bab ii tinjauan pustaka 2.1 komunikasi antarbudayaeprints.umm.ac.id/40886/3/bab ii.pdf · 2018. 11....
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat
dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi
langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau
kelompok sosial. Pelintasan komunikasi itu menggunakan kode-kode pesan
baik secara verbal maupun nonverbal yang secara alamiah selalu digunakan
dalam semua konteks interaksi. Komunikasi antarbudaya terjadi bila pengirim
pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota
dari suatu budaya lain. Komunikasi antarbudaya, komunikasi antar orang-orang
yang berbeda budaya baik dalam arti ras, etnik, ataupun perbedaan sosio
ekonomi (Tubbs dan Moss dalam Sihabudin, 2011:13). Menurut Porter &
Samovar hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-
orang lainnya dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang
berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa
berkomunikasi akan terisolasi (Mulyana & Rahmat dalam Sihabudin, 2011:14).
Sebagai asumsi dasar bahwa diantara individu-individu dengan
kebudayaan yang sama, umumnya terdapat kesamaan (homogenitas) yang lebih
besar dalam hal latar belakang pengalaman secara keseluruhan dibandingkan
dengan mereka yang berasal dari kebudayaan berlainan. Perbedaan-perbedaan
kebudayaan antara para pelaku komunikasi ini serta perbedaan lainnya, seperti
kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi permasalahan inheren
8
dalam proses komunikasi manusia. Young Yung Kim dalam Suranto (2010:31-
32) mengungkapkan, komunikasi antarbudaya merujuk pada suatu fenomena
komunikasi di mana para pesertanya memiliki latar belakang budaya yang
berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan lainnya, baik secara
langsung atau tidak langsung.
2.2 Proses Komunikasi Antarbudaya
Pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya yaitu suatu proses yang
interaktif dan transaksional serta dinamis. Menurut Wahlstrom dalam Liliweri
(2003:24), komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang
dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah/timbal balik
(two way communication) namun masih berada pada tahap rendah. Apabila ada
proses pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti,
memahami perasaan dan tindakan bersama maka komunikasi tersebut telah
memasuki tahap transaksional.
Hybels dan Sandra dalam Liliweri (2003:24-25), komunikasi
transaksional meliputi tiga unsur penting yakni:
1. Keterlibatan emosional yang tinggi, yang berlangsung terus-menerus
dan berkesinambungan atas pertukaran pesan.
2. Meliputi seri waktu, artinya berkaitan dengan masa lalu, kini dan yang
akan datang.
3. Partisipan dalam komunikasi antarbudaya menjalankan peran tertentu.
9
Komunikasi antarbudaya yang dinamis merupakan gabungan dari
komunikasi interaktif maupun transaksional, karena proses tersebut
berlangsung dalam konteks sosial yang hidup, berkembang dan bahkan
berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu. Karena proses
komunikasi yang dilakukan merupakan komunikasi antarbudaya maka
kebudayaan merupakan dinamisator atau “penghidup” bagi proses komunikasi
tersebut.
2.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya
Liliweri (2003:25-30) membagi beberapa unsur-unsur proses
komunikasi antarbudaya antara lain:
1. Komunikator
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang
memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan
tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan.
2. Komunikan
Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang
menerima pesan tertentu, dia menjadi tujuan/sasaran komunikasi dari
pihak lain (komunikator).
3. Pesan/Simbol
Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide atau gagasan,
perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk
simbol. Simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk mewakili maksud
10
tertentu, misalnya dalam kata-kata verbal yang diucapkan, atau simbol
non verbal yang diperagakan melalui gerak-gerik tubuh/anggota tubuh,
warna, artifak, gambar, pakaian, dan lain-lain yang semuanya harus
dipahami secara konotatif.
4. Media
Media merupakan tempat, saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol
yang dikirim melalui media tertulis misalnya surat, telegram, faksimili.
Juga media massa baik cetak maupun elektronik seperti majalah, surat
kabar, radio, televisi, dan lain-lain.
5. Efek atau Umpan Balik
Manusia mengkomunikasikan pesan karena dia mengharapkan agar
tujuan dan fungsi komunikasi itu tercapai. Tujuan komunikasi
antarbudaya antara lain memberikan informasi, menjelaskan atau
menguraikan tentang sesuatu, memberikan hiburan, memaksakan
pendapat atau mengubah sikap komunikan. Dalam proses seperti itu,
seseorang umumnya menghendaki reaksi balikan yang biasa disebut
dengan umpan balik.
6. Suasana (Setting dan Context)
Satu faktor penting dalam komunikasi antarbudaya adalah suasana yang
kadang-kadang disebut setting of communication, yakni tempat dan
waktu serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya
berlangsung. Suasana berkaitan dengan waktu (jangka pendek/panjang,
jam/hari/minggu/bulan/tahun) yang tepat untuk bertemu atau
11
berkomunikasi, sedangkan tempat (rumah, kantor, rumah ibadah) untuk
berkomunikasi, kualitas relasi (formalitas, informalitas) yang
berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya.
7. Gangguan (Noise atau Interference)
Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang
menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator
dengan komunikan, atau paling fatal adalah mengurangi makna pesan
antarbudaya.
2.4 Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Menurut Liliweri (2003:36-41), fungsi komunikasi antarbudaya yaitu:
1. Fungsi pribadi
Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan
melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu.
Dari fungsi tersebut dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Menyatakan identitas sosial
Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku
komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas
diri maupun identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui
tindakan berbahasa baik secara verbal maupun nonverbal. Dari
perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun
sosial. Misalnya dapat diketahui asal-usul suku bangsa, agama
maupun tingkat pendidikan seseorang.
b. Menyatakan integrasi sosial
12
Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan
abtarpribadi, antarkelompok namun tetap mengakui perbedaan-
perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Perlu dipahami bahwa
salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna yang sama
atas pesan yang dibagi antara komunikator dengan komunikan.
Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan
budaya antara komunikator dengan komunikan maka integrasi sosial
merupakan tujuan utama komunikasi.
c. Menambah pengetahuan
Seringkali komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya menambah
pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan.
d. Melepaskan diri/jalan keluar
Terkadang seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain untuk
melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang
dihadapi. Sebagai contoh, seseorang lebih suka memilih teman yang
dalam banyak hal memiliki kecocokan yang sama, memiliki pikiran-
pikiran dan gagasan yang sama. Namun sebaliknya seseorang juga
suka berteman dengan orang yang dapat memenuhi kekurangan
yang dimiliki. Orang yang memiliki sifat humoris akan memilih
seseorang yang sangat serius dan merasa mereka berdua saling
melengkapi. Pilihan komunikan yang seperti itu dapat dikatakan
komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan yang
komplementer dan hubungan yang simetris. Hubungan
13
komplementer selalu dilakukan oleh dua pihak mempunyai perilaku
yang berbeda. Sedangkan hubungan simetris dilakukan oleh dua
orang yang saling bercermin pada perilaku lainnya.
2. Fungsi sosial
a. Pengawasan
Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan
komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi.
Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat
untuk menginformasikan “perkembangan” tentang lingkungan.
b. Menjembatani
Dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi
yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu
merupakan jembatan atas perbedaan diantara mereka. Fungsi
menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka
pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas
sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.
c. Sosialisasi nilai
Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan
memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada
masyarakat lain.
d. Menghibur
Fungsi menghibur juga sering muncul dalam proses komunikasi
antarbudaya yang menggambarkan orang-orang sibuk
14
memanfaatkan waktu luang untuk mengunjungi teater dan
menikmati suatu pertunjukan kesenian lokal.
2.5 Hambatan-hambatan Komunikasi Antarbudaya
Barna dan Ruben dalam Devito (2011:545-549) mengungkapkan,
hukum Murphy (“Jika sesuatu bisa salah, dia akan salah”) terutama berlaku
untuk komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya tentu saja
menghadapi hambatan dan masalah yang sama seperti yang dihadapi oleh
bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Berikut adalah hambatan-hambatan
komunikasi antarbudaya:
1. Mengabaikan perbedaan antara individu dan kelompok dalam kultural
berbeda
Hambatan yang paling lazim adalah bilamana seseorang menganggap
bahwa yang ada hanya kesamaan dan bukan perbedaan. Hal ini terjadi
dalam hal nilai, sikap, dan kepercayaan. Dalam hal nilai-nilai dan
kepercayaan dasar, seseorang menganggap bahwa pada dasarnya
manusia itu sama, ini tidak benar. Bila seseorang mengasumsikan
kesamaan dan mengabaikan perbedaan, secara implisit
mengomunikasikan kepada lawan bicara bahwa ialah yang benar dan
cara mereka dianggap tidak penting.
2. Mengabaikan perbedaan antara kelompok kultural yang berbeda
Dalam setiap kelompok kultural terdapat perbedaan yang besar dan
penting. Seperti halnya orang Amerika tidak sama dengan lainnya,
demikian pula Indonesia, Yunani, Meksiko, dan sebagainya. Bila
15
seseorang mengabaikan perbedaan ini maka ia terjebak dalam
stereotipe. Mengasumsikan bahwa semua orang yang menjadi anggota
kelompok yang sama (dalam hal ini kelompok bangsa atau ras) adalah
sama.
3. Mengabaikan perbedaan dalam makna
Makna tidak terletak pada kata-kata yang digunakan, melainkan pada
orang yang menggunakan kata-kata itu. Seseorang perlu sangat peka
terhadap prinsip ini dalam komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh,
perbedaan makna kata agama bagi seorang penganut agama islam dan
bagi seorang ateis, atau kata makan malam bagi seorang petani miskin
dan bagi seorang eksekutif puncak sebuah perusahaan besar. Jadi
meskipun kata yang digunakan sama, makna konotatifnya akan sangat
berbeda bergantung pada definisi kultural pendengar.
4. Melanggar adat kebiasaan kultural
Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi sendiri-sendiri. Aturan ini
menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut. Pada beberapa
kultur, orang menunjukkan rasa hormat dengan menghindari kontak
mata langsung dengan lawan bicaranya. Dalam kultur lain,
penghindaran kontak mata seperti ini dianggap mengisyaratkan
ketiadaan minat. Misalnya, seorang Amerika berbicara dengan pria
Indonesia yang lebih tua, ia diharapkan menghindari kontak mata
langsung. Bagi orang Indonesia, kontak mata langsung dalam situasi ini
akan dianggap tidak sopan.
16
5. Menilai perbedaan secara negatif
Meskipun seseorang menyadari adanya perbedaan di antara kultur-
kultur, tetap tidak boleh menilai perbedaan ini sebagai hal yang negatif.
Sebagai contoh, menjulurkan lidah bagi orang Barat merupakan suatu
penghinaan, tetapi bagi orang Cina Selatan modern, menjulurkan lidah
merupakan ungkapan rasa malu karena telah membuat kesalahan sosial.
6. Kejutan budaya
Kejutan budaya mengacu pada reaksi psikologis yang dialami seseorang
karena berada di tengah suatu kultur yang berbeda dengan kulturnya
sendiri. Kejutan budaya ini normal, kebanyakan orang mengalaminya
bila memasuki kultur yang baru dan berbeda. Sebagian dari kejutan ini
timbul karena perasaan terasing, menonjol, dan berbeda dari yang lain.
