bab ii tinjauan teori a. penelitian...

28
7 BAB II TINJAUAN TEORI A. Penelitian Terdahulu 1. Handi Setiawan, Anak Agung Oka Tahun 2015 berjudul : “Pengaruh Variasi Dosis Larutan Daun Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Mortalitas Hama Kutu Daun (Aphis craccivora) pada Tanaman Kacang Panjang (Vignasinensis L.) Sebagai Sumber Belajar BiologiBerdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh variasi dosis larutan daun pepaya terhadap mortalitas kutu daun pada tanaman kacang panjang, dengan deskripsi data dari rerata mortalitas kutu daun, serta dari hasil pengujian hipotesis menunjukan ada pengaruh yang sangat signifikan dari tiap-tiap perlakuan baik pada perlakuan pertama dosis 15gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan, perlakuan kedua dosis 20gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan, perlakuan ketiga dosis 25gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan, perlakuan keempat 30gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan dan perlakuan terakhir dengan dosis 35gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis 35gr/L merupakan dosis yang mempunyai tinggkat mortalitas terbesar selama 24 jam dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan. Ditunjukkan dengan kutu daun yang mengalami mortalitas dengan jumlah 23 ekor selama pengamatan kutu daun. Sedangkan pada perlakuan dosis 15gr/L merupan dosis yang mempunyai tingkat persentase mortalitas terendah selama selama 24 jam dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah pada penelitian terdahulu insektisida nabati yang terbuat dari larutan daun

Upload: others

Post on 30-Dec-2019

10 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

1. Handi Setiawan, Anak Agung Oka Tahun 2015 berjudul :

“Pengaruh Variasi Dosis Larutan Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Terhadap Mortalitas Hama Kutu Daun (Aphis craccivora) pada Tanaman

Kacang Panjang (Vignasinensis L.) Sebagai Sumber Belajar Biologi“

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh variasi dosis larutan

daun pepaya terhadap mortalitas kutu daun pada tanaman kacang panjang,

dengan deskripsi data dari rerata mortalitas kutu daun, serta dari hasil

pengujian hipotesis menunjukan ada pengaruh yang sangat signifikan dari

tiap-tiap perlakuan baik pada perlakuan pertama dosis 15gr/L selama 24 jam

setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan, perlakuan

kedua dosis 20gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan

dengan 5 pengulangan, perlakuan ketiga dosis 25gr/L selama 24 jam setelah

aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan, perlakuan

keempat 30gr/L selama 24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan

dengan 5 pengulangan dan perlakuan terakhir dengan dosis 35gr/L selama

24 jam setelah aplikasi dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis

35gr/L merupakan dosis yang mempunyai tinggkat mortalitas terbesar

selama 24 jam dalam 1 kali pengamatan dengan 5 pengulangan.

Ditunjukkan dengan kutu daun yang mengalami mortalitas dengan jumlah

23 ekor selama pengamatan kutu daun. Sedangkan pada perlakuan dosis

15gr/L merupan dosis yang mempunyai tingkat persentase mortalitas

terendah selama selama 24 jam dalam 1 kali pengamatan dengan 5

pengulangan.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah

pada penelitian terdahulu insektisida nabati yang terbuat dari larutan daun

8

pepaya digunakan dalam membunuh kutu daun Aphis craccivora sementara

pada penelitian ini dilakukan pada Lalat Rumah (Musca domestica).

2. Vina Yuliana, Yamtana, dan Abdul Hadi Kadurusno, Tahun 2016

berjudul :

“Aplikasi Penyemprotan Daun Kamboja (Plumeria acuminata)

Terhadap Kematian Lalat Rumah (Musca domestica)”

Konsentrasi perasan daun kamboja yang digunakan yaitu 40%, 50%,

60% dan kontrol (0%). Hasil dari 6 kali pengulangan menunjukkan bahwa

rata-rata jumlah kematian lalat rumah (Musca domestica) konsentrasi 40%

sebesar 5 ekor, konsentrasi 50% sebesar 10 ekor dan konsentrasi 60%

sebesar 15 ekor. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi kematian

atau persentase kematian 0% maka tidak dikoreksi dengan rumus Abbot.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah kematian lalat rumah yang

terbanyak pada konsentrasi 60% sedangkan jumlah kematian lalat rumah

(Musca domestica) yang paling sedikit pada konsentrasi 40%. Jumlah

kematian lalat rumah (Musca domestica) pada kelompok perlakuan dari

ketiga konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi perasan

daun kamboja (Plumeria acuminata) yang disemprotkan, maka semakin

tinggi pula jumlah kematian lalatnya. Hal ini disebabkan karena semakin

tinggi konsentrasi perasan daun kamboja maka akan semakin banyak bahan

aktif yang terkandung di dalamnya.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah

pada penelitian terdahulu insektisida nabati yang digunakan terbuat dari

perasan daun kamboja sedangkan pada penelitian ini menggunakan larutan

daun pepaya.

9

Tabel II.1

Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu

No

Judul

Penelitian/Penel

iti

Lokasi Subyek

Penelitian

Variabel

Bebas

Variabel

Terikat

Metode

Sampling

Jenis dan

Desain

Penelitian

1 Pengaruh

Variasi Dosis

Larutan Daun

Pepaya (Carica

papaya L.)

