bab ii tinjauan pustaka a. 1.repository.poltekkes-tjk.ac.id/794/4/bab ii.pdfluka adalah rusaknya...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Luka
1. Pengertian luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat
proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan
mengenai organ tertentu. (Potter & Perry, 2006). Luka adalah hilang
atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang bisa disbabkan oleh trauma
benda tajam atau tumpu, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan
listrik, atau gigitan hewan (sjamsuhidajat & wim de jong, 2005).
Klasifikasi luka memberikan gambaran tentang status integritas
kulit, penyebab luka, keparahan, luasnya cedera atau kerusakan
jaringan, kebersihan luka, atau gambaran kualitas luka, misalnya warna.
Luka penetrasi akibat pisau di sebut luka terbuka, dan luka kontusi
disebut luka tertutup. Luka terbuka menimbulkan resiko infeksi yang
lebih besar dari pada luka tertutup.
Luka jahitan post sectio caesarea merupakan hilangnya kontinuitas
jaringan atau kulit yang disebabkan oleh trauma atau prosedur
pembedahan. Menurut teori tepi luka bagian luka secara normal terlihat
mengalami imflamasi pada hari ke-2 sampai hari ke-3, tetapi lama
kelamaan imflamasi ini akan menghilang dalam waktu 7-10 hari luka
dengan penyembuhan normal akan terisi sel epitel dan bagian
pinggirnya akan menutup. Apabila terjadi infeksi tepi luka akan terlihat
bengkak dan meradang (Kozier, 2012).
2. Penyembuhan luka
Penyembuhan luka melibatkan integrasi proses fisiologis. Sifat
penyembuhan pada semua luka sama, dengan variasinya bergantung
pada lokasi keparahan dan luasnya cedera. Kemampuan sel dan jaringan
melakukan regenerasi atau kembali ke struktur normal melalui
pertumbuhan sel sel juga mempengaruhi penyembuhan luka.
6
Sel hati,tubulus ginjal dan neuron pada sistem saraf pusat mengalami
regenerasi yang lambat atau tidak beregenerasi sama sekali, ada dua
jenis luka, yaitu luka dengan jaringan yang hilang dan luka tanpa
jaringan yang hilang.
Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan
fungsi jaringan yang sudah rusak. Penyembuhan luka melibatkan
integrasi proses fsilologis (Boyle,2009 dalam Potter & Perry,2006).
Insisi bedah yang bersih merupakan contoh luka dengan sedikit jaringan
yang hilang, luka bedah akan mengalami penyembuha primer. Tepi tepi
kulit merapat atau saling berdekatan sehingga mempunyai resiko
infeksi yang rendah serta penyembuhan cenderung terjadi dengan cepat.
Penyembuhan luka primer proses penyembuhan luka normal adalah
perbaikan luka bedah yang bersih. Penyembuhan terjadi dalam
beberapa tahap, yang di gambarkan oleh Doughty (1992) terdiri dari
fase inflamasi, poliferasi, dan maturasi. Penyembuhan luka
didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS) sebagai suatu yang
kompleks dan dinamis sebagai akibat dari pengembalian kontinuitas
dan fungsi anatomi.
3. Proses Penyembuhan Luka
a. Fase inflamasi
Fase inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai
setelah beberapa menit dan berlangsung selama sekitar 3 hari
setelah cidera. Proses perbaikan terdiri dari mengontrol perdarahan
(hemostasis), mengirim darah dan sel ke arah yang mengalami
cidera, dan membentuk sel-sel epitel pada tempat cedera
(epitelialisasi). Selama proses hemostasis, pembuluh darah yang
cedera akan mengalami kontraksi dan trombosit berkumpul untuk
menghentikan perdarahan.
Bekuan–bekuan darah membentuk matriks fibrin yang
nantinya akan menjadi kerangka untuk perbaikan sel. Jaringan
7
yang rusak menyekresi histamin, yang menyebabkan vasodilatasi
kapiler di sekitarnya dan mengeluarkan serum dan sel-sel darah
putih ke dalam jaringan yang rusak. Hal ini menimbulkan reaksi
kemerahan, edema, hangat, dan nyeri lokal. Respon inflamasi
merupaka respon yag menguntungkan dan tidak perlu
mendinginkan area inflamasi atau mengurangi bengkak kecuali
jika bengkak terjadi dalam ruang tertutup. Leukosit (sel darah
putih) akan mencapai luka dalam beberapa jam. Leukosit utama
yang bekerja pada luka adalah neutrofil, yang mulai memakan
bakteri dan debris yang kecil. Neutrofil mati dalam beberapa hari
dan meninggalkan eksudat enzim yang akan menyerang bakteri
atau membantu perbaikan jaringan.pada inflamasi kronik, neutrofil
yang mati akan membentuk pus.
