bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/51610/3/bab ii.pdf · juga dalam peraturan daerah kota...
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang diawali
dengan konsep-konsep yang digunakan dalam kajian teori mengenai beberapa
pengertian secara konseptual seperti mengenai beberapa tinjauan antara lain
tinjauan umum tentang pengadaan tanah, tinjauan umum tentang pembangunan
untuk kepentingan umum, tinjauan umum tentang ganti rugi dalam pengadaan
tanah, dan tinjauan umum tentang penegakan hukum.
A. Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah di Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan
pembangunan semakin meningkat, sebagai tempat bermukim maupun untuk
kegiatan usaha. Dengan hal itu meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa
kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan hukum di bidang
pertanahan memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas, yang
dilaksanakan secara konsisten dengan jiwa dan isi ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam hal ini akan mengkaji teori terkait pengadaan
tanah antara lain tentang pengertian pengadaan tanah, dasar hukum pengadaan
tanah, unsur-unsur pengadaan tanah, asas-asas dalam pengadaan tanah, tim
persiapan pengadaan tanah,dan proses pengadaan tanah.
1. Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Para Ahli dan Hukum
Tanah dan Pembangunan adalah dua unsur yang saling berkaitan,
tidak ada pembangunan tanpa tanah
22. Secara istilah yang dimaksud pengadaan tanah adalah
mengadakan atau menyediakan tanah oleh pihak tertentu baik dari
pemerintah maupun pihak swasta.
Menurut John Salidenho arti atau istilah kita mencapai keadaan ada,
karena didalam mengupayakan, menyediakan sudah terselib arti
22
B.F Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia,
Jakarta, Toko Gunung Agung, 2004, hlm. 46.
17
mengadakan atau keadaan ada itu, sedangkan dalam mengadakan tentunya
kita menemukan atau tepatnya mencapai sesuatu yang tersedia, sebab
sudah diadakan, kecuali tidak berbuat demikian, jadi kedua istilah tersebut
namun tampak berbeda, mempunyai arti yang menuju kepada satu
pengertian (monosematic) yang dapat dibatasi kepada suatu perbuatan
untuk mengadakan agar tersedia tanah bagi kepentingan pemerintah23
Sedangkan menurut Imam Koeswahyono pengadaan tanah sebagai
suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu dengan cara memeberikan
ganti kerugian kepada si empunya (baik perorangan atau badan hukum)
tanah menurut tata cara dan besaran nominal tertentu.24
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dengan
peraturan pelaksana Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 dan
Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 atas perubahan ke empat
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 pengertian pengadaan tanah
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
2. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
Dalam ketentuan Pasal 18 Undang-undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pkok Agraria menyebutkan, “Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberikan ganti rugi yang layak menurut cara yang diatur oleh undang-
undang”. Juga dalam Peraturan Daerah Kota Batu No. 7 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu Tahun 2010-2030
Pembangunan jalan lingkar selatan yang termasuk dalam Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum diatur dalam pasal 17 ayat 1 point b
23
John Salidenho, Masalah Tanah Dalam Pembanguna, Sinar Grafika, Jakarta, 1998,
hlm. 31. 24
Imam Koeswahyono, Artikel, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, 2008, hlm. 1.
18
yang berbunyi bahwa “rencana pengembangan jaringan jalan meliputi
pengembangan jalan lingkar”.
3. Unsur-unsur Pengadaan Tanah
Berdasarkan definisi-definisi diatas, pengadaan tanah terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan hukum berupa pelepasan hak atas tanah menjadi tanah negara
b. Pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum
c. Perbuatan hukum didasarkan pada musyawarah dan kesukarelaan
d. Disertai ganti rugi yang adil dan layak.
4. Asas-asas dalam Pengadaan Tanah
Adapun asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum : “Pengadaan Tanah untuk
kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas : kemanusiaan,
keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatam,
keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan”.
1) Kemanusiaan, yang dimaksud dengan asas kemanusiaan ini adalah
Pengadaan Tanah harus memberikan pelindungan serta
penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional
2) Keadilan, yang dimaksud dengan asas keadilan adalah memberikan
jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam
proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk
dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
3) Kemanfaatan, yang dimaksud dengan asas kemanfaatan adalah
hasil Pengadaan Tanah mampu memberikan manfaat secara luas
bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
4) Kepastian, yang dimaksud dengan asas kepastian adalah
memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses
Pengadaan Tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan
19
kepada Pihak yang Berhak untuk mendapatkan Ganti Kerugian
yang layak.
