bab ii tinjauan pustaka - institutional...

40
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Subjective well-being (SWB) merupakan konsep yang luas akan kehidupan seseorang secara keseluruhan. Ada aspek-aspek serta faktor-faktor yang menjadi prediktor bagi subjective well-being seseorang, khususnya di kalangan siswa. Bab ini akan memberikan penjelasan mengenai SWB dan teori-teori yang mendasari perkembangan SWB itu sendiri, serta bagaimana hubungan SWB dengan faktor school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya yang menjadi prediktornya. 2.1. SUBJECTIVE WELL-BEING 2.1.1. Definisi Subjective Well-Being Sepanjang sejarah, filsuf yang berbeda-beda telah memberikan perhatian yang bervariasi pada definisi subjektif mengenai hidup yang baik. Beberapa berpendapat bahwa hidup yang paling diinginkan (desirable) bisa didefinisikan melalui karakteristik-karakteristik seperti virtue (kebaikan/kebajikan), dan hal-hal lainnya yang menunjukkan perasaan menyenangkan sebagai esensi dari hidup yang baik (Diener, 2009). Walaupun banyak peneliti kadang-kadang mendiskusikan kebahagiaan dan well-being seolah-olah direfleksikan sebagai satu konstruk, namun sebenarnya tidak ada satupun penilaian atau pendapat (single judgement) yang bisa mencakup keseluruhan subjective well-being (Diener & Ryan, 2008). Menurut Veenhoven (1991) SWB secara keseluruhan bisa dipahami dalam ungkapan kepuasan hidup, kesenangan/kepuasan hati dan level kesenangan, sementara aspek yang berbeda-beda dari SWB meliputi penilaian diri seperti kepuasan atas pekerjaan, harga diri, dan kontrol

Upload: duongnhan

Post on 03-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Subjective well-being (SWB) merupakan konsep yang luas akan

kehidupan seseorang secara keseluruhan. Ada aspek-aspek serta faktor-faktor

yang menjadi prediktor bagi subjective well-being seseorang, khususnya di

kalangan siswa. Bab ini akan memberikan penjelasan mengenai SWB dan

teori-teori yang mendasari perkembangan SWB itu sendiri, serta bagaimana

hubungan SWB dengan faktor school connectedness dan dukungan sosial

teman sebaya yang menjadi prediktornya.

2.1. SUBJECTIVE WELL-BEING

2.1.1. Definisi Subjective Well-Being

Sepanjang sejarah, filsuf yang berbeda-beda telah memberikan

perhatian yang bervariasi pada definisi subjektif mengenai hidup yang baik.

Beberapa berpendapat bahwa hidup yang paling diinginkan (desirable) bisa

didefinisikan melalui karakteristik-karakteristik seperti virtue

(kebaikan/kebajikan), dan hal-hal lainnya yang menunjukkan perasaan

menyenangkan sebagai esensi dari hidup yang baik (Diener, 2009).

Walaupun banyak peneliti kadang-kadang mendiskusikan kebahagiaan dan

well-being seolah-olah direfleksikan sebagai satu konstruk, namun

sebenarnya tidak ada satupun penilaian atau pendapat (single judgement)

yang bisa mencakup keseluruhan subjective well-being (Diener & Ryan,

2008).

Menurut Veenhoven (1991) SWB secara keseluruhan bisa dipahami

dalam ungkapan kepuasan hidup, kesenangan/kepuasan hati dan level

kesenangan, sementara aspek yang berbeda-beda dari SWB meliputi

penilaian diri seperti kepuasan atas pekerjaan, harga diri, dan kontrol

kepercayaan. Kepuasan hidup merupakan level di mana individu menilai

kualitas hidupnya secara menyeluruh sebagai kesatuan yang menyenangkan.

SWB didefinisikan sebagai evaluasi individu terhadap kehidupan, yang

dijelaskan dalam terminologi mengenai bagaimana dan mengapa individu

mengalami kehidupan dalam cara yang positif, sehingga pengalaman pribadi

mereka berkaitan dengan kualitas hidup yang dirasakan (Diener & Diener;

Diener, Biswas-Diener & Tamir, dalam Yang dkk., 2008). Keyes dan

Waterman (2003) mereview literatur dengan judul, “A brief history of the

study of well-being in children and adults” (Sejarah singkat studi well-being

pada anak dan orang dewasa) dan menyimpulkan bahwa individu

mengevaluasi dirinya dalam ungkapan apakah mereka merasa baik atau

senang dengan dirinya dan apakah dirinya berfungsi dengan baik secara

pribadi dan secara sosial. Para ahli juga telah menganalisis bahwa evaluasi

mengenai kehidupan individu ini berlangsung dalam periode saat ini dan

periode lampau (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). Evaluasi ini meliputi reaksi

emosi individu atas suatu peristiwa, suasana hati mereka, dan bentuk

penilaian mereka mengenai kepuasan dalam hidup, pemenuhan kebutuhan,

dan kepuasan dalam domain tertentu, seperti dalam pernikahan dan

pekerjaan.

SWB merupakan istilah besar yang digunakan untuk menggambarkan

level well-being yang dialami individu menurut evaluasi subyektif mereka

atas hidup mereka sendiri. Seperti telah disebutkan di atas, evaluasi ini bisa

berupa positif atau negatif, termasuk penilaian dan perasaan mengenai

kepuasan hidup, minat dan keterikatan, reaksi-reaksi afektif seperti gembira

dan sedih atas peristiwa hidup, kepuasan dalam pekerjaan, hubungan,

kesehatan, hiburan, makna dan tujuan, dan bidang-bidang penting lainnya

(Diener & Ryan, 2008). SWB juga didefinisikan sebagai kecenderungan

global untuk mengalami hidup dalam cara yang menyenangkan (Quevedo &

Abella, 2011).

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa SWB

merupakan evaluasi subjektif individu yang meliputi tingginya kepuasan

hidup, pengalaman akan emosi yang menyenangkan (positive affect) dan

level rendah dari emosi yang negatif (negative affect).

2.1.2. Teori-teori Subjective Well-Being

Ada banyak pandangan teoritis mengenai bagaimana well-being

diuji, yang berasal dari perspektif biologi yang menaruh perhatian pada

predisposisi genetik dari kebahagiaan, sampai pada teori standar relatif,

yang menguji bagaimana membandingkan pengaruh seseorang terhadap

orang lain dalam merasakan SWB. Berikut adalah gambaran singkat

mengenai beberapa teori SWB seperti yang dijelaskan oleh Diener &

Ryan (2008).

1) Teori Telic

Teori Telic mengenai SWB menyatakan bahwa individu mencapai

kebahagiaan ketika titik akhir, seperti tujuan (goal) atau kebutuhan

(need) dicapai. Inti dari teori ini adalah apa saja titik akhirnya. sebagai

contoh, filsuf dulu sering mempertanyakan, apakah “pemenuhan akan

kebutuhan” atau “keinginan” membawa pada well-being atau apakah

keinginan-keinginan tersebut malah merusak atau mengganggu well-

being. Selain itu, apakah lebih baik memenuhi keinginan jangka pendek

dan mengorbankan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang? Dan juga

bagaimana jika terjadi konflik antara keinginan individu yang satu

dengan keinginan yang lain? Pertanyaan lain yang juga muncul adalah,

apakah melangkah melebihi “yang diinginkan” lebih memberikan

pemenuhan daripada mencapai objek keinginan itu sendiri atau tidak?

Teori kebutuhan (need theory) seperti konsep psikologi well-being dari

Ryff dan Singer (dalam Diener & Ryan, 2008) dan teori determinasi diri

(self-determination) dari Ryan dan Deci (dalam Diener dan Ryan, 2008)

menemukan bahwa ada kebutuhan tertentu yang ada sejak lahir, yang

dicari individu untuk dipenuhi dalam rangka mencapai well-being.

Sehubungan dengan ini, teori tujuan menunjukkan bahwa individu yang

secara sadar mencari tujuan tertentu, akan menghasilkan well-being yang

tinggi ketika tujuan itu terpenuhi. Akan tetapi, dalam teori tujuan, tujuan-

tujuan bisa muncul dari sumber-sumber tambahan selain kebutuhan yang

didapatkan sejak lahir.

2) Teori Top-Down Versus Bottom-Up

Debat mengenai teori well-being “top-down” dan “bottom-up”

merupakan hal yang penting dalam bidang ini. Teori “bottom-up”

menyatakan bahwa saat-saat atau peristiwa-peristiwa dalam hidup

seseorang ditambahkan dalam rangka menghasilkan perasaan subjective

well-being individu. Dalam pandangan ini, saat atau peristiwa bahagia

atau positif akan membuat individu mengalami well-being, dan semakin

positif saat yang dialami individu, maka semakin meningkat level well-

being. Sebaliknya teori “top-down” menyatakan bahwa kecenderungan

yang melekat pada individu dalam merasakan dan mengalami peristiwa

dunia dalam cara tertentu akan memengaruhi interaksi individu dengan

dunia. Oleh karena itu, menurut teori “top-down”, individu dengan

keadaan pikiran yang positif mengalami atau menginterpretasi peristiwa-

peristiwa tertentu sebagai “lebih bahagia” daripada individu dengan

perspektif negatif, hal ini membuat faktor positif sebagai salah satu

faktor penentu sujective well-being.

