bab ii timotius
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Muningia calabura L
a. Klasifikasi tanaman
Klasifikasi tanaman talok sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Malvales
Familia : Tiliaceae
Genus : Mutingia
Species : Muningia calabura L
(Hutapea, 1994).
b. Nama lain
Talok memiliki nama umum dan nama daerah yang sama,
yaitu talok atau kersen (Hutapea, 1994).
c. Morfologi tanaman
Tanaman talok tumbuh terpencar. Ditemukan di bagian
Jawa bagian timur, yaitu di bawah 250 m di atas permukaan
laut. Tanaman talok merupakan pohon tahunan, tingginya
kurang lebih mencapai 10 m, batang berkayu, tegak, bulat,
percabangan simpodial, cabang berambut halus,coklat keputih –
putihan. Daunnya tunggal berseling, lonjong, panjang 6 – 10
cm, lebar 2 – 4 cm, ujung dan pangkal runcing, berbulu halus,
pertulangan menyirip, hijau. Bunganya tunggal, berkelamin dua
di ketiak daun, mahkota lonjong, putih, buahnya bulat, diameter
kurang lebih 1 cm, merah. Bijinya bulat, kecil, putih
kekuningan. Akarnya tunggang, putih kotor (Hutapea, 1994).
d. Kandungan kimia
Tanaman ini memiliki kandungan senyawa aktif seperti
flavonoid dan saponin. (Hutapea, 1994 & Prakoso, 2012)
e. Kegunaan tanaman
Menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan tanaman ini
berguna sebagai obat batuk dan peluruh dahak, sedangkan buahnya
digunakan untuk penyakit kuning (Hutapea, 1994). Berdasarkan
senyawa yang terkandung, yaitu flavonoid dan saponin memiliki efek
antijamur, antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, dan antitumor
(Samuelss0, 1999).
2. Ekstrak
Ekstrak merupakan bahan sediaan yang diperoleh dari hasil
ekstraksi senyawa aktif dari suatu simplisia hewani ataupun
nabati yang menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hampir semua pelarut diuapkan.
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai
obat namun belum mengalami pengolahan yang berupa bahan
yang sudah dikeringkan. (Ditjen POM, 2000)
Metode mendapatkan suatu bahan ekstrak memiliki
bermacam – macam cara. Pembagian metode untuk mendapatkan
bahan ekstraksi(Ditjen POM, 2000), yaitu :
a. Cara dingin
Metode ekstraksi dengan cara dingin terbagi menjadi
dua metode, yaitu :
i. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia yang
menggunakan pelarut dengan perendaman dan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan. Cairan penyari akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya
perbedaan konsentrasi larutan zat aktif di dalam sel dan
luar sel maka larutan terpekat di desak keluar. Proses
ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di dalam dan di luar sel. Cairan penyari
yang digunakan dapat berupa air, etanol, metanol,
etanol-air atau pelarut lainnya. Remaserasi berarti
dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.
Keuntungan metode ini adalah cara pengerjaan
yang relatif mudah dan menggunakan alat yang
sederhana yang mudah didapatkan.
ii. Perkolasi
Perlokasi adalah cara penyairan yang dilakukan
dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk
simplisia yang telah dibasahi. Proses perlokasi terdiri
dari tahapan pengemban bahan, tahap maserasi antara,
tahap perlokasi sebenarnya(penetesan atau
penampungan ekstrak), terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat).
b. Cara panas
Ekstraksi dengan menggunakan cara panas terdiri dari :
i. Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada
temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan
jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
ii. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan
pelarut yang pada umumnya dilakukan dengan alat
khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
iii. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan
pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi
dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan
pada temperatur 40-500 C.
iv. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan
temperatur hingga mencapai titik didih air, yakni 30 menit
pada suhu 90-1000 C.
3. Sistem Imun
Sistem imun atau sering disebut sistem kekebalan tubuh
merupakan kumpula sel yang berinteraksi dan molekul terlarut yang
memiliki fungsi utama adalah untuk membunuh atau menghancurkan
mikro organisme yang dapat menyebabkan infeksi dan kerusakan pada
tubuh (Davies, 2008). Sistem imun dibagi menjadi dua bagian
berdasarkan kecepatan dan spesifisitas reaksi. Dua jenis respon imun
tersebut adalah respon imun dapatan atau alamiah (non-spesifik) dan
respon imun adaptif (spesifik) yang walaupun dalam prakteknya ada
banyak interaksi antara mereka (Parkin, 2001).
