bab ii (repaired).docx

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pneumonia II.1.1. Definisi ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian pernafasan atas maupun bawah. Infeksi yang berlangsung sampai 14 hari menunjukkan proses akut. Pneumonia merupakan salah satu penyakit ISPA yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak sering bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (bronchopneumonia) (Kemenkes RI, 2011). II.1.2. Etiologi Berdasarkan studi mikrobiologik ditemukan penyebab utama bakteriologik pneumonia anak-balita adalah Streptococcus pneumoniae/pneumococcus (30-50% kasus) dan Hemophilus influenzae type b/Hib (10-30% kasus), diikuti Staphylococcus aureus dan Klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain seperti Mycoplasma pneumonia, Chlamydia spp, Pseudomonas spp, Escherichia coli juga dapat menyebabkan pneumonia (Kemenkes RI, 2010). Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi 6

Upload: sylviarahmawati91

Post on 15-Jan-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II (Repaired).docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pneumonia

II.1.1. Definisi

ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau

lebih bagian pernafasan atas maupun bawah. Infeksi yang berlangsung sampai 14

hari menunjukkan proses akut. Pneumonia merupakan salah satu penyakit ISPA

yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak

sering bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (bronchopneumonia)

(Kemenkes RI, 2011).

II.1.2. Etiologi

Berdasarkan studi mikrobiologik ditemukan penyebab utama bakteriologik

pneumonia anak-balita adalah Streptococcus pneumoniae/pneumococcus (30-50%

kasus) dan Hemophilus influenzae type b/Hib (10-30% kasus), diikuti

Staphylococcus aureus dan Klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain

seperti Mycoplasma pneumonia, Chlamydia spp, Pseudomonas spp, Escherichia

coli juga dapat menyebabkan pneumonia (Kemenkes RI, 2010).

Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang

mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human

metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens

global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia

dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat inap (Kemenkes RI,

2010).

II.1.3. Epidemiologi

WHO memperkirakan insidens pneumonia anak-balita di negara

berkembang adalah 0,29 episode per anak-tahun atau 151,8 juta kasus

pneumonia/tahun, 8,7% (13,1 juta) diantaranya merupakan pneumonia berat dan

perlu rawat-inap. Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan insidens

pneumonia anak-balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta

6

Page 2: BAB II (Repaired).docx

kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya terkonsentrasi di 6 negara,

mencakup 44% populasi anak-balita di dunia. Ke 6 negara tersebut adalah India

43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia dan Nigeria

masing-masing 6 juta kasus per tahun (Rudan, 2008 dalam Kemenkes RI, 2010).

II.1.4. Faktor risiko

Faktor dasar (fundamental) yang menyebabkan tingginya morbiditas dan

mortalitas pneumonia balita di negara berkembang adalah (Mulholland K., 1999

dalam Kemenkes RI, 2010):

1. Kemiskinan yang luas menyebabkan derajat kesehatan rendah dan status

sosio-ekologi menjadi buruk.

2. Derajat kesehatan yang rendah menyebabkan penyakit infeksi termasuk

infeksi kronis dan infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid lain

seperti malaria, campak, gizi kurang, defisiensi vitamin A, defisiensi seng

(Zn), tingginya prevalensi kolonisasi patogen di nasofaring, tingginya

kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak ada atau tidak memberikan ASI

dan imunisasi yang tidak adekuat memperburuk derajat kesehatan.

3. Status sosio-ekologi buruk ditandai dengan buruknya lingkungan, daerah

pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam-ruang akibat penggunaan

biomass (bahan bakar dari kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar-

ruang. Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai.

4. Pembiayaan kesehatan sangat kecil menyebabkan fasilitas kesehatan seperti

infrastruktur kesehatan untuk diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan

tidak memadai, tenaga kesehatan yang terampil terbatas, ditambah lagi

dengan akses ke fasilitas kesehatan sangat kurang.

5. Proporsi populasi anak lebih besar akan menambah tekanan pada

pengendalian dan pencegahan pneumonia terutama pada aspek pembiayaan.

7

Page 3: BAB II (Repaired).docx

Dalam Kemenkes RI tahun 2012, faktor risiko terjadinya pneumonia

dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Intrinsik

a. Umur: Bayi dan balita mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang

masih lemah dibanding dengan orang dewasa sehingga balita masuk

ke dalam kelompok yang rawan terkena infeksi, misalnya diare, ISPA

atau pneumonia.

b. Status gizi: Status gizi sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh.