Dalam pendekatan top-down, fitur-fitur global dari kepribadian

diperkirakan memberi pengaruh pada cara seseorang beraksi terhadap

suatu kejadian. Contohnya, orang dengan temperamen sanguinis

mungkin mengniterpretasikan sejumlah peristiwa sebagai hal yang

positif. Dalam pendekatan bottom-up, seseorang harus mengembangkan

disposisi yang jelas dan penampilan sanguinis sebagai pengalaman

positif yang diakumulasikan dalam kehidupan seseorang. Sebagai

contoh, para penganut hedonis mengemukakan bahwa seseorang bisa

disebut berbahagia jika peristiwa-peristiwa yang menyenangkan benar-

benar dipilih dan terus diakumulasikan. Sehingga akumulasi dari setiap

peristiwa tertentu yang menyenangkan itu akan terus membuat orang

merasa bahagia.

Ada dua perdebatan umum mengenai subjective well-being yang

berkaitan dengan dua teori yang memiliki pandangan berbeda ini, yang

pertama memerhatikan apakah well-being didefinisikan sebagai sifat

(trait) dan yang melihat well-being sebagai keadaan atau peristiwa.

Teori yang memerhatikan well-being sebagai sifat menunjukkan bahwa

level well-being yang tinggi merupakan kecenderungan untuk bereaksi

secara positif daripada sekadar perasaan bahagia, yang lainnya

berpendapat bahwa well-being merupakan keadaan yang disebabkan

oleh sejumlah saat-saat bahagia (happy moments). Perdebatan yang

kedua memberikan perhatian pada peran “peristiwa-peristiwa

menyenangkan” dalam menciptakan well-being. Contohnya, apakah

kurangnya peristiwa-peristiwa menyenangkan dalam hidup membawa

pada depresi, ataukah depresi yang membawa pada kegagalan untuk

merasa senang ketika terlibat secara normal dalam kegiatan-kegiatan

yang menyenangkan?

Argumen dasar bagi pendekatan bottom-up adalah bahwa

pemenuhan kebutuhan tertentu akan meningkatkan kepuasan pada

domain tertentu dan memberikan dampak pada kepuasan hidup secara

keseluruhan. Teori bottom-up mengungkapkan bahwa kepuasan hidup

merupakan jumlah keseluruhan dari kepuasan dan perasaan positif

dalam domain-domain tertentu (Schimmack, dkk. 2002; Campbell dkk.;

Diener; Andrews dan Whitney dalam Voicu dan Pop, 2011). Merasa

puas dan bahagia dengan hubungan sosial, hubungan rumah tangga,

kesehatan, atau keluarga, bisa menjadi penentu kepuasan hidup secara

keseluruhan (Voicu dan Pop, 2011). Selain itu, ditambahkan pula bahwa

penilaian tersebut dilakukan berdasarkan standar kriteria individu yang

bersangkutan. Dilain pihak, pendekatan top-down memandang bahwa

kepuasan hidup semata-mata disebabkan oleh kestabilan faktor

kepribadian. Namun demikian menurut Diener (2008), keduastruktur

teori ini yang membentuk SWB sebagai satu variabel yang utuh.

3) Teori Kognitif

Sama seperti pendekatan “top down”, teori kognitif dari well-being

fokus pada kekuatan proses kognitif dalam menentukan well-being

individu. Model AIM dari well-being – Attention, Interpretation,

Memory (atensi, interpretasi dan memori) menunjukkan bahwa individu

dengan subjective well-being yang tinggi cenderung memfokuskan

perhatian mereka pada stimulus positif, menginterpretasi peristiwa secara

positif, dan mengingat kembali peristiwa-peristiwa lampau dengan bias

kenangan positif. Dalam terminologi atensi, partisipan yang mampu

untuk lebih fokus pada stimulus positif dibandingkan yang negatif

cenderung untuk bertaruh dengan lebih baik dalam semua level well-

being. Lebih penting lagi, abilitas untuk mengarahkan atensi keluar dari

diri sendiri merupakan prediktor yang signifikan bagi well-being. Studi

menunjukkan bahwa walaupun kebanyakan orang yang sering merenung

cenderung untuk lebih khawatir dan mengalami subjective well-being

yang lebih rendah pada umumnya, namun mengarahkan atensi pada diri

sendiri bisa menyebabkan orang yang secara normal mengalami well-

being yang tinggi mengalami well-being yang lebih rendah secara

signifikan. Lebih jauh lagi, orang dengan subjective well-being yang

tinggi secara natural menginterpretasi peristiwa-peristiwa netral dan

ambigu dalam cara yang positif. Dengan demikian, interpretasi positif

bertindak sebagai penahan pelindung atau tenaga pelindung (protective

buffer). Akhirnya, ketika orang yang bahagia secara disposisi telah

menunjukkan tidak ada perbedaan dalam jumlah peristiwa-peristiwa

positif dan negatif yang mereka alami, mereka cenderung untuk

mengingat peristiwa dengan lebih baik daripada yang sebenarnya,

menggunakan interpretasi positif yang bias.

4) Teori Evolusioner

Teori evolusioner muncul belakangan ini dan berpendapat bahwa

perasaan senang dan well-being dihasilkan oleh hal yang membantu

manusia untuk bertahan. Evolusioner menilai bahwa emosi-emosi negatif

(misalnya, takut, marah, dan cemas) yang menolong leluhur kita bereaksi

dalam lingkungan yang mengancam. Akan tetapi, manfaat adaptif yang

diberikan oleh well-being, dan secara spesifik peran positif emosi sebagai

motivator yang mendorong perilaku adaptif mulai dipahami sekarang.

Teori “broaden and build” dari Frederickson (dalam Diener dan Ryan,

2008) merupakan model teori evolusioner yang relatif baru yang

menyatakan bahwa perasaan positif mengijinkan individu untuk

memperluas daftar pemikiran – aksi dan terus-menerus membangun

sumber-sumber intelektual, psikologi, sosial dan fisik. Oleh karena itu,

Frederickson berpendapat bahwa subjective well-being yang tinggi dan

pengaruh positif menghasilkan keadaan dimana individu dengan percaya

diri dapat mengeksplor lingkungannya, melakukan pendekatan terhadap

tujuan baru, dan dengan demikian mendapatkan sumber daya pribadi

yang penting. Dibandingkan emosi yang negatif, emosi positif memiliki

manfaat adaptifnya sendiri yang berkontribusi pada kesuksesan

evolusioner spesies dan berlanjut untuk menolong manusia dalam

mempertahankan hidup.

5) Relative Standards

Teori relative standards berpendapat bahwa well-being berasal dari

perbandingan antara beberapa standar, seperti masa lalu seseorang, masa

lalu orang lain, tujuan-tujuan, atau cita-cita, dan kondisi aktual. Menurut

teori perbandingan sosial, seseorang menggunakan orang lain sebagai

standar, yang berarti bahwa individu akan mengalami well-being yang

lebih tinggi jika mereka lebih baik dari orang lain (Carp & Carp;

Michalos dalam Diener, 2009). Misalnya, Easterlin (dalam Diener, 2009)

berpendapat bahwa, jumlah pendapatan yang akan memuaskan orang

tergantung pada pendapatan orang lain dalam masyarakatnya. Sebagai

tambahan, Emmons, Larson, Levine, dan Diener (dalam Diener, 2008)

menemukan bahwa perbedaan sosial merupakan prediktor kepuasan yang

paling kuat dalam banyak sektor.

Dalam teori yang lain, seperti teori adaptasi Brickman, Coates, dan

Janoff-Bulman (dalam Diener, 2009), masa lalu individu merupakan

standar untuk perbandingan. Misalnya, jika kehidupan seseorang saat ini

melebihi standar masa lalunya, maka dia akan merasa puas. Akan tetapi,

teori adaptasi juga menyatakan bahwa kekuatan dari peristiwa-peristiwa

untuk menimbulkan emosi, berkurang seiring berjalannya waktu.

Misalnya, jika seseorang mengalami peristiwa positif seperti promosi,

teori adaptasi berpendapat bahwa orang ini akan mengalami well-being

yang tinggi karena promosi menjadi diatas standar mereka sebelumnya.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, teori adaptasi mendalilkan bahwa

promosi menjadi standar baru, dengan demikian kehilangan kekuatannya

untuk menimbulkan perasaan well-being bagi individu. Dalam hal seperti

ini, individu didesak oleh apa yang disebut “hedonic treadmill”, yang

menggambarkan proses di mana perubahan baru yang terjadi dalam

kehidupan meningkatkan subjective well-being individu secara sementara

sebelum individu akhirnya menyesuaikan diri pada standar kondisi yang

baru. Jadi, menurut teori adaptasi, peristiwa dan keadaan hanya menjadi

penting dalam jangka waktu yang pendek, sedangkan temperamen

menjadi pengaruh jangka panjang utama pada well-being.

Dari penjelasan beberapa teori di atas, peneliti memilih teori top-

down versus bottom-up sebagai landasan untuk penelitian ini, karena

menurut penulis asumsi dasar dari pendekatan top-down versus bottom-

up sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu bahwa pemenuhan

kebutuhan dan perasaan positif yang didapatkan dari pemenuhan

keebutuhan atau kepuasan pada domain tertentu bisa memberikan

pengaruh pada kepuasan hidup seseorang secara keseluruhan dan juga

memberikan rasa nyaman dan bahagia yang mana secara langsung

berdampak pada SWB-nya. Teori ini secara bersamaan mendukung

SWB dari dua komponen yang membentuk SWB itu sendiri, top-down

mendukung komponen emosi, sedangkan bottom-up mendukung

komponen kognitifnya.

