gambaran subjective well-being pada wanita karir … · 2017. 12. 8. · menyatakan dengan...
TRANSCRIPT
GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA
WANITA KARIR YANG MELAJANG
OLEH
ANDHIKA WIDHIANA KURNIA RAMADHANI
802013155
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Andhika Widhiana Kurnia Ramadhani
Nim : 802013155
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW
hal bebas royalty non-ekslusif (non-excusive royalty freeright) atas karya ilmiah saya
berjudul:
GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA KARIR YANG
MELAJANG
Dengan hak bebas royalty non-ekslusif ini, UKSW berhak menyimpan
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal : 04 Januari 2017
Yang menyatakan,
Andhika Widhiana Kurnia R
Mengetahui,
Pembimbing
Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Andhika Widhiana Kurnia Ramadhani
NIM : 802013155
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :
GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA KARIR YANG
MELAJANG
Yang dibimbing oleh :
Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-oleh sebagai karya
sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber lainnya.
Salatiga, 04 Januari 2017
Yang memberi pernyataan
Andhika Widhiana Kurnia R
LEMBAR PENGESAHAN
GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA KARIR YANG
MELAJANG
Oleh
Andhika Widhiana Kurnia Ramadhani
802013155
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyarataan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui Pada Tanggal 04 Januari 2017
Oleh
Pembimbing
Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS
Diketahui oleh,
Kaprogdi
Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS
Disahkan oleh,
Dekan
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA
WANITA KARIR YANG MELAJANG
Andhika Widhiana Kurnia Ramadhani
Christiana Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
Abstrak
Kebahagiaan seorang wanita ditentukan oleh banyak hal, seperti : karir dan menikah.
Wanita saat ini sangat mengejar karir dan menunda untuk menikah, karena pernikahan
terkadang menjadi pengahambat bagi wanita untuk mencapai cita – citanya dalam
berkarir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran subjective well-being
pada wanita karir yang melajang, serta faktor – faktor yang mempengaruhi gambaran
subjective well-being pada wanita karir yang melajang. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam. Partisipan penelitian ini adalah
dua orang wanita karir yang memenuhi kriteria yang sudah ditentukan. Hasil penelitian
ini adalah kedua partisipan mempunyai gambaran subjective well-being yang hampir
sama. Kedua partisipan merasa puas dengan apa yang telah meraka capai saat ini. Cara
partisipan menyikapi keadaannya saat ini, di tengah lingkungan yang mendukung
mereka dengan baik. Lebih dari pada itu, peneliti menemukan faktor – faktor yang
mempengaruhi tingkat subjective well-being pada partisipan.
Kata kunci : Subjective Well-Being, Wanita karir, Melajang
ii
Abstract
The happiness of a woman is determined by many factors, such as : career and
marriage. Women nowadays pursue their career and postpone their marriage because
marriage, sometimes, becomes an obstacle for a woman to pursue her goal in career.
The aim of this research is to know the portrayal of subjective well-being in single
career-women and factors affecting the portrayal of subjective well-being in single
career-women. This research uses qualitative method with in-depth interviewing
technique. The participant in this research is two career woman which fulfills the
requirements. The result of this research is that those two participants has an almost
similar portrayal of subjective well-being. Those two participants feel satisfied with
what they have obtained. The way the participants behave the circumstances today that
they are in a supportive environment. Furthermore, the researcher find factors affecting
the subjective well-being level in participants.
Keywords : subjective well-being, career woman, being single
1
PENDAHULUAN
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebahagiaannya masing – masing.
Setiap manusia mempunyai cara pandangnya sendiri dalam menyikapi kebahagiaan.
Dinamika kebahagiaan hidup manusia tampak begitu bervariasi, beraneka ragam dan
berbeda antara satu kebahagiaan dengan kebahagiaan yang lain, ada orang – orang yang
menganggap kesuksesan dalam karir sebagai suatu kebahagiaan, ada yang menganggap
kebahagiaan ialah kesuksesan dalam studi, adalah sebuah kebahagiaan bila memiliki
harta yang banyak, menjadi sebuah kebahagiaan bila memiliki keluarga yang harmonis,
bahkan ada yang menyatakan sebagai suatu kebahagiaan bila dapat melewati hari – hari
tanpa masalah (dalam The Journal of Philosophy and Theology
ratadiajo.wordpress.com; 2013).
Kebahagiaan seseorang dapat diketahui dari penjelasan seseorang mengenai
keadaan emosinya dan bagaimana perasaannya tentang dunia sekitar dan dirinya sendiri.
Cara bagaimana seseorang mengevaluasi hidup mereka mengacu pada subjective well-
being (Ed Diener, Eunkook Suh, dan Shigehiro Oishi; 1997). Menurut William C.
Compton (2005), secara garis besar indeks subjective well-being seseorang dilihat dari
skor dua variabel utama, yaitu kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup. Dan dari hidup
yang bahagia itu manusia dapat mencapai kepuasan dalam hidup.
Kebahagiaan erat hubungannya dengan pernikahan. Seseorang dianggap bahagia
dan mencapai kepuasan hidup ketika mereka sudah menikah dan memiliki keluarga.
Seligman (2005) mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan
kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan
kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih bahagia lebih atraktif sebagai
2
pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan
memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya
keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan
peran sebagai orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004).
Banyak yang menginginkan untuk menikah. Lalu bagaimana dengan wanita yang
memiliki gaya hidup yang berbeda, mereka tidak memikirkan pernikahan.
SWB merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu karena SWB
mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai domain kehidupan (Pavot &
Diener, 2004). Individu dengan SWB yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat
menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan perfomansi kerja yang
lebih baik.
Menurut Diener (2009) definisi dari SWB dan kebahagiaan dapat dibuat menjadi
tiga kategori. Pertama, SWB bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan
beberapa keinginan berkualitas yang ingin dimiliki setiap orang. Kedua, SWB
merupakan sebuah penilaian secara menyeluruh dari kehidupan seseorang yang merujuk
pada berbagai macam kriteria. Arti ketiga dari SWB jika digunakan dalam percakapan
sehari – hari yaitu dimana perasaan positif lebih besar daripada perasaan negatif.
