bab ii tinjauan pustaka 2.1. siput conus 2.1.1. deskripsi

23
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi Morfologi Keong konus atau cone shell atau Conus spp merupakan siput laut yang dikenal karena bentuknya yang unik dan mudah dikenali (Gunning and Chadwick, 2009), serta dikenal sebagai hewan invertebrata laut yang beracun dan harus diwaspadai (Hadi, 1991). Cangkangnya berbentuk konus atau kerucut yaitu bagian pangkal cangkang (posterior) lebih lebar daripada bagian ujung cangkang (anterior). Bagian spire memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi antar spesies. Aperture (celah bibir tempat keluarnya tubuh) sempit dan relatif panjang. Operculum berada pada ujung anterior dan sangat kecil atau kadang-kadang tidak ada (Sarramegna, 1965; Mudjiono, 1989; Dance, 1990). Bagian luar cangkang terkadang dilapisi oleh lapisan transparan yang disebut periostracum (Diaz et al., 2005). Ukuran dari keong dewasa bervariasi dari 1 cm sampai 80 cm (Bingham et al., 2014). Pola warna dan bentuk keong konus sangat bervariasi dan dijadikan sebagai karakter dalam identifikasi. Kecerahan warna dari keong konus dapat dipengaruhi oleh habitatnya. Misalnya keong konus yang hidup di pantai yang tercemar minyak atau sampah memiliki warna cangkang yang kusam (Sarramegna, 1965). Bentuk cangkang dari keong konus secara umum dapat

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siput Conus

2.1.1. Deskripsi Morfologi

Keong konus atau cone shell atau Conus spp merupakan siput laut yang

dikenal karena bentuknya yang unik dan mudah dikenali (Gunning and Chadwick,

2009), serta dikenal sebagai hewan invertebrata laut yang beracun dan harus

diwaspadai (Hadi, 1991). Cangkangnya berbentuk konus atau kerucut yaitu bagian

pangkal cangkang (posterior) lebih lebar daripada bagian ujung cangkang

(anterior). Bagian spire memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi antar spesies.

Aperture (celah bibir tempat keluarnya tubuh) sempit dan relatif panjang.

Operculum berada pada ujung anterior dan sangat kecil atau kadang-kadang tidak

ada (Sarramegna, 1965; Mudjiono, 1989; Dance, 1990). Bagian luar cangkang

terkadang dilapisi oleh lapisan transparan yang disebut periostracum (Diaz et al.,

2005). Ukuran dari keong dewasa bervariasi dari 1 cm sampai 80 cm (Bingham et

al., 2014).

Pola warna dan bentuk keong konus sangat bervariasi dan dijadikan

sebagai karakter dalam identifikasi. Kecerahan warna dari keong konus dapat

dipengaruhi oleh habitatnya. Misalnya keong konus yang hidup di pantai yang

tercemar minyak atau sampah memiliki warna cangkang yang kusam

(Sarramegna, 1965). Bentuk cangkang dari keong konus secara umum dapat

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

6

dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu tumpul (conical), datar (abconical),

meruncing (biconical) dan runcing (turbinate) (Mudjiono, 1989).

Gambar 2.1.

Morfologi cangkang konus (Mudjiono, 1989)

Gambar 2.2

Tipe cangkang Conus. A: biconical, B: turbinate, C: conical, D: abconical

(Mudjiono, 1989)

Bagian tubuh yang dapat diamati dengan mudah dari keong konus

diantaranya adalah proboscis, siphon, mulut dan kaki otot. Proboscis merupakan

suatu organ berbentuk moncong yang digunakan untuk berburu mangsa. Di dalam

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

7

proboscis tersebut terdapat radula yang berbentuk harpoon atau seperti busur

panah yang terhubung dengan kantung bisa (Mudjiono, 1989). Siphon berperan

sebagai organ penciuman yang digunakan untuk mendeteksi mangsa di sekitar.

Mulut pada keong konus dapat membesar beberapa kali lipat untuk menelan

mangsanya dalam keadaan utuh. Di setiap sisi mulut juga terdapat mata

bertangkai dan tentakel. Kaki otot keong konus digunakan sebagai alat lokomosi

yang berbentuk panjang, sempit, dan membulat (Gunning and Chadwick, 2009).

2.1.2. Taksonomi

Secara taksonomi, keong konus diklasifikasikan sebagai berikut

(Mudjiono, 1989):

Filum : Moluska

Kelas : Gastropoda

Subkelas : Prosobrancha

Ordo : Neogastropoda

Sub ordo : Toxoglosa

Famili : Conidae

Genus : Conus

Genus Conus Famili Conidae pertama kali dipublikasikan oleh John

Flemming pada tahun 1822. Conidae, bersama dengan Turridae dan Terebridae

termasuk ke dalam Sub Ordo Toxoglosa yang merupakan kelompok siput yang

beracun (Sarramegna, 1965). Genus Conus merupakan kelompok genus

invertebrata laut dengan jumlah paling banyak dengan lebih dari 500 spesies

(Olivera et al., 1990). Genus Conus juga dibagi menjadi 4 Sub Genus

(Sarramegna, 1965) yaitu:

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

8

1. Sub Genus Conus

2. Sub Genus Hermes

3. Sub Genus Cylindrus

4. Sub Genus Gastridium

Pembagian sub genus tersebut dilakukan berdasarkan perbedaan bentuk

cangkang dari keong konus. Saat ini sistem klasifikasi yang terbaru

menggolongkan keong konus berdasarkan filogenetik molekular (Puillandre, et

al., 2014). Berdasarkan sistem pembagian tersebut, seluruh keong konus

dimasukkan ke dalam famili Conidae, dan dibagi menjadi 4 genus, yaitu Conus,

Conasprella, Profundiconus, dan Californiconus. Namun, 85% dari seluruh keong

konus yang telah dikenal masih tetap teregristrasi ke dalam genus Conus.

2.1.3. Habitat Dan Distribusi

Keong konus hidup di zona intertidal hingga zona subtidal sampai

kedalaman 1000 m. Keong konus dapat hidup di berbagai tipe substrat dasar

seperti bebatuan, pasir, lumpur, pecahan koral dan bebatuan, terumbu karang dan

padang lamun (Diaz et al, 2005). Keong konus dapat ditemukan dalam kondisi

terkubur seluruhnya, sebagian atau tidak terkubur sama sekali. Preferensi habitat

keong konus adalah pada pecahan koral atau bebatuan karena keberadaannya

dapat tersamarkan (Cernohorsky, 1964). Keong konus termasuk hewan nokturnal

tetapi cukup aktif saat menjelang matahari terbit dan terbenam (Hall, 2011).

Keong konus tersebar di lautan tropis dan sub tropis. Jumlah keong konus

paling banyak terdapat pada lautan Indo Pasifik dan Pasifik Barat. Sebagian kecil

juga terdapat di lautan Jepang, Laut Mediterania, Afrika Selatan dan Laut Austalia

bagian selatan (Bingham et al., 2014). Keberadaan keong konus di Indonesia

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

9

umumnya berada pada pulau-pulau karang (Mudjiono, 1989). Beberapa laporan

mengenai keberadaan keong konus di Indonesia telah dilaporkan diantaranya oleh

Setyobudiandi et al. ( 2010), Arbi (2011) dan Pioto (2015).

Keong konus diketahui memiliki preferensi habitat khusus. Hal ini sangat

terkait dengan perannya sebagai predator. Keong konus dapat tersamarkan bila

berada pada habitat dengan pecahan koral atau bebatuan (Cernohorsky, 1964).

Namun diketahui pula bahwa tiap-tiap spesies keong konus menyukai tipe

mikrohabitat tertentu misalnya Conus pulicarius dan C. leopardus menyukai

habitat pantai berpasir (Kohn, 1980). Studi khusus mengenai preferensi habitat

keong konus menemukan bahwa keong konus secara umum menyukai kawasan

dengan substrat dasar pasir yang tertutup alga lebih dari 20% (Kohn, 1983).

Kondisi mikrohabitat seperti itu dapat berperan sebagai kanopi di siang hari

(khususnya bagi keong konus berukuran kecil) dan dapat menjebak pecahan

batuan. Keberadaan alga juga secara tidak langsung akan memikat hewan mangsa

terkait dari keberadaan alga sebagai sumber pakan (Kohn, 1983).

2.1.4. Reproduksi dan Siklus Hidup

Spesies keong konus memiliki alat kelamin yang terpisah antara jantan dan

betina. Keong konus melakukan fertilisasi secara internal. Keong konus betina

meletakkan puluhan kapsul pipih transparan yang berisikan puluhan sampai

ribuan telur pada tiap kapsulnya (Kohn, 1961). Fase larva dari keong konus

hingga menjadi juvenile dapat berlangsung antara kurang dari 1 sampai 50 hari

(Perron, 1981). Keong konus mencapai kematangan reproduksi setelah berusia 6

hingga 12 bulan (Hall, 2011). Namun hanya sedikit dari ribuan telur yang menetas

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

10

dapat tumbuh dan berkembang menjadi keong konus dewasa (Gunning and

Chadwick, 2009).

Keong konus biasanya meletakkan kapsul telur pada bagian bawah

substrat keras. Namun beberapa spesies keong konus lainnya memiliki preferensi

tempat peletakkan kapsul telur yang berbeda, misalnya Conus figulinus

meletakkan kapsul telur pada substrat pasir (Peters, 2013) dan C. californicus

meletakkan kapsul telur pada substrat yang terlapisi alga merah (Shaffer, 1986).

Meskipun demikian, pemilihan tipe substrat untuk peletakkan kapsul telur tidak

berpengaruh terhadap waktu metamorfosis dari keong konus (Perron, 1981). Lama

waktu metamorfosis keong konus bergantung dari tipe larva tiap-tiap spesies.

Larva planktotropik memiliki waktu metamorfosis yang paling lama, sedangkan

larva tipe lesitotropik memiliki waktu metamorfosis yang singkat. Tipe larva ini

juga dapat mempengaruhi sebaran geografis keong konus karena fase larva keong

konus memiliki kemungkinan untuk tersebar di lautan dalam jarak yang cukup

luas dibandingkan keong konus dewasa yang hanya memiliki jarak perpindahan

tidak lebih dari 20 meter selama hidupnya (Shaffer, 1986; Johnson, et al., 2001;

Hendricks, 2012). Larva tipe lesitotropik mendapatkan pengayaan nutrisi ketika

masih berada pada fase telur sehingga memiliki perkembangan yang sangat cepat

untuk mencapai fase juvenil atau crawling stage. Akibatnya, keong konus dengan

tipe larva lesitotropik biasanya hanya tersebar pada kawasan yang sempit. Di sisi

lain, larva tipe planktotropik tidak mendapatkan pengayaan nutrisi pada fase telur

sehingga harus melewati fase plankton yang dapat tersebar luas di seluruh lautan.

Dengan demikian keong konus dengan larva tipe plantotropik memiliki sebaran

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

11

geografis yang sangat luas (Peters, 2013). Salah satu contoh keong konus yang

memiliki sebaran yang luas adalah C. ebraeus yang tersebar di hampir seperempat

lautan dunia (Duda Jr et al., 2009).

2.1.5. Makanan Dan Prilaku Makan

Keong konus dikenal sebagai hewan predator. Keong konus dapat

dikelompokkan berdasarkan makanannya yaitu molluscivorous (pemakan

moluska), piscivorous (pemakan ikan) dan vermivorus (pemakan cacing)

(Mudjiono, 1989). Faktor ekologi yang mempengaruhi preferensi dan prilaku

makan bagi keong konus sangat beragam sehingga mereka menjadi tipe hewan

yang specialist (Duda et al., 2011). Preferensi makan ini memiliki korelasi dengan

morfologi dari keong konus. Keong konus pemakan cacing biasanya memiliki

cangkang paling berat dengan apertur paling sempit. Pemakan moluska biasanya

memiliki pola warna cangkang dengan garis-garis putih dengan dasar yang gelap

dan berat cangkang yang menengah bila dibandingkan dengan tipe pemakan

lainya. Pemakan ikan memiliki berat cangkang paling ringan, bentuk paling

beronamen serta apertur dan apex paling yang lebar bila dibandingkan di antara

pemakan moluska dan pemakan cacing (Bingham et al., 2014).

Studi mengenai makanan dan prilaku makan dari keong konus telah

dilakukan sejak tahun 1950-an oleh Kohn (1956). Mekanisme pakan keong konus

diawali dengan mendeteksi mangsa dengan menggunakan siphon. Kemudian,

keong konus menyerang mangsanya dengan racun melalui harpoon yang terdapat

di dalam proboscis. Mangsa keong konus langsung ditelan secara utuh melalui

mulut yang dapat melebar.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

12

Jenis mangsa dari keong konus dapat diketahui melalui pembedahan organ

pencernaan (Nybakken, 1978) dan analisis feses (Kohn, 1968). Analisis feses

dapat dilakukan terhadap keong konus yang diketahui merupakan tipe vermivorus.

Hal ini disebabkan karena kebanyakan mangsa keong konus tipe ini merupakan

polychaeta yang memiliki organ tubuh yang biasanya tidak tercerna dan dapat

dijadikan sebagai dasar identifikasi yaitu setae dan jaw (rahang). Pembendahan

organ pencernaan lebih baik dilakukan pada keong konus tipe piscivorus dan

molluscivorus dengan harapan mangsa yang telah ditelan secara utuh masih dapat

diidentifikasi.

Kebanyakan keong konus memiliki preferensi pakan yang spesifik.

Berikut merupakan beberapa spesies keong konus beserta preferensi pakannya

yang telah dirangkum pada tabel berikut:

Tabel 2.1

Preferensi pakan beberapa keong konus: Moluscivorous (Duda, et al., 2011)

Species Tipe pakan Preferensi pakan utama

C. aulicus M gastropoda

C. aureus M gastropoda

C. bandanus M gastropoda

C. canonicus M gastropoda

C. episcopatus M gastropoda

C. legatus M moluska

C. araneosus M gastropoda

C. marmoreus M gastropoda

C. omaria M gastropoda

C. pennaceus M gastropoda

C. textile M gastropoda

C. californicus V, M gastropoda, bivalvia, polychaeta

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

13

Tabel 2.2

Preferensi pakan beberapa keong konus: Piscivorous (Duda, et al., 2011)

Species Tipe pakan Preferensi pakan utama

C. bullatus P pisces

C. catus P pisces

C. cinereus P pisces

C. circumcisus P pisces

C. consors P pisces

C. geographus P pisces

C. magus P pisces

C. obscurus P pisces

C. proximus P pisces

C. stercusmuscarum P pisces

C. striatus P pisces

C. striolatus P pisces

C. tulipa P pisces

C. eburneus V, P eunicidea, capitellidea

Tabel 2.3

Preferensi pakan beberapa keong konus: Vermivorous (Duda, et al., 2011)

Species Tipe pakan Preferensi pakan utama

C. arenatus V eunicidea, nereidea, capitellidea

C. balteatus V eunicidea, nereidea

C. betulinus V capitellidea

C. biliosus V eunicidea

C. boeticus V polychaeta

C. brunneus V amphinomidea

C. chaldaeus V eunicidea, nereidea

C. coffeae V eunicidea

C. coronatus V eunicidea, capitellidea

C. distans V eunicidea

C. dorreensis V eunicidea

C. ebraeus V eunicidea, nereidea

C. emaciatus V terebellidea

C. figulinus V polychaeta

C. flavidus V capitellidea, terebellidea

C. frigidus V capitellidea, terebellidea

C. generalis V eunicidea

C. glans V eunicidea

C. imperialis V amphinomidea

C. leopardus V enteropneusts

C. litoglyphus V eunicidea

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

14

C. litteratus V capitellidea

C. abbreviatus V eunicidea, nereidea

C. anemone V eunicidea, nereidea

C. lividus V enteropneusts, terebellidea

C. miles V eunicidea

C. miliaris V eunicidea, nereidea

C. moreleti V terebellidea

C. muriculatus V eunicidea, nereidea

C. musicus V nereidea

C. mustelinus V eunicidea, nereidea

C. nux V nereidea

C. planorbis V polychaeta

C. princeps V eunicidea

C. pulicarius V capitellidea, sabellids

C. quercinus V enteropneustdea

C. rattus V eunicidea

C. regius V amphinomidea

C. sanguinolentus V cirratulidea, poychaeta lain

C. sponsalis V nereidea, eunicidea

C. swainsoni V polychaeta

C. tenuistriatus V polychaeta

C. terebra V terebellidea

C. tessulatus V nereidea, eunicidea

C. varius V polychaeta

C. vexillum V eunicidea

C. virgo V terebellidea

C. vitulinus V eunicidea

2.1.6. Konotoksin

Racun dari keong konus merupakan bagian penting karena digunakan

untuk melumpuhkan mangsanya. Racunnya sangat kuat dan juga dapat berakibat

fatal bagi manusia. Telah banyak laporan mengenai serangan keong konus

terhadap manusia diantaranya oleh Conus geographus dan C. textile (Kumar et

al., 2015). Para peneliti telah tertarik untuk memahami mengenai racun keong

konus dan mulai mendapatkan banyak manfaat dari hasil isolasi racun tersebut.

Meskipun demikian masih banyak racun keong konus yang belum tereksplorasi

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

15

dan belum diketahui spesifikasi terhadap jalur ion targetnya sehingga racun keong

konus ini merupakan sumber peptida baru yang potensial untuk ditemukan (Terlau

and Olivera, 2004).

Racun konus disebut konotoksin (conotoxin) atau konopeptida

(conopeptide) karena racun tersebut merupakan senyawa peptida. Konotoksin

merupakan suatu racun yang menyerang sistem saraf (neurotoksin) secara spesifik

terhadap ion chanel dan reseptor pada sistem neuromuskular. Keanekaragaman

senyawa peptida dari racun keong konus bahkan lebih bervariasi dari keragaman

jenis keong konus itu sendiri (Gowd, et al., 2005). Setidaknya terdapat lebih dari

100.000 senyawa peptida yang terdapat diantara jenis-jenis keong konus

(Bingham et al., 2014). Pada tiap spesies keong konus bisa memiliki 50 sampai

200 rangkaian senyawa peptida. Tiap spesies keong konus bahkan dapat

menghasilkan konotoksin yang sangat spesifik terhadap ion dan reseptor tertentu.

Berdasarkan fungsi dan targetnya, konotoksi telah diklasifikasikan menjadi 3 jenis

yaitu konotoksi tipe potassium-channel, tipe sodium channel, dan tipe calcium

channel. Saat ini pengklasifikasian konotoksin dapat dilakukan dengan

pendekatan molekuler dengan menggunakan metode sekuen terhadap komposisi

senyawa peptida dari konotoksin tersebut (Ding et al., 2014).

Saat ini konotoksin telah banyak dimanfaatkan dalam dunia farmakologi.

Misalnya, konotoksin yang telah diekstrak dari kelenjar racun keong konus Conus

geographus telah dipakai untuk memodifikasi respon rasa sakit pada jaringan

hewan vertebrata. Hal ini menjadi langkah awal yang potensial dalam penemuan

obat dari berbagai macam penyakit seperti Kanker, AIDS, Arthrhitis, dan juga

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

16

penyakit yang berkaitan dengan sistem saraf seperti Alzheimer, Parkinson, dan

Epilepsi (Livett et al., 2004). Konotoksin pada dasarnya merupakan senyawa

peptida sederhana yang tersusun dari 10 sampai 30 jenis asam amino. Hal ini

menjadi salah satu kemudahan dan keuntungan dalam pengembangan konotoksin

di bidang farmakologi (Anderson and Bokor, 2012). Meskipun demikian, terdapat

beberapa kendala mengenai pengembangan konotoksin tersebut misalnya

sedikitnya data dan informasi mengenai keong konus yang bisa dimanfaatkan

serta sedikitnya jumlah keong konus yang biasa ditemukan di alam. Di India, data

dan informasi mengenai keong konus telah mulai dikumpulkan dan telah di

dapatkan beberapa jenis peptida baru pada jenis-jenis konus baru yang di temukan

(Gowd et al., 2005)

2.2. Zona Intertidal

Secara umum zona intertidal adalah zona antara batas tertinggi air laut saat

pasang sampai batas terendah air laut saat surut. Area ini sangat banyak menerima

pengaruh dari daratan dan lautan namun memiliki tingkat faktor pembatas yang

sangat tinggi terhadap makhluk hidup yang menghuni area ini. Ada Banyak

bentuk kehidupan yang dapat diamati di area ini dan mudah dijangkau oleh

manusia sehingga memungkinkan manusia untuk memberikan banyak dampak

terhadap komunitas di zona ini (Nybakken and Webster, 1998). Menurut

Nybakken (1988), ada beberapa faktor lingkugan yang berpengaruh di zona

intertidal yaitu pasang-surut, suhu, gerakan ombak, salinitas, dan substrat.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

17

Berikut ini adalah spesies-spesies keong konus yang mungkin dan umum

ditemukan di zona intertidal atau laut dangkal perairan di Indonesia berdasarkan

sebarannya menurut Dharma (1992):

Tabel 2.4.

Spesies keong konus di perairan laut dangkal dengan kemelimpahan yang umum

di indonesia (Dharma, 1992)

No. Spesies

1 Conus textile

2 C. omaria

4 C. striatus

5 C. geographus

6 C. tulipa

7 C. generalis

8 C. virgo

9 C. distans

10 C. leopardus

11 C. litteratus

12 C. marmoreus

13 C. vexillum

14 C. betulinus

15 C. eburneous

16 C. tessulatus

17 C. catus

18 C. decurtata

19 C. miles

20 C. arenatus

21 C. varius

22 C. consors

23 C. imperialis

24 C. magus

25 C. terebra

26 C. planorbis

27 C. lividus

28 C. frigidus

29 C. flavidus

30 C. parvulus

31 C. sponsalis

32 C. miliaris

33 C. coronatus

34 C. rattus

35 C. ebraeus

36 C. chaldeus

2.3. Lamun

2.3.1. Deskripsi Dan Jenis-Jenis Lamun

Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup di laut

(Short et al., 2006). Lamun tumbuh di dasar perairan dengan daun yang tegak

dengan akar tertanam kuat pada substrat. Lamun merupakan satu-satunya jenis

tumbuhan berbunga yang hidup di zona tidal dan subtidal. Lamun terkadang hidup

membentuk komunitas yang lebat dan padat sehingga sering disebut dengan

padang lamun (Kusnadi et al., 2008).

Tumbuhan lamun memerlukan tingkat kesesuaian lingkungan yang cocok

agar dapat tumbuh dengan baik. Tumbuhan lamun sangat sensitif terhadap faktor

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

18

– faktor alam seperti suhu, salinitas, ombak dan gelombang, kondisi substrat,

kondisi kecerahan, kekayaan nutrient, serta keberadaan epifit dan penyakit.

Keberadaan lamun pada daerah tropis biasanya berada pada daerah perairan

dangkal, terlindung dan substrat berpasir yang lembut. Keberadaan lamun sangat

terbatas pada batas terjauh cahaya menembus air, karena keberadaan cahaya yang

digunakan tumbuhan lamun untuk fotosintesis (Short et al., 2006).

Fungsi ekologis dari lamun tak lepas dari hubungannya dengan ekosistem

mangrove dan terumbu karang. Keberadaan mangrove, lamun dan terumbu karang

membentuk suatu asosiasi yang sangat mendukung komunitas-komunitas yang

ada baik secara biologis maupun secara fisik. Hal ini disebabkan karena letak dari

tiap ekosistem tersebut yang berurutan dari darat hingga laut lepas. Keberadaan

ekosistem terumbu karang dapat memecah gelombang yang datang dari laut lepas

sehingga ekosistem padang lamun dan mangrove menjadi terlindung. Ekosistem

mangrove dapat menahan berbagai sedimen yang akan di lepas ke laut sehingga

tidak mengotori laut dan ekosistem terumbu karang. Sebagian sedimen yang

terlewat dari ekosistem mangrove juga dapat diserap kembali oleh padang lamun.

Dengan demikian kondisi ketiga ekosistem tersebut akan selalu terjaga (Short et

al., 2006).

Ada sekitar 50 spesies lamun yang ditemukan di seluruh dunia yang

terbagi menjadi 2 famili yaitu Potamogetonaceae (9 genus, 35 spesies) dan

Hydrocharitaceae (3 genus, 15 spesies) (Kusnadi, et al., 2008). Di kawasan

perairan Asia Tenggara diperkirakan terdapat 15 spesies lamun (Short et al.,

2007). Jenis-jenis yang terdapat di perairan Indonesia diantaranya terdiri dari 7

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

19

genus yaitu Cymodocea, Enhalus, Halodule, Halophila, Syringodium, Thalassia

dan Thalassodendron. Sedangkan, jenis-jenis yang pernah di temukan di perairan

Pantai Sanur sendiri sebanyak 9 spesies. Jenis-jenis lamun yang terdapat di

perairan Pantai Sanur diantaranya adalah Cymodocea rotundata, C. serrulata,

Enhalus acroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila ovalis,

Syringodium isoetolium, Thalasia hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum

(Asy'ary, 2009). Kondisi padang lamun di perairan Pantai Sanur tergolong cukup

baik dan terdapat variasi sebaran antara bagian tepi pantai, tengah dan tubir

(highzone, midzone, lowzone) (Yusup, 2008). Namun, kondisi padang lamun pada

beberapa tempat di perairan Pantai Sanur mengalami penurunan kerapatan akibat

adanya berbagai aktifitas wisatawan serta penambatan kapal (Arthana, 2005).

2.3.2. Keberadaan Lamun Bagi Keong Konus

Padang lamun memiliki fungsi ekologis yang penting karena mereka

membentuk struktur komunitas yang kompleks yang dapat menyediakan ruang

bagi hewan-hewan yang hidup di sana (Short et al., 2006). Bagi moluska secara

umum dan keong konus secara khusus, padang lamun dimanfaatkan sebagai

habitat tempat hidup. Kondisi padang lamun yang kompleks dapat dimanfaatkan

oleh moluska sebagai tempat peletakkan telur (Huang, 2010). Keberadaan substrat

pasir yang dominan pada kawasan padang lamun memungkinkan berbagai jenis

moluska termasuk keong konus untuk menguburkan dirinya (Zusron et al., 2015).

Berbagai hewan selain moluska juga tinggal di kawasan padang lamun. Hal ini

memungkinkan terbentuknya jaring-jaring makanan di kawasan padang lamun

(Coll et al., 2011).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

20

2.4. Alga

2.4.1. Deskripsi Dan Jenis-Jenis Alga

Alga (kingdom Algae) merupakan organisme autotrof dan memiliki

klorofil, tidak memiliki jaringan pembuluh, berupa thalus yang dapat memiliki

ukuran uniseluler sampai multiseluler (Huynh and Serediak, 2006). Alga

berukuran uniseluler sering disebut dengan mikroalga sedangkan alga yang

berukuran multiseluler disebut makroalga. Habitat hidupnya adalah tempat-tempat

yang berair atau tempat lembab baik di darat maupun di laut. Makroalga yang

hidup di perairan laut biasa disebut dengan seaweed atau rumput laut (Dhargalkar

and Kavlekar, 2004). Makroalga atau seaweeds terkadang disebut sebagai

tumbuhan laut (marine plants) karena memiliki fungsi ekologi seperti tumbuhan

darat. Namun Alga bukan tumbuhan karena tidak memiliki organ seperti akar,

batang dan daun (thalophyta). Makroalga juga disebut tumbuhan bentik karena

hidup dengan cara menempel pada substrat dasar (Diaz-Pulido and McCook,

2008).

Alga merupakan kelompok organisme dengan keanekaragaman jenis yang

tinggi. Jumlah spesies alga diperkirakan mencapai lebih dari 72 ribu spesies

(Guiry, 2012). Mereka dapat dibagi menjadi tiga divisi yaitu Chloropyta (alga

hijau), Phaeophyta (alga coklat) dan Rhodophyta (alga merah) (Dhargalkar and

Kavlekar, 2004). Pembagian tersebut dilakukan berdasarkan pigmen warna yang

terkandung oleh alga. Secara morfologi atau lifeform, alga dapat dibagi menjadi

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

21

beberapa jenis yaitu fleshy, calcareous, crustose, foliose, dan filamentous (Diaz-

Pulido and McCook, 2008). Kebanyakan alga hidup menempel diantaranya

sebagai rhizophytic atau menempel pada substrat pasir atau lumpur, lithophytic

atau menempel pada batu atau bangkai koral, epiphytic atau menempel pada daun

lamun, akar atau alga lain, epizoic atau menempel pada cangkang moluska atau

tubuh hewan laut lain, atau hidup melayang di perairan (Zakaria et al., 2006).

Alga merupakan indikator penting pada lingkungan karena Alga

merupakan produsen primer terutama pada ekosistem perairan serta

kemelimpahan dan struktur komunitasnya dapat menggambarkan kualitas perairan

(Huynh and Serediak, 2006). Alga merupakan makanan utama bagi para grazer di

kawasan perairan termasuk moluska. Beberapa jenis alga tertentu bahkan menjadi

makanan preferensi khusus bagi spesies-spesies yang bersifat specialist

(Lubchenco, 1978). Fungsi ekologi utama dari alga diantaranya adalah sebagai

produsen primer, fiksasi nitrogen, serta menyusun konstruksi untuk mikrohabitat

(Diaz-Pulido and McCook, 2008).

Studi mengenai jenis-jenis alga yang terdapat di kawasan Pantai Sanur

pernah dilakukan oleh Hardini (1999) dan mendapatkan 19 jenis makroalga. Jenis-

jenis alga tersebut dapat dilihat pada tabel (Tabel 2.2.). Data jenis-jenis alga

tersebut dapat dipakai sebagai katalog dalam penelitian selanjutnya. Meskipun

demikian, perlu diperhatikan beberapa hal dalam menganalisis keberadaan

makroalga di suatu kawasan yaitu pengaruh spasial dan temporal. Secara spasial,

keberadaan alga akan semakin banyak pada daerah dekat tubir (low tide).

Pengaruh temporal atau musim keberadaan alga pada kawasan perairan indo-

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

22

pasifik tidak terlalu berbeda karena fluktuasi suhu lingkungan yang tidak terlalu

ekstrim (Titlyanov et al., 2014).

Tabel 2.5.

Jenis-jenis makroalga di kawasan perairan Pantai Sanur (Hardini, 1999)

Kelas Spesies

Chlorophyceae Caulerpa recemosa

C. sertularoides

C. floridana

Enteromorpha sp.

Ulva sp.

Codium sp.

Phaeophyceae Dictyota sp.

Padina sp.

Sargassum sp.

Turbinaria sp.

Rodhophyceae Eucheuma sp.

Halymenia sp.

Hypnea sp.

Gracilaria folifera

G. verucosa

G. crassa

G. cilindrica

Gelidium sp.

Lithothamnion sp.

2.4.2. Keberadaan Alga Bagi Keong Konus

Kebanyakan alga berperan sebagai makanan bagi moluska herbivora.

Bahkan beberapa jenis moluska juga memiliki preferensi pakan khusus terhadap

jenis alga tertentu (Lubchenco, 1978). Bagi keong konus, keberadaan alga

berperan secara tidak langsung yaitu sebagai penyusun atau pembentuk struktur

habitat dan sebagai pemancing keberadaan organisme lain yang dapat dijadikan

mangsa oleh keong konus. Hal ini dapat dilihat dari preferensi habitat keong

konus yang menyukai substrat yang dilapisi oleh makroalga lebih dari 20%

(Kohn, 1983).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

23

2.5. Faktor Fisik Lingkungan Yang Mempengaruhi Conus

2.5.1. Tipe Substrat

Keong konus sangat menyukai substrat dasar pantai yang sedikit berpasir

dan terdapat pecahan batuan atau koral (Cernohorsky, 1964). Hal ini sesuai

dengan morfologi dan prilaku dari keong konus tersebut. Mereka dapat

tersamarkan bila berada pada kawasan dengan banyak pecahan batuan. Selain itu,

keong konus dapat menguburkan dirinya di dalam subtrat pasir untuk menunggu

mangsa dan menghindar dari panas matahari di siang hari. Studi terdahulu

menyebutkan bahwa keong konus menyukai substrat dasar pasir dengan

keberadaan alga dengan tutupan sekitar 20% (Kohn, 1983).

2.5.2. Topografi Dasar Pantai (Rugosity)

Rugosity atau topografi dasar pantai merupakan suatu istilah yang

digunakan untuk mengukur tingkat kekasaran permukaan substrat (Fuad, 2010).

Beberapa istilah lain yang biasa digunakan untuk menggambarkan tingkat

kekasaran permukaan substrat diantaranya Habitat complexity, Topographic

complexity, dan Substrate heterogeneity (Beck, 1998). Tingkat topografi dasar

pantai sangat erat kaitannya dengan keberadaan dari keragaman spesies yang ada.

Tingkat kompleksitas kekasaran habitat yang tinggi akan mendukung keberadaan

spesies yang lebih bervariasi (Gratwicke and Speight, 2005). Tingginya tingkat

kekasaran permukaan dapat meningkatkan luas permukaan yang dapat

dimanfaatkan sebagai tempat berlindung dan menempel bagi invertebrata (Skinner

and Coutinho, 2005). Selain itu tingkat kekasaran permukaan yang tinggi dapat

berperan dalam mengurangi kekeruhan dan meningkatkan serapan nutrien (Fuad,

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

24

2010). Dengan demikian daerah dengan tingkat kekasaran permukaan substrat

yang tinggi akan menjadi preferensi habitat bagi kebanyak hewan termasuk keong

konus.

Rugosity dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara

kuantitatif, rugosity diukur dengan menggunakan tali sepanjang 20 m. Tali

tersebut diletakkan mengikuti kontur atau permukaan dasar substrat. Selanjutnya

tingkat rugosity dapat diukur dengan rumus:

𝐶 = 1 −𝑑

𝑙 (Fuad, 2010)�

Ket: C = Indeks Rugosity

d = jarak horizontal tali yang mengikuti permukaan substrat

l = panjang tali seluruhnya (misal: 20 m)

Rugosity juga dapat dilihat secara kualitatif secara visual. Tingkat rugosity

secara visual dapat dilihat berdasarkan standar dari Gratwicke and Speight (2005).

Penggunaan standar ini dapat dilakukan untuk mempersingkat waktu pengamatan

rugosity di lapangan (rapid assessment).

Gambar 2.3

Penggambaran sketsa visual topografi dasar pantai (rugosity) (Gratwicke and

Spight, 2005)

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

25

2.5.3. Ketergenangan

Ketergenangan (immersion) merupakan tingkat keberadaan air saat surut.

Keberadaan air di zona intertidal saat surut merupakan hal yang perlu diperhatikan

karena keberadaan air merupakan faktor pembatas bagi makhluk hidup penghuni

kawasan tersebut. Kondisi fisik lingkungan seperti suhu dan salinitas tidak

mengalamin fluktuasi yang signifikan akibat adanya air yang tersisa dibandingkan

dengan area yang terpapar langsung. Keberadaan air saat surut terendah dapat

terjadi apabila terdapat area yang lebih rendah dari area sekelilingnya sehingga air

laut terjebak dan membentuk seperti kolam yang disebut dengan tidepool

(Metaxas and Scheibling, 1993).

Keberadaan genangan air di daerah intertidal (tidepools) perlu mendapat

perhatian karena dapat mempengaruhi keberadaan hewan sehingga tidak sesuai

dengan zonasi yang terbentuk (Macieira and Joeyoux, 2011). Keberadaan hewan

pada tidepool lebih dipengaruhi oleh karakter dari genangan tersebut seperti

kedalaman, volume, orientasi dan luas permukaan air yang tergenang (Metaxas

and Scheibling, 1993). Dengan demikian, keberadaan air di kawasan zona

intertidal, meskipun tidak terlalu signifikan, juga dapat mengubah sebaran hewan

di zona tersebut bergantung pada titik terendah air saat surut dan lama genangan

yang terjadi (Beukema and Flach, 1995).

Bagi keong konus, keberadaan genangan ketika surut terendah mungkin

tidak terlalu berpengaruh karena beberapa jenis gastropoda termasuk keong konus

dapat beradaptasi terhadap kekurangan air ketika surut terjadi (Nybakken, 1988).

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

26

Keberadaan genangan air saat surut kemungkinan lebih berasosiasi terhadap

keberadaan ikan atau cacing sebagai makanan dari keong konus.

2.6. Pengaruh Masyarakat Pada Ekosistem Pantai

Keberadaan masyarakat serta semakin banyaknya aktifitas masyarakat di

kawasan pesisir telah berdampak pada perubahan ekosistem pesisir ke arah

negatif. Berbagai tekanan ekosistem pantai yang berasal dari keberadaan dan

aktifitas masyarakat diantaranya rekreasi, perikanan, pembangunan dan

pertambangan. Berbagai aktifitas tersebut berpotensi merubah kondisi fisik

lingkungan serta komponen komunitas penyusun habitat pesisir (Defeo et al.,

2009).

Pengaruh keberadaan dan aktifitas masyarakat berpengaruh secara spasial

dan temporal tertahadap ekosistem pantai. Hal ini disebabkan karena keberadaan

dan aktifitas masyarakat di kawasan pantai sangat dinamis terutama aktifitas

rekreasi dan perikanan yang dilakukan oleh nelayan lokal (Murray et al., 1999).

Aktifitas masyarakat dapat berpengaruh lebih signifikan terhadap komunitas alami

di pantai pada daerah yang dekat dengan akses masuk pantai daripada daerah yang

jauh dari akses masuk pantai (Addessi, 1994). Pengaruh aktifitas dan keberadaan

masyarakat yang berasal dari rekreasi dan perikanan lokal juga lebih berdampak

pada daerah yang dekat dengan bibir pantai daripada daerah yang jauh dari bibir

pantai (Huang et al., 2006). Kerusakan yang timbul dari aktifitas rekreasi dan

perikanan terutama di daerah intertidal adalah efek dari injakan-injakan pada

substrat dan pengambilan organisme-organisme yang bernilai (Presscot, 2006).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siput Conus 2.1.1. Deskripsi

27

Keong konus merupakan salah satu jenis keong yang dikenal memiliki

bentuk dan pola cangkang yang indah. Maka dari itu, jenis keong ini sangat

populer diantara para kolektor cangkang siput laut bersama dengan jenis keong

laut lain dari famili Cypraeidae, Volutidae, Muricidae, Pectinidae, dll. Bahkan

banyak dari para kolektor rela membayar mahal untuk sebuah keong laut yang

dianggap indah dan langka (Monteiro, 1999). Selain untuk dikoleksi, keong konus

juga dijadikan makanan oleh masyarakat pesisir di suatu kawasan di Filipina. Di

kawasan tersebut keong konus diolah menjadi sup dan merupakan makanan yang

cukup digemari (Floren, 2003; Peters, 2013).