bab ii tinjauan pustaka a. 1. keluarga berencana dan ... · dan mencari tuba sisi lain untuk...

36
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi a. Pengertian Keluarga berencana adalah usaha untuk mengatur banyaknya jumlah kelahiran sehingga ibu maupun bayinya dan ayah serta keluarga yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut. Keluarga berencana merupakan program pemerintah yang bertujuan menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk. Keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa diharapkan menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada pertumbuhan yang seimbang (Irianto, 2014). Sedangkan kontrasepsi ialah cara, alat, atau obat-obatan untuk mencegah terjadinya pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani (spermatozoa) pada saluran telur. Kontrasepsi dibagi menjadi dua, yaitu cara temporer (spacing) dan cara permanen (kontrasepsi mantap). Cara permanen dilakukan dengan mengakhiri kesuburan untuk mencegah kehamilan secara permanen, pada wanita disebut sterilisasi dan pada pria disebut vasektomi (Sofian, 2013).

Upload: others

Post on 04-Sep-2019

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis

1. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi

a. Pengertian

Keluarga berencana adalah usaha untuk mengatur banyaknya

jumlah kelahiran sehingga ibu maupun bayinya dan ayah serta keluarga

yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat

langsung dari kelahiran tersebut. Keluarga berencana merupakan

program pemerintah yang bertujuan menyeimbangkan antara kebutuhan

dan jumlah penduduk. Keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa

diharapkan menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera

(NKKBS) yang berorientasi pada pertumbuhan yang seimbang (Irianto,

2014).

Sedangkan kontrasepsi ialah cara, alat, atau obat-obatan untuk

mencegah terjadinya pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani

(spermatozoa) pada saluran telur. Kontrasepsi dibagi menjadi dua, yaitu

cara temporer (spacing) dan cara permanen (kontrasepsi mantap). Cara

permanen dilakukan dengan mengakhiri kesuburan untuk mencegah

kehamilan secara permanen, pada wanita disebut sterilisasi dan pada

pria disebut vasektomi (Sofian, 2013).

8

b. Tujuan Keluarga Berencana

1) Tujuan Umum

Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak dalam rangka

mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS)

yang menjadi dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan

mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin terkendalinya

pertambahan penduduk (Irianto, 2014).

2) Tujuan Khusus

a) Meningkatkan jumlah akseptor alat kontrasepsi

b) Menurunkan jumlah angka kelahiran bayi

c) Meningkatkan kesehatan keluarga berencana dengan cara

penjarangan kelahiran (Irianto, 2014).

c. Metode Keluarga Berencana

Ada beberapa macam metode kontrasepsi menurut Saifuddin (2010)

yaitu:

1) Mekanis

a) Kondom

b) Diafragma

c) Spermisida : aerosol, tablet vaginal atau supositoria, krim

d) Pil

e) Implan

f) Tubektomi atau MOW

g) Vasektomi

9

h) AKDR atau IUD

2) Non Mekanis

a) Keluarga Berencana Alamiah (KBA)

(1) Metode lendir servik billing atau metode ovulasi billing

(2) Metode suhu badan basal

(3) Metode sympto-termal atau metode suhu tubuh

(4) Metode kalender

b) Metode amenore laktasi (MAL)

c) Senggama terputus

d) Pantang berkala.

2. Medis Operasi Wanita (MOW)

a. Pengertian

Kontrasepsi mantap atau tubektomi adalah setiap tindakan pada

kedua saluran telur wanita yang mengakibatkan orang/pasangan yang

bersangkutan tidak akan mendapat keturunan lagi. Metode ini hanya

digunakan untuk jangka panjang, meskipun terkadang dapat dipulihkan

kembali kesuburannya (Wiknjosastro, 2005).

Kontrasepsi mantap atau sterilisasi pada wanita adalah suatu

kontrasepsi permanen yang dilakukan dengan cara melakukan suatu

tindakan pada kedua saluran telur sehingga menghalangi pertemuan sel

telur (ovum) dengan sel mani (sperma) (Sofian, 2013).

10

b. Jenis

Menurut Sofian (2013), terdapat empat jenis sterilisasi berdasarkan

tujuannya, yaitu:

1) Sterilisasi hukuman (compulsary sterilization);

2) Sterilisasi eugenik, untuk mencegah berkembangnya kelainan

mental secara turun menurun;

3) Sterilisasi medis, dilakukan berdasarkan indikasi medis demi

keselamatan wanita tersebut karena kehamilan berikutnya dapat

membahayakan jiwanya;

4) Sterilisasi sukarela (coluntary sterilization), yang bertujuan ganda

dari sudut kesehatan, sosial ekonomi dan kependudukan.

c. Efektivitas

Tubektomi merupakan metode kontrasepsi yang sangat efektif dan

tidak menimbulkan efek samping jangka panjang. Efektivitasnya yaitu

0,5 kehamilan per 100 perempuan (0,5%) selama tahun pertama

penggunaan (Saifuddin, 2010).

d. Waktu

Pelaksanaan tindakan sterilisasi dilakukan pada saat:

1) Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini tidak hamil

2) Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (Saifuddin, 2010)

3) Pasca persalinan (post partum)

Sebaiknya dilakukan dalam 24 jam atau selambat-lambatnya 48

jam pasca persalinan. Setelah lebih dari 48 jam, operasi akan lebih

11

sulit dengan adanya edema tuba dan infeksi yang akan

menyebabkan kegagalan sterilisasi. Jika dilakukan setelah hari ke-7

sampai hari ke-10 pasca persalinan, uterus dan alat genital lainnya

telah mengecil dan menciut yang menyebabkan mudah terjadinya

perdarahan dan infeksi

4) Pasca keguguran (post abortus)

