bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 hakekat ......bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakekat Manajemen
2.1.1.1 Pengertian Manajemen
Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-
sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai suatu tujuan tertentu (Hasibuan, 2005: 54).
Istilah manajemen memiliki berbagai pengertian.
Secara universal manajemen adalah penggunaan
sumberdaya organisasi untuk mencapai sasaran dan
kinerja yang tinggi dalam berbagai tipe organisasi profit
maupun non profit. Slameto (2009: 1) mendefinisikan
manajemen adalah suatu proses kegiatan yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan,
pengkoordinasian dan pengawasan dengan
menggunakan berbagai sumber daya secara efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pendapat tersebut kurang lebih mempunyai arti bahwa
manajemen merupakan satu atau lebih manajer yang
secara individu maupun bersama-sama menyusun dan
mencapai tujuan organisasi dengan melakukan fungsi -
fungsi terkait (perencanaan, pengorganisasian,
penyusunan staf, pengarahan dan pengawasan) dan
mengkoordinasi berbagai sumber daya (informasi
material uang dan orang). Menurut Mary Parker Follet
(dalam Handoko, 2003: 8), manajemen merupakan seni
dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut bisa
disimpulkan bahwa manajemen merupakan seni
mengatur SDM untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan, dimana para manajer mencapai tujuan -
tujuan organisasi melalui pengaturan orang-orang lain
untuk melaksanakan berbagai tugas yang mungkin
diperlukan.
2.1.1.2 Fungsi Manajemen
Menurut (Hasibuan, 2005: 37), fungsi-fungsi
manajemen sebagai berikut:
1. Supaya sistematika urutan pembahasannya lebih
teratur.
2. Agar analisis pembahasannya lebih mudah dan
lebih mendalam.
3. Untuk menjadi pedoman pelaksanaan proses
manajemen bagi manajer.
Fungsi-fungsi manajemen adalah serangkaian
kegiatan yang dijalankan dalam manajemen
berdasarkan fungsinya masing-masing dan mengikuti
satu tahapan-tahapan tertentu dalam pelaksanaannya.
Secara komprehensif, fungsi manajemen terdiri dari 4
tahap yang biasa dikenal dengan istilah POAC
(Planning, organizing, actuating, controlling).
Sebagaimana kegaitan- kegiatan berikut.
1) Fungsi Perencanaan (Planning)
a. Menetapkan tujuan dan target bisnis.
b. Merumuskan strategi untuk mencapai tujuan
dan target bisnis tersebut.
c. Menentukan sumber-sumber daya yang
diperlukan.
d. Menetapkan standar/indikator keberhasilan
dalam pencapaian tujuan dan target bisnis.
2) Fungsi Pengorganisasian (Organizing)
a. Mengalokasikan sumber daya, merumuskan
dan menetapkan tugas, dan menetapkan
prosedur yang diperlukan.
b. Menetapkan struktur organisasi yang
menunjukkan adanya garis kewenangan dan
tanggung jawab.
c. Kegiatan perekrutan, penyeleksian, pelatihan,
dan pengembangan sumber daya
manusia/tenaga kerja.
d. Kegiatan penempatan sumber daya manusia
pada posisi yang paling tepat.
3) Fungsi pengimplementasian (Directing)
a. Mengimplementasikan proses
kepemimpinan, pembimbingan, dan
pemberian motivasi kepada tenaga kerja
agar dapat bekerja secara efektif dan efisien
dalam pencapaian tujuan.
b. Memberikan tugas dan penjelasan rutin
mengenai pekerjaan menjelaskan kebijakan
yang ditetapkan.
4) Fungsi Pengawasan (Controlling)
a. Mengevaluasi keberhasilan dalam
pencapaian tujuan dan target bisnis sesuai
dengan indikator yang telah ditetapkan
b. Mengambil langkah klarifikasi dan koreksi
atas penyimpangan yang mungkin
ditemukan.
c. Melakukan berbagai alternatif solusi atas
berbagai masalah yang terkait dengan
pencapaian tujuan dan target bisnis
(Trisnawati, 2005: 8).
Berdasar uraian tersebut bisa disimpulkan
bahwa dalam manajemen terdapat 4 hal pokok
tahapan untuk mencapai tujuan yaitu planning,
organizing, actuating, dan controlling.
2.1.2 Hakekat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2.1.2.1 Konsep Manajemen Berbasis Sekolah
1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah Manajemen berbasis Sekolah
merupakan terjemahan dari “School Based
Management”. Istilah ini pertama kali muncul di
Amerika Serikat ketika masyarakat mulai
mempertanyakan relevansi pendidikan dengan
tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat
(Ibtisam, 2004: 7).
Menurut Mulyasa (2014: 24), MBS
merupakan salah satu wujud dari reformasi
pendidikan yang menawarkan kepada sekolah
untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik
dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi
dalam manajemen merupakan potensi bagi
sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff,
menawarkan partisipasi langsung kelompok-
kelompok yang terkait, dan meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Manajemen Berbasis Sekolah menurut Suparman
(2001:1) adalah : “Penyerasian sumber daya yang
dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan
melibatkan semua kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah secara langsung dalam
proses pengambilan keputusan untuk
memahami kebutuhan mutu sekolah atau untuk
mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan
nasional”.
Dari beberapa definisi di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa Manajemen Berbasis
Sekolah merupakan model penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan keleluasaan
kepada sekolah untuk menyusun dan
melaksanakan program pendidikan di sekolah
sesuai dengan kebutuhannya melalui
pemberdayaan sumber-sumber daya yang ada
termasuk partisipasi masyarakat sehingga lebih
mencerminkan adanya upaya peningkatan
pemberian pelayanan penyelenggaraan
pendidikan secara demokratis, transparan dan
akuntabel secara nyata untuk mencapai tujuan
pendidikan yang lebih efisien dan efektif tanpa
mengesampingkan tujuan Pendidikan Nasional.
2. Ciri-Ciri MBS
Menurut Nurkolis (2003: 25), ciri-ciri
Manajemen Berbasis Sekolah adalah:
1. Adanya otonomi yang kuat pada tingkat
sekolah.
2. Adanya peran serta aktif masyarakat dalam
pendidikan.
3. Proses pengambilan keputusan yang
demokratis, berkeadilan, menjunjung
tinggi akuntabilitas dan transparansi
dalam setiap kegiatan pendidikan.
4. Menggerakkan sumber daya yang ada
secara efektif.
5. Memahami peran dan tanggung jawab yang
sungguh-sungguh.
6. Mendapat dukungan birokrasi/instansi
atasannya.
7. Meningkatkan kinerja sekolah untuk
mencapai tujuan.
8. Diawali dengan sosialisasi konsep-konsep
MBS, pelatihan pelatihan MBS,
implementasi pada proses pembelajaran,
evaluasi atas pelaksanaan di lapangan dan
dilakukan perbaikan-perbaikan.
