bab ii tinjauan pustaka 2.1 klasifikasi dan morfologi...

23
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menurut Saanin (1984), ikan tuna berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Scombridei Family : Scombridae Genus : Thunnus Spesies : Thunnus sp. Berdasarkan ukuran tuna, di Indonesia terdapat dua kelompok tuna yaitu tuna besar dan tuna kecil. Ikan tuna besar yang hidup di perairan laut Indonesia yaitu tuna madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna albakora (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii). Gambar dari beberapa jenis ikan tuna besar seperti pada Gambar 1. A. Tuna madidihang (Thunnus albacares) B. Tuna mata besar (Thunnus obesus) C. Tuna albakora (Thunnus alalunga) D. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) Gambar 1. Jenis-jenis Ikan Tuna Sumber: Maulana (2012)

Upload: nguyenminh

Post on 27-Apr-2018

304 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menurut Saanin (1984), ikan tuna berdasarkan taksonominya dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Teleostei

Subkelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Subordo : Scombridei

Family : Scombridae

Genus : Thunnus

Spesies : Thunnus sp.

Berdasarkan ukuran tuna, di Indonesia terdapat dua kelompok tuna yaitu

tuna besar dan tuna kecil. Ikan tuna besar yang hidup di perairan laut Indonesia

yaitu tuna madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus),

tuna albakora (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii).

Gambar dari beberapa jenis ikan tuna besar seperti pada Gambar 1.

A. Tuna madidihang (Thunnus albacares) B. Tuna mata besar (Thunnus obesus)

C. Tuna albakora (Thunnus alalunga) D. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii)

Gambar 1. Jenis-jenis Ikan Tuna

Sumber: Maulana (2012)

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

6

Ikan tuna madidihang dan tuna mata besar terdapat di seluruh wilayah

perairan laut Indonesia. Tuna albakora hidup di perairan sebelah Barat Sumatera,

Selatan Bali sampai dengan Nusa Tenggara Timur. Ikan tuna sirip biru hanya

hidup di perairan sebelah Selatan Jawa sampai ke perairan Samudera Hindia

bagian Selatan yang bersuhu rendah (Widiastuti 2008).

Menurut Widiastuti (2008), ikan tuna memiliki warna biru kehitaman pada

bagian punggung dan berwarna keputih-putihan pada bagian perut. Tubuh ikan

tuna berbentuk cerutu menyerupai torpedo serta tertutup oleh sisik sisik kecil.

Ikan tuna pada umumnya mempunyai panjang antara 40–200 cm dengan berat

antara 3-130 kg (Novriyanti 2007). Daging yang dimiliki berwarna merah muda

sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin

dari pada ikan lainnya (Mc Afee et al. 2009).

2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna Ikan tuna merupakan jenis ikan yang mengandung lemak rendah (kurang

dari 5%) dan protein yang sangat tinggi (lebih dari 20%). Komposisi gizi ikan

tuna bervariasi tergantung spesies, jenis, umur, musim, laju metabolism, aktivitas

pergerakan, dan tingkat kematangan gonad (Stansby dan Olcott 1963). Komposisi

kimia tuna ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan Tuna (g/100g)

Komponen Komposisi Kimia (g/100g)

Madidihang Tuna ekor biru Cakalang

Air 74,0±0,28 70,1±1,98 69,9±0,71

Protein 23,2±1,34 25,5±4,03 26,0±0,28

Lemak 2,4±1,41 2,1±0,92 2,0±0,07

Karbohidrat 1,0±1,27 0,9±1,13 0,7±0,42

Abu 1,3±0,4 1,4±0,21 1,4±0,07

Sumber: Wahyuni (2011)

2.3 Keadaan Umum Perusahaan Penanganan Tuna Loin Beku

PT. Awindo International merupakan salah satu perusahaan pengolahan

hasil perikanan yang terletak di Jalan Muara Baru nomor 12, Kelurahan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

7

Penjaringan, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. PT. Awindo International

tepat berada di komplek Pelabuhan Perikanan Nusantara Samudera Nizam

Zachman sehingga dapat mempermudah masuknya bahan baku dari kapal

penangkap ikan dan pengiriman barang ke Tanjung Priok untuk di ekspor ke

negara tujuan

Produk yang dihasilkan PT. Awindo International adalah produk

penanganan dari ikan pelagis dalam bentuk loin beku, stik beku, dan fillet beku.

Ikan pelagis yang diproduksi yaitu ikan Marlin (Makaira spp.), Swordfish

(Xiphias gladius), Oilfish (Lepidocybium flavobruneus), dan Sailfish (Istioporus

oriental). Komoditas produksi utama milik PT. Awindo International adalah ikan

tuna yang ditangani dalam bentuk tuna loin beku, tuna saku beku, tuna stik beku,

serta tuna filet beku. Tujuan ekspor PT. Awindo International adalah Asia

(Jepang, Malaysia, dan Cina), USA, dan Uni Eropa. PT. Awindo International

telah menerapkan HACCP dalam berproduksi sesuai dengan sertifikat penerapan

HACCP dalam Lampiran 1.