Sterilisasi dapat dilakukan sesaat setelah terjadinya abortus

5) Saat tindakan operasi pembedahan abdominal

Hendaknya saat operasi pembedahan abdominal telah

dipertimbangkan untuk tindakan sterilisasi karena pada tindakan ini

dapan sekaligus dilakukannya kontrasepsi mantap (Sofian, 2013).

e. Keuntungan

Terdapat beberapa keuntungan dan manfaat sterilisasi wanita yaitu:

1) Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun

pertama penggunaan)

2) Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding)

3) Tidak bergantung pada faktor senggama

4) Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi resiko kesehatan

yang serius

5) Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal

6) Tidak ada efek samping dalam jangka panjang

7) Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada

produksi hormon ovarium)

12

8) Berkurangnya resiko kanker ovarium (Saifuddin, 2010)

9) Motivasi hanya dilakukan satu kali, sehingga tidak diperlukan

motivasi yang berulang

10) Tidak adanya kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure)

11) Tidak mempengaruhi libido seksualis (Anwar, 2011).

f. Keterbatasan

Meskipun banyak keuntungan yang didapat pada metode sterilisasi ini,

tetap saja terdapat keterbatasan diantaranya:

1) Tidak dapat melindungi dari Infeksi Menular Seksual (IMS),

termasuk HBV dan HIV/AIDS

2) Harus dipertimbangkan kembali sifat permanen kontrasepsi ini

karena tidak dapat dipulihkan kecuali dengan operasi rekanalisasi

3) Klien dapat menyesal dikemudian hari

4) Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan

5) Hanya dilakukan oleh dokter yang terlatih (Saifuddin, 2010).

g. Syarat

Terdapat beberapa syarat untuk menjadi akseptor kontrasepsi mantap

MOW yaitu:

1) Syarat sukarela

Meliputi pengetahuan pasangan mengenai cara kontrasepsi lain,

risiko dan keuntungan kontrasepsi mantap, serta sifat permanen

metode ini.

13

2) Syarat bahagia

Syarat ini dilihat berdasarkan ikatan perkawinan yang sah dan

harmonis. Umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun dengan

sekurang-kurangnya 2 orang anak hidup dan anak terkecil berumur

lebih dari 2 tahun.

3) Syarat medik (Saifuddin, 2009).

h. Indikasi

Menurut Amru Sofian (2013), sterilisasi dilakukan atas indikasi:

1) Indikasi medis umum

Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat

jika wanita tersebut hamil lagi, seperti tuberkulosis paru, penyakit

jantung, penyakit ginjal maupun skizofrenia.

2) Indikasi medis obstetrik

Adanya riwayat toksemia gravidarum yang berulang, seksio

sesarea berulang dan histerektomi obstetrik.

3) Indikasi medis ginekologik

Pada waktu melakukan operasi ginekologik, dapat

dipertimbangkan untuk dilakukannya sterilisasi.

4) Indikasi sosial ekonomi

a) Rumus 120; yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu,

kemudian dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri

b) Rumus 100; yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu,

kemudian dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri

14

i. Kontraindikasi

1) Hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai)

2) Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan (hingga harus

dievaluasi)

3) Infeksi sistemik atau pelvik yang akut (hingga masalah tersebut

sembuh)

4) Tidak boleh menjalani proses pembedahan

5) Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan

6) Belum memberikan persetujuan tertulis (Saifuddin, 2010).

j. Konseling

Konseling adalah proses pemberian informasi yang objektif dan

lengkap berdasarkan pengetahuan untuk membantu memecahkan

masalah kesehatan reproduksi yang sedang dihadapi klien, salah

satunya yaitu membantu untuk menentukan pilihan metode KB

(Manuaba, 2007).

Konseling dilakukan oleh tenaga terlatih, misalnya paramedik

yang telah mendapat pelatihan sebagai konselor kontrasepsi mantap.

Tujuan konseling yaitu agar keputusan untuk menjalani tubektomi

diambil sendiri oleh pasangan setelah mendapat penjelasan yang tepat

dan benar mengenai kontrasepsi ini. Konseling dilakukan sebelum,

selama, dan sesudah tindakan (Wiknjosastro, 2005).

15

k. Teknik

1) Cara Pencapaian Tuba

a) Kuldoskopi

Suatu teknik operasi untuk mencapai tuba melalui insisi pada

forniks posterior atau pungsi pada cul de sac dengan visualisasi

kuldoskop. Akseptor dalam posisi genupektoral atau

menungging dan setelah vagina disucihamakan dengan betadin,

daerah operasi diperjelas dengan memasukkan spekulum.

Sayatan kecil dibuat pada forniks posterior dan kuldoskop

dimasukkan hingga terlihat rongga pelvis. Segera

mengidentifikasi tuba dan masukkan cunam penangkap

(grasping forceps) melalui luka sayatan untuk mengeluarkan

tuba. Mengikat tuba dan potong atau tutup dengan cara

sterilisasi saluran telur (cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi

atau pemasangan cincin Falope). Mengembalikan tuba tersebut

dan mencari tuba sisi lain untuk dilakukan tindakan yang sama

(Sofian, 2013).

b) Laparoskopi

Akseptor dibaringkan dalam posisi litotomi. Kanula Rubin

dipasang pada serviks dan bibir depan serviks dijepit dengan

tenakulum. Kemudian dibuat sayatan 1,5 cm di bawah pusat,

menusukkan jarum Verres ke dalam rongga peritoneum dan

melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan mengaliri

16

gas CO2 sebanyak 1-1,5 liter dengan kecepatan 1 liter/menit.

