalam skala kebersyukuran ini disajikan dalam

tabel berikut ini:

Tabel 2Distribusi Aitem Skala Kebersyukuran

AspekButir favorable Butir unfavorable

JumlahNomor Butir Nomor Butir

1 Syukur dengan hati

1, 2, 3, 22, 23, 24,38 12, 13, 14, 31, 39, 40

13

2 Syukur dengan lisan

4, 5, 6, 7, 25, 26, 27 15, 16, 17, 18, 32, 33, 34

14

3 Syukur dengan perbuatan

8, 9, 10, 11, 28, 29, 30, 42

19, 20, 21, 35, 36, 37,41

15

Total 42

Page 39: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

39

Skala ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS),

Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan

favorable diberi skor 4 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), 3 untuk jawaban

Sesuai (S), 2 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk jawaban Sangat

Tidak Sesuai (STS). Sebaliknya, pernyataan unfavorable diberi skor 1 untuk

jawaban Sangat Sesuai (SS), 2 untuk jawaban Sesuai (S), 3 untuk jawaban Tidak

Sesuai (TS), dan 4 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS).

E. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis data dengan menggunakan

analisis statistik. Adapun teknik statistik yang digunakan adalah dengan korelasi

product moment dari Pearson dengan bantuan program SPSS 16.0. Teknik ini

digunakan untuk menguji apakah ada korelasi positif antara kebersyukuran dan

subjective well-being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai.

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Uji Validitas

Validitas, dalam pengertiannya yang paling umum, adalah ketepatan dan

kecermatan skala dalam menjalankan fungsinya. Validitas adalah karakteristik

utama yang harus dimiliki oleh setiap skala. Apakah suatu skala berguna atau

tidak sangat ditentukan oleh validitasnya (Azwar, 2006).

Page 40: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

40

Dalam penelitian ini pengujian validitas dilakukan dengan cara menguji

konsistensi internal dengan cara melihat korelasi aitem dan total. Perhitungan

dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan

hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran yang

tidak reliable akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena

perbedaan skor yang terjadi di antara individu lebih ditentukan oleh faktor eror

(kesalahan) daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Pengukuran yang

tidak reliabel tentu tidak akan konsisten pula dari waktu ke waktu (Azwar, 2006).

Page 41: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

41

BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di provinsi D.I Yogyakarta dan Solo. Dalam

proses pengumpulan data tempat pelaksanaan bersifat fleksibel yaitu, disesuaikan

dengan kesepakatan subjek. Ada pun penulis memilih subjek remaja akhir yang

orangtuanya bercerai karena penelitian-penelitian sebelumnya hanya membahas

dampak psikis anak dan remaja yang memiliki orangtua yang bercerai. Sedangkan

dampak psikis yang terjadi pada remaja akhir jarang sekali dibahas. Padahal pada

masa remaja akhir, remaja lebih sering menonjolkan minat karir, pacaran, dan

eksplorasi identitas (Santrock, 2007). Sehingga pengabaian dampak psikis yang

terjadi pada remaja akhir bisa saja berakibat pada interaksinya dengan lingkungan.

Proses pengambilan data penelitian ini dilakukan dengan menetapkan

populasi penelitian terlebih dahulu, yaitu remaja akhir (laki-laki maupun

perempuan) yang orangtuanya bercerai, beragama Islam. Sedangkan sampel

Page 42: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

42

penelitian ini adalah remaja akhir laki-laki maupun perempuan berusia 18-24

tahun, dan memiliki orangtua yang telah bercerai.

2. Persiapan penelitian

a. Persiapan administrasi

Pengambilan data dalam penelitian ini tidak menggunakan sistem perijinan

formal. Hal ini dikarenakan penelitian ini tidak melibatkan suatu institusi tertentu.

Peneliti melakukan perijinan dengan cara meminta responden mengisi lembar

persetujuan penelitian. Lembar persetujuan penelitian ini diberikan kepada subjek

sebelum subjek mengisi skala.

b. Persiapan Alat Ukur

Persiapan alat ukur adalah penyusunan alat ukur yang akan digunakan dalam

pengambilan data penelitian. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini

terdiri dari dua buah skala. Skala yang pertama adalah skala subjective well-being,

sedangkan skala kedua adalah skala kebersyukuran. Penyusunan skala

kebersyukuran dan subjective well-being pada penelitian ini diawali dengan

mengidentifikasi tujuan pengukuran dan operasionalisasi dari konsep masing-

masing variabel. Skala subjetive well-being pada penelitian ini berisi tiga aspek

utama, yaitu: kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif. Skala subjective well-

being diadaptasi dari skala subjective well-being dari Zulaikhah (2013), dengan

jumlah item 42 pernyataan yang semuanya merupakan aitem favorable. Setiap

aitem memliki empat pilihan jawaban, dengan rentang skor 1 hingga 4.

