bab ii tinjauan pustaka a. penelitian...

27
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu 1. Penelitian Tamsuri (2010) tentang “Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjunganom Kabupaten Nganjuk” menunjukkan dari 44 responden mempunyai pengetahuan cukup sebanyak 6 responden (13,64%), pengetahuan kurang sebanyak 6 responden (13,64%), pengetahuan kurang sebanyak 16 responden (36,36%), sedangkan pengetahuan tidak baik sebanyak 22 responden (50%) dari hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan penderita penyakit kusta termasuk dalam kategori tidak baik karena sebagian besar responden relatif berpendidikan SMP. Selain tingkat pengetahuan tingkat perilaku juga mempengaruhi adanya penyakit kusta, 4 responden (9,09%) berperilaku baik, 33 responden (75,00%) berperilaku cukup, 7 responden (15,91%) berperilaku kurang. Hasil uji statistik didapatkan adanya hubungan yang cukup kuat antara pengetahuan dan perilaku pasien dalam upaya pencegahan penularan penyakit kusta adalah signifikan (p=0,000) dengan koefisien korelasi 0,616. 2. Penelitian Santoso (2010) tentang “Hubungan Faktor Kepadatan Hunian, Sosial, Ekonomi, dan Perilaku Kesehatan dengan Penderita Penyakit Kusta di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.” menunjukkan 39 responden (83%) termasuk kategori padat, 36 responden (76,6%) mempunyai perilaku yang negatif, 39 responden (83%) termasuk kategori keluarga miskin. Sebagian besar kejadian penyakit kusta adalah kusta pada type MB sebanyak 45 responden (95,7%). Pada hasil uji statistic diperoleh ada hubungan antara faktor

Upload: others

Post on 31-Dec-2019

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

1. Penelitian Tamsuri (2010) tentang “Hubungan Pengetahuan dan

Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Kusta di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjunganom Kabupaten Nganjuk” menunjukkan dari 44

responden mempunyai pengetahuan cukup sebanyak 6 responden

(13,64%), pengetahuan kurang sebanyak 6 responden (13,64%),

pengetahuan kurang sebanyak 16 responden (36,36%), sedangkan

pengetahuan tidak baik sebanyak 22 responden (50%) dari hasil

tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan penderita penyakit

kusta termasuk dalam kategori tidak baik karena sebagian besar

responden relatif berpendidikan SMP. Selain tingkat pengetahuan

tingkat perilaku juga mempengaruhi adanya penyakit kusta, 4

responden (9,09%) berperilaku baik, 33 responden (75,00%)

berperilaku cukup, 7 responden (15,91%) berperilaku kurang. Hasil uji

statistik didapatkan adanya hubungan yang cukup kuat antara

pengetahuan dan perilaku pasien dalam upaya pencegahan penularan

penyakit kusta adalah signifikan (p=0,000) dengan koefisien korelasi

0,616.

2. Penelitian Santoso (2010) tentang “Hubungan Faktor Kepadatan

Hunian, Sosial, Ekonomi, dan Perilaku Kesehatan dengan Penderita

Penyakit Kusta di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.”

menunjukkan 39 responden (83%) termasuk kategori padat, 36

responden (76,6%) mempunyai perilaku yang negatif, 39 responden

(83%) termasuk kategori keluarga miskin. Sebagian besar kejadian

penyakit kusta adalah kusta pada type MB sebanyak 45 responden

(95,7%). Pada hasil uji statistic diperoleh ada hubungan antara faktor

8

kepadatan hunian perilaku kesehatan dan sosial ekonomi dengan

penderita kusta.

3. Penelitian Pangaribuan (2012) tentang “Pengaruh Faktor Predisposisi,

Pendukung, Dan Pendorong Terhadap Pencegaham Kecacatan Pasien

Penderita Penyakit Kusta Di RS Kusta Hutasalem Kabupaten Tobasa

Tahun 2012.” Menunjukkan adanya pengaruh antara pengetahuan

(p<0,001) dan dukungan keluarga (p=0,002) terhadap pencegahan

kecacatan penderita penyakit kusta, dan tidak adanya pengaruh tingkat

Pendidikan, pekerjaan, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan kebijakan

rumah sakit terhadap pencegahan penderita penyakit kusta.

4. Penelitian Solikhah (2016) tentang “Hubungan Tingkat Pengetahuan

Tentang Kusta (Leprosy) Dengan Perawatan Diri Pada Penderita Kusta

Di Wilayah Kabupaten Sukoharjo.” Menunjukkan adanya hubungan

antara tingkat pengetahuan dengan perawatan dini pada penderita kusta

dengan hasil tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta termasuk

dalam kategori kurang dalam perawatan diri dan adanya hubungan

antara tingkat pengetahuan dengan perawatan dini pada penderita

kusta.