3. Tujuan MBS
Menurut Mulyasa (2014: 25), MBS bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan
pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi
diperoleh melalui keleluasaan mengelola
sumberdaya partisipasi masyarakat dan
penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu
dapat diperoleh melalui partisipasi orang tua
terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah
dan kelas, serta peningkatan profesionalisme guru
dan kepala sekolah. Peningkatan pemerataan
diperoleh melalui peningkatan partisipasi
masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih
berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
Sementara menurut Suparman (2001: 2), bahwa
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
bertujuan terciptanya sekolah yang mandiri
dengan tujuan sebagai berikut:
a) Pengelolaan sekolah akan lebih desentralistik.
b) Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh
motivasi internal.
c) Regulasi pendidikan menjadi lebih sederhana.
d) Peranan pengawas bergeser dari mengontrol
menjadi mempengaruhi.
e) Peningkatan manajemen.
f) Dalam bekerja, akan menggunakan team
work.
g) Manajemen sekolah akan lebih menggunakan
pemberdayaan dan struktur organisasi.
Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan
untuk memandirikan atau memberdayakan
sekolah melalui pemberian kewenangan,
keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan
mutu sekolah. Dengan kemandirian MBS maka
diharapkan:
1) Sekolah lebih mengetahui kekuatan dan
kelemahan.
2) Sekolah dapat mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia.
3) Sekolah lebih mengetahui input pendidikan
yang akan dikembangkan.
4) Sekolah dapat bertanggung jawab tentang
mutu pendidikan.
5) Sekolah dapat melakukan persaingan
sehat dengan sekolah-sekolah lainnya.
(Suparman, 1999: 3)
4. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki
karakteristik khusus yang perlu dipahami oleh
pihak sekolah yang akan menerapkannya
sebagai program kurikulum utama. Sekolah
yang menginginkan keberhasilan dalam
menerapkan MBS harus memiliki karakteristik.
Menurut Slameto (2009: 62-72) terdapat 4
karakteristik dalam pelaksanaan MBS di suatu
sekolah, sebagai berikut:
a. Mampu memberikan otonomi dan
kemandirian kepada sekolah.
b. Mampu mendorong terciptanya proses
pengambilan keputusan partisipatif.
c. Mampu melibatkan secara
langsung/memberdayakan semua warga
sekolah.
d. Tetap menggunakan standar pelayanan yag
ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi,
kota/kabupaten.
Hal ini juga berdasakan konsep Manajemen
Pendidikan Berbasis Sekolah (MPMBS, 2001: 11-
20) bahwa untuk keberhasilan penerapan MBS
hendaknya memiliki karakteristik MBS dengan
menggunakan pendekatan sistem input-proses-
output.
1) Output yang diharapkan
Output merupakan sesuatu yang
dihasilkan dari proses pendidikan di sekolah
yang biasa berupa prestasi sekolah. Kinerja
sekolah diukur dari kualitasnya, efektivitasnya,
produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya,
kualitas kehidupan kerja dan kondusivitas kerja
di lingkungan sekolah.
2) Proses
a. Efektifitas proses belajar mengajar yang
tinggi
b. Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat
c. Lingkungan Sekolah yang Aman dan
Tertib
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang
efektif.
e. Sekolah memiliki budaya mutu
f. Sekolah memiliki “Team Work” yang
kompak, cerdas dan dinamis.
g. Sekolah memiliki kewenangan /
kemandirian
h. Partisipasi warga sekolah dan
masyarakat
i. Sekolah memiliki keterbukaan
(transparansi) manajemen
j. Sekolah memiliki kemampuan untuk
berubah
k. Sekolah melakukan evaluasi dan
perbaikan secara berkelanjutan
l. Sekolah responsif dan antisipasif
terhadap kebutuhan
m. Sekolah memiliki komunikasi yang baik
n. Sekolah memiliki akuntabilitas
o. Sekolah memiliki suistainabilitas
3) Input Pendidikan
a. Memiliki kebijakan mutu
b. Sumber daya tersedia lengkap
c. Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi
d. Memiliki harapan prestasi yang tinggi
e. Fokus pada pelanggan.
4) Input Manajemen
Kepala sekolah dalam mengatur dan
mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah
input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan
input manajemen akan membantu kepala
sekolah untuk mengelola sekolahnya dengan
efektif. Mulyasa (2014: 3) menyebutkan bahwa
jika sekolah ingin sukses melaksanakan
manajemen berbasis sekolah, maka sekolah
perlu memiliki karakteristik manajemen
berbasis sekolah.
Kesimpulan yang diperoleh dari uraian di
atas adalah pendekatan yang digunakan dimulai
dari output dan diakhiri dengan input
mengingat output memiliki tingkat
kepentingan tertinggi, sedangkan proses
memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih
rendah dari output, dan input memiliki tingkat
kepentingan dua tingkat lebih rendah dari
output. Karakteristik manajemen berbasis
sekolah bisa diketahui antara lain dari
bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan
kinerja organisasi sekolah, proses kegiatan
belajar mengajar, pengelolaan sumber daya
manusia dan administrasinya.
5. Pilar Utama Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
merupakan model pengelolaan sekolah yang
mengintegrasikan seluruh sumber internal
dan eksternal dengan lebih menekankan pada
pentingnya menetapkan kebijakan melalui
perluasan otonomi sekolah. MBS penting
(peranannya) diterapkan di sekolah untuk
meningkatkan kinerja sekolah dengan prinsip
MBS yang baik. Hubungan antara pilar-pilar
MBS adalah merupakan satu kesatuan
seperti sistem yang penting guna mencapai
suatu tujuan secara efektif dan efisien.
Menurut Mulyasa (2014: 125) pilar-pilar MBS
yaitu:
a. Manajemen sekolah,
b. Pembelajaran aktif kreatif dan
menyenangkan (PAKEM), dan
c. Peran serta masyarakat.
Manajemen sekolah adalah segala
proses pendayagunaan semua komponen baik
komponen manusia maupun non manusia
yang dimiliki sekolah dalam rangka mencapai
tujuan secara efisien. Manajemen sekolah
memerlukan suatu tranparansi,
akuntabilitas, serta partisipasi tidak hanya
dari pihak internal saja melainkan juga dari
pihak eksternal. Sekolah yang paling berhasil
& diminati masyarakat adalah sekolah yang
kepala sekolah, guru, dan masyarakatnya
bekerjasama secara aktif mengembangkan
sekolah. Dari kajian data hasil monitoring
tentang presentase pilar-pilar s/d 2008 Pada
8 Kab/Kota Kerjasama Unicef/Unesco dalam
MBS: bahwa ketiga pilar MBS yaitu
manajemen sekolah, PAKEM, dan peran serta
masyarakat hendaknya terus dan semakin
ditingkatkan guna mencapai pendidikan yang
bermutu baik kualitas pembelajaran,
kurikulum, Sumber Daya Manusia, maupun
tenaga kependidikan lainnya, dan pelayanan
pendidikan.
PAKEM merupakan inovasi
pembelajaran yang menekankan keaktifan
siswa pada setiap kegiatan pembelajaran.