2.1.3. Aspek-aspek Subjective Well-Being

SWB memiliki dua komponen umum : komponen kognitif dan

komponen emosional (Diener, & Larsen, 1993; Diener, & Suh, 1997;

Pavot, Diener, Colvin, & Sandvik, 1991; Schimmack, Radhakrishnan,

Oishi, Dzokoto, & Ahadi, 2002; Ayyash-Abdo & Alamuddin, 2007).

1) Komponen kognitif berkaitan dengan indikator kepuasan hidup

individu, yang digambarkan sebagai penilaian kognitif individu

mengenai hidupnya secara keseluruhan maupun kepuasan dalam

bidang-bidang tertentu, yang meliputi pekerjaan, sekolah, kesehatan,

kehidupan keluarga, tujuan hidup, prestasi, keamanan, dan hubungan

sosial. Dalam hal ini, kepuasaan bisa meliputi penilaian kepuasan

akan keseluruhan hidup individu, namun juga bisa meliputi kepuasan

pada domain-domain tertentu dari hidup individu. Huebner (2001)

secara rinci membagi domain kepuasan hidup individu dalam lima

domain, antara lain kepuasan pada keluarga, kepuasan pada teman,

kepuasan pada sekolah, kepuasan pada lingkungan tempat tinggal,

dan kepuasan pada diri sendiri.

2) Komponen emosi terdiri dari dua indikator utama : perasaan positif

dan perasaan negatif. Perasaan positif merefleksikan keadaan suasana

hati yang positif dari seseorang yang meliputi antusias atau

bersemangat, aktif, dan alert moods. Perasaan negatif merefleksikan

tingkat keadaan suasana hati seseorang yang tidak bersahabat yang

meliputi marah, jijik, benci, takut dan gugup. Watson, Clark dan

Tellegen (dalam Ayyash-Abdo & Alammudin, 2007) melalui positive

and negative affect schedule merincikan perasaan positif antara lain,

tertarik, waspada, penuh perhatian, bergairah, antusias, terinspirasi,

bangga, teguh pendirian, kuat, dan aktif, sedangkan perasaan negatif

terdiri dari, tertekan, sedih, perasaan bersalah, malu, bermusuhan,

lekas marah, gugup, gelisah, takut, dan khawatir.

Dalam penelitian ini akan digunakan komponen kognitif dari

Huebner (2001) dan komponen emosi dari Watson, Clark & Tellegan

(dalam Ayyash-Abdo & Alammudin, 2007)

2.1.4. Faktor-faktor yang memengaruhi subjective well-being

Sebagai salah satu studi yang menjadi populer saat ini, penelitian

mengenai subjective well-being kemudian diteliti dari berbagai sudut

pandang dengan bermacam-macam variabel yang mewakili bermacam

isu. Diener (2009) mengungkapkan bahwa tidak ada faktor tunggal yang

menjadi penentu subjective well-being. Beberapa kondisi kelihatannya

dibutuhkan bagi subjective well-being (mis, kesehatan mental, hubungan

sosial yang positif), namun hal-hal tersebut tidak cukup dalam

menyebabkan kebahagiaan. Para filsuf dan peneliti telah menemukan

sejumlah hal yang menyebabkan kebahagiaan. Menurut Diener, dari hasil

penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa kondisi demografis yang

sangat berperan pada subjective well-being seseorang, antara lain :

A. Faktor Demografis

1) Agama, religiusitas dan praktek-praktek spiritualitas

Hubungan antara agama, praktek-praktek spiritualitas dan well-

being merupakan hal yang paradoks. Pada umumnya, orang yang

cenderung mengalami level well-being yang lebih tinggi, lebih

spesifik untuk hal-hal partisipasi dalam layanan keagamaan, kekuatan

afiliasi agama, hubungan dengan Tuhan, dan doa (Ferriss; Poloma &

Pendleton; Witter, Stock, Okun, & Harin dalam Diener & Ryan,

2008). Hubungan yang positif antara agama dan well-being yang

tinggi berasal dari makna dan tujuan serta jaringan sosial dan sistem

dukungan yang diciptakan oleh agama dan institusi lain yang diatur

oleh agama. Akan tetapi, motivasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap

agama merupakan faktor yang penting dalam hubungan positif

(Ardelt; Ardelt & Koenig dalam Diener & Ryan, 2008), dan kekuatan

hubungan ini kelihatannya lebih kuat untuk kelompok masyarakat

tertentu, khususnya perempuan African-americans dan orang-orang

tua Eropa (Argyle dalam Diener & Ryan, 2008). Beberapa studi

empirik yang berkembang belakangan ini menunjukkan bahwa

faktor-faktor substantif yang berhubungan dengan tujuan hidup,

makna, keterlibatan dalam hal keagamaan, religious coping,

dukungan komunitas jemaat (congregational support), dan praktek-

praktek spiritual ditemukan sebagai prediktor utama well-being

(Koenig, McCullough, & Larson, 2001; Ellison; Harker; Maton;

Seybold & Hill dalam Morris dkk., 2010).

2) Pendapatan (income)

Ada begitu banyak penelitian yang menemukan bahwa

pendapatan dan SWB memiliki hubungan yang positif. Selain itu

keadaan sosioekonomi seseorang juga berpengaruh. Namun

demikian, penelitian mengenai hal ini masih belum konklusif

(Diener, 2009; Frey & Stutzer, 2002).

3) Pernikahan, perceraian, dan hubungan sosial

Jumlah dan kualitas hubungan sosial individu telah

dikonfirmasi memiliki hubungan dan menjadi anteseden dari SWB

(Diener & Biswas Diener, 2008). Pada umumnya orang lebih bahagia

ketika mereka bersama-sama dengan orang lain, ada interaksi sosial

yang terjadi (Kahneman & Krueger, 2006). Orang cenderung lebih

mengekspresikan pengaruh positif ketika mereka berada dengan

orang lain (Diener & Biswas-Diener, 2008). SWB meningkat melalui

ikatan sosial seperti pernikahan, dan kemudian pemenuhan hubungan

sosial lainnya (Helliwell, Barrington-Leigh, Harris, & Huang, 2009).

Orang yang menikah biasanya mengalami level SWB yang lebih

tinggi daripada orang yang tidak menikah menurut studi longitudinal

(Lucas, Clark, Georgellis, & Diener, 2003) dan sampel representatif

yang besar (Glenn; Lee, Seccombe, & Shehan dalam Diener & Ryan,

2008) ; akan tetapi, data juga menunjukkan bahwa orang cenderung

beradaptasi dengan cepat pada pernikahan dan kembali pada level

dasar well-being mereka (Lucas, Clark, Georgellis, & Diener, 2003).

Berbeda dengan orang yang menikah, orang yang bercerai

menunjukkan level well-being yang lebih rendah secara rata-rata

(Lucas, 2005). Lebih lanjut menurutnya, perceraian pada umumnya

menyebabkan kemunduran dalam SWB disebabkan perceraian, dan

mereka yang bercerai tidak mudah kembali pada level dasar well-

being sepanjang waktu (Lucas, 2005). Dengan demikian, peristiwa

perceraian kelihatannya lebih memengaruhi level SWB dibandingkan

peristiwa pernikahan.

4) Jender

Hubungan level well-being yang relatif antar gender telah

sering diuji, namun data yang dikumpulkan selama ini

mengindikasikan bahwa perempuan dan laki-laki secara substansi

tidak berbeda secara rata-rata dalam SWB. Eryılmaz (2010) menguji

SWB remaja Turki dalam hubungannya dengan usia, jender, dan

status sosio-ekonomi orang tua, menemukan bahwa tidak ada

perbedaan jender pada SWB remaja. Namun demikian, dalam banyak

penelitian, perempuan kelihatannya mengalami emosi positif dan

negatif lebih sering dan lebih intens dibandingkan laki-laki (Diener &

Ryan, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Nielsen, Paritski dan

Smyth (dalam Diener, 2009) pada supir taksi di Beijing menemukan

bahwa tidak ada perbedaan jender yang signifikan dalam skor

personal well-being index pada para supir taksi tersebut. Satu-satunya

perbedaan statistik secara signifikan berhubungan dengan kepuasan

dan hubungan pribadi, di mana skor laki-laki lebih tinggi.

B. Faktor-faktor lain yang memengaruhi SWB

Selain kondisi demografis, studi genetik yang dilakukan di

Universitas Minnesota dan direview oleh Lykken (dalam Diener & Ryan,

2008) menemukan bahwa kembar monozygotic yang dibesarkan secara

terpisah memiliki kemiripan dalam level kebahagiaan daripada kembar

dizygotic yang tinggal terpisah. Studi kembar menunjukkan bahwa

beberapa bagian variabel dalam kebahagiaan mungkin disebabkan

kontribusi genetik. Namun demikian, ada juga penelitian yang

menemukan bahwa level subjective well-being seseorang tidak ditentukan

oleh faktor genetiknya. Diener dan kolega (Diener dkk., 2002; Lucas dkk.,

2004 dalam Diener, 2009) melakukan studi longitudinal di Jerman dan

menemukan bahwa faktor genetik tidak memberi pengaruh pada SWB

seseorang. Mereka secara berulang-ulang menemukan bahwa orang yang

menjadi pengangguran (unemployed) merasa kurang bahagia, dan

berlanjut demikian untuk waktu yang cukup lama, dibandingkan dengan

mereka yang memiliki pekerjaan mapan. Hal ini menentukan bahwa

genetik yang ada dalam diri individu tidak memengaruhi dirinya

melainkan keadaan demografis dirinya yang membutuhkan pekerjaan.

