bab ii tinjauan pustaka 2.1 tulang - sinta.unud.ac.id ii.pdf · fungsi tulangdibagi menjadi sebagai...

33
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tulang Tulang merupakan salah satu organ penting tubuh manusia. Tubuh manusia terdiri dari sekitar 206 tulang. Berdasarkan bentuknya tulang-tulang ini dapat dibagi menjadi tulang panjang (femur, tibia, dll), tulang pendek (karpalia, jari, dll) dan tulang pipih (tengkorak, wajah). Secara histologi tulang dibagi menjadi tulang imatur (non-lamelar) dan tulang matur (lamelar). Tulang imatur adalah tulang pada anak sedangkan tulang matur adalah tulang pada orang dewasa. Tulang matur dibagi lagi menjadi tulang kortikal dan tulang kanselous. Tulang kortikal terdapat pada diaphysis tulang panjang sedangkan tulang kanselous terdapat pada metaphisis tulang panjang. (Miller, 2012) Tulang mempunyai banyak fungsi. Fungsi tulang dibagi menjadi sebagai struktur anatomik dan sebagai organ. Sebagai struktur anatomik fungsi tulang antara lain menunjang tubuh manusia, sebagai anggota gerak dan melindungi organ dalam. Sebagai organ tulang memproduksi sel darah dan berperan dalam metabolisme kalsium dan fosfat. (Salter, 1999) Secara histologi tulang terdiri dari sel dan matriks ekstraseluler. Sel tulang terdiri dari osteoblas, osteoklas dan osteosit. Tulang secara kontinyu seumur hidup akan mengalami proses remodelling, penyerapan dan pembentukan tulang. Proses ini terjadi secara seimbang. Salah satu penyakit akibat ketidak seimbangan proses

Upload: ngominh

Post on 11-Feb-2018

236 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tulang

Tulang merupakan salah satu organ penting tubuh manusia. Tubuh manusia terdiri

dari sekitar 206 tulang. Berdasarkan bentuknya tulang-tulang ini dapat dibagi

menjadi tulang panjang (femur, tibia, dll), tulang pendek (karpalia, jari, dll) dan

tulang pipih (tengkorak, wajah). Secara histologi tulang dibagi menjadi tulang

imatur (non-lamelar) dan tulang matur (lamelar). Tulang imatur adalah tulang

pada anak sedangkan tulang matur adalah tulang pada orang dewasa. Tulang

matur dibagi lagi menjadi tulang kortikal dan tulang kanselous. Tulang kortikal

terdapat pada diaphysis tulang panjang sedangkan tulang kanselous terdapat pada

metaphisis tulang panjang. (Miller, 2012)

Tulang mempunyai banyak fungsi. Fungsi tulang dibagi menjadi sebagai

struktur anatomik dan sebagai organ. Sebagai struktur anatomik fungsi tulang

antara lain menunjang tubuh manusia, sebagai anggota gerak dan melindungi

organ dalam. Sebagai organ tulang memproduksi sel darah dan berperan dalam

metabolisme kalsium dan fosfat. (Salter, 1999)

Secara histologi tulang terdiri dari sel dan matriks ekstraseluler. Sel tulang

terdiri dari osteoblas, osteoklas dan osteosit. Tulang secara kontinyu seumur hidup

akan mengalami proses remodelling, penyerapan dan pembentukan tulang. Proses

ini terjadi secara seimbang. Salah satu penyakit akibat ketidak seimbangan proses

6

remodeling adalah osteoporosis. Osteoporosis merupakan suatu kondisi akibat

rendahnya masa tulang puncak yang dicapai atau cepatnya proses penyerapan

tulang yang terjadi setelah itu atau kombinasi dari keduanya. (WHO, 2003; AMA,

2004).

2.2 Osteoporosis

2.2.1 Definisi

Osteoporosis menurut WHO (2003) didefinisikan sebagai suatu penyakit

metabolik tulang yang ditandai oleh berkurangnya masa tulang dan kerusakan

mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat meningkatnya kerapuhan tulang,

sehingga terjadi kecenderungan tulang mudah patah. Osteoporosis merupakan

salah satu bentuk osteopenia atau tulang rapuh. Bentuk osteopenia yang lain

adalah osteomalasia. Pada osteoporosis tulang menjadi tipis, rapuh dan mudah

patah akibat terjadi abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses

penyerapan tulang (resorpsi tulang) lebih banyak daripada proses pembentukan

tulang, namun disini tulang sebelumnya sudah mengalami kalsifikasi secara

sempurna. Sedangkan pada osteomalasia tulang menjadi rapuh karena terjadi

gangguan pada proses kalsifikasi tulang sehingga kualitas dan kekuatan tulang

menurun. Jadi pada osteoporosis masalahnya bersifat kuantitatif (berkurangnya

masa tulang) sedangkan pada osteomalacia bersifat kualitatif (rendahnya kualitas

tulang yang terbentuk) (Papaioannou dkk, 2010).

7

2.2.2 Epidemiologi

Pada tahun 2003 WHO mencatat lebih dari 75 juta orang di Amerika dan Eropa

menderita osteoporosis dan penyakit tersebut mengakibatkan 2,3 juta kasus patah

tulang pertahun di Amerika dan Eropa. Dari jumlah tersebut didapatkan kejadian

osteoporosis pasca menopause pada Ras Kaukasian sebesar 17%, Ras Hispanik

12% dan Ras Afrika 8%. Sedangkan berdasarkan usia didapatkan kejadian

osteoporosis 27% pada usia 50-59 tahun, 32% pada usia 60-69 tahun dan 41%

pada usia >70 tahun (WHO, 2003). Di Indonesia belum ada data mengenai angka

kejadian osteoporosis.

Prevalensi osteoporosis meningkat seiring bertambahnya usia sehingga

peningkatan angka harapan hidup menyebabkan angka kejadian osteoporosis akan

terus meningkat. Selain itu gaya hidup masyarakat saat ini yang cenderung tidak

sehat, seperti jarang berolahraga, merokok dan minum alkohol menyebabkan

angka kejadian osteoporosis akan semakin meningkat (Jordan, 2002).

Osteoporosis tiga kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki.

Hal ini disebabkan karena wanita mempunyai masa tulang puncak (peak bone

mass) yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dan karena perubahan hormonal

yang terjadi pada wanita menopause (WHO, 2003).