5) Keterbukaan, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah
bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan
memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah.
6) Kesepakatan, yang dimaksud dengan asas kesepakatan adalah
bahwa proses Pengadaan Tanah dilakukan dengan musyawarah
para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan
bersama.
7) Keikutsertaan, yang dimaksud dengan asas keikutsertaan adalah
dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah melalui
partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan
pembangunan.
8) Kesejahteraan, yang dimaksud dengan asas kesejahteraan adalah
bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat memberikan
nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang Berhak dan
masyarakat secara luas.
9) Keberlanjutan, yang dimaksud dengan asas keberlanjutan adalah
kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus-menerus,
berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
10) keselarasan yang dimaksud dengan asas keselarasan adalah bahwa
Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan
dengan kepentingan masyarakat dan negara.
5. Tim Persiapan Pengadaan Tanah
Sehubungan mengenai Tim Persiapan Pengadaan Tanah, diatur
dalam Pasal 47 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012. Hal-hal penting
dalam Panitia Pengadaan Tanah tersebut diuraikan sebagai berikut :
1) Pengertian
20
Tim Persiapan Pengadan Tanah adalah tim yang dibentuk oleh
gubernur untuk membantu gubernur dalam melaksanakan
pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi rencana
pembangunan dan kaonsultasi publik rencana pembangunan.
2) Susunan Keanggotaan
Dalam Pasal 49 Perpres Nomor 71 Tahun 2012, susunan panitia
pengadaan tanah terdiri dari :
a) Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan tanah di
lingkungan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
b) Kepala Kantor Pertanahan setempat pada lokasi pengadaan
tanah.
c) Pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang
membidangi urusan pertanahan.
d) Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah.
e) Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan
Tanah.
Ketentuan mengenai Panitia Pengadaan Tanah ini tidak berbeda
jauh, tetapi ada sedikit tambahan mengenai susunan keanggotaan panitia
pengadaan tanah. Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah terdiri dari unsur
Perangkat Daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional.25
6. Proses Pengadaan Tanah
Secara garis besar pengadaan tanah bagi pelaksanan pembangunan
untuk kepentingan umum dapat dibagi menjadi 3 yaitu:26
a. Persiapan
1) Menetapkan Lokasi Pengadaan Tanah
Pendapat Prof. Dr Eman Ramelan, SH, MS. Penetapan lokasi
pembangunan merupakan starting point bagi instansi yang
memerlukan tanah untuk memperoleh hak atas tanah melalui
pemberian ganti kerugian yang diikuti dengan pelepasan hak dan
25
Umar Said Sugiharjo, 2014. Op.cit. hlm 158. 26
Makalah Seminar Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Tanggal 27 September 2012.
21
permohonan hak. Jadi walaupun sudah ada penetapan lokasi
pembangunan, hak keperdataan bagi pemegang hak atas tanah masih
tetap melekat dan harus dihormati. Pengaturan yang demikian akan
melanggar hak keperdatan pemegang hak tas tanah. Ada dua hal
penetapan lokasi yang perlu diperhatikan:
a) Bahwa penetapan lokasi pembangunan bukan merupakan
pemberian hak pada instansi yang memerlukan tanah.
b) Perolehan tanah yang dilakukan oleh instansi pemerintah
bukan melalui pengalihan hak atas tanah, tetapi melalui proses
pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2.
2) Membentuk Tim Persiapan Pengadaan Tanah
Pasal 9 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 71 Tahun 2012 menyatakan
Pasal 1 tim persiapan beranggotakan bupati/walikota, satuan kerja
perangkat daerah provinsi terkait, instansi yang memerlukan tanah,
dan instansi yang terkait lainnya. Kemudian Pasal 2 untuk kelancaran
pelaksanaan tugas tim persiapan tersebut, gubernur membentuk
sekertariat persiapan pengadaan tanah yang berkedudukan di
sekertariat daerah provinsi.
b. Pelaksanaan
1) Penyuluhan
Dalam penyuluhan ini Panitia Pengadaan Tanah (PPT) bersama
dengan instansi pemerintah yang memerlukan tanah melakukan
penyuluhan dengan cara memberikan informasi secara dua arah
dengan masyarakat yang terkena lokasi pembangunan, dengan
dipandu oleh : Ketua PPT dan Wakil Ketua PPT dan dihadiri oleh
anggota PPT dan Pemimpin Instansi Pemerintah yang memerlukan
tanah.
