bab ii potensi dan pendidikan anak a. potensi 1...

46
15 BAB II POTENSI DAN PENDIDIKAN ANAK A. Potensi 1. Pengertian Potensi Pada dasarnya setiap individu itu memiliki kekhususan pada dirinya masing-masing, yang itu sebagai salah satu ciri untuk membedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Kekhususan itu bentuknya berupa potensi. Meskipun demikian, potensi adalah merupakan suatu konsep yang sukar untuk dimengerti, meskipun istilah ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari khususnya dalam dunia psikologi dan pendidikan. Untuk dapat memberikan penjelasan mengenai potensi secara cepat, jelas dan mudah untuk dipahami, maka potensi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Etimologi Kata potensi itu berasal dari bahasa Inggris yaitu potency, potential dan potentiality, yang mana dari ketiga kata tersebut memiliki arti tersendiri. Kata potency memiliki arti kekuatan, terutama kekuatan yang tersembunyi. Kemudian kata potential memiliki arti yang ditandai oleh potensi, mempunyai kemampuan terpendam untuk menampilkan atau bertindak dalam beberapa hal, terutama hal yang mencakup bakat atau intelegensia. Sedangkan kata potentiality mempunyai arti sifat yang mempunyai bakat terpendam, atau kekuatan bertindak dalam sikap yang pasti di masa mendatang. 1 Dalam bahasa Arab, kata potensi dijelaskan dengan kata إ ﻣﻜﺎﻧﻴﺔ إﻣﻜﺎﻧﻰdan اﻻﻣﻜﺎﻧﻴﺔ, dari ketiga kata tersebut mempunyai arti potency, potential dan potentiality. 2 Dari kata tersebut arahnya terfokus pada kemampuan dasar manusia untuk dapat dikembangkan dan dioptimalkan dengan sebaik-baiknya. 1 M. Hafi Anshari, Kamus Psichologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hlm. 482. 2 Munir Ba’albaqi, Al Mawrid a Basic Modern English-Arabic Dictionary, (Beirut: Darul Ilm lil Malayen, 2002), hlm. 712.

Upload: nguyendan

Post on 18-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

POTENSI DAN PENDIDIKAN ANAK

A. Potensi

1. Pengertian Potensi

Pada dasarnya setiap individu itu memiliki kekhususan pada dirinya

masing-masing, yang itu sebagai salah satu ciri untuk membedakan antara

individu satu dengan individu lainnya. Kekhususan itu bentuknya berupa

potensi. Meskipun demikian, potensi adalah merupakan suatu konsep yang

sukar untuk dimengerti, meskipun istilah ini sering digunakan dalam

bahasa sehari-hari khususnya dalam dunia psikologi dan pendidikan.

Untuk dapat memberikan penjelasan mengenai potensi secara cepat,

jelas dan mudah untuk dipahami, maka potensi dapat ditinjau dari dua

segi, yaitu:

a. Etimologi

Kata potensi itu berasal dari bahasa Inggris yaitu potency,

potential dan potentiality, yang mana dari ketiga kata tersebut

memiliki arti tersendiri. Kata potency memiliki arti kekuatan, terutama

kekuatan yang tersembunyi. Kemudian kata potential memiliki arti

yang ditandai oleh potensi, mempunyai kemampuan terpendam untuk

menampilkan atau bertindak dalam beberapa hal, terutama hal yang

mencakup bakat atau intelegensia. Sedangkan kata potentiality

mempunyai arti sifat yang mempunyai bakat terpendam, atau kekuatan

bertindak dalam sikap yang pasti di masa mendatang.1

Dalam bahasa Arab, kata potensi dijelaskan dengan kata مكانية إ

,dari ketiga kata tersebut mempunyai arti potency ,االمكانية dan إمكانى

potential dan potentiality.2 Dari kata tersebut arahnya terfokus pada

kemampuan dasar manusia untuk dapat dikembangkan dan

dioptimalkan dengan sebaik-baiknya.

1 M. Hafi Anshari, Kamus Psichologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hlm. 482. 2 Munir Ba’albaqi, Al Mawrid a Basic Modern English-Arabic Dictionary, (Beirut: Darul

Ilm lil Malayen, 2002), hlm. 712.