Patah tulang atau fraktur merupakan salah satu komplikasi serius yang

disebabkan oleh osteoporosis. Fraktur yang sering terjadi pada pasien osteoporosis

adalah fraktur pergelangan tangan (radius distal), fraktur pinggul (hip) dan fraktur

tulang belakang. Berdasarkan data WHO pada tahun 1990 terjadi sebanyak 1,3 –

1,7 juta fraktur hip di seluruh dunia akibat osteoporosis, dan diperkirakan pada

8

tahun 2025 jumlah ini akan meningkat tiga kali lipat. Analisis dari beberapa

penelitian menunjukan bahwa insiden fraktur hip lebih banyak pada negara maju

dibanding negara berkembang dan lebih banyak pada daerah urban dibanding

daerah rural (Jordan, 2002; Dhanwal dkk, 2011).

Pasien fraktur osteoporosis ini akan menimbulkan dampak sosial maupun

ekonomi. Dampak ekonomi meliputi biaya pengeluaran langsung dan tidak

langsung. Biaya pengeluaran langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk

pengobatan, di Amerika Serikat misalnya biaya yang dikeluarkan adalah sebesar

47 juta dolar Amerika perhari. Sedangkan biaya tidak langsung adalah hilangnya

waktu kerja dan biaya lain seperti transportasi selama perawatan pasien (WHO,

2003).

2.2.3 Klasifikasi dan faktor risiko

Berdasarkan penyebabnya, osteoporosis dibagi menjadi dua kelompok:

osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder (SIGN, 2003; WHO, 2003).

1. Osteoporosis primer

Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu

penyakit. Osteoporosis primer terdiri dari:

a. Osteoprosis primer tipe I

Osteoporosis primer tipe I sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca

menopause, karena terjadi pada wanita pasca menopause. Osteoprosis ini

disebabkan karena terhentinya produksi hormon estrogen.

b. Osteoporosis primer tipe II

9

Osteoporosis primer tipe II sering disebut dengan istilah osteoporosis senil,

yang terjadi pada usia lanjut. Pasien biasanya berusia > 70 tahun, laki-laki

dan wanita mempunyai risiko yang sama.

2. Osteoprosis sekunder

Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau

kondisi tertentu, seperti tumor tulang, infeksi tulang, obat-obatan atau

imobilisasi lama.

Faktor risiko osteoporosis terdiri dari faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

dan yang dapat dimodifikasi (SIGN, 2003; WHO, 2003).

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Usia

Setelah tercapainya masa tulang puncak pada usia 30-35 tahun, proses

penyerapan tulang akan lebih banyak daripada proses pembentukan tulang,

sehingga risiko osteoporosis meningkat seiring bertambahnya usia dan

resiko ini signifikan meningkat pada usia > 60 tahun.

b. Jenis kelamin

Osteoporosis tiga kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-

laki. Hal ini disebabkan karena wanita mempunyai masa tulang puncak

yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dan karena perubahan hormonal

yang dialami wanita paska menopause. Wanita yang mengalami

menopause lebih dini mempunyai risiko yang lebih tinggi.

c. Ras

10

Berdasarkan perbandingan ras yang ada di Amerika, orang kulit putih lebih

berisiko osteoporosis dibanding orang kulit hitam.

d. Genetik

Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga osteoporosis mempunyai

risiko yang lebih tinggi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang

menderita osteoporosis makan risikonya akan semakin meningkat.

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Berat badan

Penelitian menunjukan bahwa pada indeks masa tubuh yang rendah

didapatkan kepadatan masa tulang yang rendah pula. Jadi seseorang dengan

tubuh kurus mempunyai risiko yang lebih tinggi.

b. Kebiasaan merokok, minum alkohol dan minum kopi berlebih

Banyak penelitian sudah membuktikan bahwa kebiasaan tidak sehat ini

menurunkan kepadatan masa tulang.

c. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik menimbulkan stres mekanik yang menimbulkan efek pada

tulang yaitu pembentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga

memperkuat tulang dan mengurangi penyerapan tulang. Sehingga pasien-

pasien yang mengalami imobilitas dalam waktu yang lama mempunyai

risiko yang lebih tinggi terkena osteoporosis.

11

d. Nutrisi

Pola makan yang tidak seimbang yang kurang memperhatikan kandungan

gizi seperti kalsium, vitamin D dan fitoestrogen merupakan faktor risiko

osteoporosis.

e. Penyakit atau konsumsi obat tertentu

Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan osteoporosis antara

lain: anoreksia nervosa, penyakit hati kronis, hipertiroid, hiperparatiroid,

inflammatory bowel disease, hipogonadism, penyakit ginjal kronis dan

sindrom Cushing. Sedangkan obat-obat yang mengganggu metabolisme

tulang antara lain: kortikosteroid, sitostatika, antikoagulan (warfarin,

heparin) dan beberapa anti kejang.

Berdasarkan guideline osteoporosis Kanada 2008, yang termasuk faktor risiko

mayor terjadinya osteoporosis dan fraktur osteoporosis adalah:

1. Usia > 65 tahun

2. Fraktur akibat trauma minor setelah usia > 40 tahun

3. Riwayat keluarga osteoporosis

4. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (> 3 bulan)

5. Hiperparatiroid primer

6. Osteopeni yang tampak melalui roentgen

7. Hipogonadism

8. Menopause dini (< 45 tahun)

9. Indeks masa tubuh (BMI) < 19 kg/m2

10. Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan osteoporosis

12

2.1.4 Patogenesis

Fisiologi tulang

Secara histologi tulang terdiri dari sel dan matriks ekstraseluler. Sel tulang terdiri

dari osteoblas, osteoklas dan osteosit. Osteoblas adalah sel yang bertanggung

jawab pada pembentukan tulang. Osteoklas adalah sel yang bertanggung jawab

pada penyerapan tulang. Osteosit adalah osteoblas yang terkubur dalam lakuna

dan termineralisasi dalam matriks tulang. Osteosit berfungsi sebagai

mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang, menambah atau mengurangi masa

tulang. Matriks tulang terdiri dari komponen organik dan inorganik. Komponen

organik meliputi kolagen, proteoglikan dan protein lainnya. Komponen inorganik

terutama terdiri dari kalsium dan fosfor yang saling berikatan dalam bentuk

hydroxyapatite (WHO, 2003; AMA, 2004).

Tulang secara kontinyu seumur hidup akan mengalami proses remodelling,

penyerapan dan pembentukan tulang. Pada masa pertumbuhan lebih banyak

terjadi proses pembentukan tulang daripada penyerapan tulang. Keadaan ini akan

berlangsung sampai tercapainya masa tulang puncak (peak bone mass) pada usia

30-35 tahun. Masa tulang puncak adalah masa tulang diakhir proses maturitas

tulang. Masa tulang puncak merupakan indikator terjadinya osteoporosis.

