bab ii tinjauan pustaka 2.1. siput conus 2.1.1. deskripsi
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Siput Conus
2.1.1. Deskripsi Morfologi
Keong konus atau cone shell atau Conus spp merupakan siput laut yang
dikenal karena bentuknya yang unik dan mudah dikenali (Gunning and Chadwick,
2009), serta dikenal sebagai hewan invertebrata laut yang beracun dan harus
diwaspadai (Hadi, 1991). Cangkangnya berbentuk konus atau kerucut yaitu bagian
pangkal cangkang (posterior) lebih lebar daripada bagian ujung cangkang
(anterior). Bagian spire memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi antar spesies.
Aperture (celah bibir tempat keluarnya tubuh) sempit dan relatif panjang.
Operculum berada pada ujung anterior dan sangat kecil atau kadang-kadang tidak
ada (Sarramegna, 1965; Mudjiono, 1989; Dance, 1990). Bagian luar cangkang
terkadang dilapisi oleh lapisan transparan yang disebut periostracum (Diaz et al.,
2005). Ukuran dari keong dewasa bervariasi dari 1 cm sampai 80 cm (Bingham et
al., 2014).
Pola warna dan bentuk keong konus sangat bervariasi dan dijadikan
sebagai karakter dalam identifikasi. Kecerahan warna dari keong konus dapat
dipengaruhi oleh habitatnya. Misalnya keong konus yang hidup di pantai yang
tercemar minyak atau sampah memiliki warna cangkang yang kusam
(Sarramegna, 1965). Bentuk cangkang dari keong konus secara umum dapat
6
dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu tumpul (conical), datar (abconical),
meruncing (biconical) dan runcing (turbinate) (Mudjiono, 1989).
Gambar 2.1.
Morfologi cangkang konus (Mudjiono, 1989)
Gambar 2.2
Tipe cangkang Conus. A: biconical, B: turbinate, C: conical, D: abconical
(Mudjiono, 1989)
Bagian tubuh yang dapat diamati dengan mudah dari keong konus
diantaranya adalah proboscis, siphon, mulut dan kaki otot. Proboscis merupakan
suatu organ berbentuk moncong yang digunakan untuk berburu mangsa. Di dalam
7
proboscis tersebut terdapat radula yang berbentuk harpoon atau seperti busur
panah yang terhubung dengan kantung bisa (Mudjiono, 1989). Siphon berperan
sebagai organ penciuman yang digunakan untuk mendeteksi mangsa di sekitar.
Mulut pada keong konus dapat membesar beberapa kali lipat untuk menelan
mangsanya dalam keadaan utuh. Di setiap sisi mulut juga terdapat mata
bertangkai dan tentakel. Kaki otot keong konus digunakan sebagai alat lokomosi
yang berbentuk panjang, sempit, dan membulat (Gunning and Chadwick, 2009).
2.1.2. Taksonomi
Secara taksonomi, keong konus diklasifikasikan sebagai berikut
(Mudjiono, 1989):
Filum : Moluska
Kelas : Gastropoda
Subkelas : Prosobrancha
Ordo : Neogastropoda
Sub ordo : Toxoglosa
Famili : Conidae
Genus : Conus
Genus Conus Famili Conidae pertama kali dipublikasikan oleh John
Flemming pada tahun 1822. Conidae, bersama dengan Turridae dan Terebridae
termasuk ke dalam Sub Ordo Toxoglosa yang merupakan kelompok siput yang
beracun (Sarramegna, 1965). Genus Conus merupakan kelompok genus
invertebrata laut dengan jumlah paling banyak dengan lebih dari 500 spesies
(Olivera et al., 1990). Genus Conus juga dibagi menjadi 4 Sub Genus
(Sarramegna, 1965) yaitu:
8
1. Sub Genus Conus
2. Sub Genus Hermes
3. Sub Genus Cylindrus
4. Sub Genus Gastridium
Pembagian sub genus tersebut dilakukan berdasarkan perbedaan bentuk
cangkang dari keong konus. Saat ini sistem klasifikasi yang terbaru
menggolongkan keong konus berdasarkan filogenetik molekular (Puillandre, et
al., 2014). Berdasarkan sistem pembagian tersebut, seluruh keong konus
dimasukkan ke dalam famili Conidae, dan dibagi menjadi 4 genus, yaitu Conus,
Conasprella, Profundiconus, dan Californiconus. Namun, 85% dari seluruh keong
konus yang telah dikenal masih tetap teregristrasi ke dalam genus Conus.
2.1.3. Habitat Dan Distribusi
Keong konus hidup di zona intertidal hingga zona subtidal sampai
kedalaman 1000 m. Keong konus dapat hidup di berbagai tipe substrat dasar
seperti bebatuan, pasir, lumpur, pecahan koral dan bebatuan, terumbu karang dan
padang lamun (Diaz et al, 2005). Keong konus dapat ditemukan dalam kondisi
terkubur seluruhnya, sebagian atau tidak terkubur sama sekali. Preferensi habitat
keong konus adalah pada pecahan koral atau bebatuan karena keberadaannya
dapat tersamarkan (Cernohorsky, 1964). Keong konus termasuk hewan nokturnal
tetapi cukup aktif saat menjelang matahari terbit dan terbenam (Hall, 2011).
Keong konus tersebar di lautan tropis dan sub tropis. Jumlah keong konus
paling banyak terdapat pada lautan Indo Pasifik dan Pasifik Barat. Sebagian kecil
juga terdapat di lautan Jepang, Laut Mediterania, Afrika Selatan dan Laut Austalia
bagian selatan (Bingham et al., 2014). Keberadaan keong konus di Indonesia
9
umumnya berada pada pulau-pulau karang (Mudjiono, 1989). Beberapa laporan
mengenai keberadaan keong konus di Indonesia telah dilaporkan diantaranya oleh
Setyobudiandi et al. ( 2010), Arbi (2011) dan Pioto (2015).
Keong konus diketahui memiliki preferensi habitat khusus. Hal ini sangat
terkait dengan perannya sebagai predator. Keong konus dapat tersamarkan bila
berada pada habitat dengan pecahan koral atau bebatuan (Cernohorsky, 1964).
Namun diketahui pula bahwa tiap-tiap spesies keong konus menyukai tipe
mikrohabitat tertentu misalnya Conus pulicarius dan C. leopardus menyukai
habitat pantai berpasir (Kohn, 1980). Studi khusus mengenai preferensi habitat
keong konus menemukan bahwa keong konus secara umum menyukai kawasan
dengan substrat dasar pasir yang tertutup alga lebih dari 20% (Kohn, 1983).
Kondisi mikrohabitat seperti itu dapat berperan sebagai kanopi di siang hari
(khususnya bagi keong konus berukuran kecil) dan dapat menjebak pecahan
batuan. Keberadaan alga juga secara tidak langsung akan memikat hewan mangsa
terkait dari keberadaan alga sebagai sumber pakan (Kohn, 1983).
2.1.4. Reproduksi dan Siklus Hidup
Spesies keong konus memiliki alat kelamin yang terpisah antara jantan dan
betina. Keong konus melakukan fertilisasi secara internal. Keong konus betina
meletakkan puluhan kapsul pipih transparan yang berisikan puluhan sampai
ribuan telur pada tiap kapsulnya (Kohn, 1961). Fase larva dari keong konus
hingga menjadi juvenile dapat berlangsung antara kurang dari 1 sampai 50 hari
(Perron, 1981). Keong konus mencapai kematangan reproduksi setelah berusia 6
hingga 12 bulan (Hall, 2011). Namun hanya sedikit dari ribuan telur yang menetas
10
dapat tumbuh dan berkembang menjadi keong konus dewasa (Gunning and
Chadwick, 2009).
Keong konus biasanya meletakkan kapsul telur pada bagian bawah
substrat keras. Namun beberapa spesies keong konus lainnya memiliki preferensi
tempat peletakkan kapsul telur yang berbeda, misalnya Conus figulinus
meletakkan kapsul telur pada substrat pasir (Peters, 2013) dan C. californicus
meletakkan kapsul telur pada substrat yang terlapisi alga merah (Shaffer, 1986).
Meskipun demikian, pemilihan tipe substrat untuk peletakkan kapsul telur tidak
berpengaruh terhadap waktu metamorfosis dari keong konus (Perron, 1981). Lama
waktu metamorfosis keong konus bergantung dari tipe larva tiap-tiap spesies.
Larva planktotropik memiliki waktu metamorfosis yang paling lama, sedangkan
larva tipe lesitotropik memiliki waktu metamorfosis yang singkat. Tipe larva ini
juga dapat mempengaruhi sebaran geografis keong konus karena fase larva keong
konus memiliki kemungkinan untuk tersebar di lautan dalam jarak yang cukup
luas dibandingkan keong konus dewasa yang hanya memiliki jarak perpindahan
tidak lebih dari 20 meter selama hidupnya (Shaffer, 1986; Johnson, et al., 2001;
Hendricks, 2012). Larva tipe lesitotropik mendapatkan pengayaan nutrisi ketika
masih berada pada fase telur sehingga memiliki perkembangan yang sangat cepat
untuk mencapai fase juvenil atau crawling stage. Akibatnya, keong konus dengan
tipe larva lesitotropik biasanya hanya tersebar pada kawasan yang sempit. Di sisi
lain, larva tipe planktotropik tidak mendapatkan pengayaan nutrisi pada fase telur
sehingga harus melewati fase plankton yang dapat tersebar luas di seluruh lautan.
Dengan demikian keong konus dengan larva tipe plantotropik memiliki sebaran
11
geografis yang sangat luas (Peters, 2013). Salah satu contoh keong konus yang
memiliki sebaran yang luas adalah C. ebraeus yang tersebar di hampir seperempat
lautan dunia (Duda Jr et al., 2009).
2.1.5. Makanan Dan Prilaku Makan
Keong konus dikenal sebagai hewan predator. Keong konus dapat
dikelompokkan berdasarkan makanannya yaitu molluscivorous (pemakan
moluska), piscivorous (pemakan ikan) dan vermivorus (pemakan cacing)
(Mudjiono, 1989). Faktor ekologi yang mempengaruhi preferensi dan prilaku
makan bagi keong konus sangat beragam sehingga mereka menjadi tipe hewan
yang specialist (Duda et al., 2011). Preferensi makan ini memiliki korelasi dengan
morfologi dari keong konus. Keong konus pemakan cacing biasanya memiliki
cangkang paling berat dengan apertur paling sempit. Pemakan moluska biasanya
memiliki pola warna cangkang dengan garis-garis putih dengan dasar yang gelap
dan berat cangkang yang menengah bila dibandingkan dengan tipe pemakan
lainya. Pemakan ikan memiliki berat cangkang paling ringan, bentuk paling
beronamen serta apertur dan apex paling yang lebar bila dibandingkan di antara
pemakan moluska dan pemakan cacing (Bingham et al., 2014).
Studi mengenai makanan dan prilaku makan dari keong konus telah
dilakukan sejak tahun 1950-an oleh Kohn (1956). Mekanisme pakan keong konus
diawali dengan mendeteksi mangsa dengan menggunakan siphon. Kemudian,
keong konus menyerang mangsanya dengan racun melalui harpoon yang terdapat
di dalam proboscis. Mangsa keong konus langsung ditelan secara utuh melalui
mulut yang dapat melebar.
12
Jenis mangsa dari keong konus dapat diketahui melalui pembedahan organ
pencernaan (Nybakken, 1978) dan analisis feses (Kohn, 1968). Analisis feses
dapat dilakukan terhadap keong konus yang diketahui merupakan tipe vermivorus.
Hal ini disebabkan karena kebanyakan mangsa keong konus tipe ini merupakan
polychaeta yang memiliki organ tubuh yang biasanya tidak tercerna dan dapat
dijadikan sebagai dasar identifikasi yaitu setae dan jaw (rahang). Pembendahan
organ pencernaan lebih baik dilakukan pada keong konus tipe piscivorus dan
molluscivorus dengan harapan mangsa yang telah ditelan secara utuh masih dapat
diidentifikasi.
Kebanyakan keong konus memiliki preferensi pakan yang spesifik.
Berikut merupakan beberapa spesies keong konus beserta preferensi pakannya
yang telah dirangkum pada tabel berikut:
Tabel 2.1
Preferensi pakan beberapa keong konus: Moluscivorous (Duda, et al., 2011)
Species Tipe pakan Preferensi pakan utama
C. aulicus M gastropoda
C. aureus M gastropoda
C. bandanus M gastropoda
C. canonicus M gastropoda
C. episcopatus M gastropoda
C. legatus M moluska
C. araneosus M gastropoda
C. marmoreus M gastropoda
C. omaria M gastropoda
C. pennaceus M gastropoda
C. textile M gastropoda
C. californicus V, M gastropoda, bivalvia, polychaeta
13
Tabel 2.2
Preferensi pakan beberapa keong konus: Piscivorous (Duda, et al., 2011)
Species Tipe pakan Preferensi pakan utama
C. bullatus P pisces
C. catus P pisces
C. cinereus P pisces
C. circumcisus P pisces
C. consors P pisces
C. geographus P pisces
C. magus P pisces
C. obscurus P pisces
C. proximus P pisces
C. stercusmuscarum P pisces
C. striatus P pisces
C. striolatus P pisces
C. tulipa P pisces
C. eburneus V, P eunicidea, capitellidea
Tabel 2.3
Preferensi pakan beberapa keong konus: Vermivorous (Duda, et al., 2011)
Species Tipe pakan Preferensi pakan utama
C. arenatus V eunicidea, nereidea, capitellidea
C. balteatus V eunicidea, nereidea
C. betulinus V capitellidea
C. biliosus V eunicidea
C. boeticus V polychaeta
C. brunneus V amphinomidea
C. chaldaeus V eunicidea, nereidea
C. coffeae V eunicidea
C. coronatus V eunicidea, capitellidea
C. distans V eunicidea
C. dorreensis V eunicidea
C. ebraeus V eunicidea, nereidea
C. emaciatus V terebellidea
C. figulinus V polychaeta
C. flavidus V capitellidea, terebellidea
C. frigidus V capitellidea, terebellidea
C. generalis V eunicidea
C. glans V eunicidea
C. imperialis V amphinomidea
C. leopardus V enteropneusts
C. litoglyphus V eunicidea
14
C. litteratus V capitellidea
C. abbreviatus V eunicidea, nereidea
C. anemone V eunicidea, nereidea
C. lividus V enteropneusts, terebellidea
C. miles V eunicidea
C. miliaris V eunicidea, nereidea
C. moreleti V terebellidea
C. muriculatus V eunicidea, nereidea
C. musicus V nereidea
C. mustelinus V eunicidea, nereidea
C. nux V nereidea
C. planorbis V polychaeta
C. princeps V eunicidea
C. pulicarius V capitellidea, sabellids
C. quercinus V enteropneustdea
C. rattus V eunicidea
C. regius V amphinomidea
C. sanguinolentus V cirratulidea, poychaeta lain
C. sponsalis V nereidea, eunicidea
C. swainsoni V polychaeta
C. tenuistriatus V polychaeta
C. terebra V terebellidea
C. tessulatus V nereidea, eunicidea
C. varius V polychaeta
C. vexillum V eunicidea
C. virgo V terebellidea
C. vitulinus V eunicidea
2.1.6. Konotoksin
Racun dari keong konus merupakan bagian penting karena digunakan
untuk melumpuhkan mangsanya. Racunnya sangat kuat dan juga dapat berakibat
fatal bagi manusia. Telah banyak laporan mengenai serangan keong konus
terhadap manusia diantaranya oleh Conus geographus dan C. textile (Kumar et
al., 2015). Para peneliti telah tertarik untuk memahami mengenai racun keong
konus dan mulai mendapatkan banyak manfaat dari hasil isolasi racun tersebut.
Meskipun demikian masih banyak racun keong konus yang belum tereksplorasi
15
dan belum diketahui spesifikasi terhadap jalur ion targetnya sehingga racun keong
konus ini merupakan sumber peptida baru yang potensial untuk ditemukan (Terlau
and Olivera, 2004).
Racun konus disebut konotoksin (conotoxin) atau konopeptida
(conopeptide) karena racun tersebut merupakan senyawa peptida. Konotoksin
merupakan suatu racun yang menyerang sistem saraf (neurotoksin) secara spesifik
terhadap ion chanel dan reseptor pada sistem neuromuskular. Keanekaragaman
senyawa peptida dari racun keong konus bahkan lebih bervariasi dari keragaman
jenis keong konus itu sendiri (Gowd, et al., 2005). Setidaknya terdapat lebih dari
100.000 senyawa peptida yang terdapat diantara jenis-jenis keong konus
(Bingham et al., 2014). Pada tiap spesies keong konus bisa memiliki 50 sampai
200 rangkaian senyawa peptida. Tiap spesies keong konus bahkan dapat
menghasilkan konotoksin yang sangat spesifik terhadap ion dan reseptor tertentu.
Berdasarkan fungsi dan targetnya, konotoksi telah diklasifikasikan menjadi 3 jenis
yaitu konotoksi tipe potassium-channel, tipe sodium channel, dan tipe calcium
channel. Saat ini pengklasifikasian konotoksin dapat dilakukan dengan
pendekatan molekuler dengan menggunakan metode sekuen terhadap komposisi
senyawa peptida dari konotoksin tersebut (Ding et al., 2014).
Saat ini konotoksin telah banyak dimanfaatkan dalam dunia farmakologi.
Misalnya, konotoksin yang telah diekstrak dari kelenjar racun keong konus Conus
geographus telah dipakai untuk memodifikasi respon rasa sakit pada jaringan
hewan vertebrata. Hal ini menjadi langkah awal yang potensial dalam penemuan
obat dari berbagai macam penyakit seperti Kanker, AIDS, Arthrhitis, dan juga
16
penyakit yang berkaitan dengan sistem saraf seperti Alzheimer, Parkinson, dan
Epilepsi (Livett et al., 2004). Konotoksin pada dasarnya merupakan senyawa
peptida sederhana yang tersusun dari 10 sampai 30 jenis asam amino. Hal ini
menjadi salah satu kemudahan dan keuntungan dalam pengembangan konotoksin
di bidang farmakologi (Anderson and Bokor, 2012). Meskipun demikian, terdapat
beberapa kendala mengenai pengembangan konotoksin tersebut misalnya
sedikitnya data dan informasi mengenai keong konus yang bisa dimanfaatkan
serta sedikitnya jumlah keong konus yang biasa ditemukan di alam. Di India, data
dan informasi mengenai keong konus telah mulai dikumpulkan dan telah di
dapatkan beberapa jenis peptida baru pada jenis-jenis konus baru yang di temukan
(Gowd et al., 2005)
2.2. Zona Intertidal
Secara umum zona intertidal adalah zona antara batas tertinggi air laut saat
pasang sampai batas terendah air laut saat surut. Area ini sangat banyak menerima
pengaruh dari daratan dan lautan namun memiliki tingkat faktor pembatas yang
sangat tinggi terhadap makhluk hidup yang menghuni area ini. Ada Banyak
bentuk kehidupan yang dapat diamati di area ini dan mudah dijangkau oleh
manusia sehingga memungkinkan manusia untuk memberikan banyak dampak
terhadap komunitas di zona ini (Nybakken and Webster, 1998). Menurut
Nybakken (1988), ada beberapa faktor lingkugan yang berpengaruh di zona
intertidal yaitu pasang-surut, suhu, gerakan ombak, salinitas, dan substrat.
17
Berikut ini adalah spesies-spesies keong konus yang mungkin dan umum
ditemukan di zona intertidal atau laut dangkal perairan di Indonesia berdasarkan
sebarannya menurut Dharma (1992):
Tabel 2.4.
Spesies keong konus di perairan laut dangkal dengan kemelimpahan yang umum
di indonesia (Dharma, 1992)
No. Spesies
1 Conus textile
2 C. omaria
4 C. striatus
5 C. geographus
6 C. tulipa
7 C. generalis
8 C. virgo
9 C. distans
10 C. leopardus
11 C. litteratus
12 C. marmoreus
13 C. vexillum
14 C. betulinus
15 C. eburneous
16 C. tessulatus
17 C. catus
18 C. decurtata
19 C. miles
20 C. arenatus
21 C. varius
22 C. consors
23 C. imperialis
24 C. magus
25 C. terebra
26 C. planorbis
27 C. lividus
28 C. frigidus
29 C. flavidus
30 C. parvulus
31 C. sponsalis
32 C. miliaris
33 C. coronatus
34 C. rattus
35 C. ebraeus
36 C. chaldeus
2.3. Lamun
2.3.1. Deskripsi Dan Jenis-Jenis Lamun
Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup di laut
(Short et al., 2006). Lamun tumbuh di dasar perairan dengan daun yang tegak
dengan akar tertanam kuat pada substrat. Lamun merupakan satu-satunya jenis
tumbuhan berbunga yang hidup di zona tidal dan subtidal. Lamun terkadang hidup
membentuk komunitas yang lebat dan padat sehingga sering disebut dengan
padang lamun (Kusnadi et al., 2008).
Tumbuhan lamun memerlukan tingkat kesesuaian lingkungan yang cocok
agar dapat tumbuh dengan baik. Tumbuhan lamun sangat sensitif terhadap faktor
18
– faktor alam seperti suhu, salinitas, ombak dan gelombang, kondisi substrat,
kondisi kecerahan, kekayaan nutrient, serta keberadaan epifit dan penyakit.
Keberadaan lamun pada daerah tropis biasanya berada pada daerah perairan
dangkal, terlindung dan substrat berpasir yang lembut. Keberadaan lamun sangat
terbatas pada batas terjauh cahaya menembus air, karena keberadaan cahaya yang
digunakan tumbuhan lamun untuk fotosintesis (Short et al., 2006).
Fungsi ekologis dari lamun tak lepas dari hubungannya dengan ekosistem
mangrove dan terumbu karang. Keberadaan mangrove, lamun dan terumbu karang
membentuk suatu asosiasi yang sangat mendukung komunitas-komunitas yang
ada baik secara biologis maupun secara fisik. Hal ini disebabkan karena letak dari
tiap ekosistem tersebut yang berurutan dari darat hingga laut lepas. Keberadaan
ekosistem terumbu karang dapat memecah gelombang yang datang dari laut lepas
sehingga ekosistem padang lamun dan mangrove menjadi terlindung. Ekosistem
mangrove dapat menahan berbagai sedimen yang akan di lepas ke laut sehingga
tidak mengotori laut dan ekosistem terumbu karang. Sebagian sedimen yang
terlewat dari ekosistem mangrove juga dapat diserap kembali oleh padang lamun.
Dengan demikian kondisi ketiga ekosistem tersebut akan selalu terjaga (Short et
al., 2006).
Ada sekitar 50 spesies lamun yang ditemukan di seluruh dunia yang
terbagi menjadi 2 famili yaitu Potamogetonaceae (9 genus, 35 spesies) dan
Hydrocharitaceae (3 genus, 15 spesies) (Kusnadi, et al., 2008). Di kawasan
perairan Asia Tenggara diperkirakan terdapat 15 spesies lamun (Short et al.,
2007). Jenis-jenis yang terdapat di perairan Indonesia diantaranya terdiri dari 7
19
genus yaitu Cymodocea, Enhalus, Halodule, Halophila, Syringodium, Thalassia
dan Thalassodendron. Sedangkan, jenis-jenis yang pernah di temukan di perairan
Pantai Sanur sendiri sebanyak 9 spesies. Jenis-jenis lamun yang terdapat di
perairan Pantai Sanur diantaranya adalah Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Enhalus acroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila ovalis,
Syringodium isoetolium, Thalasia hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum
(Asy'ary, 2009). Kondisi padang lamun di perairan Pantai Sanur tergolong cukup
baik dan terdapat variasi sebaran antara bagian tepi pantai, tengah dan tubir
(highzone, midzone, lowzone) (Yusup, 2008). Namun, kondisi padang lamun pada
beberapa tempat di perairan Pantai Sanur mengalami penurunan kerapatan akibat
adanya berbagai aktifitas wisatawan serta penambatan kapal (Arthana, 2005).
2.3.2. Keberadaan Lamun Bagi Keong Konus
Padang lamun memiliki fungsi ekologis yang penting karena mereka
membentuk struktur komunitas yang kompleks yang dapat menyediakan ruang
bagi hewan-hewan yang hidup di sana (Short et al., 2006). Bagi moluska secara
umum dan keong konus secara khusus, padang lamun dimanfaatkan sebagai
habitat tempat hidup. Kondisi padang lamun yang kompleks dapat dimanfaatkan
oleh moluska sebagai tempat peletakkan telur (Huang, 2010). Keberadaan substrat
pasir yang dominan pada kawasan padang lamun memungkinkan berbagai jenis
moluska termasuk keong konus untuk menguburkan dirinya (Zusron et al., 2015).
Berbagai hewan selain moluska juga tinggal di kawasan padang lamun. Hal ini
memungkinkan terbentuknya jaring-jaring makanan di kawasan padang lamun
(Coll et al., 2011).
20
2.4. Alga
2.4.1. Deskripsi Dan Jenis-Jenis Alga
Alga (kingdom Algae) merupakan organisme autotrof dan memiliki
klorofil, tidak memiliki jaringan pembuluh, berupa thalus yang dapat memiliki
ukuran uniseluler sampai multiseluler (Huynh and Serediak, 2006). Alga
berukuran uniseluler sering disebut dengan mikroalga sedangkan alga yang
berukuran multiseluler disebut makroalga. Habitat hidupnya adalah tempat-tempat
yang berair atau tempat lembab baik di darat maupun di laut. Makroalga yang
hidup di perairan laut biasa disebut dengan seaweed atau rumput laut (Dhargalkar
and Kavlekar, 2004). Makroalga atau seaweeds terkadang disebut sebagai
tumbuhan laut (marine plants) karena memiliki fungsi ekologi seperti tumbuhan
darat. Namun Alga bukan tumbuhan karena tidak memiliki organ seperti akar,
batang dan daun (thalophyta). Makroalga juga disebut tumbuhan bentik karena
hidup dengan cara menempel pada substrat dasar (Diaz-Pulido and McCook,
2008).
Alga merupakan kelompok organisme dengan keanekaragaman jenis yang
tinggi. Jumlah spesies alga diperkirakan mencapai lebih dari 72 ribu spesies
(Guiry, 2012). Mereka dapat dibagi menjadi tiga divisi yaitu Chloropyta (alga
hijau), Phaeophyta (alga coklat) dan Rhodophyta (alga merah) (Dhargalkar and
Kavlekar, 2004). Pembagian tersebut dilakukan berdasarkan pigmen warna yang
terkandung oleh alga. Secara morfologi atau lifeform, alga dapat dibagi menjadi
21
beberapa jenis yaitu fleshy, calcareous, crustose, foliose, dan filamentous (Diaz-
Pulido and McCook, 2008). Kebanyakan alga hidup menempel diantaranya
sebagai rhizophytic atau menempel pada substrat pasir atau lumpur, lithophytic
atau menempel pada batu atau bangkai koral, epiphytic atau menempel pada daun
lamun, akar atau alga lain, epizoic atau menempel pada cangkang moluska atau
tubuh hewan laut lain, atau hidup melayang di perairan (Zakaria et al., 2006).
Alga merupakan indikator penting pada lingkungan karena Alga
merupakan produsen primer terutama pada ekosistem perairan serta
kemelimpahan dan struktur komunitasnya dapat menggambarkan kualitas perairan
(Huynh and Serediak, 2006). Alga merupakan makanan utama bagi para grazer di
kawasan perairan termasuk moluska. Beberapa jenis alga tertentu bahkan menjadi
makanan preferensi khusus bagi spesies-spesies yang bersifat specialist
(Lubchenco, 1978). Fungsi ekologi utama dari alga diantaranya adalah sebagai
produsen primer, fiksasi nitrogen, serta menyusun konstruksi untuk mikrohabitat
(Diaz-Pulido and McCook, 2008).
Studi mengenai jenis-jenis alga yang terdapat di kawasan Pantai Sanur
pernah dilakukan oleh Hardini (1999) dan mendapatkan 19 jenis makroalga. Jenis-
jenis alga tersebut dapat dilihat pada tabel (Tabel 2.2.). Data jenis-jenis alga
tersebut dapat dipakai sebagai katalog dalam penelitian selanjutnya. Meskipun
demikian, perlu diperhatikan beberapa hal dalam menganalisis keberadaan
makroalga di suatu kawasan yaitu pengaruh spasial dan temporal. Secara spasial,
keberadaan alga akan semakin banyak pada daerah dekat tubir (low tide).
Pengaruh temporal atau musim keberadaan alga pada kawasan perairan indo-
22
pasifik tidak terlalu berbeda karena fluktuasi suhu lingkungan yang tidak terlalu
ekstrim (Titlyanov et al., 2014).
Tabel 2.5.
Jenis-jenis makroalga di kawasan perairan Pantai Sanur (Hardini, 1999)
Kelas Spesies
Chlorophyceae Caulerpa recemosa
C. sertularoides
C. floridana
Enteromorpha sp.
Ulva sp.
Codium sp.
Phaeophyceae Dictyota sp.
Padina sp.
Sargassum sp.
Turbinaria sp.
Rodhophyceae Eucheuma sp.
Halymenia sp.
Hypnea sp.
Gracilaria folifera
G. verucosa
G. crassa
G. cilindrica
Gelidium sp.
Lithothamnion sp.
2.4.2. Keberadaan Alga Bagi Keong Konus
Kebanyakan alga berperan sebagai makanan bagi moluska herbivora.
Bahkan beberapa jenis moluska juga memiliki preferensi pakan khusus terhadap
jenis alga tertentu (Lubchenco, 1978). Bagi keong konus, keberadaan alga
berperan secara tidak langsung yaitu sebagai penyusun atau pembentuk struktur
habitat dan sebagai pemancing keberadaan organisme lain yang dapat dijadikan
mangsa oleh keong konus. Hal ini dapat dilihat dari preferensi habitat keong
konus yang menyukai substrat yang dilapisi oleh makroalga lebih dari 20%
(Kohn, 1983).
23
2.5. Faktor Fisik Lingkungan Yang Mempengaruhi Conus
2.5.1. Tipe Substrat
Keong konus sangat menyukai substrat dasar pantai yang sedikit berpasir
dan terdapat pecahan batuan atau koral (Cernohorsky, 1964). Hal ini sesuai
dengan morfologi dan prilaku dari keong konus tersebut. Mereka dapat
tersamarkan bila berada pada kawasan dengan banyak pecahan batuan. Selain itu,
keong konus dapat menguburkan dirinya di dalam subtrat pasir untuk menunggu
mangsa dan menghindar dari panas matahari di siang hari. Studi terdahulu
menyebutkan bahwa keong konus menyukai substrat dasar pasir dengan
keberadaan alga dengan tutupan sekitar 20% (Kohn, 1983).
2.5.2. Topografi Dasar Pantai (Rugosity)
Rugosity atau topografi dasar pantai merupakan suatu istilah yang
digunakan untuk mengukur tingkat kekasaran permukaan substrat (Fuad, 2010).
Beberapa istilah lain yang biasa digunakan untuk menggambarkan tingkat
kekasaran permukaan substrat diantaranya Habitat complexity, Topographic
complexity, dan Substrate heterogeneity (Beck, 1998). Tingkat topografi dasar
pantai sangat erat kaitannya dengan keberadaan dari keragaman spesies yang ada.
Tingkat kompleksitas kekasaran habitat yang tinggi akan mendukung keberadaan
spesies yang lebih bervariasi (Gratwicke and Speight, 2005). Tingginya tingkat
kekasaran permukaan dapat meningkatkan luas permukaan yang dapat
dimanfaatkan sebagai tempat berlindung dan menempel bagi invertebrata (Skinner
and Coutinho, 2005). Selain itu tingkat kekasaran permukaan yang tinggi dapat
berperan dalam mengurangi kekeruhan dan meningkatkan serapan nutrien (Fuad,
24
2010). Dengan demikian daerah dengan tingkat kekasaran permukaan substrat
yang tinggi akan menjadi preferensi habitat bagi kebanyak hewan termasuk keong
konus.
Rugosity dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara
kuantitatif, rugosity diukur dengan menggunakan tali sepanjang 20 m. Tali
tersebut diletakkan mengikuti kontur atau permukaan dasar substrat. Selanjutnya
tingkat rugosity dapat diukur dengan rumus:
𝐶 = 1 −𝑑
𝑙 (Fuad, 2010)�
Ket: C = Indeks Rugosity
d = jarak horizontal tali yang mengikuti permukaan substrat
l = panjang tali seluruhnya (misal: 20 m)
Rugosity juga dapat dilihat secara kualitatif secara visual. Tingkat rugosity
secara visual dapat dilihat berdasarkan standar dari Gratwicke and Speight (2005).
Penggunaan standar ini dapat dilakukan untuk mempersingkat waktu pengamatan
rugosity di lapangan (rapid assessment).
Gambar 2.3
Penggambaran sketsa visual topografi dasar pantai (rugosity) (Gratwicke and
Spight, 2005)
25
2.5.3. Ketergenangan
Ketergenangan (immersion) merupakan tingkat keberadaan air saat surut.
Keberadaan air di zona intertidal saat surut merupakan hal yang perlu diperhatikan
karena keberadaan air merupakan faktor pembatas bagi makhluk hidup penghuni
kawasan tersebut. Kondisi fisik lingkungan seperti suhu dan salinitas tidak
mengalamin fluktuasi yang signifikan akibat adanya air yang tersisa dibandingkan
dengan area yang terpapar langsung. Keberadaan air saat surut terendah dapat
terjadi apabila terdapat area yang lebih rendah dari area sekelilingnya sehingga air
laut terjebak dan membentuk seperti kolam yang disebut dengan tidepool
(Metaxas and Scheibling, 1993).
Keberadaan genangan air di daerah intertidal (tidepools) perlu mendapat
perhatian karena dapat mempengaruhi keberadaan hewan sehingga tidak sesuai
dengan zonasi yang terbentuk (Macieira and Joeyoux, 2011). Keberadaan hewan
pada tidepool lebih dipengaruhi oleh karakter dari genangan tersebut seperti
kedalaman, volume, orientasi dan luas permukaan air yang tergenang (Metaxas
and Scheibling, 1993). Dengan demikian, keberadaan air di kawasan zona
intertidal, meskipun tidak terlalu signifikan, juga dapat mengubah sebaran hewan
di zona tersebut bergantung pada titik terendah air saat surut dan lama genangan
yang terjadi (Beukema and Flach, 1995).
Bagi keong konus, keberadaan genangan ketika surut terendah mungkin
tidak terlalu berpengaruh karena beberapa jenis gastropoda termasuk keong konus
dapat beradaptasi terhadap kekurangan air ketika surut terjadi (Nybakken, 1988).
26
Keberadaan genangan air saat surut kemungkinan lebih berasosiasi terhadap
keberadaan ikan atau cacing sebagai makanan dari keong konus.
2.6. Pengaruh Masyarakat Pada Ekosistem Pantai
Keberadaan masyarakat serta semakin banyaknya aktifitas masyarakat di
kawasan pesisir telah berdampak pada perubahan ekosistem pesisir ke arah
negatif. Berbagai tekanan ekosistem pantai yang berasal dari keberadaan dan
aktifitas masyarakat diantaranya rekreasi, perikanan, pembangunan dan
pertambangan. Berbagai aktifitas tersebut berpotensi merubah kondisi fisik
lingkungan serta komponen komunitas penyusun habitat pesisir (Defeo et al.,
2009).
Pengaruh keberadaan dan aktifitas masyarakat berpengaruh secara spasial
dan temporal tertahadap ekosistem pantai. Hal ini disebabkan karena keberadaan
dan aktifitas masyarakat di kawasan pantai sangat dinamis terutama aktifitas
rekreasi dan perikanan yang dilakukan oleh nelayan lokal (Murray et al., 1999).
Aktifitas masyarakat dapat berpengaruh lebih signifikan terhadap komunitas alami
di pantai pada daerah yang dekat dengan akses masuk pantai daripada daerah yang
jauh dari akses masuk pantai (Addessi, 1994). Pengaruh aktifitas dan keberadaan
masyarakat yang berasal dari rekreasi dan perikanan lokal juga lebih berdampak
pada daerah yang dekat dengan bibir pantai daripada daerah yang jauh dari bibir
pantai (Huang et al., 2006). Kerusakan yang timbul dari aktifitas rekreasi dan
perikanan terutama di daerah intertidal adalah efek dari injakan-injakan pada
substrat dan pengambilan organisme-organisme yang bernilai (Presscot, 2006).
27
Keong konus merupakan salah satu jenis keong yang dikenal memiliki
bentuk dan pola cangkang yang indah. Maka dari itu, jenis keong ini sangat
populer diantara para kolektor cangkang siput laut bersama dengan jenis keong
laut lain dari famili Cypraeidae, Volutidae, Muricidae, Pectinidae, dll. Bahkan
banyak dari para kolektor rela membayar mahal untuk sebuah keong laut yang
dianggap indah dan langka (Monteiro, 1999). Selain untuk dikoleksi, keong konus
juga dijadikan makanan oleh masyarakat pesisir di suatu kawasan di Filipina. Di
kawasan tersebut keong konus diolah menjadi sup dan merupakan makanan yang
cukup digemari (Floren, 2003; Peters, 2013).