bab ii tinjauan pustaka a. stres 1. pengertian stresrepository.untag-sby.ac.id/1407/3/bab ii.pdfdan...

31
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres 1. Pengertian Stres Hawari (dalam Yusuf, 2004) berpendapat bahwa istilah stres tidak dapat dipisahkan dari distress dan depresi, karena satu sama lainnya saling terkait. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Rifka, 2014) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Menurut Lazrus (dalam Manktelow, 2009) stres adalah suatu kondisi atau perasaan yang dialami ketika seseorang menganggap bahwa tuntutan-tuntutan melebihi sumber daya sosial dan personal yang mampu dikerahkan seseorang Stres menurut WHO (2003) adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental / beban kehidupan). Menurut Marks, Murray, Evans (2002) stres adalah kondisi ketika individu berada dalam situasi yang penuh tekanan atau ketika individu merasa tidak sanggup mengatasi tuntutan yang dihadapinya. Menurut Atkinson (dalam Gita. 2016), stres terjadi ketika individu dihadapkan dengan peristiwa yang mereka anggap membahayakan kentetraman kondisi fisik dan psikologis mereka, misalnya ketika menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan seperti tekanan dalam pekerjaan, masalah pernikahan atau keuangan.

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Stres

    1. Pengertian Stres

    Hawari (dalam Yusuf, 2004) berpendapat bahwa istilah stres tidak

    dapat dipisahkan dari distress dan depresi, karena satu sama lainnya saling

    terkait. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Rifka, 2014) stres adalah keadaan

    internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi

    lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali

    atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.

    Menurut Lazrus (dalam Manktelow, 2009) stres adalah suatu kondisi

    atau perasaan yang dialami ketika seseorang menganggap bahwa

    tuntutan-tuntutan melebihi sumber daya sosial dan personal yang mampu

    dikerahkan seseorang Stres menurut WHO (2003) adalah reaksi atau respons

    tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental / beban kehidupan).

    Menurut Marks, Murray, Evans (2002) stres adalah kondisi ketika individu

    berada dalam situasi yang penuh tekanan atau ketika individu merasa tidak

    sanggup mengatasi tuntutan yang dihadapinya. Menurut Atkinson (dalam Gita.

    2016), stres terjadi ketika individu dihadapkan dengan peristiwa yang mereka

    anggap membahayakan kentetraman kondisi fisik dan psikologis mereka,

    misalnya ketika menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan seperti

    tekanan dalam pekerjaan, masalah pernikahan atau keuangan.

  • 9

    Dougall & Baum (2001); Hobfoll (dalam Sarafino, 2006)

    mengemukakan tiga pendekatan untuk menentukan definisi stres, yaitu: a.

    Pendekatan yang berfokus pada lingkungan, stres dilihat sebagai stimulus yaitu

    kondisi ketika suatu pekerjaan menuntut kemampuan tertentu dari seseorang

    atau pengalaman yang menyedihkan seperti kehilangan salah satu anggota

    keluarga;b. Pendekatan berfokus pada reaksi individu, Stres dilihat sebagai

    sebuah respon. Respon bisa berupa respon psikologis seperti pola-pola

    pemikiran, emosi seperti kecemasan dan respon fisik seperti meningkatnya

    detak jantung; c. Pendekatan berfokus pada individu dan lingkungan, stres

    dilihat tidak hanya sebagai stimulus dan respon tetap lebih sebagai proses.

    Berdasarkan definisi stres diatas dapat disimpulkan bahwa stres

    menghadapi masa pensiun adalah suatu keadaan atau perasaan tidak

    menyenangkan yang dialami individu saat menghadapi kondisi atau situasi

    yang menekan atau membahayakan.

    2. Gejala-gejala Stres

    Goliszek (2005) membagi gejal-gejala stres menjadi tiga kategori, yaitu

    meliputi gejala fisik, emosional dan gejala perilaku. Antara lain:

    a. Gejala fisik: sakit kepala, nyeri otot, sakit punggung, rasa lemah,

    gangguan pencernaan, rasa mual atau muntah-muntah, sakit perut, nafsu

    makan hilang atau selalu ingin makan, jantung berdebar-debar, sering

    buang air kecil, tekanan darah tinggi, tidak dapat tidur atau tidur

    belebihan, berkeringat secara berlebihan dan sejumlah gejala lain.

  • 10

    b. Gejala emosional: mudah tersinggung, gelisah terhadap hal-hal kecil,

    suasana hati berubah-ubah, mimpi buruk, khawatir, panik, sering

    menangis, merasa tidak berdaya, perasaan kehilangan kontrol, muncul

    pikiran untuk bunuh diri, pikiran yang kacau, ketidakmampuan membuat

    keputusan dan sebagainya.

    c. Gejala perilaku: merokok, memakai obat-obatan atau mengkonsumsi

    alkohol secara berlebihan, berjalan mondar-mandir, kehilangan

    ketertarikan pada penampilan fisik, menarik atau memutar-mutar rambut,

    perilaku sosial berubah secara tiba-tiba, dan lainnya.

    Pendapat Goliszek diatas dapat digolongkan menjadi beberapa

    indikator. Indikator stres dapat dilihat dari tiga gejala, yaitu: gejala fisik; gejala

    mental; dan gejala perilaku. Adapun yang termasuk gejala fisik antara lain:

    menggigit-gigit kuku, berkeringat, mulut kering, mengetukkan atau

    menggerakkan kaki berkali-kali, wajah tampak lelah, pola tidur yang

    terganggu, memiliki kecenderungan yang berlebihan pada makanan dan terlalu

    sering ke toilet.

    Gejala mentalnya antara lain: kemarahan yang tidak terkendali, atau

    lekas marah/agresivitas, mencemaskan hal-hal kecil, ketidakmampuan dalam

    memprioritaskan, berkonsentrasi dan memutuskan apa yang harus dilakukan,

    suasana hati yang sulit ditebak atau tingkah laku yang tidak wajar, ketakutan

    atau fobia yang berlebihan, hilangnya kepercayaan pada diri sendiri, cenderung

    menjaga jarak, terlalu banyak berbicara atau menjadi benar-benar tidak

  • 11

    komunikatif, ingatan terganggu dan dalam kasus-kasus yang ekstrim

    benar-benar kacau.