Setelah dirasa cukup, jarum Verres dikeluarkan dan sebagai

gantinya dimasukkan trokar serta selubungnya yang berisi

laparoskop. Melalui kanula Rubin mencari tuba dan dilakukan

sterilisasi menggunakan cincin Folope (Wiknjosastro, 2005).

c) Mini Laparotomi

Suatu operasi kecil untuk mencapai saluran telur melalui

sayatan kecil pada dinding perut. Mula-mula kulit disayat

secara melintang sampai ke jaringan subkutis dan membuka

fascia m.rectun serta m.pyramidalis dibuka secara tumpul

sepanjang 2,5 cm. Peritoneum dibuka sekitar 2 cm dan

memasukkan elevator untuk mengatur posisi rahim dan tuba ke

daerah operasi. Tuba ditangkap, dilakukan tubektomi dan

terakhir menutup luka operasi (Sofian, 2013).

d) Histeroskopi

Untuk melihat rongga rahim dan sudut tuba dengan jelas,

digunakana alat histeroskop sehingga obat-obatan yang bersifat

kausatif dan adhesif untuk menyumbat tuba dapat dimasukkan

langsung ke dalam saluran telur (Sofian, 2013).

e) Kolpotomi

Cara ini mengendaki pasien dalam posisi sikap litotomi.

Dinding belakang vagina dijepit pada jarak 1 cm dan 3 cm dari

serviks dengan 2 buah cunam kemudian digunting hingga

17

menembus peritoneum. Area pandang diperluas menggunakan

spekulum Soonawalla, sehingga dengan mudah tuba terlihat

dan ditarik keluar. Tubektomi dilakukan dengan cara penutupan

tuba (Wiknjosastro, 2005).

2) Cara Penutupan Tuba

a) Cara Pomeroy

Mula-mula mengangkat pertengahan tuba hingga membentuk

lengkungan, kemudian bagian dasarnya diklem dan diikat

dengan benang yang mudah diserap, memotong tuba bagian

atas ikatan. Setelah luka sembuh dan benang ikatan diserap,

kedua ujung potongan akan terpisah. Cara ini paling banyak

digunakan dibanding cara lain karena angka kegagalan hanya

0-0,4% (Sofian, 2013).

b) Cara Kroener

Cara ini dilakukan dengan mengangkat fimbria dan mengikat

dengan benang sutera pada bagian avaskular mesosalping di

bawah fimbria dengan dua kali lilitan serta pada bagian

proksimal dari ikatan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong

(fimbriektomi) dan dikembalikan ke dalam rongga perut setelah

perdarahan berhenti. Meskipun angka kegagalannya sangat

kecil bahkan tidak akan terjadi kegagalan, namun cara ini

kurang disukai karena kesuburan tidak dapat dipulihkan

18

kembali dan kemungkinan terjadinya perdarahan disfungsional

di kemudian hari lebih besar (Sofian, 2013).

c) Cara Madlener

Bagian tengah tuba diangkat dan diklem, kemudian bagian

bawah klem diikat dengan benang yang tidak mudah diserap

dan klem dilepas. Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan

tuba. Teknik ini sudah jarang silakukan karena angka

kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1,2 % (Sofian, 2013).

d) Cara Aldridge

Peritoneum ligamentum latum dibuka, kemudian fimbria

ditanamkan ke dalam atau ke bawah ligamentum latum dan

luka dijahit. Angka kegagalan cara ini kecil sekali dan fimbria

dapat dibuka kembali jika ibu menginginkan kesuburannya

kembali (Sofian, 2013).

e) Cara Uchida

Bagian tuba ditarik keluar dan pada sekitar ampula tuba

disuntikkan larutan salin adrenalin pada lapisan subserosa

sebagai vasokonstriktor agar mesosalping membesar. Pada

bagian tersebut dilakukan insisi kecil dan bebaskan serosa

sepanjang 4-6 cm hingga tuba terlihat dan klem. Tuba diikat

dan dipotong, kemudian luka pada serosa dijahit dengan putung

tuba menonjol ke arah rongga perut. Menurut penemunya, cara

ini tidak pernah gagal (Sofian, 2013).

19

f) Cara Irving

Pada cara ini tuba diikat pada dua tempat dengan benang yang

dapat diserap. Ujung bagian proksimal ditanamkan ke dalam

miometrium, sedangkan ujung bagian distal ditanamkan ke

ligamentum latum (Sofian, 2013).

g) Pemasangan cincin Falope (Yoon ring)

Menggunakan aplikator (laparotomi mini, laparoskopi atau

laprokator) bagian istmus tuba ditarik dan cincin dipasang.

Tuba akan tampak keputih-putihan dan menjadi jibrotik akibat

tidak mendapatkan aliran darah (Wiknjosastro, 2005).

h) Pemasangan klip

Penggunaan klip pada kontrasepsi tidak memperpendek

panjang tuba hanya menjepit tuba, sehingga rekanalisasi lebih

mungkin dilakukan bila diperlukan (Wiknjosastro, 2005).

i) Elektro-koagulasi dan pemutusan tuba

Cara ini dilakukan dengan memasukkan grasping forceps

melalui laparoskopi. Kemudian tuba dijepit sekitar 2 cm,

diangkat dan dilakukan kauterisasi hingga tampak putih,

menggembung dan putus. Tuba terbakar kurang lebih 1 cm ke

proksimal dan distal serta mesosalping terbakar sejauh 2 cm

(Wiknjosastro, 2005).

20

l. Komplikasi dan Penanganannya

Komplikasi yang mungkin terjadi diperlukan penanganan yang efisien

dan tepat. Tentunya penanganan yang diberikan merupakan instruksi

dari tenaga medis ahli.

Tabel 2.1. Komplikasi MOW dan penanganannya

Komplikasi Penanganan

Infeksi luka

Apabila terlihat infeksi luka, obati dengan

antibiotik. Bila terdapat abses, lakukan

drainase dan obati seperti yang terindikasi.

