bab ii (repaired).docx

32
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus (DM) 1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif, ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, ataupun keduanya (Darmono, 2007). 2. Diagnosis DM Gejala DM yang sangat khas atau gejala klasik yaitu poliuri, polidipsi dan polifagi. Selain itu juga penderita akan mengalami penurunan berat badan dan pruritus (Hadisaputro & Setyawan, 2007). 3. Klasifikasi DM Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut American Diabetes Association (American Diabetes Association , 2010): 4

Upload: ggeshtana

Post on 25-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II (Repaired).docx

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus (DM)

1. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang

berlangsung kronik progresif, ditandai dengan adanya hiperglikemia

yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin,

ataupun keduanya (Darmono, 2007).

2. Diagnosis DM

Gejala DM yang sangat khas atau gejala klasik yaitu poliuri,

polidipsi dan polifagi. Selain itu juga penderita akan mengalami

penurunan berat badan dan pruritus (Hadisaputro & Setyawan, 2007).

3. Klasifikasi DM

Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut American Diabetes

Association (American Diabetes Association , 2010):

a. DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)

Pada DM tipe 1 terjadi kerusakan sel β pankreas akibat

proses autoimun yang umumnya menimbulkan defisiensi insulin

absolut. Akan tetapi, terdapat pula beberapa DM tipe 1 yang

penyebabnya tidak diketahui atau disebut juga idiopatik. DM tipe 1

biasanya muncul pada masa kanak-kanak dan penyebabnya adalah

destruksi sel β-pankreas karena proses autoimun, yang

mengakibatkan defisiensi insulin yang absolut oleh karena itu

4

Page 2: BAB II (Repaired).docx

5

penderita DM tipe 1 harus diberi insulin eksogen. Frekuensi kejadian

DM tipe 1 lebih rendah dibandingkan dengan DM tipe 2.

b. DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

DM tipe 2 disebabkan adanya defek sekresi insulin, defek

kerja insulin ataupun keduanya. DM tipe 2 lebih banyak terjadi pada

usia dewasa, walaupun sekarang sudah cukup sering ditemukan pula

pada anak-anak dan remaja. DM tipe 2 ditandai dengan adanya

resistensi insulin dan/atau sekresi insulin yang abnormal. Penderita

DM tipe 2 tidak bergantung pada insulin eksogen, tapi hanya

digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah jika diet dan obat

hipoglikemik oral tidak lagi efektif (Thévenod, 2008).

c. Tipe Spesifik lain

DM tipe lain disebabkan adanya defek genetik fungsi sel β,

defek genetik aksi insulin, penyakit eksokrin pankreas,

endokrinopati, infeksi, penggunaan obat steroid, dan sebagainya.

d. DM Gestasional

DM yang timbul pada masa kehamilan.

4. Diabetes Melitus Tipe 2 Obesitas (DM tipe 2 obes)

DM tipe 2 terjadi pada individu yang memiliki gen yang rentan

dan dipengaruhi oleh pola hidup diabetogenik, yaitu asupan kalori yang

berlebihan, pengeluaran kalori yang tidak memadai sehingga terjadi

kondisi obesitas. Faktor risiko utama DM tipe 2 adalah sebagai berikut

(Khardori, 2011) :

Page 3: BAB II (Repaired).docx

6

a. Umur lebih dari 45 tahun (meskipun seperti disebutkan di atas,

frekuensi DM tipe 2 meningkat pada orang muda).

b. Berat badan lebih dari 120% dari berat badan ideal atau normal.

c. Riwayat keluarga dengan DM tipe 2.

d. Hipertensi (>140/90 mmHg) dan atau dislipidemia (HDL <40 mg/dl,

Trigliserida >150 mg/dl).

Obesitas merupakan faktor risiko primer pada penyakit metabolik,

yang terdiri dari penyakit jantung koroner, hipertensi dan juga DM tipe 2.

Obesitas sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan dari akumulasi

lemak tubuh yang berlebihan. Penyebabnya yaitu ketidakseimbangan

antara asupan energi dengan penggunaan energi sehingga terjadi

kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Pada

obesitas kemungkinan terkena DM 2,9 kali lebih sering bila

dibandingkan dengan yang tidak obesitas (Thévenod, 2008).