Diener (2005) secara ilmiah berusaha memaparkan bahwa SWB mengacu pada
berbagai tipe evaluasi, afektif dan kognitif yang dibuat seseorang terhadap hidupnya.
Termasuk di dalamnya, evaluasi secara kognitif, seperti kepuasan hidup, kepuasan
dalam pekerjaan, minat dan ketertarikan, serta evaluasi afektif seperti reaksi afeksi
terhadap pengalaman hidup, kebahagiaan dan kesedihan. Compton (2005), berpendapat
bahwa SWB terbagi dalam dua variabel utama: kebahagiaan dan kepuasan hidup.
3
Kebahagiaan berkaitan dengan keadaan emosional individu dan bagaimana individu
merasakan diri dan dunianya. Kepuasan hidup cenderung disebutkan sebagai penilaian
global tentang kemampuan individu menerima hidupnya.
Diener, Suh, & Oishi dalam Eid dan Larsen (2008), menjelaskan bahwa individu
dikatakan memiliki SWB tinggi jika mengalami kepuasan hidup, sering merasakan
kegembiraan, dan jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan
atau kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki SWB rendah jika tidak puas
dengan kehidupannya, mengalami sedikit kegembiraan dan afeksi, serta lebih sering
merasakan emosi negative seperti kemarahan atau kecemasan. Veenhoven (dalam
Diener, 2009) mendefinisikan SWB sebagai sejauh mana individu menilai kualitas
keseluruhan dari dirinya atau hidupnya secara lengkap dan utuh.
Menurut Diener (dalam Eid & Larsen) SWB terbagi dalam dua dimensi umum,
yaitu:
1. Dimensi kognitif
Dimensi kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup, yang
didefinisikan sebagai penilaian dari hidup seseorang. Evaluasi terhadap
kepuasan hidup dapat dibagi menjadi:
a. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global (life satisfaction).
Kepuasan hidup menggambarkan bagaimana seseorang individu
mengevaluasi atau memberi penilaian pada hidupnya secara
keseluruhan. Hal in dimaksudkan untuk menunjukkan sebuah
penilaian secara luas yang dibuat orang tersebut dalam hidupnya.
Menurut Haybron (dalam Eid & Larsen, 2008), kepuasan hidup juga
4
dilihat sebagai suatu hal yang holistik. Holistic yang dimaksud dalam
hal ini adalah keseluruhan dari hidup seseorang atau sebuah totalitas
dari kehidupan seseorang setelah periode waktu tertentu dalam
kehidupannya.
Diener, Lucas, dan Smith (1999) memaparkan bahwa dalam
aspek kepuasan hidup ini terdapat beberapa pun penilaian, yaitu
keinginan untuk mengubah kehidupan, kepuasan terhadap hidup saat
ini, kepuasan hidup di masa lalu, kepuasan terhadap kehidupan di
masa depan, dan penilaian orang lain terhadap kehidupan seseorang.
Kelima aspek tersebut juga terangkum dalam 5 item pernyataan dalam
satisfaction with life scale oleh Diener (2009) dalam bukunya yang
berjudul Assessing Well-Being.
b. Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu.
Menurut Diener (2009), kepuasan domain merefleksikan evaluasi
seseorang terhadap domain spesifik dari kehidupan. Kepuasan domain
tertentu dalam kehidupan juga merupakan penilaian yang dibuat
seseorang dalam mengevaluasi domain penting dalam hidup, seperti
kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, hubungan sosial, dan keluarga.
Biasanya orang mengindikasikan seberapa puas mereka dalam
berbagai domain, tetapi mereka juga dapat menunjukkan seberapa
banyak mereka menyukai kehiduoan mereka di bagian – bagian
tertentu kehidupa. Meski begitu, Diener (2009) juga melihat bahwa
penilaian terhadap kepuasan domain kehidupan merupakan sebuah
5
kumpulan dan berat yang diberikan bagi setiap domain berbeda bagi
masing – masing individu.
Diener, Lucas, dan Smith (1999) memaparkan bahwa dalam
aspek domain kepuasan hidup ini terdapat; pekerjaan, keluarga, waktu
luang, kesehatan, keuangan, dan diri sendiri. Namun, karena
perbedaan focus dan porsi domain kehidupan bagi masing – masing
individu, Diener lebih memfokuskan pengukuran SWB hanya dari
ketiga aspek lainnya, yaitu kepuasan hidup secara keseluruhan, afek
positif dan afek negative.
2. Dimensi Afeksi
Secara umum, dimensi afeksi SWB merefleksikan pengalaman
dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang. Dengan
meneliti tipe – tipe dari reaksi afektif yang ada seorang peneliti dapat
memahami cara seseorang mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam
hidupnya. Komponen afektif SWB dapat dibagi menjadi:
a. Afek positif (positive affect)
Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang
menyenangkan seperti kasih sayang. Emosi positif atau
menyenangkan adalah bagian dari SWB karena emosi – emosi
tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa – peristiwa
yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesui dengan apa yang ia
inginkan. Afek positif terlihat dari emosi – emosi spesifik seperti
tertarik atau berminat akan sesuatu (interested), gembira (excited),
kuat (strong), antusias (enthusiastic), waspada atau siap siaga (alert),
6
bangga (proud), bersemangat (inspired), penuh tekad (determined),
penuh perhatian (attentive), dan aktif (active).
b. Afek negatif (negative affect)
Afek negatif adalah pravelensi dari emosi dan mood yang tidak
menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami
seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan,
dan peristiwa yang mereka alami. Afek negatif terlihat dari emosi –
emosi spesifik seperti sedih atau susah (distressed), kecewa
(disappointed), bersalah (guilty), takut (scared), bermusuhan (hostile),
lekas marah (irritable), malu (shame), gelisah (nervous), gugup
(jittery), khawatir (afraid).
Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua komponen yang ada
dalam SWB yaitu komponen kognitif dan komponen afektif, dimana
komponen kognitif berfungsi sebagai proses pengevaluasian dari
kepuasan hidup, sedangkan komponen afektif yaitu berupa pemberian
refleksi pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di kehidupan
seseorang.