Leukosit penting yang ke dua adalah monosit yang akan
berubah menjadi makrofag (sel kantong sampah) yang akan
membersihkan luka dari bakteri, sel-sel mati dan debris dengan
cara fagositosis. Makrofag juga mencerna dan mendaur ulang zat-
zat tertentu, seperti asam amino dan gula yang dapat membantu
dalam perbaikan luka. Makrofag akan melanjutkan proses
pembersihan debris luka, menarik lebih bnayak makrofag dan
menstimulasi pembentukan fibriblas, yaitu sel yang mensintesis
kolagen. Kolagen dapat di temukan paling cepat pada hari kedua
dan menjadi komponen utama jaringan parut.
Setelah makrofag membersihkan luka dan menyiapkannya
untuk perbaikan jaringan, sel epitel bergerak dari bagian tepi luka
di bawah dasar bekuan darah. Sel epitel berkumpul di bawah
rongga luka selama sekitar 48 jam, lalu di atas luka akan terbentuk
lapisan tipis dari jaringan epitel dan menjadi barier terhadap
organisme penyebab infeksi.
Terlalu sedikit proses inflamasi yang terjadi akan
menyebabkan fase inflamasi berlangsung lama dan proses
8
perbaikan menjadi lambat, seperti yang terjadi pada penyakit yang
terlalu banyak inflamasi juga dapat memperpanjang masa
penyembuhan luka karena sel yang tiba pada luka akan bersaing
untuk mendapatkan nutrisi yang memadai.
b. Fase ploliferasi (regenerasi)
Dengan munculnya pembuluh darah baru sebagai hasil
rekonstruksi, fase proliferasi terjadi dalam waktu 3-24 hari.
Aktivitas utama selama fase regenarasi ini adalah mengisi luka
dengan jaringan penyambung atau jaringan gramlasi yang baru dan
menutup bagian atas luka dengan epitelisasi. Fibroblast adalah sel-
sel yang mensintesis kolagen yang akan menutup defek luka.
Fibroblas membatuhkan vitamin E dan C, oksigen, dan asam amino
agar dapat berfungsi dengan baik. Kolagen memberikan kekuatan
dan integritas struktur pada luka.
Selama periode ini luka mulai tertutup oleh jaringan yang
baru. Bersamaan dengan proses rekonstruksi yang terus
berlangsung, daya elastisitas luka meningkat dan risiko terpisah
atau ruptur luka akan menurun. Tingkat tekanan pada luka
mempengaruhi jumlah jaringan parut yang terbertuk. Contohnya
jaringan parut lebih banyak terbentuk pada luka diekstremitas
dibandingkan dengan luka pada daerah yang pergerakannya sedikit,
seperti di kulit kepala atau dada. Gengguan proses penyembuhan
selama fase ini biasanya disebabkan oleh faktor, seperti usia,
anemia, hipo proteinemia dan defisiensi zat besi.
c. Maturasi (remodeling)
Maturasi, yang merupakan tahap akhir proses penyembuhan
luka, dapat memerlukan waktu lebih dari 1 tahun. Bergantung pada
kedalaman dan keluasan luka, jaringan parut kolagen terus
melakukan reorganisasi dan akan menguat setelah beberapa bulan.
9
Namun, luka yang telah sembuh biasanya tidak memiliki daya
elastisitas yang sama dengan jaringan yang digantikannya. Serat
kolagen mengalami remodeling atau reorganisasi sebelum
mencapai bentuk normal. Biasanya jaringan parut mengandung
lebih sedikit sel-sel pigmentasi (melanosit) dan memiliki warna
yang lebih terang dari pada warna kulit normal.
4. Kriteria Penyembuhan Luka
Derajat infeksi pada luka secara klinis dapat dinilai berdasarkan
skala REEDA menurut Alvarenga dkk (2015).
Tabel 2.1
Skala REEDA
Poin Redness Edema Ecchymosis Discharge Approximation 0 Tidak ada Tidak
ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 Sekitar 0,25 cm pada kedua insisi
<1 cm dari insisi
0,25 cm pada masing masing irisan atau -5 cm pada salah satu irisan
Serum kulit terpisah ≤ 3mm
2 Sekitar o,5 cm pada kedua insisi
Sekitar 1 - 2 cm dari insisi
Antara 0,25 cm – 1 cm pada kedua irisan atau 0,5 – 2 cm pada salah satu irisan
Serosangulnous
Kulit dan lemak subkutan terpisah
3 >0,5 cm pada kedua sisi
> 2 cm dari insisi
> 1 cm pada kedua irisan atau 2 cm pada salah satu irisan
Darah, dan perulen
Kulit, lemak subkutan dan lapisan facial terpisah
(Sumber : Alvarenga dkk, 2015)
Skala REEDA adalah sebuah alat yang menilai proses imflamasi dan
penyembuhan jaringan pada trauma perineal, melalui evaluasi dari 5 poit :
kemerahan, oedema, ecchymosis, discharge dan approximation pada tepii
dari luka. Dari masing masing item, skor dimulai dari 0 sampai 3 ditetapkan
oleh tenaga medis. Semakin tinggi skor yang didapat maka tingkat trauma
pada jaringan tinggi.(Alvarenga dkk, 2015)
10
Dalam skala REEDA terdapat 5 poin yang dinilai untuk menentukan
kriteria penyembuhan luka, 5 poin tersebut adalah rednnes (kemerahan),
edema, ecchymosis, discharge, dan approximation. Rednnes (kemerahan)
yang dalam bahasa kedokteran yaitu eritema adalah lesi kulit primer yang
paling sering ditemukan pada penyakit kulit, disebabkan karena dilatasinya
pembuluh darah dermis. (Budianti WK, 2011). Odema merupakan cairan
berlebih yang berada di sela – sela jaringan. Ecchymosis merupakan bercak
pendarahan kecil , lebih besar dari petekei di kulit atau selaput lendir
membentuk bercak biru atau keunguan yang rata, bundar atau irreguler.