Patogenesis DM tipe 2 obes akan lebih mudah dipahami melalui

fisiologi jaringan adiposa. Jaringan adiposa atau disebut juga jaringan

lemak, merupakan tempat penyimpanan energi yang berlebih. Jaringan

adiposa terdiri dari sel-sel adiposit yang mengeluarkan berbagai protein

yang disebut adipositokin yang berfungsi mengatur keseimbangan energi,

homeostasis glukosa, inflamasi, metabolisme lipid dan fibrinolisis atau

hemostasis vaskuler. Protein adipositokin ini terdiri dari adiponektin,

leptin, plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1), tumor necrosis

factor-alpha (TNF-α), interleukin 6 (IL-6), retinol-binding protein 4

(RBP4), nonesterified fatty acids (NEFAs) atau free fatty acids (FFAs),

Page 4: BAB II (Repaired).docx

7

dan sebagainya (Arner, 2003; Fasshauer & Paschke, 2003; Thévenod,

2008).

Adiponektin memiliki efek yang baik yaitu mempertahankan

homeostasis glukosa dan lipid, meningkatkan sensitivitas insulin dan

menurunkan inflamasi. Leptin berpengaruh pada keseimbangan energi.

PAI-1 berpengaruh pada fibrinolisis atau hemostasis vaskuler (Arner,

2003). TNF-α, IL-6 dan RBP4 dapat meningkatkan glukosa darah. TNF-

α menurunkan kerja insulin, IL-6 dan RBP4 memiliki efek resistensi

insulin oleh karena itu glukosa darah dapat meningkat. NEFAs

diproduksi cepat oleh sel adiposit ke sirkulasi jika kadar glukosa terbatas

dan tidak mencukupi kebutuhan organ-organ penting. Peningkatan kadar

NEFAs dapat menyebabkan resistensi insulin, terutama pada otot, hepar

dan jaringan adiposa (Thévenod, 2008).

Gambar 2.1. Obesitas mempengaruhi Resistensi Insulin

Page 5: BAB II (Repaired).docx

8

Insulin berperan dalam perubahan glukosa dalam darah menjadi

cadangan energi berupa glikogen (glikogenesis) yang disimpan dalam

hati dan otot serta berupa lemak dalam jaringan adiposa. Insulin juga

mengatur kesanggupan glukosa untuk masuk ke dalam sel-sel yang

membutuhkan dan membantu proses oksidasi glukosa menjadi energi.

Jika tubuh mengalami resistensi insulin atau defisiensi insulin, glukosa

tidak dapat masuk ke dalam sel-sel sehingga kadar glukosa dalam darah

akan menjadi sangat tinggi melebihi angka normal (Wijayakusuma,

2004).

Hiperglikemia pada DM dapat menyebabkan kerusakan

mikrovaskuler dan makrovaskuler. Keadaan hiperglikemia akan

menyebabkan proses glikasi non enzimatik pada semua protein, dan

glikasi pada protein yang terdapat di membran basal pembuluh darah dan

endotel dapat menerangkan terjadinya komplikasi pada DM, baik

mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Hiperglikemi akan memacu

glikosilasi non enzimatik yang terjadi pada berbagai jaringan tubuh, salah

satunya ginjal. Adanya molekul-molekul glukosa yang melekat pada

protein di membran basal glomerulus ginjal akan menyebabkan

kerusakan pada ginjal itu sendiri (Subiyantoro, 2002).

5. Nefropati Diabetik

Nefropati Diabetik adalah penyakit ginjal yang merupakan salah

satu komplikasi dari penyakit DM yang dapat berakhir pada gagal ginjal.

Sekitar 35-45% penderita DM mengalami nefropati diabetik (American

Diabetes Association, 2004). Nefropati diabetik merupakan sindroma

Page 6: BAB II (Repaired).docx

9

klinis pada penderita DM yang ditandai dengan albuminuria menetap

(>300mg/jam atau >200µg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan

dalam kurun waktu 3-6 bulan. Terdapat 5 tahapan nefropati diabetik oleh

Mogensen, dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Hendromartono, 2006).