Semakin tinggi masa tulang puncak semakin rendah risiko terjadinya osteoporosis

dan fraktur, begitu pula sebaliknya. Setelah tercapainya masa tulang puncak,

proses remodeling mulai lebih berat ke arah penyerapan tulang dan pada usia > 60

tahun atau ketika wanita mencapai menopause proses penyerapan tulang semakin

13

banyak daripada proses pembentukan tulang. Kecepatan proses penyerapan tulang

ini dipengaruhi banyak faktor (WHO, 2003; AMA, 2004).

Patogenesis terjadinya osteoporosis

Osteoporosis merupakan suatu kondisi akibat rendahnya masa tulang puncak yang

dicapai atau cepatnya proses penyerapan tulang yang terjadi setelah itu atau

kombinasi dari keduanya (WHO, 2003). Secara seluler hal ini disebabkan oleh

karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel

osteoblas. Sel stroma osteoblas mengekspresikan pada permukaannya RANK

Ligand (RANKL). RANKL mempunyai reseptor RANK yang berada pada

permukaan sel osteoklas progenitor untuk merangsang diferensiasi osteoklas.

Selain itu sel stromal osteoblas juga mensekresi suatu substansi yang dapat

berikatan dengan RANKL, yang disebut Osteoprotegrin (OPG). OPG mencegah

interaksi antara RANKL dan RANK sehingga menghambat pembentukan

osteoklas. Banyak mediator berupa sitokin, faktor pertumbuhan (growth factor)

dan faktor koloni-stimulator yang mempengaruhi proses tersebut. Sitokin yang

menstimulasi osteoklastogenesis antara lain: IL-1, IL-3, IL-6, TNF, Leukemia

Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary Neurotrpoic Factor

(CNTF), Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan

Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF). Sitokin yang menghambat

osteoklastogenesis antara lain: IL-4, IL-10, IL-18 dan interferon-γ. Beberapa

faktor pertumbuhan seperti Insulin-like Growth Factor (IGFs), Transforming

Growth Factor-β (TGF-β), Fibroblast Growth Factor (FGF), Platelet-derived

14

Growth Factor, Bone Morphogenic Protein (BMP) menstimulasi perkembangan

osteoblas (AMA, 2004; Kawiyana, 2009).

Secara garis besar terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

osteoporosis, yaitu: genetik, gangguan hormonal, defisiensi nutrisi dan kurangnya

pembebanan mekanis.

1. Genetik

Secara genetik, kelainan yang terdapat pada osteoporosis bersifat poligenik.

Beberapa gen kandidat sedang diteliti hubunganya dengan terjadinya

osteoporosis. Salah satu penelitian menyebutkan polimorfisms pada bagian

promoter gen COLIal menentukan masa tulang pada tulang belakang dan

resiko terjadinya fraktur tulang belakang. Bagaimana mekanisme gen-gen

tersebut berperan dalam terjadinya osteoporosis masih belum diketahui (WHO,

2003).

2. Gangguan hormonal

a. Defisiensi estrogen

Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat

penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas

maupun osteoklas. Sel osteoblas merupakan sel target utama estrogen. Sel

osteoblas memiliki reseptor estrogen alpha dan betha (ER-α dan ER-β) di

dalam sitosol. Ikatan estrogen dengan reseptor estrogen menghambat sekresi

interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-

α) yang memelihara perkembangan osteoklas. Estrogen juga merangsang

produksi Transforming Growth Factor-β (TGF-β) dan ekspresi osteoprotegrin

15

(OPG) yang menyebabkan apoptosis osteoklas. Didalam percobaan binatang

defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis dan terjadi

kehilangan tulang. Akan tetapi dengan pemberian estrogen terjadi

pembentukan tulang kembali. Defisiensi estrogen terjadi pada wanita

menopause, konsumsi obat yang menghambat produksi estrogen dan latihan

fisik yang berlebih (exercise-induced amenorrhea) (Kawiyana, 2009).

Gambar 2.1 Fungsi estrogen pada metabolisme tulang

b. Hormon lain

Metabolisme tulang juga dipengaruhi oleh hormon lain seperti hormon

paratiroid, calcitonin, 1,25 D3, tiroid, testosteron, glukokortikoid dan

hormon pertumbuhan (Tabel 2.1). Sekresi hormon paratiroid dirangsang

16

oleh hipokalsemia. Hormon paratiroid berikatan dengan reseptor osteoblas

merangsang pelepasan IL-6 sehingga meningkatkan produksi dan aktivitas

osteoklas. 1,25 D3 (metabolit vitamin D) bekerja dengan mekanisme yang

sama dengan hormon paratiroid. Calcitonin menghambat penyerapan

tulang dengan bekerja langsung pada osteoklas dewasa (WHO, 2003).

Tabel 2.1

Hormon-hormon yang mempengaruhi bone turnover

HORMON PEMBENTUKAN

TULANG

PENYERAPAN

TULANG

MASA

TULANG

Estrogen ↑ ↓ ↑

Paratiroid ↑ ↓

Calcitonin ↓ ↑

1,25 D3 ↑ ↓

Testosteron ↑ ↓ ↑

Hormon

pertumbuhan

↑ ↑

Glukokortikoid ↓ ↓

3. Defisiensi nutrisi

Diantara berbagai nutrisi, kalsium dan vitamin D merupakan nutrisi yang

paling penting dalam metabolisme tulang. Sembilan puluh sembilan persen

total kalsium tubuh disimpan dalam tulang dan gigi, sisanya berada di dalam

sel dan darah. Bila terjadi kekurangan kalsium dalam darah salah satunya

memicu pengeluaran hormon paratiroid yang menyebabkan terjadinya

17

penyerapan tulang untuk meningkatkan kadar kalsium darah. Kondisi yang

menyebabkan penurunan kalsium dalam darah adalah kurangnya kalsium

dalam diet, penurunan atau terganggunya penyerapan kalsium di usus (pada

orang tua) dan menurunnya reabsorbsi kalsium (pada kelainan ginjal) (SIGN,

2003).

Dalam metabolisme tulang vitamin D berfungsi untuk meningkatkan

penyerapan kalsium di usus, reabsorbsi kalsium di ginjal dan mineralisasi

tulang. Kekurangan vitamin D juga memicu sekresi hormon paratiroid. Sumber

vitamin D adalah dari diet dan kulit. Sinar matahari diperlukan untuk memicu

kulit menghasilkan vitamin D. Penelitian terbaru menyebutkan kekurangan

protein juga dapat memicu osteoporosis. Kekurangan protein menyebabkan

menurunnya produksi IGFs (WHO, 2003).