Approximation merupakan suatu tindakan atau proses saling mendekatkan
atau membuat aposisi, dalam hal ini adalah bekas luka syatan operasi.
(Dorland, 2010)
5. Komplikasi penyembuhan luka
a. Hemoragi
Hemoragi atau perdarahan dari daerah luka merupakan hal yang
normal terjadi selama dan sesaat setelah trauma. Semostasis terjadi dalam
beberapa menit kecual jika luka mengenai pembuluh darah besar atau
fungsi pembekuan darah klien buruk. Perdarahan terjadi serelah
hemostasis menunjukkan lepasnya jahitan operasi, keluarnya bekuan
darah, infeksi, atau erosi pembuluh darah oleh benda asing (contoh,
selang drainase). Perdarahan dapat terjadi secara eksternal atau internal.
Contohnya jika jahitan operasi merobek pembuluh darah, maka
pendarahan terjadi di dalam jaringan dan tidak terlihat tanda-tanda
perdarahan kecuali jika klien terpasang drain setelah pembedahan, yang
berguna untuk membuang cairan yang terkumpul di dalam jaringan di
bawah luka.
Hematoma adalah pengumpalan darah lokal di bawah jaringan.
Hematoma terlihat seperti bengkak adalah massa yang sering berwarna
kebiruan hematoma yang terjadi didekat anteri atau vena yang besar
berbahaya karena tekanan akibat hematoma dapat menghambat aliran
11
darah. Perdarahan eksternal lebih jelas terlihat Perawat dalam
mengobservasi adanya drainase darah pada balutan yang menutupi luka.
Jika perdarahan terjadi secara luas, maka balutan cepat basah dan darah
keluar dari tepi balutan luka secara terus menerus dan berkumpul di bawah
tubuh klien. Luka operasi beresiko mengalami perdarahan selama 24
sampai 48 jam pertama setelah operasi (Potter & Perry, 2006).
b. Infeksi
Infeksi merupakan invasi tubuh oleh pathogen atau mikroorganisme
yang mampu menyebabkan sakit. (Potter & Perry, 2005). Infeksi
merupakan invasi dan proliferasi mikroorganisme pada jaringan tubuh.
Mikroorganisme yang menginvasi dan berproliferasi pada jaringan tubuh
disebut agen infeksi. Apabila mikroorganisme tidak menimbulkan tanda
klinis penyakit, infeksi yang ditimbulkan disebut infeksi asimptomatik atau
subklinis. (Kozier, 2011). Infeksi luka merupakan infeksi nosokomial
(infeksi yang berhubungan dengan rumah sakit). Menurut centers for
disease control (CDC) luka mengalami infeksi jika terdapat drainase
purulen pada luka, yang membedakan antara luka terkontaminasi dan
terinfeksi adalah jumlah bakteri yang ada di dalamnya, menurut
kesepakatan luka yang mengandung bakteri jenis ini dalam jumlah yang
kurang dari 100.000/ml sudah di anggap terinfeksi. Luka terkontaminasi
atau luka traumatik akan menujukan tanda tanda infeksi lebih awal yaitu
dalam waktu 2-3 hari. Infeksi luka operasi biasanya tidak terjadi sampai
hari ke 4 atau ke 5 setelah operasi pasien mengalami demam,nyeri
tekan,dan nyeri pada daerah luka serta jumlah sel darah putih klien
meningkat (Potter & Perry, 2006).
1) Tanda dan gejala infeksi
a) Pembengkakan lokal
b) Kemerahan lokal
c) Nyeri atau nyeri tekan saat palpasi atau saat digerakkan
d) Teraba panas pada area yang terinfeksi
12
e) Kehilangan fungsi pada bagian tubuh yang terkena, tergantung
pada area dan perluasan area yang terkena
Selain itu, luka terbuka dapat menghasilkan eksudat dengan
berbagai warna. Infeksi sistemik memiliki tanda dan gejala
mencakup:
a) Demam
b) Peningkatan frekuensi napas, jika demam tinggi
c) Malaise dan kehilangan energy
d) Anoreksia, dan pada bebrapa situasi, mual dan muntah
e) Pembesaran dan nyeri tekan kelenjar limfe yang mengalir ke
area infeksi
f) Peningkatan hitung leukosit (normal 4500 sampai 11.000/ml)
g) Peningkatan laju endap darah (LED).