PAKEM singkatan dari pembelajaran aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan
adanya inovasi pembelajaran ini, siswa
diharapkan untuk lebih aktif dan kreatif
dalam setiap kegiatan pembelajaran. Suasana
pembelajaran PAKEM yang menyenangkan,
akan menciptakan kepercayaan diri dari
siswa dengan tidak merasa tegang dan
pembelajaran yang berlangsung tidak terasa
membosankan. Berdasarkan data monitoring
tersebut bahwa pilar PAKEM, yaitu mengenai
proses belajar mengajar dimana memiliki
presentase yang lebih rendah dibanding pilar
lainnya. Di sini berarti peran guru sebagai
dewan pengajar dan pendidik dituntut untuk
meningkatkan kemampuan atau
kompentensinya guna menciptakan
pembelajaran yang PAKEM. Dalam PAKEM
guru dituntut kreatif dalam menciptakan
pembelajaran yang efektif tapi tetap
menyenangkan sehingga siswa ikut terlibat
aktif. Berbagai pihak harus bekerja sama
demi mewujudkan dan meningkatkan mutu
pendidikan.
Seiring dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi dewasa ini, warga
sekolah terutama guru dan siswa akan sangat
terbantu dalam mengembangkan dan
mengatasi permasalahan pembelajaran.
Setiap siswa memiliki minat, bakat dan
kemampuan yang berbeda. Hal ini tidak perlu
dikhawatirkan karena berbagai metode
pembelajaran sangat mudah diperoleh
melalui pemanfaatan ICT oleh guru dan
siswa. Dalam proses pembelajaran ini tentu
saja siswa menjadi pusat perhatian atau
pemeran utamanya dan guru menjadi
sutradaranya. Untuk mencapai pembelajaran
yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
perlu usaha serius, karena dibutuhkan guru
yang aktif dan kreatif pula.
Peran serta masyarakat adalah ikut
sertanya seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan permasalahan permasalahan
masyarakat tersebut. Dalam Manajemen
Berbasis Sekolah peran serta masyarakat
berarti partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan sekolah tersebut.
2.1.3 Pembelajaran Model PAKEM
2.1.3.1 Pengertian PAKEM
Joyce & Weil (dalam Hermawan, 2006:
3), mengatakan bahwa model pembelajaran
adalah suatu rencana atau pola yang digunakan
untuk membentuk kurikulum (rencana
pembelajaran jangka panjang), merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing
pembelajaran di kelas.
PAKEM adalah sebuah pendekatan yang
memungkinkan peserta didik mengerjakan
kegiatan beragam untuk mengembangkan
ketrampilan, sikap, dan pemahamannya dengan
penekanan belajar sambil bekerja. Sementara,
guru menggunakan berbagai sumber dan alat
bantu belajar, termasuk pemanfaatan
lingkungan, supaya pembelajaran lebih menarik,
menyenangkan, dan efektif (Asmani, 2013 : 59).
PAKEM berasal dari konsep bahwa pembelajaran
harus berpusat pada anak (student centre
learning) dan pembelajaran harus bersifat
menyenangkan (learning is fun), agar mereka
termotivasi untuk terus belajar sendiri tanpa
diperintah dan agar mereka tidak merasa
terbebani atau takut (Rusman, 2010: 321). Lebih
lanjut menurut (Rusman, 2010: 323), dalam
model PAKEM guru dituntut untuk dapat
melakukan kegiatan pembelajaran yang dapat
melibatkan siswa melalui partisipatif, aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan yang pada
akhirnya membuat siswa dapat menciptakan
membuat karya, gagasan, pendapat, ide atas
hasil penemuannya dan usahanya sendiri, bukan
dari gurunya.
Menurut Asmani (2013: 56), model PAKEM
ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Multi metode dan multi media,
b. Praktik dan bekerja dalam satu tim,
c. Memanfaatkan lingkungan sekitar,
d. Dilakukan di dalam dan luar kelas, serta
e. Multi aspek (logika, praktik, dan etika).
Untuk itu, maka aspek learning is fun
menjadi salah satu aspek dalam pembelajaran
PAKEM, disamping upaya untuk terus
memotivasi anak agar mereka mengadakan
eksplorasi, kreatif, dan bereksperimen terus
dalam pembelajaran.
Disamping itu, PAKEM adalah
penerjemahan dari pilar pendidikan yang di
canangkan oleh UNESCO:
1. Learning to know, yaitu mempelajari ilmu
pengetahuan berupa aspek kognitif dalam
pembelajaran.
2. Learning to do, yaitu belajar melakukan yang
merupakan aspek pengalaman dan
pelaksanaannya.
3. Learning to be, yaitu belajar menjadi diri
sendiri berupa aspek kepribadian dan
kesesuaian dengan diri anak ( ini juga sesuai
dengan konsep “multiple intelligent”,
4. learning to life together, yaitu belajar hidup
dalam kebersamaan yang merupakan aspek
kesosialan anak, bagaimana bersosialisasi,
dan bagaimana hidup toleransi dalam
keberagaman yang ada di sekeliling siswa.
2.1.3.2 Aspek dalam PAKEM
Sebagaimana telah kita ketahui PAKEM
merupakan kependekan dari Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Dari kata-
kata itulah kita dapat mengetahui ciri-ciri atau
karakteristik sebagai aspek utama dari PAKEM
sebagai berikut.
1. Aktif
Ciri pertama pembelajaran model PAKEM
adalah aktif. Maksudnya pembelajaran model
ini memungkinkan peserta didik berinteraksi
secara aktif dengan lingkungan, memanipulasi
obyek-obyek yang ada di dalamnya dan
mengamati pengaruh dari manipulasi obyek-
obyek tersebut. Dalam hal ini guru pun terlibat
secara aktif, baik dalam merancang,
melaksanakan, dan mengevaluasi proses
pembelajarannya.
Menurut Asmani (2013: 60) mengatakan
bahwa yang dimaksudkan dengan
pembelajaran aktif adalah guru harus
menciptakan suasana sedemikian rupa,
sehingga siswa aktif bertanya,
mempertanyakan dan mengemukakan
gagasan. Lebih lanjut menurut Rusman (2010:
324), pembelajaran aktif adalah pembelajaran
yang lebih banyak melibatkan aktivitas siswa
dalam mengakses berbagai informasi dan
pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam
proses pembelajaran di kelas, sehingga
mereka mendapatkan berbagai pengalaman
yang meningkatkan pemahaman dan
kompetensinya.
2. Kreatif
Menurut Asmani (2013: 60),
pembelajaran kreatif adalah suatu
pembelajaran yang dimaksudkan agar guru
menciptakan kegiatan belajar yang beragam,
sehingga memenuhi berbagai tingkat
kemampuan siswa. Uno (2013: 12),
pembelajaran kreatif adalah salah satu strategi
pembelajaran yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir siswa.
Sementara menurut Indrawati (2009: 14),
pembelajaran kreatif merupakan proses
pembelajaran yang menstimulus siswa untuk
mengembangkan gagasannya dengan
memanfaatkan sumber belajar yang ada.