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai bagian dari faktor risiko

kejadian pneumonia.

c. Status imunisasi: Cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya

pemberantasan pneumonia. Pemberian imunisasi Campak dapat

mencegah kematian pneumonia sekitar 11%, sedangkan imunisasi DPT

dapat mencegah kematian pneumonia sekitar 6%.

d. Jenis kelamin: anak laki-laki mempunyai faktor risiko lebih besar

mengalami pneumonia.

e. ASI eksklusif: Kolustrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih

banyak dari susu formula. Zat kekebalan pada ASI melindungi bayi dari

diare, alergi dan infeksi saluran nafas terutama pneumonia.

f. Defisiensi vitamin A: Pada kasus kekurangan vitamin A, fungsi

kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan

sel yang menutupi trakea dan paru mengalami keratinisasi sehingga

mudah dimasuki oleh kuman dan virus yang menyebabkan infeksi

saluran nafas terutama pneumonia.

g. Berat badan lahir rendah (BBLR): Berat badan lahir rendah menentukan

pertumbuhan dan perkembangan balita. Bayi dengan BBLR

mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi

berat lahir normal terutama pada bulanbulan pertama kelahiran karena

pembentukan zat kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah

terkena penyakit infeksi terutama pneumonia

8

Page 4: BAB II (Repaired).docx

2. Ekstrinsik

a. Kondisi fisik rumah

Kelembaban: banyaknya uap air yang terkandung dalam udara

yang biasanya dinyatakan dalam persen, meliputi keadaan

bangunan, dinding, iklim dan cuaca. Syarat-syarat kelembaban

yang memenuhi standar kesehatan adalah sebagai berikut:

- Lantai dan dinding harus kering

- Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%.

Kelembaban ini sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan

etiologi pneumonia yang berupa virus, bakteri dan jamur.

Faktor etiologi tersebut dapat tumbuh dengan baik jika

kondisi optimal.

Ventilasi: Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan

pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus

cukup. Berdasarkan keputusan menteri Kesehatan

No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan

perumahan, luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang

permanen minimal 10% dari luas lantai. Terdapat peningkatan

risiko untuk terkena pneumonia pada balita yang tinggal di

rumah dengan ventilasi tidak sehat.

Kepadatan hunian: banyaknya penghuni yang tinggal di dalam

rumah dibandingkan dengan luas ruangan.

Polusi udara: Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah

umumnya disebabkan oleh asap rokok, kompor gas, alat

pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak

sempurna dari kendaraan bermotor.

b. Pendidikan ibu

Tingginya mortalitas dan morbiditas pneumonia lebih disebabkan oleh

kurangnya informasi dan pemahaman yang diperoleh dari seorang ibu.

9

Page 5: BAB II (Repaired).docx

c. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan

Tingkat jangkauan yang rendah mempengaruhi risiko morbiditas dan

mortalitas pneumonia, karena akan terlambat memperoleh

penatalaksanaan.

II.1.5. Patofisiologi

Pada umumnya pneumonia termasuk dalam penyakit yang ditularkan

melalui udara oleh penderita pneumonia saat batuk atau bersin dalam bentuk

droplet yang dapat terhirup ke dalam paru-paru. Paru-paru terdiri dari ribuan

bronkhi yang masing-masing terbagi lagi menjadi bronkhioli dan ujungnya

berakhir pada alveoli. Di dalam alveoli terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah

dimana terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida. Ketika seseorang

menderita pneumonia, pus dan cairan mengisi alveoli tersebut dan mempersulit

penyerapan oksigen sehingga terjadi kesukaran bernapas. Anak yang menderita

pneumonia, kemampuan paru-paru untuk mengembang berkurang sehingga tubuh

bereaksi dengan bernapas cepat agar tidak terjadi hipoksia. Apabila pneumonia

bertambah parah, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada

bagian bawah ke dalam. Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena

hipoksia atau sepsis (Kemenkes RI, 2012).