Bila seseorang kurang mengenal adat kebiasaan masyarakat yang baru
ini, maka tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
2.6 Identitas Budaya
Identitas budaya dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal
yang tetap dan alamiah, melainkan sebagai proses menjadi. Tidak ada esensi
bagi identitas yang perlu dicari, namun identitas budaya terus-menerus
diproduksi di dalam vektor kemiripan dan perbedaan. Identitas budaya
bukanlah esensi melainkan posisi yang terus-menerus berubah, dan titik
perbedaan di sekitar identitas budaya bisa membentuk identitas budaya menjadi
beragam dan berkembang. Titik perbedaan itu antara lain, identifikasi kelas,
17
gender, seksualitas, umur, etnisitas, kebangsaan, moralitas, agama, dan lain-lain
(Hall dalam Barker, 2005:181).
Identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu
merupakan anggota dari sebuah kelompok etnis tertentu. Meliputi pembelajaran
tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama dan keturunan dari
suatu kebudayaan. Ting Toomey dalam Samovar (2010:184) menganggap
identitas sebagai konsep diri yang direfleksikan atau gambaran diri bahwa kita
berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis, dan proses sosialisasi individu.
Fong dalam Samovar (2010:184) menjelaskan, identitas budaya sebagai
identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan non-verbal
yang memiliki arti dan yang dibagikan diantara anggota kelompok yang
memiliki rasa saling memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa, dan
norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi sosial.
Identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan
yang dimiliki oleh sekelompok orang yang diketahui batas-batasnya tatkala
dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri fisik/biologis semata-mata,
tetapi mengkaji identitas kebudayaan sekelompok manusia melalui tatanan
berpikir (cara berpikir, orientasi berpikir), perasaan (cara merasa dan orientasi
perasaan), dan cara bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan).
Kenneth Burke dalam Liliweri (2007:72) menjelaskan, untuk
menentukan identitas budaya itu sangat tergantung pada ‘bahasa’ (bahasa
sebagai unsur kebudayaan nonmaterial), bagaimana representasi bahasa
18
menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas yang dirinci kemudian
dibandingkan. Menurutnya, penamaan identitas seseorang atau sesuatu itu
selalu meliputi konsep penggunaan bahasa, terutama untuk mengerti suatu kata
secara denotatif dan konotatif.
2.7 Pembentukan Identitas Budaya
Liliweri (2007:83-86) menjelaskan identitas budaya dikembangkan
melalui proses yang meliputi beberapa tahap, yaitu:
1. Identitas budaya yang tak disengaja
Pada tahap ini, identitas budaya terbentuk secara tidak disengaja atau
tidak disadari. Seseorang yang terpengaruh oleh tampilan budaya
dominan hanya karena merasa budaya miliknya kurang akomodatif, lalu
ikut-ikutan membentuk identitas baru.
2. Pencarian identitas budaya
Pencarian identitas budaya meliputi sebuah proses penjajakan, bertanya,
dan uji coba atas sebuah identitas lain. Seseorang terus mencari dan
belajar tentang hal itu dengan melakukan penelitian lebih mendalam,
atau bertanya kepada keluarga dan teman-temannya.
3. Identitas budaya yang diperoleh
Suatu bentuk identitas yang dicirikan oleh kejelasan dan keyakinan
terhadap penerimaan diri seseorang melalui internalisasi kebudayaan,
sehingga ia membentuk identitasnya.
4. Konformitas: Internalisasi
19
Proses pembentukan identitas dapat diperoleh melalui internalisasi yang
membentuk konformitas. Jadi, proses internalisasi berfungsi untuk
membuat norma-norma yang dimiliki seseorang menjadi sama
(konformitas) dengan norma-norma yang dominan, atau membuat
norma-norma yang dimiliki berasimilasi ke dalam kultur dominan.
5. Resistensi dan separatisme
Resistensi dan separatisme adalah pembentukan identitas sebuah kultur
dari sebuah komunitas tertentu (yang kadang-kadang merupakan
komunitas minoritas dari sebuah suku bangsa, etnik, bahkan agama)
sebagai suatu komunitas yang berperilaku eksklusif untuk menolak
norma-norma kultur dominan.
6. Integrasi
Pembentukan identitas budaya dapat dilakukan melalui proses integrasi
budaya, di mana individu atau sekelompok orang mengembangkan
identitas baru yang merupakan hasil dari integrasi pelbagai budaya dari
komunitas atau masyarakat asal.
2.8 Teori Pengelolaan Identitas
Teori pengelolaan identitas yang dikembangkan oleh Tadasu Todd
Imahori dan William R. Cupach dalam Littlejohn dan Foss (2014:294-298)
menunjukkan bagaimana identitas terbentuk, terjaga, dan berubah dalam suatu
hubungan. Seseorang yang terlibat dalam proses konstan untuk membicarakan
identitas mereka. Hal ini menuntut adanya pengetahuan tentang siapa mereka
secara budaya dan secara individu. Ketika membentuk identitas sebuah
20
hubungan, perbedaan budaya sebenarnya terlihat jelas dan mereka akan
menemukan diri mereka terlibat dalam komunikasi interkultural (intercultural
communication) ketika mereka mempertimbangkan aspek-aspek budaya dari
hubungan mereka. Dalam sebuah hubungan, hal ini terjadi ketika seseorang
harus melewati perbedaan budaya yang menonjol. Identitas atau rupa yang
diinginkan seseorang dapat didukung atau diancam dan dalam pembicaraan
mengenai identitas dalam suatu hubungan, anda dapat mengharapkan sebagian
dari keduanya, walaupun sebagian besar orang berusaha meyakinkan untuk
mendukung identitas orang lain dengan menerima dan menyetujui identitas
yang mereka harapkan untuk diri mereka dan saling memberi jumlah otonomi
dan kebebasan tertentu tanpa adanya penggangguan atau campur tangan.