Maksudnya pembelajarannya membangun
kreativitas peserta didik dalam berinteraksi
dengan lingkungan, bahan ajar, dan sesama
peserta didik, utamanya dalam menghadapi
tantangan atau tugas-tugas yang harus
diselesaikan dalam pembelajaran.
Dalam hal ini, guru pun dituntut untuk
kreatif dalam merancang dan melaksanakan
pembelajaran model PAKEM ini.
Pada umumnya, berpikir kreatif memiliki
empat tahapan sebagi berikut (Mulyasa, 2006:
192), yaitu:
a) Tahapan pertama; persiapan, yaitu proses
pengumpulan informasi untuk diuji.
b) Tahap kedua; inkubasi, yaitu suatu
rentang waktu untuk merenungkan
hipotesis informasi tersebut sampai
diperoleh keyakinan bahwa hipotesis
tersebut rasional.
c) Tahap ketiga; iluminasi, yaitu suatu
kondisi untuk menemukan keyakinan
bahwa hipotesis tersebut benar, tepat dan
rasional.
d) Tahap keempat; verifikasi, yaitu pengujian
kembali hipotesis untuk dijadikan sebuah
rekomendasi, konsep, atau teori.
Siswa dikatakan kreatif apabila mampu
melakukan sesuatu yang menghasilkan
sebuah kegiatan baru yang diperoleh dari hasil
berpikir kreatif dengan mewujudkannya dalam
bentuk sebuah hasil karya baru.
3. Efektif
Menurut Uno (2013: 13), pembelajaran
efektif adalah salah satu strategi pembelajaran
yang diterapkan guru dengan maksud untuk
menghasilkan tujuan yang telah ditetapkan.
Sementara menurut Asmani (2013: 60),
pembelajaran efektif berarti suatu proses
pembelajaran yang memberi makna bagi siswa.
Proses pelaksanaan pembelajaran efektif
dilakukan melalui prosedur sebagai berikut:
(1) melakukan appersepsi,
(2) melakukan eksplorasi, yaitu
memperkenalkan materi pokok dan
kompetensi dasar yang akan dicapai, serta
menggunakan variasi metode,
(3) melakukan konsolidasi pembelajaran, yaitu
mengaktifkan siswa dalam pembentukan
kompetensi siswa dan mengaitkannya
dengan kehidupan siswa,
(4) melakukan penilaian, yaitu mengumpulkan
fakta-fakta dan data/dokumen belajar
siswa yang valid untuk melakukan
perbaikan program pembelajaran.
4. Menyenangkan
Ciri keempat pembelajaran model ini
adalah menyenangkan. Maksudnya,
pembelajaran model PAKEM dirancang dapat
menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan. Dengan suasana pembelajaran
yang menyenangkan diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar peserta didik. Rose
and Nicholl (dalam Asmani, 2013: 84)
mengatakan bahwa pembelajaran yang
menyenangkan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a) Menciptakan lingkungan tanpa stress,
lingkungan yang aman untuk melakukan
kesalahan, namun harapan untuk sukses
tetap tinggi.
b) Menjamin bahwa bahan ajar itu relevan. Anda
ingin belajar ketika Anda melihat manfaat dan
pentingnya bahan ajar.
c) Menjamin bahwa belajar secara emosional
adalah positif, yang pada umumnya hal itu
terjadi ketika belajar dilakukan bersama
dengan orang lain, ketika ada humor dan
dorongan semangat , waktu rehat dan jeda
teratur, serta dukungan antusias.
d) Melibatkan secara sadar semua indera dan
juga pikiran otak kiri dan otak kanan.
e) Menantang peserta didik untuk dapat berpikir
jauh ke depan dan mengekspresikan apa yang
sedang dipelajari dengan sebanyak mungkin
kecerdasan yang relevan untuk memahami
bahan ajar.
f) Mengkonsolidasikan bahan yang sudah
dipelajari dengan meninjau ulang dalam
periode-periode yang relaks.
2.1.3.3 Proses Pembelajaran model PAKEM.
a. Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran adalah
suatu proses dan cara berfikir mengenai
sesuatu hal yang akan dilakukan dengan
tujuan agar diri seseorang dapat berubah.
Perubahan tersebut mencakup aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik (Suwardi, 2007: 30).
Dengan konsep ini, hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung lebih alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan transfer pengetahuan dari
guru ke siswa.
Perencanaan dalam sebuah
pembelajaran sangatlah penting dipersiapkan
oleh guru di awal, supaya pembelajaran
benar-benar terencana dan terprogram
dengan baik. Guru tentunya harus
mempersiapkan program tahunan (prota),
program semester (promes), silabus dan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Pemilihan metode pembelajaran juga menjadi
prioritas awal yang harus dicermati oleh guru
supaya pembelajaran bisa berjalan dengan
baik, lancar serta tepat sasaran.
Perencanaan pembelajaran adalah
rancangan pembelajaran mata pelajaran per
unit yang akan diterapkan guru dalam
pembelajaran di kelas. Bagi guru, rencana
pengajaran ini berfungsi sebagai acuan untuk
melaksanakan proses belajar mengajar di
kelas agar lebih efisien dan efektif (Uzer
Usman, 2008: 61). Berdasarkan RPP inilah
seorang guru (baik yang menyusun RPP itu
sendiri maupun yang bukan) diharapkan bisa
menerapkan pembelajaran secara terprogram.
Karena itu, RPP harus mempunyai daya terap
(aplicable) yang tinggi. Tanpa perencanaan
yang matang, mustahil target pembelajaran
bisa tercapai secara maksimal. Pada sisi lain,
melalui RPP pun dapat diketahui kadar
kemampuan guru dalam menjalankan
profesinya.
Menurut Uzer Usman (2008: 65), secara
teknis rencana pembelajaran minimal
mencakup komponen-komponen berikut:
1) Standar kompetensi, kompetensi dasar, dan
indikator pencapaian hasil belajar.
2) Tujuan pembelajaran.
3) Materi pembelajaran.
4) Pendekatan dan metode pembelajaran.
5) Langkah-langkah kegiatan pembelajaran.
6) Alat dan sumber belajar.
7) Evaluasi pembelajaran.
Persiapan pembelajaran ini dikenal
dengan perencanaan, yakni suatu cara yang
memuaskan untuk membuat kegiatan dapat
berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai
langkah yang antisipatif guna memperkecil
kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan
tersebut mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Uno, 2008: 2). Perencanaan
pembelajaran ini harus sesuai dengan konsep
pendidikan dan pembelajaran yang dianut
dalam kurikulum (Syaodih dan Ibrahim, 2003:
51).
Uno (2008: 3) menyatakan bahwa upaya
perencanaan pembelajaran dilakukan dengan
asumsi.
1) Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran
perlu diawali dengan perencanaan
pembelajaran yang diwujudkan dengan
adanya desain pembelajaran
2) Untuk merancang suatu pembelajaran
perlu dilakukan pendekatan sistem
3) Perencanaan desain pembelajaran
diacukan pada bagaimana seseorang
belajar.