9

Tabel II.1 Penelitian-Penelitian yang Relevan

No. Nama

Peneliti Jenis Penelitian

Lokasi

Penelitian Variabel Penelitian

Jenis Penelitian

dan Rancangan

Penelitian

Hasil Penelitian

1. Anas

Tamsuri

Hubungan

Pengetahuan dan

Perilaku Pencegahan

Penularan Penyakit

Kusta Di Wilayah

Kerja Puskesmas

Tanjunganom

Kaupaten Nganjuk

Wilayah Kerja

Puskesmas

Tanjunganom

Kabupaten

Nganjuk

Variabel

independent :

Pengetahuan

Variabel dependent :

Perilaku pencegahan

penularan penyakit

kusta

Metode penelitian

yang digunakan

dalam penelitian ini

adalah metode

penelitian kuantitatif

dengan desain cross

sectional

Hasil uji statistik didapatkan adanya

hubungan yang cukup kuat antara

pengetahuan dan perilaku pasien dalam

upaya pencegahan penularan penyakit

kusta adalah signifikan (p=0,000)

dengan koefisien korelasi 0,616.

2. Budi

Santoso

Hubungan Faktor

Kepadatan Hunian,

Sosial, Ekonomi,

dan Perilaku

Di Kecamatan

Tirto

Kabupaten

Pekalongan

Variabel

independent :

Faktor kepadatan

hunian, sosial,

Rancangan

penelitian ini

menggunakan desain

studi diskriptif

Penelitian menunjukkan 39 responden

(83%) termasuk kategori padat, 36

responden (76,6%) mempunyai perilaku

yang negatif, 39 responden (83%)

10

Kesehatan dengan

Penderita Penyakit

Kusta di Kecamatan

Tirto Kabupaten

Pekalongan

ekonomi

Variabel dependent :

Perilaku kesehatan

dengan penderita

penyakit kusta

korelatif dengan

menggunakan

pendekatan cross

sectional atau

potong lintang

termasuk kategori keluarga miskin.

Sebagian besar kejadian penyakit kusta

adalah kusta pada type MB sebanyak 45

responden (95,7%). Pada hasil uji

statistic diperoleh ada hubungan antara

faktor kepadatan hunian perilaku

kesehatan dan sosial ekonomi dengan

penderita kusta.

3. Happy R

Pangaribuan

Pengaruh Faktor

Predisposisi,

Pendukung, Dan

Pendorong Terhadap

Pencegaham

Kecacatan Pasien

Penderita Penyakit

Kusta Di RS Kusta

Hutasalem

Di RS Kusta

Hutasalem

Kabupaten

Tobasa Tahun

2012

Variabel

independent :

Faktor predisposisi,

pendukung, dan

pendorong

Variabel dependent :

Pencegahan

kecacatan pasien

Jenis penelitian

adalah survey

dengan tipe

explanatory, artinya

penelitian yang

menjelaskan

pengaruh antara

beberapa variable

penelitian melalui

Menunjukkan adanya pengaruh antara

pengetahuan (p<0,001) dan dukungan

keluarga (p=0,002) terhadap

pencegahan kecacatan penderita

penyakit kusta, dan tidak adanya

pengaruh tingkat Pendidikan, pekerjaan,

ketersediaan fasilitas kesehatan, dan

kebijakan rumah sakit terhadap

11

Kabupaten Tobasa

Tahun 2012.

penderita penyakit

kusta

pengujian hipotesis pencegahan penderita penyakit kusta.

4. Amaliatus

Solikhah

Hubungan Tingkat

Pengetahuan

Tentang Kusta

(Leprosy) Dengan

Perawatan Diri Pada

Penderita Kusta Di

Wilayah Kabupaten

Sukoharjo

Di Wilayah

Kabupaten

Sukoharjo

Variabel

independent :

Tingkat pengetahuan

Variabel dependent :

Perawatan diri pada

penderita kusta

Penelitian ini

termasuk dalam

jenis penelitian

kuantitatif dengan

pendekatan cross

sectional.

Menunjukkan adanya hubungan antara

tingkat pengetahuan dengan perawatan

dini pada penderita kusta dengan hasil

tingkat pengetahuan tentang penyakit

kusta termasuk dalam kategori kurang

dalam perawatan diri dan adanya

hubungan antara tingkat pengetahuan

dengan perawatan dini pada penderita

kusta

12

5. Alifatun

Khunafa’

Faktor Perilaku

Penderita Yang

Berpengaruh

Terhadap Kejadian

Penyakit Kusta Di

Desa Brengkok

Kecamatan

Brondong

Kabupaten

Lamongan

Di Desa

Brengkok

Kecamatan

Brondong

Kabupaten

Lamongan

Variabel

independent :

Faktor perilaku

penderita (Faktor

predisposisi, faktor

pemungkin, faktor

penguat atau

pelemah)

Penelitian ini

termasuk dalam

jenis penelitian

analitik dengan

pendekatan case

control.

Menunjukkan bahwa faktor predisposisi

(predisposing factors), faktor pemungkin

(enabling factors), faktor penguat

(reinforcing factors) berpengaruh

terhadap kejadian penyakit kusta.

13

B. Tinjauan Teori

1. Penyakit Kusta

a. Definisi Penyakit Kusta

Penyakit kusta atau lepra ditemukan oleh Morbus Hansen.

Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Bila tidak segera

ditangani penyakit kusta dapat menyebabkan kerusakan pada kulit

dan saraf-saraf anggota gerak (Kemenkes, 2015).