2) Inventarisasi
Pelaksanaan inventarisasi dilakukan oleh PPT bersama dengan
Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dan instansi yang terkait.
Inventarisasi meliputi objek tanah yang terkena pengadaan tanah
22
untuk pembangunan, batas-batas tanahnya, subjek atau
pemilik/pemegang hak atas tanah dan penguasaan tanah serta
penggunaannya, termasuk bangunan, tanahaman, serta benda-benda
lain yanag terkait dengan tanah yang akan terkena pembangunan.
3) Pengumuman
Pengumuman hasil Inventarisasi diperlukan untuk
memberitahukan dan memberi kesempatan kepada masyarakat yang
tanahnya terkena kegiatan pembangunan untuk mengajukan keberatan
atau hasil Inventarisai. Pengumuman dilampiri dengan Peta dan daftar
yang menguraikan mengenai Subjek (nama pemegang/pemilik tanah),
luas, status tanah, nomor persil, jenis dan luas bangunan, jumlah dan
jenis tanaman, benda-benda lainnya.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Nomor Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang (SPPT) bidang tanah serta keterangan-keterangan
lainnya dan ditandatangani oleh PPT serta diumumkan di Kantor
Pertanahan Kota/Kabupaten, Kantor Camat, dan Kantor
Kelurahan/Desa setempat dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan. Jika
ada keberatan yang diajukan oleh masyarakat dalam tenggang waktu
yang telah ditetapkan dan oleh PPT dianggap cukup beralasan, Pihak
PPT mengadakan perubahan, sebagaimana mestinya.
4) Penilaian
Panitia Pengadaan Tanah Kebupaten/Kota menunjuk Lembaga
Penilai Harga Tanah yang telah ditetapkan Bupati/Wali Kota untuk
menilai harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan
umum. Apabila tidak terdapat Lembaga Penilai Harga Tanah, amak
penilaian harga tanah dilakukan oleh Tim Penilai Harga Tanah yang
terdiri dari:
a) Instansi bidang bangunan
b) Badan Pertanahan Nasional
c) Instansi Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
d) Ahli/orang yang berpengalaman sebagai penilai harga
23
e) Akademisi yang mampu menilai harga tanah, bangunan,
tanaman, dan benda terkait dengan tanah.
f) LSM (bila diperlukan)27
B. Tinjauan Umum Tentang Pembangunan untuk Kepentingan Umum
1. Pengertian Kepentingan Umum
Secara etimologis, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Pusat Bahasa, kepentingan
umum terdiri dari dua kata, yaitu “kepentingan” dan “umum”. Kata
“kepentingan” dan “umum”. Kata “kepentingan” berasal dari kata penting
yang mengandung arti sangat perlu, sangat utama (diutamakan), sedang
kata “umum” mengandung pengertian keseluruhan, untuk siapa saja,
khalayak manusia, masyarakat luas, dan lazim.28
Secara sederhana kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk
keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang
luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada
batasannya. Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentungan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, psikologis, dan pertahanan keamanan negara atas
dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan
Nasional serta Wawasan Nusantara.29
Selain secara etimologis, para pakar juga menguraikan pendapatnya
tentang makna kepentingan umum. Salah satunya Rescou Pound
mengemukakan pendapatnya tentang social interest (kepentingan
masyarakat). Pendapat Rescou Pound tersebut berasal dari pemikiran
Rudolf Van Ihering dan Jeremy Bentham. Yang dimaksud Pound dengan
Social Interest ini adalah suatu kepentingan yang tumbuh dalam
masyarakat menurut keperluan di dalam masyarakat itu sendiri. Pound
27
Umar Said Sugiharjo. 2014. Op.cit. hlm 128-150. 28
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi keempat, Pusat bahasa,
Jakarta, 2008. 29
Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Jakarta.
Margaretha Pustaka, hlm. 144.
24
membagi tiga kategori interest, antara lain :public interest (kepentingan
umum), social interest (kepentingan masyarakat),dan private interest
(kepentingan pribadi).30
Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 dijelaskan
kepentingan umum dalam arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan
bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan
pembangunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kepentingan umum adalah kepentingan tersebut harus memenuhi
peruntukkannya dan harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat
dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan secara langsung.31
Pembangunan pertanahan tidak lepas dari pemahaman tentang
kepentingan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
menjelaskan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa,
negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 menguraikan bahwa kepentingan umum
digolongkan menjadi tiga jenis yaitu kepentingan bangsa, negara, dan
masyarakat. Definisi yang demikian telah disesuaikan dengan pengertian
umum yan ayatg terdapat di dalam UUPA.