Ada beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi SWB:
a. Faktor genetik
Diener dkk. (2005) menjelaskan bahwa walaupun peristiwa di
dalam kehidupan mempengaruhi SWB, seseorang dapat beradaptasi
terhadap perubahan tersebut dan kembali kepada „set point‟ atau „level
adaptasi‟ yang ditentukan secara biologis. Adanya stabilitas dan
konsistensi di dalam SWB tejadi karena ada peran yang besar dari
7
komponen genetis; jadi ada sebagian orang yang memang lahir dengan
kecenderungan untuk bahagia, dan ada juga yang tidak. Faktor genetik
tampaknya mempengaruhi karakter respon emosional seseorang pada
kondisi kehidupan tertentu.
b. Kepribadian
SWB adalah sesuatu yang stabil dan konsisten, dan secara
empiris berhubungan dengan konstruk kepribadian. Lykken dan Tellegen
(dalam Diener & Lucas, 1999) menyatakan bahwa kepribadian
mempunyai efek terhadap SWB saat itu (immediate subjective well-
being) sebesar 50%, sedangkan pada jangka panjangnya, kepribadian
mempunyai efek sebesar 80% terhadap SWB. Sisanya adalah efek dari
lingkungan. Dua traits kepribadian yang ditemukan paling berhubungan
dengan SWB adalah extraversion dan neuroticism (Pavot & Diener,
2004). Extraversion mempengaruhi afek positif, sedangkan neuroticism
mempengaruhi afek negatif. Menurut Pavot & Diener (2004), banyak
peneliti beragurmen bahwa extraversion dan neuroticosm berhubungan
dengan subjective well-being karena kedua traits tersebut mencerminkan
temperamen seseorang.
Di sisi lain, trait lain dalam model kepribadian “the big five trait
factors”, yaitu agreeableness, conscientiousness, dan openness to
experience menunjukkan bahwa hubungan yang lebih lemah dengan
subjective well-being (Watson & Clark dalam Diener & Lucas, 1999).
Scidlitz (dalam Diener & Lucas, 1999) mengatakan bahwa hubungan
tersebut lebih lemah karena trait terbentuk dari reward oleh lingkungan,
8
dan bukannya oleh reaktivitas faktor biologis terhadap lingkungan.
Hubungan extraversion, conscientiousness dan neuroticism dengan
subjective well-being ditengahi oleh self-esteem. Sedangkan relational
esteem (kepuasan terhadap keluarga dan teman ) menjadi moderator bagi
hubungan agreeableness dan extraversion dengan subjective well-being
(Benet-Martinez & Karakitapoglu-Aygun; Kwan, Bond, & Singelis
dalam Ozer &Benet-Marinez, 2006).
c. Faktor demografis
Secara umum, Diener (dalam Diener, Lucas, dan Oishi, 2005)
mengatakan bahwa efek faktor demografis (misalnya pendapatan,
pengangguran, status pernikahan, umur, jenis kelamin, pendidikan, ada
tidaknya anak) terhadap SWB biasanya kecil. Faktor demografis
membedakan antara orang yang sedang – sedangn saja dalam merasakan
kebahagiaan (tingkat SWB sedang), dan orang yang sangat bahagia
(tingkat SWB tinggi).
Diener, dkk. (2005) menjelaskan bahwa sejauh mana faktor
demografis tertentu dapat meningkatkan SWB tergantung dari nilai dan
tujuan yang dimiliki seseorang, kepribadian, dan kultur. Penjelasan lain
mengenai hubungan antara faktor demografis dan SWB adalah dengan
menggunkan teori perbandingan sosial. Teori tersebut menyebutkan
bahwa kepuasan seseorang tergantung pada apakah ia membandingkan
dirinya dengan seseorang yang statusnya ada di atas dia atau ada di
bawah dia.
Berikut ini adalah beberapa pengaruh demografis terhadap SWB:
9
1. Pendapatan
Pendapatan secara konsisten berhubungan dengan SWB
dalam analisis pada tingkat dalam suatu Negara (intra-nation)
dan antar Negara (inter-nation), namun dalam analisis di
dalam individu itu sendiri dan dalam tingkat nasional,
perbedaan pendapatan di dalam selang waktu tertentu
mempunyaI efek yang kecil pada SWB (Diener dkk, 2005).
2. Pengangguran
Adanya periode pengangguran dapat menyebabkan
berkurangnya SWB, walaupun akhirnya orang tersebut dapat
bekerja kembali (Clark, Georgellis, Lucas, & Diener dalam
Pavot & Diener, 2004). Pengangguran adalah penyebab besar
adanya ketidakbahagiaan, namun perlu diperhatikan bahwa
tidak semua pengangguran mengalami ketidakbahagiaan
(Argyle, 1999). Argyle mengungkapkan lebih lanjut bahwa
beberapa penyebab penganggur tidak bahagia adalah karena
berkurangnya afek positif, self-esteem, kepuasan terhadap
uang, kesehatan, dan tempat tinggal, serta munculnya apati.
3. Status pernikahan
Pernikahan diduga berhubungan timbal balik dengan
SWB (Heady, Veenhoven, & Wearing, 1991). Menikah
memang meningkatkan SWB, tetapi apabila orang menikah
tersebut mempunyai SWB yang rendah, maka pernikahannya
cenderung untuk menjadi buruk (Heady, dkk., 1991).
10
4. Umur dan jenis kelamin
Umur dan jenis kelamin berhubungan dengan SWB,
namun efek tersebut juga kecil, dan tergantung kepada
komponen mana dari SWB yang diukur (Diener dkk., 2005).
5. Pendidikan
Pendidikan berhubungan dengan SWB apabila ditengahi
oleh status di dalam pekerjaannya. Apabila status
pekerjaannya di control, efek pendidikan menjadi kecil atau
hilang sama sekali (Glenn & Weaver dalam Argyle, 1999).
Apabila pendapatan yang dikonstankan, maka pendidikan
mempunyai efek negatif, karena pendidikan memberi
ekspektasi akan didapatkannya pendapatan yang lebih besar
(Clark & Oswald dalam Argyle, 1999).