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang

dapat menimbulkan masalah medis, bahkan masalah sosial,

ekonomi, dan budaya. Nama lain penyakit kusta adalah ‘The Great

Imitator’ (pemalsu yang ulung) karena penyakit kusta menyerupai

penyakit kulit lainnya, seperti penyakit jamur (Firdaus, 2013).

b. Klasifikasi Penyakit Kusta

1) Kusta Kering (Pausi Basiler [PB])

Kusta kering (Pausi basiler) yang berarti sedikit bakteri.

Tidak banyak bakteri yang masuk ke dalam tubuh, dengan

BTA negatif dengan tahan tubuh yang masih mampu sedikit

melawan bakteri (Lubis, 2016).

Kelainan kulit pada kusta kering :

a) Mempunyai 1-5 bercak

b) Ukuran bercak kecil dan besar, kering dan kasar

c) Bercak tidak berkeringat, terdapat bulu yang jatuh pada

bercak

d) BTA negatif

2) Kusta Basah (Multi Basiler [MB])

Kusta (Multi basiler) yang berarti banyak bakteri yang

masuk ke dalam tubuh, dengan BTA positif (Lubis, 2016)

Kelainan kulit pada kusta basah :

a) Mempunyai bercak dengan jumlah yang banyak

b) Bercak berkuran kecil, halus berkilat

c) Bercak dalam keadaan berkeringat, bulu tidak rontok

14

d) BTA positif

c. Klasifikasi cacat kusta

1) Cacat primer

Cacat primer disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,

terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae,

seperti anestesi, claw hand dan kulit kering.

2) Cacat sekunder

Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer terutama akibat

adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.

Penanganan reaksi dini dan tepat merupakan salah satu upaya

pencegahan cacat.

d. Etiologi Penyakit Kusta

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium Leprae

berbentuk batang dengan panjang 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron

yang bersifat tahan asam (BTA) berkelompok dan ada yang satu-

satu hidup dalam sel.

Proses pembelahan diri bakteri kusta memerlukan waktu 12-21

hari, masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat

ditularkan melalui kontak kulit (Firdaus, 2013).

e. Penularan Penyakit Kusta

Proses penularan penyakit kusta yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae yang hidup dilendir hidung selama 7 hari

dan kontak kulit. Dalam rumah tangga penularan dapat terjadi

melalui kontak, hubungan dekat dalam waktu yang lama. Bakteri

dapat masuk melalui melalui kulit yang terluka. Penularan pada

anak dibawah umur 1 tahun yakni melalui plasenta bila tidak

ditangani dapat menyebabkan kerusakan kulit dan saraf-saraf

(Firdaus, 2013).

15

Proses penularan penyakit kusta ada 3 diantaranya :

1) Kontak langsung manusia ke manusia lain

Proses penularan penyakit kusta di sebabkan oleh

Mycobacterium leprae melalui kontak secara langsung (dari

kulit ke kulit), bakteri kusta biasanya berada dikulit dan

mukosa hidung atau mulut. Bukti molekuler menunjukkan

adanya kasus penyakit di rumah tangga seringkali disebabkan

oleh bakteri kusta yang sama dan berbagai jenis strain ada pada

dirinya. Resiko adanya penularan dalam proporsi besar dari

kasus yang baru didiagnosis dapat dikaitkan dengan indeks

rumah yang diketahui. Faktor ukuran rumah tangga,

Pendidikan sanitasi dan status gizi. Selain itu proses penularan

melalui lendir dihidung, kedekatan kontak, jumlah anggota

keluarga, dan lamanya kontak secara umum. Pada penyakit

kusta multibasiler lebih tinggi stratifikasi asam asetat daripada

pausibasiler. Resiko tertularnya penyakit kusta yang tinggi

terletak pada yang tinggal lebih dekat dengan penderita

(Bratschi, et al, 2015).

Proses penularan kontak manusia langsung dengan

manusia lain diantaranya adanya penderita di dalam rumah,

jangka waktu penularan penyakit kusta di dalam rumah,

kurangnya menjaga kebersihan, status dalam keluarga (suami,

istri, anak).

2) Inokulasi langsung

Inokulasi merupakan suatu kegiatan pemindahan atau

pencampuran mikroorganisme secara langsung baik berupa

bakteri maupun jamur ke tempat baru. Pada hal ini

menunjukkan penularan dalam bentuk misalnya dalam kasus

lecet kulit yang menyebabkan luka kemudian terinfeksi pada

tanah yang mengandung mycobacterium leprae maupun secara

16

mekanis. Pada inokulasi langsung kebanyakan karena

kedekatan jarak dari cedera manifestasi penyakit kusta.

3) Reservoir lingkungan dan hewan

Reservoir merupakan suatu mekanisme yang kompleks

dalam mempertahankan spesiesnya, dan membantu dalam

bertahan hidup di dalam lingkungan.

Reservoir lingkungan berperan dalam penularan penyakit

kusta yakni keberadaan bakteri yang berada di tanah dan di air

dengan waktu penggandaan yang lambat 14 hari. Waktu

penggandaan yang lambat tersebut terjadi karena asupan nutrisi

yang terbatas melalui pori-pori di dinding lilin besar. Lipid M.

leprae tersebut unik yang dapat membentuk selaput. Salah satu

lipid M. leprae adalah asam mycolic yang ukurannya sangat

besar dengan rantai berkisar antara 60 sampai 80 karbon

panjang. Ikatan kovalen menghubungkan lipid satu sama lain

yang dapat membentuk lapisan yang sangat tebal yang padat

pada suhu rumah.