    Sedangkan gejala perilaku antara lain: pemakaian obat-obatan yang

    berlebihan, tidak peduli dengan penampilan fisik, periaku dalam sosial

    bermasyarakat tiba-tiba berubah, berubahnya pola makan serta berkurangnya

    daya konsentrasi dalam kehidupan sehari-hari.

    3. Tahap-tahap stres

    Tahap-tahap stress terdiri dari beberapa tingkatan. Menurut Amberg

    (dalam Hidayat, 2008), stres dapat dibagi kedalam enam tahap sebagai berikut:

    a. Tahap pertama

    Tahap ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya

    ditandai dengan munculnya semangat yang berlebihan, penglihatan lebih

    “tajam”dari biasanya, dan biasanya (namun tanpa disadari cadangan

    energi dihabiskan dan timbulnya rasa gugup yang berlebihan).

    b. Tahap kedua

    Pada tahap ini, dampak stres yang semula menyenangkan mulai

    menghilang dan timbul keluhan-keluhan karena habisnya cadangan

    energi. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan antara lain merasa

    letih sewaktu bangun pagi dalam kondisi normal, badan (seharusnya terasa

    segar), mudah lelah sesudah makan siang, cepat lelah menjelang sore,

    sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung

  • 12

    berdebar-debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa

    santai.

    c. Tahap ketiga

    Jika tahap stres sebelumnya tidak ditanggapi dengan memadai,

    maka keluhan akan semakin nyata, seperti gangguan lambung dan usus

    (gastritis atau maag, diare), ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak

    tenang, gangguan pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun tengah

    malam dan sukar kembali tidur, atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat

    tidur kembali), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.

    d. Tahap empat

    Orang yang mengalami tahap-tahap stres di atas ketiga

    memeriksakan diri ke dokter sering kali dinyatakan tidak sakit karena

    tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Namun

    pada kondisi berkelanjutan, akan muncul gejala seperti ketidakmampuan

    untuk melakukan aktivitas rutin karena perasaan bosan, kehilangan

    semangat, terlalu lelah karena gangguan pola tidur,kemampuan mengingat

    dan konsentrasi menurun, serta muncul rasa takut dan cemas yang tidak

    jelas penyebabnya.

    e. Tahap kelima

    Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak

    mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan pada

    sistem pencernaan semakin berat, serta semakin meningkatnya rasa takut

    dan cemas.

  • 13

    f. Tahap keenam

    Tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya ditandai dengan

    timbulnya rasa panik dan takut mati yang menyebabkan jantung berdetak

    semakin cepat, kesulitan untuk bernapas, tubuh gemetar dan berkeringat,

    dan adanya kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.

    Sedangkan Patel (dalam Elis, 2008) menjelaskan adanya berbagai jenis

    tingkat stres yang umumnya dialami manusia meliputi:

    a. Too little stress

    Dalam kondisi ini, individu belum mengalami tantangan yang berat

    dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Seluruh kemampuan belum

    sampai dimanfaatkan, serta kurangnya stimulasi mengakibatkan

    munculnya kebosanan dan kurangnya makna dalam tujuan hidup.

    b. Optimum stress

    Individu mengalami kehidupan yang seimbang pada situasi ”atas”

    maupun “bawah” akibat proses manajemen yang baik pada dirinya.

    Kepuasan dan perasaan mampu individu dalam meraih prestasi

    menyebabkan individu mampu menjalani kehidupan dan pekerjaan

    sehari-hari tanpa menghadapi masalh terlalu banyak atau rasa lelah yang

    berlebihan.

    c. Too much stress

  • 14

    Dalam kondisi ini, individu merasa telah melakukan pekerjaan

    yang terlalu banyak setiap hari. Dia mengalami kelelahan fisik maupun

    emosinal, serta tidak mampu menyediakan waktu untuk beristirahat dan

    bermain. Kondisini dialami terus-menerus tanpa memperoleh hasil yang

    diharapkan.

    d. Breakdown stress

    Ketika pada tahap Too much stress individu tetap meneruskan

    usahanya pada kondisi yang statis, kondisi akan berkembang menjadi

    adanya kecenderungan neurotis yang kronis atau munculnya rasa sakit

    psikomatis. Misalnya pada individu yang memiliki perilaku merokok atau

    kecanduan minuman keras, konsumsi obat tidur dan terjadinya kecelakaan

    kerja. Ketika individu tetap meneruskan usahanya ketika mengalami

    kelelahan, ia akan cenderung mengalami Breakdown baik secara fisik

    maupun psikis.

    Pendapat Amberg diatas tentu berdasar pada kajian ke ilmuan yaitu

    dalam bidang kedokteran jiwa. Apabila kita melihat kembali indikatornya jelas

    sebagian bersifat fisik daripada psikis.

    Sedangkan pendapat Wieten meski menyebutnya sebagai tingkat stres

    namun peneliti berpendapat bahwa hal tersebut masih terdapat kekurangan

    yaitu kekaburan perbedaan antara jenis stres ataukah tingkat stres. Sedangkan

    pendapat Pattel Lebih fokus pada pembagian tingkatan stres bahkan Weitan

    juga menjelaskan beberapa indikator pada tingkatan tersebut

  • 15

    Berbagai tahapan-tahapan stres manusia yang di definisikan oleh ahli,

    dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai tahapan-tahapan stres yang

    dapat menimbulkan dampak negatif bagi fisik maupun psikis apabila

    meneruskan stres tersebut tanpa adanya usaha yang efektif untuk

    menghilangkan stres itu sendiri.

    4. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stres

    Menurut Weitan (dalam dalam Nasir &Muhith, 2011),bahwa ada 4

    (empat) faktor yang mempengaruhi terjadinya stres pada seseorang, yaitu: a.