16

b. Terminologi

Selain dari sudut pandang bahasa, kata potensi juga

didefinisikan oleh para ahli psikologi ataupun para ahli disiplin ilmu

lainnya sesuai dengan kapabilitas keilmuan masing-masing. Di

antaranya adalah sebagai berikut:

1) Jalaluddin

“Potensi dalam konsep pendidikan Islam disebut fitrah yang berarti kekuatan asli yang terpendam di dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi kepribadiannya serta yang dijadikan alat untuk pengabdian dan ma’rifatullah”.3

2) Slamet Wiyono

“Potensi adalah kemampuan dasar manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. sejak dalam kandungan ibunya sampai pada saat tertentu (akhir hayatnya) yang masih terpendam di dalam dirinya menunggu untuk diwujudkan menjadi sesuatu manfaat nyata dalam kehidupan diri manusia di dunia ini dan di akhirat nanti”.4

3) Chalijah Hasan

“Potensi sama dengan fitrah. Karena kata fitrah dalam bahasa psikologi disebut dengan potensialitas atau disposisi atau juga kemampuan dasar yang secara otomatis adalah mempunyai kecenderungan untuk dapat berkembang”.5

Bertolak dari pengertian atau definisi yang ada itu, maka dapat

dikatakan bahwa potensi adalah sesuatu atau kemampuan dasar manusia

yang telah ada dalam dirinya yang siap untuk direalisasikan menjadi

kekuatan dan dimanfaatkan secara nyata dalam kehidupan manusia di

dunia ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT.

3 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 137. 4 Slamet Wiyono, Manajemen Potensi Diri, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 37-38. 5 Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: al Ikhlas, 1994),

hlm. 35.

17

2. Jenis-jenis Potensi Manusia

Potensi yang ada dalam setiap manusia menurut para ilmuan itu

sungguh tak terbatas, akan tetapi hingga tingkat peradaban sekarang ini

yang digunakan hanya satu persen dari seluruh potensi tersebut.6 Potensi

diri manusia secara utuh adalah keseluruhan badan atau tubuh manusia

sebagai suatu sistem yang sempurna dan paling sempurna bila

dibandingkan dengan sistem makhluk ciptaan Allah lainnya. Ini sesuai

dengan Firman Allah surat at Tin ayat 4:

)4: التني(لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقومي

Sesungguhnya kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. al-Ti>n: 4)7

Jenis atau bentuk potensi itu sangat beragam. Menurut Hasan

Langgulung Allah memberi manusia beberapa potensi atau kebolehan

berkenaan dengan sifat-sifat Allah yaitu Asmaul Husna yang berjumlah

99.8 Dengan berdasarkan bahwa proses penciptaan manusia itu secara non

fisik.9 Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Hijr ayat 29

sebagai berikut:

)29: احلجر(ذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين فإ

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kepadanya dengan bersujud (QS. al-Hijr: 29)10

Dengan kata lain sifat-sifat Allah itu merupakan potensi pada

manusia yang kalau dikembangkan, maka ia telah memenuhi tujuannya

diciptakan, yaitu untuk ibadah kepada penciptanya.11

6 A Vaqhutika Ananda Mitra Acarya, “Neo Humanist Education”, terj. Ketut Nila,

Pendidikan Neo Humanis, (Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia, 1991), hlm. 4. 7 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 1076. 8 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al

Ma’arif, 1980), hlm. 20 9 Ibid., hlm. 21. 10 Soenarjo, op. cit., hlm. 393. 11 Hasan Langgulung, loc. cit.

18

Sedangkan apabila diidentifikasi secara garis besarnya manusia

dibekali tiga potensi dasar yaitu:

1) Roh. Potensi ini lebih cenderung pada potensi tauhid dalam bentuk

adanya kecenderungan untuk mengabdi pada penciptanya.

2) Potensi jasmani berupa bentuk fisik dan faalnya serta konstitusi

biokimia yang teramu dalam bentuk materi.