Reservoir pada hewan M. leprae biasanya terdapat pada

telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus

(athymic nude mouse) yang pertumbuhan optimalnya secara in

vivo dengan suhu 27˚-30˚C dan armadillo (Marri PR, et al, 2006).

f. Gambaran Klinis

Bakteri pada kusta dapat mempengaruhi kulit dan saraf. Hal

ini dapat menyebabkan hilangnya sensasi, kelemahan otot, bahkan

kelumpuhan. Terjadinya reaksi-periode peradangan yang dapat

mempengaruhi saraf yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh

yang menyerang bakteri merupakan salah satu karakteristik

penyakit kusta. Peradangan yang dialami biasanya bengkak,

kemerahan, panas, nyeri. Reaksi kusta juga dapat menyebabkan

radang. Peradangan pada kulit bisa jadi tidak nyaman, tapi jarang

sangat serius. Peradangan di saraf, disisi lain dapat menyebabkan

17

kerusakan serius, dengan hilangnya fungsi akibat pembengkakan

dan tekanan di saraf. (Firdaus, 2013)

g. Epidemiologi Penyakit Kusta

1) Faktor Penjamu Penyakit Kusta (Host)

Faktor penjamu merupakan faktor yang terdapat pada diri

manusia yang dapat mempengaruhi dan timbulnya suatu

perjalanan penyakit.

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah

kontak dengan penderita kusta karena adanya faktor kekebalan

pada tubuh. M. leprae termasuk bakteri obligat intraseluler.

Faktor fisiologis seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta

faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan

klinis penyakit kusta.

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap penyakit

kusta, hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%) yang

tertular tersebut. Sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya

30% yang menjadi sakit (Kemenkes, 2017).

Pejamu penyakit kusta terdiri dari tiga kelompok :

a. Pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi

merupakan kelompok terbesar yang akan menjadi resiston

terhadap bakteri kusta.

b. Pejamu yang mempunyai kekebalan rendah terhadap

penyakit kusta bila menderita penyakit kusta biasanya tipe

kusta kering (Pausibasiler).

c. Pejamu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap

penyakit kusta yang merupakan kelompok terkecil, bila

menderita kusta biasanya tipe kusta basah (Multibasiler).

18

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan penyakit pada penjamu

adalah :

a) Imunitas/ Daya tahan tubuh terhadap penyakit

Daya tahan tubuh seseorang tergantung dari gizi, aktivitas,

dan istirahat.

b) Genetik

Terdapat beberapa penyakit yang merupakan penyakit

keturunan dari orang tuanya.

c) Umur

Penyakit dapat menular seseorang berdasarkan umur-umur

tertentu.

d) Jenis Kelamin

Terdapatnya beberapa penyakit yang hanya menyerang

jenis kelamin tertentu.

e) Adat kebiasaan

Kebiasaan-kebiasaan seseorang yang dapat menimbulkan

adanya penyakit tersebut.

f) Ras

Ada beberapa ras tertentu yang diduga lebih sering

menderita beberapa penyakit tertentu.

g) Pekerjaan

Suatu pekerjaan yang dapat menimbulkan penyakit.

Penyakit kusta dapat masuk ke dalam tubuh host melalui

kontak kulit dan hidung yang berlendir. Host mempunyai

kekebalan tubuh tinggi yang menjadi resisten terhadap bakteri

kusta, host yang mempunyai kekebalan yang rendah dapat

menderita penyakit kusta kering (Pausibasiler), pada host yang

tidak mempunyai kekebalan terhadap bakteri kusta dapat

menderita penyakit kusta basah (Multibasiler). Mycobacterium

leprae menyerang tubuh inang seolah-olah itu adalah

penyerang asing. Sistem host mencoba mempertahankan

19

dirinya sendiri sebagai respon alami dengan proses mencegah

bakteri memasuki sistemnya, kemudian mencoba membunuh

dan menghilangkan bakteri. Singkatnya, host mencoba untuk

memberikan respon kekebalan terhadap parasit, dan reaksi

alami patogen adalah untuk menghindarinya.

2) Agent

Agent merupakan suatu unsur, organisme hidup atau

kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu

penyakit atau masalah kesehatan lainnya.

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae

yang berbentuk batang dengan ukuran Panjang 1-8 mikron,

lebar 0,2-0,5 mikron biasanya, berkelompok dan ada yang

tersebar. Bakteri tersebut termasuk bakteri yang tahan asam

dan alkohol dengan gram yang positif. DNA Plasmid M.

Leprae dapat menginfeksi sel syaraf manusia. Plasmid tersebut

dapat hidup terpisah dari kromosom bakteri dan tubuh bakteri

ketika menginvasi sel tubuh manusia. Waktu pembelahannya

sangat lama, yaitu 2-3 minggu. M. leprae dari secret nasal

dapat bertahan sampai 9 hari (dalam iklim tropis diluar tubuh

manusia).