    Perubahan, kondisi yang dijumpai ternyata merupakan kondisi yang tidak

    semestinya serta membutuhkan adanya suatu penyesuaian; b. Tekanan, kondisi

    dimana terdapat suatu harapan atau tuntutan yang sangat besar terhadap

    individu untuk melakukan perilaku tertentu; c. Konflik, kondisi ini muncul

    ketika dua atau lebih perilaku saling berbenturan, dimana masing-masing

    perilaku tersebut butuh untuk diekspersikan atau malah saling memberatkan; d.

    Frustasi, kondisi dimana individu merasa jalan yang akan ditempuh untuk

    meraih tujuan dihambat.

    Taylor (dalam Fitriyani, 2014) merinci beberapa karakteristik kejadian

    yang berpotensi untuk dinilai menciptakan stres, antara lain: a. Kejadian

    negatif agaknya lebih banyak menimbulkan stres daripada kejadian positif, b.

    Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat stres

    daripada kejadian yang terkontrol dan terprediksi, c. Kejadian “ambigu” sering

  • 16

    kali dipandang lebih mengakibatkan stres daripada kejadian yang jelas, d.

    Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (overload) lebih muda mengalami

    stres daripada individu yang memiliki tugas sedikit.

    Holmes dan Rahe (dalam Fajar & Dwi, 2015) merusmuskan adanya

    sumber stres berasal dari: a. Dalam diri individu, hal ini berkaitan dengan

    adanya konflik. Pendorong dan penarik konflik menghasilkan dua

    kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance, b. Dalam

    komunitas dan masyarakat, kontak individu di luar keluarga menyediakan

    banyak sumber stres. Misalnya pengalaman anak di sekolah dan persaingan.

    Munir dan Haryanto (2007) membagi stresor atau faktor yang

    mempengaruhi terjadinya stres adalah sebagai berikut:

    a. Faktor Internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.

    Bagaimana kondisi emosi orang yang bersangkutan dapat

    menimbulkan stres. Emosi adalah setiap kegiatan pergolakan pikiran,

    perasaan dan nafsu. Emosi juga dapat diartikan sebagai keadaan mental

    seseorang. Secara umum dalam diri manusia tedapat duea emosi yang

    berseberangan (berlawanan), yakni positif dan negatif. Adapun

    kondisi-kondisi emosinal yang dapat memicu munculnya stres antara

    lain sebagai berikut: perasaan cinta yang berlebihan, rasa takut yang

    berlebihan, kesedihan yang berlebihan, rasa bersalah, terkejut.

    b. Faktor Eksternal, yaitu faktor penyebab stres yang berasal dari luar diri

    seseorang. Dalam faktor eksternal ini dapat berupa ujian atau cobaan

  • 17

    yang berupa kebaikan atau yang dianggap baik oleh manusia adalah

    keberhasilan, kesuksesan dalam karir dan bisnis, kekayaan yang

    berlimpah, kehormatan, popularitas dan sebagainya. Macam kebaikan

    di atas, jika tidak disikapi dengan baik akan dapat menimbulkan stres

    bagi seseorang. Berbagai persoalan dan cobaan yang menimpa

    kehidupan manusia yang bersifat buruk atau yang dipandang tidak baik

    juga merupakan faktor dan penyebab munculnya gangguan jiwa (stres)

    pada diri seseorang, yaitu: tertimpa musibah atau bencana alam, bahaya

    kelaparan dan kekeringan, kekurangan harta benda, kekurangan hasil

    panen, kekurangan dalam diri (cacat tubuh), problem orangtua dan

    sebagainya.

    Bayi, anak-anak dan dewasa semua dapat mengalami stres. Sumber

    stres bisa berasal dari diri sendiri, keluarga, dan komunitas sosial (Alloy,

    2004). Menurut Maramis (2009), ada empat sumber atau penyebab stres

    psikologis, yaitu frustasi, konflik, tekanan dan krisis.

    Frustasi timbul akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena ada aral

    melintang, misalnya apabila ada mahasiswa yang gagal dalam mengikuti ujian

    osca dan tidak lulus. Frustasi ada yang bersifat intrinsik (cacat badan dan

    kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan, bencana alam, kematian orang

    yang dicintai, kegoncangan ekonomi, pengangguran, perselingkuhan, dan

    lain-lain).

    Konflik timbul karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih

    macam-macam keinginan, kebutuhan atau tujuan. Ada 3 jenis konflik, yaitu :

  • 18

    a. Approach-approach conflict, terjadi apabila individu harus memilih satu

    diantara dua alternatif yang sama-sama disukai, misalnya saja seseorang

    yang sulit menentukan keputusan diantara dua pilihan karir yang

    sama-sama diinginkan. Stres muncul akibat hilangnya kesempatan untuk

    menikmati alternatif yang tidak diambil. Jenis konflik ini biasanya sangat

    mudiktgah dan cepat diselesaikan.

    b. Avoidance-avoidance conflict, terjadi bila individu dihadapkan pada dua

    pilihan yang sama-sama tidak disenangi, misalnya wanita muda yang

    hamil diluar pernikahan, di satu sisi ia tidak ingin aborsi tapi disisi lain ia

    belum mampu secara mental dan finansial untuk membesarkan anaknya

    nanti. Konflik jenis ini lebih sulit diputuskan dan memerlukan lebih

    banyak tenaga dan waktu untuk menyelesaikannya karena masing-masing

    alternatif memiliki konsekuensi yangtidak menyenangkan

    c. Approach-avoidance conflict, merupakan situasi dimana individu merasa

    tertarik sekaligus tidak menyukai atau ingin menghindar dari seseorang

    atau suatu objek yang sama, misalnya seseorang yang berniat berhenti

    merokok, karena khawatir merusak kesehatannya tetapi ia tidak dapat

    membayangkan sisa hidupnya kelak tanpa rokok.