PT. Awindo International memiliki beberapa fasilitas bangunan untuk

menunjang kelancaran proses produksinya, yaitu fasilitas bangunan proses fresh,

proses frozen, serta fasilitas penunjang. Tata letak bangunan (layout) perusahaan

dapat dilihat pada Lampiran 2.

2.4 Penurunan Mutu Ikan Tuna

Ikan tuna yang mati setelah ditangkap akan mengalami serangkaian

perubahan yang mengarah pada proses penurunan mutu yang disebabkan oleh tiga

kegiatan utama yaitu penurunan secara bakteriologis, kimia, dan fisik. Seluruh

proses perubahan ini pada akhirnya dapat mengarah pada pembusukan (Murniyati

dan Sunarman 2000).

2.4.1 Kemunduran Mutu Secara Kimiawi

Menurut Hadiwiyoto (1993) penurunan mutu secara kimia adalah

penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan

tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri dari penurunan mutu secara

autolisis, oksidasi dan akibat histidin.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

8

1) Kemunduran Mutu Secara Autolisis

Autolisis adalah penguraian protein dan lemak menjadi senyawa yang

lebih sederhana seperti asam amino dan asam lemak. Menurut Ilyas (1983) enzim

yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolysis (pengurai protein) dan

enzim liposis (pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna,

tekstur, dan kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis

berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian

pertama setelah ikan tuna mati.

Kecepatan autolisis sangat tergantung pada suhu, semakin rendah suhu

semakin lambat kecepatan autolisis. Kecepatan autolisis tidak dapat dihentikan

namun hanya dapat memperlambat laju proses autolisis. Kegiatan enzim dapat

direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan, dan

pengasaman atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan (Ilyas 1983).

2) Kemunduran Mutu Secara Oksidasi

Menurut Faustman dan Cassens (1990), oksidasi adalah reaksi antara suatu

senyawa kimia dengan oksigen. Salah satu kemunduran mutu ikan tuna yang

disebabkan oleh proses oksidasi yaitu terjadinya penambahan kation Fe2+

(ferrous) dalam mioglobin menjadi bentuk Fe3+ (ferric) yang dapat

mengakibatkan perubahan warna daging ikan tuna dari merah segar menjadi

coklat.

Penyuntikan karbonmonoksida pada daging ikan tuna dapat

mempertahankan warna merah daging ikan tuna pada saat penyimpanan dan

pengangkutan. Senyawa karbonmonoksida dapat bereaksi dengan myoglobin

menjadi karboksimioglobin yang merupakan bentuk stabil dari pigmen merah

dalam daging ikan tuna. Karboksimioglobin dapat mencegah terjadinya proses

oksidasi dibanding oksimioglobin karena senyawa karbonmonoksida memiliki

daya ikat yang lebih kuat terhadap mioglobin dibanding oksigen (Livingston dan

Brown 1981).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

9

3) Penurunan Mutu Akibat Histidin dan Histamin

Menurut Hadiwiyoto (1993), histamin terbentuk dari degradasi

histidin yang dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase. Senyawa histamin

tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi

berbahaya. Senyawa histamin bersifat racun dan dapat menimbulkan keracunan

yang disebut “Scromboid Food Poisoning”.

Kandungan histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis

Horse mackerel, Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung

antara 4% dan 6% histidin, bahkan cakalang, yellowtail, madidihang, daging

bluefin tuna mengandung histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al. 2011).

Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dari spesies ikan

lainnya, sehingga kadar histamin dapat meningkat jika dilakukan penyimpanan

dan penanganan yang salah (Wahyuni 2011).

Penyimpanan ikan pada kondisi suhu rendah sejak ikan ditangkap hingga

dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan

dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri

penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Widiastuty 2007).

2.4.2 Kemunduran Mutu secara Fisik

Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan

tuna yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang kurang baik sehingga

dapat mempengaruhi mutu. Penanganan lebih awal akan sangat berpengaruh

terhadap kualitas mutu yang dihasilkan. Menurut Kushardiyanto (2010),

perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari

air adalah:

1) Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih saat ikan

mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya. Ikan yang

terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan

menjadi memar dan luka-luka.

2) Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari

ujung ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

10

dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai

terlihat yaitu berupa perubahan-perubahan seperti berkurangnya kekenyalan

perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan

dan warna mata ikan, sisik lebih mudah lepas dan kehilangan kecemerlangan

warna ikan, berubahnya bau dari segar menjadi asam.

3) Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya

tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk

dikonsumsi atau busuk.

Kesegaran ikan dapat dinilai menggunakan metode inderawi atau

organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap

perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna, rasa,

kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut,

bau atau aroma.

2.4.3 Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis

Penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu

yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari lingkungan dan

dalam tubuh ikan (Junianto 2003). Menurut Sarmono (2002), ikan hidup memiliki

kemampuan untuk mengatasi aktivitas bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan.

Bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah, serta

permukaan kulit tidak dapat menyerang bagian-bagian tubuh ikan karena masih

memiliki daya tahan terhadap serangan bakteri.

Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), ikan yang telah mati tidak dapat

mempertahankan aktivitas bakteri karena kemampuan daya tahan tubuh ikan telah

hilang, sehingga bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan

menyerang tubuh ikan. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan

tempat hidupnya. Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil

penguraiannya dalam proses autolisis, dan substansi-substansi non-nitrogen.

Penguraian yang dilakukan oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition)

menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti

CO2, H2S, amoniak, indol, skatol, dan lain-lain.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

11

Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), setiap jenis bakteri memerlukan

suhu tertentu untuk dapat hidup dengan baik. Ada tiga macam jenis bakteri

bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang antaranya dapat dilihat pada Tabel 2.

Pencegahan yang dilakukan untuk menghambat aktivitas bakteri yaitu dengan

menurunkan suhu hingga di bawah 0oC atau menaikkan hingga di atas 100oC.

Tabel 2. Kisaran Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri.

Jenis Bakteri Suhu Minimum Suhu Optimum Suhu Maksimum

Thermophylic 25-45oC 50-55oC 60-80oC

Mesophylic 5-25oC 25-37oC 43oC

Psycrophylic 0oC 14-20oC 30oC

Sumber: Murniyati dan Sunarman (2000)

2.5 Tuna Loin Beku

Menurut Ditjenkan (1993), Tuna loin beku adalah suatu produk

penanganan hasil perikanan dengan bahan baku ikan tuna segar yang mengalami

perlakuan sebagai berikut:

- Sortasi

- Pemotongan kepala

- Pemotongan sirip dan ekor

- Pencucian

- Pembuatan loin

- Pembuangan daging hitam

- Pembuangan kulit dan perapihan

- Pembekuan dengan atau tanpa penggelasan

- Pengepakan

- Penyimpanan beku.

Menurut BSN (2006), semua jenis tuna dapat dibuat menjadi produk tuna

loin beku namun pada umumnya bahan baku yang digunakan adalah yellowfin,

bluefin, bigeye dan longfin. Produk tuna loin beku dapat dilihat pada Gambar 2 di

bawah ini.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

12

Gambar 2. Tuna Loin Beku

2.5.1 Persyaratan Bahan Baku

Menurut BSN (2006), bahan baku tuna loin beku adalah semua jenis tuna

yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa tuna loin beku. Ikan tuna yang

digunakan untuk produksi tuna loin beku harus memenuhi persyaratan di bawah

ini:

- Ikan tuna dalam keadaan bersih,

- Bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,

- Bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,

- Bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak

membahayakan kesehatan,

- Berasal dari perairan yang tidak tercemar.

Menurut Fadly (2009), secara organoleptik bahan baku tuna loin beku

dikelompokan menurut standar atau kualitas daging yang terbagi menjadi empat

tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan D. Pengujian tingkatan mutu ikan

dilakukan dengan menusukkan coring tube yang merupakan suatu alat berbentuk

batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube dimasukkan pada kedua sisi ikan

(bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri) sehingga didapatkan potongan

daging ikan tuna yang selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik. Ciri-ciri

untuk masing-masing grade adalah sebagai berikut:

1) Grade A

Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut:

- Warna daging untuk tuna ekor kuning adalah merah seperti darah segar

dan untuk tuna mata besar dagingnya berwarna merah tua seperti bunga

mawar

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

13

- Mata bersih, terang, dan menonjol

- Kulit normal, warna bersih dan cerah

- Tekstur daging untuk tuna ekor kuning keras, kenyal, dan elastis, dan

untuk tuna mata besar dagingnya lebut, kenyal dan elastis

- Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh

2) Grade B

Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut:

- Warna daging merah, otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah

- Mata bersih, terang dan menonjol

- Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir

- Tidak ada kerusakan fisik

3) Grade C

Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut:

- Warna daging kurang merah

- Kulit normal dan berlendir

- Otot daging kurang elastis

- Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau

dada

4) Grade D

Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut:

- Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan

pudar

- Otot daging kurang elastis dan lemak sedikit

- Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah

- Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan yang sudah sobek, mata ikan yang

hilang, dan kulit terkelupas

2.5.2 Persyaratan Mutu Tuna Loin Beku

Persyaratan mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu

berdasarkan SNI 01-4104-2006, seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

14

Tabel 3. Standar SNI 01-4104-2006 Mutu Tuna Loin Beku

JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN

Organoleptik Skala hedonik 1-9 Minimal 7

Cemaran mikroba*:

ALT Koloni/gram 5 x 105

Eschericia coli APM/gram <2

Salmonella APM/gram negatif

Vibrio cholera APM/gram negatif

Cemaran kimia*

Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 1

Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 0,4

Histamin mg/kg Maksimal 100

Cadmium (Cd) mg/kg Maksimal 0,5

Fisika:

Suhu pusat oC Maksimal -18

Parasit ekor Maksimal 0

Catatan* bila diperlukan

Sumber: BSN (2006)

2.5.3 Bahan Pembantu Penanganan Tuna

Bahan pembantu yang digunakan untuk penanganan tuna loin beku harus

sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh SNI 01-4104.3-2006 tentang

penanganan dan pengolahan tuna loin beku. Bahan pembantu atau penolong

terdiri dari air dan es.