Demam pasca

operasi (> 380C)

Obati infeksi berdasarkan apa yang

ditemukan.

Luka pada kandung

kemih, intestinal

(jarang terjadi)

Mengacu ke tingkat asuhan yang tepat.

Apabila kandung kemih atau usus luka dan

diketahui sewaktu operasi, lakukan reparasi

primer. Apabila ditemukan pasca operasi,

rujuk ke rumah sakit yang tepat bila perlu.

Hematoma

(subkutan)

Gunakan packs yang hangat dan lembab di

tempat tersebut. Amati. Hal ini biasanya akan

berhenti dengan berjalannya waktu tetapi

dapat membutuhkan drainase bila ekstensif.

Emboli gas yang

diakibatkan oleh

laparoskopi (sangat

jarang terjadi)

Ajukan ke tingkat asuhan yang tepat dan

mulailah resusitasi intensit, termasuk: cairan

intravena, resusitasi kardio pulmonar, dan

tindakan penunjang kehidupan lainnya.

Rasa sakit pada

lokasi pembedahan

Pastikan adanya infeksi atau abses dan obati

berdasarkan apa yang ditemukan.

Perdarahan

superfisial (tepi

kulit atau subkutan)

Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan

apa yang ditemukan

Sumber: Saifuddin (2010)

21

m. Penatalaksanaan Klinis

Menurut Saifuddin (2010), prosedur pelaksanaan tubektomi terdiri

atas:

1. Persetujuan tindakan medik

Setiap tindakan medis yang mengandung risiko harus dengan

persetujuan tertulis berupa informed consent, yang ditandatangani

oleh yang berhak memberikan persetujuan, yaitu akseptor yang

bersangkutan harus dalam keadaan sadar dan sehat mental

(Saifuddin, 2010).

Informed consent merupakan surat pernyataan persetujuan

untuk memberikan izin kepada seorang yang dipercaya untuk

melakukan tindakan medis, yang umumnya berupa tindakan

operasi. Klien juga berhak untuk menolak tindakan medis, yang

dinyatakan dalam bentuk pernyataan tertulis (Manuaba, 2007).

Calon akseptor harus memahami bahwa operasi yang akan

dilakukan merupakan tindakan permanen dan meskipun patensi

dapat dikembalikan, pembedahan rekanalisasi tuba tidak menjamin

adanya fungsi normal yang dapat mengarah ke pembuahan

(Hanretty, 2014).

2. Persiapan atau tahap pra operasi

a) Persiapan ruang operasi

(1) penerangan yang cukup

(2) lantai semen atau keramik yang mudah dibersihkan

22

(3) bebas debu dan serangga

(4) tersedia air bersih yang mengalir, tempat cuci tangan, ruang

ganti pakaian, tempat sampah yang dapat ditutup rapat dan

bebas dari kebocoran

(5) sedapat mungkin tersedia alat pengatur suhu ruangan

b) Suasana ruang operasi

(1) Meminimalkan jumlah petugas dan kegiatan selama

tindakan operasi berlangsung

(2) Kunci ruang operasi agar petugas yang tidak

berkepentingan tidak keluar masuk ruangan dan suhu

ruangan tetap terjaga

(3) memisahkan peralatan yang masih steril dengan yang sudah

terkontaminasi

(4) klien diatur agar tidak menyentuh instrumen steril yang

tersedia atau tersimpan pada saat masuk dan keluar ruang

operasi

c) Persiapan klien

(1) Klien dianjurkan mandi sebelum mengunjungi tempat

pelayanan. Bila tidak sempat, minta klien untuk

membersihkan bagian abdomen/ perut bawah, pubis dan

vagina dengan sabun dan air

(2) Bila menutupi daerah operasi, rambut pubis cukup

digunting. Pencukuran hanya dilakukan apabila sangat

23

menutupi daerah operasi dan waktu pencukuran adalah

sesaat sebelum operasi dilakukan

(3) Bila menggunakan elevator atau manipulator rahim,

sebaiknya dilakukan pengusapan larutan antiseptik

(misalnya povidon iodien) pada serviks dan vagina

(4) Setelah pengolesan povidon iodine pada kulit, tunggu 1-2

menit agar yodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh

mikroorganisme dengan baik

d) Kelengkapan klien dan petugas ruang operasi

(1) Klien menggunakan pakaian operasi. Bila tidak tersedia,

dapat menggunakan kain penutup yang bersih

(2) Operator dan petugas kamar operasi harus dalam keadaan

siap (mencuci tangan, berpakaian operasi, memakai sarung

tangan, topi dan masker) saat berada di ruang operasi

(3) Masker harus menutupi mulut dan hidung, bila basah/

lembab harus diganti

(4) Topi harus menutupi rambut

(5) Sepatu luar harus dilepas, ganti dengan sepatu atau sandal

yang tertutup khusus digunakan untuk ruang operasi

24

e) Pencegahan infeksi

(1) Sebelum pembedahan

(a) Operator dan petugas mencuci tangan menggunakan

larutan antiseptik serta mengenakan pakaian operasi dan

sarung tangan steril

(b) Menggunakan larutan antiseptik untuk membersihkan

vagina dan serviks

(c) Mengusapkan larutan antiseptik pada daerah operasi,

mulai dari tengah kemudian meluas ke daerah luar

dengan gerakan memutar hingga bagian tepi dinding

perut. Untuk klien pasca persalinan, membersihkan

daerah umbilikus dengan baik

(d) Menunggu 1-2 menit agar yodium bebas yang

dilepaskan dapat membunuh mikroorganisme dengan

baik.