4) Untuk merencanakan suatu desain
pembelajaran diacukan pada siswa secara
perorangan
5) Sasaran akhir dari perencanaan desain
pembelajaran adalah mudahnya siswa
untuk belajar.
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Tahap pelaksanaan pembelajaran
merupakan tahap implementasi perencanaan
dalam proses pembelajaran yang memiliki
posisi cukup penting. Oleh karenanya, perlu
mendapat perhatian guru sehingga terjadi
interaksi yang optimal antara guru dengan
siswa. Hal ini juga dikemukakan oleh
Rustaman (2001: 461), bahwa proses
pembelajaran adalah proses yang di dalamnya
terdapat kegiatan interaksi antara guru-siswa
dan komunikasi timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan belajar. Dalam proses
pembelajaran, guru dan siswa merupakan dua
komponen yang tidak bias dipisahkan. Antara
dua komponen tersebut harus terjalin
interaksi yang saling menunjang agar hasil
belajar siswa dapat tercapai secara optimal.
Langkah atau cara menuju
pembelajaran yang kreatif adalah suatu cara
yang dapat dilakukan seorang (guru) dalam
meningkatkan kemampuannya dalam
mengajar. Menurut Munandar (2005: 79-81)
langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
1) mendefinisikan kembali problem yang
dihadapi.
2) bertanya dan menganalisa asumsi.
3) menjual ide.
4) mendorong menghasilkan ide.
5) mengenali dua arah perolehan
pengetahuan.
6) mendorong siswa mengidentifikasi
rintangan dan mengatasinya.
7) mendorong berpikir sehat dan berani
mengambil resiko.
8) mendorong toleransi ambigu.
9) membantu siswa membangun keyakinan
meraih sukses (self-efficacy).
10) membantu siswa menemukan cinta pada
perbuatannya.
11) mengajarkan siswa pentingnya menunda
kepuasaan.
12) memelihara lingkungan agar tetap kreatif.
c. Evaluasi Pembelajaran
Penilaian (evaluasi) merupakan
komponen dalam sistem pengajaran. Fungsi
utama evaluasi dalam kelas adalah untuk
menentukan hasil-hasil urutan pengajaran.
Tujuan evaluasi untuk memperbaiki
pengajaran dan penguasaan tujuan tertentu
dalam kelas (Hamalik, 2011: 145-146).
Evaluasi merupakan sebuah proses
pengumpulan data untuk menentukan sejauh
mana, dalam hal apa serta bagaimana tujuan
pendidikan dapat tercapai. Pembelajaran yang
terjadi di sekolah atau khususnya di kelas,
guru adalah pihak yang bertanggung jawab
atas hasil belajar siswa.
Dengan demikian, guru patut dibekali
dengan evaluasi sebagai ilmu yang
mendukung tugasnya, yakni mengevaluasi
hasil belajar siswa. Dalam hal ini guru
bertugas mengukur apakah siswa sudah
menguasai ilmu yang dipelajari oleh siswa
atas bimbingan guru sesuai dengan tujuan
yang dirumuskan (Arikunto, 2008: 3-4).
Terdapat empat langkah pokok yang
dilakukan dalam evaluasi keseluruhan
program pengajaran, yaitu sebagai berikut:
1) Evaluasi awal
Evaluasi awal atau pre test dilakukan
sebelum pelajaran diberikan. Tujuan dan
fungsinya adalah untuk mengetahui
kemampuan awal siswa mengenai
pembelajaran yang bersangkutan. Dengan
mengetahui kegiatan awal siswa, guru akan
dapat menentukan cara-cara penyampaian
yang akan ditempuh nanti. Untuk bahan-
bahan yang telah dikuasai siswa, misalnya
guru tidak akan memberikan penjelasan
yang banyak lagi, disamping itu dengan
adanya evaluasi awal guru akan dapat
melihat hasil yang betul-betul dicapai
melalui program yang dilaksanakannya,
setelah membandingkannya dengan hasil
evaluasi akhir (Syaodih dan Ibrahim, 2003:
88).
2) Evaluasi pelaksanaan pengajaran
Langkah berikutnya adalah melakukan
pengajaran sesuai dengan langkah-langkah
kegiatan belajar mengajar yang sudah
direncanakan. Selama langkah ini
berlangsung, kegiatan evaluasi yang
dilakukan oleh guru antara lain dalam
bentuk kuis, tugas-tugas, observasi dan
bertanya langsung kepada siswa tentang
pelajaran yang disajikan, apakah cukup
jelas dan ataukah sebaliknya. Dari kegiatan
evaluasi ini, guru dapat mengetahui
bagian-bagian mana dari materi yang
belum begitu dipahami oleh siswa, dan
bagian mana dari kegiatan belajar
mengajar yang tampaknya kurang efektif
atau sulit dilaksanakan dengan baik
(Suwardi, 2007: 98).
3) Evaluasi akhir
Evaluasi akhir atau post test berfungsi
untuk memperoleh gambaran tentang
kemampuan yang dicapai siswa pada akhir
pengajaran. Jika hasil evaluasi akhir kita
bandingkan dengan evaluasi awal, maka
dapat diketahui seberapa jauh efek atau
pengaruh dari pengajaran yang telah kita
berikan, disamping sekaligus dapat pula
diketahui bagian-bagian mana dari bahan
pengajaran yang masih belum dipahami
oleh sebagian besar siswa (Uno, 2008: 95).
Evaluasi pembelajaran dilaksanakan
untuk mengetahui kompetensi dan hasil
belajar siswa mengenai materi tertentu.
Pelaksanaan evaluasi pada sebuah
pembelajaran pada prinsipnya juga sama
antara metode yang satu dengan yang lain.
Beberapa tahapan evaluasi pembelajaran
dilakukan baik pada setiap akhir bab,
tengah semester maupun akhir semester.
Hasil belajar siswa bisa terlihat pada setiap
tahapannya, baik yang jangka pendek
maupun jangka panjang. Pada jangka
panjang, hasil evaluasi pada beberapa
tahapan tersebut digabung kemudian
diambil rata-ratanya.
Menurut Asmani (2013: 105) terdapat
kriteria penilaian yang sesuai dengan
konsep PAKEM yaitu:
1. Penilaian yang sesuai dengan
pembelajaran model PAKEM adalah
penilaian otentik yang merupakan
proses pengumpulan informasi oleh
guru tentang perkembangan dan
pencapaian pembelajaran peserta didik
melalui berbagai teknik yang mampu
mengungkapkan, membuktikan atau
menunjukkan secara tepat bahwa
tujuan pembelajaran telah benar-benar
dikuasai dan dicapai.
2. Bentuk penilaian tes dapat dilakukan
secara lisan, tertulis, dan perbuatan.
Sementara itu, bentuk penilaian non-
tes dilakukan dengan menggunakan
skala sikap, cek lis, kuesioner, studi
kasus, dan portofolio.
2.1.4 Hakekat Evaluasi
2.1.4.1 Pengertian Evaluasi dan Evaluasi Program
Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa
Inggris). Kata tersebut diserap ke dalam
perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan
tujuan mempertahankan kata aslinya dengan
sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi
“evaluasi” (Arikunto dan Cepi Safruddin, 2008: 1).