Tabel 2.1. Tahapan Nefropati Diabetik oleh Mogensen (Hendromartono, 2006)

Tahap Kondisi Albumin Excretion Rate

LFG Tekanan Darah

1 Hipertrofi, hiperfiltrasi, hiperperfusi

Normal ↑ Normal

2 Kelainan struktur Normal ↑/Normal

↑/Normal

3 Mikroalbuminuria persisten

20-200µg/menit

↑ ↑

4 MakroalbuminuriaProteinuria

>200 µg/menit ↓ Hipertensi

5 UremiaGagal ginjal

Tinggi/rendah <10 ml/menit

Hipertensi

Faktor risiko Nefropati Diabetik diantaranya yaitu hipertensi,

kepekaan terhadap Nefropati Diabetik yang ditandai dengan adanya

antigen Human Leukosit Antigen (HLA) dan Glucose Transporter

(GLUT), hiperglikemia, konsumsi protein hewani (Sukandar, 1997).

Penyebab utama terjadinya Nefropati Diabetik pada penderita DM yaitu

hipertensi (Walaa, 2004).

Patogenesis terjadinya nefropati diabetik belum dapat dijelaskan

dengan pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar

terjadinya nefropati diabetik adalah terjadinya hiperfiltrasi dan

hiperperfusi membran basal glomerulus. Gambaran histologi jaringan

Page 7: BAB II (Repaired).docx

10

keadaan tersebut memperlihatkan adanya penebalan membran basal

glomerulus dan ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya

menyebabkan glomerulosklerosis. Keadaan glukotoksisitas atau

meningkatnya glukosa darah yang menahun pada penderita DM disertai

dengan faktor lainnya, menimbulkan nefropati. Efek glukotoksisitas

terhadap membran basal dapat melalui 2 jalur yaitu (Bethesda, 2010):

a. Jalur Metabolik

Pada jalur metabolik diawali dengan terjadinya hiperglikemia,

glukosa dapat bereaksi dengan asam amino bebas secara proses non

enzimatik menghasilkan Advance Glycosilation End-Products

(AGE’s). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan

glomerulus ginjal. Selain itu terjadi akselerasi jalur poliol dan aktivasi

Protein Kinase-C (PKC). Pada jalur poliol terjadi peningkatan sorbitol

yang disebabkan oleh peningkatan reduksi glukosa oleh enzim aldose

reduktase. Peningkatan sorbitol akan menurunkan kadar inositol yang

dapat menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal (Bethesda,

2010).

Aktivasi dari Protein Kinase-C (PKC) menyebabkan beberapa

akibat patogenik melalui pengaruhnya terhadap Endothelial Nitric

Oxide Synthetase (eNOS) dan endotelin-1 (ET-1), Vascular

Endothelial Growth Factor (VEGF), Transforming Growth Factor-β

(TGF-β), Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1), NF-kβ dan

NAD(P)H oksidase. Penurunan eNOS dan peningkatan ET-1 akan

menyebabkan abnormalitas aliran darah. Peningkatan VEGF akan

Page 8: BAB II (Repaired).docx

11

menyebabkan angiogenesis dan gangguan permeabilitas vaskuler.

Peningkatan TGF-β yang akan menyebabkan peningkatan kolagen dan

fibronektin dapat menimbulkan oklusi kapiler. Peningkatan dari PAI-1

dapat menurunkan fibrinolisis yang akan menyebabkan oklusi

vaskuler (Bethesda, 2010).

b. Jalur Hemodinamik

Glukotoksisitas menyebabkan gangguan hemodinamik baik

sistemik maupun renal pada penderita DM, hal ini menimbulkan

kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik

diawali dengan peningkatan hormon vasoaktif yaitu Angiotensin II.

Angiotensin II berperan merangsang vasokonstriksi sistemik,

meningkatkan tahanan arteriol glomerulus, meningkatkan tekanan

kapiler glomerulus, meningkatkan permeabilitas kapiler glomuruls,

penurunan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra

seluler, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik

(DeFronzo, 1996).