3) Faktor Lingkungan (Environment)

Lingkungan merupakan tempat berlangsungnya segala

aktivitas makhluk hidup yang dapat memberikan pengaruh dan

perkembangan kehidupan manusia.

a) Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik berupa musim, cuaca, keadaan geografi,

struktur geologi yakni air, tanah, iklim, struktur bumi, dan

sebagainya.

b) Lingkungan Non Fisik

Lingkungan non fisik berupa norma, nilai yang berlaku,

adat istiadat, kepercayaan agama

20

c) Lingkungan Biologis

Lingkungan biologis berupa orang yang tinggal di

lingkungan yang padat, binatang, tumbuh-tumbuhan,

termasuk mikroorganisme seperti bakteri, kuman yang

dapat menimbulkan penyakit.

Faktor lingkungan pada penyakit kusta dapat dilihat dari faktor

lingkungan fisik yakni adanya bakteri didalam tanah maupun

air.

h. Masa Inkubasi Penyakit Kusta

Masa inkubasi penyakit kusta sangat panjang. Rata-rata masa

inkubasi berkisar 4 tahun antara 9 bulan sampai 20 tahun. Paparan

terhadap bakteri kusta ditentukan oleh PCR yang merupakan

serologi tampak dinamis seiring berjalannya waktu yang diduga

adanya kemungkinan transmisi oleh kasus subklinis.

i. Proses Pencegahan Penyakit Kusta

Proses pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan strategi

epidemiologi dengan tahapan-tahapan berikut ini :

1) Tahapan Primordial

Strategi epidemiologi penyakit pada suatu komunitas

populasi sebagai sasaran pencegahan terhadap adanya faktor

resiko penyakit. Seperti halnya dalam bentuk pendidikan

sebagai suatu cara menumbuhkan kesadaran tentang hidup

sehat. Pada penderita penyakit kusta tahapan primordial dapat

berupa memberikan pengetahuan tentang pencegahan penyakit

kusta, proses penularan, dan pengobatan mengebai penyakit

kusta secara dapat berupa sosialisasi secara individu maupun

secara kelompok (Nizar, et al, 2011).

2) Tahapan Primary

Strategi epidemiologi penyakit yang berisi bentuk

pencegahan pada suatu populasi sebagai sasarannya dengan

upaya memberikan pelayanan kesehatan massal. Seperti

21

pemeriksaan kesehatan bersama, gizi yang harus dipenuhi pada

penderita kusta (Nizar, et al, 2011).

3) Tahapan Secondary

Strategi epidemiologi penyakit pada tahap ini lebih ke

tahap pencegahan secara individu dengan maksud mendiagnosa

penyakit secara dini dan melakukan pengobatan secara dini.

Seperti memberikan antibiotic pada penderita penyakit kusta

(Nizar, et al, 2011).

4) Tahapan Tertiary

Strategi epidemiologi penyakit pada tahap ini lebih ke

tahap mengurangi, menghindari kecacatan dan kematian agar

dapat mencapai kesembuhan yang optimal. Seperti halnya

upaya menguatkan anggota keluarga dan petugas kesehatan

yang dapat menguatkan penderita penyakit kusta (Nizar, et al,

2011).

Program pencegahan dan pengendalian penularan :

1) Melakukan pencarian penderita penyakit kusta

2) Penyuluhan kesehatan yang berisi tentang informasi terhadap

penyakit kusta, meyakinkan kepada penderita bahwa penyakit

kusta dapat disembuhkan.

3) Upaya pencegahan penyakit kusta dalam bentuk upaya

pencegahan cacat fisik dan sosial dengan memberikan

pengobatan secara dini.

4) Pengobatan MDT pada pasien kusta

Pasien yang mendapatkan pengobatan MDT tidak akan

menularkan lagi

5) Vaksinasi BCG

Pemberian satu dosis BCG dapat memberikan perlindungan

sebesar 50% dengan pemberian dua dosis dapat memberikan

perlindungan terhadap kusta hingga 80%.

22

6) Kemoprofilaksis dengan pemberian rifampisin dosis tunggal

Kemoprofilaksis memberikan perlindungan selama 3 tahun

pada kontak serumah penderita kusta sekitar 60%

2. Perilaku

a. Pengertian Perilaku

Perilaku merupakan suatu bentuk respon yang diberikan

seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Perilaku

kesehatan merupakan suatu bentuk respon yang diberikan

seseorang yang berkaitan dengan masalah kesehatan seperti halnya

pola hidup sehat, pelayanan kesehatan, dan lingkungan yang

berpengaruh (Notoatmodjo, 2012).

Perilaku merupakan faktor yang penting yang dapat

berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang yang berperan

sebagai faktor counfonding oleh karena itu perilaku menjadi

prioritas untuk dikendalikan. Perubahan perilaku diantaranya

perubahan gaya hidup dalam perbaikan kualitas lingkungan,

perilaku juga merupakan salah satu sumber penyakit atau sebagai

faktor penularan penyakit (Nizar, et al, 2011).

Perilaku penderita berperan penting dalam pencegahan cacat

pada penyakit kusta, perubahan peilaku dapat dipengatuhi oleh

faktor predisposisi, pemungkin, dan penguat atau pelemah. Faktor

predisposisi mencangkup pengetahuan individu, sikap,

kepercayaan, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam individu

atau masyarakat. Faktor pemungkin terdapat pada sarana prasarana

yang ada, sedangkan faktor penguat dan pelemah adalah sikap dan

perilaku dukungan keluarga dan petugas kesehatan (Sarwono,

1997).

Perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi tiga :

1) Perilaku hidup sehat (healthy life style)

Perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha untuk

meningkatkan kesehatan dengan gaya hidup sehat yang

23

meliputi makan menu seimbang, olahraga yang teratur, tidak

merokok, istirahat cukup, menjaga perilaku yang positif bagi

kesehatan.

2) Perilaku sakit (illness behavior)

Perilaku yang terbentuk karena adanya respon terhadap suatu

penyakit. Perilaku dapat meliputi pengetahuan tentang penyakit

serta upaya pengobatannya.

3) Perilaku peran sakit (the sick role behavior)

Merupakan perilaku seseorang ketika sakit. Perilaku ini

mencakup upaya untuk menyembuhkan penyakitnya

b. Determinan Perilaku Kesehatan

Kejadian dan bentuk keparahan penyakit kusta dapat

dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, ras, kebiasaan, adat

budaya serta gaya hidup masyarakat itu sendiri. Berbagai faktor

sosial budaya seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kondisi

ekonomi, pengetahuan, kepercayaan, sikap, nilai dan kebiasaan

dalam keluarga merupakan suatu hal yang dianggap sangat

mempengaruhi pengobatan dini dan keteraturan berobat pada

penderita kusta.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan diantaranya :

1) Faktor predisposisi (predisposing factors)

Merupakan suatu faktor yang mempermudah terjadinya

perilaku seseorang. Faktor ini bertujuan untuk menggambarkan

fakta bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan untuk

melakukan suatu hal. Yang termasuk dalam faktor predisposisi

diantaranya :

a) Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi

terbentuknya perilaku. Pengetahuan termasuk domain yang

sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang

(Overt Behavior).

24

Faktor sosial, ekonomi, ras, kebiasaan, adat budaya serta

gaya hidup dapat berpengaruh terhadap kejadian dan

keparahan penyakit kusta serta berbagai faktor sosial

budaya seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kondisi

ekonomi, pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan merupakan faktor internal penderita.

Pengetahuan penderita yang dapat menjadi faktor

predisposisi berkembangnya penyakit kusta pada penderita

pengetahuan yang harus dimilik oleh penderita penyakit

kusta diantaranya penularan penyakit kusta, konsumsi gizi

yang harus dipenuhi ketika sakit, pengobatan yang harus

dilakukan. Pengetahuan penderita tentang penyakit kusta

akan mempengaruhi kejadian penyakit kusta.

b) Tindakan

Tindakan merupakan suatu jawaban nyata dari adanya

suatu respon (Notoatmodjo, 2012).

Sikap dapat terwujud dalam tindakan nyata apabila tersedia

fasilitas atau sarana dan prasarana. Tanpa adanya fasilitas,

suatu sikap tidak dapat terwujud dalam tindakan nyata

(Notoatmodjo, 2005).

Tindakan merupakan suatu hasil dari penentuan sikap

penderita. Tindakan berupa kegiatan yang langsung

dilakukan oleh penderita penyakit kusta. Dalam hal

penyakit kusta tindakan yang dilakukan dan merupakan

faktor predisposisi berkembangnya penyakit kusta

diantaranya :

(1) Menggunakan baju secara bergantian

Menggunakan baju secara bergantian tersebut dapat

menyebabkan penularan yang mudah terjadi pada

penyakit kusta.

(2) Menggunakan alat mandi secara bergantian

25

Dalam hal ini penggunaan alat mandi sebaiknya

dilakukan secara berbeda. Agar dapat meminimalisir

adanya bentuk penularan penyakit kusta.

(3) Tidak menggunakan alas kaki

Infeksi luka pada penyakit kusta sangat berpengaruh

terhadap penularan penyakit kusta, dimana pada infeksi

penyakit kusta luka yang dihasilkan dapat menyebabkan

perpindahan bakteri dari suatu tempat ke tempat yang

lain. Pada hal penggunaan alas kaki dilakukan dengan

tujuan meminimalisir adanya inokulasi M. leprae dalam

tanah.

(4) Membiarkan luka

Luka yang dihasilkan oleh penderita penyakit kusta

dapat menimbulkan berbagai macam resiko diantaranya

luka tersebut dapat berpindah ke tempat lain atau dapat

menjadi awal sebagai penularan penyakit, apabila luka

tersebut dibiarkan kemungkinan besar M. leprae

semakin berkembang biak, dan semakin banyak

dihasilkan pada tubuh penderita penyakit kusta.

Penilaian tindakan dapat dilakukan melalui check list dan

kuisioner dengan memberikan tanda “ya-tidak” sesuai

dengan tindakan yang dilakukan.

c) Kepercayaan

Kepercayaan adalah suatu proses pengenalan

konstitutif, yang berdasar pada proses penyusunan dan

pemeliharaan suatu acuan arti dan makna seorang pribadi

yang timbul pada nilai yang memiliki daya yang lebih

tinggi untuk mempersatukan segala pengalaman dunia

dengan demikian memberi arti pada seluruh hubungan,

konteks, pola kehidupan sehari-hari, dan pengalaman

dimasa lampau dan dimasa yang akan datang.

