bab ii tinjauan teori a. penelitian...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
1. Handi Setiawan, Anak Agung Oka Tahun 2015 berjudul :
“Pengaruh Variasi Dosis Larutan Daun Pepaya (Carica papaya L.)
Terhadap Mortalitas Hama Kutu Daun (Aphis craccivora) pada Tanaman
Kacang Panjang (Vignasinensis L.) Sebagai Sumber Belajar Biologi“
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh variasi dosis larutan
daun pepaya terhadap mortalitas kutu daun pada tanaman kacang panjang,
dengan deskripsi data dari rerata mortalitas kutu daun, serta dari hasil
pengujian hipotesis menunjukan ada pengaruh yang sangat signifikan dari
tiap-tiap perlakuan baik pada perlakuan pertama dosis 15gr/L selama 24 jam
setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan, perlakuan
kedua dosis 20gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan
dengan 5 pengulangan, perlakuan ketiga dosis 25gr/L selama 24 jam setelah
aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan, perlakuan
keempat 30gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan
dengan 5 pengulangan dan perlakuan terakhir dengan dosis 35gr/L selama
24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis
35gr/L merupakan dosis yang mempunyai tinggkat mortalitas terbesar
selama 24 jam dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan.
Ditunjukkan dengan kutu daun yang mengalami mortalitas dengan jumlah
23 ekor selama pengamatan kutu daun. Sedangkan pada perlakuan dosis
15gr/L merupan dosis yang mempunyai tingkat persentase mortalitas
terendah selama selama 24 jam dalam 1 kali pengamatan dengan 5
pengulangan.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah
pada penelitian terdahulu insektisida nabati yang terbuat dari larutan daun
8
pepaya digunakan dalam membunuh kutu daun Aphis craccivora sementara
pada penelitian ini dilakukan pada Lalat Rumah (Musca domestica).
2. Vina Yuliana, Yamtana, dan Abdul Hadi Kadurusno, Tahun 2016
berjudul :
“Aplikasi Penyemprotan Daun Kamboja (Plumeria acuminata)
Terhadap Kematian Lalat Rumah (Musca domestica)”
Konsentrasi perasan daun kamboja yang digunakan yaitu 40%, 50%,
60% dan kontrol (0%). Hasil dari 6 kali pengulangan menunjukkan bahwa
rata-rata jumlah kematian lalat rumah (Musca domestica) konsentrasi 40%
sebesar 5 ekor, konsentrasi 50% sebesar 10 ekor dan konsentrasi 60%
sebesar 15 ekor. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi kematian
atau persentase kematian 0% maka tidak dikoreksi dengan rumus Abbot.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah kematian lalat rumah yang
terbanyak pada konsentrasi 60% sedangkan jumlah kematian lalat rumah
(Musca domestica) yang paling sedikit pada konsentrasi 40%. Jumlah
kematian lalat rumah (Musca domestica) pada kelompok perlakuan dari
ketiga konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi perasan
daun kamboja (Plumeria acuminata) yang disemprotkan, maka semakin
tinggi pula jumlah kematian lalatnya. Hal ini disebabkan karena semakin
tinggi konsentrasi perasan daun kamboja maka akan semakin banyak bahan
aktif yang terkandung di dalamnya.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah
pada penelitian terdahulu insektisida nabati yang digunakan terbuat dari
perasan daun kamboja sedangkan pada penelitian ini menggunakan larutan
daun pepaya.
9
Tabel II.1
Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu
No
Judul
Penelitian/Penel
iti
Lokasi Subyek
Penelitian
Variabel
Bebas
Variabel
Terikat
Metode
Sampling
Jenis dan
Desain
Penelitian
1 Pengaruh
Variasi Dosis
Larutan Daun
Pepaya (Carica
papaya L.)
Terhadap
Mortalitas
Hama Kutu
Daun (Aphis
craccivora)
pada Tanaman
Kacang Panjang
(Vignasinensis
L.) Sebagai
Sumber Belajar
Biologi
-
150 ekor
kutu daun
yang
diambil/
ditangkap
di alam
bebas
Dosis
larutan daun
pepaya yang
digunakan
yaitu dosis
0gr/L
sebagai
kontrol,
dosis 15gr/L,
dosis 20gr/L,
dosis 25gr/L,
dosis 30gr/L,
dan 35gr/L
kutu daun
(Aphis
craccivora)
Metode
rancangan
acak
lengkap
Pra
Eksperimen
2 Aplikasi
Penyemprotan
Daun Kamboja
(Plumeria
acuminata)
Terhadap
Kematian Lalat
Rumah (Musca
domestica)
Laboratorium
Vektor, Jurusan
Kesehatan
Lingkungan,
Politeknik
Kesehatan
Kemenkes
Yogyakarta
480 ekor
lalat rumah
yang
diambil/
ditangkap
di alam
bebas
Konsentrasi
daun
kamboja
yang
digunakan
yaitu 40%,
50% dan
60%
Lalat
Rumah
(Musca
domestica)
Simple
Random
Sampling
Pra
Eksperimen
3 Uji Perbedaan
Konsentrasi
Daun Pepaya
(Carica papaya
L.) Sebagai
Insektisida
Nabati Terhadap
Kematian Lalat
Rumah (Musca
domestica)
Laboratorium
Entomologi
Kesehatan
Lingkungan
Kampus
Magetan
Satu jenis
lalat rumah
yang
ditangkap
dari TPA
(Tempat
Pembuang
an Akhir)
Milangasri
Magetan
sejumlah
600 ekor
Variasi
Konsentrasi
Larutan
kadar
rendaman
daun
pepaya70%,
80%, 90%
dan 100%
Lalat
Rumah
(Musca
domestica)
Simple
Random
Sampling
Jenis
Penelitian:
Pra
Eksperimen
Desain
Penelitian:
The One
Shot Case
Study
10
B. Studi Pustaka
1. Lalat Rumah (Musca domestica)
Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) yang termasuk ordo
Dipthera, yaitu insekta yang mempunyai sepasang sayap berbentuk
membran. Lalat mempunyai sifat kosmopolitan, artinya kehidupan lalat
dijumpai merata hampir diseluruh permukaan bumi. Diperkirakan diseluruh
dunia terdapat lebih kurang 85.000 jenis lalat, tetapi semua jenis lalat
terdapat di Indonesia. Jenis lalat yang paling banyak merugikan manusia
adalah jenis lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau (Lucilia sertica),
lalat biru (Calliphora vomituria) dan lalat latrine (Fannia canicularis). Lalat
juga merupakan species yang berperan dalam masalah kesehatan
masyarakat yaitu sebagai vektor penularan penyakit saluran pencernaan.