2. Jenis-jenis Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Tanah untuk Kepentingan Umum digunakan untuk pembangunan:
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api;
c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
30
Ibid. hlm 145. 31
wi Fratmawati,2006, Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan
lingkar Ambarawa Kabupaten Semarang, e-Jurnal Hukum, Vol. 17 No. 1, Fakultas Hukum,
UNDIP, hlm. 197.
25
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. Fasilitas keselamatan umum;
k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. Cagar alam dan cagar budaya;
n. Kantor Pemerintah/ Pemerintah Daerah/ Desa;
o. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara pemikiran
memang sulit sekali di rumuskan, terlebih lagi apabila kita lihat secara
operasional. Akan tetapi dalam rangka pengambilan tanah masyarakat
penegasan tentang kepentingan umum yang akan menjadi dasar-dasar dan
kriterianya perlu di tentukan secara tegas sehingga pengambilan tanah-
tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang
berlaku.32
3. Perlindungan Hukum Pemilikan Tanah
Di Indonesia, Penguasaan tanah tertinggi ada pada negara
sebagaimana ketentuan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3). Penguasaan
negara disini adalah berdimensi publik, yaitu memberi kewenangan
kepada negara untuk: Mengatur & menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan Bumi, Air dan Ruang Angkasa
(BARA); Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan BARA; Menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai BARA.33
32
Abdurahman H. Op.cit. hlm. 123 33
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria.
26
Adapun pemilikan dan/atau penguasaan tanah secara privat, bisa
dipunyai oleh individu (Warga Negara Indonesia dan Warga Negara
Asing), persekutuan hukum adat (masyarakat adat), badan hukum
(Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi Indonesia) dan juga negara
(instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah).
Warga Negara Indonesia (WNI) dapat mempunyai tanah dengan
Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB),
Hak Pakai (HP) dan Hak Sewa Untuk Bangunan (HSB). Masyarakat adat
dapat mempunyai tanah dengan Hak Ulayat, yang dimiliki secara kolektif
dan yang telah dimiliki jauh sebelum pemerintahan kolonial di Indonesia.
Adapun Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing dapat
mempunyai tanah dengan HP saja. Badan Hukum Indonesia dapat
mempunyai tanah dengan HGU, HGB dan HP. Dan Negara hanya bisa
mempunyai dengan Hak Pengelolaan (HPL). Yang dimaksud dengan
kepemilikan tanah rakyat dalam penelitian ini adalah hak atas tanah yang
dipunyai oleh WNI dan masyarakat adat.
Kepemilikan tanah rakyat adalah merupakan sebuah hak asasi
manusia yang dilindungi oleh hukum Internasional maupun hukum
nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik ini diatur dalam dalam
DUHAM (deklarasi Umum Hak Asasi Manusia), yaitu:
a. Pasal 17.1: “Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik
secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain”.
b. Pasal 17.2: “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya
secara sewenang-wenang”.
c. Pasal 30: “Tidak ada satu ketentuanpun dalam deklarasi ini yang
dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu negara,
kelompok atau orang, untuk terlibat dalam aktivitas atau
melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan
hak dan kebebasan-kebebasan apapun yang diatur di dalam
deklarasi ini”.
27
Di Indonesia perlindungan kepemilikan tanah rakyat diatur dalam
dalam:34
a. UUD 1945, yaitu:
1) Pasal 18 B tentang pengakuan hak ulayat masyarakat adat
2) Pasal 28 G ayat (1), yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yng merupakan hak asasi”
3) Pasal 28 H ayat (4), yang berbunyi “Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”
b. Pasal 28 I ayat (3), yang berbunyi ”Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”
c. TAP-MPR.RI Nomor IX tahun 2001 pasal 4 butir j yang mengakui,
menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat serta pasal
5 butir b, yang berbunyi “menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia”.
d. Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UU
nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), pasal
2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM; pasal
6 ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak ulayat;
pasal 29 ayat (1) tentang perlindungan terhadap hak milik; pasal 36
ayat (1) dan (2) tentang hak milik sebagai hak asasi dan jaminan
tidak adanya perampasan secara sewenang-wenang atas hak
miliknya; pasal 37 ayat (1) tentang syarat mencabut hak milik adalah
34
Wiryani, Fifik, Implikasi Pengaturan Hak Masyarakat Adat Di Bidang Pengelolaan
Sumber Daya Alam Yang Ambiguitas dan Tidak Sinkron, dalam Jurnal Ilmiah Hukum LEGALITY
volume 12 nomor 2 2004/2005, Malang: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
28
untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti rugi dan harus
berdasarkan UU; menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
Berdasarkan ketentuan dalam perlindungan hukum kepemilikan
hak milik tersebut bisa disimpulkan bahwa kepemilikan tanah rakyat (yang
dipunyai oleh WNI maupun hak ulayat yang dipunyai oleh masyarakat
adat) adalah termasuk bagian dari kepemilikan harta benda yang itu
merupakan hak asasi harus dilindungi. Pengambilan tanah rakyat oleh
siapapun, termasuk oleh pemerintah tidak boleh dilakukan secara
sewenang-wenang, walaupun dengan dalih untuk kepentingan umum.
Kalaupun terpaksa tanah rakyat harus diambil bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, maka pengambilan tersebut haruslah didasarkan pada
Undang-Undang dan dengan memberikan ganti rugi yang layak.
4. Mekanisme dan Dasar Hukum Pengambilan Tanah Rakyat Untuk
Pembangunan
Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluan
pembangunan ini bisa dilakukan melalui mekanisme:
a. Pencabutan hak atas tanah.
Dasar yuridis pengambilan tanah rakyat melalui mekanisme ini
adalah ketentuan pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5
Tahun 1960, selanjutnya disebut UUPA), yang menyatakan bahwa:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan undang-undang". Serta pasal 27, pasal 34, dan pasal 40 UUPA,
yang mengatur tentang hapusnya HM, HGU dan HGB, antara lain karena
dicabut untuk kepentingan umum.
Sebagai pelaksana ketentuan pasal 18 UUPA maka dikeluarkanlah
Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak
Atas Tanah dan Benda-benda yang berada di atasnya. UU ini merupakan
29
pengganti dari Staatsblad 1920 No. 574, yang terkenal dengan sebutan
"Onteigenings-ordonnantie", dimana Ordonansi tersebut telah beberapa
kali diubah dan ditambah, yang terakhir dengan Staatsblad 1947 No. 96.
Pertimbangan membuat UU Pencabutan Hak Atas tanah ini adalah untuk
menyesuaikan dengan perubahan keadaan dan keperluan, karena
Onteigeningsordonnantie tidak sesuai lagi dengan keperluan dewasa ini.
Peraturan tersebut disusun atas dasar pengertian hak "eigendom" yaitu
hak perseorangan yang tertinggi menurut hukum barat yang mutlak dan
tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu Onteigenings-ordonnantie memuat ketentuan-
ketentuan yang memberi perlindungan yang berlebih-lebihan atas hak-
hak perseorangan. Berhubung dengan itu maka untuk mengadakan
pencabutan hak menurut ordonansi tersebut harus dilalui jalan yang
panjang dan diperlukan waktu yang lama, karena harus melalui, baik
instansi legislatip, eksekutip maupun pengadilan.(disarikan dari
Penjelasan Umum Butir (3) dari UU 20/1961)
b. Melalui mekanisme pelepasan hak atas tanah.
Istilah Pelepasan hak atas tanah ini ditinjau dari perspektif pemilik
tanah, tetapi jika ditinjau dari yang membutuhkan tanah menggunakan
istilah pembebasan tanah atau pengadaan tanah. Mekanisme pelepasaan
hak atas tanah ini didasarkan pada prinsip sukarela.
Yang dimaksud dengan Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dasar yuridis pengambilan
tanah rakyat melalui mekanisme pelepasan ha atau pembebasan tanah
(pengadaan tanah) adalah pasal 27, pasal 34, dan pasal 40 UUPA, yang
mengatur tentang hapusnya HM, HGU dan HGB, antara lain karena
tanahnya dilepaskan oleh pemiliknya.