Gambar 2.1. Tarikan Dinding Dada Bagian Bawah ke Dalam (TTDK)

II.1.6. Gambaran klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia balita berkisar antara ringan

sampai sedang sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang

10

Page 6: BAB II (Repaired).docx

termasuk penyakit berat, mengancam kehidupan dan perlu rawat-inap. Secara

umum gambaran klinis pneumonia diklasifikasi menjadi 2 kelompok (Kemenkes

RI, 2010):

1. Gejala umum: demam, sakit kepala, malaise, nafsu makan kurang, gejala

gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare.

2. Gejala respiratorik: seperti batuk, napas cepat (tachypnoe/ fast breathing),

napas sesak (retraksi dada/chest indrawing), napas cuping hidung, air

hunger dan sianosis. Hipoksia merupakan tanda klinis pneumonia berat.

II.1.7. Diagnosis

Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai oleh program P2

ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan adanya batuk atau kesukaran

bernapas disertai peningkatan frekuensi napas (napas cepat) sesuai umur. Adanya

napas cepat ini ditentukan dengan cara menghitung frekuensi pernapasan. (IDAI,

2009).

Tabel 2.1. Klasifikasi Balita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas

II.1.8. Pencegahan

Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan

pneumonia pada balita terdiri dari imunisasi dan non imunisasi. Imunisasi

terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan

11

Page 7: BAB II (Repaired).docx

strategi pencegahan spesifik. Pencegahan non imunisasi merupakan pencegahan

nonspesifik misalnya mengatasi berbagai faktor risiko seperti polusi udara dalam

ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat, perbaikan gizi dan lain-lain

(Kemenkes RI, 2010).

1. Imunisasi

Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan campak

adalah imunisasi DPT. Berdasarkan beberapa studi vaksin (vaccine probe)

diperkirakan vaksin pneumokokus konjugat dapat mencegah penyakit dan

kematian 20-35% kasus pneumonia pneumokokus dan vaksin Hib

mencegah penyakit dan kematian 15-30% kasus pneumonia Hib. Saat ini

di beberapa negara berkembang direkomendasikan vaksin Hib ke dalam

program imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus konjugat

direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan.

2. Non imunisasi

Sebagai upaya pencegahan nonspesifik, banyak kegiatan yang dapat

dilakukan misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen

masyarakat, terutama pada ibu anak-balita tentang besarnya masalah

pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif

sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan

gizi dengan pola makanan sehat; penurunan faktor risiko lain seperti

mencegah berat badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah

polusi udara dalam ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan

perokok pasif di lingkungan rumah.

II.2. Program P2 ISPA

II.2.1. Definisi

P2 ISPA adalah suatu program pemberantasan penyakit menular yang

ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat infeksi

saluran pernapasan akut, terutama pneumonia pada usia dibawah lima tahun,

meliputi penemuan, pengelolaan penderita, penyuluhan dan penggerakkan

partisipasi masyarakat, serta pencatatan dan pelaporan kasus penyakit (Kemenkes

RI, 2010).

12

Page 8: BAB II (Repaired).docx

II.2.2. Tujuan

1. Tujuan Umum

Menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan balita karena

pneumonia (Acute Respiratory Infections) (Kemenkes RI, 2010).

2. Tujuan Khusus

a. Tercapainya penemuan dan tatalaksana kasus pneumonia balita

b. Tersedianya SDM terlatih profesional dalam penatalaksanaan kasus

pneumonia balita

c. Tersedianya SDM terlatih profesional dalam manajemen program

pengendalian pneumonia balita

d. Tersedianya sarana yang mendukung penatalaksanaan kasus

pneumonia balita secara komprehensif

e. Tersedianya gambaran epidemiologi melalui pengembangan

surveilans sentinel pneumonia balita

f. Meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat di dalam pola

pencarian pengobatan untuk pneumonia balita.

II.2.3. Sasaran

Sasaran P2 ISPA terutama pengendalian pneumonia balita adalah bayi (0-

<1 tahun) dan balita (1-<5 tahun) dengan fokus penanggulangan pada penyakit

pneumonia (Kemenkes RI, 2010).

II.2.4. Kebijakan

Untuk mencapai tujuan pengendalian pneumonia maka ditetapkan

kebijakan operasional sebagai berikut (Kemenkes RI, 2010):

1. Mengupayakan P2 ISPA sebagai salah satu program prioritas nasional

untuk mencapai MDGs 2015

2. P2 ISPA dilaksanakan sesuai dengan otonomi daerah dan desentralisasi

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

13

Page 9: BAB II (Repaired).docx

3. Upaya pengendalian kesakitan dan kematian pneumonia melalui

pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dilakukan

bekerjasama dengan lintas program yang terkait dengan kesehatan balita.