Vektor adalah arthropoda yang dapat memindahkan atau menularkan agent
infection dari sumber infeksi kepada host yang rentan
(Kusnoputranto, 2000).
a. Klasifikasi Ilmiah Lalat Rumah (Musca domestica)
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Invertebrata
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Hexapoda
Class : Insecta
Subclass : Pterygota
Order : Diptera
Suborder : Cyclorrhapha
Family : Muscidae
Subfamily : Muscinae
Genus : Musca Species : Musca domestica
b. Morfologi lalat Rumah
Lalat ini berukuran sedang, panjang 6-8 mm. Berwarna hitam keabu-
abuan dengan empat jari memanjang gelap pada bagian dorsal toraks dan
satu garis hitam medial pada abdomen dorsal. Mata pada betina memiliki
celah yang lebih besar dari pada lalat jantan. Antenanya terdiri dari tiga ruas,
ruas terakhir paling besar bentuk silinder dan dilengkapi dengan arista yang
11
memiliki bulu pada bagian atas dan bawah. Bagian proboscis lalat
disesuaikan dengan fungsinya untuk menyerap dan menjilat makanan
berupa cairan tidak bisa untuk menusuk atau menggigit. Ketika lalat tidak
makan, sebagian mulutnya ditarik masuk ke dalam selubung, tetapi ketika
sedang makan akan dijulurkan ke arah bawah. Bagian ujung proboscis
terdiri atas sepasang labella berbentuk oval yang dilengkapi dengan saluran
halus disebut psedotrakhea tempat cairan makanan diserap. Sayapnya
memiliki vena 4 yang melengkung tajam ke arah kosta mendekati vena 3.
Ketiga pasang kaki lalat ini ujungnya mempunyai sepasang kuku dan
sepasang bantalan disebut pulvilus yang berisi kelenjar rambut. Bantalan
rambut lengket ini yang membuat lalat dapat menempel pada permukaan
halus dan mengambil kotoran dan patogen ketika mengunjungi sampah dan
tempat kotor lainnya. (Maryantuti, 2007).
Lalat Rumah (Musca domestic)
Keterangan Gambar :
A. Tarsus
B. Antena
C. Thorax
D. Mata
E. Sayap
Gambar II.1 Lalat Rumah (Musca domestica)
(Sumber : http://abybiologi.blogspot.co.id )
c. Siklus Hidup Lalat Rumah (Musca domestica)
Lalat ini mempunyai metamorfosis lengkap (complete metamorfosis
holometabolous) mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa. Perkembangan
dari telur sampai dewasa memerlukan waktu 7-21 hari. Pada temperatur 25-
35ºC telur menetas dalam kurun waktu 8-12 jam. Telur akan menetas dan
berkembang menjadi larva dalam waktu 3-7 hari tergantung suhu
lingkungan.
12
Larva instar 1 mempunyai panjang 2 mm, stadia ini berlangsung
selama 24-36 jam tergantung temperatur dan tempat yang cocok. Larva
instar 2 berlangsung selama 24 jam pada temperatur 25-35ºC, yang
kemudian dilanjutkan dengan instar 3 yang berlangsung selama 3-4 hari
pada temperatur 35ºC dengan ukuran 12 mm. Segera setelah stadia larva
selesai, larva bermigrasi ke daerah yang lebih kering untuk menjadi pupa
dan setelah mengalami 3 kali pergantian kulit, larva akan berkembang
menjadi pupa. Stadia pupa berlangsung antara 3-26 hari tergantung
temperatur lingkungan dan akhirnya segera berkembang menjadi lalat
dewasa.
Gambar II.2 Siklus Hidup Lalat Rumah (Musca domestica) (Sumber : Hastutiek, 2007)
1) Fase Telur
Setelah proses perkawinan, lalat betina akan meletakkan telur-telur
di tempat-tempat yang sesuai tergantung pada jenisnya. Lalat betina
umumnya telah dapat menghasilkan telur pada usia 4-20 hari setelah
dewasa. Telur yang dihasilkannya berbentuk oval, berwarna putih,
berukuran sekitar 10 mm dan biasanya mengelompok, sebanyak 75
sampai 150 telur setiap kelompoknya. Jika tersedia panas yang
dibutuhkan, maka dalam tempo 12-24 jam telur akan menetas dan
menghasilkan tempayak (larva). Setelah memperoleh tempat yang
sesuai, seperti tempat yang kotor, bangkai, benda-benda yang
13
permukaanya gelap, induk betina mampu memproduksi lima sampai
enam tumpukan telur dalam beberapa hari.
Pada lalat buah, induk betina meletakkan telur-telurnya di dalam
buah yang sedang berkembang, sedang lalat rumah biasa meletakkan
telur-telurnya di tempat-tempat yang kotor seperti bangkai atau
tumpukkan sampah.