Kemudian pada masa orde baru, mulai diatur ketentuan tentang tata
cara pembebasan tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
30
Negeri (PMDN) Nomor 15 tanun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dan kemudian diganti dengan
Keputusan Presiden (Kepres Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta pada rejim
reformasi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 36 tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, yang ditetapkan pada tanggal 3 Mei 2005. Sejak
diundangkan, Perpres ini menuai banyak kritik dari masyarakat karena
dianggap mengabaikan kepemilikan rakyat atas tanah. Karena banyaknya
kritikan tersebut, maka kemudian pada tanggal 5 Juni 2006, beberapa
pasal Perpres tersebut diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006
tentang Perubahan Atas Perpres nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
c. Melalui tukar menukar tanah dan jual beli hak atas tanah yang tunduk
pada hukum adat.
5. Problematika Pengambilan Tanah Rakyat Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Diantara tiga mekanisme pengambilan tanah rakyat tersebut, maka
mekanisme melalui pelepasan hak atau pembebasan tanah atau pengadaan
tanah adalah merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan
konflik. Problematika yuridis dalam pengambilan tanah rakyat bagi
pembangunan untuk kepentingan umum ini meliputi dua hal, yaitu:
a. Aspek yuridis formil, yaitu jika ditinjau dari bentuk perundangan
(produk hukumnya) hanya berupa Peraturan Presiden (Perpres) atau
Keputusan Presiden, bahkan Peraturan Menteri. Padahal muatan materi
yang diatur adalah pengambilan tanah rakyat, dimana kepemilikan tanah
rakyat adalah merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh
konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Semestinya,
berdasarkan ketentuan dalam pasal 8 UU nomor 10 tahun 2004,
pengaturan pengambilan tanah rakyat haruslah dalam bentuk produk
hukum undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 11 UU 10/2004,
31
muatan materi Perpres adalah materi yang diperintahkan UU atau untuk
melaksanakan PP.35
b. Aspek maeriil, yang meliputi:
1) Kaburnya kriteria pembangunan untuk kepentingan umum,
sehingga mendorong terjadinya kolusi antara pemerintah dengan
investor.36
2) Tidak diaturnya mekanisme penentuan pembangunan untuk
kepentingan umum yang berpotensi mengambil tanah rakyat,
sehingga terkesan bersifat top down dari pemerintah semata
3) Tidak diaturnya akses informasi bagi masyarakat terkait dengan
rencana pembangunan untuk kepentingan umum. Kondisi ini
mengakibatkan pelaksanaan pembangunan yang tidak partisipatif
bahkan terkadang ditolak rakyat.
4) Mekanisme pengambilan tanah yang tidak melibatkan pemilik
tanah sejak awal. Pemilik tanah hanyalah dilibatkan pada saat
musyawarah penentuan ganti kerugian belaka.
5) Keberadaan panitia pengambilan tanah yang hanya dari unsur
pemerintah saja, sehingga cenderung tidak netral tetapi cenderung
memihak kepada pemerintah/pemerintah daerah yang
membutuhkan tanah. Padahal panitia ini sifatnya sangat strategis,
karena sebagai penentu nilai ganti rugi kepada pemilik tanah.37
Pembatasan waktu dalam proses musyawarah penentuan ganti rugi,
terkesan hanya mementingkan aspek formalitas/prosedural belaka
dan mengabaikan esensi musyawarah.
6) Yang diberikan ganti-rugi hanyalah yang bersifat fisik belaka
(tanah, tanaman dan bangunan) adapun yang bersifat non fisik
tidak diperhitungkan. Hal ini berakibat pada menurunnya tingkat
35
Kondarus, Quo Vadis Perpres No. 36 Tahun 2005, Dalam Jurnal Keadilan vol. 4 No. 3,
tahun 2005/2006, Jakarta: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan. 36
Sumardjono, Maria S.W., 2007, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 37
Tim Redaksi, Tanah Untuk Kepentingan Umum, Dalam Jurnal Keadilan vol. 4 No. 3,
tahun 2005/2006, Jakarta: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan.
32
kesejahteraan pemilik tanah. Dan ini adalah salah satu bentuk
ketidak adilan bagi pemilik tanah yang telah mengorbankan harta
miliknya bagi pembangunan untuk kepentingan umum.38
7) Tidak diaturnya bentuk dan mekanisme ganti rugi dalam
pengambilan tanah ulayat.39
8) Tidak tepatnya penerapan lembaga konsinyasi (penawaran
pembayaran sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1404
KUHPerdata) dalam pemberian ganti rugi pada pemilik tanah yang
tidak menyetujui bentuk dan besarnya ganti rugi yang ditetapkan.