h) Kultur urine, darah, sputum, atau drainase lain yang
mengindikasikan adanya mikroorganisme pathogen tidak normal
dalam tubuh. (Kozier, 2004)
c. Dehisens
Jika luka tidak sembuh dengan baik maka lapisan kulit dan jaringan
akan terpisah. Terpisahnya lapisan kulit dan jaringan paling sering terjadi
sebelum pembentukan kolagen (3-11 hari setelah cedera). Dehisens adalah
terpisahnya lapisan luka secara persial atau total. Klien dengan obesitas
juga beresiko tinggi mengalami dehisens karena adanya regangan yang
konstan pada luka dan buruknya kualitas penyembuhan luka pada jaringan
lemak. Dehisens sering terjadi pada luka pembedahan abdomen dan terjadi
setelah regangan mendadak, misalnya batuk, muntah atau duduk tegag di
tempat tidur. Klien sering melaporkan rasa seakan akan ada sesuatu yang
terlepas.
d. Eviserasi
Terpisahnya lapisan luka secara total dapat menimbulkan evisersi atau
keluarnya organ viseral melaiui luka yang terbuka. Kondisi ini merupakan
darurat medis yang perlu diperbaiki melalui pembedahan. Bila terjadi
13
eviserasi, perawat melakukan handuk steril yang dibasahi dengan salin
normal steril di atas jaringan yang keluar untuk mencegah masuknya
bakteri dan kekeringan pada jaringan tersebut. Keluarnya organ melalui
luka dapat membahayakan suplai darah ke jaringan tersebut, klien harus
tetap puasa, dan terus diobservasi adanya tanda dan gejala syok serta
segera siapkan pembedahan darurat.
e. Fistula
Fistula adalah saluran abrormal yang berada di antara 2 buah organ di
antara organ dan bagian luar tubuh. Dokter bedah membuat fistula untuk
kepentingan terapi, misalnya, pembuatan saluran antara lambung dengan
dinding abdomen luar untuk memasukkan selang gastrostomi yang
berguna untuk memasukkan makanan. Namun, sebagian besar fistula
terbentuk karena penyembuhan luka akan yang buruk atau karena
komplikasi suatu penyakit, seperti penyakit Chron atau enteritis regional.
Trauma, infeksi, terpapar radiasi serta penyakit seperti kanker akan
menyebabkan lapisan jaringan tidak menutup dengan baik dan membentuk
saluran fistula. Fistula meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit akibat kehilangan cairan.
f. Penundaan penutupan luka
Peyembuhan luka tersier atau penundaan penutupan luka adalah
tindakan yang sengaja dilakukan oleh dokter bedah agar terjadi drainase
yang efektif dari luka yang bersih atau yang terkontaminasi. Luka tidak
ditutup hingga semua tanda edema dan debris luka hilang. Balutan oklusit
digunakan untuk mencegah kontaminasi pada luka. Kemudian luka ditutup
seperti pada penutupan penyembuhan primer, melalui percobaan yang
telah dilakukan diketahui bahwa pada teknik ini pembentukan parut atau
penundaan secara signifikan (Coper, 1992 dalam Potter, & perry, 2006).
14
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
Menurut Potter & Perry 2006 faktor faktor yang mempengaruhi
penyembuhan luka ialah :
a. Nutrisi
Istilah gizi berasal dari bahasa arab gizawi yang berarti nutrisi. Gizi
merupakan substansi organik dan non-organik yang ditemukan dari
makanan yang dibutuhkan oleh tubuh agar bisa berfungsi dengan baik.
(Kozier, 2004). Gizi (Nutrition) adalah suatu proses organisme
menggunakan makanan yang konsumsi secara normal melalui proses
digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan
pengeluaran zat–zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan
kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ.
(Supariasa, Bakri, & Fajar, Penilaian Status Gizi, 2002). Nutrisi
berfungsi untuk membentuk dan memelihara jaringan tubuh , mengatur
proses-proses dalam tubuh, serta sebagai sumber tenaga. Penyembuhan
luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat. Secara fisiologis
pada pasien post operasi terjadi peningkatan metabolik ekspenditur
untuk energi dan perbaikan, meningkatnya kebutuhan nutrien untuk
homeostasis, pemulihan, kembali pada kesadaran penuh, dan
rehabilitasi ke kondisi normal (Torosian, 2004). Prosedur operasi
tidak hanya menyebabkan terjadinya katabolisme tetapi juga
mempengaruhi digestif, absorpsi, dan prosedur asimilasi di saat
kebutuhan nutrisi juga meningkat (Ward, 2003). Proses fisiologi penyembuhan luka bergantung pada tersedianya
protein, vitamin terutama A dan C serta mineral renik zink dan
tembaga. Kolagen adalah protein yang terbentuk dari asam amino yang
di peroleh fibroblas dari protein yang di makan.