Sejumlah studi juga telah mengkonfirmasi pentingnya temperamen

dan kepribadian dalam menemukan kapasitas individu untuk merasa well-

being. Diantara sifat-sifat kepribadian yang berbeda, ekstraversi dan

neurotisime merupakan dua tipe kepribadian yang paling konsisten dan

kuat berelasi dengan well-being (Diener, Oishi & Lucas,. 2003; Rusting &

Larsen dalam Diener, 2009). Ekstraversi bisa memprediksi pengaruh

positif (Lucas & Fujita, 2000), sementara pengaruh negatif dengan kuat

diprediksi oleh neurotisisme (Fujita, 1991). Lebih lanjut, studi lintas

negara menunjukkan bahwa orang yang ekstrovert cenderung untuk

mengalami sejumlah besar perasaan positif dan terjadi secara intens jika

dibandingkan dengan yang introvert (Diener & Biswas-Diener, 2008).

Oleh karena itu, sementara lingkungan memainkan peranan dalam

ekspresi genetik, jelas bahwa sifat-sifat warisan genetik memiliki

pengaruh subtansi pada level well-being individu.

Selain itu, penentuan tujuan merupakan salah satu faktor yang

memengaruhi well-being. Hasil penelitian Eryilmaz (2011) menunjukkan

bahwa penentuan tujuan hidup remaja berkorelasi dengan SWB mereka.

Jika individu percaya bahwa tujuan mereka penting dan mereka bisa

mencapai tujuan ini maka mereka memiliki level SWB yang lebih tinggi.

Dari sudut pandang remaja, penemuan ini menemukan bahwa penentuan

tujuan karir memberikan SWB yang lebih baik pada remaja.Tujuan

meningkatkan level SWB individu dengan memfokuskan mereka pada

masa depan dan menambahkan arti dalam hidup mereka.

Optimisme juga menjadi faktor yang memengaruhi SWB individu

(Utsey, Hook, Fischer & Belvet, 2008). Gottlieb dan Rooney (2004)

dalam penelitiannya menunjukkan bahwa optimisme secara positif

berkorelasi dengan kesehatan seseorang. Optimisme juga memiliki

korelasi yang kuat dengan kepuasan hidup (Bailey, Eng, Frisch, &

Snyder, 2007). Optimisme memberikan pengaruh yang positif pada

kepuasan hidup orang dewasa awal (Isaacowitz dalam Isaacowitz,

Vaillant & Seligman, 2003) dan remaja akhir (Heo & Lee, 2010;

Isaacowitz dalam Isaacowitz, dkk., 2003), remaja perdesaan (Alder,

2008), mahasiswa (Harju & Bolen, 1998), dan siswa SMA (Wong, 2009).

Persepsi dukungan sosial merupakan hal yang krusial dalam menilai

seberapa baik remaja berjuang dalam kondisi lingkungannya (Barnes,

Katz, Korbin, & O’Brien; Brennan dkk.; Brennan, Barnett, & Lesmeister;

Bowes & Hayes; McGrath dalam McGrath, Brennan, Dolan & Barnett,

2009). Orang tua dan teman sebaya merupakan pendukung yang penting

dalam aktivitas fisik siswa SMA. Orang tua dilihat sebagai teladan dan

penyedia dukungan emosional, yang meliputi mendorong anak untuk

menjadi aktif atau memerhatikan anak-anaknya (Duncan dkk; McGuire,

Hannan, Neumark-Sztainer, Crossrow, & Story dalam Robbins, Stommel

& Hamel, 2008). Walaupun demikian, teman sebaya merupakan prediktor

yang kuat dalam konteks remaja (Prochaska dkk. dalam McGrath dkk.,

2009). Namun demikian, dalam konteks sekolah, hasil penelitian

Richman, Rosenfeld & Bowen (1998) menemukan bahwa guru bersama

dengan orang tua bisa dilihat oleh siswa “bermasalah” sebagai sumber

dukungan sosial utama, dalam hubungan dengan hubungan emosional,

bantuan praktis, dan untuk apresiasi yang diterima atas usaha yang

dilakukan. Selain orang tua, guru juga merupakan pendukung yang

memberikan kontribusi pada prestasi akademik, keterikatan/komitmen

dengan sekolah, dan well-being dalam kelas (Brewster & Bowen; Chen;

Vedder, Boekaerts, & Seegers dalam Flaspohler dkk., 2009).

Beberapa penelitian pada remaja menemukan beberapa faktor yang

memengaruhi SWB remaja, antara lain, usia dan status ekonomi orang tua

menjadi faktor penting bagi SWB remaja Turki (Eryilmaz, 2010),

optimisme dan hubungan sosial (Morris, Martin, Hopson, dan Welch-

Murphy, 2010), rasa puas pada sekolah, tubuh (pada siswa perempuan),

dan kesehatan diri, dan strategi interaktif siswa-guru (Katja, Paivi, Marja-

Terttu, dan Pekka, 2002), peristiwa dalam hidup (McCullough, Huebner,

dan Laughlin, 2000), dan konsep diri sosial (Chang, McBride-Chang,

Stewart, dan Au, 2003), dan dukungan teman sebaya (Robbins dkk.,

2008). Selain itu, konteks yang mendukung di mana remaja itu tinggal

dan melakukan aktivitasnya juga memengaruhi SWB remaja. Studi yang

dilakukan oleh McGrath dkk. (2009) pada remaja Florida dan Irlandia

menemukan bahwa dukungan sosial informal dan kepuasan di sekolah

(school satisfaction) merupakan prediktor terkuat dari remaja di kedua

lokasi tersebut. Dari sumber-sumber informal, dukungan emosional dari

teman dan dukungan nasehat/konkrit/penghargaan dari orang tua hadir

sebagai dimensi prediktif yang penting. Kesukaan terhadap sekolah,

persepsi akan keberhasilan di sekolah merupakan prediktor utama

kepuasan akan sekolah oleh siswa Irlandia, sementara di Florida,

persahabatan siswa dan pengalaman mengalami bullying muncul sebagai

faktor yang signifikan. Selain itu, prediktor global SWB remaja juga

antara lain nilai-nilai tertentu seperti keseimbangan pribadi, hubungan

keluarga yang nyaman dan aman, tipe keluarga itu sendiri (keluarga

kandung, orang tua tunggal, dan step family) khususnya dalam beberapa

aspek tertentu, seperti persepsi remaja akan tingginya level kebersamaan

dan stabilitas dalam keluarga dan rendahnya masalah-masalah serius

dalam keluarga tersebut (Rask, Asted-Kurki, dan Laippala, 2003).

Studi lintas-budaya di remaja Perancis, China, dan Australia telah

mengkonfirmasi pengaruh yang lebih besar dari hubungan orang tua-anak

dalam hubungan dengan persepsi kualitas hidup remaja (Leung & Leung;

Petito & Cummins; Sastre & Ferriere; Shek dalam Huebner, Suldo, Smith

dan McKnight, 2004).

Dalam konteks sekolah, ada beberapa faktor penting yang menjadi

penentu SWB remaja, antara lain school connectedness. Siswa yang

merasa memiliki ikatan atau hubungan yang baik dengan sekolahnya

melaporkan level emosional well-being yang tinggi (Eccles, Early,

Frasier, Belansky & McCarthy, 1997; Steinberg dalam McNeely dkk,

2002; Libbey, 2004), dukungan sosial teman sebaya dan guru (Flaspohler

dkk., 2009), orang tua (del Valle dkk., 2010), school connectedness

(Eccles dkk., 1997; Steinberg dalam McNeely dkk, 2002; Libbey, 2004),

self-efficacy (Yang dkk., 2008).

Dari faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa SWB

dipengaruhi oleh faktor-faktor baik dari dalam diri individu (internal)

maupun faktor eksternal (kondisi, lingkungan) individu. Faktor internal

meliputi, kepribadian, usia, jender, genetik, dan optimisme, sedangkan

faktor eksternal meliputi, dukungan sosial dari teman sebaya, orang tua,

guru, strategi interaktif siswa-guru, agama, pendapatan, status sosio-

ekonomi orang tua, konsep diri sosial, peristiwa dalam hidup, penentuan

tujuan, konteks tempat tinggal remaja, school connectedness, hubungan

sosial sosial, SES, dan kesehatan diri. Dari semua faktor-faktor di atas,

dua variabel yang akan digunakan sebagai variabel prediktor SWB remaja

yaitu school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya.

2.2. PERKEMBANGAN REMAJA

Penelitian yang akan dilakukan penulis berfokus pada siswa SMA yang

dari segi usia masih tergolong kelompok remaja. Oleh karena itu, penulis

akan membahas secara singkat mengenai remaja dan tugas

perkembangannya.

2.2.1. Defenisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere

(kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti

“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa.” Istilah adolescence, seperti

yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup

kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 2003).