Skala kebersyukuran dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang

dikemukakan oleh El-Bantanie (2009), yaitu: syukur dengan hati, lisan, dan

Page 43: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

43

perbuatan. Berdasarkan ketiga aspek tersebut, kemudian dibuat pernyataan

sebanyak 42 item, yaitu 21 aitem favorable dan 21 aitem unfavorable.

Peneliti menggunakan skala terpakai (try-out terpakai) sehingga

menggunakan satu kali penyebaran skala. Peneliti tidak melakukan alat ukur (try-

out) akan tetapi peneliti meminta professional judgement untuk memastikan

bahwa aitem sudah sesuai dengan blue-print dan indikator perilaku yang hendak

diungkap, ditulis berdasarkan kaidah penulisan yang benar dan tidak mengandung

social desirability yang tinggi. Alasan peneliti tidak menggunakan try-out akan

tetapi menggunakan try-out terpakai adalah karena sedikitnya jumlah sampel

subjek yang akan dilakukan penelitian.

Uji coba kedua skala tersebut dilakukan di D.I Yogyakarta dan Solo pada

tanggal 9-11 Mei 2014. Subjek yang mengisi kedua skala ini memiliki rentang

usianya 18-24 tahun. Subjek yang dibagikan skala pada uji coba ini sebanyak 43

orang, 35 orang dengan jenis kelamin perempuan dan 8 orang yang berjenis

kelamin laki-laki. Semua skala dapat dianalisis dengan baik karena semua item

terisi sempurna.

c. Hasil Alat Ukur

Berdasarkan data yang diperoleh melalui tahap uji coba alat ukur,

selanjutnya dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas dari skala dengan

menggunakan program statistik yaitu SPSS 20,0 for windows. Dari pelaksanaan

uji coba tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Uji Validitas dan Seleksi Aitem

Page 44: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

44

Alat ukur yang diujicobakan dalam penelitian adalah skala subjective well-

being dan skala kebersyukuran. Pengujian terhadap alat ukur bertujuan untuk

melakukan seleksi dan memilih aitem yang berkualitas sehingga dapat dipakai

sebagai alat ukur yang valid dan reliable pada penelitian sesungguhnya.

Pengolahan data untuk uji coba validitas alat ukur dilakukan dengan

bantuan software SPSS versi 20.0 for windows. Aitem-aitem yang sahih yaitu

aitem-aitem yang mempunyai daya diskriminasi di atas 0,25. Aitem-aitem yang

yang mempunyai daya diskriminasi dibawah 0,25 dianggap gugur dan tidak

dipakai dalam penelitian.

a. Skala Subjective Well-Being

Skala subjective well-being terdiri dari 42 aitem. Setelah dianalisis,

diketahui bahwa skala subjective well-being menunjukkan koefisien korelasi

aitem bergerak antara 0,124 sampai dengan 0,708. Aitem yang memiliki korelasi

aitem total dibawah 0,25 digugurkan. Aitem yang gugur berjumlah 5 aitem yaitu

nomor 12, 18, 25, 33, 40. Aitem yang sahih berjumlah 37 dengan koefisien

korelasi bergerak dari 0,276 hingga 0,712. Rincian dan sebaran aitem-aitem sahih

dan gugur setelah uji coba dapat dilihat pada tabel 3:

Tabel 3Distribusi Aitem Skala Subjective Well-Being Setelah Uji coba

AspekButir favorable

JumlahNomor Butir

1 Kepuasan Hidup 1, 2, 3, 4, 5, 14, 15, 16, 17, 27, 28, 29, 30

13

2 Afek Positif 6, 7, 8, 9, (18), 19, 20, 21, 31, 32, (33), 34

10

3 Afek Negatif 10, 11, (12), 13, 22, 23, 24, (25), 26, 35, 36, 37, 38, 39, (40), 41, 42

14

Total 37Keterangan : Angka yang di dalam kurung adalah nomor

Page 45: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

45

aitem yang gugur

b. Skala Kebersyukuran

Skala kebersyukuran terdiri dari 42 aitem. Setelah dianalisis, diketahui

bahwa skala kebersyukuran menunjukkan koefisien korelasi aitem bergerak antara

-0,016 sampai dengan 0,663. Aitem yang memiliki korelasi aitem total dibawah

0,25 digugurkan. Aitem yang gugur berjumlah 10 aitem yaitu nomor 8, 12, 13, 14,

15, 18, 20, 21, 37, 40. Aitem yang sahih berjumlah 32 dengan koefisien korelasi

bergerak dari 0,252 hingga 0,692. Rincian dan sebaran aitem-aitem sahih dan

gugur setelah uji coba dapat dilihat pada tabel 4:

Tabel 4Distribusi Aitem Skala Kebersyukuran Setelah Uji coba

AspekButir favorable Butir unfavorable

JumlahNomor Butir Nomor Butir

1 Syukur dengan hati

1, 2, 3, 22, 23, 24,38 (12), (13), (14), 31, 39, (40)

9

2 Syukur dengan lisan

4, 5, 6, 7, 25, 26, 27 (15), 16, 17, (18), 32, 33, 34

12

3 Syukur dengan perbuatan

(8), 9, 10, 11, 28, 29, 30, 42

19, (20), (21), 35, 36, (37),41

11

Total 32Keterangan : Angka yang di dalam kurung adalah nomor

aitem yang gugur

2. Realiabilitas Aitem

Uji reliabilitas terhadap kedua skala hanya dikenakan pada aitem-aitem

yang telah memenuhi skala validitas. Uji reliabilitas ini menggunakan teknik

korelasi Alpha Cronbach pada program computer SPSS 20.0 for windows.

Koefisien Alpha Cronbach ditentukan peneliti minimal mencapai 0,8 sebagai

dasar pertimbangan bahwa skala tersebut reliable (Azwar, 2007).

Page 46: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

46

Hasil uji coba reliabilitas skala subjective well being menunjukkan bahwa

bahwa korelasinya sebesar 0,932. Hal tersebut menunjukkan tingkat konsistensi

sebesar 93,2% yang artinya skala ini dapat dikatakan reliabel. Sedangkan, skala

kebersyukuran memiliki koefisien korelasi sebesar 0,910. Hal tersebut

menunjukkan tingkat konsistensi sebesar 91,0% yang artinya skala ini pun dapat

dikatakan reliabel. Sehingga dapat dikatakan dari hasil tersebut dapat dikatakan

bahwa kedua skala memenuhi syarat untuk digunakan sebagai alat ukur dalam

pengambilan data penelitian.

B. Laporan Pelaksanaan Penelitian

Proses pengambilan data pada penelitian ini berlangsung selama kurang

lebih satu bulan setengah, yaitu mulai tanggal 27 Maret 2014 sampai 10 Mei

2014. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 43 subjek.

Pengambilan data ini dilakukan dengan memberikan skala kepada remaja akhir

yang orangtuanya telah bercerai. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan sendiri oleh

penulis dan dibantu teman-teman penulis yang memiliki kenalan yang sesuai

dengan kriteria untuk menjadi subjek.

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang orangtuanya bercerai

yang berdomisili di D.I Yogyakarta dan Solo. Berikut adalah gambaran umum

Page 47: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

47

mengenai subjek penelitian berdasarkan data-data yang diperoleh dari skala yang

disebarkan.

Tabel 5

Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia

Deskripsi Jumlah Presentase

Usia :

18-20 tahun 15

34.9%

21-22 tahun 18 41,9%

23-24 tahun 10 23,2%

Total 43 100%

Tabel 6Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Deskripsi Jumlah Presentase

Jenis Kelamin :

Laki-laki 8

18,6%

Perempuan 35 81,4%

Total 43 100%

Tabel 7Deskripsi Subjek Berdasarkan Pekerjaan

Deskripsi Jumlah Presentase

Pekerjaan:

Mahasiswa 24

55,9%

Page 48: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

48

Pelajar 4 9,3%

Wiraswasta 5 11,6%

Lain-lain 10 23,2%

Total 43 100%

2. Deskripsi Data Penelitian

Berdasarkan analisis data yang ada, maka diperoleh gambaran atau deskripsi

data penelitian yang berisi fungsi-fungsi dasar statistik. Hal ini dapat dilihat pada

tabel 8 dibawah ini:

Tabel 8Deskripsi Data Penelitian

Variabel Skor Hipotetik Skor Empirik

Max Min Mean SD Max Min Mean SDSubjective Well-

Being148 37 93 18,5 128 63 104.67 14.8

Kebersyukuran 128 32 80 16 125 77 93.88 10.1

Deskripsi data penelitian digunakan untuk mengetahui kriteria kategorisasi

kelompok subjek pada variabel-variabel yang diteliti. Kategorisasi ini

dimaksudkan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang

terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur,

dimana kontinum jenjang ini dari rendah ke tinggi (Azwar, 2010). Dalam hal ini

penulis menggunakan rumus kategorisasi yang dibuat oleh Azwar (2010) dimana

terdapat lima kategori yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat

Page 49: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

49

tinggi. Kategori ini berdasarkan pada sebaran empirik yaitu nilai maksimal

dikurangi nilai minimal, sehingga diperoleh perkiraan besarnya standar hipotetik

skor empiris yang terdapat pada suatu deviasi standar di atas mean hipotetik

dikategorikan tinggi, sementara untuk satu deviasi standar di bawah mean empirik

dikategorikan rendah.

Tabel 9Kriteria Kategorisasi Skala

Kategori Rumus Norma

Sangat Rendah x < (µ - 1,8 σ)

Rendah (µ - 1,8σ) < x ≤ (µ - 0,6 σ)

Sedang (µ - 0,6 σ) < x ≤ (µ + 0,6 σ)

Tinggi (µ + 0,6 σ) < x ≤ (µ + 1,8 σ)

Sangat Tinggi x > (µ + 1,8 σ)

Keterangan: µ: Mean Hipotetik σ: Standar Deviasi

a. Skala Subjective Well-Being

Kategorisasi variabel subjective well-being dapat diperoleh berdasarkan skor

total subjek pada skala subjective well-being. Skala ini terdiri dari 37 aitem,

dengan skor minimal 1 dan skor maksimalnya 4. Rentang skor minimum 37 dan

maksimumnya 148. Standar deviasinya adalah 18,5 sedangkan meannya adalah

93. Berdasarkan data tersebut dapat ditentukan kategorisasi untuk variabel

subjective well-being adalah sebagai berikut:

Page 50: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

50

Tabel 10Kriteria Kategorisasi Subjective Well-Being

Skor Kategori Frekuensi Persentase

x < 59,7 Sangat Rendah 0 0%

59,7 < x ≤ 81,9 Rendah 3 7%

81,9 < x ≤ 104,1 Sedang 14 32,5%

104,1 < x ≤ 126,3 Tinggi 25 58,1%

x > 126,3 Sangat Tinggi 1 2,3%

Jumlah 43 100%

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitian

memiliki subjective well-being dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan

bahwa sebagian besar subjek memiliki subjective well-being pada tingkat tinggi.

b. Skala Kebersyukuran

Kategorisasi variabel spiritualitas dapat diperoleh berdasarkan skor total

subjek pada skala spiritualitas. Skala ini terdiri dari 32 aitem, dengan skor

minimal 1 dan skor maksimalnya 4. Rentang skor minimum 32 dan

maksimumnya 128. Standar deviasinya adalah 16 sedangkan meannya adalah 80.

Page 51: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

51

Berdasarkan data tersebut dapat ditentukan kategorisasi untuk variabel

spiritualitas adalah sebagai berikut :

Tabel 11Kriteria Kategorisasi Kebersyukuran

Skor Kategori Frekuensi Persentase

x < 51,2 Sangat Rendah 0 0%

51,2 < x ≤ 70,4 Rendah 0 0%

70,4 < x ≤ 89,6 Sedang 14 32,5%

89,6 < x ≤ 108,8 Tinggi 27 62,8%

x > 108,8 Sangat Tinggi 2 4,6%

Jumlah 43 100%

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitian

memiliki subjective well being dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

sebagian besar subjek memiliki spiritualitas pada tingkat tinggi.

3. Uji Asumsi

Uji asumsi merupakan proses awal sebelum dilakukan uji hipotesis, meliputi

uji normalitas dan linieritas terhadap sebaran data penelitian yang ada. Pengujian

asumsi ini dilakukan dengan bantuan program SPSS 20.0 for windows.