Untuk mengetahui keberhasilan sebuah
program pendidikan dilakukan tahap evaluasi.
Evaluasi merupakan upaya penilaian secara
sistematis untuk melihat sejauhmana efisiensi
suatu program masukan (input) untuk
memaksimalkan keluaran (output), evaluasi juga
digunakan untuk mencapai tujuan dari program
pencapaian hasil atau afektifitas, dan kesesuaian
program kebijakan dan kebutuhan masyarakat.
Evaluasi juga termasuk salah satu kegiatan yang
dilakukan untuk mengukur keberhasilan suatu
kebijakan. Evaluasi merupakan bagian dari sistem
manajemen yaitu perencanaan, organisasi,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tanpa
evaluasi, maka tidak akan diketahui bagaimana
kondisi objek evaluasi tersebut dalam rancangan,
pelaksanaan serta hasilnya.
Sedangkan menurut pengertian istilah
“evaluasi merupakan kegiatan yang terencana
untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan
menggunakan instrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolak ukur untuk
memperoleh kesimpulan” (Yunanda, 2009: 50).
Lebih lanjut menurut Arikunto (2008 : 1) evaluasi
adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi
tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.
Menurut Stufflebeam (dalam Lababa, 2008:
75), evaluasi adalah “the process of delineating,
obtaining, and providing useful information for
judging decision alternatives," Artinya evaluasi
merupakan proses menggambarkan, memperoleh,
dan menyajikan informasi yang berguna untuk
merumuskan suatu alternatif keputusan. Masih
(dalam Lababa, 2008: 25), Worthen dan Sanders
mendefinisikan “evaluasi sebagai usaha mencari
sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang
berharga tersebut dapat berupa informasi tentang
suatu program, produksi serta alternatif prosedur
tertentu”. Lebih lanjut Danim (2002: 14)
mendefinisikan penilaian sebagai suatu proses
pengukuran dan perbandingan dari hasil-hasil
pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-
hasil yang seharusnya. Bahwa penilaian
menunjukkan jurang pemisah antara hasil
pelaksanaan yang sesungguhnya dengan hasil
yang seharusnya dicapai.
2.1.4.2 Tujuan evaluasi program
Tujuan diadakannya evaluasi program adalah
untuk mengetahui pencapaian tujuan program
dengan langkah mengetahui keterlaksanaan
kegiatan program, karena evaluator program ingin
mengetahui bagian mana dari komponen dan sub
komponen program yang belum terlaksana dan
apa sebabnya (Arikunto, 2008: 18). Lebih lanjut
menurut Arikunto (2008: 19), ada dua tujuan
evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum diarahkan kepada program secara
keseluruhan sedangkan tujuan khusus lebih
difokuskan pada masing-masing komponen.
Implementasi program harus senantiasa
dievaluasi untuk melihat sejauh mana program
tersebut telah berhasil mencapai maksud
pelaksanaan program yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi, program-
program yang berjalan tidak akan dapat dilihat
efektifitasnya.
Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru
sehubungan dengan program itu tidak akan
didukung oleh data. Karenanya, evaluasi program
bertujuan untuk menyediakan data dan informasi
serta rekomendasi bagi pengambil kebijakan
(decision maker) untuk memutuskan apakah akan
melanjutkan, memperbaiki atau menghentikan
sebuah program.
2.1.4.3 Model-model Evaluasi Program
Dalam menentukan apakah sebuah model
tepat bagi suatu jenis program, maka perlu
dianalisis masing-masing pihak yang akan
dipasangkan. Dalam hal ini yang dipasangkan
adalah program dengan jenisnya dan model
evaluasi. Ada banyak model yang bisa digunakan
untuk mengevaluasi suatu program. Meskipun
antara satu dengan yang lainnya berbeda,
namun maksudnya sama yaitu melakukan
kegiatan pengumpulan data atau informasi
yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi,
yang tujuannya menyediakan bahan bagi
pengambil keputusan dalam menentukan tindak
lanjut suatu program. Menurut Isaac (dalam
Arikunto dan Jabar, 2008: 40), menyebutkan 4
macam model evaluasi, yaitu (1) berorientasi pada
tujuan program (good oriented), (2) berorientasi
pada keputusan (decision oriented), (3) berorientasi
pada kegiatan dan orang-orang yang
menanganinya (transactional oriented), (4)
berorientasi pada pengaruh dan dampak program
(research oriented).
Beberapa ahli evaluasi program yang dikenal
sebagai penemu model evaluasi program adalah
stufflebeam, Metfessel, Michael Sriven, Stake, dan
Glaser. Model-model evaluasi antara lain yaitu:
1. Model Goal Oriented Evaluation, adalah model
evaluasi yang dikemukakan oleh Tyler, yaitu
goal oriented evaluation atau evaluasi yang
berorientasi pada tujuan, yaitu sebuah model
evaluasi yang menekankan peninjauan pada
tujuan sejak awal kegiatan dan berlangsung
secara berkesinambungan. Model evaluasi yang
berorietasi pada tujuan cocok diterapkan untuk
mengevaluasi program yang jenisnya
pemrosesan dalam bentuk pembelajaran.
Peninjauan atas keterlaksanaan tujuan,
dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan. Lebih jelasnya model ini
akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.
2. Model Goal Free Evaluation, model evaluasi
dikembangkan oleh Michael Scriven ini dapat
dikatakan berlawanan dengan model pertama
yang dikembangkan oleh Tyler. Dalam model
Goal Free Evaluation Model (evaluasi lepas dari
tujuan) justru menoleh dari tujuan.
3. Formatif-Sumatif Evaluation Model. Model ini
menunjuk adanya tahapan dan lingkup objek
evaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada
waktu program masih berjalan (disebut evaluasi
formatif) dan ketika program sudah selesai atau
berakhir (disebut evalusi sumatif).
4. Countenance Evaluation Model, model ini
dikembangkan oleh Stake. Model Stake
menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal
pokok, yaitu (1) deskripsi (description) dan (2)
pertimbangan (judgments).
5. CSE-UCLA Evaluation Model. CSE merupakan
singkatan dari Center for the study of evaluation,
UCLA merupakan singkatan dari University of
california in los angeles. Ciri dari model
CSE_UCLA adalah adanya lima tahap yang
dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil, dan
dampak.
6. CIPP Evaluation Model. Model CIPP ini
dikembangkan oleh Stufflebeam, dkk. CIPP yang
merupakan sebuah singkatan dari huruf awal
empat buah kata, yaitu 1) context evaluation:
evaluasi terhadap konteks, 2) Input Evaluation :
evaluasi terhadap masukan, 3) Procces
Evaluation: evaluasi terhadap proses, 4)
Product evaluation: evaluasi terhadap hasil.
Model CIPP adalah model evaluasi yang
memandang program yang dievaluasi sebagai
sebuah sistem.
7. Discrepancy Model. Model ini menekankan pada
pandangan adanya kesenjangan di dalam
pelaksanaan program. Evaluasi program yang
dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya
kesenjangan yang ada disetiap komponen.