Vitamin A terdapat di minyak ikan, hati, mentega, susu, keju, telur,
serta minyak nabati. Sedangkan sumber Vitamin A yang utama adalah
hati, wortel, mentega, susu, dan margarin. Lalu selanjutnya ada vitamin
15
C yang merupakan senyawa berwarna putih, berbentuk kristal, dan
sangat larut dalam air. Vitamin ini banyak terdapat di hampir semua
bahan pangan nabati seperti sayuran dan buah-buahan segar. Selain itu
vitamin C terdapat di pangan hewani seperti hati, ginjal mentah, susu
segar. Vitamin C berfungsi mendukung pembentukan semua jaringan
tubuh, terutama jaringan ikat. (Mubarak,& Chayatin, 2008). Jaringan
ikat dibutuhkan untuk mensitesis kolagen.
Terapi nutrisi salah satu komponen sangat penting untuk klien dalam
proses penyebuhan akibat penyakit. Klien yang telah melakukan
operasi membutuhkan setidaknya 1500 Kkal/hari. (Potter& Perry,
2006). Menurut Rusjiyanto (2009) dalam Hasmanidar (2015) Nutrisi
mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka, nutrisi yang buruk
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh yang memberi perlindungan
terhadap penyakit infeksi, seperti penurunan sekretori imuno globulin
A (AIgA) yang dapat membe rikan kekebalan permukaan membren
mukosa, gangguan sistem fagositosis, ganguan pembentukan
kekebalan humoral tertentu, berkurangnya sebagian komplemen dan
berkurangnya thymus sel T. Studi observasional yang menilai status
gizi dan dampaknya pada pasien bedah yang dilakukan oleh
Sulistyaningrum & Puruhita (2007) menemukan semakin baik IMT ,
semakin cepat penyembuhan luka operasi dan semakin tinggi albumin,
semakin cepat penyembuhan luka operasi. Sementara penelitian yang
dilakukan oleh Ijah (2009) menunjukkan adanya pengaruh status gizi
secara signifikan terhadap penyembuhan luka dan lama rawat inap. Penilaian status gizi dengan dengan cara antropometri banyak
digunakan dalam penelitian atau survei, baik survei secara luas dalam
skala nasional maupun survei untuk wilayah terbatas, untuk mengukur
status gizi orang dewasa ( umur diatas 18 tahun ) WHO dan FAO
menetapkan untuk menggunakan indeks masa tubuh (IMT) yang sudah
di kualisifikasikan seperti tabel 2.1. (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002)
16
Tabel 2.2
Skala ukur IMT
Status Kategori IMT
Kurang Kekurangan Berat Badan Tingkat Berat
< 17,0
Kekurangan Berat Badan Tingkat Ringan
17,0 – 18,5
Normal > 18,5 – 25,0
Lebih Kelebihan Berat Badan Tingkat Ringan
> 25,0 – 27,0
Kelebihan Berat Badan Tingkat Berat
> 27,0
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002)
b. Usia
Biasanya penyembuhan luka pada lansia cenderung lebih lambat,
aspek fisiologi penyembuhan luka tidak bebeda dengan klien yang berusia
muda. Masalah yang terjadi selama proses penyembuhan sulit ditentukan
penyebabnya, karena proses penuaan atau karena penyebab lainnya. Usia
dapat menggangu semua tahap penyembuhan luka perubahan vaskuler,
mengganggu sirkulasi ke daerah luka. Penuaan fungsi hati mengganggu
sintesis pembekuan darah maka respon imflamasi menjadi lambat,
pembentukan antibodi dan limfosit menurun, jaringan kolagen kurang
lunak, dan jaringan parut kurang elastis. (Potter & Perry, 2006)
Menurut Jhonson (2011) dalam Hasmanidar (2015) bahwa penambahan
usia berpengaruh terhadap semua penyembuhan luka sehubungan dengan
adanya gangguan sirkulasi dan keogulasi, respon imflamasi yang lebih
lambat dan penuruna aktifitas fibroblas. Kulit utuh yang sehat pada orang
dewasa muda merupakan suatu barier yang baik terhadap trauma mekanis
dan infeksi. Begitu pula dengan efisiensi sistem imun, sistem
kardiovaskuler, dan sistem respirasi, yang memungkinkan penyembuhan
luka terjadi cepat. Menurut Bartini, 2013 usia dewasa muda antara 20 – 35
tahun, kulit utuh pada dewasa muda yang sehat merupakan suatu barier
yang baik terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitu juga yang
17
berlaku pada efisiensi sistem imun, sistem kardiovaskuler, dan respirasi
yang memungkinkan penyembuhan luka lebih cepat. Usia reproduksi sehat
adalah usia yang aman bagi seorang wanita untuk hamil dan melahirkan
yaitu usia 20-35 tahun . (Bartini, 2012 dalam nurani, kintjewn, losu 2015).