(2) Selama pembedahan

(a) Membatasi jumlah kegiatan dan petugas di dalam ruang

operasi

(b) Menggunakan instrumen, sarung tangan dan kain

penutup yang steril

(c) Melakukan prosedur dengan keterampilan dan teknik

yang tinggi untuk menghindari trauma dan komplikasi

(perdarahan)

25

(d) Menggunakan teknik “pass” yang aman untuk

menghindari luka tusuk instrumen.

(3) Setelah pembedahan

(a) Operator atau petugas ruang operasi membuang limbah

ke dalam wadah atau kantong yang tertutup rapat dan

bebas dari kebocoran

(b) Melakukan tindakan dekontaminasi dengan larutan

klorin 0,5% pada instrumen atau peralatan yang akan

digunakan sebelum dicuci

(c) Melakukan dekontaminasi pada meja operasi, lampu,

meja instrumen atau benda lain yang mungkin

tekontaminasi/tercemar selama operasi dengan

mengusap larutan klorin 0,5%

(d) Melakukan pencucian dan penatalaksanaan instrumen/

peralatan seperti biasa

(e) Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.

3. Tindakan dan pelaksanaan tubektomi

a) Persiapan prabedah

(1) Memasang tensimeter. Periksa dan catat tekanan darah dan

pernafasan setiap 15 menit

(2) Memasang wing needle

(3) Jika klien memerlukan tambahan sedasi, berikan pethidin 1

mg/kg BB secara IM

26

(4) Mengusap genitalia eksterna dan perineum dengan kassa

berantiseptik dan melakukan kateterisasi

(5) Melakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai posisi,

besar uterus dan kelainan dalam pelvik

(6) Memasang spekulum, menilai serviks dan vagina, kemudian

melakukan tindakan asepsis pada portio dan vagina

(7) Memasang tenakulum dan melakukan sonde

(8) Memasang elevator uterus untuk mengubah posisi uterus

menjadi antefleksi

(9) Mengikat gagang elevator pada gagang tenakulum untuk

mempertahankan posisi uterus

b) Membuka dinding abdomen

(1) Menyuntikkan diazepam 0,1 mg/kg BB IV dan tunggu 3

menit. Kemudian menyuntikkan ketalar 0,5 mg/kg BB IV

dan tunggu 3 menit

(2) Menentukan daerah insisi pada dinding abdomen dengan

menggerakkan elevator uterus ke bawah, sehingga fundus

uteri menyentuh dinding abdomen ± 2-3 cm di atas simpisis

pubis

(3) Melakukan tindakan asepsis menggunakan betadin atau

yodium alkohol pada tempat insisi dengan gerakan

melingkar dari tengah ke luar dan menutup dengan kain

steril berlubang tengah

27

(4) Menyuntikkan secara infiltrasi 3-4 cc anestesi local

(lignokain 2%) dibawah kulit pada tempat insisi dengan

mengaspirasi terlebih dahulu. Menunggu 2 menit dan

menilai efek anestesi dengan menjepit kulit menggunakan

pinset sirurgis

(5) Melakukan insisi melintang pada kulit dan jaringan

subkutan sepanjang 3 cm pada tempat yang telah ditentukan

(6) Memisahkan jaringan subkutan secara tumpul menggunakan

retraktor sampai terlihat fasia

(7) Menyuntikkan jarum ke fasia dan melakukan infiltrasi

anestesi lokal 3 cc sambil menarik jarum

(8) Menjepit fasia menggunakan kocher pada 2 tempat dalam

arah vertikal dengan 2 cm. Melakukan insisi dalam arah

horizontal, perlebar ke kiri dan ke kanan

(9) Memisahkan jaringan otot secara tumpul pada garis tengah

dengan jari telunjuk atau klem arteri sehingga tampak

peritoneum dan melakukan infiltrasi anestesi lokal 3 cc

sambil menarik jarum

(10) Menjepit peritoneum dengan 2 klem, transiluminasi untuk

identifikasi. Menyisihkan omentum dan usus dari

peritoneum dengan menggunakan sisi luar gunting (bagian

yang tumpul)

28

(11) Menggunting peritoneum arah vertikal 2 cm ke atas dan 1

cm ke bawah (hingga mencapai batas peritoneum – vesika

urinaria)

(12) Memasukkan 2 buah bak retractor pada tempat insisi

peritoneum dan merenggangkan untuk menampakkan uterus

pada lapangan operasi

(13) Bila omentum atau usus menghalangi lapang pandang,

menggunakan kassa gulung dan menjepitnya menggunakan

klem

c) Mencapai tuba

(1) Menggerakkan elevator uterus sampai fundus uteri tampak

pada lapangan operasi (jika perlu mengubah posisi klien ke

posisi Trendelenberg)

(2) Menampakkan salah satu kornu uteri dan ligamentum

rotundum pada lapangan operasi dengan menggerakkan

elevator. Mengidentifikasi tuba

(3) Menjepit tuba menggunakan pinset atau klem Babcock dan

menariknya pelan-pelan keluar melalui lubang insisi hingga

terlihat fimbria

d) Oklusi atau memotong tuba

Melakukan oklusi tuba sesuai metode yang dipilih

29

e) Menutup dinding abdomen

(1) Memeriksa rongga abdomen ada tidaknya perdarahan atau

laserasi usus dan mengeluarkan kassa gulung

(2) Menjahit fasia dengan jahitan simpul atau angka 8

menggunakan benang chromic catgut nomor 1

(3) Menjahit subkutis dengan jahitan simpul menggunakan

benang plain catgut nomor 0

(4) Menjahit kulit dengan jahitan simpul menggunakan benang

sutera nomor 0

(5) Menutup luka dengan kain steril dan plester

4. Perawatan pasca tindakan

a) Memeriksa tekanan darah dan nadi setiap 15 menit

b) Menganjurkan pemberian cairan yang mengandung gula (jika

sudah diperbolehkan) seperti sari buah atau gula-gula untuk

meningkatkan kadar glukosa darah

c) Melakukan Romberg sign, yaitu klien berdiri dengan menutup

mata. Jika terlihat stabil, klien dianjurkan untuk mengenakan

pakaian dan menentukan pemulihan kesadaran

d) Memulangkan klen jika keadaan stabil setelah 4-6 jam

e) Nasihat yang diberikan kepada klien:

(1) Istirahat cukup dan menjaga tempat sayatan operasi agar

tidak basah minimal selama 2 hari.