Sistem imun alamiah (non-spesifik) adalah pertahanan awal tubuh
untuk melawan dan menghilangkan mikroorganisme yang bersifat
patogen yang berbahaya bagi tubuh. Sistem imun ini disebut non-spesifik
karena dalam mempertahankan tubuh dari patogen tidak melihat apakah
patogen ini sudah pernah memasuki tubuh atau tidak (Parkin, 2001).
Secara umum imunitas alamiah (non-spesifik) terdiri dari pertahanan
tubuh yang bersifat fisik, larutan (humoral dan biokimia), dan seluler.
Pertahanan tubuh yang bersifat fisik merupakan lini pertahanan pertama
tubuh yang terdiri dari kulit, selaput lendir yang dihasilkan oleh membran
mukosa, dan silia pada traktus respiratori (Davies, 2008). Pertahanan
tubuh yang bersifat larutan terdiri dari dua substansi, yaitu humoral dan
biokimia. Substansi humoral terdiri dari komplemen dan C-reaktif protein
(CRP), sedangkan substansi biokimia terdiri dari asam lambung, losozim,
dan laktoferin (Breen, 2006). Pertahanan tubuh yang bersifat larutan
didominasi oleh sel fagosit dan sel Natural Killer (sel-NK). Sel fagosit
meliputi mikrofag (PMN dan leukosit), makrofag yang bermula monosit
dari stem sel, dan mast cell (basofil) yang berperan dalam respon
inflamasi (Davies, 2008).
Sistem imun adaptif (spesifik) adalah kemampuan tubuh untuk
mempertahankan tubuh dari serangan dan invasi agen spesifik, seperti
toksin, virus, bakteri, dan benda asing lainnya. Sistem imun ini
distimulasi oleh suatu zat yang disebut antigen. Antigen dapat berupa
bakteri, virus, jamur, dan atau produk-produk yang dihasilkan
mikroorganisme tersebut. Sistem imun adaptif memiliki kemampuan
untuk membedakan molekul asing (non-self) dan molekul sendiri (self),
serta kemampuan dalam mengingat antigen yang pernah memasuki tubuh
sebelumnya, sehingga saat antigen memasuki tubuh untuk kedua kalinya,
sistem imun dapat merespon dengan cepat (Albert, dkk, 2002).
Sistem imun adaptif (sepsifik) dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
imunitas humoral dan imunitas yang diperantarai oeh sel (Bonilla, 2010).
Imunitas humoral diperantarai oleh antibodi yang terkandung dalam
cairan tubuh yang diproduksi oleh sel limfosit B. Fungsi antibodi adalah
merespon keberadaan antigen dengan cara mengikat dan memfasilitasi
dalam eliminasi antigen. Sebagai contoh, antibodi mengikat antigen,
membentuk suatu gugus yang memudahkan untuk dihancurkan oleh sel
fagosit. Ikatan antibodi dengan antigen pada mikroorganisme dapat juga
mengaktifkan komplemen yang meyebabkan lisisnya suatu benda asing
tersebut (Aickelin & Dasgupta, 2006). Imunitas yang diperantarai oleh sel
adalah sistem imun spesifik yang diperantarai oleh sel T-helper, sel T-
sitotoksik. Aktivitas sel T-helper adalah merangsang sel-B untuk
menghasilkan antibodi, membantu terjadinya hipersentivitas tipe lambat,
dan berperan dalam pertahanan intraseluler, seperti bakteri intrasel, jamur,
protozoa, dan virus. Aktivitas sel T-sitotoksik adalah mendestruksi sel
pada tandur jaringan, sel-sel tumor, atau sel-sel yang terinfeksi oleh
patogen. Jadi, sel-T terutama digunakan untuk mengaktifkan respon sel-B
dan melawan sel intraseluler (Jawetz, dkk, 2008).
4. Makrofag
Makrofag berasal dari sel stem monosit dalam sumsum tulang,
mempunyai masa hidup lebih lama daripada fagosit granulositik dalam
sirkulasi, dan dapat melanjutkan aktivitasnya pada pH yang lebih rendah.
Makrofag dalam darah dapat diaktifkan oleh berbagai “aktivator”,
termasuk juga mikroba beserta produk-produknya, kompleks antigen-
antibodi, inflamasi, limfosit T, sitokin, dan adanya cedera. Makrofag yang
teraktivasi memiliki jumlah lisosom yang lebih banyak dan menghasilkan
serta melepaskan interleukin-1 (IL-1), yang memiliki aktivitas luas dalam
peradangan. IL-1 berperan dalam timbulnya demam dan mengaktivasi sel-
sel limfoid, yang meyebabkan pelepasan sitokin lainnya (Jawetz, dkk,
2008).