    Tekanan timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan

    dapat berasal dari dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma yang

    terlalu tinggi. Tekanan yang berasal dari luar individu, misalnya orang tua

    menuntut anaknya agar disekolah selalu rangking satu, atau istri menuntut

    uang belanja yang berlebihan kepada suami.

  • 19

    Krisis yaitu keadaan mendadak yang menimbulkan stres pada individu,

    misalnya kematian orang yang disayangi, kecelakaan dan penyakit yang harus

    segera dioperasi.

    Berdasarakan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada dua

    sumber stres yang dimiliki oleh individu yakni faktor eksternal dimana sumber

    stres berasal dari lingkungan individu dan faktor internal dimana sumber stres

    berasal dari dalam individu yang tidak bisa diselesaikan sehingga

    menimbulkan stres dan berdampak pada perilaku negatif dalam diri individu

    itu sendiri.

    5. Macam-macam stres

    Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda

    terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma,

    pengalaman, dan pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga,

    tahap perkembangan keluarga, pengalaman masa lalu dengan stres serta

    mekanisme koping. Berdasarkan studi literatur, ditemukan tingkatan stres

    menjadi lima bagian dalam Psychology Foundation of Australia (2010), antara

    lain:

    a. Stres normal

    Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian

    alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi: kelelahan setelah

    mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian, merasakan detang jantung

    berdetak lebih keras setelah aktivitas (Crowford & Henry, 2003). Stres

  • 20

    normal alamiah dan menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah

    mengalami stres. Bahkan, sejak dalam kandungan.

    b. Stres ringan

    Stres ringan adalah stresor yang dihadapi secara teratur yang dapat

    berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur,

    kemacetan atau dimarahi dosen. Stresor ini dapat menimbulkan gejala,

    antara lain bibir sering kering, kesulitan bernafas (sering terengah-engah),

    kesulitan menelan, merasa goyah, merasa lemas, berkeringat berlebihan

    ketika temperature tidak panas serta tidak melakukan aktivitas, takut tanpa

    alasan yang jelas, denyut jantung lebih cepat walaupun tidak melalukan

    aktivitas fisik, tremor pada tangan, dan merasa sangat lega jika situasi

    berakhir. Dengan demikian, stresor ringan yang menumpuk dalam jangkau

    waktu yang singkat dapat meningkatkan resiko penyakit yang diderita oleh

    individu.

    c. Stres sedang

    Stres ini terjadi lebih lama, antara beberapa jam sampai beberapa

    hari. Misalnya masalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan

    teman atau pacar. Stresor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain mudah

    marah, bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi, sulit untuk beristirahat,

    merasa lelah karena cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan

    menghadapi gangguan terhadap hal yang sedang dilakukan, mudah

    tersinggung, gelisah, dan tidak dapat memaklumi hal apapun yang

    menghalangi ketika sedang mengerjakan sesuatu hal

  • 21

    d. Stres berat

    Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa

    minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan dengan teman

    terus-menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan, dan penyakit yang

    tidak kunjung sembuh. Makin sering dan lama situasi stres, makin tinggi

    risiko stres yang ditimbulkan. Stresor ini dapat menimbulkan gejala, antara

    lain tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk

    melakukan suatu kegiatan, merasa tidak berharga sebagai seorang manusia,

    berpikir bahwa hidup tidak bermanfaat.

    e. Sangat berat

    Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam

    beberapa bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang

    yang mengalami stres sangat berat tidak memiliki motivasi untuk hidup

    dan cenderung pasrah. Seseorang dalam tingkatan stres ini biasanya

    teridentifikasi mengalami depresi berat.

    B. Self Efficacy

  • 22

    1. Pengertian Self Efficacy

    Bandura mengungkapkan bahwa self-efficacy adalah penilaian keyakinan diri

    tentang seberapa baik individu dapat melakukan tindakan yang diperlukan yang

    berhubungan dengan situasi yang prospektif (Luthans, 2006). Setiap orang telah

    dibekali potensi, oleh karena itu setiap individu harus yakin bahwa setiap

    individu memiliki kemampuan. Selain itu, Davis dan Newtorm (dalam Hendra,

    2012) mengatakan bahwa salah satu faktor internal yang sangat mempengaruhi

    motivasi (usaha) individu pada waktu melaksanakan pekerjaan dalam upaya

    menghasilkan serta mengembangkan prestasi adalah keyakinan, kemantapan

    dan perkiraan individu terhadap kemampuan yang dimiliki sebagai faktor

    self-efficacy.

    Lebih lanjut Bandura (dalam Wantiyah, 2010) mengatakan bahwa

    self-efficacy adalah salah satu komponen dari pengetahuan tentang diri (self

    knowledge) yang paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Bandura juga

    menegaskan bahwa semua proses perubahan psikologis dipengaruhi oleh

    self-efficacy. Wood dan Bandura (dalam Mulkiyatus, 2008), mengatakan bahwa

    self-efficacy merupakan kepercayaan tentang kemampuan seseorang dalam

    mengarahkan motivasi, sumber daya kognitif dan menentukan tindakan yang

    dibutuhkan untuk mencapai suatu situasi yang diinginkan.

    Lewicki (dalam Carlos, 2006) menjelaskan self efficacy sebagai

    keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk menggerakkan

    motivasi, sumber-sumber kognitif dan tindakan yang dibutuhkan untuk

    mengendalikan peristiwa dalam kehidupan mereka. Santrock (2006)

  • 23

    mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan

    dirinya untuk menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif.