4. Penyebarluasan informasi pengendalian ISPA melalui berbagai media

sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat.

5. Logistik P2 ISPA meliputi obat, soundtimer, oksigen konsentrator

dan lain-lain disediakan oleh pemerintah baik pusat, provinsi dan

kabupaten/kota.

II.2.5. Kegiatan Pokok

1. Advokasi dan Sosialisasi

Advokasi dan sosialisasi merupakan kegiatan yang paling penting

dalam upaya untuk mendapatkan komitmen politis dan kesadaran dari

semua pihak pengambil keputusan dan seluruh masyarakat dalam upaya

penanggulangan ISPA sebagai penyebab utama kematian bayi dan balita

(Kemenkes RI, 2010).

2. Penemuan dan Tatalaksana Kasus Pneumonia

Penemuan dan tatalaksana kasus pneumonia merupakan kegiatan inti

dalam pengendalian pneumonia balita (Kemenkes RI, 2010).

a. Penemuan Kasus Pneumonia

Penemuan kasus secara aktif dilaksanakan oleh petugas Unit

Pelayanan Kesehatan (UPK) bersama kader secara aktif mendatangi

sasaran (pasien) di wilayah kerja atau lapangan. Sedangkan penemuan

kasus secara pasif dilaksanakan di seluruh UPK yang ada, mulai dari

tingkat desa/poskesdes, puskesmas pembantu, puskesmas sampai

rumah sakit.

b. Tatalaksana Kasus Pneumonia Balita

Penderita yang ditemukan di lapangan dirujuk ke UPK, untuk

mendapatkan pengobatan sesuai tatalaksana standar pneumonia.

Penderita dengan klasifikasi pneumonia berat dan atau ada tanda

bahaya harus segera dirujuk ke rumah sakit. Tatalaksana pola baru

14

Page 10: BAB II (Repaired).docx

ISPA dengan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS). Pada tahun 1997, WHO mempublikasikan tatalaksana

penderita Balita dengan menggunakan pendekatan Integrated

Management of Childhood Illness (IMCI) atau Manajemen Terpadu

Balita Sakit (MTBS) yang merupakan model tatalaksana kasus terpadu

untuk berbagai penyakit anak, yaitu pneumonia, diare, malaria,

campak, gizi kurang dan cacingan (Depkes RI ,2006).

Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan

Pengendalian ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita

didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan

WHO tahun 1998 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi

Indonesia (Kemenkes RI, 2011).

Tabel 2.2. Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas

Umur <2 Bulan

15

Page 11: BAB II (Repaired).docx

Tabel 2.3. Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas

Umur 2 Bulan-<5 Tahun

16

Page 12: BAB II (Repaired).docx

Tabel 2.4. Dosis Pemberian Antibiotik Oral

3. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui kegiatan (Kemenkes

RI, 2010):

a. Kunjungan rumah pada pasien pneumonia balita

b. Pemberdayaan kader posyandu untuk ISPA

c. Buku saku untuk kader tentang pengawasan pengobatan Pneumonia

Balita

d. Penyusunan pedoman pemberdayaan keluarga dan kader

e. Peningkatan peran kader dalam program P2 ISPA

17

Page 13: BAB II (Repaired).docx

4. Manajemen Logistik

Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan

P2 ISPA. Aspek logistik P2 ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana

yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan P2 ISPA. Sampai

saat ini logistik kegiatan P2 ISPA yang telah distandarisasi oleh P2 ISPA

terdiri dari:

a. Penyediaan obat standar ISPA

b. Penyediaan oksigen

c. Penyediaan ARI sound timer

d. Menyusun dan menetapkan standard obat dan alat kesehatan yang

harus tersedia/penyediaan obat dan alat kesehatan yang harus tersedia

e. Pemantauan logistik

5. Kemitraan

Kemitraan merupakan faktor penting untuk menunjang

keberhasilan program. Kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan

untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran lintas program dan

lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk

penyandang dana. Dengan pembangunan kemitraan diharapkan

pendekatan pelaksanaan program P2 ISPA khususnya pneumonia dapat

terlaksana secara terpadu dan komprehensif. Mitra kerja dalam P2 ISPA

antara lain adalah masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, sektor

swasta, pemerintah daerah (Depkes RI, 2006).