Negosiasi bukan hanya mengenai apa yang di inginkan untuk diri
mereka dan untuk hubungan itu sendiri walaupun hal ini selalu menjadi
bagiannya, tetapi tentang dukungan/ancaman terhadap identitas budaya itu
sendiri. Ada banyak potensi bagi ancaman rupa (identitas) yang berhubungan
dengan kebudayaan karena identitas budaya sering kali besar dalam hubungan
tersebut.
Pengelolaan identitas tidak pernah berakhir, secara khusus Imahori dan
Cupach menyebut tiga tahapan hubungan yakni percobaan (trial), kecocokan
(emmeshment), dan negosiasi ulang (renegotiation). Berikut penjelasannya:
1. Tahap percobaan (trial), hubungan interkultural hanya mulai menelusuri
perbedaan budaya. Perbedaan budaya yang menonjol dapat menjadi
21
penghalang dalam hubungan. Terdapat empat tantangan besar pada
tahap percobaan:
- Masalah kebekuan identitas (identity freezing), kebekuan sendiri
terjadi karena adanya perasaan terbatasi atau tersudutkan ke dalam
bentuk-bentuk budaya tertentu dan tidak diterima sebagai seseorang
yang utuh dan kompleks. Kemudian individu mengatasinya dengan
berbagai cara, seperti menunjukkan dukungan untuk mereka sendiri
atau menunjukkan beberapa aspek positif dari identitas budaya
mereka, menunjukkan dukungan yang baik dengan tertawa dan
melontarkan lelucon, mencontohkan dukungan bagi orang lain, atau
dukungan negatif dalam bentuk penghindaran.
- Masalah non-dukungan, terjadi karena nilai budaya diabaikan.
Masalah ini sering ditangani dengan berbagai cara seperti kebekuan
identitas.
- Masalah dialektika rupa sendiri dan orang lain, adalah kebimbangan
antara mendukung rupa (identitas) sendiri dan rupa (identitas) orang
lain. Hal ini terjadi ketika anda ingin mendukung identitas budaya
orang lain, tetapi anda juga ingin menonjolkan budaya anda sendiri
dan ternyata sulit untuk melakukannya. Metode-metode untuk
mengatasinya meliputi menahan dasar seseorang, memberi,
mendukung kedua identitas secara bergantian, menghindari masalah
bersama-sama.
22
- Masalah dialektis rupa positif negatif atau kesalahpahaman.
Masalah ini timbul karena tekanan antara ingin menegaskan sebuah
nilai budaya (rupa positif) tetapi tidak ingin menghalangi atau
membatasi (rupa negatif). Bentuk penyelesaian ini meliputi tinggal
pada zona nyaman yang tetap berdasarkan pada apa yang telah
mereka pelajari satu sama lain, menggunakan tanda-tanda
peringatan yang jelas atau tersembunyi untuk menentukan apa yang
harus dikatakan atau apa yang tidak harus, menghindari atibrut
budaya bersama-sama, dan memberikan dukungan non-verbal.
2. Tahap kecocokan (emmeshment), di sini individu atau kelompok akan
menemukan sebuah tingkat kenyamanan dalam dirinya. Mereka akan
berbagi aturan-aturan dan simbol serta mereka juga mengembangkan
pemahaman umum tentang satu sama lain. Dengan kata lain, mereka
memiliki kebutuhan yang lebih kecil untuk komunikasi interkultural,
tetapi menggunakan interaksi interkultural.
3. Tahap negosiasi ulang (renegotiation), perbedaan budaya lebih mudah
diatasi karena sudah ada landasan untuk melakukannya (telah melewati
beragam masalah). Perbedaan budaya sendiri telah didefinisikan sebagai
bagian dari hubungan.
2.9 Akulturasi
Koentjaraningrat dalam Soyomukti (2013:445) mengungkapkan,
akulturasi adalah proses yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing
23
yang berbeda sedemikian rupa sehingga unsur kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan sendiri.
Akulturasi meliputi fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-
kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan berbeda-beda bertemu dan
mengadakan kontak secara langsung dan terus menerus, yang kemudian
menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu
kelompok atau pada kedua-duanya. Akulturasi juga dipahami sebagai proses
ketika masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya mengalami perubahan
oleh kontak yang lama dan langsung, tetapi dengan tidak sampai kepada
percampuran yang komplet dan bulat dari dua kebudayaan itu.
2.10 Identitas Etnis Minangkabau
Evers dan Chadwick dalam Ramadhani (2006:1), Minangkabau adalah
nama suatu etnis terbesar di Sumatera Barat. Bahasanya yaitu bahasa
Minangkabau yang merupakan bahasa intraetnis bagi orang Minangkabau yang
bermukim di daerah asalnya dan perantauan yang sebagian besar terdiri dari
daerah perkotaan. Sesuatu yang membuat budaya Minangkabau menjadi khas
salah satunya yaitu adat bersendikan agama islam. Konsep adat bersendikan
agama islam adalah dalam mewujudkan kehidupan tidak hanya duniawi semata,
tetapi juga memiliki landasan agama untuk memperkuat keyakinan sebagai
manusia yang beragama, memperkokoh keberadaan adat Minangkabau dalam
mencapai tujuan hidup bermasyarakat.
24
1. Suku
Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan, yang oleh orang
Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka
adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu,
Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut.
Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah
yang disebut Rumah Gadang.