Hipertensi dan nefropati diabetik merupakan dua hal yang

memiliki hubungan timbal balik, dimana hipertensi dapat menyebabkan

nefropati diabetik dan nefropati diabetik juga dapat menyebabkan

hipertensi sekunder. Hipertensi pada nefropati diabetik disebabkan

karena keterlibatan sistem renin angiotensin, dan dalam hal ini

angiotensin II. Mekanismenya sendiri dari angiotensin II menyebabkan

nefropati diabetik tidak terlalu jelas. Pada jalur hemodinamik,

angiotensin II berperan meningkatkan tekanan darah sistemik dan

Page 9: BAB II (Repaired).docx

12

glomerulus, sehingga menyebabkan proteinuria dan vasokonstriksi ginjal.

Selain itu juga angiotensin II merangsang proliferasi sel, hipertrofi,

ekspansi matriks dan sintesis sitokin terutama TGF-β (Bethesda, 2010).

B. Hipertensi

Regulasi tekanan darah diatur oleh berbagai faktor yaitu vaskuler,

renal, neurogenik dan mekanisme endokrin yang berinteraksi secara

kompleks. Tekanan darah itu sendiri adalah tekanan yang dihasilkan oleh

darah terhadap pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan

karena adanya peningkatan volume darah atau elastisitas pembuluh darah.

1. Definisi dan Klasifikasi

The seventh Report of the Joint National Commite on Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003 telah

memperbaharui klasifikasi, definisi, serta stratifikasi risiko untuk

menentukan prognosis jangka panjang dari hipertensi. Hipertensi

menurut JNC VII adalah jika didapatkan tekanan darah sistol (TDS) ≥

140 mmHg atau tekanan darah diastol (TDD) ≥ 90 mmHg. Klasifikasi

hipertensi tersebut merupakan klasifikasi untuk orang dewasa berumur ≥

18 tahun, dan dilakukan berdasarkan rata-rata 2 kali pengukuran tekanan

darah pada posisi duduk (Tjokroprawiro, 2007).

Page 10: BAB II (Repaired).docx

13

Tabel 2.2. Klasifikasi dan Definisi Tekanan Darah menurut JNC-VII, 2003

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 dan < 80Prehipertensi 120-139 atau 80-89Hipertensi Derajat 1 Derajat 2

140-159≥ 160

atauatau

90-99≥ 100

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan,

yaitu (Schrier, 2000) :

a. Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui

penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95%

kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,

lingkungan, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin

angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca

intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti

obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer

biasanya timbul pada umur 30-50 tahun (Schrier, 2000).

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5% kasus.

Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit

ginjal, hipertensi vaskuler renal, hiperaldosteronisme primer, dan

sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang

berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain (Schrier, 2000).

Page 11: BAB II (Repaired).docx

14

2. Patogenesis

Tingkat tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang

ditentukan oleh interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan dan

demografik yang mempengaruhi dua variabel hemodinamik yaitu curah

jantung dan resistensi perifer. Total curah jantung dipengaruhi oleh

volume darah, sementara volume darah sangat bergantung pada

homeostasis natrium. Resistensi perifer total terutama ditentukan di

tingkat arteriol dan bergantung pada efek pengaruh saraf dan hormon.

Tonus vaskular normal mencerminkan keseimbangan antara pengaruh

vasokonstriksi humoral (termasuk angiotensin II dan katekolamin) dan

vasodilator (termasuk kinin, prostaglandin, dan oksida nitrat) (Kumar et

al, 2007).

Resistensi pembuluh juga memperlihatkan autoregulasi;

peningkatan aliran darah memicu vasokonstriksi agar tidak terjadi

hiperperfusi jaringan. Faktor lokal lain seperti pH dan hipoksia, serta

interaksi saraf (sistem adrenergik α- dan β-), mungkin penting. Ginjal

berperan penting dalam pengendalian tekanan darah, melalui sistem

renin-angiotensin, ginjal mempengaruhi resistensi perifer dan

homeostasis natrium. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan

meningkatkan resistensi perifer (efek langsung pada sel otot polos

vaskular) dan volume darah (stimulasi sekresi aldosteron, peningkatan

reabsorbsi natrium dalam tubulus distal). Ginjal juga menghasilkan

berbagai zat vasodepresor atau antihipertensi yang mungkin melawan

efek vasopresor angiotensin. Bila volume darah berkurang, Laju Filtrasi

Page 12: BAB II (Repaired).docx

15

Glomerulus (LFG) turun, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi

natrium oleh tubulus proksimal sehingga natrium ditahan dan volume

darah meningkat (Kumar et al, 2007).