Sementara usia >35 tahun fungsi-fugsi organ reproduksi menurun
sehingga beresiko menjalani kehamilan.
c. Mobilisasi
Mobilisasi ialah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehat. (Mubarak & Cahyatin, 2008). Mobilisasi berpengaruh pada proses
penyembuhan luka, karena dengan mobilisasi dini dapat memperbaiki
tonus otot, meningkatkan mobilisasi sendiri memperbaiki toleransi otot
untuk latihan, mungkin meningkatkan masa otot pada sistem toleransi otot,
membantu proses penyembuhan ibu yang telah melahirkan secara sectio
caesarae. (Lahal, Muzakkir & Muhtar, 2018). Mobilisasi ialah
kemampuan individu untuk bergerak secara bebas,mudah, serta teratur
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna
mempertahankan kesehatannya. Mobilisasi dini merupakan faktor yang
mendukung proses penyembuhan atau pemulihan pasca bedah dengan
cepat. Dengan mobilisasi dini maka vaskularisasi menjadi semakin baik
sehingga akan mempengaruhi proses penyembuhan luka post operasi
karena luka membutuhkan peredaran darah yang baik untuk pertumbuhan
atau perbaikan sel (Sumarah, 2013)
Menurut Sihotang & Yulianti (2018) mobilisasi dini berpengaruh
terhadap penyembuhan luka sectio caesarea karena dengan melakukan
mobilisasi dini peredaran darah menjadi lancar sehingga darah dapat
menyalurkan oksigen ke jaringan yang mengalami luka.
18
1) Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi
a) Gaya hidup
Latar belakang budaya, nilai-nilai yang dianut, serta lingkungan
tempat tinggal dapat mempengaruhi mobilitas seseorang.
b) Ketidakmampuan
Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk
melakukan aktivitas. Secara umum ketidakmampuan ada dua
macam, yakni ketidakmampuan primer dan ketidakmampuan
sekunder. Ketidakmampuan primer ialah disebabkan oleh penyakit
atau trauma, sedangkan ketidakmampuan sekunder terjadi akibat
dampak dari ketidakmampuan primer yang mengakibatkan
Kelemahan otot dan tirah baring.
c) Tingkat energi
Mobilisasi sangat membutuhkan energi dalam hal ini, cadangan
energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi.
d) Usia
Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam
melakukan mobilisasi, pada lansia kemampuan untuk melakukan
aktivitas dan mobilisasi sudah berkurang sejalan dengan penuaan.
Pada hari-hari pertama pasca bedah cesar, ibu pasti akan
memerlukan bantuan untuk melakukan hampir semua kegitan.
Irisan diperut biasnya masih teras sakit dan sulit untuk bergerak.
Oleh karena itu ibu perlu bantuan untuk melakukan mobilisasi.
d. Diabetes Melitus
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti "mengalirkan atau
mengalihkan" (siphon). Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia
yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif
insensititas sel terhadap insulin. Berdasarkan bukti epidemiologi terkin
jumlah penderita diabetes di seluruh dunia saat ini mencapai 200 juta dan
diperkirakan meningkat lebih dari 330 juta pada tahun 2025. Alasan
peningkatan ini termasuk meningkatkan angka harapan hidup dan
19
pertumbuhan populasi yang tinggi dua kali lipat disertai peningkatan
angka obesitas yang dikaitkan dengan urbanisasi dan ketergantungan
terhadap makanan olahan. Di Amerika Serikat, 18,2 juta individu pengidap
diabetes (6,3% dari populasi), hampir satu per tiga tidak menyadari bahwa
mereka memiliki diabetes. (Corwin, 2009).
Diabetes melitus berpengaruh besar dalam penyembuhan luka, salah
satu tanda DM ialah tingginya kadar gula darah yang biasa di sebut
hiperglikemi. Hiperglikemi dapat menghambat leukosit melakukan
fagositosis sehingga rentan terhadap infeksi maka orang yang mengalami
hiperglikemi akan mengalami penyembuhan luka yang sulit dan
berlangsung lama. (Puspitasari, Ummah, & Sumarsih, 2011)
Penyakit kronik menimbulkan penyakit pembuluh darah kecil yang
dapat mengganggu perfusi jaringan. Diabetes menyebabkan hemoglobin
memiliki afinitas yang lebih besar untuk oksigen,sehingga hemoglobin
gagal melepaskan oksigen ke jaringan. Hiperglikemia mengganggu
kemampuan leukosit untuk melakukan fagositosis dan juga mendorong
pertumbuhan infeksi jamur dan ragi yang berlebih.
Tipe diabetes Melitus menurut dokumen konsensus tahun 1997 oleh
American Diabetes Association's expert Commit teeon the Diagnosis and
Class ification of Diabetes mellitus menjabarkan empat kategori utama
diabetes: tipe 1, dengan karakteristik ketiadaan insulin absolut; tipe 2,
ditandai dengan sistensi insulin disertai defek sekresi insulir; tipe 3, tipe
spesifik nya. (Corwin, 2009).