Terhadap

Mortalitas

Hama Kutu

Daun (Aphis

craccivora)

pada Tanaman

Kacang Panjang

(Vignasinensis

L.) Sebagai

Sumber Belajar

Biologi

-

150 ekor

kutu daun

yang

diambil/

ditangkap

di alam

bebas

Dosis

larutan daun

pepaya yang

digunakan

yaitu dosis

0gr/L

sebagai

kontrol,

dosis 15gr/L,

dosis 20gr/L,

dosis 25gr/L,

dosis 30gr/L,

dan 35gr/L

kutu daun

(Aphis

craccivora)

Metode

rancangan

acak

lengkap

Pra

Eksperimen

2 Aplikasi

Penyemprotan

Daun Kamboja

(Plumeria

acuminata)

Terhadap

Kematian Lalat

Rumah (Musca

domestica)

Laboratorium

Vektor, Jurusan

Kesehatan

Lingkungan,

Politeknik

Kesehatan

Kemenkes

Yogyakarta

480 ekor

lalat rumah

yang

diambil/

ditangkap

di alam

bebas

Konsentrasi

daun

kamboja

yang

digunakan

yaitu 40%,

50% dan

60%

Lalat

Rumah

(Musca

domestica)

Simple

Random

Sampling

Pra

Eksperimen

3 Uji Perbedaan

Konsentrasi

Daun Pepaya

(Carica papaya

L.) Sebagai

Insektisida

Nabati Terhadap

Kematian Lalat

Rumah (Musca

domestica)

Laboratorium

Entomologi

Kesehatan

Lingkungan

Kampus

Magetan

Satu jenis

lalat rumah

yang

ditangkap

dari TPA

(Tempat

Pembuang

an Akhir)

Milangasri

Magetan

sejumlah

600 ekor

Variasi

Konsentrasi

Larutan

kadar

rendaman

daun

pepaya70%,

80%, 90%

dan 100%

Lalat

Rumah

(Musca

domestica)

Simple

Random

Sampling

Jenis

Penelitian:

Pra

Eksperimen

Desain

Penelitian:

The One

Shot Case

Study

10

B. Studi Pustaka

1. Lalat Rumah (Musca domestica)

Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) yang termasuk ordo

Dipthera, yaitu insekta yang mempunyai sepasang sayap berbentuk

membran. Lalat mempunyai sifat kosmopolitan, artinya kehidupan lalat

dijumpai merata hampir diseluruh permukaan bumi. Diperkirakan diseluruh

dunia terdapat lebih kurang 85.000 jenis lalat, tetapi semua jenis lalat

terdapat di Indonesia. Jenis lalat yang paling banyak merugikan manusia

adalah jenis lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau (Lucilia sertica),

lalat biru (Calliphora vomituria) dan lalat latrine (Fannia canicularis). Lalat

juga merupakan species yang berperan dalam masalah kesehatan

masyarakat yaitu sebagai vektor penularan penyakit saluran pencernaan.

Vektor adalah arthropoda yang dapat memindahkan atau menularkan agent

infection dari sumber infeksi kepada host yang rentan

(Kusnoputranto, 2000).

a. Klasifikasi Ilmiah Lalat Rumah (Musca domestica)

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Invertebrata

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Hexapoda

Class : Insecta

Subclass : Pterygota

Order : Diptera

Suborder : Cyclorrhapha

Family : Muscidae

Subfamily : Muscinae

Genus : Musca Species : Musca domestica

b. Morfologi lalat Rumah

Lalat ini berukuran sedang, panjang 6-8 mm. Berwarna hitam keabu-

abuan dengan empat jari memanjang gelap pada bagian dorsal toraks dan

satu garis hitam medial pada abdomen dorsal. Mata pada betina memiliki

celah yang lebih besar dari pada lalat jantan. Antenanya terdiri dari tiga ruas,

ruas terakhir paling besar bentuk silinder dan dilengkapi dengan arista yang

11

memiliki bulu pada bagian atas dan bawah. Bagian proboscis lalat

disesuaikan dengan fungsinya untuk menyerap dan menjilat makanan

berupa cairan tidak bisa untuk menusuk atau menggigit. Ketika lalat tidak

makan, sebagian mulutnya ditarik masuk ke dalam selubung, tetapi ketika

sedang makan akan dijulurkan ke arah bawah. Bagian ujung proboscis

terdiri atas sepasang labella berbentuk oval yang dilengkapi dengan saluran

halus disebut psedotrakhea tempat cairan makanan diserap. Sayapnya

memiliki vena 4 yang melengkung tajam ke arah kosta mendekati vena 3.

Ketiga pasang kaki lalat ini ujungnya mempunyai sepasang kuku dan

sepasang bantalan disebut pulvilus yang berisi kelenjar rambut. Bantalan

rambut lengket ini yang membuat lalat dapat menempel pada permukaan

halus dan mengambil kotoran dan patogen ketika mengunjungi sampah dan

tempat kotor lainnya. (Maryantuti, 2007).

Lalat Rumah (Musca domestic)

Keterangan Gambar :

A. Tarsus

B. Antena

C. Thorax

D. Mata

E. Sayap

Gambar II.1 Lalat Rumah (Musca domestica)

(Sumber : http://abybiologi.blogspot.co.id )

c. Siklus Hidup Lalat Rumah (Musca domestica)

Lalat ini mempunyai metamorfosis lengkap (complete metamorfosis

holometabolous) mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa. Perkembangan

dari telur sampai dewasa memerlukan waktu 7-21 hari. Pada temperatur 25-

35ºC telur menetas dalam kurun waktu 8-12 jam. Telur akan menetas dan

berkembang menjadi larva dalam waktu 3-7 hari tergantung suhu

lingkungan.

12

Larva instar 1 mempunyai panjang 2 mm, stadia ini berlangsung

selama 24-36 jam tergantung temperatur dan tempat yang cocok. Larva

instar 2 berlangsung selama 24 jam pada temperatur 25-35ºC, yang

kemudian dilanjutkan dengan instar 3 yang berlangsung selama 3-4 hari

pada temperatur 35ºC dengan ukuran 12 mm. Segera setelah stadia larva

selesai, larva bermigrasi ke daerah yang lebih kering untuk menjadi pupa

dan setelah mengalami 3 kali pergantian kulit, larva akan berkembang

menjadi pupa. Stadia pupa berlangsung antara 3-26 hari tergantung

temperatur lingkungan dan akhirnya segera berkembang menjadi lalat

dewasa.