3) Potensi Rohani, berupa konstitusi non materi yang terintegrasi dalam

komponen-komponen yang terintegrasi. 12

Sedangkan menurut Jalaluddin, secara garis besarnya membagi

potensi manusia menjadi empat, yang secara fitrah sudah dianugerahkan

Allah kepada manusia,13 yaitu sebagai berikut:

a. Hida>yah al-Ghari>zziyah/ wujdaniyah (naluri)

Potensi naluriyah disebut juga dengan istilah hidayah

wujdaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri

yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di

muka bumi ini.14 Potensi ini dapat dikatakan sebagai suatu kemampuan

berbuat tanpa melalui proses belajar mengajar.15

Dalam potensi ini memberikan dorongan primer yang berfungsi

untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Di antara

dorongan itu adalah insting untuk memelihara diri seperti makan

minum, dorongan untuk mempertahankan diri seperti nafsu marah dan

dorongan untuk mengembangkan diri. Dorongan ini contohnya adalah

naluri seksual.16

12 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan

Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 110 13 Jalaluddin, op. cit., hlm. 32. 14 Djamaluddin Darwis, “Manusia menurut Pandangan Qur’ani”, dalam Chabib Thoha

dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 102. 15 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan

Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 24. 16 Jaluddin, op. cit., hlm. 33.

19

b. Hida>yah al-Hissiyyah (indra)

Secara umum kita dapat mengenali potensi indera kita dengan

sebutan pancaindera yaitu indera yang berjumlah lima.17 Potensi yang

Allah berikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan inderawi

sebagai penyempurna potensi yang pertama. Pancaindera ini

merupakan jendela komunikasi untuk mengetahui lingkungan

kehidupan manusia,18 sehingga dari sini manusia akan mendapatkan

ilmu dan pengetahuan .

Potensi inderawi yang umum dikenal itu berupa indera

penciuman, perabaan, pendengar dan perasa. Namun, di luar itu masih

ada sejumlah alat indera dengan memanfaatkan alat indera lain yang

sudah siap.19 Yang oleh Toto Tasmara dikaitkan dengan fuad yang

merupakan potensi qalbu yang berfungsi untuk mengolah informasi

yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia (fungsi rasio,

kognitif). Fuad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur

kepada apa yang dilihatnya,20 yang menurut al-Ghazali fuad/qalb

merupakan alat dan wadah guna memperoleh ilmu pengetahuan.21

c. Hida>yah al-‘Aqliyah (akal)

Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk

memahami simbol-simbol hal-hal yang abstrak, menganalisa,

membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih

maupun memisahkan antara yang benar dan yang salah.22 Potensi akal

ini sebagai organ yang ada dalam manusia yang untuk membedakan

antara manusia dengan makhluk yang lain.23

17 Slamet Wiyono, loc. cit. 18 Djamaluddin Darwis, loc. cit. 19 Jalaluddin, op. cit., hlm. 33-34. 20 Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah: Transcendental Intelligence, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2001), hlm. 94. 21 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai

Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 291. 22 Jalaluddin, op. cit., hlm. 34. 23 Umary Barmawie, Material Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), hlm. 21.

20

Akal sebagai potensi manusia dalam pandangan Islam itu

berbeda dengan otak. Akal di sini diartikan sebagai daya pikir yang

terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam merupakan ikatan dari

tiga unsur, yaitu pikiran, perasaan dan kemauan. Bila ikatan itu tidak

ada, maka tidak ada akal itu.24

Akal diartikan juga sebagai sifat yang untuk memahami dan

menemukan pengetahuan dan sebagai unsur pemahaman dalam diri

manusia yang mengenal hakekat segala sesuatu. Terkadang akal ini

disebut kalbu jasmaniyah, yang ada dalam dada, sebab antara kalbu

jasmani dengan lat}i>fah ‘amaliyah mempunyai hubungan unik.

Karena hubungannya dengan seluruh tubuh harus melalui kalbu

jasmani tersebut. Kalbu jasmani itulah yang merupakan naluri tubuh

sekaligus sebagai pusat bagi seluruh gerak tubuh.25

Dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an kata ‘aql dapat dipahami

sebagai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu.

Dorongan moral dan daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan

serta hikmah.26 Selain itu, akal merupakan pengertian dan pemikiran

yang berubah-ubah dalam menghadapi segala sesuatu, baik yang

tampak jelas maupun yang tidak jelas.27 Dengan potensi akal ini,

manusia akan mampu berpikir dan berkreasi menggali dan menemukan

ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepada

manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Dan potensi akal inilah yang

ada dalam diri manusia sebagai sumber kekuatan yang luar biasa dan

dahsyat yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.28

24 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 158.

25 Abu Hamid al-Ghazali, “Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Shalihin”, terj. Mohammad Luqman Hakim, Raudha: Taman Jiwa Kaum Sufi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 48.