Di masa awal terbentuknya budaya Minangkabau, hanya ada empat
suku dari dua lareh (laras) atau kelarasan . Suku-suku tersebut adalah:
• Suku Koto
• Suku Piliang
• Suku Bodi
• Suku Caniago
Dan dua kelarasan itu adalah:
1. Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
2. Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang
Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:
• Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik
• Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis
25
Dalam masa selanjutnya, munculah satu kelarasan baru bernama Lareh
Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia nan Bamego-mego.
Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah
mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari
persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:
• Suku Tanjung
• Suku Sikumbang
• Suku Sipisang
• Suku Bendang
• Suku Melayu (Minang)
• Suku Guci
• Suku Panai
• Suku Jambak
• Suku Kutianyie atau Suku Koto Anyie
• Suku Kampai
• Suku Payobada
• Suku Pitopang atau Suku Patopang
• Suku Mandailiang
• Suku Mandaliko
26
• Suku Sumagek
• Suku Dalimo
• Suku Simabua
• Suku Salo
• Suku Singkuang atau Suku Singkawang
2. Tempat Tinggal
Rumah adat atau tempat tinggal etnis Minangkabau dikenal dengan
Rumah Gadang. Rumah gadang merupakan salah satu wujud budaya materil
yang sangat bermakna dan menjadi kebanggaan masyarakat Minangkabau.
Bagi masyarakat Minangkabau, rumah gadang bukan sekedar tempat hunian
belaka, tetapi merupakan pencerminan sistem materilineal yang mereka anut
serta simbol rasa kebersamaan, kegotongroyongan, demokrasi dan sekaligus
sebagai identitas sebuah kaum serta kepenghuluan yang melekat pada kaum
tersebut.
Ketika rumah gadang mereka sudah rusak dan perlu diperbaiki, tetapi
tidak diperbaiki juga, maka kehormatan kaum dengan kepenghuluannya
menjadi taruhan, sebab keberadaan rumah gadang merupakan penanda pula
bagi masyarakat siapa penghulu kaum tersebut. Rusak rumah gadang, rusak
nama kaum dan rusak pula gelar kepenghuluan kaum. Maka, harkat, martabat
dan kehormatan merupakan suatu nilai amat berharga yang dipandang
27
masyarakat mutlak perlu dan senantiasa harus ditegakkan (Syafwan, 2016:105-
107).
3. Pernikahan
Tradisi Maantaan Kampie Siriah (meminang) adalah tradisi peminangan
adat yang dilakukan oleh pihak perempuan yang bertandang ke rumah laki-laki.
Dalam proses Maantaan Kampie Siriah (meminang) ini pihak dari perempuan
membawa sirih yang disusun dalam suatu tempat yang dinamakan kampie yang
dilengkapi dengan alat pemakannya seperti gambia, sada, dan sonto, kapur,
tembakau serta makanan-makanan. Di saat proses ini yang diperbincangkan
diantaranya adalah:
a) membahas dan memastikan uang ilang untuk laki-laki yang telah
disepakati oleh mamakmamak kedua belah pihak,
b) melakukan tukar tanda (berupa cincin) antara kedua belah pihak dan
melaksanakan ikatan perjanjian,
c) memperikatkan antara mamak perempuan dengan mamak laki-laki
dengan mengucapkan suatu akad,
d) pihak perempuan memberikan uang urak selo kepada pihak laki-laki
di luar uang ilang, dimana uang urak selo harus diberikan pada
malam itu (Rezza et al, 2013:3).
28
4. Merantau
Etnis Minang terkenal dengan bakat manggaleh (dagang) suatu naluri
berbisnis. Suatu ciri yang dengan mudah ditandai dan dilihat yang merupakan
ciri dari etnis Minangkabau adalah bakat perantau yang ulung. Mereka terkenal
dengan daya membaurnya yang tinggi, mampu beradaptasi dengan cepat
dengan lingkungannya. Semangat kerukunan yang bermuara dari bakat daya
baur antaretnis ini yang diajarkan oleh adat dan budayanya. Di mano bumi
dipijak di sinan langit dijunjuang (di mana bumi dipijak di sana langit
dijunjung) dikaitkan dengan kalau buyuang pai marantau induak cari dunsanak
cari, induak samang cari dahulu (kalau buyung pergi merantau cari orang tua
(dituakan), cari saudara, terlebih dahulu mencari induk semang). Artinya adalah
“sandaran” atau landasan berpijak di daerah baru yang perlu dicari dan
dikokohkan lebih dahulu. Ini adalah ajaran turun-temurun yang mendarah
daging, terbukti dan teruji mempunyai nilai yang sangat tinggi yang dirasakan,
terutama dalam tata pergaulan antaretnis. Menurut Hakimy dalam Latief dan
Bandaro (2002:18), adat Minangkabau adalah suatu ajaran yang dituang
berbentuk petatah petitih atau dengan kata lain, norma-normanya dinyatakan
dengan arti kiasan yang dalam, dengan suatu ajaran dasar alam takambang jadi
guru (belajar kepada alam). Untuk mengerti Adat Minangkabau harus mampu
berpikir, menyelidiki, dan mempelajari dengan arif ketentuan-ketentuan yang
terdapat pada alam. Sebagai suatu ajaran, adat itu tidak hanya sebagai aturan
hidup bermasyarakat, tetapi juga sebagai tuntunan baik secara perorangan
maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan dalam
29
pergaulan yang berdasarkan budi pekerti yang baik dan mulia, dan harus
dipahami dengan menggunakan nalar. Jadi adat itu adalah norma atau kaedah
hukum yang tidak tertulis, yang lentur atau suatu ajaran bimbingan dalam hidup
(Latief dan Bandaro, 2002:4-80).