Santrock (2010) menyebut remaja (adolescence) sebagai periode

pertumbuhan antara anak-anak ke dewasa atau masa transisi dari anak-

anak menuju ke masa dewasa. Dengan kata lain, mereka tidak termasuk

golongan anak, tetapi mereka tidak juga masuk golongan dewasa

(Mönks, Knoers & Haditono, 2002). Masa remaja seringnya dikenal

sebagai masa “badai dan tekanan” (storm and stress) seperti yang

diungkapkan oleh G. Stanley Hall (dalam Santrock, 2010). Akan tetapi,

ketika Daniel Offer dan koleganya (dalam Santrock, 2010) melakukan

studi untuk melihat gambar-diri remaja (self-image) di Amerika,

Australia, Bangladesh, Hungaria, Israel, Italia, Jepang, Taiwan, Turki,

dan Jerman Barat, ditemukan bahwa 73% remaja menunjukkan gambar

diri yang sehat. Walaupun ada beberapa perbedaan diantara sampel

tersebut, namun hasil penelitian mengungkapkan bahwa kebanyakan

remaja merasa bahagia, menikmati hidup mereka, merasa dirinya

mampu mengontrol diri, menghargai sekolah dan pekerjaan mereka,

percaya diri, dan merasa dirinya memiliki kemampuan untuk

menghadapi stres. Hal ini menunjukkan bahwa masa remaja tidak selalu

diidentikan dengan masa tekanan dan badai.

Masa transisi remaja dimulai kira-kira pada usia 10 sampai 13

tahun dan berakhir di usia antara 18 sampai 22 tahun (Santrock, 2003).

Mönks dkk., (2002) membagi perkembangan dalam masa remaja ke

dalam tiga bagian besar yang secara global berlangsung antara usia 12

sampai 21 tahun; masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja

pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Remaja

awal umumnya adalah mereka yang memasuki pendidikan di bangku

sekolah menengah tingkat pertama, remaja tengah memasuki pendidikan

sekolah menengah atas dan remaja akhir adalah mereka yang lulus SMA

atau masuk perguruan tinggi dan mungkin mereka yang sudah bekerja

(Dariyo, 2004). Menurut Hurlock (2003) secara umum masa remaja

dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa remaja dan akhir masa

remaja. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13-16 atau 17

tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun-18

tahun, yaitu masa usia matang secara hukum. Sebagai patokan dalam

penelitian ini, penulis menggunakan batasan usia remaja seperti yang

ditetapkan Mönks, dkk., (2002) yaitu usia 12 sampai 21 tahun.

2.2.2. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau

sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil

akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan

dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi, kalau gagal,

menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-

tugas berikutnya (Havighurst dalam Hurlock, 2003).

Havighurst mengemukakan delapan tugas perkembangan remaja

yang meliputi:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman

sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara

efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung

jawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karier ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis

Disadari atau tidak, setiap remaja pasti menghadapi tugas-tugas

perkembangan tersebut. Untuk menjalankan semua tugas tersebut setiap

remaja memiliki tantangan dan kesulitannya sendiri. Kesulitan itu

semakin bertambah bila remaja itu sendiri tidak menyadari akan tugas-

tugas perkembangannya atau juga lingkungan hidup yang tidak

mendukungnya secara optimal.

2.3. SCHOOL CONNECTEDNESS

2.3.1. Definisi School Connectedness

School connectedness telah dipelajari dengan variasi nama dan definisi

(Blum & Libbey, 2004). Beberapa istilah yang sering digunakan meliputi,

“school belonging” (Osterman, 2000; Willms dalam Frydenberg, Care,

Freeman & Chan, 2009), “student engagement” (Taylor & Nelms, 2006),

“school bonding” (Catalano, Haggerty, Oesterle, Fleming & Hawkins,

2004), dan “teacher support” (Klem & Connell, 2004; Reddy, Rhodes, &

Mulhall, 2003).

Konstruk mengenai school connectedness sendiri didefinisikan oleh

Goodenow (1993) sebagai tingkat di mana siswa secara personal merasa

diterima, dihormati, merasa menjadi bagian, dan didukung oleh orang lain

dalam lingkungan sosial sekolah. School connectedness telah muncul sebagai

prediktor potensial yang utama dari masalah psikososial remaja dan

kesehatan mental mereka, khususnya depresi (Shochet, Dadds, Ham &

Montague, 2006). School connectedness didefinisikan meliputi indikator-

indikator umum seperti: kesukaan terhadap sekolah, perasaan memiliki,

hubungan positif dengan guru dan teman, dan keterlibatan aktif dalam

kegiatan sekolah (Thompson, McGrath dkk., 2009).

Rasa terhubung dengan sekolah secara sederhana bisa didefinisikan

sebagai tingkat di mana siswa merasa sebagai bagian dari sekolah. Lebih

kompleks lagi, meliputi persepsi bahwa sekolah memberikan dukungan

terhadap cita-cita akademik siswa, memiliki iklim disiplin, dan budaya yang

mendukung. Selain itu, school connectedness juga merupakan konsep yang

muncul dari interaksi individu dengan lingkungan sekolahnya (Hawkins

dkk.; McBride dkk. dalam Resnick dkk., 1997).

Libbey mereview studi yang didesain untuk mengukur hubungan siswa

dengan sekolahnya dan mengemukakan definisi school connectedness

sebagai keyakinan bahwa orang dewasa di sekolah peduli terhadap siswa

secara individu dan proses belajar yang mereka lakukan (Libbey dalam

Waters, Cross & Runions, 2009). Indikator dasar yang digunakan dalam

konstruk definisi tersebut meliputi sikap dan motivasi siswa terhadap sekolah

dan belajar, level di mana siswa merasa mereka disukai oleh orang lain di

sekolah dan komitmen siswa, keterlibatan, dan keyakinan dalam aturan-

aturan sekolah (Libey, 2004). Selain itu, school connectedness juga

didefinisikan sebagai perasaan dipedulikan, diterima, dihargai, dan didukung

oleh orang lain baik oleh keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas

(Lee & Robbins, 1995; Resnick dkk., 1993; Rutter dalam McGraw, Moore,

Fuller & Bates, 2008).

Dari definisi-definisi di atas, maka untuk tujuan penelitian ini, definisi

school connectedness yang akan digunakan yaitu persepsi siswa mengenai

penerimaan dirinya di sekolah oleh guru dan pengidentifikasian serta

keterlibatan aktif dirinya sebagai bagian dari sekolah.

2.3.2. Aspek-aspek School Connectedness

Menurut Langille, dkk. (2010) School connectedness memiliki dua

aspek, yaitu :

1) Social connectedness, perasaan berintegrasi atau menyatu

secara sosial dan bahagia di sekolah.

2) School stewardship, sekolah dirasakan memberikan lingkungan

yang nyaman dan mendukung.

Connell dan Wellborn (dalam Stracuzzi dan Mills, 2010) menyatakan

bahwa school connectedness terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu:

1) Social support, khususnya dukungan guru, didasarkan pada

sejauh mana siswa merasa dekat dan bernilai oleh guru dan staf

lainnya di sekolah. Biasanya diukur melalui laporan siswa

mengenai apakah gurunya menyukai dirinya atau tidak,

kepedulian mereka terhadap guru, kenyamanan ketika berbicara

dengan guru, seberapa sering guru memuji mereka (Resnick

dkk., 1997)

2) Belonging, didefinisikan sebagai rasa yang dimiliki oleh siswa

mengenai dirinya sebagai bagian dari sekolah. Mengukur

belongingness ini sering meliputi tingkat di mana siswa merasa

dihormati di sekolahnya, menjadi bagian dari sekolahnya,

merasa orang-orang yang ada di sekolah peduli dengannya, dan

memiliki teman di sekolah (Voelkl, 1996).

3) Engagement, merefleksikan resiprokasi siswa atas rasa

memiliki (belonging) dan dukungan yang didapat melalui

kepedulian yang aktif dan keterlibatan dalam bagiannya

(Karcher 2003).

Dalam penelitian ini akan digunakan tiga dimensi school

connectedness dari Connell dan Wellborn (1991), antara lain social support

(teacher support), belonging dan engagement. Ketiga dimensi ini digunakan

dengan alasan bahwa pada dasarnya keterikatan atau hubungan yang terjalin

di antara siswa dengan sekolahnya, tidak hanya melibatkan satu pihak saja,

dalam hal ini para guru, namun juga melibatkan keterlibatan aktif siswa. Jadi

ada hubungan timbal balik yang tercipta. Oleh karena itu, penggunaan tiga

dimensi ini dalam mengukur school connectedness siswa dianggap sesuai.

2.3.3. Efek School Connectedness pada Subjective Well-being

Sebagai institusi signifikan dalam komunitas, sekolah memiliki

hubungan yang penting dengan rasa well-being remaja. Sekolah bisa

bertindak sebagai sumber psikososial yang penting dalam mendukung anak

muda, khususnya remaja yang terisolasi dari jaringan-jaringan sosial

(Rostosky, Owens, Zimmerman, & Riggle, 2003).

Literatur penelitian-penelitian yang dilakukan di sekolah menemukan

bahwa kalangan anak muda yang merasa terhubung dengan sekolah

melaporkan kesehatan yang lebih baik dan emosional wellbeing yang lebih

baik begitupun juga dengan berkurangnya penyalahgunaan minuman keras,

keinginan bunuh diri, gejala-gejala depresi, dan resiko kekerasan atau

perilaku kriminal, dan kehamilan di luar pernikahan (Blum, McNeely, &

Rinehart, 2002; Bonny, Britto, Klosterman, Hornunq, & Slap, 2000; Eccles

dkk., 1997; Jacobson & Rowe, 1999; Resnick, Bearman, & Blum dalam

McGrath dkk., 2009).