Gambar II.2 Siklus Hidup Lalat Rumah (Musca domestica) (Sumber : Hastutiek, 2007)

1) Fase Telur

Setelah proses perkawinan, lalat betina akan meletakkan telur-telur

di tempat-tempat yang sesuai tergantung pada jenisnya. Lalat betina

umumnya telah dapat menghasilkan telur pada usia 4-20 hari setelah

dewasa. Telur yang dihasilkannya berbentuk oval, berwarna putih,

berukuran sekitar 10 mm dan biasanya mengelompok, sebanyak 75

sampai 150 telur setiap kelompoknya. Jika tersedia panas yang

dibutuhkan, maka dalam tempo 12-24 jam telur akan menetas dan

menghasilkan tempayak (larva). Setelah memperoleh tempat yang

sesuai, seperti tempat yang kotor, bangkai, benda-benda yang

13

permukaanya gelap, induk betina mampu memproduksi lima sampai

enam tumpukan telur dalam beberapa hari.

Pada lalat buah, induk betina meletakkan telur-telurnya di dalam

buah yang sedang berkembang, sedang lalat rumah biasa meletakkan

telur-telurnya di tempat-tempat yang kotor seperti bangkai atau

tumpukkan sampah.

Gambar II.3 Telur Lalat Rumah (Musca domestica)

(Sumber : Macro, 2009)

2) Fase Larva

Ukuran larva kurang lebih 1mm setelah 4-5 hari pada suhu 30 °C

melewati tiga fase instar, larva instar I dn II berwarna putih, sedang larva

instar III berwarna kekuningan. Larva memiliki sepasang spirakle

posterior yang jelas dan memakan barteri, dan bahan-bahan

dekompoosisi. Larva awalnya menyukai suhu dan kelembaban tinggi

tetapi menghindari cahaya. Sebelum menjadi pupa larva berhenti makan

dan pindah ketempat yang lebih kering dan dingin. Larva ini mudah

terbunuh pada temperatur 73 °C (Sucipto, 2011).

Larva lalat mengalami pergantian kulit sampai dua atau tiga atau

lebih tergantung pada jenisnya. Pertumbuhan larva sangat cepat, dalam

waktu kurang dari dua hari, ukuran tubuhnya dapat bertambah dua kali

lipat dibanding ukuran awal, pada saat inilah mereka akan mengganti

kulitnya (molting). Stadium ini terdiri dari 3 tahap atau tingkatan, yaitu :

14

a) Tahap pertama

Larva yang baru menetas, disebut instar I, berukuran panjang 2

mm, bewarna putih, tidak bermata dan berkaki, amat aktif dan

ganas terhadap makanan, setelah 1-4 hari melepas kulit dan

menjadi instar II.

b) Tahap kedua

Ukuran besarnya dua kali dari instar I, sesudah satu sampai

beberapa hari, kulit mengelupas dan keluar instar III.

c) Tahap ketiga

Larva berukuran 12 mm atau lebih, tingkat ini memakan waktu 3

sampai 9 hari. Larva diletakkan pada tempat yang disukai dengan

temperature 30-35 oC dan dalam waktu antara 4 sampai 17 hari

akan berubah menjadi kepompong.

Gambar II.4 Larva Lalat Rumah (Musca domestica)

(Sumber : Wita Purwati, 2010)

3) Fase Pupa

Setelah berganti kulit sampai beberapa kali, selanjutnya larva akan

menjadi pupa. Larva-larva berigrasi mencari tempat yang gelap untuk

berubah menjadi pupa. Pupa lalat memiliki struktur yang mirip dengan

pupa kupu-kupu. Pupa dilindungi oleh eksoskleton yang mengeras,

berwarna kecoklatan, yang disebut dengan kokon. Pupa tidak aktif

melakukan aktivitas (makan), namun di dalam tubuhnya terjadi proses

metabolisme yang sangat aktif dalam pembentukan bentuk lalat yang

15

memerlukan energi sangat banyak. Ketika terjadi pupasi, kulit larva

mengkerut dan membentuk puparium seperti peluru dengan

mengembangkan kantong berisi darah ke depan kepala. Lama stadium

pupa 2-8 hari atau tergantug dari temperatur setempat, bentuknya bulat

lonjong dengan warnah coklat hitam. Stadium ini kurang bergerak

bahkan tidak bergerak sama sekali. Panjangnya kurang lebih ± 5 mm

mempunyai selaput luar disebut posterior spirakle yang berguna untuk

menentukan jenisnya. (Sucipto, 2011).

Gambar II.5 Pupa Lalat Rumah (Musca domestica)

(Sumber : Fuzi Maulana A, 2012)

4) Lalat Dewasa

Lalat muda, awalnya lalat tampak lunak, pucat abu-abu dan tanpa

sayap. Setelah istirahat, sayap dikembangkan dan kutikula mengeras

serta warnanya gelap, lalat muda mencari makan setelah sayapnya

mengembang selama waktu 2-24 jam setelah muncul dari pupa.

(Sucipto,2011).

Proses pematangan menjadi lalat dewasa kurang lebih 15 jam dan

setelah itu siap untuk mengadakan perkawinan. Seluruh waktu yang

diperlukan 7-22 hari, tergantung pada suhu setempat, kelembaban dan

makanan yang tersedia. Umur lalat dewasa dapat mencapai 2-4 minggu.

(Habu, 2015). sedangkan umur pada lalat dewasa termasuk pendek yaitu

sekitar 2-3 minggu, hal ini dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban

tempat dan sumber makanan yang dapat diperoleh. Adapun perbedaan

pada lalat jantan dan lalat betina. Berikut adalah perbedaannya:

16

a) Ukuran

Ukuran lalat jantan cenderung lebih kecil dibandingkan lalat

betina.

b) Sayap

Pada lalat betina memiliki sayap yang lebih panjang dibandingkan

dengan lalat jantan.

c) Abdomen

Pada lalat jantan terdapat 3 ruas abdomen, sedangkan pada lalat

betina terdapat 6 ruas abdomen. Jika pada lalat betina ujung

abdomennya runcing, maka pada lalat jantan ujung abdomennya

tumpul dan lebih hitam.

d) Sex comb

Pada lalat betina tidak memiliki sisir kelamin (sex comb),

sedangkan pada lalat jantan terdapat sisir kelamin yang ditemukan

di kaki yang terdapat rambut-rambutnya.