Mestinya lembaga konsinyasi ini hanya bisa diterapkan dalam
hubungan hukum keperdataan, yang sebelumnya didahului adanya
perjanjian antara para pihak. Sedangkan dalam pengambilan tanah
rakyat ini hubungannya adalah hubungan administratif antara
negara dengan rakyat.
C. Tinjauan Umum Tentang Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah
1. Pengertian Ganti Rugi
Ganti kerugian merupakan penggantian atas nilai tanah berikut
bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah
sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.40
Pengertian
ganti kerugian juga dijelaskan dalam pasal 1 angka 10 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, dengan lebih jelas lagi.
“Ganti rugi adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak dalam proses pengadaan tanah”.
Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti
kerugian fisik yang hilang, akan tetapi juga harus menghitung ganti
38
Sumardjono, Maria S.W., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 39
Endrawati, Netty, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Nasional
Menurut Kepres No. 55 Tahun 1993 Juncto Kepres No. 34 Tahun 2003, dalam Jurnal Ilmiah
Hukum LEGALITY volume 12 nomor 2 2004/2005, Malang: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang. 40
C.T.S Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Agraria
(Keppres No. 55 Tahun 1993, pasal 1). Jakarta. Sinar Grafika. hlm 681.
33
kerugian non fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang dipindahkan kelokasi yang baru. Sepatutnya pemberian ganti rugi
pemegang hak atas tanah yang kehilangan haknya tersebut melainkan
membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal
sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan pembangunan jalan tol.41
2. Objek yang Diberikan Ganti Rugi
Penilaian besarnya ganti kerugian oleh Lembaga Pertanahan dalam
rangka pengadaan tanah diberikan untuk :Hak atas tanah, Bangunan,
Tanaman, Benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.42
Didalam
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menjelaskan mengenai objek
Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanag,
bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lain-lainnya
yang dapat dinilai.
3. Bentuk Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah
Mengenai bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah
kepada pemegang hak atas tanah yang sesuai ketentuan Pasal 36 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2012 bentuk kerugian yang diberikan kepada
pemilik hakatas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembangunan bagi
kepentingan umum adalah :
a) Uang,
b) Tanah pengganti,
c) Pemukiman kembali,
d) Kepemilikan saham,
e) Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Sedangkan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Yang
Luasnya Kurang Dari Satu Hektar menurut Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 Pasal 59 ayat :
41
Bernhard Limbong, op.cit. hlm 173. 42
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, op.cit. hlm. 685.
34
a. Bentuk dan/atau besarnya ganti rugi pengadaan tanah secara
langsung ditetapkan berdasarkan musyawarah antara instansi
pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik.
b. Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berpedoman pada NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan NJOP tahun berjalan di sekitar lokasi.
Sebagaimana mana tersebut maka penulis menguraikan pendapat
John Salindeho mengenai pengertian harga dasar dan harga umum
setempat atas tanah yang terkena pembebasan hak atas tanah.43
Karena dikatakan Harga dasar atau NJOP maka harus menjadi dasar
untuk menentukan hargatanah/uang ganti rugi untuk tanah. Sedangkan
harga umum setempat diartikan suatu harga tanah yang terdapat secara
umum dalam rangka transaksi tanah di suatu tempat.44
Boleh dikata harga
umum yaitu setempat atau harga pasaran adalah hasil rata-rata harga
penjualan pada suatu waktu tertentu, sedangkan tempat berarti suatu
wilayah/lokasi didalam suatu kabupaten/kota dapat saja bervariasi menurut
keadaan tanah, harga dasar yang tumbuh dari dan berakar pada harga
umum setempat, ditinjau harga umum tahun berjalan. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka perlu kiranya dikemukakan pendapat Boedi Harsono
yaitu bahwa hak milik atas tanah yang diperlukan itu dilepaskan oleh
pemiliknya setelah ia menerima uang ganti kerugian dari pihak yang
mengadakan pembebasan, ganti rugi tersebut sudah barang tentu sama
dengan harga tanah sebenarnya.Jadi jelas bahwa pengertian uang ganti itu
sama dengan harga tanah.
Dari uraian tersebut yang menjadi subtansi ganti rugi harus
didasarkan diantaranya:
a. didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur.