Walaupun konstruk school connectedness secara empiris

dikembangkan sebagai indikator umum akan perasaan ikatan siswa dan

kualitas hubungan dengan teman sebaya dan guru, Whitlock (2006)

kemudian mengusulkan model teoritikal untuk menjelaskan bagaimana hal

ini beroperasi sebagai kekuatan pelindung bagi anak muda. Dia menemukan

dukungan untuk konseptual model yang didasarkan pada hubungan

connectedness dengan peningkatan siswa dalam (a) keterlibatan dalam

peran-peran yang berarti di sekolah, (b) keamanan di sekolah, (c)

kesempatan untuk keterlibatan yang kreatif, dan (d) kesempatan keterlibatan

akademik.

Para peneliti telah melaporkan bahwa school connectedness berasosiasi

dengan berkurangnya resiko hasil perkembangan yang negatif. Lebih jauh,

school connectedness secara positif berasosiasi dengan berkurangnya

penggunaan alkohol/minuman keras (Wang, Matthew, Bellamy, & James,

2005), kerentanan terhadap kekerasan bersenjata (Henrich, Brookmeyer, &

Shahar, 2005), keinginan awal untuk merokok (Dornbusch, Erickson, Laird,

& Wong, 2001), dan pencegahan dropping out dari sekolah (Miltich, Hunt,

& Meyers, 2004).

Ketika remaja merasa diperhatikan oleh orang lain di sekolah dan

menjadi bagian dari sekolah mereka, maka mereka memiliki level well-being

yang lebih tinggi (Resnick dkk., 1997; Eccles dkk., 1997; Steinberg dalam

McNeely dkk., 2002).

Dengan demikian, ketika remaja memiliki hubungan yang baik dengan

sekolah secara keseluruhan, pada umumnya remaja terhindar dari perilaku-

perilaku bermasalah dan lebih terikat dengan perkembangan yang sehat.

Dalam hal ini school connectedness menjadi faktor protektif bagi remaja dan

meningkatkan level SWB-nya.

2.4. DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEBAYA

2.4.1. Definisi Dukungan Sosial

Dukungan sosial penting dalam mengatur berfungsinya diri secara

optimal setiap hari dan juga sebagai pelindung untuk mengurangi

kecenderungan hasil negatif ketika individu mengalami tekanan hidup

(Cobb, 1976; Cohen & Wills, 1985 dalam Flaspohler dkk., 2009). Kaplan

dkk. (dalam Armstrong, Birnie-Lefcovitch & Ungar, 2005) mendefinisikan

dukungan sosial dalam ungkapan derajat atau level di mana kebutuhan sosial

seseorang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain. Gottlieb (dalam

Armstrong dkk., 2005) mendefinisikan dukungan sosial sebagai “informasi

atau nasihat verbal dan non-verbal, bantuan nyata atau aksi yang diajukan

oleh “teman sosial” atau disimpulkan melalui kehadiran mereka dan

memiliki manfaat emosional atau efek perilaku pada penerima. Malecki,

Demaray, dan Elliott (2002) menggambarkan dukungan sosial sebagai

“dukungan umum atau perilaku dukungan spesifik individu dari orang-orang

tertentu dalam jaringan sosial, yang meningkatkan fungsi mereka dan/atau

menahan mereka dari hasil penderitaan/kemalangan”.

Dalam konteks sekolah, guru dan teman sebaya cenderung merupakan

bagian yang penting dari jaringan sosial anak yang menyediakan bentuk

dukungan yang bermacam-macam, termasuk dukungan emosi, motivasi,

instrumental, dan informasi (Tardy dalam Flaspohler dkk., 2009). Cutrona

(dalam McGrath dkk., 2009) mengusulkan definisi ringkas dari dukungan

sosial sebagai “semua aksi atau tindakan yang menunjukkan responsivitas

bagi kebutuhan orang lain.”

Teori dukungan sosial mengusulkan dua model utama, yaitu the main

effect dan the buffering effect untuk menjelaskan asosiasi atau hubungan

antara dukungan sosial dan well-being. The main effect mengusulkan bahwa

dukungan sosial didefinisikan sebagai integrasi sosial atau kelekatan sosial

yang memiliki efek menguntungkan pada well-being bilamana seseorang

berada atau tidak dibawah stres. The buffering model berhipotesa bahwa

dukungan sosial melindungi/menjaga individu dari potensi efek berbahaya

dari peristiwa yang penuh tekanan (Armstrong dkk., 2005).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial

memberikan efek yang positif bagi well-being individu dalam melakukan

fungsinya sebagai makhluk individu dan sosial dengan baik.

2.4.2. Dukungan Sosial Teman Sebaya

Dukungan sosial yang diberikan teman sebaya merupakan salah satu

dukungan penting yang dibutuhkan oleh remaja dalam masa-masa

perkembangannya (Duncan dkk. dalam Robbins dkk., 2008). Teman

menyediakan sumber jaringan sebagai anggota atau bagian dalam suatu tim,

khususnya ketika remaja (Cotterell, 1996; Feldman & Elliot, 1993).

Persahabatan remaja secara tipikal menyediakan bantuan yang sifatnya

konkrit dan nasehat-nasehat selain dari orang tua (Dolan dalam Robbins,

2008). Studi menunjukkan bahwa teman sebaya menjadi landasan penting

atau kelompok penting bagi topik-topik yang mungkin terbatas dengan

keluarga selain itu menjalin persahabatan yang kuat bisa menjadi penghalang

perilaku bullying (Cowie; Naylor & Cowie dalam McGrath, Brennan, Dolan,

dan Barnett, 2009).

Mead, Hilton dan Curtis (dalam Solomon, 2004) telah jauh meneliti

dukungan teman sebaya dan menyatakan bahwa dukungan teman sebaya

merupakan sistem memberi dan menerima bantuan yang dibangun berdasar

prinsip-prinsip kunci yang meliputi rasa hormat, berbagi tanggung jawab,

dan persetujuan yang sama mengenai apa itu menolong.

Sejumlah kelompok teman sebaya menyediakan fungsi-fungsi penting

selama masa remaja, misalnya melalui pengidentifikasian diri dengan teman

sebaya, remaja mulai membangun penilaian dan pandangan moral mereka

(Bishop & Inderbitzen dalam Gentry & Campbell, 2002) dan pada saat yang

sama juga menyediakan sumber-sumber informasi mengenai dunia di luar

keluarga dan juga mengenai diri mereka sendiri (Santrock dalam Gentry &

Campbell, 2002), serta sebagai penguatan yang positif, memberikan status,

penghargaan dan penerimaan diri.

Dengan demikian, dukungan sosial teman sebaya merupakan persepsi

remaja terhadap tingkat dukungan yang diterima dari teman sebayanya, yang

meliputi dukungan emosional, instrumental, penilaian, dan informasi.

2.4.3. Dimensi-dimensi Dukungan Sosial

Tardy (dalam del Valle dkk., 2010) menekankan kompleksitas konsep

dukungan sosial dari sudut pandang pengukuran (measurement),

mengidentifikasi lima dimensi dukungan sosial, antara lain :

1) Arahan, dukungan yang diberikan atau diterima

2) Disposisi, ketersediaan (ada) atau dibuat-buat

3) Deskripsi atau penilaian, dukungan sosial yang secara

sederhana digambarkan atau dinilai dalam cara tertentu

4) Isi, meliputi dukungan emosional, instrumental,

informasional, atau penilaian

5) Jaringan, orang tua, guru, teman sebaya, dsb.

House (dalam Glanz dkk., 2008) mendefinisikan dukungan sosial

sebagai konten fungsional dari suatu hubungan yang melibatkan perhatian,

bantuan dan informasi mengenai seseorang (diri sendiri) dan lingkungan.

Dimensi dukungan sosial mencakup:

1) Dukungan emosi, keberadaan seseorang atau lebih yang bisa

mendengarkan dengan simpati ketika seorang individu

mengalami masalah dan bisa menyediakan indikasi

kepedulian dan penerimaan.

2) Dukungan penilaian, meliputi ketersediaan informasi yang

berguna dalam rangka evaluasi diri – dengan kata lain,

memberikan umpan balik dan penguatan atau penegasan.

3) Dukungan informasi, meliputi ketersediaan pengetahuan yang

berguna dalam menyelesaikan masalah, seperti menyediakan

informasi mengenai sumber-sumber dan layanan komunitas

atau menyediakan nasehat dan tuntunan mengenai suatu aksi

atau hal-hal tertentu untuk menyelesaikan masalah.

4) Dukungan instrumental, melibatkan bantuan nyata atau praktis

yang secara langsung dapat membantu seseorang yang

membutuhkan.

Cohen dan Wills (1985) membedakan antara empat tipe dukungan,

esteem support (didefinisikan sebagai penyediaan informasi dan sikap yang

mengindikasikan keberhargaan dari seseorang), informational support

(didefinisikan sebagai menyediakan bantuan dalam mengartikan dan

mengatasi masalah dari suatu peristiwa), social companionship (yang

melibatkan availabilitas seseorang yang mana seseorang bisa berpartisipasi

dalam aktivitas luang dan aktivitas sosial, seperti perjalanan bersama atau

pesta, aktivitas-aktivitas kebudayaan, misalnya pergi nonton atau ke

museum, aktivitas rekreasi, seperti berolahraga atau hiking), dan

instrumental support (merupakan dukungan yang berfokus pada masalah,

dalam hal ini bukan hanya informasi yang diberikan, namun juga tindakan

nyata dalam menyelesaikan suatu masalah atau peristiwa).

Dari beberapa pendapat yang telah dipaparkan, maka dimensi-dimensi

dukungan sosial yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-

aspek dukungan sosial dari House (dalam Glanz dkk., 2008) yang terdiri dari

dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan informasi, dan

dukungan instrumental. Dimensi-dimensi dukungan sosial dari House

digunakan dengan alasan bahwa dimensi-dimensi tersebut bisa mencakup

keseluruhan dukungan yang dibutuhkan oleh siswa.