Gambar II.6 Lalat Rumah (Musca domestica)

(Sumber : Amell, 2015)

d. Bionomik Lalat Rumah (Musca domestica)

1) Tempat Bertelur (Habitat places)

Kebiasan Lalat rumah bisa membiak di setiap medium yang terdiri

dari zat organik yang lembab dan hangat dapat memberi makan pada larva-

larvanya. Medium pembiakan yang disukai ialah kotoran kuda, kotoran babi

dan kotoran burung. Yang kurang disukai ialah kotoran sapi. Lalat rumah

17

juga membiak di fases manusia dan karena feses manusia ini juga

mengandung organisme patogen maka ia merupakan medium pembiakan

yang paling berbahaya. Selain itu sampah yang ditumpuk di tempat terbuka

karena mengandung zat-zat organik merupakan medium pembiakan lalat

rumah yang penting. Sebelum meletakkan telur, lalat biasanya melakukan

orientasi terlebih dahulu dengan mencari media yang cocok untuk bertelur

demi kelangsungan hidupnya. Lalat memiliki bagian yang sangat peka yaitu

tarsi yang terletak pada bagian kepala dan thorax karena adanya

kemoreseptor atau sensilia olfaktori yang berpori sehingga dapat

mendeteksi aroma yang tidak disenangi. Pada umumnya serangga memiliki

dendrit atau bagian cabang neuron yang berfungsi menerima rangsangan

pada bagian ujung yang tidak terlindung (Indriasih, 2015).

2) Jangkauan Terbang

Lalat rumah bisa terbang jauh dan bisa mencapai jarak 15 km dalam

waktu 24 jam. Sebagian besar tetap berada dalam jarak 1,5 km di sekitar

tempat pembiakannya, tetapi beberapa bisa sampai sejauh 50 km. Lalat

dewasa hidup 2-4 minggu pada musim panas dan lebih lama pada musim

dingin. Mereka melampaui musim dingin (over wintering) sebagai lalat

dewasa, dan berkembang biak di tempat-tempat yang relatif terlindung

seperti kandang ternak dan gudang-gudang (Husain, 2014).

3) Tempat Istirahat

Dalam memilih tempat istirahat (resting place), lalat lebih menyukai

tempat yang tidak berangin, tetapi sejuk, dan kalau malam hari sering

hinggap di semak-semak di luar tempat tinggal. Lalat beristirahat pada lantai,

dinding, langit-langit, jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan

lain-lain serta sangat disukai tempat-tempat dengan tepi tajam yang

permukaannya vertikal. Tempat istirahat tersebut biasanya dekat dengan

tempat makannya dan tidak lebih dari 4,5 meter di atas permukaan tanah

(Husain, 2014).

18

4) Kebiasaan makan

Lalat memakan makanan yang dimakan oleh manusia sehari-hari,

seperti gula, susu dan makanan lainnya, kotoran manusia serta darah. Bentuk

makanannya cair atau makanan yang basah, sedang makanan yang kering

dibasahi oleh ludahnya terlebih dulu, baru diisap (Habu, 2015).

5) Lama Hidup

Pada musim panas, usia lalat berkisar antara 2-4 minggu, sedang pada

musim dingin bisa mencapai 70 hari. Tanpa air lalat tidak dapat hidup lebih

dari 46 jam. Sehingga lama hidup lalat pada umumnya berkisar antara 2-70

hari. (Husain, 2014).

6) Temperatur dan kelembaban

Lalat mulai terbang pada temperatur 15 °C dan aktifitas optimumnya

pada temperatur 21 °C. Pada temperatur di bawah 7,5 °C tidak aktif dan di

atas 45 °C terjadi kematian pada lalat. Kelembaban erat hubungannya dengan

temperatur setempat. Kelembaban berbanding terbalik dengan temperatur.

Jumlah lalat pada musih hujan lebih banyak dari pada musim panas. Lalat

sangat sensitif terhadap angin yang kencang, sehingga kurang aktif untuk

keluar mencari makanan pada waktu kecepatan angin (Husain, 2014).

e. Lalat Rumah (Musca dosmetica) sebagai Vektor Penyakit

Lalat rumah (Musca domestica) bertindak sebagai vektor penyakit,

artinya lalat ini bersifat pembawa/memindahkan penyakit dari satu tempat

ke tempat lain. Terdapat dua macam vektor yaitu vektor mekanis dan vektor

biologis. Disebut vektor mekanis apabila agen penyakit di dalam tubuh

vektor tidak mengalami perubahan. Sedangkan bila agen penyakit

pengalami perubahan (bertambah banyak, berubah siklus atau keduanya) di

dalam tubuh vektor disebut sebagai vektor biologis.

Lalat rumah (Musca domestica) bukan merupakan parasit obligat

tetapi merupakan vektor yang penting dalam penyebaran agen penyebab

penyakit. Disamping itu juga dapat menyebabkan myiasis atau

memperparah keadaan luka pada jaringan akibat infestasi lalat.

19

Lalat rumah (Musca domestica) adalah spesies lalat yang banyak

berperan sebagai vektor mekanis pada beberapa penyakit. Menurut Arroyo

(1998), seekor lalat (Musca domestica) dapat membawa sekitar lebih dari

100 macam organisme patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada

manusia dan hewan (Hastutiek, 2007).

Selama ini lalat rumah dikenal hanya dapat menyebabkan penyakit

secara tidak langsung karena perannya sebagai vektor mekanik atau

perantara berbagai penyakit. lalat berkembang biak pada media berupa tinja

atau feses, karkas, sampah, kotoran hewan dan limbah buangan yang banyak

mengandung agen penyakit, dengan demikian lalat mudah tercemari oleh

agen penyakit baik di dalam perut, bagian mulut dan kaki. Kontaminasi

terjadi pada bagian mulut atau bagian tubuh lalat yang lain seperti kaki,

ketika lalat tersebut makan feses yang mengandung agen penyakit,

kemudian terbang dan hinggap pada makanan sehat sambil memindahkan

agen penyebab penyakit (Sigit, et al, 2006). Transmisi mekanis patogen

biasanya harus terjadi dalam beberapa jam agar dapat dengan efektif

menginfeksi karena daya tahan sebagian agen penyebab penyakit ketika

berada dalam vektor pembawa sangat singkat (Williams, 1985).