26

Kepercayaan merupakan hal yang dapat membentuk

adanya sikap pada lingkungan sosial. Pada hal ini

kepercayaan tersebut dimiliki oleh setiap orang. Banyak

masyarakat yang menganggap dan percaya bahwa penyakit

kusta adalah penyakit kutukan yang tidak dapat

disembuhkan, terkadang hal tersebut dapat menjadikan

penderita penyakit kusta hilang kepercayaan untuk sembuh

karena mendengar persepsi negatif dari lingkungan sekitar,

kepercayaan yang ada di desa atau wilayah tersebut yang

berhubungan sangat kuat tentang penyakit kusta,

kepercayaan yang dimiliki oleh keluarga penderita bahwa

tidak akan terjadi penularan jika ada salah satu anggota

keluarga terkena penyakit kusta, kepercayaan masyarakat

tentang penularan penyakit kusta akibat kutu busuk yang

ada pada kursi yang telah diduduki penderita penyakit

kusta.

d) Minat

Minat merupakan suatu keadaaan yang tidak dibawa

sejak lahir, melainkan didapatkan dari hasil pengamatan

yang dapat memberikan dorongan dalam berpartisipasi.

Minat timbul dalam diri seseorang agar dapat menerima

dan melakukan suatu hal tanpa adanya paksaan yang

menjadi penilaian yang berguna dan penting bagi dirinya

(Subini, 2012).

Minat tidak hanya diekspresikan melalui pernyataan,

tetapi juga dapat diimplementasikan melalui partisipasi

aktif dalam suatu kegiatan. Minat berarti juga

kecenderungan yang bersifat menetap untuk merasa tertarik

pada suatu bidang tertentu dan mempunyai rasa senang

dalam bidang tersebut. Faktor-faktor yang mendasari minat

diantaranya :

27

(1) Faktor dorongan dari dalam

Faktor dari dalam dapat berupa kebutuhan yang

berhubungan dengan jasmani dan kejiwaan.

(2) Faktor dorongan yang bersifat sosial

Adanya motivasi yang timbul dalam bentuk pengakuan

dan penghargaan dari lingkungan masyarakat dimana

seseorang berada.

(3) Faktor yang berhubungan dengan emosional

Faktor emosional berfokus pada ukuran intensitas

seseorang dalam menanamkan perhatian terhadap suatu

kegiatan atau obyek tertentu.

Dalam kasus penyakit kusta minat yang dimaksud adalah

minat atau keinginan kuat dari dalam diri penderita untuk

dapat meminimalisir adanya penularan dengan bentuk

menjaga kebersihan, menggunakan baju, alat-alat

keperluan pribadi yang berbeda.

2) Faktor Pemungkin (enabling factors)

Faktor pemungkin (enabling factors) sebagai faktor yang

memfasilitasi atau sebagai sarana prasarana dalam

berlangsungnya suatu perilaku. Faktor pemungkin (enabling

factors) merupakan faktor yang mencakup ketersediaan sarana

prasarana bagi masyarakat.

Faktor pemungkin merupakan kondisi dari lingkungan,

memfasilitasi dilakukannya suatu tindakan oleh individu

maupun organisasi. Dan sebagai kondisi yang menghambat

partisipasi dalam suatu program kesehatan. Faktor pemungkin

juga meliputi ketrampilan baru yang diperlukan seseorang

untuk membuat suatu perubahan perilaku dalam suatu

lingkungan.

28

Dalam hal ini membahas mengenai faktor pemungkin

yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit kusta.

Seperti halnya :

a) Kondisi fisik lantai

Kondisi fisik lantai dapat berpengaruh terhadap penularan

penyakit kusta jika lantai dalam keadaan yang lembab akan

menjadi tempat tinggal atau berkembang biaknya M. leprae,

pada lantai yang masih tanah terjadi apabila infeksi luka

yang dialami oleh penderita penyakit kusta tidak segera

diobati yang nantinya infeksi tersebut akan jatuh didalam

tanah sehingga tanah sebagai tempat berkembang atau

tempat tinggalnya bakteri yang dapat menimbulkan

penularan penyakit kusta dan kemudian masuk kedalam

tubuh manusia.

b) Tempat mandi

Selain kondisi fisik lantai sebagai tempat berkembang

biaknya bakteri, air juga merupakan tempat berkembangnya

bakteri. Penularan penyakit kusta dapat terjadi pada air jika

tempat mandi tersebut menjadi tempat mandi bersama maka

bakteri tersebut akan maasuk didalam tubuh orang lain.

c) Peralatan mandi

Penularan penyakit kusta dapat terjadi dalam berbagai hal,

termasuk dengan peralatan mandi. Apabila peralatan mandi

digunakan secara bersamaan maka kemungkinan besar

peluang penularan penyakit kusta bertambah dan M. leprae

dapat masuk ke dalam tubuh oranglain.

d) Pengelolaan pakaian

Pengelolaan pakaian sebaiknya pakaian digunakan secara

terpisah atau berbeda. Hal ini sebagai salah satu cara untuk

meminimalisir adanya penularan pada penyakit kusta.