Air untuk penanganan dan pengolahan harus aman dan saniter dan berasal

dari sumber yang diijinkan dengan angka Coliform (Angka Paling

Memungkinkan/APM) maksimal 2 dalam 100 ml air serta memiliki tekanan

minimal 142,26 g/cm2. Air yang digunakan untuk unit pengolahan harus

memenuhi persyaratan air minum dan dilakukan pengujian mikrobiologi, kimia,

dan fisika secara berkelanjutan oleh laboratorium yang telah terakreditasi oleh

pemerintah (Maulana 2012).

Es yang digunakan harus dibuat dari air bersih dan memenuhi persyaratan

air minum. Penggunaan es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih

agar terhindar kontaminasi silang dari lingkungan. Es kering digunakan untuk

mempertahankan suhu ikan selama proses pengangkutan agar tetap rendah dan

terjaga kesegarannya. Es kering merupakan karbondioksida (CO2) yang

terkondensasi menjadi bentuk padat, selain itu es kering memiliki temperatur yang

lebih rendah dari es biasa yaitu -790C (Maulana 2012).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

15

2.5.4 Peralatan Penanganan Tuna

Peralatan utama yang digunakan dalam penanganan dan pengolahan tuna

loin beku yaitu, meja kerja stainless steel, timbangan digital, pisau filet, ABF (Air

Blast Freezer), cold storage, chilling room, bak penampungan ikan, rak

penyusunan ikan, alat suntik CO, vacuum sealer (Lampiran 3). Semua peralatan

dan perlengkapan yang digunakan dalam penanganan tuna loin beku harus

mempunyai permukaan yang halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat,

bukan merupakan sumber cemaran jasad renik, tidak retak, dan mudah

dibersihkan. Seluruh peralatan dipastikan dalam keadaan bersih, sebelum, selama,

dan sesudah digunakan (Maulana 2012).

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Mutu Tuna Loin Beku

Menurut Ilyas (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu produk

perikanan adalah suhu, lama proses penanganan, kebersihan, serta cara kerja.

2.6.1 Suhu

Suhu memiliki peranan penting dalam upaya mempertahankan mutu

produk beku. Faktor suhu berperan dalam keseluruhan usaha produk, baik sejak

awal ditangkap hingga menjadi produk akhir. Suhu ikan tuna di atas 0oC akan

mengalami kemunduran mutu yang terjadi secara kimia maupun mikrobiologi

(Hadiwiyoto 1993). Proses pembusukan pada ikan tuna yang disimpan pada suhu

3o-5oC terjadi pada hari ke 12. Bakteri pembusuk hidup pada suhu antara 0o-30oC

dengan suhu optimal 15oC. Suhu yang diturunkan dengan cepat hingga di bawah

0oC atau pada kisaran suhu -1o-5oC maka proses pembusukan akan terhambat,

pada suhu ini kegiatan enzim perusak akan terhambat, sedangkan kegiatan bakteri

patogen akan terhenti (Moelyanto 1992). Dasar inilah yang digunakan untuk

proses penanganan pada tuna loin beku, yakni penggunaan suhu rendah dengan

teknik pendinginan dan pembekuan.

Pendinginan merupakan proses pengawetan dengan suhu rendah (-1o-5oC)

yang bertujuan untuk menghambat aktivitas mikroorganisme, proses kimia, dan

proses fisik lainnya yang dapat mempengaruhi kesegaran mutu. Pembekuan tuna

loin merupakan salah satu cara menghentikan terjadinya proses penurunan mutu

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

16

dengan suhu yang digunakan yaitu -18oC sampai -30oC (Ilyas 1993). Menurut

BSN (2006), proses penanganan tuna loin beku harus mempertahankan suhu

produk maksimal 4,4oC dan proses pembekuan maksimal -18oC. Suhu tuna loin

yang tidak diperhatikan akan berpengaruh terhadap mutu produk akhir tersebut.

Keberhasilan penanganan tergantung pada stabilitas suhu selama

penanganan. Semakin rendah suhu yang dapat diturunkan dan semakin stabil suhu

tersebut dipertahankan selama penanganan, maka mutu atau kualitas yang didapat

akan semakin baik (Afrianto dan Liviawaty 1989).

2.6.2 Lama Proses Penanganan

Lama proses berkaitan dengan lamanya waktu suatu proses penanganan,

perlakuan dan waktu penyimpanan yang dialami oleh produk beku. Tertundanya

waktu proses penanganan dapat mempengaruhi mutu dari produk tersebut, maka

dari itu proses penanganan harus dilakukan sesegera mungkin dengan

menggunakan suhu rendah antara -1o - 5oC. Semakin panjang waktu penyimpanan

produk pada suhu rendah, maka semakin besar pengaruhnya terhadap produk beku

tersebut (Ilyas 1983). Produk yang disimpan dalam waktu lama sebaiknya

digunakan suhu penyimpanan yang rendah yaitu berkisar pada -18oC untuk

mencegah terjadinya dehidrasi pada produk.