30

(2) Melakukan kegiatan secara bertahap sesuai dengan

perkembangan pemulihan. Umumnya klien akan merasa

baik selama 7 hari

(3) Tidak melakukan aktivitas seksual selama 1 minggu atau

tunggu hingga sudah merasa nyaman

(4) Jangan mengangkat benda berat atau yang menekan daerah

operasi sekurang-kurangnya selama 1 minggu

(5) Jika terdapat gejala-gejala seperti di bawah ini, segera

memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan:

(a) panas/demam di atas 380c

(b) pusing dan rasa terputar/ bergoyang

(c) nyeri perut menetap atau meningkat

(d) keluar cairan atau darah dari luka sayatan

(6) Mengonsumsi analgesik (ibuprofen) setiap 4-6 jam untuk

mengurangi nyeri. Jangan menggunakan aspirin karena

dapat meningkatkan perdarahan

n. Kunjungan ulang

Jadwal kunjungan ulang tubektomi dilakukan minimal 2 kali yaitu

seminggu pasca tubektomi dan dua minggu pasca tubektomi.

Pemeriksaan meliputi daerah operasi, tanda-tanda komplikasi atau hal

lain yang dikeluhkan klien. Jika menggunakan benang sutera, maka

pada saat kontrol pertama benang tersebut dicabut (Saifuddin, 2010).

31

B. Teori Manajemen Asuhan Kebidanan

1. Pengertian Asuhan Kebidanan

Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi dan kegiatan yang menjadi

tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada klien yang

mempunyai kebutuhan/masalah dalam bidang kesehatan ibu masa hamil,

masa persalinan, nifas, bayi setelah lahir serta keluarga berencana (IBI,

2006).

2. Pengertian Manajemen Kebidanan

Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh

bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis

mulai dari pengkajian analisis data, diagnosa kebidanan, perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi (IBI, 2006).

Pada kasus ini, penulis menggunakan pengelolaan manajemen

kebidanan menurut Varney, yang terdiri dari 7 langkah berurutan dimana

setiap langkah disempurnakan secara periodik. Penerapan manajemen

kebidanan menurut 7 langkah Varney pada kasus Medis Operasi Wanita

adalah sebagai berikut:

Langkah I. Pengumpulan Data Dasar

Pada langkah ini diperlukan 2 data yaitu data subjektif dan data objektif.

a. Data subjektif terdiri atas:

1) Biodata; yaitu data diri pasien yang dikaji, meliputi nama, umur,

agama, suku dan bangsa, pendidikan, pekerjaan dan alamat.

32

Umur, akseptor kontrasepsi mantap dianjurkan berumur sekurang-

kurangnya 25 tahun jika telah memiliki 4 anak hidup atau

dianjurkan berumur di atas 35 tahun jika telah memiliki 2 anak

hidup (Wiknjosastro, 2009).

2) Keluhan utama; alasan klien mendatangi fasilitas kesehatan yang

diungkapkan dengan kata-katanya sendiri. Calon akseptor MOW

hendaknya yakin telah memiliki keluarga yang sesuai dengan

keinginannya dan telah mempertimbangkan dengan suaminya

(Saifuddin, 2010).

3) Riwayat kebidanan, terdiri atas:

a) Riwayat menstruasi; yang dikaji yaitu usia saat menarche,

frekuensi, lama, siklus, jumlah darah yang keluar, karakteristik

darah yang keluar (misalnya terdapat bekuan darah), periode

menstruasi terakhir dan keluhan berkaitan dengan pola

menstruasi (Varney, 2007).

Melalui riwayat menstruasi ini, dapat digunakan sebagai

identifikasi apakah ibu mengalami gangguan organ reproduksi

atau tidak. Perdarahan pervagina yang belum terjelaskan

sebabnya merupakan keadaan yang memerlukan penundaan

dilakukannya MOW (Saifuddin, 2010).

b) Riwayat obstetri; yang perlu diperhatikan sehubungan dengan

MOW adalah ibu mempunyai sekurang-kurangnya 2 orang anak

33

hidup dan anak terkecil berumur lebih dari 2 tahun (Saifuddin,

2009).

c) Riwayat perkawinan; mencakup berapa kali menikah, lama

menikah dan usia pertama kali menikah. Calon akseptor

kontrasepsi mantap hendaknya memenuhi syarat bahagia yaitu

ibu masih teikat perkawinan yang sah dan harmonis (Saifuddin,

2009).

4) Riwayat kontrasepsi; meliputi pengetahuan dan pengalaman

mengenai cara-cara kontrasepsi, risiko dan keuntungan, serta sifat

kepermanenan masing-masing kontrasepsi, sehingga ibu

menetapkan pilihan pada kontrasepsi mantap sebagai metode

kontrasepsinya. Hal ini menunjukkan bahwa ibu telah memenuhi

syarat sukarela sebagai calon akseptor MOW (Wiknjosastro, 2005).