4. Kurangnya pembebanan mekanis

Pembebanan mekanik pada tulang menimbulkan stres mekanik yang

menimbulkan efek pada jaringan tulang yaitu pembentukan tulang pada

permukaan periosteal dan mengurangi penyerapan tulang. Disini sel osteosit

memegang peranan penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan

mengirim sinyal lokal kepada sel osteoblas dan osteoklas. Osteosit mempunyai

kemampuan deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang

dihasilkan akibat pembebanan (Kawiyana, 2009).

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis osteoporosis sulit dilakukan. Penyakit ini tidak mempunyai gejala dan

tanda spesifik. Diagnosa sering kali baru diketahui saat sudah terjadi patah tulang.

18

Karena itu osteoporosis disebut sebagai silent disease. Secara klinis kecurigaan

terhadap adanya osteoporosis bila didapatkan: (1) faktor resiko, terutama faktor

resiko mayor, (2) fraktur akibat trauma ringan, (3) nyeri tulang pada orang tua, (4)

tubuh yang makin pendek dan bungkuk (Papaioannou dkk, 2010).

Pada pasien yang dicurigai osteoporosis selanjutnya dilakukan prosedur

diagnostik untuk memastikan adanya osteoporosis. Sesuai dengan definisi

osteoporosis, pemeriksaan yang paling penting adalah pengukuran masa tulang.

Saat ini baku standar pengukuran masa tulang adalah dengan Dual Energy X-ray

Absorptiometry (DEXA). Alat ini menggunakan radiasi sinar-X yang sangat

rendah. Pengukuran dapat dilakukan pada seluruh tulang, namun biasanya

dilakukan pada tulang belakang, leher femur dan radius distal. Dalam

pemeriksaan DEXA akan diperoleh densitas mineral tulang pada area tertentu

dalam gram/cm2. Hasil ini kemudian dikonversikan menjadi skor T dan skor Z.

Skor T adalah perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan

dengan kadar rerata densitas mineral tulang orang dewasa etnis yang sama. Skor Z

adalah perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan

kadar rerata densitas mineral tulang orang dengan umur dan etnis yang sama.

Berdasarkan skor T terdapat empat kategori masa (densitas) tulang, yaitu:

1. Normal: skor T ≥ -1 SD atau ≤ 10% dibawah rata-rata orang dewasa.

2. Osteopenia: skor T antara -1 SD sampai -2,5 SD atau 10-25% dibawah rata-

rata orang dewasa.

3. Osteoporosis: skor T < -2,5 SD atau > 25% dibawah rata-rata orang dewasa.

4. Osteoporosis lanjut: osteoporosis disertai dengan adanya fraktur osteoporosis

19

Untuk monitoring osteoporosis pemeriksaan DEXA dapat diulang dalam kurun

waktu 1-2 tahun (WHO, 2003; Kawiyana, 2009).

Selain pengukuran masa tulang perlu juga dilakukan pemeriksaan

laboratorium untuk mengetahui adanya osteoporosis sekunder. Pemeriksaan untuk

mengetahui adanya osteoporosis sekunder antara lain: hematologi rutin, serum

kalsium, albumin, kreatinin, fungsi hati dan alkaline fosfatase. Pemeriksaan

tambahan lain dapat dilakukan sesuai kecurigaan yang ada (WHO,2003).

Pemeriksaan laboratorium juga dapat digunakan untuk mengukur aktivitas

bone turnover. Untuk mengukur aktivitas bone turnover telah dikenal penanda

biokimia tulang (biochemical bone marker) yang diperiksa melalui darah atau urin

yang dapat menilai aktivitas pembentukan tulang dan penyerapan tulang. Standar

diagnosis osteoporosis adalah BMD namun pemeriksaan ini tidak dapat memberi

gambaran aktivitas osteoblas dan osteoklas. Dimana pada osteoporosis, seperti

telah dijelaskan sebelumnya, aktivitas osteoklas lebih banyak daripada osteoblas.

Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk monitoring efek dari suatu obat

osteoporosis karena perubahannya lebih cepat terdeteksi dibanding dengan BMD

(WHO, 2003; SIGN, 2004).

Penanda biokimia tulang dibagi menjadi dua yaitu penanda pembentukan

tulang dan penanda penyerapan tulang. Penanda pembentukan tulang digunakan

untuk osteoporosis pasca menopause, penyakit Paget dan tumor tulang yang

bersifat osteoklastik. Penanda pembentukan tulang digunakan untuk tumor tulang

yang bersifat osteoblastik, osteomalacia dan penyakit Paget (Singer dan Eyre,

2008).

20

1. Penanda pembentukan tulang

Penanda pembentukan tulang merupakan produk dari aktivitas osteoblas, baik

produk langsung atau tidak langsung. Semua penanda pembentukan tulang

diukur dari serum atau plasma (Delmas dkk, 2000; Singer dan Eyre, 2008).

Penanda pembentukan tulang antara lain:

a. Alkaline phosphatase

Alkaline fosfatase merupakan petanda tulang yang pertama ditemukan dan

saat ini merupakan petanda tulang yang paling sering digunakan. Alkaline

fosfatase adalah suatu ensim yang terdapat pada osteoblas, sel hati, ginjal,

limpa dan plasenta. Walaupun dihasilkan oleh beberapa organ, alkaline

fosfatase sering digunakan untuk mengukur aktivitas osteoblas karena

sebagian besar alkaline fosfatase yang berada dalam serum berasal dari

osteoblas. Namun untuk mendapat nilai yang lebih spesifik dapat diperiksa

alkaline fosfatase tulang, karena alkaline fosfatase yang dihasilkan tiap sel

mempunyai komposisi yang berbeda (Singer dan Eyre, 2008).

b. Osteocalcin

Osteocalcin merupakan suatu peptida yang dihasilkan oleh osteoblas,

odontoblas dan chondrosit. Osteocalcin terlepas dari matriks tulang saat

proses penyerapan tulang. Oleh karena itu osteocalcin mengukur aktivitas

pembentukan dan penyerapan tulang (Delmas dkk, 2000; Singer dan Eyre,

2008).

2. Penanda penyerapan tulang

21

Sebagian besar penanda penyerapan tulang adalah hasil dari degradasi kolagen

tulang saat proses penyerapan tulang. Penanda penyerapan tulang dapat diukur

melalui serum atau urin (Delmas dkk, 2000; Singer dan Eyre, 2008)

a. Pyridinoline dan deoxypyridinoline

Pyridinoline dan deoxypyridinoline adalah suatu asam amino penyusun

kolagen. Pyridinoline terdapat pada kolagen tulang, kartilage dan ligamen,

sedangkan deoxypiridinoline hanya terdapat pada kolagen tulang dan gigi.

Keduanya terlepas saat proses penyerapan tulang. Pyridinoline dan

deoxypyridinoline diperiksa melalui urin (Delmas dkk, 2000).

b. Cross-linked C-terminal telopeptide (CTx)

CTx merupakan fragmen dari kolagen tipe 1 yang terdapat pada tulang

yang terlepas saat proses penyerapan tulang. CTx dapat diukur melalui

serum atau urin, sampel sebaiknya diambil pada pagi hari setelah puasa

minimal delapan jam. CTx merupakan petanda penyerapan tulang terbaik

untuk monitoring obat anti-resorpsi (Kawiyana, 2009).

2.1.6 Penatalaksanaan

Non-farmakologi

1. Nutrisi seimbang

Defisiensi kalsium dan vitamin D merupakan salah satu faktor terjadinya

osteoporosis. Karena itu asupan kalsium harus sesuai kebutuhan (Tabel 2.2).

Sumber kalsium antara lain: susu, keju, yogurt dan ikan.

22

Tabel 2.2

Kebutuhan kalsium menurut umur

KATEGORI USIA (tahun) KEBUTUHAN KALSIUM

(mg/hari)

Bayi 0 – 0,5 400

0,5 – 1 600

Anak 1 – 5 800

6 – 10 800 – 1200

Laki-laki 11 – 24 1200 – 1500

25 – 65 1000

> 65 1500

Wanita 11 – 24 1200 – 1500

25 – 50 1000

> 50 1500

Hamil dan

menyusui

1200

Vitamin D yang dihasilkan kulit akibat paparan sinar matahari pagi sudah

mencukupi kebutuhan namun pada orangtua kemampuan ini menurun sehingga

diperlukan vitamin D tambahan, baik dari makanan ataupun suplemen. Ikan

adalah salah satu sumber vitamin D. Vitamin D tambahan yang diperlukan

sekitar 400 – 800 IU/hari (Cashman, 2007).

23

Selain kalsium dan vitamin D, beberapa penelitian menyebutkan

fitoestrogen dapat mencegah dan mengobati osteoporosis. Fitoestrogen terdapat

pada kedelai, toge, daun semanggi dan hulbah (Bawa, 2010).

2. Aktivitas fisik (olahraga)

Olahraga merupakan bagian yang penting dalam pencegahan dan pengobatan

osteoporosis. Jenis olahraga yang boleh dilakukan antara lain: jalan kaki,

latihan kekuatan otot dengan beban dan latihan keseimbangan seperti senam tai

ci. Jenis olah raga yang dihindari adalah olahraga yang memberikan

pembebanan pada punggung dan kaki seperti melompat dan lari; dan olahraga

yang menyebabkan benturan fisik seperti sepakbola. Dosis olahraga juga harus

disesuaikan dengan umur dan kapasitas funsional (SIGN, 2003).

3. Gaya hidup sehat

Selain nutrisi seimbang dan berolahraga, gaya hidup sehat meliputi tidak

merokok, minum alkohol dan minum kopi berlebihan (WHO, 2003).

Farmakologi

1. Terapi pengganti estrogen

Terapi pengganti estrogen diberikan pada osteoporosis pasca menopause.

Seperti telah dibahas sebelumnya, estrogen mempunyai efek anti-resorpsi.

Pemberian estrogen secara oral, transdermal atau implan kesemuanya dapat

meningkatkan densitas tulang secara bermakna. Selain sebagai anti-resorpsi

terapi estrogen juga mengurangi keluhan-keluhan sindrom menopause.

Beberapa preparat estrogen yang tersedia beserta dosisnya adalah 17-estradiol

subkutan 25 – 50 mg tiap 6 bulan, subkutan 1,5 mg/hari atau oral 1 – 2

24

mg/hari; dan estrogen terkonjugasi 0,625 mg/hari. Namun pemberian estrogen

jangka panjang dapat meningkatkan resiko kanker payudara, kanker

endometrium dan efek samping lainnya (WHO, 2003).

Untuk mengurangi efek samping terapi estrogen saat ini golongan obat

yaitu raloxifene yang merupakan suatu Selective Estrogen Receptor Modulator

(SERM). Obat ini secara selektif hanya bekerja pada reseptor β estrogen

sehingga hanya bekerja pada tulang dan jantung namun tidak bekerja pada

payudara dan uterus. Dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/hari

(Lewiecki dkk, 2010). Selain itu saat ini berbagai penelitian menyoroti

fitoestrogen sebagai alternatif terapi estrogen. Fitoestrogen adalah suatu

senyawa alamiah yang terdapat pada beberapa tanaman yang dapat berikatan

dengan reseptor estrogen sehingga mempunyai efek estrogenik. Fitoestrogen

terdapat pada kedelai, toge, daun semanggi dan hulbah (Poulsen dan Kruger,

2008).

2. Bifosfonat

Bifosfonat merupakan analog pirofosfat yang dapat mengurangi penyerapan

tulang oleh osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim

lisosomal dibawah osteoklas. Bifosfonat merupakan obat pilihan pertama

dalam pengobatan osteoporosis. Bifosfonat mempunyai beberapa golongan

namun yang paling sering digunakan adalah etidronate, alendronate dan

risedronate. Etidronate diberikan secara intermiten dengan dosis 400 mg/hari

selama 2 minggu setelah itu diikuti dengan pemberian kalsium 500 mg/hari.

Alendronate dapat diberikan dalam dosis 5 – 10 mg/hari atau 70 mg/minggu.

25

Sedangkan risedronate diberikan dengan dosis 5 mg/hari (WHO, 2003;

Papaioannou dkk, 2010).

Bifosfonat sebaiknya diminum 30 – 60 menit sebelum makan hanya

dengan air putih karena penyerapannya akan terganggu oleh makanan terutama

yang mengandung kalsium. Selama itu pasien harus dalam posisi tegak tidak

boleh berbaring karena bifosfonat dapat menyebabkan iritasi esofagus.

Bifosfonat yang tidak melekat pada tulang akan diekskresikan dalam bentuk

utuh melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya pada penderita

gagal ginjal (Kawiyana, 2009).

3. Kalsitonin

Kalsitonin merupakan hormon peptida yang dihasilkan tiroid yang dapat

menghambat penyerapan tulang dengan mencegah osteoklastogenesis.

Kalsitonin yang digunakan dalam pengobatan osteoporosis berasal dari

kalsitonin salmon yang 10 kali lebih efektif dibanding kalsitonin manusia.

Selain sebagai anti-resorpsi, kalsitonin juga mengurangi keluhan nyeri tulang

pada pasien osteoporosis. Sediaan kalsitonin yang ada berupa semprot hidung

(nasal spray) dan injeksi subkutan. Pemberian dengan semprot hidung

mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibanding dengan injeksi

subkutan. Kalsitonin merupakan obat pilihan kedua bila pasien mempunyai

kontraindikasi dengan pemberian bifosfonat (WHO, 2003; Lewiecki dkk,

2010).

2.1.7 Komplikasi dan prognosis

26

Komplikasi utama dari osteoporosis adalah fraktur osteoporotis. Fraktur yang

paling sering terjadi adalah fraktur hip, tulang belakang dan radius distal.

Prognosis pasien osteoporosis akan memburuk bila sudah terjadi fraktur. Fraktur

osteoporotik akan menimbulkan berbagai dampak antara lain:

1. Nyeri, terutama pada fraktur tulang belakang

2. Gangguan fungsi, sehingga mobilitas dan aktivitas menurun

3. Imobilitas jangka panjang selanjutnya menimbulkan komplikasi seperti

dekubitus dan gangguan paru. Penyakit paru merupakan penyebab kematian

tersering pada pasien osteoporosis (SIGN, 2003; WHO, 2003).

Pasien fraktur osteoporosis ini juga akan menimbulkan dampak sosial maupun

ekonomi. Dampak ekonomi meliputi biaya pengeluaran langsung dan tidak

langsung. Biaya pengeluaran langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk

pengobatan, di Amerika Serikat misalnya biaya yang dikeluarkan adalah sebesar

47 juta dolar Amerika perhari. Sedangkan biaya tidak langsung adalah hilangnya

waktu kerja dan biaya lain seperti transportasi selama perawatan pasien (WHO,

2003).

2.3 Fitoestrogen

Fitoestrogen adalah suatu senyawa alamiah yang terdapat pada beberapa tanaman

yang mempunyai struktur kimia sama dengan estradiol, suatu estrogen endogen.

Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen sehingga mempunyai efek

estrogenik. Keuntungan fitoestrogen adalah fitoestrogen bekerja sebagai SERM,

pada jaringan tertentu (tulang dan kardiovaskuler) bekerja sebagai estrogen

27

sedangkan pada jaringan lain (mamae, ovarium dan endometrium) bekerja sebagai

anti estrogen (Setchell dan Olsen, 2003; Arjmandi, 2010).

2.2.1 Klasifikasi

Terdapat tiga kelas fitoestrogen, yaitu (Nijveldt dkk, 2001):

1. Flavonoid

Fitoestrogen yang termasuk flavonoid antara lain: isoflavon (genistein dan

daidzein) dan narigenin. Flavonoid terdapat pada kedelai, teh, daun semanggi

dan tanaman dari famili Leguminosae.

2. Coumestan

Fitoestrogen yang termasuk coumestan adalah comestrol. Comestrol terdapat

pada toge.

3. Lignan

Fitoestrogen yang termasuk lignan adalah enterdiol dan enterolactone. Lignan

terdapat pada padi-padian dan bawang putih.

Diantara kelompok fitoestrogen tersebut, flavonoid khususnya isoflavon

merupakan senyawa yang paling banyak dimanfaatkan karena kandungan

fitoestrogennya lebih tinggi. Saat ini telah banyak ditemukan fitoestrogen baru

seperti 8-isopenenyl naringenin, resveratrol yang terdapat pada anggur; glyceollin

yang terdapat pada kedelai; ginsenoide yang terdapat pada gingsen; dan lindleyin

yang terdapat pada rhizoma (Poulsen dan Kruger, 2008; Bawa, 2010).

2.2.2 Efek fitoestrogen terhadap tulang

Penelitian tentang efek fitoestrogen terhadap osteopororsi berawal dari suatu

observasi bahwa prevalensi fraktur osteoporotis pada wanita Asia lebih rendah

28

dibandingkan wanita Eropa. Hal ini kemudian dihubungkan dengan diet wanita

Asia yang lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah yang kaya fitoestrogen

dibanding wanita Eropa. Penelitian pada binatang juga membuktikan fitoestrogen

dapat meningkatkan pembentukan tulang dan menurunkan penyerapan tulang.

Berdasarkan meta-analisis yang dilakukan Ma dkk terhadap sembilan penelitian

pada tikus didapatkan bahwa flavonoid secara signifikan menurunkan ekskresi

deoxypyridinoline (Dpd) pada urin dan meningkatkan alkaline fosfatase tulang.

Penelitian-penelitian observasional dan eksperimental pada manusia juga

membuktikan fitoestrogen dapat meningkatkan masa tulang. Salah satunya adalah

penelitian eksperimental di Inggris yang membandingkan densitas tulang wanita

yang diberikan teh mengandung flavonoid dan plasebo, didapatkan wanita yang

diberi teh mengandung flavonoid mempunyai densitas tulang yang lebih tinggi

(Knekt dkk, 2002; Miadokova, 2009).

Diantara kelompok fitoestrogen isoflavon terbukti mempunyai efek

estrogenik yang lebih tinggi. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur isoflavon

yang dapat ditransformasikan menjadi equol. Dimana equol mempunyai struktur

fenolik yang mirip dengan hormon estrogen sehingga dapat berikatan dengan

reseptor estrogen. Isoflavon dapat berikatan baik dengan reseptor estrogen-α dan

reseptor estrogen-β, namun ikatannya lebih kuat dengan reseptor estrogen-β.

Interaksi antara isoflavon dengan reseptor estrogen sedikit berbeda dengan

estrogen sehingga efek estrogenik yang ditimbulkan lebih lemah dibandingkan

estrogen. Seperti halnya estrogen, ikatan isoflavon dengan reseptor estrogen

menurunkan sekresi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis

29

Factor-α (TNF-α) yang memelihara perkembangan osteoklas. Isoflavon juga

merangsang produksi Transforming Growth Factor-β (TGF-β) dan ekspresi

osteoprotegrin (OPG) yang menyebabkan apoptosis osteoklas (Mardon dkk,

2008).

Saat ini telah dikembangkan isoflavon sintetik yaitu ipriflavon. Penelitian in

vitro menunjukan bahwa ipriflavon menurunkan penyerapan tulang dan

meningkatkan pembentukan tulang. Penelitian oleh Gennari yang menggunakan

56 sampel wanita pasca menopause, membandingkan BMD antara sampel yang

diberi ipriflavon 3x200 mg/hari dan plasebo. Didapatkan bahwa penurunan BMD

lebih kecil pada kelompok yang mendapat ipriflavon. Namun penelitian lain

dengan sampel yang lebih besar dan waktu yang lebih panjang gagal

membuktikan efek ipriflavon tersebut. Oleh karena itu saat ini ipriflavon belum

digunakan untuk pengobatan osteoporosis (Miadokova, 2009).

Manfaat fitoestrogen tidak hanya berkaitan dengan efek estrogeniknya,

namun beberapa penelitian menunjukan fitoestrogen juga memiliki efek

antiinflamasi, antioksidan, antikolesterol, antithrombus dan antidiabetes (Knekt

dkk 2002; Usui 2006).

Efek klinis fitoestrogen masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian

berhasil membuktikan fitoestrogen mempunyai efek-efek tersebut diatas namun

penelitian-penelitian lain tidak membuktikan efek-efek tersebut. Perbedaan ini

karena sebagian besar penelitian yang ada waktunya singkat dan menggunakan

sampel yang kecil. Selain itu tiap jenis fitoestrogen mempunyai efektivitas yang

berbeda-beda dan belum diketahui dosis yang efektif. Karena itu diperlukan

30

penelitian-penelitian lanjutan untuk membuktikan efek klinis fitoestrogen (Knekt,

2002; Miadokova, 2009; Arjmandi, 2010).

2.4 Hulbah (Trigonella foenum graecum)

2.4.1 Biologi

Salah satu tanaman yang mengandung fitoestrogen adalah hulbah atau klabet,

dalam bahasa Inggris disebut fenugreek dan dalam bahasa latin disebut Trigonella

foenum graecum. Hulbah merupakan suatu tanaman polongan. Batangnya tegak,

kecil dan panjang dengan ketinggian sekitar 2 meter. Daunnya berwarna hijau

muda, berbentuk telur, tepi bergerigi, ukuran 20-25 mm. Buah berupa buah

polong, bentuk memanjang 5-10 cm, didalamnya berisi 10-20 biji. Biji berbentuk

belah ketupat, berwarna kecoklatan, panjang 5-7 mm, tebal 2 mm, terdapat alur

yang membelah menjadi 2 lobus (Ulbricht dkk, 2007).

Gambar 2.2 Tanaman dan biji hulbah

Klasifikasi hulbah adalah sebagai berikut (Ulbricht dkk, 2007):

Kindom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

31

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Leguminosae

Familia : Fabaceae

Genus : Trigonella

Spesies : Trigonella foenum graecum

2.4.2 Manfaat dan kandungan hulbah

Tanaman ini berasal dari India dan Afrika utara namun sekarang sudah ada di

seluruh dunia. Bagian yang bisa digunakan dari tanaman ini adalah daun dan

bijinya. Hulbah sudah sejak dahulu digunakan sebagai tanaman obat untuk

mengobati beberapa penyakit pada pengobatan tradisional India (ayurveda) dan

Cina. Selain itu hulbah dimanfaatkan sebagai bumbu makanan, sayuran dan

rempah-rempah (Basch dkk, 2003).

Biji hulbah mengandung flavonoid (daidzein, genestein, naringenin,

biochanin, formononetin, irilone, calycosin, vitexin, tricin, quercetin), saponin

(diosgenin, yamogenin, gitogenin, tigogenin, neotigogen), alkaloid (kolin dan

trigonelline), asam amino (4-hydroxyisoleucine), vitamin, mineral, serat, sotolon,

pectin dan coumarin (Shang dkk, 1998).

Beberapa penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa hulbah mempunyai

efek antidiabetes, antikolesterol, antioksidan, antikarsinogenik dan estrogenik.

32

Tabel 2.3

Perbandingan kandungan hulbah dan kedelai (100 g)

KANDUNGAN KEDELAI HULBAH

Kalori 446 323

Lemak 20 g 6 g

Kolesterol 0 0

Natrium 2 mg 67 mg

Kalium 1797 mg 770 mg

Karbohidrat 30 g 58 g

Serat 9 g 25 g

Protein 36 g 23 g

Vit A 22 IU 60 IU

Vit B 0,4 mg 0,6 mg

Vit C 6 mg 3 mg

Kalsium 277 mg 270 mg

Besi 15,7 mg 33,5 mg

Magnesium 280 mg 191 mg

Flavonoid 36 g 33 g

Diantara kandungan flavonoid dari hulbah, daidzein yang merupakan suatu

isoflavon, mempunyai efek estrogenik yang lebih tinggi dibanding senyawa

lainnya. Aktivitas estrogenik tersebut terkait dengan struktur isoflavon yang dapat

ditransformasikan menjadi equol, dimana equol mempunyai struktur fenolik yang

33

mirip dengan hormon estrogen (Shang dkk, 1998). Walaupun sudah terbukti

mengandung fitoestrogen namun belum ada penelitian tentang bagaimana pengaruh

hulbah terhadap tulang (Bukhari dkk, 2008; Khan dkk, 2009; Sreeja dan Anju,

2010).

2.4.3 Dosis dan efek samping hulbah

Hulbah, seperti sebagian besar tanaman obat, belum mempunyai dosis standar.

Salah satu dosis yang dianjurkan adalah 2 kali 2,5 gram/hari untuk mengobati

hiperlipidemia dan diabetes tipe 2 pada orang dewasa. Penelitian pada sapi

menunjukan efek estrogenik timbul pada dosis minimal 0,2 gr/kgBB. Berdasarkan

penelitian pada tikus didapatkan LD50 pada dosis lebih dari 5 gram/kg berat badan

yang diberikan secara oral (Ulbricht dkk, 2007).

Hulbah dapat menimbulkan beberapa efek samping. Mengkonsumsi lebih

dari 100 gram hulbah setiap hari dapat menyebabkan diare dan dispepsia. Pada

beberapa orang juga dapat menimbulkan reaksi alergi dengan gejala seperti kulit

kemerahan, angio-oedem, batuk dan sesak nafas. Orang yang sensitif terhadap

kedelai dan kacang-kacangan cenderung sensitif terhadap hulbah. Hulbah

mempunyai bau yang khas dan dapat menyebabkan keringat dan urin berbau

seperti sirup maple. Secara umum hulbah aman untuk dikonsumsi namun

sebaiknya tidak diberikan pada anak-anak dan ibu hamil (Bukhari dkk, 2008).

2.5 Tulang Tikus

Dalam pemilihan binatang untuk penelitian terdapat beberapa kriteria yang perlu

dipenuhi antara lain: tidak melanggar undang-undang, mudah didapat, mudah

34

dipelihara, murah dan secara biologis fenomena yang diteliti terdapat pada

binatang tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut tikus termasuk binatang yang

memenuhi kriteria. Secara histologi sebenarnya binatang yang lebih besar seperti

anjing, domba atau monyet lebih cocok menjadi model, namun kurang memenuhi

kriteria lainnya diatas (Lelovas dkk, 2008).

2.5.1 Fisiologi

Usia tikus berkisar antara 3-4 tahun tergantung strainnya. Tikus sudah matur

secara seksual pada usia 3 bulan namun tulang tikus matur pada usia 10-12 bulan.

Pada usia 0-3 bulan terjadi pertumbuhan yang pesat pada tulang tikus. Setelah 3-6

bulan kecepatan pertumbuhan tulang tikus mulai menurun dan plateau pada usia

diatas 10-12 bulan. Setelah usia 24 bulan tulang tikus tidak mengalami

pertumbuhan lagi. Tikus tidak mengalami menopause seperti manusia, sehingga

masa tulang tikus stabil sepanjang hidupnya (Kalu, 1999).

Berdasarkan penelitian, umur tikus yang dapat digunakan untuk

penelitian adalah antara 3 bulan – 2 tahun. Penelitian sebaiknya dilakukan pada

masa remodeling (>12 bulan) karena tidak lagi terjadi maturasi tulang, sehingga

bila dilakukan ovarektomi dan kemudian terjadi penurunan masa tulang,

penurunan masa tulang ini memang disebabkan karena ovarektomi menyebabkan

peningkatan penyerapan tulang seperti pada wanita paska menopause. Bila

menggunakan tikus yang masih mengalami maturasi (< 6 bulan), penurunan masa

tulang mungkin diakibatkan tidak tercapainya masa tulang optimal akibat

ovarektomi dan bukan karena peningkatan penyerapan tulang seperti pada wanita

pasca menopause. Namun tikus dengan usia diatas 12 bulan biasanya sulit

35

didapat, harganya lebih mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk

mendapatkan efek ovariektomi (3-6 bulan). Oleh karena itu banyak penelitian

yang menggunakan tikus dengan usia 3 bulan. Tikus dengan usia 3 bulan lebih

mudah didapat, harganya lebih murah dan waktu yang diperlukan untuk

mendapatkan efek ovariektomi lebih singkat (2-4 minggu). (Kalu, 1999; Raska

dkk, 2009)

2.5.2 Teknik untuk menciptakan osteoporosis pada tulang tikus

Manfaat penelitian ini nantinya adalah untuk pasien osteoporosis, sehingga perlu

diciptakan keadaan osteoporosis pada tikus. Untuk menciptakan keadaan

osteoporosis pada tikus, terdapat beberapa cara yaitu: (1) ovariektomi, dengan

ovariektomi sumber estrogen sistemik akan menghilang. (2) imobilisasi dengan

gips, seperti telah dijelaskan sebelumya imobilisasi akan menyebabkan

peningkatan penyerapan tulang, (2) injeksi obat seperti agonis gonadotropin,

antagonis estrogen atau inhibitor aromatase. Diantara cara-cara tersebut,

ovariektomi paling sesuai dengan osteoporosis pasca menopause pada wanita

(Andersson dkk, 2004).

2.4.3 Efek ovariektomi pada tulang tikus

Penelitian awal mengenai pengaruh ovariektomi pada tikus dilakukan oleh

Saville. Saville melakukan ovariektomi pada tikus usia 3 minggu, setelah 3 bulan

didapatkan tikus tersebut mempunyai volume kalsium tulang perunit yang lebih

rendah dibanding tikus kontrol. Meta-analisis yang dilakukan Kalu terhadap 80

penelitian tentang efek ovariektomi terhadap tulang tikus, hanya 4 penelitian yang

36

tidak membuktikan terjadinya penurunan masa tulang pasca ovariektomi (Kalu,

1991).

Berdasarkan penelitian terdapat kesamaan karakteristik proses penyerapan

tulang pada tikus yang dilakukan ovariektomi dan wanita yang mengalami

menopause. Setelah ovariektomi sumber estrogen sistemik menghilang, pada fase

awal menyebabkan terjadinya peningkatan tajam bone turnover (penyerapan

tulang lebih tinggi dari pembentukan tulang). Beberapa hari setelah fase awal

bone turnover perlahan menurun sampai akhirnya penyerapan dan pembentukan

tulang kembali seimbang. Penyerapan tulang lebih banyak terjadi pada tulang

cancellous dibanding tulang cortical. Hilangnya estrogen juga menyebabkan

penurunan penyerapan kalsium di usus. Karakteristik lain yang juga sama adalah

efek terhadap obat-obat osteoporosis. Pemberian estrogen atau biphosphonat pada

tikus pasca ovariektomi dapat mengurangi penyerapan tulang dan pada akhirnya

didapatkan masa tulang yang lebih tinggi (Jee dan Yao, 2001; Lelovas dkk, 2008).

2.5.4 Metode pengukuran terjadinya osteoporosis pada tulang tikus

Metode pengukuran terjadinya osteoporosis pada tikus antara lain dengan:

1. Densitometri

Alat ini mengukur densitas mineral tulang. Densitometri yang sering digunakan

saat ini adalah Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA). Pengukuran

dilakukan pada bagian metafisis tulang karena efek ovariektomi lebih

signifikan. Tulang yang biasanya dilakukan pengukuran adalah femur

proksimal, lumbar, tibia proksimal atau distal. Pemeriksaan ini sesuai dengan

standar diagnosis osteoporosis (Turner, 2001; Lelovas dkk, 2008).

37

2. Histomorfometri

Pemeriksaan histomorfometri memberikan gambaran sesungguhnya arsitektur

tulang. Pemeriksaan ini akan menunjukan jumlah osteoblas, osteoklas, osteosit;

tebal trabekula, dan bagaimana arsitektur tulang. Pemeriksaan histologi

sebenarnya paling ideal namun kelemahan dari pemeriksaan ini adalah

pemeriksaan hanya dilakukan pada sampel jadi belum tentu menggambarkan

keadaan tulang seluruhnya (Jee dan Yao, 2001; Lelovas dkk, 2008).

3. Penanda biokimia tulang

Sampel untuk pengukuran penanda biokimia dapat diambil melaui darah atau

urin. Penanda untuk pembentukan tulang antara lain alkalin fosfatase dan

osteocalcin. Penanda untuk penyerapan tulang antara lain pyridinoline dan

CTx. Keuntungan metode ini adalah mudah dilakukan dan efeknya lebih cepat

terlihat dibanding densitometri atau histomorfometri (Lelovas dkk, 2008).

4. Uji mekanis

Uji ini untuk menilai kekuatan tulang secara mekanis dengan alat khusus. Uji

mekanis hanya dapat dilakukan pada tulang diafisis (Lelovas dkk, 2008).