2.6.3 Kebersihan

Faktor kebersihan memiliki peranan yang sangat penting dalam

pemantapan mutu produk. Faktor kesehatan dan higienis selalu ditunjukkan oleh

keadaan bakteri dari kesegaran produk dan faktor suhu produk. Indikator yang

digunakan yaitu jumlah bakteri yang terdapat pada produk beku, kondisi tempat

penanganan, peralatan, dan bahan yang terlihat dalam proses produksi (Nasution

2009).

Sanitasi perlu diperhatikan baik bagi produknya maupun yang

berhubungan selama proses penanganan. Sarana dan peralatan yang digunakan

serta kebersihan para pekerja diusahakan agar terhindar dari kontaminasi silang

dengan produk (Ilyas 1983). Faktor kebersihan ini harus diperhatikan karena akan

mempengaruhi mutu produk akhir yang dihasilkan.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

17

2.6.4 Cara Kerja

Kecermatan dalam penanganan harus dilakukan agar tuna loin tidak rusak,

maka dari itu digunakan prosedur penanganan tiap jenis, ukuran dan tujuan

pemanfaatan serta pemasarannya. Semua kerusakan tuna loin akan menyebabkan

tuna loin tidak terjual, masa simpan yang singkat, berkurang mutunya, dan terjadi

penolakan dari negara ekspor (Ilyas 1983). Proses penanganan diperlukan tenaga

kerja yang cermat, cepat dan teliti agar didapatkan produk yang memiliki mutu

baik dan sesuai standar.

2.7 Kelayakan Dasar Unit Pengolahan

Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan pada konsep

HACCP sebagai suatu sistem manajemen mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi

harus ditunjang oleh faktor-faktor lain yang menjadi dasar dalam menganalisis

besar kecilnya potensi terjadinya bahaya. Penerapan HACCP dapat berjalan lebih

efektif jika setiap unit pengolahan yang akan menerapkan HACCP memenuhi

persyaratan kelayakan dasar. Persyaratan kelayakan merupakan prosedur yang

terdiri dari cara berproduksi yang baik dan benar atau Good Manufacturing

Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Kedua

faktor tersebut merupakan persyaratan dasar yang harus dipenuhi oleh unit

pengolahan sebelum menerapkan PMMT/HACCP (Ditjenkan 2001).

2.7.1 Cara Berproduksi yang Baik dan Benar

Good Manufactring Practice (GMP) atau Cara Berproduksi yang Baik dan

Benar merupakan suatu pedoman cara berproduksi makanan dengan tujuan agar

produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk

menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen

(Thaheer 2005).

Secara umum GMP untuk produk perikanan mencakup semua aspek

operasi unit pengolahan dan karyawan seperti pelakuan/kondisi yang

dipersyaratkan, waktu yang cepat dan tepat, mempertahankan rantai dingin, bahan

baku yang baik, bahan kimia yang diizinkan, jumlah bahan pembantu seperti es

harus cukup untuk mempertahankan suhu tetap rendah, cara penimbangan yang

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

18

benar, alat timbang yang akurat, teknik pengemasan yang tepat dan bahan

pengemas yang baik, teknik pelabelan yang memenuhi syarat, serta dilakukan

secara teliti dan terampil (Nurrakhmi 2009).

2.7.2 Prosedur Standar Operasi Sanitasi

Prosedur Standar Operasi Sanitasi atau Sanitation Standar Operating

Procedure (SSOP) dalam suatu industri pangan adalah bagian yang tidak

terpisahkan dari pembinaan mutu secara keseluruhan. Sanitasi dilakukan sebagai

usaha mencegah penyakit dari konsumsi pangan yang diproduksi dengan cara

menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor didalam pengolahan pangan

yang berperan dalam pemindahan bahaya (hazard) sejak penerimaan bahan baku

sampai produk akhir didistribusikan (Thaheer 2005). Menurut Food and Drug

Administration USA dalam Thaheer (2005), SSOP umumnya meliputi delapan

aspek, yaitu:

1) Keamanan Air dan Es

Air untuk penanganan dan pengolahan harus cukup aman dan saniter,

berasal dari sumber yang diizinkan. Es harus dibuat dari air bersih yang

memenuhi persyaratan air minum. Es harus ditangani dan disimpan ditempat yang

bersih dalam pengunaannya agar terhindar dari penularan dan kontaminasi dari

luar.

2) Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Produk

Permukaan peralatan dan perlengkapan yang berhubungan langsung

dengan bahan dan produk akhir harus bebas dari lubang-lubang dan celah, halus,

tidak menyerap air, tidak berkarat, dan tidak menimbulkan racun. Perlengkapan

dan peralatan hendaknya dibuat, dirancang dan ditata dengan baik sehingga

mudah dibersihkan dengan sempurna serta menjamin kelancaran proses

penanganan dan pengolahan. Peralatan yang sudah tidak dipergunakan lagi

dipisahkan dengan peralatan yang masih dipakai.