Kerja makrofag terjadi karena terdapat sinyal aktivasi ketika
berikatan dengan patogen dan menerima reseptor ancaman. Makrofag
mempresentasikan MHC kelas II + peptida memberikan sinyal aktivasi
untuk sel T-helper, serta menerima sinyal lain untuk mengaktifkan sel
makrofag itu sendiri. IFN-ɤ dirilis oleh T-helper 1 menginduksi makrofag
untuk mengekspresikan reseptor TNF-α. Hal ini bertujuan untuk
menjadikan makrofag teraktivasi tetap aktif bersamaan dengan kerja
inflamasi yag dipengaruhi oleh IL-1 dan IL-6 (Samaranayake, 2006).
Bersama dengan reaksi tersebut, makrofag juga mengekspresikan
reseptor komplemen, dengan demikian menjadikan kemampuan fagositik
semakin besar. Makrofag juga meningkatkan ekpresi MHC dan molekul
adhesi. Hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi presentasi antigen. Hal
terpenting adalah makrofag teraktifasi dapat melibatkan oksigen reaktif
(*OH, O*, O2-) dan nitrit oxide (NO) sebagai bakterisidal kuat
(Samaranayake, 2006).
5. Imunomodulator
Imunomodulator merupakan suatu zat yang dapat mempengaruhi
sistem imun tubuh, baik mengembalikan atau memperbaiki sistem imun
yang fungsinya terganggu atau untuk menekan sistem imun yang
fungsinya berlebihan. Cara kerja imunomodulator ada tiga, yaitu:
a. Imunorestorasi adalah suatu cara untuk mengambalikan fungsi
sistem imun yang terganggu dengan cara memberikan berbagai
komponen sistem imun.
b. Imunostimulasi atau imunopotensiasi adalah cara memperbaiki
fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang dapat
merangsang sistem imun.
c. Imunosupresan adalah suatu cara untuk memperbaiki fungsi
sistem pertahanan tubuh dengan cara menekan respon imun. Hal
ini berguna dalam tindakan transplantasi untuk mencegah reaksi
penolakan dan berbagai reaksi inflamasi yang menimbulkan
kerusakan atau gejala sistemik.
(Baratawijaya, 2006).
6. Actinobacillus actinomycetemcomitans
Klasifikasi bakteri Actinobacillus actinomycetemcomitans (A.
actinpmycetemcomitans) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gammaproteobacteria
Order : Pasteurellales
Family : Pasteurellaceae
Genus : Aggregatibacter
Species : actinomycetemcomitans
(Nørskov-Lauritsen & Kilian, 2006)
Bakteri A. actinomycetemcomitans pertama dijelaskan pada tahun
1912 oleh Klinger. Bakerti ini diakui sebagai flora normal manusia pada
tahun 1950. Secara definitif habitat bakteri ini belum dapat dipastikan
namun habitat yang sering ditemui adalah pada plak yang ada di celah
gingiva. Bakteri A. Actinomycetemcomitans merupakan bakteri gram
negatif nonmotile, tidak berspora, fakultatif anaerob coccobacillus yang
dapat tumbuh baik dalam lingkungan aerobik dengan kandungan CO2 5-
10%. Bertumbuh secara optimal pada suhu 370C, dalam rentang keasaman
pH 7-8,5 dan dapat dirangsang dengan sejumlah molekul rendah seperti
hormon steroid. Dimensi bekteri ini adalah berbentuk kecil, sel-sel batang
berbentuk lurus atau melengkung dengan ujung bulat, berukuran 0,4-0,5
µm (Henderson, dkk, 2002). Bakteri ini merupakan bakteri yang jarang
ditemukan atau langka, namun sering ditemukan pada pasien penderita
periodontitis agresif (Samanarayake, 2006). Berdasar pemeriksaan klinis
yang dilakukan, memang terdapat bakteri A. Actinomycetemcomitans
yang mendominasi dalam terjadinya penyakit periodontitis agresif
(Goering, dkk, 2008).
7. Kerangka Teori
Ekstrak buah talok (Muningia calabura L)
Jumlah makrofag teraktivasi
Kadar IL-1
Jumlah sel T-helper
Jumlah sel Th1
Kadar IL-12
Jumlah sel NK
Kadar IFNɤ
Kemampuan fagositosis makrofag