Page 52: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

52

a. Uji normalitas

Uji asumsi normalitas dilakukan untuk mengetahui penyebaran data

penelitian yang terdistribusi secara normal dalam sebuah populasi. Dalam

penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan tes of normality One

Sample Kolmogorof-Smirnov Test yang berfungsi untuk menguji apakah suatu

sampel berasal dari populasi dengan distribusi tertentu, terutama distribusi normal

(Azwar, 2010). Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal tidaknya

sebaran data adalah jika p>0,05 maka sebaran dinyatakan normal, namun jika

p<0,05 maka sebaran dinyatakan tidak normal. Hasil Uji Normalitas dapat dilihat

dalam tabel berikut:

Tabel 12Sebaran Uji NormalitasVariabel KS-Z p Normalitas

Subjective Well Being 0,744 0,638 Normal

Kebersyukuran 0,504 0,962 Normal

Hasil uji normalitas data penelitian ini menunjukkan sebaran normal pada

skala subjective well being dengan koefisien KS-Z = 0,744 dan p = 0,638 (p >

0,05). Sedangkan pada skala kebersyukuran, koefisien KS-Z = 0, 504 dan p =

0,962 (p > 0,05). Kesimpulan dari uji asumsi normalitas, baik skala subjective

well being maupun skala kebersyukuran, keduanya memenuhi distribusi normal.

b. Uji Linieritas

Uji linieritas ini digunakan untuk melihat adanya hubungan yang linier

antara kedua variabel dalam penelitian. Hubungan antara kedua variabel dikatakan

Page 53: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

53

linier bila p < 0,05 dan dikatakan tidak linier bila p > 0,05. Uji linearitas ini

dianalisis dengan menggunakan program SPSS 20.0 for windows. Berikut adalah

hasil uji linearitas hubungan:

Tabel 13Uji Linearitas Hubungan

Variabel F p

Subjective well being dengan kebersyukuran

6, 553 0,02

Hasil uji linieritas menunjukkan F = 6,553 dan p = 0,02 dengan syarat p <

0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hubungan subjective well being dan

kebersyukuran bersifat linier.

c. Uji hipotesis

Berdasarkan hasil uji asumsi yang telah dilakukan terhadap variabel

subjective well being dan kebersyukuran, kedua variabel tersebut memenuhi uji

normalitas dan uji linieritas, maka untuk selanjutnya dilakukan analisis data untuk

menguji hipotesis apakah ada hubungan antara kebersyukuran dengan subjective

well being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai.

Uji hipotesis ini menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson.

Adapun hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah ada hubungan positif

antara kebersyukuran dan subjective well being pada remaja akhir yang

orangtuanya bercerai. Hasil analisa data penelitian ini menunjukkan bahwa ada

Page 54: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

54

hubungan positif antara kebersyukuran dan subjective well being pada remaja

akhir yang orangtuanya bercerai, dengan korelasi r = 0,279 dan p = 0,035 (p <

0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis pada penelitian ini tidak

diterima. Analisis koefisien determinasi (r2) variabel kebersyukuran dengan

subjective well being sebesar 0,078. Artinya kebersyukuran hanya memberikan

sumbangan sebesar 7,8% terhadap tingkat subjective well being pada remaja akhir

yang orangtuanya bercerai. Berikut ini tabel hasil analisis data statistik uji

hipotesis penelitian:

Tabel 14 Hasil Analisis Koefisien Determinasi (r2)

Variabel r r2 p

Kebersyukuran dengan subjective

well being0.279 0.078 0.035

4. Pembahasan

Hasil penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan adanya hubungan positif

antara kebersyukuran dan subjective well being. Hasil statistik menunjukkan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebersyukuran dan subjective well

being. Hal ini terlihat dari nilai pengaruh kebersyukuran terhadap subjective well

being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai. Hasil analisis data statistik

kedua variabel pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

positif antara variabel kebersyukuran dengan subjective well-being, dengan

korelasi r = 0,279 dan p = 0,035 (p< 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa

Page 55: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

55

hipotesis penelitian ini diterima, yaitu ada hubungan positif yang signifikan antara

variabel kebersyukuran dan subjective well being. Artinya semakin tinggi

kebersyukuran maka semakin tinggi subjective well being.