3. Hipertensi pada DM tipe 2 Obes

Pada penderita DM tipe 2, hipertensi berhubungan dengan

resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin. Hal ini

berkaitan pada kelainan fungsi endotel. Sel endotel mensintesis beberapa

substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur dan fungsi pembuluh

darah. Substansi bioaktif ini diantaranya yaitu Nitrit Oksida (NO),

prostaglandin, endothelin, dan angiotensin II. Pada individu tanpa DM,

NO membantu melindungi pembuluh darah dan menghambat

aterogenesis. Pada penderita DM, bioavailabilitas pada endotelium yang

diperoleh dari NO, mengalami penurunan (Rodbard, 2007).

Patogenesis hipertensi pada obesitas masih belum jelas benar.

Beberapa ahli berpendapat peranan faktor genetik sangat menentukan

kejadian hipertensi pada obesitas, tapi yang lain berpendapat bahwa

faktor lingkungan mempunyai peranan lebih utama. Obesitas merupakan

faktor risiko independen untuk terjadinya hipertensi (Rahmouni et al,

2005).

Obesitas berhubungan dengan peningkatan aliran darah regional,

cardiac output, dan tekanan arteri. Peningkatan cardiac output

disebabkan karena tambahan aliran darah yang disebabkan adanya

jaringan lemak tambahan, aliran darah pada jaringan non-adiposa

termasuk jantung, ginjal, saluran cerna dan otot skelet juga meningkat

Page 13: BAB II (Repaired).docx

16

bersamaan peningkatan berat badan. Vasodilatasi pada jaringan ini

tampaknya menjadi bagian peningkatan metabolic rate dan akumulasi

setempat metabolit vasodilator seperti juga pada pertumbuhan organ dan

jaringan sebagai respon peningkatan kebutuhan metabolik (Abe-Aizawa

et al, 2000).

Saat ini dugaan yang mendasari timbulnya hipertensi pada

obesitas adalah peningkatan volume plasma dan peningkatan curah

jantung yang terjadi pada obesitas. Adanya disfungsi ginjal dengan

karakteristik peningkatan reabsorbsi natrium tubulus dan pengaturan

ulang natriuresis memegang peranan penting terhadap peningkatan

tekanan darah pada obesitas (Kopojos, 2003).

C. Laju Filtrasi Glomerulus

Darah yang masuk ke dalam ginjal melalui arteriol aferen dan menuju

ke glomerulus akan mengalami filtrasi. Tekanan darah pada arteri yang relatif

cukup tinggi dan tekanan arteriol eferen yang relatif lebih rendah akan

manimbulkan filtrasi pada glomerulus. Kemampuan ginjal, tepatnya pada

glomerulus, menyaring darah dinilai dengan penghitungan Laju Filtrasi

Glomerulus (LFG) atau juga dikenal sebagai Glomerular Filtration Rate

(GFR). LFG dihitung dari jumlah kadar kreatinin yang menunjukkan

kemampuan fungsi ginjal menyaring darah dalam satuan ml/menit/1,73m2

(Alam & Hadibroto, 2007).

Page 14: BAB II (Repaired).docx

17

Proses terjadinya filtrasi pada glomerulus dipengaruhi oleh beberapa

tekanan sebagai berikut (Alam & Hadibroto, 2007):

1. Tekanan kapiler pada glomerulus (50 mmHg)

2. Tekanan pada kapsula Bowman (10 mmHg)

3. Tekanan osmotik koloid plasma (25 mmHg)

Ketiga faktor diatas berperan penting dalam laju filtrasi. Semakin tinggi

tekanan kapiler pada glomerulus maka semakin meningkat filtrasi dan

sebaliknya, semakin tinggi tekanan pada kapsula Bowman serta tekanan

osmotik koloid plasma, akan menyebabkan semakin rendahnya filtrasi yang

terjadi pada glomerulus (Alam & Hadibroto, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi LFG diantaranya adalah (Alam &

Hadibroto, 2007):

1. Tekanan glomerulus

Semakin tinggi tekanan glomerulus, semakin tinggi LFG. Semakin tinggi

tekanan osmotik koloid plasma dan tekanan pada kapsula Bowman,

semakin menurun LFG.