5. Konsep Matrilineal dan Warisan
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Minangkabau adalah matrilineal
(garis keturunan ibu), sehingga sistem kekerabatan memerhitungkan dua
generasi di atas ego laki-laki dan satu generasi di bawahnya. Urutannya sebagai
berikut.
• Ibunya ibu.
• Saudara perempuan dan laki-laki ibunya ibu.
• Saudara laki-laki ibu.
• Anak laki-laki, perempuan saudara perempuan ibu ibunya ego.
• Saudara laki-laki dan perempuan ego.
• Anak laki-laki dan perempuan saudara perempuan ibu.
• Anak laki-laki dan perempuan saudara perempuan ego.
• Anak laki-laki dan perempuan anak perempuan saudara perempuan
ibunya ibu.
Banyak istilah mengenai perempuan dalam masyarakat Minangkabau,
yang melambangkan peran dan kedudukannya yang tinggi, yang tidak ditemui
30
pada laki-laki Minang. Khusus kepada kaum ibu digunakan istilah Bundo
Kanduang. Sebutan itu bukanlah sekedar lambang atau istilah sanjungan tetapi
mempunyai arti dan tanggung jawab yang dalam. Bustami dalam Latief dan
Bandaro (2002:80), tatanan kekerabatan adat Minangkabau guna menjamin
hubungan keakraban masyarakat adat tersebut. Perempuan mempunyai sifat
menentukan, memegang peranan dalam banyak hal, merupakan titik tumpuan
dalam menjaga keseimbangan. Perempuanlah yang menyimpan benda atau
pusako kebesaran, menetapkan persiapan dan pelaksanaan upacara-upacara.
Dalam banyak hal segala sesuatunya dirundingkan lebih dahulu pada forum
perempuan. Karena besarnya peran dan tanggung jawab diletakkan pada
pundak perempuan Minang dalam melestarikan sistem kekerabatan matrilineal
adat Minangkabau ini, maka tumpuannya adalah Bundo Kanduang. Sosok
Bundo Kanduang dalam adat Minangkabau digambarkan sebagai perempuan
atau ibu yang ideal, sebagai ibu yang berwibawa, arif bijaksana, dan tempat
meniru keteladanan.
Kesatuan keluarga kecil seperti di atas disebut paruik, pada sebagian
masyarakat ada kesatuan yang disebut kampueng yang memisahkan paruik
dengan suku. Kepentingan keluarga diurus oleh laki-laki yang bertindak sebagai
niniek mamak. Dalam hal jodoh masyarakat Minangkabau memilih dari luar
suku, tetapi pola itu kini mulai hilang. Bahkan akibat pengaruh dunia modern,
perkawinan endogami lokal tidak lagi dipertahankan.
Budaya matrilineal di Sumatera Barat merupakan budaya yang kental
dengan nuansa emansipasi dan ajaran feminis. Perempuan merupakan harta
31
pusaka bagi suatu keluarga sehingga keberadaannya mendapatkan posisi yang
sangat terhormat bagi masyarakat. Budaya Minang juga sarat dengan budaya
dan ajaran muslim sehingga nilai-nilai kultural religius banyak mempengaruhi
pola berpikir masyarakat Minangkabau.
Jadi suku seseorang di Minangkabau mengikuti suku ibunya. Seorang
perempuan memiliki kedudukan istimewa di dalam kaum. Orang sesuku tidak
boleh menikah. Yang menguasai harta pusaka adalah ibu dan yang mengikat
tali kekeluargaan rumah gadang adalah hubungan dengan harta pusaka dan sako
(gelar). Wanita tertua di kaum dijuluki limpapeh atau amban puruak. Ia
mendapat kehormatan sebagai penguasa seluruh harta kaum. Pembagian harta
diatur olehnya. Sedangkan laki-laki tertua di kaum dijuluki tungganai. Ia
bertugas sebagai mamak kapalo warih. Ia hanya berkuasa untuk memelihara,
mengolah, dan mengembangkan harta milik kaum, tapi tidak untuk
menggunakannya. Orang-orang akademis memberi suatu istilah untuk
mengkaji sistem masyarakat di minangkabau yang bergariskan keturunan ibu
yaitu matrilineal agar untuk mempermudah pemaknaannya. Matrilineal berasal
dari kata “matri” artinya (ibu) dan “lineal” (garis), sehingga berarti “garis ibu”.
Maksudnya yaitu istilah untuk menyebutkan sistem kekerabatan yang mengacu
pada garis keturunan ibu. Di Minangkabau sistem kekerabatan tentunya
merupakan penjabaran ajaran syarak Hablumminanas, dan merupakan
formulasi untuk menyikapi fitrah Allah Swt yang menjadikan manusia
berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa (Iva, 2015:33-39).
32
6. Pakaian Adat
Pakaian Bundo Kanduang atau Limpapeh Rumah Nan Gadang Yang
pertama adalah Pakaian Limpapeh Rumah Nan Gadang atau sering pula disebut
pakaian Bundo Kanduang. Pakaian ini merupakan lambang kebesaran bagi para
wanita yang telah menikah. Pakaian tersebut merupakan simbol dari pentingnya
peran seorang ibu dalam sebuah keluarga. Limapeh sendiri artinya adalah tiang
tengah dari bangunan rumah adat Sumatera Barat. Peran limapeh dalam
mengokohtegakan bangunan adalah analogi dari peran ibu dalam sebuah
keluarga. Jika limapeh rubuh, maka rumah atau suatu bangunan juga akan
rubuh, begitupun jika seorang ibu atau wanita tidak pandai mengatur rumah
tangga, maka keluarganya juga tak akan bertahan lama. Secara umum, pakaian
adat Bundo Kanduang atau Limpapeh Rumah Nan Gadang memiliki desain
yang berbeda-beda dari setiap nagari atau sub suku. Akan tetapi, beberapa
kelengkapan khusus yang pasti ada dalam jenis-jenis pakaian tersebut.
