bab ii tinjauan pustaka 2.1 kateter hemodialisis ii.pdf · tipe akses vaskular hemodialisis dan...

15
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis Insersi kateter vaskular sebagai akses vaskular merupakan hal yang sudah biasa dilakukan di rumah sakit selama lebih dari 60 tahun. Insersi kateter vaskular bertujuan untuk pemantauan, hemodialisis, nutrisi dan pemberian obat-obatan intravena. Teknik insersi kateter vaskular ini diperkenalkan pertama kali oleh Werner Forssmann pada tahun 1929 (Shah dkk, 2013). Pada tahun 1953, Sven-Ivar Seldinger memperkenalkan teknik pemasangan akses vaskular perkutan dengan bantuan guidewire dan teknik ini dikembangkan oleh Sheldon untuk pemasangan kateter hemodialisis untuk tindakan hemodialisis segera pada tahun 1960 (Schanzer dan Schanzer, 2012). Kateter hemodialisis dibagi dua yaitu kateter hemodialisis non-tunnelled dan tunnelled. Kateter hemodialisis merupakan cara tercepat untuk mendapatkan akses vaskular hemodialisis. Kateter hemodialisis ini merupakan akses vaskular yang bersifat sementara. Penggunaan kateter hemodialisis ditujukan kepada pasien gangguan ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis segera atau pasien penyakit ginjal kronis dengan akses vaskular permanen atau akses peritoneal dialisis yang belum dapat digunakan (Weijmer, 2004). Kateter hemodilisis non-tunnelled telah mengalami perubahan yang besar. Awalnya kateter ini terdiri dari satu lumen kateter, kemudian berkembang menjadi dua lumen (double lumen) dan yang terakhir berkembang menjadi tiga lumen (triple

Upload: tranque

Post on 18-Jun-2018

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kateter Hemodialisis

Insersi kateter vaskular sebagai akses vaskular merupakan hal yang sudah biasa

dilakukan di rumah sakit selama lebih dari 60 tahun. Insersi kateter vaskular

bertujuan untuk pemantauan, hemodialisis, nutrisi dan pemberian obat-obatan

intravena. Teknik insersi kateter vaskular ini diperkenalkan pertama kali oleh

Werner Forssmann pada tahun 1929 (Shah dkk, 2013). Pada tahun 1953, Sven-Ivar

Seldinger memperkenalkan teknik pemasangan akses vaskular perkutan dengan

bantuan guidewire dan teknik ini dikembangkan oleh Sheldon untuk pemasangan

kateter hemodialisis untuk tindakan hemodialisis segera pada tahun 1960 (Schanzer

dan Schanzer, 2012).

Kateter hemodialisis dibagi dua yaitu kateter hemodialisis non-tunnelled dan

tunnelled. Kateter hemodialisis merupakan cara tercepat untuk mendapatkan akses

vaskular hemodialisis. Kateter hemodialisis ini merupakan akses vaskular yang

bersifat sementara. Penggunaan kateter hemodialisis ditujukan kepada pasien

gangguan ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis segera atau pasien penyakit

ginjal kronis dengan akses vaskular permanen atau akses peritoneal dialisis yang

belum dapat digunakan (Weijmer, 2004).

Kateter hemodilisis non-tunnelled telah mengalami perubahan yang besar.

Awalnya kateter ini terdiri dari satu lumen kateter, kemudian berkembang menjadi

dua lumen (double lumen) dan yang terakhir berkembang menjadi tiga lumen (triple

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

8

lumen). Kateter hemodialisis double lumen memiliki dua koaksial lumen arteri dan

vena yang terpisah dan diposisikan dalam satu kateter. Lubang arteri pada ujung

kateter umumnya 2-3 cm proksimal lubang vena.