    Schunk juga mengatakan bahwa self efficacy sangat penting perannya dalam

    mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi

    keberhasilan yang akan dicapai (Anwar, 2009). Carlos (2006) menyimpulkan

    bahwa perilaku dan motivasi individu dipengaruhi oleh keyakinan mereka

    sendiri. Self efficacy menentukan bagaimana individu merasakan, berpikir,

    memotivasi diri mereka dan berperilaku. Individu dengan kepercayaan yang

    tinggi mengenai kemampuannya memandang tugas-tugas yang sulit sebagai

    tantangan untuk menjadi lebih baik daripada bersikap menghindar. Self

    efficacy memberi harapan yang membantu memunculkan ketertarikan intrinsik

    dan kesenangan yang mendalam terhadap kegiatan. Mereka menganggap

    tujuan yang telah mereka tetapkan sebagai tantangan dan bertahan kuat dengan

    komitmen mereka. Mereka mempertinggi dan mempertahanakan usaha

    mereka ketika berhadapan dengan kegagalan. Mereka dengan cepat kembali

    percaya pada kemampuannya setelah mengalami kegagalan. Mereka

    menghubungkan kegagalan dengan usaha yang tidak cukup atau pengetahuan

    dan keterampilan yang kurang. Mereka mendekati situasi yang mengancam

    dengan kepercayaan bahwa mereka dapat mengontrol situasi tersebut.

    Self-efficacy menghasilkan pribadi yang berprestasi, dapat mengurangi stres

    dan tidak lebih mudah terkena depresi (Bandura, 1994).

    Lewicki (dalam Carlos, 2006) menjelaskan self efficacy sebagai

    keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk menggerakkan

  • 24

    motivasi, sumber-sumber kognitif dan tindakan yang dibutuhkan untuk

    mengendalikan peristiwa dalam kehidupan mereka. Santrock (2006)

    mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan

    dirinya untuk menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif.

    Robbins (2007) menyebutkan bahwa self-efficacy merujuk pada keyakinan individu

    bahwa dirinya mampu menjalankan suatu tugas. Semakin tinggi Self-efficacy maka

    semakin yakin pada kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau mengerjakan

    sesuatu. Jadi dalam situasi sulit, orang dengan Self-efficacy rendah lebih mungkin

    mengurangi usaha atau melepaskannya sama sekali, sementara orang dengan

    self-efficacy tinggi semakin giat mencoba untuk mengatasi tantangan tersebut.

    Berdasarkan dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Self-efficacy

    merupakan keyakinan atas kemampuan diri sendiri untuk menjalankan suatu tugas,

    serta kemantapan diri dalam menentukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan

    dalam menyelesaikan tugas tertentu.

    2. Hal-hal yang Mempengaruhi Self-Efficacy

    Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2009), ada 4 hal yang

    mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy di dalam diri seseorang, yaitu:

    a. Mastery experiences: merupakan sumber yang paling mempengaruhi

    self-efficacy. Secara umum, keberhasilan ditentukan dari seberapa keras

    orang akan mencoba dan berapa lama mereka akan bertahan pada perilaku

  • 25

    tersebut. Pertama, keberhasilan dapat diraih berdasarkan dari proporsi

    self-efficacy dalam menghadapi kesulitan tugas. Kedua, tugas yang dapat

    diselesaikan oleh diri sendiri akan lebih memuaskan jika dibandingkan

    dengan mendapat bantuan dari orang lain. Ketiga, ketika kita gagal maka

    akan mengurangi self-efficacy dan kita dapat mengetahui seberapa besar

    usaha yang telah dilakukan. Keempat, ketika gagal dalam kondisi

    rangsangan emosional yang tinggi atau tekanan yang tidak melemahkan

    diri sebagai kegagalan dalam kondisi maksimal. Kelima, kegagalan

    sebelum membangun rasa penguasaan lebih merugikan perasaan

    keberhasilan pribadi daripada mendapatkan kegagalan kemudian.

    Keenam, keterkaitan tersebut menunjukan bahwa kegagalan memiliki

    sedikit efek terhadap efficacy, terutama untuk orang yang memiliki

    harapan yang tinggi untuk mencapai kesuksesan.

    b. Social modeling: sumber efficacy selanjutnya adalah social modeling yaitu

    dengan cara melihat orang lain melakukan suatu perilaku tertentu yang

    kurang lebih sama (vicarious experience). Akan tetapi efek dari social

    modeling tidak sebesar kinerja personal untuk mendapatkan tingkatan

    efficacy.

    c. Social persuasion: efek dari social persuasion masih terbatas. Akan tetapi

    jika dipengaruhi oleh kondisi, persuasi dari pihak lain dapat meningkatkan

    3. Sumber Self-efficacy

  • 26

    Bandura (dalam Yayan, 2013), Self-efficacy memiliki empat hal yang

    menjadi sumber informasi dalam mekanisme pembentukan Self-efficacy yakni

    mastery experiences atau performance accomplishment, Vicorious Experience

    atau modeling, sosial persuasion and psychological arosal.

    a. Performance Accomplishment (Pencapaian Prestasi)

    Keberhasilan akan membangun kepercayaan diri seseorang dan sebaliknya

    kegagalan akan merusak rasa kepercayaan diri seseorang, terlebih bila rasa

    kegagalan terjadi sebelum rasa keberhasilan itu tertanam kokoh pada dirinya.

    Orang yang mengalami keberhasilan akan mudah mengharapkan hasil yang

    cepat dan mudah berkecil hati bila mengalami kegagalan. Sementara itu untuk

    mencapai keberhasilan seseorang membutuhkan berbagai pengalaman dalam

    mengatasi hambatan. Beberapa kesulitan dan kegagalan akan bermanfaat bagi

    seseorang untuk mencapai keberhasilan yang biasanya memerlukan usaha

    berkelanjutan

    b. Vicorious Experience atau modeling (Pengalaman Orang lain atau meniru)

    Self-efficacy dapat diperkuat melalui pengalaman orang lain atau biasa disebut

    model sosial. Melihat orang lain yang mirip dengan diri seseorang dan sukses

    melakukan suatu kegiatan dengan upaya yang terus menerus akan menimbulkan

    keyakinan bagi pengamat. Hal ini akan menanamkan keyakinan bahwa mereka

    juga mempunyai kemampuan yang sama untuk melakukan kegiatan tersebut.