Patogen ditularkan oleh lalat rumah (Musca domestica) ke manusia

saat lalat hinggap pada makanan dan melakukan regurgitasi (vomit drops)

yang secara alami dilakukan sebelum dan selama menelan makanan untuk

membantu makannya serta defikasi (Sigit, et al, 2006). Eskreta dari

regurgitasi dan defekasi inilah yang mengandung agen penyakit. Lalat ini

bukan pemakan darah, tetapi dapat mengikuti lalat penghisap darah, makan

darah yang busuk dan cairan jaringan. Agen penyakit berpindah dari feses

atau ludah pada kutikula dan probosis lalat ke manusia/ hewan akibat

perilaku yang dikenal dengan istilah regurgitasi. Bibit penyakit dipindahkan

melalui rambutrambut yang terdapat pada kaki dan badan serta bagian mulut

dari lalat (Fotedar, 2000). Kebiasaan terbang kemudian pergi dan kembali

lagi dari feses ke makanan sangat memungkinkan untuk terjadinya proses

penularan penyakit.

20

Penyakit lambung dan usus (enterogastrik) pada manusia seperti

bacillary disentri, salmonellosis (thypoid, parathypoid fever), enteritis,

keracunan makanan dan cholera juga ditularkan oleh lalat rumah. Pada

beberapa kasus, lalat rumah juga bertindak sebagai vektor penyakit kulit

seperti lepra dan yaws (frambusi atau patek) juga vektor untuk wabah sakit

mata (epidemic conjunctivitis).

Musca domestica juga dilaporkan dapat membawa kista dari

berbagai protozoa seperti Entamoeba histolytica, E. coli, Giardia

intestinalis, Sarcocystis sp, Toxoplasma gondii, Isospora, Trichomonas sp

dan beberapa telur cacing diantaranya cacing jarum atau cacing kremi

(Enterobius vermicularis), cacing gilik (Ascaris lumbricoides) cacing kait

(Ancylostoma dan Necator), cacing pita (Taenia, Dipylidium caninum),

cacing cambuk (Trichuris trichiura) (Sigit, et al, 2006).

2. Pengendalian Lalat

Pengendalian vektor terpadu menurut WHO, 2004 adalah

pemanfaatan semua teknologi dan teknik manajerial yang sesuai untuk

menekan vektor secara efektif dan efisien. Semua teknologi itu berarti cara

kimia, cara hayati, dan cara pengelolaan lingkungan.

Pengendalian nonkimiawi adalah mencegah pertambahan populasi

lalat, yang utama adalah dengan menjaga sanitasi (kebersihan) lingkungan

dan diikuti dengan menutup semua akses masuknya lalat ke dalam

bangunan dengan pemasangan kawat (kasa) nyamuk, tirai plastik atau tirai

angin di pintu-pintu utama bangunan, pemasangan perangkap cahaya (Ultra

Violet) dan perangkap daya tarik ("attractant" / "pheromone") di dalam dan

sekeliling bangunan serta dianjurkan memasang perangkap rekat ("glue

trap") di area luar bangunan.

Pengendalian kimiawi adalah cara-cara dengan menggunakan racun

serangga (insektisida) untuk membunuh larva lalat (belatung) di tempat

penimbunan sampah organik atau di tempat perkembangbiakan lalat, dan

juga membunuh lalat dewasa dengan cara penyemprotan residu di tempat

21

lalat dewasa hinggap. Pengasapan ("fogging") atau pengkabutan ("cold

aerosol") juga dapat dilakukan pada saat-saat lalat aktif terbang dipagi atau

sore hari.

Dari semua cara pengendalian di atas tidak ada satu pun yang efektif

sehingga dilakukan kombinasi dari beberapa cara tersebut. Karena itu

konsep pengendalian terpadu dengan melibatkan semua cara dapat

diterapkan dengan situasi dan kondisi biologis, bionomis, ekologis

vektornya serta mempertimbangkan keuntungan dan kerugian baik dari segi

biaya maupun pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan hidup

(Soegijanto, 2006).

3. Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)

a. Klasifikasi dan morfologi pepaya (Carica papaya L.)

Pepaya merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Tengah.

Pepaya dapat tumbuh dengan baik di daerah yang beriklim tropis. Tanaman

pepaya oleh para pedagang Spanyol disebarluaskan ke berbagai penjuru

dunia. Negara penghasil pepaya antara lain Costa Rica, Republik Dominika,

Puerto Riko, dan lain-lain. Brazil, India, dan Indonesia merupakan

penghasil pepaya yang cukup besar (Warisno, 2003).

Tumbuhan pepaya biasanya tumbuh di daerah India Utara, Filipina,

Srilanka, India, Bangladesh, Malaysia, dan di negara tropical. Banyak sekali

bagian dari pepaya yang bernilai komersial. Bagian berbeda dari tumbuhan

pepaya (buah, daun, getah, dan biji) bisa dimakan dan bisa dijadikan obat

untuk berbagai penyakit. Dalam beberapa studi, daun pepaya terbukti

sebagai antisikling, dan efektif melawan ulcer gastrik pada tikus, sedangkan

bunga pepaya terbukti memiliki aktivitas antibakteri (Halim, et al, 2011)

Kedudukan taksonomi tanaman pepaya dalam Suprapti (2005) adalah

sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Kelas : Angiospermae

Bangsa : Caricales

22

Suku : Caricaceae

Marga : Carica

Jenis : Carica papaya L.