6. Ada tidaknya anak
Diener (dalam Daunkantantie, 2006) mengatakan bahwa
keberadaan anak dalam keluarga mempunyai efek negatif
atau tidak ada efek terhadap SWB, namun penemuan tersebut
masih simpang siur dan respondennya terdiri dari berbagai
usia dan gender.
d. Hubungan sosial
Diener & Seligman (dalam Pavot & Diener, 2004) menemukan
bahwa hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan,
tapi tidak cukup untuk membuat SWB seseorang tinggi. Artinya,
11
hubungan sosial yang baik tidak membuat seseorang dengan SWB yang
tinggi mempunyai ciri-ciri berhubungan sosial dengan baik.
e. Dukungan sosial
Dukungan sosial dikatakan oleh Arygle (dalam Heady dkk.,
2001) merupakan salah satu variabel determinan dari SWB. Dalam
hubungannya dengan komponen SWB, Walen dan Lachman (2000)
mengatakan bahwa dukungan sosial yang dipersepsikan dapat
menjelaskan sebagian besar varians pada kepuasan hidup dan afek
positif. Penemuan Walen dan Lachman (2000) tersebut didukung oleh
Goodwin dan Plaza (2000) yang menemukan bahwa ada korelasi yang
signifikan (r = 0,59) antara dukungan sosial yang dipersepsikan secara
global dengan kepuasan hidup.
f. Pengaruh masyarakat atau budaya
Diener (dalam Pavot & Diener, 2004) mengatakan bahwa
perbedaan SWB dapat timbul karena perbedaan kekayaan Negara.
Adanya hubungan antara masyarakat dan budaya dengan SWB dapat
dijelaskan pula dengan adanya perbedaan persepsi masyarakat di Negara
masing – masing mengenai konsep kebahagiaan (Diener & Suh, 1999).
Diener & Suh (1999) juga mengatakan ada variabel lain di dalam
konteks masyarakat yang berhubungan dengan SWB yang lebih tinggi,
yaitu stabilitas politik di suatu Negara.
Perbedaan norma kultural juga dapat mempengaruhi afek positif
dan afek negatif. Diener, Suh, Oishi, dan Shao (dalam Diener & Lucas,
1999) mengatakan bahwa afek positif lebih dipengaruhi oelh norm
12
kultural dibandingkan afek negatif. Selain membuat adanya perbedaan
SWB antara satu Negara dengan Negara lain, norma kultur juga dapat
mempengaruhi hal – hal yang berhubungan dengan SWB (Diener dkk.,
2005). Contohnya, hubungan self-esteem dengan SWB lebih kuat pada
Negara individualis daripada Negara kolektivis (Diener & Diener dalam
Ryan & Deci, 2001).
g. Proses kognitif
Disposisi kognitif seperti harapan (Synder dalam Diener dkk.,
2005), kecenderungan seseorang untuk optimis (Scheier & Carver dalam
Diener dkk., 2005), dan kepercayaan bahwa dirinya mempunyai kendali
ditemukan mempengaruhi SWB (Grob, Stetensko, Sabatier, Botcheva, &
Macek dalam Diener dkk., 2005). Perbedaan SWB juga dihasilkan dari
perbedaan individu dalam bagaimana ia berpikir tentang dunia (Diener
dkk., 2005).
h. Tujuan (goals)
Emmons, Little, Freund, dan Klinger (dalam Diener & Scollon,
2003) menyatakan bahwa mempunyai sebuah tujuan merupakan hal yang
penting bagi seseorang, dan kemajuan terhadap pencapaian tujuan
tersebut adalah hal yang penting bagi SWB-nya. Cantor (dalam Diener &
Scollon, 2003) menekankan pada pentingnya mengetahui tugas yang
diahadapi dalam tahap perkembangan seseorang, dimana kultur juga
berperan dalam menentukan tujuan tertentu untuk tiap tahap.
Pada jaman modern dan berteknologi tinggi seperti sekarang ini, banyak wanita
yang lebih termotivasi untuk mengaktualisasikan dirinya. Para wanita lebih
13
menitikberatkan pada karir atau pekerjaan dan cenderung terkesan menunda pernikahan
(Rubianto, 2000). Para wanita modern sekarang ini tidak terlalu memikirkan untuk
menikah muda, mereka lebih ingin berkarir dahulu. Ketika sendiri (belum terikat
pernikahan) wanita merasa lebih bebas berkarya, bebas menentukan karirnya, bebas
dalam memenuhi kebutuhannya, dll. Mereka tidak harus tergantung terhadap suaminya,
mereka tidak harus terikat dengan suaminya.
Pada era Globalisasi ini pendidikan dan karir untuk wanita semakin terbuka
sehingga wanita bersemangat dalam meraih karir yang lebih baik. Wanita muda pada
usia dewasa awal yang ingin fokus pada pekerjaan memilih untuk menunda pernikahan
karena pernikahan terkadang menjadi penghambat bagi wanita untuk mencapai cita –
citanya dalam berkarir. Hurlock (1998) mengungkapkan, alasan terbesar wanita
melajang adalah rasa ingin menikmati kebebasan karena dapat meluangkan waktu dan
energy untuk karir. Sekarang ini beberapa perusahaan menyeleksi pekerjaan tidak hanya
berdasarkan pengalaman dan pendidikannya tetapi juga status perkawinannya, yaitu
lebih menyukai status lajang (Hewlett, 2006).
Laswell & Laswell (1987) menyebutkan wanita lajang adalah para wanita yang
berada dalam suatu masa yang dapat bersifat temporary (sementara) atau jangka
pendek, yaitu biasanya dilalui sebelum menikah atau dapat juga bersifat jangka panjang
jika merupakan pilihan hidup. Melajang bagi wanita bisa menjadi pilihan hidup bisa
juga karena belum menemukan pasangan hidup padahal ada keinginan untuk menikah.