Penularan penyakit kusta dapat terjadi melalui pakaian

29

dikarenakan bakteri dapat menempel dalam pakaian

tersebut kemudian masuk ke dalam tubuh orang lain.

e) Alas kaki

Alas kaki digunakan penderita kusta sebagai salah satu

bentuk perlindungan dan bentuk dalam meminimalisir

adanya penularan pada penyakit kusta agar bakteri yang ada

pada penderita tidak berpindah tempat agar tidak terjadi

penularan penyakit kusta.

f) Ketersediaan air bersih

Air termasuk kebutuhan sehari-hari yang sumbernya berasal

dari air sungai, mata air, danau, sumur, dan air hujan. Air

sangat penting bagi kehidupan manusia. Pada penyakit

kusta air merupakan media yang digunakan sebagai tempat

perkembang biakan bakteri kusta yang dapat menimbulkan

penularan penyakit kusta.

3) Faktor Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor penguat dan pelemah untuk terjadinya perilaku

tersebut. Merupakan faktor yang dapat memperkuat suatu

perilaku dengan memberikan suatu motivasi secara terus

menerus pada perilaku dan berperan pada terjadinya

pengulangan.

Faktor penguat berfokus pada tindakan yang menentukan

apakah pelaku menerima umpan balik positif dan mendapat

dukungan sosial. Kelompok faktor penguat meliputi pendapat,

dukungan sosial, dukungan keluarga, dukungan teman,

dukungan petugas kesehatan.

Faktor penguat bersifat positif atau sebaliknya tergantung

pada sikap dan perilaku orang-orang yang terkait, dan beberapa

diantaranya mempunyai pengaruh yang besar terhadap

perilaku. Dukungan sosial atau masyarakat dapat mendorong

tindakan individu untuk bekerja sama atau bergabung dengan

30

kelompok yang membuat perubahan. Dukungan tersebut dapat

berasal dari anggota keluarga, anggota masyarakat, petugas

kesehatan dan praktisi promosi kesehatan. Faktor penguat dan

pelemah yang dapat mempengaruhi perilaku penderita. Dalam

hal ini faktor penguat pada penderita kusta diantaranya :

a) Keluarga

Keluarga mempunyai peran yang sangat penting terhadap

penderita penyakit kusta. Banyaknya stigma masyarakat

bahwa penyakit kusta merupakan suatu penyakit kutukan

yang tidak dapat disembuhkan akan berdampak pada psikis

penderita penyakit kusta. Dan juga berdampak pada proses

penularan penyakit kusta.

b) Petugas Kesehatan

Selain keluarga, dukungan dari petugas kesehatan juga

dibutuhkan oleh penderita penyakit kusta dimana petugas

kesehatan memberikan dorongan mengenai penyakit kusta

dalam bentuk program konseling, pencegahan penyakit

kusta. Program tersebut digunakan untuk meyakinkan

penderita penyakit kusta bahwa penyakit kusta tersebut

dapat disembuhkan dan juga digunakan sebagai bentuk

meminimalisir adanya penularan penyakit kusta.

c) Masyarakat

Dukungan masyarakat sangat berperan terhadap penderita

penyakit kusta, adanya stigma masyarakat yang negatif

dapat memberikan dampak yang buruk pada penderita

penyakit kusta. Hal ini diharapkan masyarakat dapat

memberikan dukungan, memotivasi, dan menghilangkan

stigma yang negatif tentang penyakit kusta dengan tujuan

untuk meminimalisir adanya penularan penyakit kusta.

31

C. Kerangka Teori

KEJADIAN

PENYAKIT KUSTA

Penularan penyakit kusta

secara langsung (manusia ke

manusia lain)

Adanya penderita di dalam

rumah

Perilaku Penderita

Penyakit Kusta

Status dalam keluarga Penularan penyakit

kusta secara tidak

langsung (Lingkungan)

Tanah

Air

32

Keterangan :

1. Adanya penderita di dalam rumah

Jangka waktu penularan yang terjadi didapatkan dari lamanya kontak

penderita dengan anggota keluarga. Karena perkembang biakan bakteri

tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama.

2. Perilaku penderita penyakit kusta

Perilaku penderita sangatlah berpengaruh terhadap kejadian penularan

penyakit kusta. Faktor yang mempengaruhi perilaku diantaranya pada faktor

yang mempermudah (predisposisi factors), faktor pemungkin (enabling

factors), faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors).

Bentuk-bentuk penularan penyakit kusta diantaranya :

a. Tidak menjaga kebersihan

b. Penggunaan sabun mandi secara bersama

c. Penggunaan handuk bahkan baju secara bergantian

d. Tidak memakai alas kaki

3. Status dalam keluarga

a. Suami

b. Istri

c. Anak

e. Tanah

Penularan pada tanah dapat terjadi jika bakteri M. Lepra berada dalam tanah

dan masuk kedalam manusia

f. Air

Bakteri M. Lepra berada didalam air dan air tersebut digunakan secara terus

menerus oleh penderita dan anggota keluarga

33

D. Kerangka Konsep

Faktor yang mempermudah

(Predisposisi factors) :

a. Pengetahuan

b. Tindakan

c. Minat

d. Kepercayaan

Faktor Pemungkin

(Enabling Factors) :

Sarana prasarana penularan

penyakit kusta.

Faktor Pendukung

(Reinforcing Factors) :

a. Petugas tenaga kesehatan

b. Keluarga

c. Masyarakat

Perilaku Penderita dalam

kejadian penyakit kusta