e. Anemia
Anemia adalah suatu kondisi medis di mana jumlah sel darah merah
atau hemoglobin kurang dari normai. (Proverawati, 2011). Kadar
hemogiobin normal umumnya berbeda pada laki-laki dan perempuan
Untuk pría, anemia biasanya didefinisikan sebagai kadar hemoglobin
kurang dari 13,5 gram/100ml dan pada wanita sebagai hemoglobin kurang
dari 120 gram/100ml. Anemia adalah gejala kekurangan (defisuisiensi) sel
darah merah karena kadar hemoglobin yang rendah, atau dalam medis
20
bisa di artika kadar hemoglobin atau sel darah merah dalam tubuh
rendah.anemia dapat digolongkan sebagai berikut :
1). Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
2). Hb 7-8 gr : Anemia sedang
3). Hb <7 gr% : Anemia berat
f. Obesitas
Obesitas memiliki resiko kesehatan yang serius kelebihan berat badan
termasuk dalam obesitas mengalami peningkatan penyakit jantung,
hipertensi, Diabetes Melitus tipe 2. (Black, & Hawks, 2014). Obesitas
juga menyebabkan jaringan lemak kekurangan suplai darah untuk
melawan infeksi bakteri dan untuk mengirimkan nutrisi serta elemen
seluler yang berguna dalam penyembuhan luka. (Potter, & Perry, 2006).
g. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat mempengaruhi penyembuha luka post operasi
adalah jenis obat obatan yang mengandung Steroid. Steroid menurunkan
respon imflamasi dari memperlambat sintesis kolagen, obat obatan anti
inflamasi menekan sintesis protein, kontraksi luka, epitalisasi dan
imflamasi. Penggunaan antibiotik dalam waktu lama dapat meningkatkan
resiko terjadinya superinfeksi. Obat-obatan kemoterapi dapat menekan
fungsi sum-sum tulang, menurunkkan jumlah leukosit, dan mengganggu
respon imflamasi.
h. Stres luka
Muntah distensi abdomen dan usaha pernafasan dapat menimbulkan
stres,pada jahitan operasi dan merusak lapisan luka. Tekanan mendadak
yang tidak terduga pada luka insisi akan menghambat pembentukan sel
endotel dan jaringan kolagen.
21
B. Konsep Kelahiran Cesar
1. Pengertian Sectio caesarea
Sectio Caesarea ialah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka diding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu
histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Padila, 2015).
Kelahiran cesar adalah melahirkan janin melalui insisi uterus
transabdomen. Baik kelahiran cesar direncanakan ataupun tidak
direncanakan. (Lowdermilk, Perry, & Cashion, 2013). Kelahiran cesar
merupakan persalinan melalui pembedahan untuk mengeluarkan bayi
dari rahim lewat suatu irisan/sayatan pada perut bagian bawah dan
rahim Anda. Ini juga disebut cesarensection atau bisa disebut juga C-
section. Karena kelahiran cesar merupakan operasi besar, biasanya
prosedur ini dilakukan hanya bila ada alasan medis namun seringkali
permintaan dari pasien. (Whalley, Simkin, & Kappler, 2008).
2. Indikasi Melahirkan Lewat Bedah Cesar
Kadang-kadang perlunya bedah cesar baru diketahui menjelang
dimulairnya persalinan. Sementara itu, pada kasus lain, bedah cesar
dilakukan setelah munculnya masalah. Inilah alasan-alasan utama untuk
dilakukannya bedah cesar.
a. Alasan-alasan yang Biasanya Diketahui Menjelang Persalinan
1) Ada masalah dengan plasenta.
Bila plasenta menutupi leher rahim (placentaprevia) plasenta
akan keluar sebelum bayi, jadi kelahiran lewat vagina tidak
memungkinkan. Bila plasenta terpisah dari rahim
(Placentalubruptiom), maka bayi akan kekurangan oksigen, oleh
karena itu tindakan pembedahan sectio caesarea sangat perlu
untuk dilakuakan.
2) Sang ibu mengalami masalah medis yang membuat kelahiran
normal tidak aman. Seperti mengidap penyakit jantung, stres
persalinan terlalu berat. Bila sang ibu terinfeksi penyakit herpes
22
kelamin akut bayi dapat terjangkit infeksi ini bila dilahirkan
secara normal lewat vagina. Bila ibu positif terjangkit HIV,
maka bayi akan berpeluang lebih lecil terjangkit virus tersebut
bila dilakukan tindakan pembedahan sectio casarea.
3) Si bayi menderita cacat lahir yang akan memburuk lewat
kelahiran normal.
b. Alasan-alasan yang Muncul Selama Persalinan
1) Persalinan aktif berjalan saugat lambat dan tidak mengalami
kemajuan. Ini berarti leher rahim belum membuka dengan baik
atau bayi belum turun melalui panggul atau jalan lahir. Karena
persalinan awal (pembukaan 0-4 cm) biasanya lambat, hal ini
baru dianggap bermasalah bila persalinan terus melambat
setelah pembukaan 5 cm.
2) Bayi berada pada posisi buruk bagi persalinan normal via. Bila
bokong atau kaki bayi yang ke vagina keluar lebih dulu
(sungsang), kemungkinan persalinan normal akan bermasalah.