5) Riwayat kesehatan; meliputi:

a) Riwayat kesehatan sekarang

Deteksi dini terhadap penyakit yang dapat mempengaruhi proses

asuhan yang akan diberikan sangat diperlukan. Sebelum

dilakukan MOW, perlu dilakukan anamnesis kesehatan yang

meliputi: anemia defisiensi zat besi (Hb < 8 g%), hipertensi,

diabetes, hipertiroid, penyakit vaskuler, trombosis vena dalam

(TVD), penyakit jantung iskemik, penyakit jantung ventrikular

dengan komplikasi, perdarahan yang belum jelas sebabnya,

endometriosis, penyakit trofoblas ganas (PTG), kanker serviks,

34

kanker endometrium, kanker ovarium, penyakit radang panggul

(PRP), penyakit menular seksual (AIDS), TBC pelvis, serta

hamil ektopik (Saifuddin, 2010).

b) Riwayat medis terdahulu atau riwayat kesehatan yang lalu, yang

perlu diperhatikan yaitu bedah mayor dengan imobilisasi lama,

penyakit radang panggul, penyakit jantung iskemik, perlekatan

uterus oleh pembedahan/infeksi yang lalu (Saifuddin, 2010),

serta stroke (Irianto, 2014).

c) Riwayat kesehatan keluarga; yaitu riwayat penyakit yang

berhubungan dengan ibu, ayah, saudara kandung, kakek, nenek,

paman dan bibi (Varney, 2007).

6) Data psikologi dan sosial

a) Data psikologi dibutuhkan untuk mengetahui sikap dan kesiapan

ibu terhadap dirinya dan asuhan yang akan diberikan.

Kontrasepsi mantap merupakan tindakan pembedahan yang

bersifat permanen, tidak dapat dipulihkan kembali. Ibu yakin

telah memiliki besar keluarga yang sesuai dengan keinginannya

(Saifuddin, 2010).

b) Data sosial untuk mengetahui hubungan ibu dan suami, keluarga

dan masyarakat. Calon akseptor hendaknya memilihi hubungan

yang harmonis, terutama dengan suami (Wiknjosastro, 2005).

35

b. Data objektif diperoleh dari:

1) Pemeriksaan umum

Pemeriksaan umum dilakukan dengan memeriksa tanda-tanda vital

yang meliputi suhu, denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tinggi

badan dan berat badan (Varney, 2007). Ibu dengan tekanan darah

tinggi (sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) merupakan

kontraindikasi dilakukannya MOW (Saifuddin, 2010).

2) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik secara head to toe, meliputi pemeriksaan rambut,

kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada, payudara,

abdomen serta ekstremitas atas dan bawah (Varney, 2007). Ibu

dengan perdarahan pervagina yang belum diketahui sebabnya

sebaiknya ditunda untuk pelaksanaan MOW hingga tertangani.

Infeksi sistemik atau pelvik yang akut harus disembuhkan atau

dikontrol terlebih dahulu (Saifuddin, 2010).

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorik dan pemeriksaan terkait merupakan

komponen penting dalam pengkajian fisik. Semua uji dan

pemeriksaan dilakukan sebagai bagian skrining rutin yang

bervariasi berdasarkan usia klien, status risikonya dan apakah ia

sedang hamil (Varney, 2007). Pemeriksaan yang perlu dilakukan

sebelum dilakukan MOW yaitu pemeriksaan darah (kadar Hb) dan

pemeriksaan kehamilan (PP test). Ibu yang diduga atau diketahui

36

hamil tidak diizinkan untuk dilakukan MOW. Begitu pula ibu yang

mengalami anemia defisiensi besi dengan kadar Hb < 7 gr%

(Saifuddin, 2010).

Langkah II. Interpretasi Data Dasar

Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau masalah

dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data

yang telah dikumpulkan (Soepardan, 2008).

a. Diagnosis kebidanan

Diagnosis yang dapat ditegakkan pada kasus ini adalah Ny. E umur 31

tahun P3A0 dengan medis operasi wanita di RSUD Banyudono

Kabupaten Boyolali.

b. Masalah

Masalah yang dapat ditemukan pada akseptor baru MOW adalah

cemas, yang ditandai dengan ketakutan terhadap tindakan yang akan

dilakukan pada dirinya (Trismiati, 2009).

c. Kebutuhan

Kecemasan yang dihadapi klien dapat dikurangi dengan pemberian

konseling dengan benar mengenai asuhan yang akan diberikan dan

segala kenyamanan yang mungkin terjadi (Trismiati, 2009). Kebutuhan

yang ditetapkan pada Ny. E umur 31 tahun P3A0 dengan medis operasi

wanita di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali adalah konseling

yang diberikan pratindakan, selama tindakan dan pasca tindakan MOW

(Wiknjosastro, 2005).

37

Langkah III. Identifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial dan

Antisipasi Penanganannya

Mengidentifikasi masalah potensial atau diagnosis potensial

berdasarkan diagnosis/masalah yang sudah diidentifikasi. Langkah ini

membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan.

Bidan diharapkan waspada dan bersiap diri bila diagnosis potensial ini

terjadi. Langkah ini sangat penting dalam melakukan asuhan yang aman

(Soepardan, 2008).

Pada asuhan kebidanan akseptor MOW, seharusnya tidak ditemukan

diagnosis potensial. Jika terdapat tanda-tanda yang mengarah pada

komplikasi, lebih baik dilakukan penundaan proses bedah hingga temuan

tersebut dapat dievaluasi dan keadaan klien membaik (Saifuddin, 2010).

Meskipun demikian, komplikasi mungkin dapat terjadi setelah

dilakukan tindakan MOW. Komplikasi tersebut antara lain infeksi luka,

demam pasca operasi, luka pada kandung kemih, luka intestinal,

hematoma, emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi, rasa sakit pada

lokasi pembedahan serta perdarahan superfisial. Antisipasi dan

penanganan diberikan sesuai dengan komplikasi yang timbul (Saifuddin,

2010).

Langkah IV. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera

Mengidentifikasi perlunya tindakan segera yang dilakukan oleh

bidan atau dokter untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama anggota

tim kesehatan lain sesuai dengan kondisi klien (Soepardan, 2008).