Gambar II.3 Telur Lalat Rumah (Musca domestica)
(Sumber : Macro, 2009)
2) Fase Larva
Ukuran larva kurang lebih 1mm setelah 4-5 hari pada suhu 30 °C
melewati tiga fase instar, larva instar I dn II berwarna putih, sedang larva
instar III berwarna kekuningan. Larva memiliki sepasang spirakle
posterior yang jelas dan memakan barteri, dan bahan-bahan
dekompoosisi. Larva awalnya menyukai suhu dan kelembaban tinggi
tetapi menghindari cahaya. Sebelum menjadi pupa larva berhenti makan
dan pindah ketempat yang lebih kering dan dingin. Larva ini mudah
terbunuh pada temperatur 73 °C (Sucipto, 2011).
Larva lalat mengalami pergantian kulit sampai dua atau tiga atau
lebih tergantung pada jenisnya. Pertumbuhan larva sangat cepat, dalam
waktu kurang dari dua hari, ukuran tubuhnya dapat bertambah dua kali
lipat dibanding ukuran awal, pada saat inilah mereka akan mengganti
kulitnya (molting). Stadium ini terdiri dari 3 tahap atau tingkatan, yaitu :
14
a) Tahap pertama
Larva yang baru menetas, disebut instar I, berukuran panjang 2
mm, bewarna putih, tidak bermata dan berkaki, amat aktif dan
ganas terhadap makanan, setelah 1-4 hari melepas kulit dan
menjadi instar II.
b) Tahap kedua
Ukuran besarnya dua kali dari instar I, sesudah satu sampai
beberapa hari, kulit mengelupas dan keluar instar III.
c) Tahap ketiga
Larva berukuran 12 mm atau lebih, tingkat ini memakan waktu 3
sampai 9 hari. Larva diletakkan pada tempat yang disukai dengan
temperature 30-35 oC dan dalam waktu antara 4 sampai 17 hari
akan berubah menjadi kepompong.
Gambar II.4 Larva Lalat Rumah (Musca domestica)
(Sumber : Wita Purwati, 2010)
3) Fase Pupa
Setelah berganti kulit sampai beberapa kali, selanjutnya larva akan
menjadi pupa. Larva-larva berigrasi mencari tempat yang gelap untuk
berubah menjadi pupa. Pupa lalat memiliki struktur yang mirip dengan
pupa kupu-kupu. Pupa dilindungi oleh eksoskleton yang mengeras,
berwarna kecoklatan, yang disebut dengan kokon. Pupa tidak aktif
melakukan aktivitas (makan), namun di dalam tubuhnya terjadi proses
metabolisme yang sangat aktif dalam pembentukan bentuk lalat yang
15
memerlukan energi sangat banyak. Ketika terjadi pupasi, kulit larva
mengkerut dan membentuk puparium seperti peluru dengan
mengembangkan kantong berisi darah ke depan kepala. Lama stadium
pupa 2-8 hari atau tergantug dari temperatur setempat, bentuknya bulat
lonjong dengan warnah coklat hitam. Stadium ini kurang bergerak
bahkan tidak bergerak sama sekali. Panjangnya kurang lebih ± 5 mm
mempunyai selaput luar disebut posterior spirakle yang berguna untuk
menentukan jenisnya. (Sucipto, 2011).
Gambar II.5 Pupa Lalat Rumah (Musca domestica)
(Sumber : Fuzi Maulana A, 2012)
4) Lalat Dewasa
Lalat muda, awalnya lalat tampak lunak, pucat abu-abu dan tanpa
sayap. Setelah istirahat, sayap dikembangkan dan kutikula mengeras
serta warnanya gelap, lalat muda mencari makan setelah sayapnya
mengembang selama waktu 2-24 jam setelah muncul dari pupa.
(Sucipto,2011).
Proses pematangan menjadi lalat dewasa kurang lebih 15 jam dan
setelah itu siap untuk mengadakan perkawinan. Seluruh waktu yang
diperlukan 7-22 hari, tergantung pada suhu setempat, kelembaban dan
makanan yang tersedia. Umur lalat dewasa dapat mencapai 2-4 minggu.
(Habu, 2015). sedangkan umur pada lalat dewasa termasuk pendek yaitu
sekitar 2-3 minggu, hal ini dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban
tempat dan sumber makanan yang dapat diperoleh. Adapun perbedaan
pada lalat jantan dan lalat betina. Berikut adalah perbedaannya:
16
a) Ukuran
Ukuran lalat jantan cenderung lebih kecil dibandingkan lalat
betina.
b) Sayap
Pada lalat betina memiliki sayap yang lebih panjang dibandingkan
dengan lalat jantan.
c) Abdomen
Pada lalat jantan terdapat 3 ruas abdomen, sedangkan pada lalat
betina terdapat 6 ruas abdomen. Jika pada lalat betina ujung
abdomennya runcing, maka pada lalat jantan ujung abdomennya
tumpul dan lebih hitam.
d) Sex comb
Pada lalat betina tidak memiliki sisir kelamin (sex comb),
sedangkan pada lalat jantan terdapat sisir kelamin yang ditemukan
di kaki yang terdapat rambut-rambutnya.