Pada dasarnya wanita yang melajang sudah memikirkan masa depannya, mereka
mencari pekerjaan demi menghidupi dirinya sendiri. Wanita yang memang memilih dan
memutuskan sendiri untuk hidup melajang pasti sudah memikirkan segala kemungkinan
14
dan konsekuensi yang akan diterimanya, seperti kesepian, kurangnya relasi intim
dengan orang lain, dan kekuatiran akan hari tua (Gunadi, 2001). Tidak dipungkiri
bahwa wanita sekarang ini lebih banyak yang mengejar karir setinggi – tingginya,
karena kembali lagi bahwa pada era globalisasi, aktualisasi diri menjadi aspek yang
sangat penting. Wanita tidak mau lagi terlalu bergantung kepada laki – laki.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, subjek menceritakan
bahwa dirinya enjoy dengan keadaan dirinya saat ini. Dia tidak peduli dengan kata –
kata orang lain tentang hidupnya yang sampai saat ini belum mempunyai pasangan.
Subjek juga mengatakan bahwa dirinya tidak terlalu memikirkan tentang kehadiran
pasangan hidupnya, subjek sudah nyaman dengan kesendiriannya. Subjek juga lebih
banyak waktu bersama dengan keluarga dan teman – temannya.
Dari hasil penelitian sebelumnya mengenai “Subjective well-being pada wanita
karir usia dewasa madya yang masih lajang” diperoleh hasil bahwa penyebab wanita
karir usia dewasa madya masih melajang karena subjek merasa nyaman dan menikmati
hidupnya dan subjek terlalu memikirkan karirnya sehingga melupakan kehidupan
pribadinya serta keluarga subjek memberikan kebebasan untuk subjek dalam
menentukan hidupnya. Gambaran subjective well-being pada wanita karir usia dewasa
madya adalah subjek lebih banyak merasakan afek positif seperti perasaan sukacita,
bersyukur, perhatian terhadap keluarga, berbagi terhadap sesama dan mencoba
memperbaiki keadaan walaupun kadang subjek pernah merasakan afek negatif seperti
kegagalan dan putus asa, serta subjek juga memiliki kepuasan hidup. Faktor – faktor
menyebabkan subjective well-being pada subjek adalah faktor sifat ekstrovert (terbuka),
optimis, hubungan yang positif, kontak sosial serta pemahaman tentang arti dan tujuan.
15
Pada penelitian yang lain mengenai “Subjective well-being pada wanita dewasa
akhir yang hidup melajang” didapatkan hasil bahwa gambaran subjective well-being
terlihat dari penilaian positif tentang kehidupan melajang, adanya hubungan positif
dengan lingkungannya, serta memiliki job satisfaction. Faktor – faktor yang
mempengaruhi subjective well-being terlihat dari adanya dukungan dari orang – orang
terdekat, peristiwa positif dalam hidup, kegiatan religiusitas dan kondisi finansial yang
memadai.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat gambaran subjective
well-being pada wanita karir yang melajang. Selain itu, peneliti ingin melihat apa saja
faktor - faktor yang mempengaruhi subjective well-being pada wanita karir yang
melajang. Yang membedakan adalah pada usia subjek yang akan diteliti.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan suatu penelitian yang mendalam (in-depth), berorientasi pada
kasus dari sejumlah kecil kasus, termasuk satu studi kasus (Morissan, 2012).
Peneliti dalam mengambil data penelitian menggunakan teknik wawancara
mendalam. Kemudian konsep berpikir yang digunakan oleh peneliti adalah dengan cara
induktif.
Subjek Penelitian
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita karir yang melajang.
Kriteria dari subjek yang digunakan adalah sebagai berikut :
16
a. Seorang wanita yang sudah bekerja
b. Wanita yang belum menikah (melajang)
c. Wanita usia di atas 40 tahun.
Alasan memilih subjek wanita karir yang melajang usia di atas 40 tahun adalah
pertimbangan usia kritis dimana seorang wanita sudah dianggap sangat siap untuk
memiliki keluarga, dan tekanan dari orang – orang sekitar yang semakin banyak.
Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam untuk
mendapatkan informasi dari pasrtisipan. Metode ini mencakup cara yang
dipergubakan seseorang untuk suatu tujuan tertentu, mencoba mendapatkan
keterangan atau pendapat secara lisan langsung dari seseorang atau informan.
Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat
menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang komplek, kualifikasi
yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau gabungan yang
telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena,
dan secara maksimal memungkinkan interpretasi tema (Boyatzis dalam
Poerwandari, 2001).
Uji Keabsahan Data
Menurut Alsa (2004), validitas penelitian kualitatif adalah kepercayaan
terhadap data yang diperoleh dan analisis yang dilakukan peneliti secara akurat
dalam mempresentasikan dunia sosial di lapangan. Peneliti menanyakan kebenaran
17
atas penyataan (jawaban) yang telah disampaikan oleh partisipan kepada teman
dekat partisipan. Dalam proses pengambilan data terlebih dahulu peneliti juga
membangun rapport dengan subjek penelitian, agar dalam proses pelaksanaan
penelitian nanti antara peneliti dan responden sudah terjalin hubungan yang baik.
Demi memperoleh validitas data, wawancara penelitian ini direkam dengan
menggunakan tape recorder. Selain itu peneliti juga menjaga kode etik psikologi
dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada tanggal 18 sampai dengan 27
bulan November tahun 2016. Wawancara dilakukan satu kali untuk partisipan pertama
dan dua kali untuk partisipan kedua. Partisipan pertama, wawancara dilakukan di kantor
beliau tepatnya di Gedung Rektorat UNS dan dilaksanakan pada tanggal 18 November
2016. Dan untuk partisipan kedua, wawancara dilakukan di rumah beliau pada t7anggal
19 dan 27 November 2016.
Partisipan pertama (P1) beinisial H, partisipan lahir dan dibesarkan di kota
Surakarta, Jawa Tengah pada tahun 1969. H menganut agama Islam. H merupakan anak
kedua dan mempunyai dua adik, dia mempunyai seorang kakak yang sudah meninggal.
H saat ini tinggal bersama ibu, kedua adiknya dan satu keponakan. Ayah H sudah
meninggal dunia, dan ibu H merupakan seorang ibu rumah tangga. Saat ini H
merupakan pegawai bagian administrasi Universitas Sebelas Maret (UNS). Setelah lulus
SMEA, H memutuskan untuk bekerja dahulu. H mempunyai hobi berenang, membaca
dan nonton.