26 Muhammad Quraish Shihab, op. cit., hlm. 294-295. 27 Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1991), hlm. 22 28 Akal manusia atas unsur rasio dan hati rasa. Akal manusia akan berfungsi dengan baik,

mana kata hati hatinya baik suci dan senantiasa beriman. Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani press, 1996), hlm. 85-86.

21

d. Hida>yah Di>niyah (keagamaan)

Pada dasarnya dalam diri manusia sudah ada yang namanya

potensi keagamaan, yaitu dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu

yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.29 Dalam

Islam potensi yang hubungannya dengan keagamaan disebut fitrah,

yaitu kemampuan yang telah Allah ciptakan dalam diri manusia, untuk

mengenal Allah. Inilah bentuk alami yang dengannya seorang anak

tercipta dalam rahim ibunya sehingga dia mampu menerima agama

yang hak.30 Potensi fitrah (keagamaan) merupakan bawaan alami.

Artinya ia merupakan sesuatu yang melekat dalam diri manusia

(bawaan), dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha

(muktasabah).31

Potensi fitrah pada intinya sudah diterima dalam jiwa manusia

sendiri dan merupakan potensi yang hebat, energi dahsyat yang tidak

ditundukkan oleh kekuatan lahiriyah yang konkrit apabila ia

dikerahkan, diarahkan dan dilepaskan secara wajar menurut apa yang

telah diterapkan.32 Bentuk potensi ini menunjukkan bahwa manusia

sejak asal kejadiannya membawa potensi beragama yang lurus dan ini

merupakan pondasi dasar dalam agama Islam untuk mengarahkan

potensi-potensi yang ada dari insting, inderawi dan aqli. Sebagaimana

Firman Allah SWT. dalam surat al Rum ayat 30:

ة الله التي فطرنيفا فطرين حللد كهجو فأقم مالقي ينالد لق اهللا ذلكديل لخبا ال تهليع اسالن

)30:الروم(ولكن أكثر الناس اليعلمون Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada

29 Jalaluddin, op. cit., hlm. 34. 30 Yasien Muhammad, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, (Bandung: Mizan,

1995), hlm. 20 31 Murtadha Muthahari, Fitrah, terj. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera Basritama, 1998),

hlm. 20. 32 Sayyid Qutb, Hari Esok untuk Islam, terj. Janaluddin Kafie, (Surabaya: Bina Ilmu,

1982), hlm. 84.

22

perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tdiak mengetahuinya (QS. al-Rum: 30)33

Keempat hidayah tersebut menurut Munawar Khalil sebagaimana

dikutip Jamaluddin Darwis masih bersifat umum, sedangkan hidayah yang

bersifat khusus berupa hidayah taufiqiyah.

Hidayah taufiqiyah adalah hidayah yang bersifat khusus, sehingga

sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tidak semua

manusia dapat menerima kehadirannya. Banyak manusia yang tidak

menggunakan akalnya dalam kendali agama, melainkan membiarkan

bebas dan didewasakan dalam menentukan mana yang benar dan mana

yang salah. Untuk itu, agama bertugas menuntun agar manusia diberi

petunjuk ke jalan yang lurus berupa hidayah dan taufiq untuk menuju

kesuksesan. Hidayah ini merupakan pertolongan Allah yang bersifat

khusus, dan tidak semua orang menerimanya. Ia menjadi dambaan setiap

muslim sebagaimana yang selalu dibaca dalam doa surat al-Fatihah,

“Ihdina al-Shirat al-Mustaqim “Ya Allah tunjukanlah kami ke jalan yang

lurus.34

Potensi sebagai kemampuan dasar dari manusia yang bersifat fitri

yang terbawa sejak lahir memiliki komponen-komponen dasar yang dapat

ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Karena komponen dasar ini

bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, di

antaranya adalah lingkungan pendidikan. Komponen-komponen dasar itu

meliputi hal-hal sebagai berikut:35

1) Bakat

Bakat dalam hal ini dekat pengertiannya dengan kata aptitude

yang berarti kecakapan pembawaan, yaitu yang mengenai

kesanggupan. Kesanggupan (potensi-potensi) tertentu36 Bakat ini akan

33 Soenarjo, op. cit., hlm. 645. 34 Jamaludin Darwis, MMMMMMMMMMMMMMMMM 35 Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit., hlm. 29. 36 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2001), hlm. 69.

23

tampak nyata jika ia mendapat kesempatan atau kemungkinan untuk

berkembang.