Gambar II.6 Lalat Rumah (Musca domestica)
(Sumber : Amell, 2015)
d. Bionomik Lalat Rumah (Musca domestica)
1) Tempat Bertelur (Habitat places)
Kebiasan Lalat rumah bisa membiak di setiap medium yang terdiri
dari zat organik yang lembab dan hangat dapat memberi makan pada larva-
larvanya. Medium pembiakan yang disukai ialah kotoran kuda, kotoran babi
dan kotoran burung. Yang kurang disukai ialah kotoran sapi. Lalat rumah
17
juga membiak di fases manusia dan karena feses manusia ini juga
mengandung organisme patogen maka ia merupakan medium pembiakan
yang paling berbahaya. Selain itu sampah yang ditumpuk di tempat terbuka
karena mengandung zat-zat organik merupakan medium pembiakan lalat
rumah yang penting. Sebelum meletakkan telur, lalat biasanya melakukan
orientasi terlebih dahulu dengan mencari media yang cocok untuk bertelur
demi kelangsungan hidupnya. Lalat memiliki bagian yang sangat peka yaitu
tarsi yang terletak pada bagian kepala dan thorax karena adanya
kemoreseptor atau sensilia olfaktori yang berpori sehingga dapat
mendeteksi aroma yang tidak disenangi. Pada umumnya serangga memiliki
dendrit atau bagian cabang neuron yang berfungsi menerima rangsangan
pada bagian ujung yang tidak terlindung (Indriasih, 2015).
2) Jangkauan Terbang
Lalat rumah bisa terbang jauh dan bisa mencapai jarak 15 km dalam
waktu 24 jam. Sebagian besar tetap berada dalam jarak 1,5 km di sekitar
tempat pembiakannya, tetapi beberapa bisa sampai sejauh 50 km. Lalat
dewasa hidup 2-4 minggu pada musim panas dan lebih lama pada musim
dingin. Mereka melampaui musim dingin (over wintering) sebagai lalat
dewasa, dan berkembang biak di tempat-tempat yang relatif terlindung
seperti kandang ternak dan gudang-gudang (Husain, 2014).
3) Tempat Istirahat
Dalam memilih tempat istirahat (resting place), lalat lebih menyukai
tempat yang tidak berangin, tetapi sejuk, dan kalau malam hari sering
hinggap di semak-semak di luar tempat tinggal. Lalat beristirahat pada lantai,
dinding, langit-langit, jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan
lain-lain serta sangat disukai tempat-tempat dengan tepi tajam yang
permukaannya vertikal. Tempat istirahat tersebut biasanya dekat dengan
tempat makannya dan tidak lebih dari 4,5 meter di atas permukaan tanah
(Husain, 2014).
18
4) Kebiasaan makan
Lalat memakan makanan yang dimakan oleh manusia sehari-hari,
seperti gula, susu dan makanan lainnya, kotoran manusia serta darah. Bentuk
makanannya cair atau makanan yang basah, sedang makanan yang kering
dibasahi oleh ludahnya terlebih dulu, baru diisap (Habu, 2015).
5) Lama Hidup
Pada musim panas, usia lalat berkisar antara 2-4 minggu, sedang pada
musim dingin bisa mencapai 70 hari. Tanpa air lalat tidak dapat hidup lebih
dari 46 jam. Sehingga lama hidup lalat pada umumnya berkisar antara 2-70
hari. (Husain, 2014).
6) Temperatur dan kelembaban
Lalat mulai terbang pada temperatur 15 °C dan aktifitas optimumnya
pada temperatur 21 °C. Pada temperatur di bawah 7,5 °C tidak aktif dan di
atas 45 °C terjadi kematian pada lalat. Kelembaban erat hubungannya dengan
temperatur setempat. Kelembaban berbanding terbalik dengan temperatur.
Jumlah lalat pada musih hujan lebih banyak dari pada musim panas. Lalat
sangat sensitif terhadap angin yang kencang, sehingga kurang aktif untuk
keluar mencari makanan pada waktu kecepatan angin (Husain, 2014).
e. Lalat Rumah (Musca dosmetica) sebagai Vektor Penyakit
Lalat rumah (Musca domestica) bertindak sebagai vektor penyakit,
artinya lalat ini bersifat pembawa/memindahkan penyakit dari satu tempat
ke tempat lain. Terdapat dua macam vektor yaitu vektor mekanis dan vektor
biologis. Disebut vektor mekanis apabila agen penyakit di dalam tubuh
vektor tidak mengalami perubahan. Sedangkan bila agen penyakit
pengalami perubahan (bertambah banyak, berubah siklus atau keduanya) di
dalam tubuh vektor disebut sebagai vektor biologis.
Lalat rumah (Musca domestica) bukan merupakan parasit obligat
tetapi merupakan vektor yang penting dalam penyebaran agen penyebab
penyakit. Disamping itu juga dapat menyebabkan myiasis atau
memperparah keadaan luka pada jaringan akibat infestasi lalat.
19
Lalat rumah (Musca domestica) adalah spesies lalat yang banyak
berperan sebagai vektor mekanis pada beberapa penyakit. Menurut Arroyo
(1998), seekor lalat (Musca domestica) dapat membawa sekitar lebih dari
100 macam organisme patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia dan hewan (Hastutiek, 2007).
Selama ini lalat rumah dikenal hanya dapat menyebabkan penyakit
secara tidak langsung karena perannya sebagai vektor mekanik atau
perantara berbagai penyakit. lalat berkembang biak pada media berupa tinja
atau feses, karkas, sampah, kotoran hewan dan limbah buangan yang banyak
mengandung agen penyakit, dengan demikian lalat mudah tercemari oleh
agen penyakit baik di dalam perut, bagian mulut dan kaki. Kontaminasi
terjadi pada bagian mulut atau bagian tubuh lalat yang lain seperti kaki,
ketika lalat tersebut makan feses yang mengandung agen penyakit,
kemudian terbang dan hinggap pada makanan sehat sambil memindahkan
agen penyebab penyakit (Sigit, et al, 2006). Transmisi mekanis patogen
biasanya harus terjadi dalam beberapa jam agar dapat dengan efektif
menginfeksi karena daya tahan sebagian agen penyebab penyakit ketika
berada dalam vektor pembawa sangat singkat (Williams, 1985).