18
Partisipan kedua (P2) berinisial S, partisipan lahir di Pati pada tanggal 10
Oktober 1963, S kecil pernah tinggal di Semarang. Pada saat SD, S pindah ke Solo dan
tinggal di Solo hingga sekarang. S menganut agama Kristen, orang tua dan kedua adik S
menganut agama Islam. S merupakan putri pertama dan memmiliki dua adik laki – laki,
yang salah satunya sudah menikah. Saat ini S bekerja sebagai guru PKN di salah satu
SMP di Surakarta. S mempunyai hobi membuat karya seni seperti: kristik, membuat
pernak – pernik dari manik – manik, selain itu S juga mempunyai hobi menyanyi.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kedua
partisipan mempunyai gambaran SWB yang tinggi. Selain itu gambaran SWB pada
kedua partisipan hampir sama, walaupun mereka memiliki selisih usia 6 tahun, dan
salah satu dari mereka masih ingin untuk memiliki keluarga. Gambaran SWB tersebut
dapat dilihat dari dimensi yang digunakan oleh penulis yaitu dimensi umum dari Diener
(dalam Eid & Larsen).
1. Dimensi kognitif
Kedua partisipan mempunyai penilaian yang tidak jauh berbeda
mengenai hidup mereka, yang dalam dimensi ini dibagi ke dalam dua evauasi.
a. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global (life satisfaction).
P1 mengatakan bahwa dirinya sudah cukup puas dengan
kehidupannya saat ini, P1 senantiasa bersyukur atas apa yang sudah
didapatkannya baik itu materi maupun non materi. P1 tidak merasa statusnya
saat ini (melajang) Untuk kehidupannya masa lalu, P1 hanya menyayangkan
mengapa dulu dia seenaknya sendiri pada waktu sekolah. sedangkan untuk
P2, partisipan belum merasa puas dengan kehidupannya saat ini. P2 merasa
belum bisa membahagiakan kedua adiknya karena kedua orang tuanya sudah
19
tiada. P1 dan P2 mensyukuri apa yang sudah terjadi pada diri mereka. P1 dan
P2 berusaha yang terbaik untuk kehidupannya di masa yang akan datang,
mereka berusaha memperbaiki apa yang kurang di masa lalu. P1 belum
memiliki pasangan hingga saat ini hanya karena P1 belum menemukan
seseorang yang pas dengan dirinya. P1 mengatakan bahwa dia ingin segera
menikah dengan laki – laki pilihannya, tetapi teman dekatnya mengatakan
bahwa P1 selalu mengatakan hal yang sama ketika di tanya mengenai
pasangan hidupnya. Sedangkan P2 mempunyai pengalaman masa lalu yang
membuatnya trauma hingga sekarang. Trauma yang dirasakan oleh P2
adalah takut jika apa yang dialami oleh kedua orang tuanya dahulu terjadi
pada dirinya juga. Keluarga P2 bukanlah keluarga yang harmonis, ayah P2
sering menelantarkan ibu P2. P2 mengatakan bahwa sang ayah tidak
memenuhi kebutuhan dari sang ibu, seperti contoh yang disampaikan oleh
P2, sang ayah tidak membelikan baju baru untuk ibunya ketika lebaran. P2
juga mengatakan bahwa ibunya sering mendapat tindak kekerasan dari
ayahnya. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab mengapa P2 tidak
menikah hingga saat ini, P2 takut jika hal yang dialami ibunya juga terjadi
pada dirinya.
Mengenai penilaian orang lain terhadap kehidupan partisipan, kedua
partisipan hampir sama dalam menyikapi hal tersebut. P1 dan P2 cenderung
tidak peduli dengan perkataan atau penilaian orang lain terhadap mereka,
apalagi ditambah dengan status mereka saat ini. P2 mengatakan bahwa
dirinya sudah terbiasa, sehingga dia tidak mau memikirkan perkataan orang
lain, dia cenderung membuat segalanya happy. P1 dan P2 seseorang yang
20
hampir sama mereka mempunyai cukup banyak teman di sekeliling mereka.
Selain banyak teman, P1 saat ini masih memiliki hubungan dengan seorang
laki – laki yang. P1 dan P2 termasuk yang memiliki banyak mantan pacar,
mereka mempunyai tipe laki – laki yang mereka sukai. Tetapi untuk P2 saat
ini sudah menutup diri, jika dia dekat laki – laki lebih baik seseorang itu
menjadi saudara. P2 mengatakan bahwa dirinya dahulu cukup sering diajak
untuk menikah, tetapi dirinya tidak mau. Alasan yang cukup kuat adalah
karena P2 sudah trauma, disamping itu P2 selalu menjalin hubungan dengan
seseorang yang berbeda agama.
P1 dan P2 menerima keadaan dirinya saat ini dengan senang hati, P1
dan P2 sangat bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan kepada mereka. P1
menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, P2 happy
dengan yang dia miliki saat ini. Walaupun P1 dan P2 tidak sempurna tetapi
mereka tidak menjadikan itu sebagai kelemahan mereka.
b. Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu
P1 dan P2 memiliki persamaan yaitu mereka sama – sama PNS. P1
Mengatakan bahwa dirinya saat ini sudah cukup puas dengan pekerjaannya,
karena menurut dia menjadi seorang PNS itu adalah sesuatu yang dia cari.
Mengenai penghasilan P1 merasa penghasilannya sudah cukup, dia
menggunakan uang tersebut dengan “belanja pintar”. Sedangkan untuk P2
mengatakan bahwa dirinya belum puas, belum puas disini karena dia
menganggap bahwa tujuan pendidikan di Indonesia saat ini belum tercapai.
Dia mengatakan bahwa keadaan dunia pendidikan sekarang ini sangat
memprihatinkan. P2 sangat menyayangkan mengapa pendidikan moal di
21
Indonesia saat ini tidak ada, mengapa pendidikan PMP harus digantikan
dengan PKN yang tidak ada pendidikan moralnya. P2 sangat memikirkan
nasib anak – anak jaman sekarang, P2 mengatakan bahwa dirinya akan
merasa puas dalam pekerjaannya jika dia bisa berkontribusi dalam
mewujudkan tujuan bangsa dan Negara Indonesia.