6. Pencatatan dan Pelaporan

Upaya dalam mendapatkan data dasar (baseline) dan data program

yang lengkap dan akurat dilakukan melalui kegiatan surveilans

epidemiologi ISPA yang aktif dengan diverifikasi oleh survei atau

penelitian yang sesuai, yang dapat digunakan sebagai landasan dalam

perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pengendalian ISPA

secara efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi kecenderungan-

kecenderungan yang bakal muncul. Data yang dimaksud meliputi data dan

18

Page 14: BAB II (Repaired).docx

informasi kesakitan dan kematian pneumonia dan data-data yang

berhubungan dengan kinerja Program P2 ISPA (Depkes RI, 2006).

II.3. Evaluasi Program

Program kesehatan merupakan salah satu program intervensi, dimana setiap

program intervensi, untuk menghasilkan perubahan memerlukan monitoring dan

evaluasi guna menilai dari waktu ke waktu sejauh mana perubahan telah terjadi

(Anonim, 2012).

II.3.1. Definisi

Evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam

membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur atau kriteria yang telah

ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta penyusunan saran-

saran, yang dapat dilakukan setiap tahap dari pelaksanaan program (The

international clearing house and adolescent fertility control for population option

dalam Azrul, 1996).

II.3.2. Tujuan

1. Pada tahap awal program (formatif evaluation)

Untuk meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benar-benar

telah sesuai dengan masalah yang ditemukan, sehingga nantinya dapat

menyelesaikan masalah tersebut. Penilaian yang bermaksud mengukur

kesesuaian program dengan masalah dan atau kebutuhan masyarakat ini

sering disebut dengan studi penjajakan kebutuhan (need assessment study)

(Azrul, 1996).

2. Pada tahap pelaksanaan program (promotif evaluation)

Untuk mengukur apakah program yang sedang dilaksanakan tersebut

telah sesuai dengan rencana atau tidak, dan apakah terjadi penyimpangan

yang dapat merugikan tujuan program. Pada umumnya ada dua bentuk

penilaian pada tahap ini yaitu pemantauan (monitoring) dan pemantauan

berkala (periodic evaluation). Perbedaan keduanya dapat dilihat pada tabel

dibawah ini (Azrul, 1996).

19

Page 15: BAB II (Repaired).docx

Tabel 2.5. Perbedaan Monitoring dan Periodic Evaluation

No Perbedaan Monitoring Periodic evaluation

1 FrekuensiBiasanya tiap 2 minggu atau 1 bulan sekali

Biasanya 6 bulan-1tahun sekali

2 PelaksanaBiasanya dilakukan oleh kalangan sendiri

Dapat dilakukan oleh kalangan sendiri, pihak ketiga (eksternal evaluator)

3 TujuanBiasanya bersifat terbatas memperbaiki beberapa penyimpangan saja

Biasanya bersifat lebih luas dan bahkan dapat merevisi program secara keseluruhan

3. Pada tahap akhir program (sumatif evaluation)

Dalam konteks suatu program, kita ingin melakukan perubahan dari

satu ‘situasi yang tidak kita harapkan’ menuju satu ‘situasi yang kita

harapkan’. Perubahan situasi dari waktu ke waktu yang dimonitor dan

dievaluasi diukur melalui indikator-indikator. Perubahan ini memerlukan

waktu dan sifat perubahan bertahap, mulai perubahan awal pada tingkat

‘input’ dan ‘proses’ (kegiatan program), perubahan pada tingkat ‘output’

(cakupan program), tingkatan ‘outcome’ (biasanya pengetahuan dan

perilaku kelompok sasaran), dan sampai perubahan lanjut di tingkat

‘dampak’ (status morbiditas dan mortalitas) (Anonim, 2012).

II.3.3. Pemilihan indikator

Indikator merupakan suatu variabel yang memungkinkan pengukuran

terhadap perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Perubahan di sini sebagai

suatu konsep atau parameter yang ingin kita ukur, sedangkan indikator merupakan

suatu nilai statistik yang bersifat parsial. Dalam praktek, pengukuran terhadap

suatu perubahan memerlukan beberapa indikator yang saling melengkapi

(Anonim, 2012).