43
John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua (Jakarta : Sinar
Grafika, 2008), hlm 61. 44
Ten Haar, dikutip dari John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan (Jakarta,
Sinar Grafika 2007), hlm 62.
35
b. ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil keputusan
final musyawarah.
c. mencakup bidang tanah, bangunan serta tanaman yang dihitung
berdasarkan tolok- ukur yang telah disepakati.
d. wujud ganti rugi: uang dan/atau tanah pengganti dan/atau
pemukiman kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati
para pihak.
4. Cara Penilaian Ganti Rugi
Bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah kepada
pemagang hak atas tanah harus memenuhi syarat layak. Syarat layak yang
dimaksud disini adalah dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih
baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan
tanah.45
Selanjutnya ditentukan bahwa dalam rangka menetapkan dasar
perhitungan ganti rugi menurut Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 ditentukan bahwa Lembaga Pertanahan melakukan
musyawarah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 hari
kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga
Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
berdasarkan hasil penilaian ganti rugi.
Kemudian ayat 2 ditentukan bahwa hasil kesepakatan dalam
musyawarah menjadi dasar pemberian ganti rugi kepada pihak yang
berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan. Pada Pasal 18 ayat 1
dalam hal ini jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja
setelah musyawarah penetapan ganti rugi. Ayat 2 Pengadilan negeri
memutuskan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling
lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Ayat 3 Pihak
yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dapat mengajukan
45
Umar Said Sugiharjo, op.cit. hlm 183.
36
Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalam waktu
paling lama 14 hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Ayat 4 Mahkamah Agung wajib memberikan
putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
permohonan kasasi diterima. Ayat 5 Putusan pengadilan negeri/Mahkamah
Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar
pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Kemudian Pasal 39 dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), karena hukum Pihak yang
Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
D. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum
1. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum yaitu suatu usaha untuk melindungi kejahatan
secara rasional, dengan memenuhi rasa keadilan. Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang
dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun
non hukum pidana. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum,
ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi
saat ini dapat terlaksana.
Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga
konsep, yaitu sebagai berikut :
a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement
concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang
norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.
b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement
concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan
hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan
individual.
37
c. Konsep penegakan hukum actual (actual enforcement concept) yang
muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum
karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan
saranaprasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas
perundangundangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.46
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-
ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsepkonsep hukum yang diharapakan rakyat
menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang
melibatkan banyak hal.47
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-
kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan
hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik
sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan
keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto
dalam mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan
menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh hukum formal.48
Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan,
46
Mardjono Reksodipuro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan
Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, Jakarta, 1997. 47
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 32. 48
Ibid. hlm 33.
38
kebenaran, kemamfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum
merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi
kenyataan. Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau
kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum
bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal
secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun
demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang
bertanggung jawab.
2. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-
ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsepkonsep hukum yang diharapakan rakyat
menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang
melibatkan banyak hal.49
3. Faktor faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto adalah :50
a. Faktor Hukum
Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah
ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang
tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat
49
Ibid. hlm 37. 50
Soerjono Soekanto. 2004,Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum
Cetakan Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada hlm. 42.
39
dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan
dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan
hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena
penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian
antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.
b. Faktor Penegakan Hukum
Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum
memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci
keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian
penegak hukum.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak
dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.
Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal
yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami
hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang
kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih
diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis
yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari
pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.
d. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan.
40
e. Faktor Kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering
membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu
mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,
berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan
orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok
tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus
dilakukan, dan apa yang dilarang.
4. Komponen Penegakan Hukum
Adapun instrumen yang dibutuhkan dalam penegakan hukum adalah
komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum
(legal subtance), dan komponen budaya hukum (legal culture):51
a. Struktur hukum (legal structure) Struktur hukum adalah sebuah
kerangka yang memberikan suatu batasan terhadap keseluruhan,
dimana keberadaan institusi merupakan wujud konkrit komponen
struktur hukum.
b. Substansi hukum (legal subtance) Pada intinya yang dimaksud
dengan substansi hukum adalah hasil yang diterbitkan oleh sistem
hukum, mencakup aturan aturan hukum, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis.
c. Budaya hukum (legal culture) Budaya hukum merupakan suasana
sosial yang melatar belakangi sikap masyarakat terhadap hukum.
51
Lawrence M. Friedman, 1977, Law And Society An Introduction. New Jersey: Prentice
Hall Inc, hlm. 14-20.