    Begitupun sebaliknya ketika seseorang mengamati orang lain mengalami

    kegagalan, meskipun dengan upaya yang tinggi, hal ini akan menurunkan

    keyakinan terhadap keberhasilan mereka sendiri dan melemahkan usaha mereka.

  • 27

    Dampak dari model self-efficacy sangat dipengaruhi oleh persamaan persepsi

    terhadap model yang diamati. Semakin besar kesamaan terhadap pemodelan

    dianggap semakin persuasif keyakinan terhadap keberhasilan atau kegagalan.

    c. Verbal Persuasion (PersuasiVerbal)

    Persuasi verbal adalah cara lain untuk memperkuat keyakinan seseorang

    terhadap Self-efficacy. Verbal persuasi termasuk kalimat verbal yang

    memotivasi seseorang untuk melakukan suatu perilaku (Peterson, 1994).

    Seseorang yang mendapatkan persuasi verbal berupa sugesti dari luar bahwa

    dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan, maka mereka akan lebih

    mampu bertahan ketika berada dalam kesulitan. Sebaliknya akan sulit

    menanamkan self-efficacy pada seseorang ketika persuasi verbal tidak

    mendukung dengan baik. Orang-orang yang memiliki keyakinan bahwa dirinya

    kurang mampu melakukan sesuatu maka akan cenderung menghindari potensi

    melakukan aktifitas yang ada dan akan lebih cepat menyerah dalam menghadapi

    tantang.

    d. Phisiological feedback and Emotional Arousal (Umpan balik fisiologi dan

    kondisi emosional)

    Seseorang sering menunjukkan gejala somatik dan respon emosional dalam

    menginterpretasikan sebuah ketidakmampuan. Gejala somatik dan kondisi

    emosional berupa kecemasan, ketegangan, aerosal, mood yang dapat

    mempengaruhi keyakinan self-efficacy seseorang. Mereka akan terlihat stres dan

    tegang sebagai tanda kerentanan terhadap ketidakmampuan melakukan suatu

    tindakan. Dalam sebuah kegiatan yang melibatkan kekuatan stamina orang

  • 28

    akan mengalami kelelahan, sakit dan nyeri sebagai tanda-tanda kelemahan fisik.

    Mood juga akan mempengaruhi keberhasilan seseorang. Mood yang positif

    akan meningkatkan keberhasilan seseorang begitupun sebaliknya keputuasaan

    akan menyebabkan kegagalan. Orang yang mempunyai keyakinan

    keberhasilan yang tinggi akan mempunyai kemauan yang efektif sebagai

    fasilitator dalam melakukan kegiatan, dan begitupun sebaliknya seseorang

    yang penuh dengan keraguan akan menganggap kemauan yang mereka miliki

    sebagai penghambat dalam melakukan kegiatan.

    4. Dimensi Self-Efficacy

    Menurut Bandura (dalam Muharrini, 2011), yang termasuk ke dalam

    dimensi self-efficacy adalah:

    a. Level / Magnitude

    Yang dimaksud dengan level adalah suatu tingkatan seseorang

    dalam meyakini usaha atau tindakan yang dapat individu lakukan.

    Individu yakin memiliki kemampuan untuk memahami tugas yang

    sulit, yakin mampu mengatasi hambatan saat menghadapi tugas yang sulit,

    dan yakin mampu mencapai prestasi yang tinggi.

    b. Strength

    Yaitu keyakinan akan kemampuan diri untuk bertahan dan berusaha

    mencari penyelesaian dalam mengerjakan sesuatu.

  • 29

    Individu yakin bahwa pengalaman buruk tidak menghalangi

    pencapaian suatu keberhasilan, yakin mampu mengerjakan tugas dalam

    berbagai situasi dan kondisi, dan yakin mampu menyelesaikan tugas.

    c. Generality

    Bagaimana seseorang dapat menggunakan self-efficacy dalam

    berbagai situasi yang berbeda.

    Individu yakin memiliki kemampuan dalam mengerjakan berbagai

    macam tugas.

    5. Dampak Self Efficacy Pada Perilaku

    Keyakinan self-efficacy berdampak pada perilaku dalam beberapa hal

    yang penting menurut Pajares (2002), yaitu:

    a. Self-efficacy mempengaruhi pilihan-pilihan yang dibuat dan tindakan yang

    dilakukan individu dalam melaksanakan tugas-tugas dimana individu

    tersebut merasa berkompeten dan yakin. Keyakinan diri yang

    mempengaruhi pilihan-pilihan tersebut akan menentukan pengalaman dan

    mengedepankan kesempatan bagi individu untuk mengendalikan

    kehidupan.

    b. Self-efficacy menentukan seberapa besar usaha yang dilakukan oleh

    individu, seberapa lama individu akan bertahan ketika menghadapi

    rintangan dan seberapa tabah dalam mengahadapi situasi yang tidak

    menguntungkan. Self-efficacy mempengaruhi tingkat stres dan

    kegelisahan yang dialami individu ketika sedang melaksanakan tugas dan

  • 30

    mempengaruhi tingkat pencapaian prestasi individu.

    C. Pensiun

    1. Pengertian Pensiun

    Pensiun adalah sebuah konsep sosial yang memiliki beragam

    pengertian menurut Newman (2006). Sebenarnya pensiun sulit untuk

    didefinisikan menurut Cavanaugh(2006). Pensiun tidak hanya sekedar berhenti

    bekerja karena usia. Sebagai sebuah istilah, pensiun kurang lebih bermakna

    purnabakti, tugas selesai, atau berhenti (Sutarto, 2008).Menurut Floyd, dkk

    dalam Newman (2006) pensiun juga mengacu kepada transisi psikologis, suatu

    perubahan yang terprediksi dan normatif yang melibatkan persiapan,

    pengertian kembali tentang peran dan peran perilaku, serta penyesuaian

    psikologis dari seorang pekerja yang dibayar menjadi melakukan aktivitas

    yang lain.