Tanaman papaya merupakan tanaman yang banyak diteliti saat ini

karena hampir seluruh bagian tanamannya dapat dimanfaatkan baik daun,

getah, biji, akar, batang, dan buahnya.Tanaman papaya merupakan tanaman

suku Caricaceae marga Carica yang merupakan herba berasal dari Amerika

tropis dan cocok juga untuk ditanam di Indonesia. Bentuk daunnya

majemuk dan menjari, buahnya buni berwarna kuning sampai jingga dengan

daging buah lunak dan berair, jenis bunga pada tanaman papaya adalah

bunga jantan saja, betina saja, atau hemafrodit, memiliki saluran getah pada

batang (Tjitrosoepomo, 2005).

Bentuk dan susunan tubuh bagian luar tanaman pepaya termasuk

tumbuhan perdu yang umur sampai berbunganya dikelompokkan sebagai

tanaman buah-buahan semusim, namun dapat tumbuh setahun atau lebih.

Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang yang

tumbuh mendatar ke semua arah pada kedalaman 1 meter atau lebih dan

menyebar sekitar 60-150 cm atau lebih dari pusat batang tanaman

(Rukmana, 1995).

Batang (caulis) merupakan bagian yang penting untuk tempat

tumbuh tangkai daun dan tangkai buah. Bentuk batang pada tanaman pepaya

yaitu berbentuk bulat, dengan permukaan batang yang memperlihatkan

berkas-berkas tangkai daun. Arah tumbuh batang yaitu tegak lurus yaitu

arahnya lurus ke atas. Permukaan batang tanaman pepaya yaitu licin.

Batangnya berongga, umumnya tidak bercabang atau bercabang sedikit, dan

tingginya dapat mencapai 5-10 m (Tyas, 2008).

Daun (folium) merupakan tumbuhan yang penting dan umumnya

tiap tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun. Tyas (2008) mengatakan

bahwa daun pepaya merupakan daun tunggal, berukuran besar, menjari,

bergerigi dan juga mempunyai bagian-bagian tangkai daun dan helaian daun

(lamina). Daun pepayamempunyai bangun bulat atau bundar, ujung daun

23

yang lancip, tangkai daun panjang dan berongga. Permukaan daun licin

sedikit mengkilat. Dilihat dari susunan tulang daunnya, daun pepaya

termasuk daun-daun yang bertulang menjari.

b. Kandungan Kimia Dari Daun Pepaya (Carica papaya)

Daun pepaya mengandung sejumlah komponen aktif yang dapat

meningkatkan kekuatan total antioksidan di dalam darah dan menurunkan

level perooxidation level, seperti papain, chymopapain, cystatin, α-

tocopherol, ascorbic acid, flavonoid, cyanogenic glucosides dan

glucosinolates (Seigler, 2002). Dan Kandungan kimia lain yang terdapat

dalam daun pepaya seperti flavonoid, tanin, saponin, steroid, dan alkaloid

berfungsi sebagai insektisida alami dan racun serangga (Cahyati, 2017).

Tabel II.2

Kandungan Kimia dari Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Konstitusi Bioassay

Daun Hijau Daun Kuning Daun Coklat

Saponin + + +

Tannins - - -

Cardiac glycoside + + +

Alkaloid + + +

Sumber: Ayoola dan Adeyeye (2010)

Tabel II.3

Kandungan Biochemical Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Bahan Aktif Kandungan (ppm)

Alkaloid 1.300-4.000

Flavonoid 0-2.000

Tannin 5.000-6.000

Dehydrocarpaine 1000

Dehydrocarpaine 100

Sumber : Cornell University (2009)

24

1) Flavonoid

Flavonoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat

racun/aleopati, merupakan persenyawaan dari gula yang terikat dengan

flavon. Flavonoid mempunyai sifat khas yaitu bau yang sangat tajam,

rasanya pahit, dapat larut dalam air dan pelarut organik, serta mudah terurai

pada temperatur tinggi (Suyanto, 2009). Flavonoid merupakan senyawa

pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga

dan juga bersifat toksik. Flavonoid punya sejumlah kegunaan. Pertama,

terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuhan, pengatur

fotosintesis, kerja antimiroba dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu

sebagai antibiotik terhadap penyakit kanker dan ginjal, menghambat

perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik serangga

untuk melakukan penyerbukan. Keempat, kegunaan lainnya adalah sebagai

bahan aktif dalam pembuatan insektisida nabati (Dinata, 2009).

2) Enzim Papain

Enzim papain merupakan racun kontak yang masuk ke dalam tubuh

hama melalui lubang-lubang alami dari tubuhnya. Setelah masuk, racun

akan menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang sistem saraf sehingga

dapat mengganggu aktivitas hama. Enzim papain juga dapat bekerja

sebagai enzim protease yang dapat menyerang dan melarutkan komponen

penyusun kutikula serangga (Trizelia, 2001).

3) Saponin

Saponin dapat menghambat kerja enzim proteolitik yang

menyebabkan penurunan aktivitas enzim pencernaan dan penggunanaan

protein (Suparjo, 2008)

Saponin terdapat pada seluruh bagian tanaman pepaya seperti akar,

daun, batang, dan bunga. Senyawa aktif pada saponin berkemampuan

membentuk busa jika dikocok dengan air dan menghasilkan rasa pahit yang

dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga dapat merusak membran

sel serangga (Mulyana, 2002).

25

4) Tanin

Tanin merupakan salah satu senyawa yang termasuk ke dalam

golongan polifenol yang terdapat dalam tanaman pepaya. Mekanisme kerja

senyawa tanin adalah dengan mengaktifkan sistem lisis sel karena aktifnya

enzim proteolitik pada sel tubuh serangga yang terpapar tanin (Harborne ,

1987).

Senyawa kompleks yang dihasilkan dari interaksi tanin bersifat

racun atau toksik yang dapat berperan dalam menghambat pertumbuhan

dan mengurangi nafsu makan serangga melalui penghambatan aktivitas

enzim pencernaan. Tanin mempunyai rasa yang sepat dan memiliki

kemampuan menyamak kulit. Umumnya tumbuhan yang mengandung

tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat

(Harborne, 1987).

4. Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang

dapat membunuh serangga (Alfiah, 2013). Insektisida salah satu dari jenis

pestisida selain jenis fungisida, rodentisida, herbisida, nematisida,

bakterisida, virusida, acorisida, mitiusida, lamprisida dan lain-lain.

a. Bentuk Insektisida terdiri dari empat golongan sebagai berikut :

1) Dust (Serbuk) berkode “D

Dapat ditaburkan pada tanaman yang terserang hama atau

dilarutkan dalam air untuk selanjutnya dimanfaatkan dalam

penyemprotan-penyemprotan.

2) Emulsion Concentrated (Cairan) berkode “EC”

Dibuat secara cairan yang dilarutkan dalam sejenis minyak.

Penggunaannya harus dilarutkan dalam air agar tercapai

kepekatan tertentu sesuai dengan kebutuhan/keperluan.

3) Granular (butiran) berkode”G”

Digunakan dengan menaburkan diatas larikan-larikan atnah atau

pada atanhsekitar tanaman, kemudian ditutup atau ditimbuni

26

tanah. Pada waktu terjadinya hujan atau waktu dilakukan

penyiraman, butiran ini akan hancur dan meresap kedalam tanah

sehingga hama akan terbasmi.

4) Fumigan (gas/asap) berkode “F

Digunakan dalam penyemprotan atau fumigasi untuk membasmi

hama tanaman misalnya BHC, Methylbromida dan lain-lain

(Siregar, 2008).

b. Jenis-jenis Insektisida

1) Insektisida Sintetik

Penggunaan insektisida ditujukan untuk mengendalikan

populasi vektor, sehingga diharapkan penularan penyakit dapat

ditekan seminimal mungkin. Pengendalian kimia yang dapat

dilakukan diantaranya adalah dengan penggunaan repellent,

insektisida untuk penyemprotan (spray, fogging) untuk vektor

dewasa, larvasida untuk pengendalian larva. Insektisida sintetik

yang digunakan dalam pengendalian nyamuk adalah parathion,

malathion, dan dikilorvos (Kardinan, 2000).

2) Insektisida Nabati

Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami

berasal dari tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit

sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti

alkaloid, fenolik, dan zat kimia sekunder lainnya. Senyawa

bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman yang yang

terinfeksi organisme pengganggu tidak berpengaruh terhadap

fotosintesis, pertumbuhan, atau aspek fisologi lainnya, namun

berpengaruh terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

Sistem yang terpengaruh pada OPT adalah sistem syaraf/otot,

keseimbangan hormon, reproduksi, perilaku, sistem pernafasan,

dan lain-lain. Senyawa bioaktif ini juga dapat digunakan untuk

mengendalikan serangga yang terdapat di lingkungan rumah.

Senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman dapat

27

dimanfaatkan seperti layaknya insektisida sintetik.

Perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati

disintesis oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu

macam (campuran). Bagian tumbuhan seperti daun, bunga,

buah, biji, kulit, batang, dan sebagainya dapat digunakan dalam

bentuk utuh, bubuk, ataupun ekstraksi (dengan air, atau senyawa

pelarut organik). Insektisida nabati dapat dibuat secara

sederhana dan kemampuan yang terbatas. Bila senyawa atau

ekstrak ini digunakan di alam (biodegradable), sehingga tidak

mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia maupun

ternak karena residunya mudah hilang. Senyawa yang

terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai

insektisida diantaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin,

flavonoid, alkaloid, steroid, dan minyak atsiri (Naria, 2005).

3) Insektisida Non Nabati

Untuk pengendalian ini digunakan bahan kimia yang berkhasiat

membunuh serangga (insektisida) atau hanya untuk menghalau

serangga saja (repellent). Kebaikan cara pengendalian ini adalah

dapat dilakukan dengan segera dan meliputi daerah yang luas,

sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang

singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya

bersifat sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan,

kemungkinan timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida

dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa (Gandahusada,

2006).

5. Insektisida Nabati Sebagai Pestisida Pengendalian Lalat

Pada saat ini cara pengendalian lalat sendiri yang dapat dilakukan

dengan cara memutuskan rantai penularan. Cara membunuhnya lalat yang

paling efektif adalah dengan menggunakan insektisida.

28

Penggunaan insektisida sintesis (kimia) dikenal sangat efektif dan

praktis dalam pengendalian vektor. Akan tetapi, penggunaan insektisida

sintesis (kimia) dalam jangka waktu yang lama akan memberikan dampak

negatif. Dampak negatif yang disebabkan oleh insektisida yaitu berupa

pencemaran lingkungan yang dikarenakan residu yang ditinggalkan sangat

sulit terurai di alam. Selain itu, pengunaan insektisida juga dapat meracuni

penghuni rumah berbagai macam cara dapat dilakukan untuk

menanggulangi dan mengurangi dampak pencemaran oleh insektisida,

antara lain dengan pencegahan, pengurangan penggunaan insektisida dan

dengan menggunakan insektisida nabati. ( Rentokil Pest Control, 2004)

Secara umum insektisida nabati atau insektisida yang berasal dari

tumbuhan diartikan sebagai suatu insektisida yang bahannya berasal dari

tumbuhan. insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan

pengetahuan yang terbatas maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai

(biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relative

aman bagi manusia serta hewan ternak peliharaan karena residunya mudah

hilang. Penggunaan senyawa kimia nabati disebabkan karena senyawa

kimia nabati mudah terurai oleh sinar matahari sehingga tidak berbahaya

dan tidak merusak lingkungan.

a. Pembuatan Insektisida Nabati

Pembuatan insektisida nabati dilakukan melalui beberapa proses

penanganan bahan tumbuhan secara baik agar tidak kehilangan aktifitas

hayatinya. Teknik untuk menghasilkan insektisida nabati menurut

(Naria, 2005) antara lain sebagai berikut ;

1) Penggerusan, penumbukan, pembakaran, atau pengepresan untuk

menghasilkan produk berupa tepung, abu, atau pasta.