3) Pencegahan Kontaminasi Silang

SSOP ini berisi prosedur-prosedur untuk menghindarkan kontaminasi

silang pada produk dari pekerja, bahan mentah, pengemas dan permukaan yang

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

19

kontak dengan produk. SSOP ini mencakup tindakan-tindakan yang menyangkut

pembersihan bahan baku untuk mengurangi kontaminasi silang.

4) SSOP untuk Kebersihan Karyawan

Sanitasi ini meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan, serta toilet yang

digunakan. Kebersihan personal yang harus senantiasa diperhatikan yaitu,

pembersihan rambut, pencucian tangan, dan pembersihan kuku. Perilaku yang

bersih dan sehat dari karyawan sangat menunjang kebersihan produk yang

dihasilkan. Ruang pengolahan harus mempunyai sejumlah tempat cuci tangan

yang cukup, sekurang-kurangnya satu tempat cuci tangan untuk 10 karyawan.

Ruang pengolahan harus dilengkapi juga dengan air panas, air dingin, sabun,

tissue paper (lap sekali pakai), dan tetap sampah yang bertutup. Tempat cuci

tangan harus diletakan di ruang pengolahan yang dapat dilihat oleh pengawas dan

dekat pintu masuk ruang pengolahan. Air untuk mencuci tangan harus mengalir

dan tidak boleh dipakai berulang. Ruang istirahat harus dilengkapi dengan tempat

cuci tangan dan ganti pakaian serta letaknya harus terpisah dari ruang pengolahan.

Pabrik pengolahan harus dilengkapi dengan toilet yang cukup.

5) SSOP untuk Pencegahan Pencemaran

Pencegahan pencemaran yaitu mencegah tercampurnya bahan non pangan

ke dalam produk pangan yang dihasilkan. Sanitasi ini mencakup prosedur-

prosedur yang digunakan untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan non pangan

ke dalam produk yang dihasilkan. Bahan-bahan non pangan yang dimaksud

meliputi pelumas, bahan bakar, sanitizer, serta cemaran kimia dan cemaran fisik

lainnya (Thaheer 2005). Peralatan dan perlengkapan pembantu yang bersentuhan

dengan bahan yang diolah, kecuali produk akhir yang dikemas harus selalu

dibersihkan dan didesinfeksi sekurang-kurangnya satu kali dalam satu gilir kerja,

kemudian dikeringkan dan disimpan dengan cara saniter (Purwaningsih 1995).

Pestisida, fumigant, desinfektan dan deterjen harus disimpan dalam ruangan

terpisah dan hanya ditangani dibawah pengawasan petugas yang memenuhi

tentang bahayanya untuk menghindari kontaminasi terhadap produk (Nasution

2009).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

20

6) SSOP untuk Pelabelan dan Penyimpanan

Syarat pengemas yang digunakan bereaksi dengan produk dan mampu

melindungi produk dan mencantumkan: isi, merk dagang, asal negara, produsen,

berat bersih, komposisi, masa kadaluarsa dan persyaratan penyimpanan. Ruang

penyimpanan harus terjaga kebersihannya dan sesuai persyaratan dan jenis

produk. Produk yang disimpan harus selalu dikontrol agar produk tetap aman dan

baik mutunya.

7) SSOP untuk Pengendalian Kesehatan Karyawan

Karyawan yang dipekerjakan harus sehat dan tidak menderita penyakit

menular atau menyebarkan kuman penyakit menular. Kesehatan para karyawan

harus diperiksa secara berkala untuk menghindarkan penularan penyakit baik

terhadap produk maupun karyawan lainnya. Setiap karyawan harus dilengkapi

dengan pakaian dan perlengkapan kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing.

8) Pemberantasan Hama

Bagian-bagian ruangan penanganan dan pengolahan yang berhubungan

langsung dengan bagian luar harus dilengkapi dengan peralatan untuk mencegah

masuknya serangga, tikus, dan hama lainnya. Jalan dan lobang yang dapat dilalui

tikus dan serangga harus ditutup dengan saringan (screen) logam yang tahan

karat.

2.8 Konsepsi HACCP

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (2007), pengertian Hazard

Analysis and Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem manajemen

mutu untuk penanganan atau pengolahan makanan khususnya hasil perikanan

berdasarkan pada pendekatan sistematis untuk mengantisipasi kemungkinan

terjadinya bahaya (hazard) selama proses produksi dengan menentukan titik kritis

yang harus diawasi secara ketat (Muhandri dan Kadarisman 2006).

2.8.1 Prinsip HACCP

Menurut Thaheer (2005) prinsip sistem HACCP yang diadopsi pada SNI

01-4852-1998 terdiri dari tujuh bagian, yaitu:

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

21

Prinsip 1. Analisis Bahaya

Analisis bahaya merupakan proses pengumpulan dan penilaian informasi

mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya. Penentuan jenis

bahaya mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan serta harus

ditangani dalam rencana HACCP.