Kateter hemodialisis non-tunnelled memiliki panjang antara 12-24 cm dan

diameter lumen antara 11-14 French (Fr). Secara umum kateter hemodialisis yang

lebih panjang dipakai pada tempat insersi di vena jugularis kiri atau vena femoralis,

untuk memastikan bahwa ujung kateter terletak pada posisi yang tepat. Diameter

lumen kateter yang lebih besar dapat memberikan volume darah yang lebih besar

pada saat dialisis. Volume darah yang dianjurkan oleh NKF KDOQI adalah lebih

dari 350 ml per menit.

Sebagian besar kateter hemodialisis non-tunnelled dibuat dari polyurethane

yang kaku pada suhu kamar tapi lembut pada suhu tubuh, sehingga mengurangi

resiko kerusakan vaskular. Selain bahan polyurethane, kateter hemodialisis non-

tunnelled juga terbuat dari bahan silikon. Kateter hemodialisis tunnelled umumnya

terbuat dari bahan silikon.

Desain kateter hemodialisis non-tunnelled memiliki beberapa perbedaan pada

ekstensi eksternal. Perbedaan desain ini mempengaruhi kenyamanan pasien dan

resiko infeksi. Ekstensi eksternal ini dapat berbentuk lengkung atau lurus. Kateter

hemodialisis yang diinsersi pada vena jugularis interna sebaiknya menggunakan

yang berbentuk lengkung bertujuan supaya ekstensi eksternal kateter ditempatkan

menjauhi garis rambut sehingga mengurangi resiko infeksi pada hub kateter (Choi

dan Frankel, 2007).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

9

Kateter hemodialisis non-tunnelled sebagai akses vaskular hemodialisis

sementara umumnya dipakai untuk jangka waktu yang singkat. Panduan NKF

KDOQI tahun 1997 menganjurkan pemakaian kateter hemodialisis non-tunnelled

yang diinsersi pada vena femoralis tidak lebih dari lima hari dan tidak lebih dari 21

hari pada vena subclavia atau jugularis interna.

2.2 Definisi

Terdapat beberapa definisi yang berhubungan dengan infeksi akses vaskular

kateter hemodialisis (NKF KDOQI, 2006; Bradley dan Kauffman, 2008)

1. Kateter hemodialisis: kateter yang dipasang pada vena utama yang

berfungsi mengalirkan darah dari pasien ke mesin dialisis dan mengalirkan

kembali ke pasien.

2. Kolonisasi kateter: hasil kultur dari ujung kateter atau hub kateter positif

secara semikuantitatif atau kualitatif, tanpa memperhatikan ada tidaknya

tanda dan gejala infeksi.

3. Catheter-Related Bacteremia: bakteremia pada pasien dengan kateter

vaskular yang disertai atau tanpa manifestasi klinis infeksi.

4. Bloodstream Infection: mikroorganisme yang sama dari hasil kultur

semikuantitatif ujung distal kateter (15 koloni unit per segmen kateter) dan

kultur darah vena perifer atau aspirasi darah dari kateter pada pasien

simptomatik tanpa disertai adanya sumber infeksi dari tempat lain.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

10

5. Infeksi tempat insersi kateter: nyeri, eritema dan atau inflamasi dengan

radius 2 cm dari tempat insersi kateter dengan eksudat dengan atau tanpa

hasil kultur eksudat positif.

6. Tunnel infection: nyeri, eritema atau inflamasi lebih dari 2cm dari tempat

insersi kateter hemodialisis sepanjang jalur subkutan dari tunnelled catheter

dan cairan eksudat yang mungkin keluar dari tempat insersi kateter dengan

hasil kultur eksudat yang positif.

2.3 Epidemiologi Penggunaan Kateter Hemodialisis dan Catheter-Related

Bloodstream Infection

Jumlah pasien penyakit ginjal kronis yang membutuhkan hemodialisis terus

bertambah setiap tahunnya. Berdasarkan US Renal System Data 2011 terdapat lebih

dari 370,000 pasien yang melakukan hemodialisis rutin. Delapan puluh persen dari

pasien ini dilakukan pemasangan kateter hemodialisis untuk akses vaskular pada

hemodialisis pertama kali. Di Malaysia, terdapat 26,000 pasien yang dilakukan

hemodilisis dengan prevalensi 900 per juta populasi pada tahun 2011. Penggunaan

kateter hemodialisis sebagai akses vaskular juga meningkat dari 3% pada 2002

menjadi 8,5% pada tahun 2012 (Abdul Gafor dkk, 2014).