Patogen ditularkan oleh lalat rumah (Musca domestica) ke manusia
saat lalat hinggap pada makanan dan melakukan regurgitasi (vomit drops)
yang secara alami dilakukan sebelum dan selama menelan makanan untuk
membantu makannya serta defikasi (Sigit, et al, 2006). Eskreta dari
regurgitasi dan defekasi inilah yang mengandung agen penyakit. Lalat ini
bukan pemakan darah, tetapi dapat mengikuti lalat penghisap darah, makan
darah yang busuk dan cairan jaringan. Agen penyakit berpindah dari feses
atau ludah pada kutikula dan probosis lalat ke manusia/ hewan akibat
perilaku yang dikenal dengan istilah regurgitasi. Bibit penyakit dipindahkan
melalui rambutrambut yang terdapat pada kaki dan badan serta bagian mulut
dari lalat (Fotedar, 2000). Kebiasaan terbang kemudian pergi dan kembali
lagi dari feses ke makanan sangat memungkinkan untuk terjadinya proses
penularan penyakit.
20
Penyakit lambung dan usus (enterogastrik) pada manusia seperti
bacillary disentri, salmonellosis (thypoid, parathypoid fever), enteritis,
keracunan makanan dan cholera juga ditularkan oleh lalat rumah. Pada
beberapa kasus, lalat rumah juga bertindak sebagai vektor penyakit kulit
seperti lepra dan yaws (frambusi atau patek) juga vektor untuk wabah sakit
mata (epidemic conjunctivitis).
Musca domestica juga dilaporkan dapat membawa kista dari
berbagai protozoa seperti Entamoeba histolytica, E. coli, Giardia
intestinalis, Sarcocystis sp, Toxoplasma gondii, Isospora, Trichomonas sp
dan beberapa telur cacing diantaranya cacing jarum atau cacing kremi
(Enterobius vermicularis), cacing gilik (Ascaris lumbricoides) cacing kait
(Ancylostoma dan Necator), cacing pita (Taenia, Dipylidium caninum),
cacing cambuk (Trichuris trichiura) (Sigit, et al, 2006).
2. Pengendalian Lalat
Pengendalian vektor terpadu menurut WHO, 2004 adalah
pemanfaatan semua teknologi dan teknik manajerial yang sesuai untuk
menekan vektor secara efektif dan efisien. Semua teknologi itu berarti cara
kimia, cara hayati, dan cara pengelolaan lingkungan.
Pengendalian nonkimiawi adalah mencegah pertambahan populasi
lalat, yang utama adalah dengan menjaga sanitasi (kebersihan) lingkungan
dan diikuti dengan menutup semua akses masuknya lalat ke dalam
bangunan dengan pemasangan kawat (kasa) nyamuk, tirai plastik atau tirai
angin di pintu-pintu utama bangunan, pemasangan perangkap cahaya (Ultra
Violet) dan perangkap daya tarik ("attractant" / "pheromone") di dalam dan
sekeliling bangunan serta dianjurkan memasang perangkap rekat ("glue
trap") di area luar bangunan.
Pengendalian kimiawi adalah cara-cara dengan menggunakan racun
serangga (insektisida) untuk membunuh larva lalat (belatung) di tempat
penimbunan sampah organik atau di tempat perkembangbiakan lalat, dan
juga membunuh lalat dewasa dengan cara penyemprotan residu di tempat
21
lalat dewasa hinggap. Pengasapan ("fogging") atau pengkabutan ("cold
aerosol") juga dapat dilakukan pada saat-saat lalat aktif terbang dipagi atau
sore hari.
Dari semua cara pengendalian di atas tidak ada satu pun yang efektif
sehingga dilakukan kombinasi dari beberapa cara tersebut. Karena itu
konsep pengendalian terpadu dengan melibatkan semua cara dapat
diterapkan dengan situasi dan kondisi biologis, bionomis, ekologis
vektornya serta mempertimbangkan keuntungan dan kerugian baik dari segi
biaya maupun pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan hidup
(Soegijanto, 2006).
3. Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)
a. Klasifikasi dan morfologi pepaya (Carica papaya L.)
Pepaya merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Tengah.
Pepaya dapat tumbuh dengan baik di daerah yang beriklim tropis. Tanaman
pepaya oleh para pedagang Spanyol disebarluaskan ke berbagai penjuru
dunia. Negara penghasil pepaya antara lain Costa Rica, Republik Dominika,
Puerto Riko, dan lain-lain. Brazil, India, dan Indonesia merupakan
penghasil pepaya yang cukup besar (Warisno, 2003).
Tumbuhan pepaya biasanya tumbuh di daerah India Utara, Filipina,
Srilanka, India, Bangladesh, Malaysia, dan di negara tropical. Banyak sekali
bagian dari pepaya yang bernilai komersial. Bagian berbeda dari tumbuhan
pepaya (buah, daun, getah, dan biji) bisa dimakan dan bisa dijadikan obat
untuk berbagai penyakit. Dalam beberapa studi, daun pepaya terbukti
sebagai antisikling, dan efektif melawan ulcer gastrik pada tikus, sedangkan
bunga pepaya terbukti memiliki aktivitas antibakteri (Halim, et al, 2011)
Kedudukan taksonomi tanaman pepaya dalam Suprapti (2005) adalah
sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Kelas : Angiospermae
Bangsa : Caricales
22
Suku : Caricaceae
Marga : Carica
Jenis : Carica papaya L.
Tanaman papaya merupakan tanaman yang banyak diteliti saat ini
karena hampir seluruh bagian tanamannya dapat dimanfaatkan baik daun,
getah, biji, akar, batang, dan buahnya.Tanaman papaya merupakan tanaman
suku Caricaceae marga Carica yang merupakan herba berasal dari Amerika
tropis dan cocok juga untuk ditanam di Indonesia. Bentuk daunnya
majemuk dan menjari, buahnya buni berwarna kuning sampai jingga dengan
daging buah lunak dan berair, jenis bunga pada tanaman papaya adalah
bunga jantan saja, betina saja, atau hemafrodit, memiliki saluran getah pada
batang (Tjitrosoepomo, 2005).