Pemilihan indikator-indikator (terutama indikator ‘outcome’ dan ‘dampak’)

merupakan hal penting dalam merancang monitoring dan evaluasi suatu program.

Karakteristik dari suatu indikator yang baik adalah relevan, dalam arti sesuai

dengan konsep perubahan yang ingin diukur, dan sekaligus dapat diukur melalui

keterbatasan sumber daya yang tersedia.  Kriteria relevansi indikator sering

20

Page 16: BAB II (Repaired).docx

DAMPAK

LINGKUNGAN

UMPAN BALIK

KELUARANPROSESMASUKAN

diartikan sebagai pertimbangan akademik, antara lain: valid, artinya indikator

mampu mengukur apa yang ingin diukur; obyektif, artinya indikator tidak berubah

hanya karena diukur oleh orang yang berbeda atau dalam waktu yang berbeda;

sensitif, artinya indikator berubah sejalan dengan perubahan dari kondisi yang

diukur; dan spesifik, artinya indikator hanya berubah kalau kondisi yang diukur

berubah, bukan karena perubahan kondisi lain yang tidak diukur (Anonim, 2012).

II.4. Sistem

Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari beberapa elemen

(unsur) yang berhubungan serta saling mempengaruhi, dengan sadar dipersiapkan

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azrul, 1996).

II.4.1. Ciri-ciri Sistem

1. Terdapat bagian yang satu sama lain saling berhubungan dan

mempengaruhi yang kesemuanya membentuk satu kesatuan.

2. Fungsi masing-masing bagian tersebut adalah dalam rangka mengubah

masukan menjadi keluaran yang direncanakan

3. Dalam melaksanakan fungsi, semuanya bekerjasama secara bebas namun

terkait

4. Tidak tertutup terhadap lingkungan.

II.4.2. Unsur Sistem

Gambar 2.2. Unsur Sistem

21

Page 17: BAB II (Repaired).docx

a. Masukan (input) adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat

dalam sistem dan yang diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem

tersebut. Dalam sistem pelayanan kesehatan, masukan terdiri dari

tenaga, dana, metoda, sarana/material.

b. Proses (process) adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat

dalam sistem dan yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi

keluaran yang direncanakan. Dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri

dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan penilaian.

c. Keluaran (output) adalah kumpulan bagian atau elemen yang

dihasilkan dari berlangsungnya proses dalam sistem.

d. Umpan balik (feed back) adalah kumpulan bagian atau elemen yang

merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi

sistem tersebut.

e. Dampak (impact) adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu

sistem.

f. Lingkungan (environment) adalah dunia di luar sistem yang tidak

dikelola oleh sistem tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap sistem.

II.4.3. Pendekatan Sistem

Menurut L. James Harvey pendekatan sistem adalah penerapan suatu

prosedur yang logis dan rasional dalam merangkai suatu komponen-komponen

yang berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai suatu kesatuan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azrul, 1996).

Prinsip pokok pendekatan sistem dalam pekerjaan administrasi dapat

dimanfaatkan untuk dua tujuan:

1. Membentuk sesuatu sebagai hasil pekerjaan administrasi

2. Menguraikan yang telah ada dalam administrasi, hal ini dikaitkan dengan

keinginan untuk menemukan masalah yang dihadapi, untuk kemudian

diupayakan mencari jalan keluar yang sesuai.

22

Page 18: BAB II (Repaired).docx

Keuntungan pendekatan sistem:

1. Jenis dan jumlah masukan dapat diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan,

sehingga penghamburan sumber, tata cara dan kesanggupan yang sifanya

selalu terbatas, akan dapat dihindari.

2. Proses yang dilaksanakan dapat diarahkan untuk mencapai keluaran

sehingga dapat dihindari pelaksanaan kegiatan yang tidak diperlukan.

3. Keluaran yang dihasilkan dapat lebih optimal serta dapat diukur scara lebih

tepat dan obyektif.

4. Umpan balik dapat diperoleh pada setiap tahap pelaksanaan program.

Pendekatan sistem juga memiliki kelemahan, yaitu dapat terjebaknya dalam

perhitungan yang terlalu rinci, sehingga menyulitkan pengambilan keputusan dan

dengan demikian masalah yang dihadapi tidak akan dapat diselesaikan (Azrul,

1996).

23