Data pasien penyakit ginjal kronis di Indonesia yang membutuhkan

hemodialisis juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Indonesian Renal

Registry 2012 terdapat 4977 pasien baru hemodialisis pada tahun 2007 dan terus

meningkat menjadi 19,621 pasien baru pada 2012. Penggunaan kateter hemodialisis

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

11

sebagai akses vaskular juga bertambah sejalan meningkatnya pasien baru

hemodialisis dari 3291 pada tahun 2007 menjadi 26,132 pada tahun 2012.

Catheter-Related Bloodstream Infection salah satu komplikasi yang tersering

pada penggunaan kateter hemodialisis. The Centers for Diseases Control and

Prevention (CDC) di Amerika Serikat tahun 2008 melaporkan sekitar 37,000 kasus

Catheter-Related Bloodstream Infection pada pasien hemodialisis. Gunatilake dkk.

(2011) merangkum beberapa penilitian yang menyebutkan bahwa angka kejadian

Catheter-Related Bloodstream Infection 10-40%.

Insiden terjadinya Catheter-Related Bloodstream Infection pada kateter

hemodialisis non-tunnelled antara 3,8-6,5 episode / 1000 kateter-hari dan 1,6-5,5

episode / 1000 kateter-hari untuk kateter hemodialisis tunnelled. Insiden Catheter-

Related Bloodstream Infection pada kateter hemodialisis non-tunnelled yang

diinsersi pada vena femoral akan lebih besar dibandingkan vena jugular interna dan

vena subclavia. Insiden infeksi terkecil bila kateter hemodialisis diinsersi pada vena

subclavia (lihat tabel 2.1) (Saxena dan Panhotra, 2005).

2.4 Patogenesis Bakteremia pada Pasien Hemodialisis

Memahami patogenesis terjadinya bakteremia dapat membantu untuk

menentukan strategi pencegahan dan terapinya. Jabber (2005) menjabarkan ada tiga

faktor yang berpengaruh dalam terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis

yaitu imunitas pasien (disfungsi leukosit, status uremia, kelebihan zat besi),

virulensi bakteri (pembentukan biofilm), dan prosedur hemodialisis (akses vaskular

dan kotaminasinya, penggunaan membran dialisis berulang) (gambar 2.1).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

12

Tabel 2.1. Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena

dan Panhotra, 2005)

Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis (Jabber,

2005)

Beberapa penelitian menunjukkan berbagai faktor resiko yang mempengaruhi

terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis. Hoen dkk. (1998) menunjukkan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

13

penggunaan kateter hemodialisis merupakan faktor resiko utama terjadinya

bakteremia pada pasien hemodialisis. Faktor lain yang berpengaruh pada penelitian

ini adalah riwayat bakteremia dan anemia.

Penelitian yang dilakukan Powe dkk. (1999) menunjukkan hasil yang berbeda

yaitu adanya korelasi usia dan penyakit diabetes mellitus dengan resiko infeksi.

Faktor resiko lainnya adalah penggunaan kateter hemodialisis dan kadar albumin

yang rendah (kurang dari 3,5g/dl). Gupta dkk. (2011), menunjukkan hasil yang

serupa yaitu diabetes mellitus, kadar albumin yang rendah dan pemakaian kateter

hemodialisis merupakan faktor resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis.

Penelitian Gupta juga menunjukkan adanya korelasi antara anemia dan infeki

kateter hemodialisis.