Bentuk dan susunan tubuh bagian luar tanaman pepaya termasuk
tumbuhan perdu yang umur sampai berbunganya dikelompokkan sebagai
tanaman buah-buahan semusim, namun dapat tumbuh setahun atau lebih.
Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang yang
tumbuh mendatar ke semua arah pada kedalaman 1 meter atau lebih dan
menyebar sekitar 60-150 cm atau lebih dari pusat batang tanaman
(Rukmana, 1995).
Batang (caulis) merupakan bagian yang penting untuk tempat
tumbuh tangkai daun dan tangkai buah. Bentuk batang pada tanaman pepaya
yaitu berbentuk bulat, dengan permukaan batang yang memperlihatkan
berkas-berkas tangkai daun. Arah tumbuh batang yaitu tegak lurus yaitu
arahnya lurus ke atas. Permukaan batang tanaman pepaya yaitu licin.
Batangnya berongga, umumnya tidak bercabang atau bercabang sedikit, dan
tingginya dapat mencapai 5-10 m (Tyas, 2008).
Daun (folium) merupakan tumbuhan yang penting dan umumnya
tiap tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun. Tyas (2008) mengatakan
bahwa daun pepaya merupakan daun tunggal, berukuran besar, menjari,
bergerigi dan juga mempunyai bagian-bagian tangkai daun dan helaian daun
(lamina). Daun pepayamempunyai bangun bulat atau bundar, ujung daun
23
yang lancip, tangkai daun panjang dan berongga. Permukaan daun licin
sedikit mengkilat. Dilihat dari susunan tulang daunnya, daun pepaya
termasuk daun-daun yang bertulang menjari.
b. Kandungan Kimia Dari Daun Pepaya (Carica papaya)
Daun pepaya mengandung sejumlah komponen aktif yang dapat
meningkatkan kekuatan total antioksidan di dalam darah dan menurunkan
level perooxidation level, seperti papain, chymopapain, cystatin, α-
tocopherol, ascorbic acid, flavonoid, cyanogenic glucosides dan
glucosinolates (Seigler, 2002). Dan Kandungan kimia lain yang terdapat
dalam daun pepaya seperti flavonoid, tanin, saponin, steroid, dan alkaloid
berfungsi sebagai insektisida alami dan racun serangga (Cahyati, 2017).
Tabel II.2
Kandungan Kimia dari Daun Pepaya (Carica papaya L.)
Konstitusi Bioassay
Daun Hijau Daun Kuning Daun Coklat
Saponin + + +
Tannins - - -
Cardiac glycoside + + +
Alkaloid + + +
Sumber: Ayoola dan Adeyeye (2010)
Tabel II.3
Kandungan Biochemical Daun Pepaya (Carica papaya L.)
Bahan Aktif Kandungan (ppm)
Alkaloid 1.300-4.000
Flavonoid 0-2.000
Tannin 5.000-6.000
Dehydrocarpaine 1000
Dehydrocarpaine 100
Sumber : Cornell University (2009)
24
1) Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat
racun/aleopati, merupakan persenyawaan dari gula yang terikat dengan
flavon. Flavonoid mempunyai sifat khas yaitu bau yang sangat tajam,
rasanya pahit, dapat larut dalam air dan pelarut organik, serta mudah terurai
pada temperatur tinggi (Suyanto, 2009). Flavonoid merupakan senyawa
pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga
dan juga bersifat toksik. Flavonoid punya sejumlah kegunaan. Pertama,
terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuhan, pengatur
fotosintesis, kerja antimiroba dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu
sebagai antibiotik terhadap penyakit kanker dan ginjal, menghambat
perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik serangga
untuk melakukan penyerbukan. Keempat, kegunaan lainnya adalah sebagai
bahan aktif dalam pembuatan insektisida nabati (Dinata, 2009).
2) Enzim Papain
Enzim papain merupakan racun kontak yang masuk ke dalam tubuh
hama melalui lubang-lubang alami dari tubuhnya. Setelah masuk, racun
akan menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang sistem saraf sehingga
dapat mengganggu aktivitas hama. Enzim papain juga dapat bekerja
sebagai enzim protease yang dapat menyerang dan melarutkan komponen
penyusun kutikula serangga (Trizelia, 2001).
3) Saponin
Saponin dapat menghambat kerja enzim proteolitik yang
menyebabkan penurunan aktivitas enzim pencernaan dan penggunanaan
protein (Suparjo, 2008)
Saponin terdapat pada seluruh bagian tanaman pepaya seperti akar,
daun, batang, dan bunga. Senyawa aktif pada saponin berkemampuan
membentuk busa jika dikocok dengan air dan menghasilkan rasa pahit yang
dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga dapat merusak membran
sel serangga (Mulyana, 2002).
25
4) Tanin
Tanin merupakan salah satu senyawa yang termasuk ke dalam
golongan polifenol yang terdapat dalam tanaman pepaya. Mekanisme kerja
senyawa tanin adalah dengan mengaktifkan sistem lisis sel karena aktifnya
enzim proteolitik pada sel tubuh serangga yang terpapar tanin (Harborne ,
1987).
Senyawa kompleks yang dihasilkan dari interaksi tanin bersifat
racun atau toksik yang dapat berperan dalam menghambat pertumbuhan
dan mengurangi nafsu makan serangga melalui penghambatan aktivitas
enzim pencernaan. Tanin mempunyai rasa yang sepat dan memiliki
kemampuan menyamak kulit. Umumnya tumbuhan yang mengandung
tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat
(Harborne, 1987).