Menurut William B. Michael sebagaimana dikutip oleh Sumadi

Suryabrata, meninjau bakat itu terutama dari segi kemampuan individu

untuk melakukan suatu tugas yang sedikit sekali tergantung kepada

latihan.37 Titik tekan dalam bakat adalah dari segi apa yang dapat

dilakukan individu. Adapun Guillford menjelaskan, bahwa aptitude

mencakup tiga dimensi psikologis, yaitu perseptual, psikomotor dan

intelektual.38 Dari ketiga dimensi tersebut saling mendukung

terwujudnya bakat dalam diri individu.

Pada dasarnya bakat merupakan kemampuan bawaan sejak lahir

sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar

terwujud suatu tindakan yang dapat dilakukan di masa mendatang.39

Seseorang yang memiliki bakat tertentu sejak kecilnya, tetapi tidak

memperoleh kesempatan untuk berkembang yang disebabkan tidak ada

dana untuk latihan, maka bakatnya tidak dapat berkembang. Hal ini

biasanya dikatakan sebagai bakat terpendam.

Pada umumnya anak-anak mempunyai bakat yang dapat

diketahui orang tuanya dengan memperhatikan tingkah laku dan

kegiatan anaknya sejak dari kecil. Biasanya anak yang memiliki bakat

dalam suatu bidang, dia akan gemar sekali melakukan/ membicarakan

bidang tersebut.40 Oleh karena itu, cassidy menyebabkan lima hal

sebagaimana dikutip Reni Akbar dan Hawadi yang mungkin dapat

menjadi pegangan bagi orang tua dalam mendidik anaknya yang

tegolong berbakat:

1. Berlaku sebagai pendorong anak dengan sekolahnya di dalam memberikan informasi tentang kekuatan-kekuatan dan gaya belajar yang dimiliki anak.

37 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.

160. 38 Ibid., hlm. 161-162. 39 Sc. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, (Jakarta:

Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), hlm. 17-18. 40 M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 128.

24

2. Menyediakan kesempatan belajar di rumah/di luar rumah. 3. Bantulah anak pada setiap tugas yang diberikan oleh sekolah. 4. Berperan sebagaai mentor dan tidak segan-segan bertukar

pikiran dengan orang tua lainnya maupun anak yang lain. 5. Mengembangkan materi pelajaran yang diberikan untuk anak

sesuai dengan minat dan kemampuannya.41

Dari penjelasan itu menunjukkan bahwa dalam diri anak

terdapat kemampuan dasar dan dalam mengembangkannya butuh

pengajaran. Karena pada dasarnya kecakapan ini berkembang dengan

perpaduan antara dasar dengan training (ajar/latihan) yang intensif dan

pengalaman.

2) Insting atau gha>rizah

Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau

beringkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan

insting inipun merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam dunia

psikologi pendidikan, kemampuan ini disebut dengan istilah

“kapabilitas”.42

Naluri (gha>rizah) kebanyakan digunakan untuk binatang dan

jarang sekali untuk manusia. Sebab hakekat naluri yang sebenarnya

masih belum jelas hingga saat ini.43 Namun demikian masih terdapat

beberapa pendapat mengenai insting oleh beberapa sarjana yang

memberikan ta’ri>f naluri sebagai suatu sifat yang dapat menimbulkan

perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir terlebih

dahulu ke arah tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu.44

Insting merupakan tendensi khusus dari jiwa manusia/binatang yang

menimbulkan tingkah laku yang sudah terbawa sejak lahir tanpa

melalui proses belajar.

41 Reni Akbar dan Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat dan

Kemampuan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 150. 42 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan

Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 101. 43 Murtadha Muthahari, op. cit., hlm. 18-19. 44 Hamzah Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah Suatu Pengantar,

(Bandung: Diponegoro, 1983), hlm. 58.

25

3) Nafsu dan dorongan-dorongan (drives)

Nafsu adalah makna keseluruhan dari potensi amarah dan

senang yang ada dalam diri manusia.45 Nafsu mempunyai arti juga

sebagai organ rohani yang besar pengaruhnya dan yang paling banyak

di antara anggota rohani yang mengeluarkan instruksi kepada anggota

jasmani untuk berbuat atau bertindak.46 Nafsu juga merupakan tenaga

potensial yang berupa dorongan-dorongan untuk berbuat dan bertindak

kreatif dan dinamis yang dapat berkembang kepada dua arah, yaitu

kebaikan dan kejahatan.47 Ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat

al-Syams ayat 7 sebagai berikut:

)7- 8: الشمس (فألهمها فجورها وتقواها. ونفس وما سواهاDemi nafs serta penyempurnaan ciptaan. Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. al-Syams: 7-8)48

Inilah yang menunjukkan, bahwa nafsu itu berpotensi positif

dan negatif. Akan tetapi diperoleh pula isyarat, bahwa hakekatnya

potensi positif manusia lebih kuat dari negatif, hanya saja daya tarik

keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia

dituntut untuk dapat memelihara kesucian nafsu dan tidak

mengotorinya.