  • 31

    Kondisi ini mengakibatkan transisi peran dari seorang pekerja menjadi

    seorang pensiunan yang tidak bekerja lagi. Masa-masa ini cukup kritis dalam

    perjalanan hidup seseorang, dan memengaruhi kesejahteraan hidupnya kelak.

    Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang diterbitkan oleh Institute of

    Economic Affairs (IEA) pada tahun 2013 bahwa masa pensiun dinilai

    meningkatkan risiko depresi klinis sebesar 40% dan 60% kemungkinan untuk

    menderita secara fisik. Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia

    tahun 2010, prevalensi masalah mental emosional yakni depresi dan ansietas

    adalah sebanyak 11,60% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 24 juta

    jiwa. Dan hasil Survey World Health Organization Department of Mental

    Health and Substance Abuse bahwa depresi merupakan kontributor signifikan

    sebagai beban gangguan global yang mempengaruhi banyak orang disemua

    kalangan seluruh dunia. Hingga hari ini, tercatat depresi telah mempengaruhi

    350 juta orang dan akan semakin meningkat pada tahun 2020.

    Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu

    faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan, dan

    memperkuat harga diri). Oleh karena itu, sering kali terjadi orang yang pensiun

    bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya ada yang

    justru mengalami problem serius (kejiwaan ataupun fisik). Individu yang

    melihat masa pensiun hanya dari segi finansial kurang bisa beradaptasi dengan

    baik dibandingkan dengan mereka yang dapat melihat masa pensiun sebagai

    masa dimana manusia beristirahat menikmati hasil jerih payahnya selama ini

    dimasa tuanya.

  • 32

    Pensiun mengakibatkan hilangnya prestise, tidak mempunyai peran

    dalam situasi yang cocok, atau paling tidak di defenisikan secara jelas sebagai

    hilangnya posisi sosial dan peranan yang diharapkan agar terkenal. Sekali

    seseorang tidak dapat menampilkan peranan jabatannya, pengakuannya

    terdahulu atau posisi sosialnya tidak penting lagi dengan demikian berarti

    identitas dirinya sudah runtuh. Efek dari goncangan karena pensiun secara

    mendadak paling serius setelah pensiun, yaitu pada waktu individu

    menyesuaikan diri terhadap perubahan keteraturan dan harus memutuskan

    hubungan sosial yang selama ini karyawan yakini menurut Hurlock (2002).

    Dengan kata lain masa pensiun mempengaruhi aktivitas seseorang, dari

    situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan. Sedangkan berdasarkan pandangan

    psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi

    ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidupnya. Lagi karena

    usianya sudah lanjut dan harus diberhentikan menurut Agustina (2008). Masa

    pensiun ini dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap untuk

    menghadapinya. Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang

    telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantau

    sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah

    menghilangnya identitas diri seseorang yang sudah melekat begitu lama.

    Pensiun sering kali dianggap kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga

    menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu

    kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak.

  • 33

    2. Jenis-jenis Pensiun

    Jenis-jenis Pensiun Masa pensiun dapat dibagi atas 2 bagian besar,

    yaitu yang secara sukarela (voluntary) dan yang berdasarkan pada peraturan

    (compulsory/mandatory retirement). Ketika Indonesia memasuki masa krisis

    moneter, banyak perusahaan goyah sehingga harus menciutkan sejumlah

    pegawai dengan diberikan sejumlah 38 imbalan. Kepada karyawan diberikan

    kebebasan untuk memilih apakah ia akan tetap bekerja atau mengundurkan

    diri. Kondisi seperti ini termasuk pensiun yang dilakukan secara sukarela

    Kondisi lain yang termasuk dalam pensiun secara sukarela adalah kondisi

    dimana seeseorang ingin melakukan sesuatu yang lebih berarti dalam

    kehidupannya dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya dalam Hurlock

    (1980). Pensiun yang dijalani berdasarkan aturan dari perusahaan adalah

    pensiun yang kerap kali dilakukan oleh satu perusahaan berdasarkan aturan

    yang berlaku pada perusahaan tersebut. Dalam hal ini kehendak individu

    diabaikan, apakah dia masih sanggup atau masih ingin bekerja kembali.

    3. Perubahan-perubahan Akibat Pensiun

    Perubahan-perubahan Akibat Pensiun. Menurut Turner dan Helms (dalam

    Eliana, 2003) ada beberapa hal yang mengalami perubahan dan menuntut

    penyesuaian diri yang baik ketika menghadapi masa pensiun:

    a. Masalah Keuangan

    Pendapat keluarga akan menurun drastis, hal ini akan

    mempengaruhi kegiatan rumah tangga. Masa ini akan lebih sulit jika

  • 34

    masih ada anak-anak yang harus dibiayai. Hal ini menimbulkan stres

    tersendiri bagi seorang suami karena merasa bahwa perannya sebagai

    kepala keluarga tertantang (Walsh, dalam Carter).

    b. Berkurangnya harga diri (Self Esteem).

    Hurlock (dalam Safitri B., 2013) mengemukakan bahwa harga

    diri seorang pria biasanya dipengaruhi oleh pensiunnya mereka dari

    pekerjaan. Untuk mempertahankan harga dirinya, harus ada aktivitas

    pengganti untuk meraih kembali keberadaan dirinya. Dalam hal ini

    berkurangnya harga diri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti feeling

    of belonging (perasaan memiliki), feeling of competence (perasaan

    mampu), dan feelling of worthwhile (perasaan berharga). Ketiga hal yang

    disebutkan di atas sangat mempengaruhi harga diri seseorang dalam

    lingkungan pekerjaan.

    c. Berkurangnya kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan.

    Kontak dengan orang lain membuat pekerjaan semakin menarik.

    Bahkan pekerjaan itu sendiri bisa menjadi reward sosial bagi beberapa

    pekerja misalnya seorang sales, resepsionis, customer services yang

    meraih kepuasan ketika berbicara dengan pelanggan. Selain dari kontak

    sosial, orang juga membutuhkan dukungan dari orang lain berupa

    perasaan ingin dinilai, dihargai, dan merasa penting. Sumber dukungan

    ini dapat diperoleh dari teman sekerja, atasan, bawahan dsb. Tentunya

    ketika memasuki masa pensiun, waktu untuk bertemu dengan rekan

    seprofesi menjadi berkurang.