4. Insektisida
Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang
dapat membunuh serangga (Alfiah, 2013). Insektisida salah satu dari jenis
pestisida selain jenis fungisida, rodentisida, herbisida, nematisida,
bakterisida, virusida, acorisida, mitiusida, lamprisida dan lain-lain.
a. Bentuk Insektisida terdiri dari empat golongan sebagai berikut :
1) Dust (Serbuk) berkode “D
Dapat ditaburkan pada tanaman yang terserang hama atau
dilarutkan dalam air untuk selanjutnya dimanfaatkan dalam
penyemprotan-penyemprotan.
2) Emulsion Concentrated (Cairan) berkode “EC”
Dibuat secara cairan yang dilarutkan dalam sejenis minyak.
Penggunaannya harus dilarutkan dalam air agar tercapai
kepekatan tertentu sesuai dengan kebutuhan/keperluan.
3) Granular (butiran) berkode”G”
Digunakan dengan menaburkan diatas larikan-larikan atnah atau
pada atanhsekitar tanaman, kemudian ditutup atau ditimbuni
26
tanah. Pada waktu terjadinya hujan atau waktu dilakukan
penyiraman, butiran ini akan hancur dan meresap kedalam tanah
sehingga hama akan terbasmi.
4) Fumigan (gas/asap) berkode “F
Digunakan dalam penyemprotan atau fumigasi untuk membasmi
hama tanaman misalnya BHC, Methylbromida dan lain-lain
(Siregar, 2008).
b. Jenis-jenis Insektisida
1) Insektisida Sintetik
Penggunaan insektisida ditujukan untuk mengendalikan
populasi vektor, sehingga diharapkan penularan penyakit dapat
ditekan seminimal mungkin. Pengendalian kimia yang dapat
dilakukan diantaranya adalah dengan penggunaan repellent,
insektisida untuk penyemprotan (spray, fogging) untuk vektor
dewasa, larvasida untuk pengendalian larva. Insektisida sintetik
yang digunakan dalam pengendalian nyamuk adalah parathion,
malathion, dan dikilorvos (Kardinan, 2000).
2) Insektisida Nabati
Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami
berasal dari tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit
sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti
alkaloid, fenolik, dan zat kimia sekunder lainnya. Senyawa
bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman yang yang
terinfeksi organisme pengganggu tidak berpengaruh terhadap
fotosintesis, pertumbuhan, atau aspek fisologi lainnya, namun
berpengaruh terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
Sistem yang terpengaruh pada OPT adalah sistem syaraf/otot,
keseimbangan hormon, reproduksi, perilaku, sistem pernafasan,
dan lain-lain. Senyawa bioaktif ini juga dapat digunakan untuk
mengendalikan serangga yang terdapat di lingkungan rumah.
Senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman dapat
27
dimanfaatkan seperti layaknya insektisida sintetik.
Perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati
disintesis oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu
macam (campuran). Bagian tumbuhan seperti daun, bunga,
buah, biji, kulit, batang, dan sebagainya dapat digunakan dalam
bentuk utuh, bubuk, ataupun ekstraksi (dengan air, atau senyawa
pelarut organik). Insektisida nabati dapat dibuat secara
sederhana dan kemampuan yang terbatas. Bila senyawa atau
ekstrak ini digunakan di alam (biodegradable), sehingga tidak
mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia maupun
ternak karena residunya mudah hilang. Senyawa yang
terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai
insektisida diantaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin,
flavonoid, alkaloid, steroid, dan minyak atsiri (Naria, 2005).
3) Insektisida Non Nabati
Untuk pengendalian ini digunakan bahan kimia yang berkhasiat
membunuh serangga (insektisida) atau hanya untuk menghalau
serangga saja (repellent). Kebaikan cara pengendalian ini adalah
dapat dilakukan dengan segera dan meliputi daerah yang luas,
sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang
singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya
bersifat sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan,
kemungkinan timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida
dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa (Gandahusada,
2006).
5. Insektisida Nabati Sebagai Pestisida Pengendalian Lalat
Pada saat ini cara pengendalian lalat sendiri yang dapat dilakukan
dengan cara memutuskan rantai penularan. Cara membunuhnya lalat yang
paling efektif adalah dengan menggunakan insektisida.
28
Penggunaan insektisida sintesis (kimia) dikenal sangat efektif dan
praktis dalam pengendalian vektor. Akan tetapi, penggunaan insektisida
sintesis (kimia) dalam jangka waktu yang lama akan memberikan dampak
negatif. Dampak negatif yang disebabkan oleh insektisida yaitu berupa
pencemaran lingkungan yang dikarenakan residu yang ditinggalkan sangat
sulit terurai di alam. Selain itu, pengunaan insektisida juga dapat meracuni
penghuni rumah berbagai macam cara dapat dilakukan untuk
menanggulangi dan mengurangi dampak pencemaran oleh insektisida,
antara lain dengan pencegahan, pengurangan penggunaan insektisida dan
dengan menggunakan insektisida nabati. ( Rentokil Pest Control, 2004)
Secara umum insektisida nabati atau insektisida yang berasal dari
tumbuhan diartikan sebagai suatu insektisida yang bahannya berasal dari
tumbuhan. insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan
pengetahuan yang terbatas maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai
(biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relative
aman bagi manusia serta hewan ternak peliharaan karena residunya mudah
hilang. Penggunaan senyawa kimia nabati disebabkan karena senyawa
kimia nabati mudah terurai oleh sinar matahari sehingga tidak berbahaya
dan tidak merusak lingkungan.
a. Pembuatan Insektisida Nabati
Pembuatan insektisida nabati dilakukan melalui beberapa proses
penanganan bahan tumbuhan secara baik agar tidak kehilangan aktifitas
hayatinya. Teknik untuk menghasilkan insektisida nabati menurut
(Naria, 2005) antara lain sebagai berikut ;
1) Penggerusan, penumbukan, pembakaran, atau pengepresan untuk
menghasilkan produk berupa tepung, abu, atau pasta.