2. Aliran darah ginjal

Semakin cepat aliran darah ke glomerulus maka semakin meningkat

LFG.

3. Perubahan arteriol aferen

Apabila terjadi vasokonstriksi arteriol aferen akan menyebabkan aliran

darah ke glomerulus menurun. Keadaan ini akan menyebabkan LFG

menurun, begitupun sebaliknya.

Page 15: BAB II (Repaired).docx

18

4. Perubahan arteriol eferen

Pada keadaan vasokonstriksi arteriol eferen akan terjadi

peningkatanLFG, begitupun sebaliknya.

5. Pengaruh perangsangan simpatis

Rangsangan simpatis ringan dan sedang akan menyebabkan

vasokonstriksi arteriol aferen sehingga menyebabkan penurunan LFG.

6. Perubahan tekanan arteri

Peningkatan tekanan arteri melalui autoregulasi akan menyebabkan

vasokonstriksi arteriol aferen sehingga menyebabkan penurunan LFG.

Menurut National Kidney Foundation – Kidney Disease Outcomes

Quality Initiative (NKF-KDOQI, 2000), gangguan fungsi ginjal dapat

dikelompokkan menjadi empat stadium menurut keparahannya, yaitu:

1. Kondisi Normal

Ginjal tidak mengalami kerusakan, nilai LFG normal. Ginjal berfungsi

di atas 90%. Nilai LFG di atas 90 ml/menit/1,73m2.

2. Stadium 1

Kerusakan ginjal ringan dengan penurunan nilai LFG, belum terasa

gejala yang mengganggu. Ginjal berfungsi 60-89%, dan nilai LFG 60-

89 ml/menit/1,73m2.

3. Stadium 2

Kerusakan ginjal sedang dan masih bisa dipertahankan. Ginjal

berfungsi 30-59%. Nilai LFG 30-59 ml/menit/1,73m2.

Page 16: BAB II (Repaired).docx

19

4. Stadium 3

Kerusakan ginjal berat, tingkat membahayakan. Ginjal berfungsi 15-

29% dan nilai LFG 15-29 ml/menit/1,73m2.

5. Stadium 4

Kerusakan parah, harus dilakukan hemodialisa. Fungsi ginjal kurang

dari 15% dengan nilai LFG kurang dari 15 ml/menit/1,73m2.

Penghitungan LFG dapat menggunakan beberapa metode. Rumus

yang paling umum dan banyak digunakan adalah rumus Cockroft-Gault

yaitu :

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – usia) x Berat Badan

(72 x Kadar kreatinin Plasma)

Dan untuk jenis kelamin wanita, hasil dikalikan 0,85.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiana (2007), didapatkan

bahwa rumus dari The Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) lebih

akurat digunakan untuk menentukan prevalensi penderita penyakit ginjal

kronik dibandingkan dengan rumus Cockroft-Gault. Rumus tersebut adalah :

LFG (ml/menit) = 175 x (sCr)-1,154 x (Usia)-0,203 x (0,742 jika wanita)

Keterangan : sCr (kadar kreatinin serum).

D. DM tipe 2 Obes dengan Hipertensi dan LFG

Peningkatan insidensi DM dan obesitas akan meningkatkan

insidensi komplikasi-komplikasinya. Dari berbagai penelitian didapatkan

sebanyak 30-40% penderita DM tipe 2 obes akan mengalami kerusakan

Page 17: BAB II (Repaired).docx

20

ginjal berupa nefropati diabetik, selain komplikasi pada organ ginjal, DM

tipe 2 obes juga merupakan penyebab peningkatan insidensi morbiditas

dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Dengan meningkatnya insidensi

DM tipe 2 obes maka secara signifikan akan meningkatkan pula insidensi

gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler (Permana, 2009).