  • 35

    d. Hilangnya makna suatu tugas.

    Pekerjaan yang dikerjakan seseorang mungkin sangat berarti bagi

    dirinya. Dan hal ini tidak bisa dikerjakan saat seeorang itu mulai

    memasuki masa pensiun.

    e. Hilangnya kelompok referensi yang bisa mempengaruhi self image.

    Biasanya seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok bisnis

    tertentu ketika dia masih aktif bekerja. Tetapi ketika dia menjadi pensiun,

    secara langsung keanggotaan pada suatu kelompok akan hilang. Hal ini

    akan mempengaruhi seseorang untuk kembali menilai dirinya lagi.

    f. Hilangnya rutinitas

    Pada waktu bekerja, seseorang bekerja hampir 8 jam kerja. Tidak

    semua orang menikmati jam kerja yang panjang seperti ini, tapi tanpa

    disadari kegiatan panjang selama ini memberikan sense of purpose,

    memberikan rasa aman, dan pengertian bahwa kita ternyata berguna.

    menurut Longhurst dalam Michael (2001) Ketika menghadapi masa

    pensiun, waktu ini hilang, orang mulai merasakan diri tidak produktif

    lagi.

    Menurut Longhurst & Michael (2001) individu yang mengalami

    kesulitan dalam penyesuaian diri, perubahan yang terjadi pada fase ini akan

    menimbulkan gangguan psikologis dan juga gangguan fisiologis. Kondisi

    gangguan fisiologis bisa menyebabkan kematian yang lebih cepat atau

    premature death. Istilah lain dikemukakan para ahli adalah retirement shock

  • 36

    atau retirement syndrome. Sedangkan gangguan psikologis yang diakibatkan

    oleh masa pensiun biasanya stres, frustasi dan depresi.

    D. Hubungan Self Efficacy dengan Stres menghadapi masa pensiun

    Pada kehidupan sehari-hari setiap individu selalu dihadapkan pada

    tugas, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing, baik berupa tanggung

    jawab pribadi maupun sosial. Dalam menjalankan kewajiban dan tanggung

    jawab tersebut sering individu dihadapkan pada situasi dan kondisi yang

    penuh dengan konflik dan tekanan. Situasi dan kondisi yang penuh konflik

    dan tekanan, baik yang didapat di lingkungan rumah ataupun di kantor akan

    membuat individu rentan dengan keadaan stres. Keadaan stres pada karyawan

    Masa Persiapan Pensiun (MPP) tentunya akan mempengaruhi tindakannya

    ketika berlangsung proses pekerjaan di kantor, yang akan sangat merugikan

    karywan Masa Persiapan Pensiun (MPP) itu sendiri. Untuk itu agar dapat

    bertahan dalam kondisi sehat, seimbang, dan tidak terganggu dengan tekanan

    dan konflik maka seorang karyawan Masa Persiapan Pensiun (MPP) harus

    mempunyai suatu daya menghilangkan stres yang tinggi. Individu yang

    mempunyai daya meminimalisir stres yang tinggi akan terhindar dari kondisi

    tegang yang dapat mempengaruhi emosi, proses berfikir, dan kondisi fisik

    walaupun berada dalam kondisi dan situai yang penuh dengan stressor. Pada

    dasarnya toleransi terhadap stres pada setiap orang berbeda. Hal ini karena

    persepsi setiap individu terhadap peristiwa atau kejadian di sekitarnya

    berbeda, sehingga akan menimbulkan reaksi berbeda pula. Maramis (1980)

  • 37

    menyebutkan sebagai perbedaan proses kognitif, yang mana hal ini

    menyebabkansuatu peristiwa yang dianggap stressor bagi individu belum

    tentu merupakan stressor bagi yang lain.

    Self efficacy adalah salah satu proses mental yang mana sangat

    dimungkinkan terkait dengan toleransi terhadap stres. Terbentuknya self

    efficacy tersebut banyak dipengaruhi oleh proses kognitif pada diri individu

    dalam menghadapi kesulitan hidup atau kondisi ketertekanan yang dialami.

    Bandura (1997) menjelaskan self efficacy adalah keyakinan tentang sejauh

    mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan

    suatu tugas atau tindakan tertentu. Self-efficacy mempunyai peranan dalam

    pengendalian reaksi terhadap tekanan, dimana keyakinan akan kemampuan

    yang dimilikinya akan menentukan apakah individu akan mencoba mengatasi

    situasi yang sulit atau tidak. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi

    akan melakukan usaha yang lebih keras untuk mengatasi semua kesulitan,

    individu akan berusaha menggerakkan seluruh kemampuan sumber daya

    kognitif, motivasi, dan menentukan atau merencanakan tindakan apa yang

    dibutuhkan untuk mencapai situasi yang diinginkan.

    Self efficacy pada karyawan membantu mereka dalam mengatasi

    berbagai keadaan sulit akibat dari berbagai tuntutan dari dalam diri dan

    lingkungannya, dengan self efficacy memungkinkan karyawan MPP mampu

    beradaptasi dengan kondisi sulit yang dialaminya sehinga tidak mudah

    tertekan dan semakin membentuk stres.

  • 38

    E. Hipotesis

    Berdasarkan landasan teori dan latar belakang yang dikemukakan

    diatas dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut: ada hubungan negatif

    antara self-efficacy dengan stres menghadapi masa pensiun. Artinya semakin

    tinggi self-efficay yang dimiliki subyek maka akan semakin rendah stres yang

    dialami saat menghadapi masa pensiun. Sebaliknya semakin rendah

    self-efficacy yang dimilki subyek maka akan semakin tinggi tingkat stres yang

    dialami saat menghadapi masa pensiun.