Kebersyukuran berpengaruh 7,8% pada subjective well being. Dengan kata

lain, 92,2% subjective well being dipengaruhi faktor lain. Menurut Eddington dan

Shuman (2008), salah satu faktor subjective well-being adalah agama. Sebagian

besar penelitian yang didasarkan pada sampel nasional, menunjukkan bahwa

subjective well being berkorelasi secara signifikan (meskipun efek ukuran tidak

besar) dengan kepastian agama (Ellison, 1991), kekuatan seseorang hubungan

dengan Tuhan (Pollner, 1989), prayer experiences (Poloma & Pendleton, 1991),

kebaktian dan aspek partisipatif religiusitas (Ellison, Gay, & Glass, 1989), bahkan

setelah mengendalikan usia, pendapatan dan perkawinan status. Stone dan Neale

(Zulaikhah, 2013), menjelaskan bahwa agama dapat menjadi koping individu

dalam menghadapi masalah atau tekanan hidup, yaitu dengan berserah diri dan

mencari pertolongan Tuhan. Penerimaan terhadap permasalahan ataupun tekanan

dalam hidup akan menimbulkan perasaan cukup pada diri individu.

Agama sendiri tentunya tidak dapat terlepas dari berbagai ajarannya, salah

satunya kebersyukuran. Teori perkembangan dari Klein (Froh dkk, 2008)

Page 56: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

56

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif antara

kebersyukuran dengan subjective well-being pada remaja akhir yang orangtuanya

bercerai. Hal ini berarti semakin tinggi kebersyukuran, tidak menyebabkan

subjective well-being pada remaja akhir yang orangtuanya bercerai semakin

tinggi, sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini tidak diterima.

B. Saran

Page 57: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

57

1. Bagi subjek penelitian

Dengan melihat hasil penelitian yang telah dilakukan, para remaja

akhir diharapkan dapat lebih giat belajar mengenai ajaran agama Islam,

meningkatkan keyakinan dalam beragama, serta mengamalkan ajaran-ajaran

agama Islam, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika menghadapi ujian hidup, seperti perceraian yang terjadi pada

orangtua, hendaknya remaja akhir sebagai anak, lebih berusaha untuk ikhlas

dalam menjalani ujian hidup yang tidak dapat diubah. Remaja juga

sebaiknya lebih fokus pada hal-hal yang masih dapat diikhtiarkan, seperti

prestasi. Sehingga remaja akhir, sebagai anak, dapat lebih bersyukur atas

keadaan hidupnya dan dapat memiliki kepuasan hidup atau subjective well

being yang lebih tinggi.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian dengan

subjek yang lebih bervariasi, serta melihat tinjauan faktor-faktor lain yang

secara signifikan dapat mempengaruhi variabel subjective well-being.

Diharapkan juga bagi peneliti selanjutnya, agar dapat menggunakan metode

penelitian lain dalam mengungkap topik subjective well-being, misalkan

dengan metode kualitatif agar dapat mendeskripsikan topik subjective well-

being secara lebih mendalam, atau metode eksperimen untuk meningkatkan

kualitas subjective well-being individu. Peneliti selanjutnya juga disarankan

untuk lebih mengkaji teori-teori khususnya teori yang terbaru untuk

56

Page 58: Hubungan Antara Subjective Well Being Dengan Kesabaran Pada Remaja Akhir Yang Orangtuanya Bercerai (Autosaved)

58

digunakan sebagai acuan dalam penelitian. Di samping itu peneliti

selanjutnya juga diharapkan lebih memodifikasi aitem-aitem serta lebih

ketat dalam pengawasan terhadap subjek ketika mengisi skala penelitian.

3. Persiapan penelitian

d. Persiapan administrasi

Pengambilan data dalam peneltian ini tidak menggunakan sistem perijinan

Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian dengan subjek

yang lebih bervariasi, serta melihat tinjauan faktor-faktor lain yang secara

signifikan dapat mempengaruhi variabel subjective well-being. Diharapkan juga

bagi peneliti selanjutnya, agar dapat menggunakan metode penelitian lain dalam

mengungkap topik subjective well-being, misalkan dengan metode kualitatif agar

dapat mendeskripsikan topik subjective well-being secara lebih mendalam, atau

metode eksperimen untuk meningkatkan kualitas subjective well-being individu.

Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk lebih mengkaji teori-teori khususnya

teori yang terbaru untuk digunakan sebagai acuan dalam penelitian. Di samping

itu peneliti selanjutnya juga diharapkan lebih memodifikasi aitem-aitem serta

lebih ketat dalam pengawasan terhadap subjek ketika mengisi skala penelitian.