4) Karakter atau tabiat manusia

Watak tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang

terbawa sejak lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral,

sosial serta etis seseorang. Karakter dan tabiat ini terbentuk dari diri

manusia dan bukan dari pengaruh luar dan berhubungan erat dengan

kepribadian seseorang. Oleh karena itu ciri keduanya hampir tidak

dapat dibedakan dengan jelas.49

45 Abu Hamid al-Ghazali, op. cit., hlm. 48. 46 Barmawy Umary, op. cit., hlm. 22. 47 Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Jakarta: Alfbeta, 1993), hlm. 13. 48 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 1064. 49 M. Arifin, op. cit., hlm. 103.

26

5) Hereditas

Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan

dasar yang mendukung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang

diturunkan oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang

telah jauh.50 Hereditas ini lebih mengarah pada bentuk fisik dan

kejiwaan yang dimiliki oleh individu lebih identik atau memiliki

kesamaan dengan orang-orang terdekatnya seperti kedua orang tuanya.

6) Intuisi

Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui

proses penalaran tertentu. Intuisi ini dapat bekerja dalam keadaan tidak

sepenuhnya sadar. Artinya suatu permasalahan itu muncul dalam

keadaan orang itu tidak sedang menggelutinya, tetapi jawaban serta

merta muncul dibenaknya.51

Intuisi adalah kegiatan berfikir yang tidak analitis, tidak

berdasarkan pada pola berfikir tertentu. Pendapat yang berdasarkan

intuisi ini timbul dari pengetahuan yang terdahulu melalui suatu proses

berfikir yang tidak disadari. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa

intiusi merupakan pengalaman puncak. Pendapat lain mengatakan,

bahwa intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi.52 Intuisi hanya

diberikan Tuhan kepada jiwa manusia yang bersih dan dirasakan

sebagai getaran hati nurani yang merupakan panggilan Tuhan untuk

berbuat sesuatu yang amat khusus.

Berbagai potensi yang ada pada diri kita ini seyogyanya dimanage

atau dikelola dengan baik, kemudian digunakan secara optimal dalam

50 Ibid. 51 Amin Syukur dkk., Metodologi Studi Islam, (Semarang: Gunung Jati, 1998), hlm. 117.

Menurut Iqbal, “intuisi” diartikan ganda. Pendapat pertama, mengikuti Jalaludin Rumi yang mengartikan intuisi adalah qalb/fuad, yaitu sejenis batin atau wawasan yang dengan kata-kata Rumi Indah yang hidup dari sinar dan mengenalkan kepada masalah-masalah kenyataan, selain dari yang terbuka bagi serapan indera. Pendapat lain Iqbal mengikuti Bergson yang mendefinisikan intuisi adalah sebagai a Higher kind of intelectual, yaitu bagian yang lebih tinggi dari intelek. Danusiri, Etimologi dalam Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 48-49.

52 Ibnu Mas’ud dan Joko Paryono, Ilmu Alamiah Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 16-17.

27

hidup ini dan akhirnya yang sangat penting adalah mengendalikan potensi-

potensi tersebut agar selalu dapat memberikan kesuksesan, kebaikan,

kebahagiaan dan keberuntungan dalam hidup, baik di dunia maupun di

akherat nanti.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Potensi Manusia

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dan dilengkapi

dengan berbagai potensi yang tidak terbatas jumlahnya. Potensi-potensi

tersebut harus mendapatkan tempat dan perhatian serta pengaruh dari

manusia itu sendiri, seperti pembawaan dan keturunan. Selain dari faktor

manusia, terdapat pula faktor dari luar, seperti lingkungan. Semua ini

untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif.