Perlengkapan ini antara lain tingkuluak (tengkuluk), baju batabue, minsie,
lambak atau sarung, salempang, dukuah (kalung), galang (gelang), dan
beberapa aksesoris lainnya.
Baju Tradisional Pria Minangkabau Pakaian adat Sumatera Barat untuk
para pria bernama pakaian penghulu. Sesuai namanya, pakaian ini hanya
digunakan oleh tetua adat atau orang tertentu, dimana dalam cara pemakaiannya
pun di atur sedemikian rupa oleh hukum adat. Pakaian ini terdiri atas beberapa
kelengkapan yang di antaranya Deta, baju hitam, sarawa, sesamping, cawek,
sandang, keris, dan tungkek.
33
Pakaian Adat Pengantin Padang Selain baju bundo kanduang dan baju
penghulu, ada pula jenis pakaian adat Sumatera Barat lainnya yang umum
dikenakan oleh para pengantin dalam upacara pernikahan. Pakaian pengantin
ini lazimnya berwarna merah dengan tutup kepala dan hiasan yang lebih
banyak. Hingga kini, pakaian tersebut masih kerap digunakan tapi tentunya
dengan sedikit tambahan modernisasi dengan gaya atau desain yang lebih unik
7. Upacara Adat
Sebagian besar masyarakat Minangkabau beragama Islam. Masyarakat
desa percaya dengan hantu, seperti kuntilanak, perempuan menghirup ubun-
ubun bayi dari jauh, dan menggasing (santet), yaitu menghantarkan racun
melalui udara. Upacara-upacara adat di Minangkabau meliputi:
• Upacara Tabuik adalah upacara peringatan kematian Hasan
dan Husain di Padang Karabela;
• Upacara Kitan dan Katam berhubungan dengan lingkaran
hidup manusia, seperti:
upacara Turun Tanah/Turun Mandi adalah upacara
bayi menyentuh tanah pertama kali,
upacara Kekah adalah upacara memotong rambut
bayi pertama kali.
• Upacara selamatan orang meninggal pada hari ke-7, ke-40,
ke-100, dan ke-1000.
34
2.11 Identitas Etnis Jawa
1. Pakaian Adat
Masyarakat Jawa Timur memiliki pola dasar pakaian sehari-hari. Untuk
kaum pria, hampir seluruh daerah memakai celana model kombor (gomboran),
yaitu celana kolor longgar dengan tinggi di atas mata kaki dan sarung yang
dikenakan dengan berbagai cara. Untuk kaum wanita lebih, banyak
mengenakan sarung batik dibanding dengan kain wiron.
Dari berbagai keragaman pakaian adat yang ada di Jawa Timur, pakaian-
pakaian adat yang khas antara lain dari daerah Madura dan Tengger. Pakaian
khas Madura pada umumnya, yaitu hitam serba longgar dengan kaos bergaris
merah putih atau merah hitam di dalamnya, lengkap dengan tutup kepala dan
kain sarung. Pakaian yang terdiri dari baju pesa'an dan celana gomboran ini
merupakan pakaian pria untuk rakyat kebanyakan, baik sebagai pakaian sehari-
hari ataupun sebagai pakaian resmi. Sedangkan kaum wanita Madura umumnya
memakai kebaya sebagai pakaian sehari-hari maupun pada acara resmi. Kebaya
tanpa kutu baru atau kebaya rancongan digunakan oleh masyarakat kebanyakan.
Keunikan pakaian sehari-hari masyarakat Tengger adalah pada cara mereka
memakai sarung yang berfungsi sebagai pengusir hawa dingin. Terdapat
beberapa cara menggunakan sarung yang mereka pakai, antara lain seperti
Kakawung, Sesembong, Sempetan, Kekemul, Sengkletan, Kekodong, dan
Sampiran.
35
2. Upacara Adat Jawa
Salah satu ciri masyarakat Jawa adalah bahwa mereka merupakan
masyarakat yang begitu percaya terhadap suatu kekuatan di luar alam yang
mengatasi mereka. Mereka percaya pada suatu hal dibalik penampakan fisik
yang mereka lihat. Itulah sebabnya mengapa masyarakat Jawa percaya adanya
roh, dan hal-hal spiritual lainnya. Mereka kagum terhadap kejadian-kejadian
disekitar mereka, terhadap fenomena-fenomena alam sehari-hari yang kadang
sulit dipahami dengan rasio. Rasa kagum inilah yang melahirkan bermacam-
macam ritual tradisi sebagai bentuk penghormatan terhadap alam (Haq,
2011:4).
Upacara adat jawa umumnya ini meruapakan hasil penggabungan
budaya Jawa dan agama Islam di pada abad 16 masehi. Pada awalnya, upacara
menggunakan doa-doa agama budha atau menggunakan doa-doa agama hindu.
Kemudian setelah mengalami penggabungan dengan agama Islam,
digantikanlah doa-doa itu menjadi doa-doa yang biasa digunakan di agama
Islam.
Begitu juga dengan sesaji yang dulu biasanya digunakan ketika adanya
upacara kenduren ini, namun pada saat ini sesaji-sesaji itu tidak di gunakan lagi.
Untuk saat ini upacara kenduren ini hanya ditujukan untuk makan-makan
bersama, itupun sebagai tanda syukur kepada Allah SWT, bukan untuk
persembahan-persembahan seperti budaya Kejawen pada zaman dulu.