2.1.4.4 Evaluasi Model Goal Oriented
Model Goal Oriented Evaluation ini
merupakan model yang muncul paling awal, yang
dikembangkan oleh Tyler. Objek pengamatan pada
model ini adalah tujuan dari program yang sudah
ditetapkan jauh sebelum program dimulai.
Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan,
terus-menerus, mengecek sejauh mana tujuan
tersebut sudah terlaksana didalam proses
pelaksanaan program (Arikunto, 2008: 52). Goal
oriented evaluation atau evaluasi yang berorientasi
pada tujuan, merupakan sebuah model evaluasi
yang menekankan peninjauan pada tujuan sejak
awal kegiatan dan berlangsung secara
berkesinambungan. Model evaluasi yang
berorientasi pada tujuan cocok diterapkan untuk
mengevaluasi program yang jenisnya pemrosesan
dalam bentuk pembelajaran. Peninjauan atas
keterlaksanaan tujuan, dilakukan secara terus
menerus dan berkesinambungan (Arikunto, 2008:
53).
Stephen Isaac dan Willian B. Michael
(dalam Arikunto, 2008: 75) Dalam model Goal
Oriented Evaluation ini, seorang evaluator secara
terus menerus melakukan pantauan terhadap
tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian yang
terus-menerus ini menilai kemajuan-kemajuan
yang dicapai peserta program serta efektifitas
temuan-temuan yang dicapai oleh sebuah
program. Salah satu model yang bisa mewakili
model ini adalah discrepancy model yang
dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat lebih
jauh tentang adanya kesenjangan (discrepancy)
yang ada dalam setiap komponen yakni apa yang
seharusnya dan apa yang secara riil telah dicapai.
Pada tahap perencanaan dalam PAKEM di
SMPN 2 Boja Kabupaten Kendal, peneliti
melakukan pantauan terhadap proses
perencanaan pembelajaran yang telah dilakukan.
Peneliti mengecek secara terus menerus
ketercapaian tujuan perencanaan dalam
pembelajaran, dengan maksud untuk mengetahui
apakah perencanaan pembelajaran yang dilakukan
oleh guru sudah sesuai dengan standar baku
perencanaan ataukah belum, serta untuk
mengetahui target dan tujuan perencanaan
pembelajaran apakah sudah sesuai dengan
tujuannya ataukah belum. Pengecekan ini
dilakukan oleh peneliti secara terus menerus dan
berkesinambungan sehingga diketahui
ketercapaian tujuan perencanaan program
pembelajaran PAKEM.
Pada tahap pelaksanaan dalam PAKEM di
SMPN 2 Boja Kabupaten Kendal, peneliti
melakukan pantauan terhadap proses
pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan
oleh guru di kelas. Peneliti melakukan pengecekan
secara terus menerus ketercapaian tujuan
pelaksanaan pembelajaran PAKEM. Pengecekan ini
dimaksudkan untuk mengetahui apakah
pelaksanaan pembelajaran PAKEM yang
diterapkan oleh guru sudah sesuai dengan standar
baku pembelajaran ataukah belum. Hal ini juga
dimaksudkan untuk mengetahui ketercapaian
target dan tujuan pembelajaran apakah sudah
sesuai dengan tujuan pembelajaran ataukah
belum. Pengecekan ini dilakukan oleh peneliti
secara terus menerus dan berkesinambungan
sehingga diketahui ketercapaian tujuan
pelaksanaan program pembelajaran PAKEM di
SMPN 2 Boja.
Pada tahap evaluasi dalam PAKEM di SMPN
2 Boja Kabupaten Kendal, peneliti secara terus
menerus dan berkesinambungan melakukan
pantauan terhadap evaluasi pembelajaran yang
telah dilakukan oleh guru seusai pembelajaran,
baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil
belajar. Peneliti melakukan pengecekan secara
terus menerus ketercapaian tujuan evaluasi
pembelajaran PAKEM. Pengecekan ini
dimaksudkan untuk mengetahui apakah evaluasi
pembelajaran PAKEM yang diberikan oleh guru
sudah sesuai dengan tujuan evaluasi
pembelajaran ataukah belum. Hal ini juga
dimaksudkan untuk mengetahui ketercapaian
target dan tujuan evaluasi pembelajaran apakah
sudah sesuai dengan tujuan pembelajaran
ataukah belum. Pengecekan evaluasi pembelajaran
dilakukan oleh peneliti secara terus menerus dan
berkesinambungan sehingga diketahui
ketercapaian tujuan evaluasi program
pembelajaran PAKEM di SMPN 2 Boja antara yang
distandarkan secara ideal dengan kondisi riil yang
telah terjadi.
Evaluasi jenis Goal Oriented Evaluation
memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai
berikut.
a. Keunggulan :
1) Sistematis-simple, masuk akal, rasional.
2) Menggunakan pendekatan ilmiah.
3) Dibedakan konsep pengukuran dan evaluasi.
4) Dilegitimasi tidak hanya dari metoda
pengumpulan data konvensional.
5) Yang disajikan satu kurikulum/program,
perbaikannya dipusatkan untuk evaluasi.
6) Mudah untuk dipahami dan dilaksanakan
meski oleh guru kelas.
b. Kelemahan
1) Tidak ada pendapat yang konsisten
mengenai siapa yang berhak memilih
sasaran, atau sasaran mana yang dipilih.
2) Meskipun tujuan dapat didefinisi-kan dari
segi pelaksanaan, masalah untuk
mendapatkan hasil pengukuran jauh dari
yang diharapkan.
3) Tidak semua pelaksana kurikulum setuju
tentang perlunya menetapkan tujuan
terlebih dahulu.
4) Mengarah pada tidak adanya penilaian
tegas/eksplisit paling tidak dalam pemberian
imbalan merasakan.
5) Gagal untuk menyediakan cara
mengevaluasi sasaran program.
6) Gagal untuk menyediakan cara memperoleh
standard untuk menilai perbedaan kinerja
dan sasaran.
7) Gagal untuk menyediakan cara menilai
kekuatan dan kelemahannya.
8) Konvergen-konvergen pada hakekatnya:
penutup prematur, kreativitas dimatikan
semangatnya, dikunci pada sasaran sasaran.
9) Fokus didesain pre-post.
2.2 Penelitian Relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang memiliki
relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Tri wahyuningsih (2010) dengan judul
Implementasi MBS dalam Upaya Peningkatan Mutu
Sekolah di SMPN 1 Purwokerto Tahun ajaran
2010/2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
program Implementasi MBS di SMPN 1 Purwokerto
mampu meningkatkan mutu pendidikan di sekolah
yang meliputi SDM guru serta hasil belajar siswa
secara bertahap dan berkelanjutan serta adanya
kerjasama antar pihak secara intensif.