Hanya 3-4 bayi yang berhasil keluar dari setiap 100 kasus bayi
sungsang. Bila posisi bayi menyamping atau wajah bayi muncul
lebih dulu (bukannya puncak kepala atau ubun-ubun yang
duluan),persalinan via vagina tidak aman. Namun, posisi-posisi
ini jarang terjadi.Kadang kala, bisa saja kepala bayi sudah
berada di posisi yang baik (puncak kepala berada di bawah)
tetapi rupanya kepala bayi menghadap ke arah yang salah atau
miring ke salah satu sisi. Posisi ini akan membuat bayi lebih
sulit menuruni jalan lahir.
3) Bayi tidak turun ke panggul. Hal ini tidak selalu berarti kepala
bayi terlalu besar atau badan bayi terlalu berat. Hal ini kerap
kali berarti kepala bayi miring sedemikian rupa sehingga tidak
pas masuk melalui panggul.
4) Bayi mengalami kesulitan mengatasi stres persalinan.
Perubahan-perubahan tertentu pada detak jantung bayi selama
23
persalinan dapat memperlihatkan bahwa bayi kemungkinan
tidak mendapat cukup oksigen.
5) Tali pusat turun melalui leher rahim sebelum si bayi (prolapsed
cord). Ketika tali pusat turun lebih dulu, kontraksi persalinan
akan menekan bayi ke tali pusat. Akibatnya, bayi kekurangan
oksigen selama kontraksi.
6) Sang ibu pernah dibedah cesar sebelumnya. Kadang kadang,
seorang dokter menyarankan.persalinan cesar berulang. Namun,
banyak wanita yang tidak ingin dibedah cesar lagi bila tidak
diperłukan. Kelahiran yang aman lewat vagina dapat dicapai
setelah sang ibu menjalani bedah cesar pada persalinan
sebelumnya. Ini disebut persaliman normal setelah bedah cesar
(vaginal birth after cesarean/VBAC)]. Namun, bedah cesar
mungkin perlu diakukan bila masalah yang sama yang
menyebabkan bedah cesar pertama masih ada.
3. Resiko pembedahan sectio caesarea
a. Masalah-masalah yang berhubungan dengan anastesi yang
digunakan saat pembedahan.
b. Rasa sakit beberapa minggu pasca-persalinan.
c. Resiko infeksi dan kehilangan darah lebih besar dari persalinan via
vagina.
d. Resiko bedah cesar yang lebih besar untuk persalinan selanjutnya
Normalnya, ibu yang telah menjalani operasi sectio caesarea akan
di rawat di rumah sakit selama 2 - 4 hari untuk mengobservasi luka
selama proses imflamasi.
24
C. Penelitian Terkait
1. Penelitian Nuraini, Keintjem, & Losu (2015) yang berjudul “ Faktor-
faktor yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka post operasi
sectio caesarea”. Hasil uji Chi-Square untuk usia ibu, nilai p value =
0.019 (p < 0.05), anemia p value = 0.009 (p < 0.05), penyakit penyerta
(D M) nilai p value = 0.038 (p < 0.05). Kesimpulan : Ada hubungan
antara usia, anemia dan penyakit penyerta (DM) dengan proses
penyembuhan luka post SC.
2. Penelitian damayanti (2014) yang berjudul “ faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyembuhan luka post sectio caesarea ’’,hasil
penelitiannyya menyatakan bahwa terdapat hubungan umur, infeksi,
dan Diabetes Melitus dengan penyembuhan luka post sectio caesarea.
3. Penelitian Sihotang, & Yulianti (2017) yang berjudul “ faktor-faktor
yang mempengaruhi proses penyembuhan luka sectio caesarea”.Hasil
penelitian ini tidak ada hubungan usia dengan proses penyembuhan
luka, ada hubungan anemia dengan proses penyembuhan luka, ada
hubungan mobilisasi dini dengan proses penyembuhan luka.
25
D. Kerangka Teori
Berdasarkan landasan teori menurut Notoadmodjo (2007), Kozier
(2011), Potter & Perry (2006) dapat disusun kerangka teori yang telah
dimodifikasi sebagai berikut seperti pada gambar 2.1
Faktor-faktor yang mepengaruhi
penyembuhan luka
1.Usia
2. Nutrisi
3. Mobilisasi
4. Anemia
5. Diabetes Melitus
7. Stres luka
Gambar 2.1
E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ialah suatu uraian dan visualisasi
hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau
antara variabel yang satu dengan variabel lain dari masalah yang ingin
diteliti. Konsep merupakan suatu abstrak yang dibentuk dengan
generalisasikan suatu pengertian (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep
merupakan formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori yang mendukung
penelitian tersebut (Soekidjo, 2012). Oleh karena itu, kerangka konsep yang
diambil oleh peneliti yaitu faktor yang paling banyak mempengaruhi proses
penyembuhan luka pasien pasca operasi
1) Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti gambar 2.2
Penyembuhan luka
post operasi
26
Usia
Nutrisi
Mobilisasi
Anemia
Diabetes Melitus
Stres luka
Gambar 2.2
Kerangka Konsep
Penyembuhan luka post
operasi