Prinsip 2. Identifikasi Titik Kendali Kritis (CCP)

Identifikasi CCP (Critical Control Point) adalah suatu upaya untuk

menentukan titik atau tahapan tertentu dimana pengendalian dapat dilakukan dan

harus diterapkan untuk mencegah atau mengeliminasi bahaya keamanan pangan,

atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima. Tindakan

pengawasan dan pengendalian yang tidak dilakukan akan menyebabkan resiko

penolakan dan kerugian dari konsumen. Penentuan CCP dapat dilakukan dengan

menggunakan pohon keputusan (Lampiran 4) yang menyatakan pendekatan

pemikiran logis.

Prinsip 3. Menentukan Batas-batas Kritis (Critical Limit)

Batas kritis adalah persyaratan dan toleransi yang harus dipenuhi oleh

CCP. Batas kritis ini tidak boleh terlampaui, karena batas-batas kritis ini

merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Batas kritis

harus ditentukan untuk setiap CCP. Kriteria yang dipergunakan mencakup

pengukuran suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, klorin yang digunakan, jumlah

bakteri total, serta parameter yang berhubungan dengan panca indera

(organoleptik). Batas kritis menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan

tidak aman sehingga proses produksi dapat dilakukan pada tingkat yang aman.

Batas kritis ini harus selalu dipantau untuk menjamin bahwa CCP dapat

mengendalikan bahaya mikrobiologi, kimia, dan fisik secara efektif.

Prinsip 4. Menetapkan Prosedur Pemantauan (Monitoring)

Monitoring dalam konsep HACCP adalah tindakan dari pengujian atau

observasi yang dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP. Kegiatan

ini untuk menjamin bahwa batas kritis tidak terlampaui. Untuk menyusun

prosedur monitoring pertanyaan-pertanyaan apa yang harus dievaluasi dengan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

22

metode apa, kapan dilakukan, dimana dilakukan, siapa yang melakukan, jumlah

dan frekuensi yang ditetapkan harus terjawab. Monitoring batas kritis ini

ditujukan untuk memeriksa apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada

CCP telah terkendali, efektif dan terencana untuk mempertahankan keamanan

produk.

Prinsip 5. Menetapkan Tindakan Koreksi (Corrective Action)

Tindakan koreksi adalah prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan

ketika ditemukan penyimpangan pada tahap CCP yang melebihi batas kritis.

Kegagalan yang terjadi dalam pengawasan pada CCP, maka tindakan koreksi

harus dilakukan. Tindakan koreksi harus mengurangi atau mengeliminasi potensi

bahaya dan resiko yang terjadi ketika batas kritis terlampaui pada CCP dan

menjamin bahwa penyimpangan yang terjadi tidak mengakibatkan potensi bahaya

yang baru. Setiap tindakan koreksi yang dilaksanakan harus didokumentasikan

untuk tujuan modifikasi suatu proses.

Prinsip 6. Menetapkan Prosedur Verifikasi

Verifikasi adalah unsur yang sangat penting dari HACCP dan harus selalu

disertakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tambahan untuk

meyakinkan produsen (dan inspektur) bahwa aplikasi hasil HACCP dalam

memproduksi makanan yang aman. Pengamatan prosedur dan pengujian,

termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis dapat digunakan untuk

menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi

harus cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif.

Prinsip 7. Menetapkan Cara Pencatatan (Record Keeping)

Pencatatan (record keeping) merupakan elemen penting dari penerapan

HACCP. Catatan tetap memastikan bahwa informasi yang dikumpulkan selama

instalasi, modifikasi dan pengoperasian alur proses produksi mudah diakses oleh

semua orang yang terlibat dalam proses sebagai auditor luar. Dokumentasi dan

pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi. Rekaman

harus termasuk penjelasan CCP telah didefinisikan, deskripsi prosedur

pengendalian dan modifikasi alur, monitoring dan verifikasi data. Data

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

23

penyimpangan dari praktek normal serta tindakan koreksi (Schothorst, V.M

2004).

2.8.2 Penerapan Prinsip-Prinsip HACCP

Menurut BSN (1998) dalam SNI 01-4852-1998 penerapan prinsip-prinsip

HACCP terdiri dari tugas-tugas berikut sebagaimana terlihat pada Gambar 3.

Tahap-tahap penerapan HACCP sebagai berikut:

1) Pembentukan Tim HACCP

Pengembangan rencana HACCP yang efektif dapat dicapai dengan

pembentukan sebuah tim HACCP dari berbagai disiplin ilmu. Jika ada beberapa

keahlian tidak tersedia, maka diperlukan konsultan dari pihak luar. Seluruh

lingkup yang ada harus diidentifikasi oleh program HACCP. Lingkup tersebut

harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang

terlibat secara umum dalam potensi bahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi

semua bahaya atau hanya bahaya tertentu).

2) Deskripsi Produk

Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi mengenai

komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk Aw, pH), perlakuan-perlakuan seperti

perlakuan pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengasapan, keadaan

pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya tahan serta metode

pendistribusiannya.

3) Identifikasi Rencana Penggunaan Produk

Rencana penggunaan harus berdasarkan pada kegunaan-kegunaan produk

untuk pengguna produk atau konsumen. Pengelompokan penggunaan produk

perlu diperhatikan apakah sasaran konsumen untuk dewasa, anak-anak atau balita.

Cara penggunaan produk perlu diinformasikan agar produk tepat dan baik dalam

penggunaannya.