Chiou dkk. (2006) menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan faktor

resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis

dengan kateter hemodialisis. Diabetes melitus merupakan faktor resiko terjadinya

infeksi karena gangguan fungsi imunitas dan defisiensi fungsi fagositosis. Kadar

albumin yang rendah menunjukkan kadar nutrisi yang rendah pada pasien

hemodialisis dan merupakan prediktor mortalitas yang kuat.

Thomson dkk. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan kateter hemodialisis,

kadar CRP yang tinggi dan kadar albumin yang rendah merupakan faktor resiko

infeksi pada pasien dengan kateter hemodialisis dibandingkan dengan arteri-venous

fistula. Penelitian ini juga menunjukkan usia tua dan kadar serum albumin yang

rendah merupakan faktor resiko kematian pada pasien penyakit ginjal kronis.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

14

Choncol (2006) menyatakan bahwa terdapat dua jalur yang mempengaruhi

fungsi neutrofil pada pasien penyakit ginjal kronis yaitu defisiensi neutrofil dan

disfungsi dari jalur metabolik. Berbagai faktor yang mempengaruhi meliputi zat

besi yang berlebih, anemia yang berhubungan dengan penyakit ginjal, peningkatan

Cytosolic calcium, kadar ureum yang tinggi, terapi dialisis dan waktu sejak dialisis

pertama kali.

Penelitian yang dilakukan Ma dkk. (1999) menunjukkan bahwa anemia

merupakan salah satu faktor kematian akibat infeksi pada pasien penyakit ginjal

kronis. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar hematokrit kurang dari 27%

dan 27%-30% memiliki peningkatan resiko kematian akibat infeksi sebesar 82%

dan 25%. Hematokrit yang rendah berhubungan dengan kondisi inflamasi kronis

dan proses infeksi, dimana akan terjadi gangguan respon sumsum tulang terhadap

eritropoetin. Kondisi ini berpotensi menyebabkan peningkatan kadar zat besi dan

gangguan fagositosis leukosit sehingga resiko infeksi dan kematian akibat infeksi

akan meningkat.

Zat besi merupakan elemen essensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat besi

dibutuhkan untuk beberapa proses imun. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan

gangguan imunitas meliputi respon mitogenik limfosit dan fungsi fagositosis

leukosit. Selain tubuh, zat besi juga dibutuhkan oleh bakteri. zat besi yang berlebih

dapat menyebabkan proliferasi mikroorganisme, dimana zat besi merupakan

growth factor pada bakteri secara in vitro (Sunder-Plassmann dkk, 1999)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar zat besi yang berlebih (dinilai

dari kadar serum ferritin) merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pada pasien

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

15

penyakit ginjal kronis. Boeleart dkk. (1990) menunjukkan bahwa kadar serum

ferritin yang lebih dari 1000 mcg/L memiliki resiko 2,92 kali terjadi bakteremia

pada pasien hemodialisis. Sunder-Plassman dkk. (1999) menyatakan bahwa kadar

ferritin yang lebih dari 650 mcg/L mengganggu fungsi fagositosis neutrofil.

Selain faktor-faktor tersebut, terdapat empat jalur patogenik untuk terjadinya

Catheter-Related Bloodstream Infection yaitu

1. Perpindahan flora kulit dari permukaan kulit ke kateter melalui jalur insersi

kateter.

2. Kolonisasi bakteri intralumen kateter karena kontaminasi hub kateter.

3. Penyebabaran hematogen ke kateter hemodialisis yang berasal dari fokus

infeksi di tempat lain.