2) Rendaman untuk produk ekstrak.
3) Ekstraksi dengan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh
tenaga terampil. Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu :
29
a) Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi
dengan pelarut air pada suhu 1000C selama 3 jam. Pembuatan
infusa merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat
sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga.
b) Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksi simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk
ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi berarti dilakukan pengadukan yang
kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambah pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya.
c) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan
bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya
penetasan atau penampungan ekstrak.
b. Keunggulan Insektisida Nabati
Penggunaan insektisida nabati di Indonesia lebih populer di bidang
pertanian, dari pada penggunaan di rumah tangga. Padahal, didalam
rumah dapat hidup berbagai binatang yang mengganggu kenyamanan
dan kesehatan manusia, yang perlu untuk dikendalikan. Penggunaan
insektisida nabati di rumah tangga merupakan suatu potensi yang dapat
dikembangkan. Menurut (Naria, 2005) penggunaan insektisida nabati
di rumah tangga memiliki keunggulan antara lain :
1) Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu
pada komponen lingkungan dan bahan makanan, sehingga
dianggap lebih aman dari pada insektisida sintesis / kimia.
30
2) Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam
sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.
3) Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana.
4) Bahan pembuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar
rumah.
5) Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian
insektisida.
c. Kelemahan Insektisida Nabati
Selain keuntungan, tentunya ada beberapa kelemahan dari pemakaian
insektisida nabati di rumah. Menurut (Naria, 2005) Kelemahan tersebut
antara lain :
1) Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan
dengan insektisida sintetis. Tingginya frekuensi penggunaan
insektisida botani adalah karena sifatnya yang mudah terurai di
lingkungan, sehingga harus lebih sering diaplikasikan.
2) Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multipleactive
ingridient) dan kadang tidak semua bahan aktif dapat dideteksi.
3) Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang
berbeda, umur tanaman berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda,
umur tanaman berbeda, dan waktu panen yang berbeda
mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat bervariasi.
d. Cara Kerja Insektisida Terhadap Serangga
Cara kerja insektisida dalam tubuh serangga dikenal sebagai mode of
action dan cara masuk atau mode of entry :
1) Mode of action adalah cara insektisida memberikan pengaruh melalui
titik tangkap didalam tubuh serangga. Titik tangkap pada serangga
biasanya berupa enzim atau protein. Cara kerja insektisida yang
digunakan dalam pengedalian hama terbagi lima kelompok yaitu
mempengaruhi sistem saraf, menghambat produksi energi,
mempengaruhi sistem endokrin, menghambat produksi kutikula, dan
menghambat keseimbangan air.
31
2) Mode of entry adalah cara insektisida masuk kedalam tubuh serangga,
dapat melalui kutikula (racun kontak), alat perncernaan (racun perut),
atau lubang pernafasan (racun pernafasan) (Kementrian Kesehatan RI,
2012).
Menurut Martono (2004), insektisida dapat masuk ke dalam tubuh
serangga dengan berbagai cara antara lain:
a) sebagai racun perut (stomach poison) yang masuk ke dalam tubuh
serangga melalui alat pencernaan serangga,
b) racun kontak (contact poisoning) yang masuk melalui kulit atau
dinding tubuh,
c) dan terakhir sebagai fumigan atau racun pernafasan yang masuk ke
dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan.
penyebab kematian dapat dilihat salah satunya akibat pengaruh enzim
papain yang berada pada larutan daun pepaya. Enzim papain merupakan
racun kontak yang masuk ke dalam tubuh hama melalui lubang-lubang
alami dari tubuhnya. Setelah masuk, racun akan menyebar ke seluruh tubuh
dan menyerang sistem saraf sehingga dapat mengganggu aktivitas hama.
Enzim papain juga dapat bekerja sebagai enzim protease yang dapat
menyerang dan melarutkan komponen penyusun kutikula serangga
(Trizelia, 2001).
Menurut Metcalf dan Flint (1983), racun kontak merupakan pestisida
yang membunuh serangga dengan cara kontak langsung dan masuk ke
dalam tubuh serangga melalui integument (kulit serangga) ke pembuluh
darah atau dengan cara mempenetrasi sistem pernafasan serangga melalui
spirakel-spirakel menuju trakea. Kutikel dari serangga memiliki sifat
penyerapan yang sangat efektif untuk racun kontak sehingga dosis yang
diberikan dari luar hampir sama efek racunnya dengan dosis yang
diinjeksikan dari rongga tubuh.
Enzim papain yang masuk ke dalam trakea kemudian menyebar dan
mengganggu kinerja system saraf dari serangga hama. Saraf pada serangga
terdiri dari satuan fungsional berupa sensoris, internunsial (penghubung
32
sensoris) dan motor. Serangga juga memiliki system saraf pusat yang
terdapat pada otak dimana berperan sebagai pusat – pusat koordinasi dari
aktivitas serangga yang mencakup seluruh tubuh (Borror , et al, 1992).
Bagian dari sistem saraf pada serangga ini yang diserang oleh enzim papain
sehingga mengganggu aktivitas dari lalat.
33
C. Kerangka Teori
Gambar II.7 Kerangka Teori
Pola Hidup Kurang Baik
Ketersediaan Makanan
Pengelolahan Sampah
Sanitasi Rumah
Suhu dan Kelembaban
Metode Pengendalian
Insektisida Nabati dan
Kimiawi
Populasi Lalat
Kematian Lalat
Rumah (Musca
domestica)