2.4.4. Efek Dukungan Sosial Teman Sebaya pada SWB

Signifikansi dukungan sosial bagi remaja biasanya dipahami dalam

konteks psikologi well-being mereka dan perannya sebagai penahan (buffer)

dalam melawan stres (Barbee; Cobb; Cohen & Wills; Gottlieb; Tardy;

Teelan, Herzog, & Kilbane;Weiss dalam McGrath dkk., 2009). Keberadaan

dukungan sosial dapat membantu well-being remaja melalui pengembangan

self-esteem dan self-efficacy (Axelsson & Ejlertsson dalam McGrath, 2009).

Dolan (dalam Mcgrath, 2009) menyatakan bahwa, teman, dalam dunia

remaja bisa menjadi sumber informasi tertentu mengenai keanggotaan suatu

jaringan sosial. Pertemanan remaja biasanya menyediakan juga bantuan

konkrit dan nasehat selain nasehat dan bantuan yang diterima dari orang tua.

Banyak studi menunjukkan bahwa teman sebaya memberikan nasehat atau

pemikiran penting bagi topik-topik yang mungkin terbatas untuk dibicarakan

bersama keluarga. Selain itu memiliki ikatan persahabatan yang kuat juga

bisa menjaga dari perilaku bullying (Cowie; Naylor & Cowie dalam

McGrath, 2009).

Dengan demikian, teman sebaya memiliki peran yang penting dan juga

sentral dalam menyediakan bentuk-bentuk dukungan biasa/umum yang

langsung dan bisa diakses dan menunjukkan konsistensi signifikansi dalam

mempromosikan well-being remaja. Hasil penelitian yang dilakukan

McGrath dkk. (2009) pada remaja di Amerika dan Irlandia menemukan

bahwa penerimaan dan penguatan dari teman dekat merupakan hal yang

krusial bagi stabilitas dan keamanan well-being remaja. Hasil penelitian juga

mengkonfirmasikan bahwa teman merupakan sumber penting yang

menyediakan dukungan emosional. Dukungan emosional merupakan bentuk

dukungan yang lebih sensitif dan berhubungan dengan perasaan dan

biasanya melibatkan hubungan yang dekat (hubungan karib). Biasanya hal

ini menyangkut hal-hal seperti, selalu ada untuk orang yang dekat,

mendengarkan mereka ketika mereka sedang sedih, dan memberikan

dukungan yang tanpa syarat.

2.5. HASIL PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian mengenai subjective well-being tergolong penelitian yang

masih baru di Indonesia. Belum banyak penelitian yang dipublikasi

mengenai SWB ini. Namun demikian, publikasi mengenai penelitian ini

telah banyak dilakukan oleh negara-negara asing, seperti Amerika dan

Eropa, bahkan di beberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea,

Singapura dan Malaysia. Berikut akan dipaparkan beberapa hasil penelitian

terdahulu mengenai SWB yang khususnya berkaitan dengan penelitian yang

saat ini sedang dilakukan oleh penulis.

2.5.1. School Connectedness dan Subjective Well-being

Fydenberg dkk., dengan analisis path dalam penelitiannya

menemukan bahwa school connectedness memiliki hubungan yang

positif dengan well-being, secara khusus emotional well-being, namun

hubungannya lemah (.29). Semua bobot regresi yang ditemukan dalam

penelitian ini secara statistik signifikan ( < .05). Dilakukan juga

Multivariate analysis of varian (MANOVA) untuk menguji perbedaan

gender dari school connectedness dan well-being, produktif coping dan

non-produktif coping. Hasilnya, ditemukan bahwa ada perbedaan

jender (1.531) = 5.90, < .001, μ = .04. Dari hasil univariate test

dibuktikan bahwa perbedaan ini terutama pada school connectedness.

Dalam pengukuran school connectedness, perempuan =20.60, = 2.92) memiliki skor lebih tinggi daripada laki-laki= 19.41, 3.26), (1.534) = 19.96, < .001, μ =.40.Oberle, Schonert-Reichl dan Zumbo (2010) melakukan

penelitian mengenai perkembangan positif remaja, khususnya

komponen kognitif SWB yang dipengaruhi oleh optimisme dan

konteks sosial (school connectedness, dukungan sosial yang dirasakan

dari lingkungan, dukungan keluarga, dan hubungan dengan teman

sebaya), menemukan bahwa optimisme dan semua konteks sosial

(ecological asset) secara signifikan dan positif merupakan prediktor

kepuasan hidup remaja awal. Penelitian ini dilakukan dengan analisis

multi level dan conditional model, dengan hasil prediktor signifikan

pada model yang dibuat mengindikasikan hubungan dukungan orang

tua/keluarga, 10= .19, 1,339.23 = 4.80, < .001, hubungan positif

dari teman sebaya 20 = .12, (1,339.55) = 4.00, < .001, dan

optimisme 30 =. 61, (1,339.66) = 20.85, < .001 pada kepuasan

hidup remaja awal. Lebih daripada signifikansi dan efek positif dari

school connectedness 40 = .18, (1,339.33) = 6.11, < .001, dan

dukungan dari lingkungan 50 = .05, (1,339.25) = 2.33, < .001pada level siswa, ditemukan juga pengaruh yang signifikan dari rata-

rata school connectedness dengan kepuasan hidup, 01= .43, (18.59) = 2.76, = .01.Penelitian untuk menguji hubungan siswa dengan sekolahnya

juga dilakukan oleh Lau & Li (2011). School connectedness yang

dalam penelitian ini dikelompokkan dalam variabe school capital

merupakan salah satu variabel yang memberikan pengaruh terhadap

SWB anak ( = .337, < .001) disamping hubungan dengan orang

tua ( = .245, < .001) dan teman ( = .342, < .001). Studi ini

merupakan cross-sectional survey design dengan pengambilan sampel

stratifikasi random sampling. Total sampel dari penelitian ini 1306

siswa kelas 6 SD dan juga orang tua mereka yang berasal dari 16

sekolah di Shenzen, Cina.

2.5.2. Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Subjective Well-being

Penelitian Gülaçt yang dilakukan pada mahasiswa calon guru di

Turki ditemukan bahwa dukungan teman tidak menjadi prediktor bagi

SWB, sebaliknya dukungan keluarga menjadi penting. Hasil analisis

regresi berganda menemukan bahwa 18% (R2 = 0.18) dukungan sosial

yang diterima dari keluarga berpengaruh pada SWB siswa. Sebaliknya

dukungan sosial teman dan orang terdekat (kekasih, pacar) tidak

berpengaruh terhadap SWB (t=1857, > 0.05; = 0.341, > 0.05).Gülaçt mengindikasikan bahwa hubungan positif yang terjalin dengan

keluarga menyebabkan perkembangan dalam aspek emosi, sosial dan

kognitif anak dan hal ini secara positif berdampak pada kehidupan

yang dijalani oleh anak; anak mengalami kepuasan dan lebih bahagia.

Chou (1999) dalam penelitiannya mengenai dukungan sosial dan

SWB yang dilakukan pada dewasa awal (young adult) dengan jumlah

sampel 475 orang menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara emosi positif (positive affect) dan semua dimensi dukungan

sosial, kecuali jaringan komposisi teman dan keluarga dekat dan

frekeunsi pertemuan secara teratur. Kuatnya nilai asosiasi antara afektif

(skor positif afek dan negatif afek) dan dukungan sosial atau jaringan

sosial antara . 23 ≥ | | ≥ .10. Dengan model regresi berganda

ditemukan bahwa kepuasan dengan anggota keluarga dan teman secara

konsisten berasosiasi dengan semua ukuran SWB, dan jumlah teman

dekat yang dimiliki secara positif berhubungan dengan emosi positif

(positive affect). Secara spesifik, semakin tinggi level kepuasan dalam

hubungan dengan keluarga dan teman maka semakin rendah level

gejala depresi. Model analisis regresi untuk dukungan sosial atau

jaringan sosial terhitung 10% dari setiap varian, (15,459) =3.41, < .0001, = .10. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 12

sekolah yang secara random diikutsertakan untuk berpartisipasi.