4. Kontaminasi intralumen kateter hemodialisis karena cairan dari luar.

Cara pertama dan kedua merupakan penyebab terbanyak terjadinya Catheter-

Related Bloodstream Infection (gambar 2.2) (Blankestijn 2001; Safdar dan Maki

2004; Trautner dan Darouiche, 2004)

2.5 Diagnosis

Fletcher (2005) menyatakan bahwa kecurigaan terjadinya Catheter-Related

Bloodstream Infection pada pasien dengan kateter hemodialisis berdasarkan

kriteria:

1. Tanda infeksi pada tempat insesri kateter

2. Tanda dan gejala klinis SIRS

3. Resolusi tanda dan gejala klinis SIRS setelah pelepasan kateter

4. Kultur darah positif

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

16

5. Kultur ujung distal kateter

Gambar 2.2 Patogenesis perpindahan kuman dari kulit ke intralumen dan

ekstralumen pada kateter hemodialisis (Saxena dan Panhotra, 2005)

Secara praktis, untuk menegakkan diagnosis CRBSI berdasarkan dari satu atau dua

kriteria diatas. Gold standard dalam menegakkan diagnosis Catheter-Related

Bloodstream Infection adalah mikroorganisme yang sama antara kultur darah dan

kultur ujung distal kateter.

Shah dkk. (2013) menyatakan bahwa diperlukan minimal dua buah kultur

darah bila curiga adanya infeksi pada kateter. Dua buah kultur darah diambil

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

17

melalui punksi vena perifer bila ujung distal kateter (5cm) juga dilakukan kultur.

Alternatif lain bila ujung distal kateter tidak dikultur adalah satu buah kultur darah

yang dipunksi dari vena perifer dan minimal satu buah kultur darah yang diambil

dari lumen kateter. Untuk mengurangi kontaminasi kultur darah, kulit dan hub

kateter dibersihkan dengan iodine atau alkohol chlorhexidine dan dibiarkan kering

sebelum pengambilan spesimen.

Hasil kultur darah yang diambil melalui kateter hemodialisis yang positif

menunjukkan adanya kolonisasi mikroorganisme atau kontaminasi hub kateter

dibandingkan bloodstream infection. Untuk menunjukkan adanya bloodstream

infection dari darah yang diambil dari kateter hemodialisis diperlukan metode

kultur kuntitatif. Metode ini menyatakan hasil kultur yang positif bila jumlah koloni

yang diisolasi dari darah yang diambil melalui kateter hemodialisis minimal lima

kali lebih banyak dibandingkan kultur darah perifer (Blankestijn, 2001).

Mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi akses vaskular umumnya berasal

dari kulit. Mikroorganisme Gram positif merupakan penyebab terbanyak CRBSI

dan yang paling sering ditemukan adalah Staphylococci (Staphylococcus aureus

dan Staphylococci coagulase-negatif). Mikroorganisme Gram negatif yang paling

banyak ditemukan adalah enterococci dan bacilli gram-negatif aerob (lihat tabel

2.2). (Gunatilake, 2011; Shah dkk, 2013)

2.6 Pencegahan

Tindakan pencegahan terjadinya CRBSI telah banyak berkembang. Dasar

strategi pencegahan adalah mencegah terjadinya kolonisasi mikroorganisme pada

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

18

permukaan luar kateter dan lumen kateter. Tindakan pencegahan dimulai sejak

pemasangan kateter hemodialisis, perawatan kateter dan prosedur hemodialisis

yang asepsis.

Tabel 2.2 Jenis kuman penyebab catheter-related bloodstream infection (Saxena

dan Panhotra, 2005)

Tindakan aseptik dan antiseptik saat pemasangan kateter hemodialisis awalnya

menggunakan alkohol 70% atau povidon iodine kemudian berkembang

menggunakan chlorhexidine. NKF KDOQI 2006 merekomendasikan penggunaan

antibacterial scrub dan air yang diikuti membersihkan kulit menggunakan

chlorhexidine 2%-alkohol atau alkohol 70%. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa pemakaian chlorhexidine 2%-alkohol memberikan tingkat infeksi luka

opersi yang lebih rendah dibandingkan povidone iodine. (Gunatilake dkk, 2011)