36
3. Pernikahan
Dalam pernikahan adat Jawa ada yang dikenal juga upacara perkawinan
yang sangat unik dan sakral. Banyak tahapan yang harus dilalui dalam upacara
adat Jawa yang satu ini, mulai dari siraman, siraman, upacara ngerik,
midodareni, srah-srahan atau peningsetan, nyantri, upacara panggih atau temu
penganten, balangan suruh, ritual wiji dadi, ritual kacar kucur atau tampa kaya,
ritual dhahar klimah atau dhahar kembul, upacara sungkeman dan lain
sebagainya.
Rangkaian upacara adat pengantin Jawa secara kronologis diuraikan
dari awal sampai akhir sebagai berikut :
1. Upacara siraman pengantin putra-putri
2. Upacara malam midodareni
3. Upacara akad nikah / ijab kabul
4. Upacara panggih / temu
5. Upacara resepsi
6. Upacara sesudah pernikahan
4. Warisan
Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat
bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut
Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti
37
menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti
misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang
menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang
menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut
sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.
Suku Jawa yang hukum adat-nya bersistem parental, maka hal-hal yang
menjadi catatan adalah:
a. Saudara adalah anak kandung dari Suami Pertama.
b. Saudara tidak tinggal bersama secara langsung.
c. Ibu Saudara memiliki anak-anak lagi dari hasil perkawinannya yang
sekarang sebanyak 6 orang.
d. Sehingga jumlah keseluruhan anaknya adalah 7 orang, yang mana
jumlah anak laki-laki 2 dan anak perempuan 5, serta meninggalkan
seorang suami.
e. Warisan Ibu berasal dari neneknya, artinya bukan berasal dari harta
bersama dengan suami kedua-nya, artinya harta tersebut adalah harta
bawaan, yang akan diwariskan kepada anak keturunannya.
Di dalam masyarakat Jawa, semua anak mendapatkan hak mewaris,
dengan pembagian yang sama, tetapi ada juga yang menganut asas sepikul
segendongan, artinya anak laki-laki mendapatkan dua bagian dan anak
perempuan mendapatkan satu bagian, hampir sama dengan pembagian waris
38
terhadap anak dalam Hukum Islam. Pada dasarnya, yang menjadi ahli waris
adalah generasi berikutnya yang paling karib dengan Pewaris (ahli waris utama)
yaitu anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga (brayat) si Pewaris. Terutama
anak kandung. Sementara untuk anak yang tidak tinggal bersama, tidak masuk
ke dalam ahli waris utama. Tetapi ada juga masyarakat Jawa yang mana anak
angkat (yang telah tinggal dan dirawat oleh orang tua angkatnya) mendapatkan
warisan dari kedua orang tuanya, baik orang tua kandung atu angkat. Jika anak-
anak tidak ada, maka kepada orang tua dan jika orang tua tidak ada baru
saudara-saudara pewaris.
5. Budaya Arek
Di sebelah timur Matraman adalah tlatah arek yang menjadi wilayah
kebudayaan yang cukup dikenal dengan ciri khas Jawa Timurnya. Masyarakat
Arek dikenal punya semangat juang yang tinggi, terbuka, dan mudah
beradaptasi. Dan satu yang menjadi ciri khas masyarakat Arek adalah bondo
nekat.
Surabaya dan Malang menjadi pusat kebudayaan Arek. Kedua kota
besar ini menjadi pusat kebudayaan Arek karena kondisi sosial masyarakatnya
yang begitu komplek dan heterogen, bisa dikatakan menjadi pusat bidang
pendidikan, ekonomi, dan parawisata di Jawa Timur. Setelah industrialisasi
masuk, wilayah ini menjadi menarik bagi pendatang. Menjadikannya salah satu
melting pot atau kuali peleburan kebudayaan di Jatim. Pendatang dari berbagai
kelompok etnis ada di sini untuk mencari ”gula” ekonomi yang tumbuh pesat.
39
Meski luas wilayahnya hanya 17 persen dari keseluruhan luas Jatim, separuh
(49 persen) aktivitas ekonomi Jatim ada di kawasan ini.
Sebagai etnis Jawa yang biasa disebut dengan komunitas Arek, etnis ini
memiliki keunggulan dalam hal kepemilikan tekad, solidaritas, dan semangat
egalitarianisme yang tinggi. Bahasa walikan juga menjadi salah satu identitas
yang melekat pada etnis arek yang berada di Malang. Komunitas Arek dikenal
mempunyai semangat juang yang tinggi, terbuka terhadap perubahan dan
mudah beradaptasi. Perilaku budaya mereka dikenal sebagai perilaku bandha
nekat. Komunitas arek memiliki kecenderungan untuk mau mendengarkan
saran dari orang lain. Mereka memiliki sesanti yok apa enake, yakni hasrat
untuk menyelesaikan segala macam persoalan melalui upaya suka sama suka
atau win-win solution (Sutarto dan Sudikan, 2004:1-14).
40
2.12 Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini yaitu pengelolaan identitas dalam komunikasi etnis
Minangkabau dengan masyarakat Jawa di Malang. Bentuk identitas yang
difokuskan peneliti sebagai berikut:
- Pernikahan
- Upacara adat selamatan/tasyakuran
- Bahasa/dialek
- Tradisi Idul Fitri
- Makanan
Dari bentuk-bentuk identitas yang telah disebutkan di atas, peneliti kemudian
ingin mengetahui bagaimana etnis Minangkabau mengelola identitasnya ketika
berada di tempat rantau. Bentuk-bentuk identitas tersebut kemudian dianalisis
dengan teori pengelolaan identitas yang terdiri dari tiga tahapan, yakni tahap
percobaan (trial), kecocokan (emmeshment) dan negosiasi ulang
(renegotiation). Hasil dari penelitian ini akan menunjukkan bagaimana identitas
terbentuk, terjaga dan berubah dalam hubungan berbeda budaya.