38

Telah disebutkan bahwa pada asuhan kebidanan akseptor MOW

seharusnya tidak ditemukan diagnosis potensial. Namun, jika terjadi

komplikasi pasca operasi, maka dilakukan penanganan yang sesuai

(Saifuddin, 2010).

Langkah V. Perencanaan Asuhan Menyeluruh

Pada langkah ini, direncanakan asuhan menyeluruh yang ditentukan

berdasarkan langkah-langkah sebelumnya. Tidak hanya meliputi semua hal

yang sudah teridentifikasi, asuhan yang menyeluruh juga berdasarkan

kerangka pedoman antisipasi terhadap klien (Soepardan, 2008).

Asuhan yang diberikan pada Ny. E umur 31 tahun P3A0 dengan

medis operasi wanita di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali yaitu:

a. Konseling prabedah

Menjelaskan teknik operasi, anestesi dan kemungkinan rasa sakit dan

tidak nyaman selama operasi. Jika ibu telah bersedia untuk dilakukan

tindakan, berikan surat persetujuan atau informed consent pada ibu dan

keluarga yang mendampingi.

b. Persiapan prabedah

Meliputi persiapan kelengkapan peralatan bedah dan obat anestesi.

Selain itu memberikan support mental agar klien tenang dan tidak

cemas.

c. Pelaksanaan tindakan

Melakukan kolaborasi tindakan dengan dokter spesialis kebidanan dan

kandungan untuk pelaksanaan tindakan operasi.

39

d. Tindakan pascabedah

Meliputi pemindahan klien dari meja operasi ke ruang pemulihan untuk

dilakukan observasi selama 1 jam.

e. Dekontaminasi

Meliputi membuang sampah-sampah medis, merendam alat-alat yang

telah digunakan dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit serta

merapikan ruangan.

f. Konseling dan instruksi pascabedah

Menjelaskan untuk menjaga daerah operasi tetap kering serta

meyakinkannya untuk segera ke fasilitas kesehatan jika ada keluhan.

(Saifuddin, 2010)

Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan

Aman

Asuhan menyeluruh seperti yang telah direncanakan dilaksanakan secara

efisien dan aman. Pelaksanaan ini dapat dilakukan seluruhnya oleh bidan

atau sebagian oleh anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan berkolaborasi

dengan dokter dalam penanganan klien yang mengalami komplikasi, bidan

tetap bertanggung jawab terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama

yang menyeluruh tersebut. Penatalaksanaan yang efisien dan berkualitas

dapat menyingkat waktu dan menghemat biaya (Soepardan, 2008).

40

Langkah VII. Evaluasi

Pada langkah terakhir ini, dilakukan evaluasi keefektifan asuhan

yang sudah diberikan, meliputi pemenuhan kebutuhan masalah yang telah

teridentifikasi (Soepardan, 2008).

Evaluasi yang diharapkan dari klien setelah dilakukan asuhan pasca

MOW dan tidak ditemukan masalah, maka klien dapat dipulangkan setelah

4-6 jam (Saifuddin, 2010).

C. Follow Up Data Perkembangan Kondisi Pasien

Tujuh langkah Varney disarikan menjadi empat langkah yaitu SOAP

(Subjective, Objective, Assesment dan Planning). SOAP disarikan dari proses

pemikiran penatalaksanaan kebidanan sebagai perkembangan catatan

kemajuan keadaan klien (Kepmenkes RI Nomor: 938/Menkes/SK/VIII/2007).

1. S : Subjective (Data Subjektif)

Data subjektif adalah catatan kualitatif dan kuantitatif dari pasien yang

mencakup perasaan, reaksi atau pengamatan terhadap masalah. Data ini

menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui

anamnesis sebagai langkah I Varney.

2. O : Objective (Data Objektif)

Data objektif menggambarkan hasil pemeriksaan fisik, hasil

laboratorium dan hasil tes diagnostik lain klien yang dirumuskan dalam

data fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney.

Setiap 15 menit dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan nadi. Jika

telah diperbolehkan minum, hendaknya klien diberi cairan yang

41

mengandung gula untuk membantu meningkatkan kadar glukosa darah

(Saifuddin, 2010).

3. A : Assesment (Analisis)

Analisis menggambarkan pendokumentasian hasil analisis dan

interpretasi data subjektif dan objektif dalam suatu identifikasi diagnosa

dan masalah kebidanan serta kebutuhan sebagai langkah II Varney.

Analisis pada kasus ini adalah ibu akseptor medis operasi wanita

(MOW) pasca tindakan.

4. P : Planning (Penatalaksanaan)

Penatalaksanaan mencakup seluruh perencanaan dan

penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif,

tindakan segera, tindakan secara komprehensif (seperti penyuluhan,

dukungan, kolaborasi, evaluasi atau follow up dari rujukan) sebagai

langkah III, IV, V, VI dan VII Varney.

Asuhan perawatan setelah tindakan MOW menurut Saifuddin

(2010), yaitu:

a. Mengobservasi keadaan umum, tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi,

pernafasan dan suhu) serta perdarahan pada luka operasi dan vagina

b. Menganjurkan ibu untuk istirahat dan menjaga tempat sayatan operasi

agar tidak basah minimal selama 2 hari

c. Menganjurkan ibu untuk melapor ke petugas kesehatan jika menemui

keluhan panas/demam di atas 380C, pusing dan terasa terputar/

42

bergoyang, nyeri perut menetap atau meningkat serta keluar cairan atau

darah dari/melalui luka sayatan

d. Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi

untuk pemberian terapi dan anjuran pulang

e. Menganjurkan kunjungan ulang seminggu setelah tindakan dan kontrol

lanjutan pada minggu kedua.