Blimpo dan Evans (2011) dalam School-Based
Management and Educational Outcomes: Lessons
from a Randomized Field Experiment. Penelitian ini
mengevaluasi efektivitas komprehensif manajemen
dan pengembangan kapasitas program manajemen
berbasis sekolah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, pengaruh program pengembangan sekolah
pada hasil belajar sangat dimediasi oleh kapasitas
lokal baseline yang diukur dengan keaksaraan orang
dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di
desa-desa dengan melek huruf yang tinggi, program
pengembangan sekolah dapat menghasilkan
keuntungan pada hasil belajar siswa. Proses
pembelajaran menjadi lebih bernilai dengan hasil
optimal jika dikelola secara efektif dan efisien
dengan menerapkan model PAKEM.
Arifin (tt) dalam judul Penerapan Model Pakem
Dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Gaya
Gesekan Pada Siswa Kelas V SD Laboratorium
Universitas Negeri Gorontalo. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini adalah model pembelajaran aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) dapat
diterapkan dalam meningkatkan mutu
pembelajaran gaya gesekan pada peserta didik
kelas V sekolah dasar laboratorium Universitas
Negeri Gorontalo.
Muh. Sholeh (2009) dalam judul Implementasi
Manajemen Berbasis Sekolah (Pelaksanaan Program
MBS Rintisan di SD Case Study Negeri 2 Karangsari
Kecamatan Pejawaran Banjarnegara). Salah satu
hasil penelitian adalah proses belajar mengajar
(PBM) di SD Negeri 2 Karangsari sudah menerapkan
PAKEM, dimana penerapan model PAKEM ini
mampu mengoptimalkan mutu pendidikan di SD
Negeri 2 Karangsari sehingga menjadi SD inti dan
diminati masyarakat sekitar.
M.Kafit (2009) dalam judul : Efektifitas Media
Pembelajaran Komputer Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Mata Pelajaran IPA Klas VIII MTs NU Hasyim
Asyari 03 Honggowongso Jekulo Kabupaten Kudus,
hasil penelitiannya menyebukan bahwa : 1).
Pembelajaran berbantuan komputer bila dirancang
dengan baik, merupakan media pembelajaran yang
efektif, dapat memudahkan dan meningkatkan
kualitas pembelajaran, 2) Penggunaan media
pembelajaran komputer pada pelajaran IPA mampu
meningkatkan prestasi belajar IPA, hal ini
disebabkan dengan media pembelajaran siswa lebih
tertarik dan lebih termotivasi, selain itu dengan
menggunakan media pembelajaran siswa yang
lemah dalam daya penerimaannya dapat
menyesuaikan diri, dengan adanya program
pembelajaran interaktif siswa dapat dapat
mengerjakan soalsoal latihan tanpa tergantungpada
guru dengan media pembelajaran komputer
Sedangkan Ratam (2009) dalam penelitiannya
yang berjudul : Pengaruh Pola Pembelajaran
Aktif,Kreatif dan Menyenangkan (PAKEM) dan
Motivasi Belajar terhadap Ketuntasan IPS Materi
Sejarah siswa Sekolah Dasar di Kecamatan
Karanganyar Kabupaten Purbalingga, hasil
penelitiannya menyebutkan : bahwa pola
pembelajaran PAKEM lebih efektif digunakan dari
pada pola konvensial. Hasil penelitian
menunnjukkan bahwa pada pola PAKEM siswa
memperoleh rata-rata ketuntasan belajar lebih baik
(mean : 79,29) dibandingkan pencapaian ketuntasan
belajar siswa dengan menggunakan pola
konvensional (mean : 59,63)
Ahmad Syaikhudin (2008) dalam penelitiannya
Evaluasi Pelaksanaan Model Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) di
Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Jejeran Bantul
Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
(1) 38% guru termasuk dalam kategori baik dan 14%
sangat baik dalam hal pemahaman tentang
pembelajaran PAKEM (2) 48% guru termasuk
kategori baik dan 9% dalam kategori sangat baik
dalam hal pelaksanaan pembelajaran PAKEM.
Penghitungan korelasi antara aspek kognitif dan
aspek pelaksanaan menunjukkan hasil sebesar
0,568 dengan nilai kritis sebesar 0,433. Berarti
terdapat korelasi positif antara aspek pengetahuan
yang dimiliki guru tentang model pembelajaran
PAKEM dan pelaksanaannya di dalam kelas. Namun
demikian masih terdapat kendala-kendala yang
dihadapi guru dalam pembelajaran model PAKEM,
antara lain: (1) guru hanya melaksanakan PAKEM
apabila dimonitor, (2) kurangnya alokasi dana, (3)
guru kurang apresiatif dalam pembuatan media
pembelajaran. Adapun cara mengatasinya antara
lain dengan: (1) peningkatan peran kepala sekolah
dalam hal evaluasi pembelajaran dan monitoring, (2)
alokasi dana sekolah untuk kepentingan penyiapan
media pembelajaran bagi guru, dan (3) guru diberi
peluang untuk selalu mengikuti pelatihan-pelatihan.
3.2. Kerangka Berpikir Penelitian
MBS sebagai konsep pengelolaan institusi
pendidikan yang melibatkan berbagai pihak internal
(stakeholder) memberikan kesempatan yang luas
demi terwujudnya tujuan program pendidikan.
Salah satu aspek dalam MBS adalah pengelolaan
pembelajaran dengan model PAKEM. Hal ini
diharapkan bahwa dalam proses pembelajaran
bukan merupakan otoritas guru secara penuh
melainkan memerlukan partisipasi siswa, sehingga
proses pembelajaran berpusat pada siswa dengan
adanya interaksi yang kondusif antara guru dengan
siswa.
Dalam pembelajaran model PAKEM, guru
harus mengkondisikan siswa dalam pembelajaran
agar selalu aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Dengan keempat aspek tersebut diharapkan proses
pembelajaran berlangsung secara efektif dan efisien
sehingga hasil belajar lebih optimal.
Dalam proses pembelajaran dengan model
PAKEM, guru hendaknya mengelola secara
sistematis baik dari perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pembelajaran. Hal ini diasumsikan proses
pembelajaran di SMPN 2 Boja menjadi lebih optimal.
Untuk mengetahui keberhasilan mutu dari
proses pembelajaran dengan model PAKEM sebagai
salah satu tujuan program MBS di SMPN 2 Boja ini
diperlukan suatu alat yang disebut evaluasi model
goal oriented.
Kerangka konsep penelitian evaluasi MBS
dalam PAKEM di SMPN 2 Boja Kabupaten Kendal
dapat ditampilkan skema gambar berikut:
Gambar 3.1. Kerangka berpikir penelitian
Perencanaan pembelajaran PAKEM
di SMPN 2 Boja Kabupaten Kendal memenuhi standar RPP yang
berorientasi pada tujuan
Pelaksanaan pembelajaran PAKEM di
SMPN 2 Boja Kabupaten Kendal
sesuai dengan perencanaan yang
berorientasi pada tujuan
Evaluasi pembelajaran PAKEM di SMPN 2 Boja Kabupaten Kendal
dapat mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran
Evaluasi
Program MBS
dalam
PAKEM di
SMPN 2 Boja
Kualitas Mutu
Pendidikan di
SMPN 2 Boja
Kendal