Pada umumnya pada pasien DM ditemukan pula pasien tersebut

menderita hipertensi. Patogenesis hipertensi pada penderita DM tipe 2

obes sangat kompleks karena banyak sekali faktor yang berpengaruh pada

peningkatan tekanan darah. Pada DM, faktor-faktor yang mempengaruhi

hipertensi selain obesitas yaitu juga adanya resistensi insulin, kadar

glukosa darah plasma dan juga faktor-faktor lain pada sistem autoregulasi

pengaturan tekanan darah (Permana, 2009).

Secara fisiologis sistem renin angiotensin melibatkan hormon-

hormon seperti angiotensinogen, yang akan berubah menjadi Angiotensin I

dengan bantuan Renin. Angiotensin I dengan adanya Angiotensin-

Converting Enzyme (ACE) berubah menjadi Angiotensin II. Setelah itu

Angiotensin II akan aktif bila tertangkap oleh reseptornya yaitu AT1 dan

AT2, yang paling banyak ditemukan yaitu AT1. Angiotensin II pada

reseptor AT1 akan memicu proses yang sangat komplek pada organ-organ,

salah satunya adalah ginjal (Permana, 2009).

Pada DM, selain keadaan hiperglikemia dan obesitas sebagai faktor

risiko, juga dapat ditemukan faktor risiko kardiovaskuler lain, seperti

hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemia, dislipidemia,

hiperkoagulasi, dan mikroalbuminuria. Dasar patofisiologi kelainan

Page 18: BAB II (Repaired).docx

21

tersebut adalah adanya gangguan pada metabolisme yang sering

dikemukakan akhir-akhir ini sebagai sindroma metabolik (National

Cholesterol Education Program, 2001; American Diabetes Association,

2003).

Hubungan sindroma metabolik dengan faktor risiko penyakit

kardiovaskuler adalah dengan terjadinya proses aterosklerosis yang

menggambarkan terjadinya disfungsi endotel. Faktor-faktor yang terkait

yaitu tekanan darah, obesitas abdominal, hiperinsulinemia, hiperkoagulasi

dan dislipidemia, diawali dengan keadaan resistensi insulin (National

Cholesterol Education Program, 2001; American Diabetes Association,

2003).

Gambar 2.2. Diabetes pada patogenesis aterosklerosis (Feener & Dzau, 2006)

Aterosklerosis merupakan salah satu penyebab utama dari

kesakitan dan kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis

Page 19: BAB II (Repaired).docx

22

(Massay, 2005). Pada penderita DM dengan hipertensi yang tidak

terkontrol akan mengalami komplikasi pada ginjal atau disebut juga

nefropati diabetik. Pada keadaan nefropati diabetik dan penyakit ginjal

kronis, ginjal sudah mengalami gangguan baik dari fungsi maupun

strukturnya. Adanya gangguan fungsi ginjal akan mempengaruhi LFG

(Walaa, 2004).

Page 20: BAB II (Repaired).docx

23

E. Kerangka Teori Penelitian

Obesitas

Adipositokin :Adiponektin, leptin, TNF-α, IL-6, PAI-1, RBP4, NEFAs, dll

HipertensiAktivitas RAAS

AterosklerosisGlomerulosklerosisResistensi Insulin

Hiperinsulinemia + Toleransi Glukosa

Normal

Hiperinsulinemia + Hiperglikemi postpandrial

↓ Fungsi Sel β Pankreas

-Genetik-Lingkungan-Glukotoksisitas-Lipotoksisitas-Autoimun

↑ Produksi Glukosa Hepar

DM Tipe 2

Kerusakan Glomerulus

LFG

Page 21: BAB II (Repaired).docx

24

Gambar 2.3. Kerangka Teori

F. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.4. Kerangka Konsep

G. Hipotesis

Terdapat hubungan antara hipertensi dengan Laju Filtrasi Glomerulus

(LFG) pada pasien DM tipe 2 Obes di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.

Hipertensi pada pasien DM tipe 2 Obes

LFG