P1 dan P2 mempunyai keluarga yang sangat mendukung mereka. Ibu
dari P1 memang sering menanyakan mengenai kehidupan asmaranya dan
juga sering menanyakan kapan mau menikah, tetapi ibu P1 tidak
memberikan target untuk cepat – cepat menikah. P1 tidak pernah merasa
terganggu dengan pertanyaan – pertanyaan sang ibu, dia merasa hal tersebut
wajar jika terjadi. Dan juga keluarga P2 mendukung segala keputusannya,
memang dahulu ketika orang tua P2 masih ada, mereka sering bertanya
tetapi juga tidak memberikan target. Saat ini P2 tinggal bersama adik –
adiknya, mereka tidak pernah menyuruh kakaknya untuk menikah, karena
adiknya juga tahu apa yang dirasakan oleh P2. Adik P2 sangat
menyayanginya, hal ini bisa dibuktikan dengan adik – adik P2 masih tinggal
bersama dengan dirinya, meskipun salah satu adiknya sudah berkeluarga.
Kedua partisipan memiliki keluarga yang hanya sehingga mereka sangat
dekat dengan keluargya, hal tersebut yang membuat mereka merasa sangat
mendapat dukungan dari keluarganya. Salah satu tujuan hidup mereka adalah
membahagiakan keluarganya yang masih ada saat ini.
P1 dan P2 sama – sama sibuk bekerja, mereka bekerja dari pagi
hingga sore hari bahkan terkadang hingga malam hari. P1 memanfaatkan
waktu luang yang ada untuk melakukan hobinya, selain itu terkadang ia juga
22
berkumpul bersama teman – teman atau keluarganya, terkadang dia
mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Dia tidak pernah merasa
kesepian karena ketika dia sendirian banyak sekali hal – hal yang bisa
dikerjakan, dia bisa malakukan hobinya yaitu : nonton, membaca dan
berenang. Untuk P2 waktu luang digunakan juga untuk melaksanakan
hobinya dalam bidang kesenian. P2 sangat menyukai karya seni seperti:
kristik, membuat pernak – pernik dari manik – manik. Selain untuk
melaksanakan hobinya P2 juga menggunkan waktu luangnya untuk
mengerjakan pekerjaan rumah seperti: mencuci pakaian, masak, dan juga
merawat cucu dari adiknya.
P1 dan P2 mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai riwayat sakit
yang serius. Hanya beberapa penyakit ringan yang sering menyerang
mereka, seperti: flu, terlalu capek dan kurang istirahat saja. P1 rutin
berolahraga renang, dia sering pergi renang bersama dengan teman dekatnya.
Sedangkan P2 hampir tidak pernah berolahraga kecuali ketika ada senam di
sekolah tempat dia bekerja.
Mengenai kondisi keuangan, P1 dan P2 mengaku cukup dengan apa
yang sudah dapat dari hasil bekerja mereka. Mereka memanfaatkan uang
tersebut untuk membeli kebutuhan sehari – hari, dan menyampingkan
keinginan mereka. P1 mengatakan metode dia berbelanja adalah “belanja
pintar”. Selain untuk berbelanja kebutuhan, mereka juga menyisakan sedikit
uang mereka untuk ditabung, dan memberikan sedikit kepada keluarganya.
Mereka mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan, dan mereka tidak
suka meminta kepada orang lain apabila kekurangan. P2 mengatakan bahwa
23
lebih baik dia berusaha dan sabar jika tidak punya uang sama sekali atau
langsung pinjam di bank daripada harus “tutup lubang, buka lubang” ke
orang – orang yang dia kenal.
2. Dimensi Afeksi
Kedua partisipan sering menunjukkan perasaan – perasaan yang
menunjukkan emosi ketika suatu peristiwa terjadi.
a. Afek positif
P1 sangat tenang dan santai ketika menceritakan segala hal
yang terjadi pada dirinya. P1 tidak merasakan adanya sesuatu yang
bisa membuatnya sangat terpuruk, walaupun beberapa peristiwa yang
menyedihkan terjadi. P1 sangat enjoy dalam menyikapi suatu hal, dan
dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Begitu juga P2, dia selalu
terlihat tenang dan selalu tersenyum ketika brcerita. Dia mengatakan
bahwa dia selalu menyerahkan segala hal yang terjadi kepada Tuhan,
dia mengatakan bahwa setiap yang terjadi dalam hidupnya itu
kehendak Tuhan, dan Tuhan pasti akan memberikan jalan keluar.
b. Afek Negatif
Kedua partisipan pasti mengalami keterpurukan tetapi mereka
tidak menunjukkan emosi negatif yang berlebihan. P2 mengatakan
bahwa dirinya bisa bangkit dari keterpurukan setelah satu minggu.
Setelah itu, dia merasa seperti biasa, bisa enjoy lagi dan gembira lagi
seperti biasanya.
24
Selain dimensi – dimensi di atas, hasil wawancara juga menunjukkan beberapa
faktor yang memengaruhi SWB kedua partisipan, yaitu:
a. Faktor genetik
Kedua partisipan lahir dalam keluarga yang sangat mendukung mereka.
Karena dukungan keluarga yang besar, kedua partisipan sangat mudah
beradaptasi dengan keadaan yang menimpa mereka. Ketika mereka
mendapatkan suatu masalah, mereka langsung cerita kepada keluarga dan
meminta pendapat kepada keluarganya.
b. Faktor kepribadian
Kedua partisipan mempunyai afek positif yang baik, mereka selalu
menunjukkan emosi positif dimanapun mereka berada. Mereka sangat terbuka
dengan keadaan di lingkungan sekitar mereka. Mereka tidak menutupi hal – hal
yang terjadi pada dirinya kepada orang – orang terdekat mereka.
c. Faktor demografis
Faktor demografis yang nampak pada kedua partisipan adalah
pendapatan dan pendidikan. P1 dan P2 saat ini sudah mempunyai pendapatan
yang tetap, mereka merasa apa yang didapat sekarang ini sudah cukup. Mereka
bisa memenuhi segala kebutuhan sehari – hari mereka. Selain itu, kedua
partisipan menempuh pendidikan yang tinggi. P1 adalah lulusan S1 jurusan
ekonomi, dan P2 saat ini sedang menempuh pendidikan S1-nya di Fakultas
keguruan dan Ilmu Pendidikan. Mereka mempunyai pemikiran yang luas akan
beberapa hal, hal tersebut menjadikan mereka seseorang yang melihat sesuatu
tidak hanya dari satu sisi saja.