Kef dan Dekovic (2004) dalam penelitian yang dilakukan

mengenai dukungan sosial teman sebaya dan dukungan orang tua pada

well-being remaja; dalam penelitiaannya digunakan dua kelompok,

kelompok pertama adalah remaja dengan masalah penglihatan/tidak

bisa melihat dan kelompok kedua remaja yang tidak mengalami

masalah penglihatan, menemukan bahwa dukungan teman sebaya dan

dukungan orang tua terbukti penting bagi kedua kelompok tersebut;

untuk remaja dengan masalah penglihatan ( = 0.47, < 0.05);remaja tanpa masalah penglihatan ( = 0.24, < 0.05), tapi

besarannya lebih rendah. Di mana pada kelompok dengan masalah

penglihatan terdapat hubungan positif yang linear antara dukungan

sosial teman sebaya dan well-being, sedangkan pada kelompok yang

tidak mengalami masalah penglihatan, well-being kelihatannya tidak

dipengaruhi oleh dukungan sosial teman sebaya. Dukungan orang tua

yang lebih memberikan pengaruh pada kelompok ini. Dalam penelitian

ini juga digunakan multivariate analysis of variance (MANOVA)

untuk menguji efek kelompok, jenis kelamin dan usia pada dukungan

sosial. Hasilnya, ditemukan perbedaan antara dua kelompok dalam

semua variabel dukungan sosial (dukungan emosional, (1.513) =23.94, < 0.001; dukungan praktis, (1.513) = 21.93, < 0.001;dan social companionship, (1.513) = 53.46, < 0.001). Dari ketiga

variabel dukungan sosial, yang menghasilkan perbedaan yang sangat

signifikan yaitu social companionship, (1.513) = 9.37, < 0.05.Dari pengujian ini juga ditemukan bahwa untuk skor dukungan sosial

teman sebaya, perempuan memiliki skor yang lebih tinggi

dibandingkan laki-laki (social companionship (1,513) = 4.95, <0.05; emosi (1,513) = 19.21, < 0.001; praktis (1,513) =12.29, < 0.001). Sedangkan untuk dukungan sosial dari orang tua

tidak ditemukan perbedaan. Pengujia ANOVA untuk well-being tidak

menemukan adanya perbedaan dalam kelompok (1,513) = 2.42, >0.05, namun laki-laki merasa lebih bahagia dibandingkan perempuan(1,513) = 6.30, < 0.05.Ratelle, Simard & Guay (2012) melakukan studi untuk

menginvestigasi hubungan antara dukungan autonomi dari tiga sumber

dukungan yang signifikan (orang tua, teman, dan kekasih) dan SWB

mahasiswa dengan menggunakan dua pendekatan: pendekatan berpusat

pada variabel dan pendekatan yang berpusat pada orang. Partisipan

adalah 256 mahasiswa (191 perempuan, 65 laki-laki) yang memiliki

pasangan. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa dukungan yang

diterima dari ketiga sumber ini dapat memprediksikan level yang lebih

tinggi pada SWB. Korelasi yang paling kuat terutama dari teman( = .42) dan orang tua ( = .43), diikuti oleh pacar/kekasih ( =.17). Dengan pengujian model yang menggunakan hybrid SEM, yang

mana meliputi alat ukur dan struktur komponen, ditemukan bahwa

semua variabel eksogen berkorelasi satu dengan yang lainnya. Nilai

untuk model ini adalah 268.25 ( = 165) dan secara statistik

signifikan ( < .01). Rasio / dibawah 3 (1.63), dan indeks fit

memuaskan (NNFI=.95; CFI=.96; RMSEA=.05). SWB dapat

diprediksikan melalui dukungan yang diperoleh dari keluarga ( =.27, < .05), teman ( = .35, < .05) dan kekasih/pacar ( = −.22,< .05).Dari beberapa penelitian di atas, ada penelitian yang menemukan

hubungan yang signifikan, namun ada pula yang hubungannya rendah

atau sama sekali tidak ada hubungan yang signifikan.

2.6. Landasan Teori

2.6.1. School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya

sebagai prediktor Subjective Well-Being

Remaja dalam perkembangannya membutuhkan lingkungan yang juga

mendukung dirinya untuk berkembang secara optimal ke arah yang positif.

Selain lingkungan keluarga, teman dan lingkungan sekolah menjadi

lingkungan pendukung utama bagi dunia remaja. Sekolah sebagai tempat di

mana remaja bersosialisasi, memiliki pengaruh yang cukup besar dalam

upaya pengembangan dirinya. Keterhubungan yang dimiliki dengan sekolah,

bisa memberikan pengalaman belajar dan pendidikan yang menyenangkan

bagi masa remaja anak.

Sampai saat ini, school connectedness menjadi salah satu faktor

penting yang berpartisipasi secara potensial dalam mengurangi tingkat

perilaku bermasalah yang terjadi di kalangan remaja (Goodenow, 1993).

Penelitian yang dilakukan sesudahnya juga menemukan bahwa school

connectedness memainkan peran yang krusial dan luas dalam perkembangan

kesehatan remaja (Catalano, Haggerty, Oesterle, Fleming & Hawkins, 2004).

Keterhubungan atau keterikatan dengan sekolah membantu remaja

mengembangkan tujuan dan memberi arah, serta melindungi dari perasaan-

perasaan tertekan secara psikologi (Roeser, Eccles & Sameroff, 1998),

increases self-esteem (Hagborg, 1994; Osterman, 2000) dan mengurangi

kemungkinan remaja memulai pola perilaku yang bermasalah (Dornbusch,

Erikson, Laird & Wong, 2001).

School connectedness juga ditemukan berasosiasi dengan kesehatan

mental pada orang muda. Jacobson dan Rowe (1999) menemukan bahwa

suasana hati yang depresi secara signifikan berkorelasi dengan family

connectedness dan school connectedness. Dalam studi lintas budaya dengan

menggunakan model hierarki linear, Anderman (2002) menemukan bahwa

level school connectedness individu yang tinggi berkaitan dengan tingginya

optimisme dan rendahnya level depresi dan perilaku bermasalah begitu juga

dengan peningkatan performa akademik.

Dalam studi baru-baru ini pada lebih dari 2000 sampel, Shochet,

Dadds, Ham, dan Montague (2006) menemukan school connectedness

memprediksikan gejala-gejala kesehatan mental dari depresi, kecemasan, dan

fungsi-fungsi umum lainnya, setelah terlebih dahulu melakukan kontrol

untuk gejala-gejalanya setahun sebelumnya.

Keterikatan atau keterhubungan secara umum berkaitan dengan

individu maupun lingkungan (Whitlock dalam Waters dkk., 2009) dan juga

interaksi antara setiap orang dalam lingkungan partikular dan lingkungan

secara umum, yang mana school connectedness kelihatannya dipromosikan

oleh ekologi sekolah yang positif (Connel & Wellborn dalam Waters dkk.,

2009). Adanya ikatan antara siswa dengan sekolah, berkaitan dengan rentang

kesehatan yang luas, sosial, dan hasil akademik dari anak dan remaja. Selain

itu, memiliki koneksi yang kuat dengan sekolah juga berasosiasi dengan

pencapaian prestasi akademik yang lebih tinggi (Anderman, 2002; Klem &

Connell, 2004; Goodenow, 1993), peningkatan motivasi akademik, dan rasa

memiliki atau menjadi bagian sekolah yang lebih besar (Resnick dkk., 1993;

Wingspread Converence, 2004; Bond dkk., 2007; Klem & Connell, 2004),

serta partisipasi dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler (Whitlock dalam

Waters dkk., 2009; Thompson, Iachan, Overpeck, Ross & Gross, 2006;

Fullarton, 2003).

Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa school

connectedness kelihatannya menjadi prediktor bagi masalah kesehatan

mental, yang mana membawa pada perkembangan yang lebih sehat dan

meningkatkan well-being remaja (Waters dkk., 2009).

Selain school connctedness, dukungan dari teman sebaya juga bisa

memberikan pengaruh yang besar bagi siswa. Quedero dan Abella (2011)

dalam penelitian yang dilakukan untuk melihat pengaruh optimisme dan

dukungan sosial pada komponen SWB menemukan bahwa dukungan sosial

yang dirasakan berasosiasi dengan aspek yang berbeda-beda dari well-being,

walaupun tingkat korelasinya lebih rendah. Partisipan dengan persepsi

dukungan sosial yang lebih menunjukkan penyesuaian yang lebih baik, lebih

puas dalam hidup, dan kepuasan akan partner atau teman, memiliki emosi

positif yang lebih baik dan kurang dalam emosi negatif. Ketika keduanya

(dukungan sosial yang dirasakan dan optimisme) dianalisis bersama-sama,

ditemukan bahwa optimistis dan dukungan sosial yang tinggi menunjukkan

emosi positif yang lebih, emosi negatif yang kurang, dan lebih mengalami

kepuasan dalam hidup.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ronen dan Seeman (2007)

menemukan bahwa dukungan sosial menjadi variabel yang kuat dalam

memprediksi SWB remaja, khususnya dukungan teman sebaya.

Teman sebaya memainkan peranan yang sangat penting dan menjadi

salah satu sumber dukungan sosial bagi remaja dalam konteks sekolahnya.

Dukungan sosial teman sebaya berhubungan secara positif dengan prestasi

akademik dan harga diri (self-esteem), dan secara negatif dengan depresi dan

komplain-komplain somatik, seperti sakit kepala dan pusing (Colarossi &

Eccles, 2003; Domagala-Zysk, 2006; Torsheim &Wold, 2001). Hasil

penelitian Rigby (2000) menemukan bahwa untuk siswa perempuan,

dukungan sosial dari teman dekat dan teman sekelas berasosiasi dengan

laporan mengenai mental well-being mereka, sementara untuk siswa laki-laki

tidak ditemukan hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dan well-

being.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penelitian-penelitian

terdahulu secara terpisah telah menemukan school connectedness dan

dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor SWB siswa. Tentunya

penelitian-penelitian terdahulu memiliki perbedaan lingkungan dan situasi

dengan sampel penelitian yang akan dilakukan saat ini, ditambah penelitian

ini juga akan melihat school connectedness dan dukungan sosial teman

sebaya secara simultan menjadi prediktor terhadap SWB siswa karena sejauh

penelusuran penulis, sampai saat ini belum ada penelitian mengenai school

connectedness dan dukungan sosial teman sebaya secara simultan sebagai

prediktor SWB.

2.7. MODEL PENELITIAN

2.8. HIPOTESIS

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori, hipotesis penelitian

ini adalah, school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya menjadi

prediktor SWB siswa.

Subjective well-beingsiswa(Y)

SchoolConnectedness

(X1)

Dukungan sosialteman sebaya

(X2)