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

19

Tempat insersi kateter hemodialisis pada jugular atau subclavian termasuk

prosedur pencegahan terjadinya CRBSI. Beberapa penelitian sudah menunjukkan

tingginya insiden CRBSI pada kateter hemodialisis yang diinsersi di daerah

femoral. Insiden infeksi kateter hemodialisis yang diinsersi di daerah femoral

mencapai 7 episode / 1000 hari kateter dibandingkan 5,6 episode / 1000 hari kateter

pada vena jugular interna dan 2,7 episode / 1000 hari kateter pada vena subclavia

(lihat table 2.1). (Saxena dan Panhotra, 2005)

Pemakaian antimikrobial topikal pada tempat insersi kateter hemodialisis

memberikan hasil yang cukup memuaskan dalam mengurangi episode infeksi.

Gunatilake dkk. (2011) menunjukkan efektifitas penggunaan antimikrobial topikal

untuk bakteri Gram positf (mupirocin) dapat mengurangi angka kejadian Catheter-

Related Bacteremia. O’Grady dkk. (2011) menyatakan bahwa pemakaian

antimikrobial topikal dapat meningkatkan kolonisasi dan infeksi candida karena

rendahnya tingkat antijamur pada antimikrobial topikal.

Pemakaian antimikrobial lock merupakan salah satu tindakan pencegahan

Catheter-Related Bloodstream Infection. Teknik ini menggunakan cairan

antimikrobial untuk mengisi lumen kateter selama tidak dipergunakan untuk

hemodialisis. Cairan antimikrobial dalam berbagai konsentrasi dipakai sebagai

agen tunggal atau dikombinasi dengan cairan antiseptik lain (citrate, taurolidine

atau alkohol). Cairan antimikrobial ini selalu dicampur dengan antikoagulant

seperti heparin atau EDTA. Cairan antimikrobial yang dapat dipakai meliputi

vancomycin, gentamicin, ciprofloxacin, minocycline, amikacin, cefazolin,

cefotaxime, dan ceftazidime. (O’Grady dkk, 2011)

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

20

Dua penelitian meta analisis tentang antimikrobial lock menunjukkan hasil

yang lebih baik dalam mencegah terjadinya CRBSI dibandingkan dengan heparin

lock (lihat tabel 2.3). Penelitian ini menunjukkan penurunan angka CRBSI dan

secara signifikan dapat menurunkan angka pelepasan kateter karena komplikasi.

(Labriola dkk, 2008; Yahav dkk, 2008)

Tabel 2.3 Perbandingan pemakaian antimikrobial lock dan heparin lock dalam

mencegah terjadinya catheter-related bacteremia (Labriola dkk, 2008)

Beberapa penelitian menunjukkan antimokrobial lock terbukti menurunkan

jumlah kolonisasi mikroorganisme pada lumen kateter sehingga mengurangi

episode bakteremia. Dosis Antimikrobial yang diperlukan untuk antimikrobial lock

(10mg/ml cefazolin, ceftazidime dan vancomycin; dan 5mg/ml gentamycin) lebih

rendah dibandingkan dosis sitemik untuk mencegah terjadinya kolonisasi

mikroorganisme selama periode inter dialisis (48-72 jam). Secara teoritis,

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis II.pdf · Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya

21

antimikrobial lock memiliki keuntungan yang banyak dibandingkan pemberian

antimikrobial sistemik yaitu konsentrasi antimikrobial yang lebih tinggi pada

sumber infeksi, efek samping antimikrobial yang lebih rendah, resiko minimal

terjadinya resistensi obat dan mudah dikerjakan untuk pasien rawat jalan. (Saxena

dan Panhotra, 2005)

Beberapa penelitian menggunakan gentamicin sebagai antimikrobial lock

menunjukkan efektifitas yang tinggi dalam mencegah CRBSI dibandingkan heparin

lock. Dosis gentamicin yang dipakai bervariasi mulai dari 4mg/ml sampai 40mg/ml

dan semua menunjukkan efektifitas yang sama. (Yahav dkk, 2008; Labriola dkk,

2008).