2) Rendaman untuk produk ekstrak.

3) Ekstraksi dengan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh

tenaga terampil. Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara

yaitu :

29

a) Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi

dengan pelarut air pada suhu 1000C selama 3 jam. Pembuatan

infusa merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat

sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga.

b) Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstraksi simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk

ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Maserasi berarti dilakukan pengadukan yang

kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan

pengulangan penambah pelarut setelah dilakukan penyaringan

maserat pertama, dan seterusnya.

c) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut sampai sempurna

(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan

bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya

penetasan atau penampungan ekstrak.

b. Keunggulan Insektisida Nabati

Penggunaan insektisida nabati di Indonesia lebih populer di bidang

pertanian, dari pada penggunaan di rumah tangga. Padahal, didalam

rumah dapat hidup berbagai binatang yang mengganggu kenyamanan

dan kesehatan manusia, yang perlu untuk dikendalikan. Penggunaan

insektisida nabati di rumah tangga merupakan suatu potensi yang dapat

dikembangkan. Menurut (Naria, 2005) penggunaan insektisida nabati

di rumah tangga memiliki keunggulan antara lain :

1) Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu

pada komponen lingkungan dan bahan makanan, sehingga

dianggap lebih aman dari pada insektisida sintesis / kimia.

30

2) Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam

sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.

3) Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana.

4) Bahan pembuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar

rumah.

5) Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian

insektisida.

c. Kelemahan Insektisida Nabati

Selain keuntungan, tentunya ada beberapa kelemahan dari pemakaian

insektisida nabati di rumah. Menurut (Naria, 2005) Kelemahan tersebut

antara lain :

1) Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan

dengan insektisida sintetis. Tingginya frekuensi penggunaan

insektisida botani adalah karena sifatnya yang mudah terurai di

lingkungan, sehingga harus lebih sering diaplikasikan.

2) Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multipleactive

ingridient) dan kadang tidak semua bahan aktif dapat dideteksi.

3) Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang

berbeda, umur tanaman berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda,

umur tanaman berbeda, dan waktu panen yang berbeda

mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat bervariasi.

d. Cara Kerja Insektisida Terhadap Serangga

Cara kerja insektisida dalam tubuh serangga dikenal sebagai mode of

action dan cara masuk atau mode of entry :

1) Mode of action adalah cara insektisida memberikan pengaruh melalui

titik tangkap didalam tubuh serangga. Titik tangkap pada serangga

biasanya berupa enzim atau protein. Cara kerja insektisida yang

digunakan dalam pengedalian hama terbagi lima kelompok yaitu

mempengaruhi sistem saraf, menghambat produksi energi,

mempengaruhi sistem endokrin, menghambat produksi kutikula, dan

menghambat keseimbangan air.

31

2) Mode of entry adalah cara insektisida masuk kedalam tubuh serangga,

dapat melalui kutikula (racun kontak), alat perncernaan (racun perut),

atau lubang pernafasan (racun pernafasan) (Kementrian Kesehatan RI,

2012).

Menurut Martono (2004), insektisida dapat masuk ke dalam tubuh

serangga dengan berbagai cara antara lain:

a) sebagai racun perut (stomach poison) yang masuk ke dalam tubuh

serangga melalui alat pencernaan serangga,

b) racun kontak (contact poisoning) yang masuk melalui kulit atau

dinding tubuh,

c) dan terakhir sebagai fumigan atau racun pernafasan yang masuk ke

dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan.

penyebab kematian dapat dilihat salah satunya akibat pengaruh enzim

papain yang berada pada larutan daun pepaya. Enzim papain merupakan

racun kontak yang masuk ke dalam tubuh hama melalui lubang-lubang

alami dari tubuhnya. Setelah masuk, racun akan menyebar ke seluruh tubuh

dan menyerang sistem saraf sehingga dapat mengganggu aktivitas hama.

Enzim papain juga dapat bekerja sebagai enzim protease yang dapat

menyerang dan melarutkan komponen penyusun kutikula serangga

(Trizelia, 2001).

Menurut Metcalf dan Flint (1983), racun kontak merupakan pestisida

yang membunuh serangga dengan cara kontak langsung dan masuk ke

dalam tubuh serangga melalui integument (kulit serangga) ke pembuluh

darah atau dengan cara mempenetrasi sistem pernafasan serangga melalui

spirakel-spirakel menuju trakea. Kutikel dari serangga memiliki sifat

penyerapan yang sangat efektif untuk racun kontak sehingga dosis yang

diberikan dari luar hampir sama efek racunnya dengan dosis yang

diinjeksikan dari rongga tubuh.

Enzim papain yang masuk ke dalam trakea kemudian menyebar dan

mengganggu kinerja system saraf dari serangga hama. Saraf pada serangga

terdiri dari satuan fungsional berupa sensoris, internunsial (penghubung

32

sensoris) dan motor. Serangga juga memiliki system saraf pusat yang

terdapat pada otak dimana berperan sebagai pusat – pusat koordinasi dari

aktivitas serangga yang mencakup seluruh tubuh (Borror , et al, 1992).

Bagian dari sistem saraf pada serangga ini yang diserang oleh enzim papain

sehingga mengganggu aktivitas dari lalat.

33

C. Kerangka Teori

Gambar II.7 Kerangka Teori

Pola Hidup Kurang Baik

Ketersediaan Makanan

Pengelolahan Sampah

Sanitasi Rumah

Suhu dan Kelembaban

Metode Pengendalian

Insektisida Nabati dan

Kimiawi

Populasi Lalat

Kematian Lalat

Rumah (Musca

domestica)

34

D. Kerangka Konsep

Keterangan : : Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar II.8 Kerangka Konsep

Variasi Konsentrasi Kadar

Larutan Daun Pepaya

Kematian Lalat Rumah

(Musca domestica)

- 70%

- 80%

- 90%

- 100%

Jumlah Kematian Lalat

Rumah (Musca domestica)

Pengganggu

- Suhu

- Kelembaban

- Umur Lalat