4) Penyusunan Bagan Alur Proses

Tim HACCP menyusun bagan alur proses produksi. Diagram alur harus

memuat segala tahapan dalam operasional produksi. HACCP yang diterapkan

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

24

pada suatu operasi tertentu harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah

operasi tersebut.

5) Konfirmasi Bagan Alur Produksi

Tim HACCP sebagai penyusun bagan alur produksi harus

mengkonfirmasikan cara kerja produksi dengan semua tahapan dan jam operasi

saat produksi serta jika perlu mengadakan perubahan bagan alur produksi

dilapangan bila alur produksi tidak sesuai dengan yang disusun.

6) Pencatatan Semua Bahaya yang Berkaitan dengan Tahapan, Pengadaan Suatu

Analisis Bahaya dan Menyarankan Berbagai Pengukuran Untuk

Mengendalikan Bahaya yang Teridentifikasi

Tim HACCP harus membuat daftar analisis bahaya yang mungkin terdapat

pada tiap tahapan alur produksi dari awal bahan baku, pengolahan dan

menghasilkan produk akhir sampai distribusi ke tangan konsumen. Tim HACCP

harus mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP

dimana bahaya yang mungkin ditemukan, karena sifatnya mutlak semua bahaya

harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga

produksi pangan tersebut dinyatakan aman. Tim HACCP harus

mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang dapat dilakukan untuk

setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian disyaratkan untuk

mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan jika perlu ditemukan satu bahaya yang

harus dikendalikan dengan tindakan pengawasan yang tertentu.

7) Penentuan Titik Kendali Kritis/ Critical Control Point (CCP)

Pengendalian bahaya yang sama mungkin ditemukan lebih dari satu CCP

pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari CCP pada sistem HACCP dapat

dibantu menggunakan Pohon keputusan (Lampiran 4).

8) Penentuan Batas-Batas Kritis (Critical Limits) pada Setiap CCP

Batas-batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP. Beberapa kasus lebih

dari satu batas kritis mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu,

tingkat kelembaban, pH, Aw, keberadaan klorin, dan parameter sensori seperti

kenampakan visual dan tekstur.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

25

9) Penyusunan Sistem Pemantauan untuk Setiap CCP

Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan dari setiap CCP

yang dibandingkan dengan batas kritisnya. Pemantauan dapat memberikan

informasi yang tepat untuk dilakukan perbaikan proses dalam memastikan proses

dapat mencegah bahaya yang melebihi batas kritis. Penyesuaian proses harus

dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan terjadinya

penyimpangan pada suatu CCP. Perubahan proses perlu dilaksanakan sebelum

terjadi penyimpangan.

Data yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi

tugas, berpengetahuan dan berkewenangan untuk melaksanakan tindakan

perbaikan yang diperlukan. Pemantauan yang tidak berkesinambungan harus

dilakukan pemantauan dengan frekuensi yang cukup untuk menjamin CCP dapat

terkendali. Sebagian besar prosedur pemantauan untuk CCP perlu dilaksanakan

secara cepat, karena berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia

waktu lama untuk melaksanakan pengujian analitis. Pengujian yang dilakukan

berupa uji fisik, kimia dan mikrobiologi.

Semua catatan dan dokumen yang terkait dengan kegiatan pemantauan

CCP harus ditanda tangani oleh orang yang melakukan pengamatan dan oleh

petugas yang bertanggung jawab melakukan peninjauan kembali terhadap alur

produksi dalam perusahaan tersebut.

10) Penetapan Tindakan Perbaikan

Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap CCP

dalam sistem HACCP agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi.

Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa CCP telah berada dibawah

kendali dan tindakan harus yang tepat. Penyimpangan dan perubahan prosedur

produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

26

Gambar 3. Urutan Logis Penerapan HACCP

Sumber: BSN (1998)

11) Penetapan Prosedur Verifikasi

Penetapan prosedur verifikasi dapat dipergunakan untuk menentukan

sistem HACCP bekerja secara benar. Prosedur verifikasi ini meliputi metode

audit, verifikasi, pengujian, serta pengambilan contoh secara acak dan analisis.

Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem

HACCP bekerja secara efektif.

Pembentukan Tim HACCP

Deskripsi Produk

Identifikasi Rencana Penggunaan

Penyusunan Bagan Alir

Konfirmasi bagan alir di lapangan

Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang

Berkaitan dengan Analisis Bahaya, Penentuan

Tindakan Pengendalian

Penentuan Titik Pengendalian Kritis

Penentuan Batas Kritis untuk setiap CCP

Penyusunan Sistem Pemantauan untuk setiap CCP

Penetapan Tindakan Perbaikan untuk setiap

Penyimpangan yang terjadi

Penetapan Prosedur Verifikasi

Penetapan Dokumen dan Pencatatan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097030_2_6447.pdf · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

27

12) Penetapan Dokumentasi dan Pencatatan

Pencatatan yang efisien serta akurat merupakan hal penting dalam

penerapan sistem HACCP. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai

sesuai sifat dan besarnya operasi.