25
d. Hubungan sosial
P1 dan P2 mempunyai hubungan sosial yang baik, mereka mempunyai
banyak teman di sekitar mereka. Mereka mudah bergaul dengan siapa saja yang
ada. Mereka tidak pernah membeda – bedakan satu orang dengan orang lain.
e. Dukungan sosial
Kedua partisipan memiliki dukungan sosial yang sangat besar, tidak
hanya dari keluarganya tetapi juga dari orang – orang di sekitarnya. Mereka
tidak pernah merasakan kesepian atau hal – hal yang membuat mereka sedih
terlalu lama.
f. Proses Kognitif
P1 dan P2 memiliki pemikiran yang sangat optimis dalam segala hal.
Mereka selalu bersyukur atas segala hal yang telah mereka dapatkan. P2
cenderung menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan jika dia ingin sesuatu dia
pasti berpikir bahwa suatu saat nanti dia akan memilikinya. P1 dan P2 memiliki
pemikiran yang luas tentang hal – hal di sekitar mereka.
g. Tujuan
Kedua partisipan mempunyai tujuan hidup yang jelas, yang bisa
memotivasi mereka untuk melakukan hal – hal yang lebih baik dari hari ini. P2
sangat bersemangat untuk memajukan bangsa dan Negara. Mungkin apa yang
mereka cita – citakan dari kecil tidak terpenuhi, tetapi semangat mereka dalam
pekerjaannya saat ini sangat kuat.
26
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa ada dua dimensi subjective well-being pada wanita karir yang melajang yaitu
dimensi kognitif dan dimensi afeksi dari kedua partisipan terpenuhi. Kedua partisipan
pastinya mempunyai masalah dan cara mengatasinya sendiri – sendiri. Kedua partisipan
sangat menikmati dan enjoy dalam menghadapi hidupnya dan dalam menyikapi
statusnya yang melajang. Kedua partisipan menyerahkan segala hidupnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dengan begitu mereka merasa lebih nyaman dalam menjalani hidup
mereka. Dengan berpegang kepada Tuhan, kedua partisipan menjadi kuat dan lebih
tenang dalam menjalani kehidupannya bersama dengan orang – orang yang mereka
sayangi.
Dari kedua partisipan, mempunyai faktor – faktor yang sama dalam
meningkatkan subjective well-being mereka. Faktor – faktor yang berpengaruh
diantaranya adalah pendapatan, dukungan sosial, hubungan sosial. Kedua partisipan
mengaku puas dengan kehidupannya dalam beberapa hal, tetapi tetap ada hal – hal yang
mereka masih ingin capai karena manusia pasti akan selalu merasa kurang.
SARAN
Sesuai dengan hasil penelitian dan berdasarkan pemahaman dan kesimpulan
yang ada, maka penulis memberikan beberapa saran, yaitu:
1. Bagi kedua partisipan diharapkan dapat meningkatkan subjective well-being
pada dirinya dengan cara lebih mempertahankan dan meningkatkan relasi
terhadap Tuhan dan lingkungan sekitar.
27
2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih jeli melihat faktor – faktor lain yang
mempengaruhi subjective well-being pada partisipan.
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih selektif dalam memilih partisipan.
28
Daftar Pustaka
Bartram, D., & Boniwell, L. 2007. The science of happiness: Achieving sustained
psychological well being. Positive Psychology in Practice.
Baumgardner, S. R., & Crothers, M. K. 2009. Positive psychology. Prentice Hall/Person
Education.
Burns, D. D. 1988. Counseling singles. Christian Counseling, A Comprehensive Guide,
Word Publishing.
Continuing Psychology Education. 2005. Subjective well being (happiness). San Diego,
California: Author.
Christie, Y., Hartanti & Nanik. 2013. Perbedaan Kesejahteraan Psikologis pada Wanita
Lajang Ditinjau dari Tipe Wanita Lajang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya vol. 2 no.1
Diener, E. 2009. The Science of Well-Being The Collected Works of Ed Diener. USA:
Springer
Diener, E., Lucas, R. E., & Oishi, S. 2002. Subjective Well-Being. Handbook of
positive psychology.
Diener, E., Oishi, S., & lucas, R. E. 2009. Subjective Well-Being : the science of
happiness and life satisfaction. In S J Lopez & C.R. Snyder (Eds.), Oxford
handbook of positive psychology. New York : Oxford University Press.
Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. 1999. Subjective Well-Being :
Three decades of progress. Psychological bulletin,.
Gunadi, P. 2001. Kehidupan lajang dari perspektif wanita. Retrieved 1, 2001, from
http://www.telaga.org/transkrip.php?kehodupan_lajang.htm
Hanggoro, Yohanes. 2015. Penelitian Deskriptif : Subjective Well-Being pada Biarawati
di Yogyakarta. Skripsi Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi Universitas
Sanata Dharma. Dilihat 09 Oktober 2016
Kapteyn, A., Smith, J. P., & Van Soest, A. 2009. Life satisfaction.
Laswell, M. & Laswell, T. 1987. Marriage & the family. Belmont, California:
Wadworth, Inc.
Lopez, S. J., Pedrotti, J. T., & Snyder, C. R. 2014. Positive psychology: The scientific
and practical explorations of human strengths. Sage Publications.
Mujamiasih, Murti. 2013. Subjective Well-Being (SWB) : Studi Indigenous pada PNS
dan Karyawan Swasta yang Bersuku Jawa di Pulau Jawa. Skripsi Jurusan
Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang
29
Rubianto, G. 2000. Wanita lajang di kota besar, tuntutan jaman ataukah soal
kejiwaan?. Dilihat 09 Oktober 2016. Retrived November 22, 2000, from
http://www.pdpersi.co.id?show=detailnews&kode=352&tbl=biaswanita
Santrock, W.J. 2002. Life span development (9th
ed). New York: Mc Grow Hill
Cmpany.
Sugiyono, Prof., Dr. 2012. Metode Penelitian Kuanttatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta