bab ii tinjauan pustaka 2.1 pengenalan...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengenalan Gurame
Ikan gurame (Osphronemus gouramy) sudah dikenal sejak abad ke 18 baik
sebagai ikan konsumsi maupun ikan hias. Semula gurame hanya terdapat di
Sumatra, Jawa dan Kalimantan kemudian diintroduksikan ke Asia dan Australia.
Jenis varietas gurame yang dibudidayakan di Indonesia antara lain gurame soang,
jepun, blausafir, bastar, paris dan porselen (Ghufran dan Kordi 2012).
Gurame merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang bernilai ekonomis
tinggi. Menu ikan gurame dikenal sebagai hidangan yang eksklusif, karena selain
nilai gizi yang tinggi, rasa dagingnya juga gurih, enak dan kompak sehingga
harganya cukup tinggi. Gurame adalah salah satu komoditas andalan budidaya air
tawar Indonesia walaupun pertumbuhannya lambat.
2.1.1 Klasifikasi
Nama spesies gurame (Gambar 1) adalah Osphronemous gouramy dengan
klasifikasi menurut Mahyuddin (2009) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Labyrinthici
Famili : Anabantidae
Genus : Osphronemous
Spesies : Osphronemous gouramy
6
Gambar 1. Gurame
(Sumber : Arisandi 2012)
2.1.2 Morfologi
Gurame mempunyai bentuk badan agak panjang, pipih ke samping
(compressed) dan lebar. Sisiknya berukuran besar dengan tipe ctenoid, tepi sisik
agak kasar terutama pada sisik di bagian kepala. Kepala gurame muda berbentuk
lancip dan berdahi rata, sedangkan gurame dewasa memiliki bentuk kepala yang
lebih tumpul. Pada gurame jantan dewasa terdapat tonjolan seperti cula pada
bagian dahi atau kepala (Mahyuddin 2009).
Gurame memiliki lima buah sirip yaitu sirip punggung, sirip dada, sirip
perut, sirip dubur dan sirip ekor. Sirip punggung cukup panjang dan berada di
bagian belakang tubuh. Sirip dada berukuran kecil, letaknya berada di belakang
tutup insang. Sirip perut mengalami modifikasi menjadi sepasang benang yang
panjang yang berfungsi sebagai alat peraba. Sirip ekor berbentuk bulat, sedangkan
sirip dubur bentuknya panjang mulai dari belakang sirip perut hingga pangkal
bawah sirip ekor.
Gurame mempunyai organ pernafasan tambahan yang disebut labirin,
yaitu selaput berlekuk-lekuk yang terletak di dalam rongga insang. Labirin
memiliki pembuluh darah kapiler yang dapat mengambil oksigen dari udara bebas
sehingga kadang-kadang gurame muncul ke permukaan dan menyembulkan
kepalanya ke atas permukaan air. Gurame dapat hidup pada perairan minim
oksigen dengan bantuan labirin.
7
Gurame termasuk ke dalam hewan omnivora namun cenderung herbivora.
Pakan yang diberikan kepada gurame biasanya berupa daun-daunan seperti daun
talas, sinkong, dll. Jika persediaan tumbuhan terbatas, gurame memakan bahan
organik yang terdapat di dasar perairan.
Persyaratan lokasi budidaya gurame adalah sebagai berikut :
1. Tanah yang digunakan bertekstur liat atau lempung berpasir, tidak porous
sehingga dapat menahan massa air yang besar.
2. Kemiringan tanah berkisar antara 3-5% untuk memudahkan pengairan
secara gravitasi.
3. Ketinggian lokasi antara 50-400 m dpl.
4. Kualitas air harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan
beracun maupun limbah pabrik.
5. Nilai derajat keasaman (pH) perairan berkisar antara 7-8.
6. Suhu air berkisar antara 24-30ºC.
7. Kandungan oksigen terlarut minimal 2 mg/L.
8. Kolam dengan kedalaman 100-120 cm dengan sistem air mengalir sangat
baik untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik gurame.
2.2 Kabupaten Majalengka
2.2.1 Profil Kabupaten Majalengka
Kabupaten Majalengka (Gambar 2) terletak di Provinsi Jawa Barat,
memiliki titik koordinat 6º32’16” - 7º4’24” LS dan 108º2’30” - 108º24’32” BT
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya
2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumedang
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Kuningan
8
Gambar 2. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Majalengka
(Sumber : Bappeda Kab. Majalengka 2011)
Luas wilayah Kabupaten Majalengka adalah 120.424 ha, terdiri dari
26 Kecamatan, 323 desa dan 13 kelurahan dengan ketinggian antara 19-857 m
diatas permukaan laut (dpl). Berdasarkan kondisi topografinya Kabupaten
Majalengka dibagi ke dalam tiga daerah yaitu :
1. Daerah dataran rendah dengan ketinggian 19-50 m di atas permukaan laut.
Luasnya 345,69 km² atau 28,70% dari seluruh luas wilayah Majalengka.
2. Daerah bergelombang/berbukit dengan ketinggian 50-500 m di atas
permukaan laut. Luasnya 376,53 km² atau 31,27% dari seluruh luas
wilayah Majalengka.
3. Daerah pegunungan dengan ketinggian 500-857 m di atas permukaan laut.
Luasnya 482,02 km² atau 40,03% dari seluruh luas wilayah Majalengka.
9
Berdasarkan kondisi kemiringan lahan Kabupaten Majalengka dibagi ke dalam
tiga daerah yaitu :
1. Landai (kemiringan 0-15%) 68,26% dari luas wilayah Majalengka.
2. Berbukit bergelombang (kemiringan 15-40%) 18,53% dari luas wilayah
Majalengka.
3. Perbukitan terjal (kemiringan >40%) 13,21% dari luas wilayah
Majalengka.
Kabupaten Majalengka beriklim tropis dengan suhu udara rata-rata
berkisar antara 26,8°C sampai 29,3°C. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan
Oktober yaitu 35,3°C, sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus
dengan suhu 22,7ºC (Tabel 1). Kondisi cuaca Kabupaten Majalengka secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Temperatur Udara Kabupaten Majalengka
Bulan Temperatur (ºC)
Rata-rata Maksimum Minimum
Januari 26,8 31,3 23,9
Februari 26,9 31,6 23,9
Maret 26,9 32,2 24,0
April 26,8 32,2 24,1
Mei 27,6 32,7 24,2
Juni 27,4 32,8 23,4
Juli 27,1 32,5 23,0
Agustus 27,5 33,4 22,7
September 28,5 34,5 24,1
Oktober 29,3 35,3 24,9
November 27,4 32,6 24,2
Desember 27,3 32,6 24,6
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka 2012
10
Tabel 2. Kondisi Cuaca Kabupaten Majalengka
Bulan Tekanan
Udara (mb)
Kelembaban
Nisbi (%)
Penyinaran
Matahari (%)
Curah Hujan
(mm)
Hari Hujan
(hari)
Januari 1008,3 83 32 77 17
Februari 1008,7 84 45 182 19
Maret 1008,9 84 44 567 26
April 1011,3 86 44 612 21
Mei 1011,5 82 63 142 17
Juni 1011,9 72 84 98 7
Juli 1012,1 73 76 - -
Agustus 1012,5 65 93 - -
September 1012,7 61 84 tidak tercatat 2
Oktober 1011,4 66 68 40 6
November 1010,6 83 44 394 23
Desember 1010,3 85 51 471 27
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka 2012
Sumber daya air di Kabupaten Majalengka terdiri dari air permukaan dan
air tanah. Potensi air permukaan diperoleh dari sungai Cimanuk dan Cilutung
serta beberapa anak sungai lainnya. Potensi air permukaan lainnya berasal dari
sumber mata air yang umumnya terdapat di bagian Selatan Kabupaten
Majalengka. Air tanah terdapat di bagian Utara dan Tengah Kabupaten
Majalengka dengan potensi ketersediaan yang cukup baik kecuali Kecamatan
Kertajati, Dawuan dan Ligung.
2.2.2 Kondisi Perikanan Kabupaten Majalengka
Total produksi budidaya perikanan Kabupaten Majalengka tahun 2012
adalah 6.611 ton (Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka 2013).
Budidaya kolam air tenang mendominasi kegiatan budidaya perikanan
Majalengka dengan total produksi 6.248 ton, kemudian diikuti dengan jenis
budidaya lain seperti budidaya mina padi, kolam air deras dan keramba.
11
Berdasarkan jenis komoditas yang dibudidayakan ikan nila menempati
posisi teratas dengan hasil produksi sebesar 2.973 ton. Komoditas lain yang cukup
banyak dikembangkan di Majalengka adalah ikan lele dengan hasil produksi
1.220 ton dan ikan mas dengan hasil produksi 1.180 ton. Produksi terendah adalah
komoditas bawal dengan hasil produksi 23 ton (Tabel 3).
Tabel 3. Produksi Perikanan Kabupaten Majalengka 2012
Jenis Komoditas Hasil Produksi (ton)
Nila 2.973,82
Lele 1.220,91
Mas 1.180,52
Gurame 806,31
Nilem 152,32
Sepat 105,52
Tawes 80,88
Tambak 41,46
Mujair 25,04
Bawal 23,92
Sumber : Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka 2013
2.3 Lahan Potensial Budidaya
Kegiatan budidaya perikanan dapat diartikan sebagai usaha untuk
memproduksi ikan dalam suatu lingkungan perairan yang terbatas dan terkontrol.
Setiap pelaku budidaya harus memahami lingkungan perairan tempat tumbuh dan
berkembang biak ikan pada habitat aslinya. Ada beberapa persyaratan untuk
media yang digunakan pada kegiatan budidaya sehingga ikan dapat tumbuh dan
berkembang biak dengan baik (Gusrina 2008).
12
Pemilihan lokasi budidaya yang tepat merupakan tahap awal yang sangat
penting dalam menjalankan aktivitas budidaya yang terpadu dan berkelanjutan
dengan tetap memperhatikan kepentingan sektor lain (Utojo et al. 2010). Menurut
Susanto (2012) lokasi yang akan dijadikan unit perkolaman harus memenuhi
persyaratan teknis. Persyaratan tersebut meliputi kondisi tanah dan kualitas air.
Selain itu juga terdapat faktor nonteknis yang harus diperhatikan seperti kondisi
infrastruktur, kepadatan penduduk dan tata guna lahan (Hossain et al. 2007).
Secara keseluruhan parameter kesesuaian lahan budidaya perikanan meliputi
kondisi lahan, kondisi tanah, kualitas air, dan kondisi infrastruktur (Zalina 2011).
2.3.1 Kondisi Lahan
Topografi adalah bentuk keseluruhan dari permukaan tanah. Data
topografi dibutuhkan dalam kegiatan budidaya karena akan berperan dalam
menentukan desain kolam dan tata letaknya. Tanah yang sangat miring tidak bisa
dibangun unit perkolaman. Sama halnya dengan tanah yang datar tidak
menguntungkan kegiatan budidaya karena akan menyulitkan pembuangan air
secara gravitasi.
Kemiringan lahan yang cocok untuk kegiatan budidaya berkisar antara
3-5% (Susanto 2012). Kemiringan 3% berarti setiap 100 cm ada perubahan
ketinggian sebesar 3 cm. Ketinggian tempat (elevasi) berkaitan dengan suhu udara
di sekitar lokasi budidaya. Gurame hidup dan berkembang dengan baik di dataran
rendah sampai sedang yang beriklim panas dengan ketinggian hingga 400 m di
atas permukaan laut.
Penggunaan lahan adalah penggolongan fungsi lahan secara umum berupa
pengkhususan kawasan-kawasan tertentu menurut tujuan penggunaannya seperti
pertanian, perkebunan, hutan, pemukiman atau daerah pariwisata. Penggunaan
lahan biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif. Tidak semua
lahan cocok dijadikan sebagai lokasi budidaya ikan. Kawasan yang dapat
dijadikan lokasi budidaya ikan adalah kawasan perikanan, peternakan dan
pertanian (Pramudiyanti dan Taufiqurohman 2011).
13
2.3.2 Kondisi Tanah
Pada umumnya kegiatan budidaya perikanan di Indonesia masih
menggunakan sistem budidaya tradisional dan semi intensif, sehingga jenis tanah
yang digunakan untuk membangun kolam harus diperhatikan dengan baik. Tanah
yang digunakan untuk kolam harus memiliki tekstur yang kokoh sehingga mampu
menahan massa air. Tekstur tanah adalah perbandingan antara fraksi pasir, debu
dan liat yang menyusun tanah. Perbandingan antara setiap fraksi tersebut dapat
dilihat pada segitiga tekstur tanah (Gambar 3).
Gambar 3. Segitiga Tekstur Tanah
Jenis tanah yang baik untuk pembuatan kolam adalah jenis tanah liat
berpasir. Tanah ini jika digenggam mudah terbentuk, tidak pecah dan tidak
melekat pada tangan. Jenis kedua yang dianjurkan adalah jenis tanah lempung
dengan kandungan liat sekitar 30%. Kedua jenis tanah ini sangat kuat untuk
menahan air sehingga dapat dibuat pematang yang kokoh. Tanah dengan
kandungan pasir lebih dari 70% terutama yang berbatu tidak cocok untuk dibuat
kolam karena tidak dapat menahan air dan sulit dibentuk (Susanto 2012).
14
Derajat keasaman (pH) dan kandungan organik pada dasar kolam tanah
juga perlu diperhatikan. Derajat keasaman tanah akan mempengaruhi tingkat
keasaman air kolam budidaya. Sedangkan kandungan bahan organik pada dasar
kolam dapat menjadi sumber makanan bagi organisme bentos sehingga
berpengaruh terhadap kesuburan perairan. Kandungan bahan organik dapat
ditentukan melalui perhitungan persentasi dari karbon organik (Zalina 2011).
2.3.3 Kualitas Air
Air sebagai media budidaya ikan merupakan media tempat hidup bagi ikan
untuk tumbuh dan berkembang. Air yang digunakan untuk budidaya ikan harus
memenuhi standar kualitas yang sesuai untuk budidaya ikan. Parameter
pengukuran kualitas air antara lain :
1. Sumber Air
Berdasarkan sumbernya air yang digunakan untuk kegiatan budidaya ikan
ada dua macam yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan adalah
air hujan yang terkumpul dan mengalami akumulasi di tempat rendah
seperti sungai, danau, waduk dan rawa yang tidak mengalami infiltrasi ke
dalam tanah. Air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan tanah.
Air tanah memiliki kandungan CO2 dan Fe yang relatif tinggi sehingga
harus melalui perlakuan (treatment) dulu sebelum digunakan untuk
kegiatan budidaya.
2. Suhu Air
Suhu air sangat berpengaruh terhadap proses kimia, fisika dan biologi di
dalam perairan sehingga perubahan suhu perairan akan menyebabkan
perubahan semua proses dalam perairan. Kenaikan suhu perairan akan
menyebabkan peningkatan viskositas, evaporasi serta penurunan kelarutan
gas dalam perairan seperti sehingga berpengaruh terhadap metabolisme
ikan. Suhu yang ideal bagi budidaya ikan sebaiknya tidak mengalami
perubahan yang mencolok antara siang dan malam. Pada penelitian lain
menunjukkan pengaruh suhu terhadap respon ikan dalam mengkonsumsi
pakan yang diberikan (Tabel 4).
15
Tabel 4. Respon Konsumsi Pakan Berdasarkan Suhu Perairan
Suhu Air (ºC) Respon Terhadap Pakan
Mendekati 0 Kondisi kritis minimal
8 – 10 Tidak ada respon terhadap pakan
15 Konsumsi pakan berkurang
22 50% optimum
28-30 Konsumsi pakan optimum
33 50% optimum
35 Konsumsi pakan berkurang
36 – 38 Tidak ada respon terhadap pakan
38 – 42 Kondisi kritis minimal
Sumber : Gusrina 2008
3. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman suatu kolam mementukan tingkat kesuburan dalam
perairan. Kondisi pH yang terlalu asam tidak baik untuk kegiatan budidaya
perikanan karena akan menurunkan produktivitas perairan dan dapat
mengganggu metabolisme ikan. Kondisi pH yang terlalu basa juga tidak
baik karena akan menghambat pertumbuhan ikan. Pengaruh nilai pH
perairan terhadap kondisi ikan dapat dilihat di Tabel 5.
Tabel 5. Kondisi Ikan Pada Berbagai Tingkat pH Perairan
Nilai pH Perairan Pengaruh Terhadap Ikan
4 Titik kematian ikan
4 – 5 Ikan tidak bereproduksi
4 – 6,5 Pertumbuhan ikan lambat
6,5 – 9 Kisaran yang sesuai untuk budidaya
11 Titik kematian ikan
Sumber : Boyd 1990
16
4. DO (Disolved Oxygen)
Oksigen merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme
karena semua makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk bernapas.
Oksigen yang larut di dalam air disebut oksigen terlarut atau DO
(Disolved Oxygen). Ikan mendapatkan oksigen dalam bentuk oksigen
terlarut karena ikan tidak bisa mengambil oksigen secara langsung dari
udara. Oksigen terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh
ikan, karena itu kandungan oksigen terlarut yang kurang akan mengancam
kehidupan ikan. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk budidaya
ikan berkisar antara 4 – 9 mg/L (Gusrina 2008).
5. Kecerahan
Kecerahan adalah perkiraan kemampuan penetrasi sinar matahari
ke dalam perairan. Cahaya matahari berperan dalam proses asimilasi
fitoplankton pada perairan sehingga mempengaruhi kesuburan perairan.
Kecerahan merupakan ukuran tingkat transparansi perairan yang diukur
dengan alat berupa kepingan yang dinamakan secchi disk. Kondisi
perairan pada berbagai tingkat kecerahan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kondisi Perairan Pada Berbagai Tingkat Kecerahan
Hasil Pengukuran
Secchi Disk (cm)
Kondisi Perairan
> 20 Perairan terlalu keruh sehingga tidak sesuai untuk
budidaya perikanan
20 – 30 Tingkat kekeruhan masih terlalu tinggi
30 – 45 Perairan dalam kondisi yang sesuai untuk budidaya
45 – 60 Kandungan plankton mulai berkurang
60 < Perairan terlalu jernih, miskin kandungan plankton
sehingga produktivitas perairan rendah
Sumber : Boyd 1990
17
2.3.4 Kondisi Infrastruktur
Suatu lahan budidaya yang ideal tidak hanya memenuhi aspek teknis, tapi
juga harus memenuhi aspek nonteknis. Beberapa aspek nonteknis yang perlu
diperhatikan adalah sarana transportasi, jaringan listrik dan kondisi kepadatan
penduduk di sekitar lokasi budidaya.
Ketersediaan infrastruktur jalan dan listrik berpengaruh terhadap
kelancaran kegiatan budidaya. Kemudahan transportasi akan memperlancar proses
pengangkutan ikan, sedangkan ketersediaan listrik penting dalam menjaga
keberlangsungan kegiatan budidaya. Lahan yang baik untuk kegiatan budidaya
sebaiknya mudah dijangkau dengan jarak kurang dari 500 m dari jalan, sementara
itu jaringan listrik bisa dijangkau dengan jarak kurang dari 200 m dari lokasi
budidaya. Faktor nonteknis lainnya adalah kepadatan penduduk di sekitar lokasi
budidaya. Lahan budidaya yang dibangun di kawasan yang padat penduduk akan
mengalami kesulitan karena membutuhkan lahan yang luas. Kepadatan penduduk
kurang dari 1000 jiwa/km² adalah kepadatan yang sesuai untuk kegiatan budidaya
perikanan (Hossain et al. 2007).
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG)
2.5.1 Pengertian SIG
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu komponen yang terdiri dari
perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang
bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan data
dalam bentuk informasi geografis (Hartoyo 2010). Sistem informasi geografis
memiliki kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik
tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa, dan memetakan hasil
akhirnya (GIS Konsorsium Aceh Nias 2007). Secara keseluruhan sistem informasi
geografis lebih unggul jika dibandingkan dengan sistem manual (Tabel 7).
18
Tabel 7. Keunggulan Sistem Informasi Geografis
Peta SIG Sistem Manual
Penyimpanan Database digital Skala dan standar berbeda
Pemanggilan kembali Sistematik Mahal dan memakan waktu
Analisa overlay Sangat cepat Memakan waktu dan tenaga
Analisa spasial Mudah Rumit
Penayangan Murah dan cepat Mahal
Sumber : GeoData 2008
2.5.2 Data Spasial
Data spasial adalah data yang berorientasi geografis yang memakai sistem
koordinat sebagai dasar referensi. Sumber dalam memperoleh data spasial adalah :
1. Peta Analog
Peta analog adalah peta dalam bentuk cetak, pada umumnya dibuat dengan
teknik kartografi dan memiliki referensi spasial seperti koordinat, skala,
arah mata angin dan sebagainya. Peta analog harus dikonversi terlebih
dahulu ke dalam format digital sebelum digunakan dalam SIG.
2. Data Sistem Penginderaan Jauh
Data penginderaan jauh adalah data yang berasal dari citra satelit, foto
udara dan sebagainya.
3. Data Pengukuran Lapangan
Data yang diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan, pada
umumnya merupakan sumber data atribut seperti batas kepemilikan lahan,
batas administrasi, batas hak pengusahaan hutan dan lain-lain.
4. Data GPS (Global Positioning System)
Data yang didapatkan dengan memanfaatkan teknologi GPS.
19
2.5.3 Geoprocessing
Geoprocessing merupakan sebuah tahap yang bertujuan untuk mengolah
data-data spasial yang telah dikumpulkan. Geoprocessing diawali dengan proses
input data awal, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data sehingga
menghasilkan sebuah data baru yang telah diolah (output).
Geoprocessing memiliki berbagai jenis metode pengolahan data, namun
hanya metode tertentu yang akan digunakan pada pemetaan lahan potensial
budidaya gurame. Metode tersebut antara lain :
1. Overlay
Overlay merupakan metode untuk mengolah beberapa macam data input
dengan penyusunan data secara tumpang tindih. Salah satu contoh overlay
adalah metode intersect. Intersect adalah metode yang bertujuan untuk
menentukan area yang beririsan antara data-data input yang saling
bertumpang tindih. Output yang dihasilkan adalah area yang beririsan
diantara data-data input tersebut (Gambar 4).
Gambar 4. Ilustrasi Metode Intersect