Dalam perkembangan individu, ada beberapa kekuatan atau faktor-

faktor yang turut berperan dalam menentukan bagaimana perkembangan

tersebut, sehingga dalam hal ini akan diuraikan tentang faktor-faktor yang

berperan dalam perkembangan individu yang berhubungan dengan potensi

yang dimilikinya.

a. Faktor pembawaan

Pembawaan atau bakat merupakan potensi-potensi yang

memberikan kemungkinan kepada seseorang untuk berkembang

menjadi sesuatu. Berkembang atau tidaknya potensi yang ada pada diri

individu sangat bergantung kepada faktor-faktor lain. Aliran Nativisme

berpendapat, bahwa perkembangan individu itu ditentukan oleh

pembawaan yang ada pada dirinya masing-masing.53

Aliran ini menyatakan, bahwa perkembangan anak dalam

hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses

kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik

tidak berdaya merubahnya.54 Potensi yang bercorak nativistik ini

berkaitan juga dengan faktor hereditas yang bersumber dari orang tua,

53 Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973), hlm. 183.

54 M. Arifin, op. cit., hlm. 89.

28

termasuk keturunan beragama (religiousitas). Aliran nativisme

mengesampingkan faktor-faktor eksternal, seperti pendidikan atau

lingkungan serta pengalaman tidak ada artinya bagi perkembangan

hidup manusia.55

Sejalan dengan aliran nativisme, aliran naturalisme

mengatakan, bahwa individu sejak dilahirkan adalah memiliki potensi

baik. Perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan

yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh

pendidikan itu baik, maka akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya.56

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa anak atau manusia

itu sejak dilahirkan telah mempunyai kesanggupan untuk berjalan,

potensi untuk berkata-kata dan lain-lain. Potensi-potensi yang

bermacam-macam yang ada pada anak itu, tentu saja tidak begitu saja

dapat direalisasikan atau dengan begitu saja dapat menyatakan diri

dalam perwujudan untuk dapat diwujudkan, sehingga kelihatan dengan

nyata potensi-potensi tersebut harus dikembangkan dan dilatih.

b. Faktor lingkungan

Lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di luar diri

anak yang memberikan pengaruh terhadap perkembangannya. Karena

perkembangan anak itu juga dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.

Karena lingkungan juga merupakan arena yang memberikan

kesempatan pada kemungkinan-kemungkinan (potensi) yang ada pada

seseorang anak untuk dapat berkembang.57

Pengaruh lingkungan sangat besar bagi setiap pertumbuhan

fisik. Sejak individu masih berada dalam konsepsi, lingkungan telah

55 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 64. 56 M. Ngalim Purwanto, op. cit., hlm. 59. 57 Amir Daien Indrakusuma, op. cit., hlm. 84. lingkungan di sini meliputi semua

keadaaan, baik berupa orang, benda, kejadian atau peristiwa yang ada di sekeliling anak yang mempunyai pengaruh pada perkembangan dan pendidikan anak. lihat, Abu Ahmad, Ilmu Pendidikan, (Semarang: Toha Putra, Semarang: 1977), hlm. 20. Sementara itu menurut Sartain, lingkungan itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Lingkungan alam luar (external or pysical enviroment); 2) lingkungan dalam (internal enviroment); 3) lingkungan sosial/masyarakat (social enviroment). Lebih lanjut baca, M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 28.

29

ikut memberi andil bagi proses pembuahan, pertumbuhan, suhu,

makanan, keadaan gizi, vitamin, mineral, kesehatan jasmani, aktivitas

dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak.58

Sebaik apapun potensi atau pembawaan seorang anak, maka

tanpa adanya kesempatan dan pendidikan, maka potensi atau

pembawaan yang baik itu akan tetap hanya merupakan pembawaan

saja dan tidak berkembang. Sebaliknya meskipun potensi atau

pembawaan itu kurang baik, tetapi lingkungan memberi dorongan

yang cukup dan kesempatan yang leluasa, maka potensi yang kurang

baik itu bisa berkembang mencapai tingkat yang maksimal.59

Dari kedua pendapat tersebut, masing-masing ada benarnya.

Bahwasanya potensi anak itu dipengaruhi oleh faktor bawaan yang

merupakan warisan dari orang tuanya dan dipengaruhi pula oleh faktor

lingkungan di mana anak itu tumbuh dan berkembang. Akan tetapi

kurang relevan apabila faktor pembawaan dan lingkungan itu

dikatakan secara mutlak mempengaruhi potensi yang ada pada anak.

karena pada intinya kedua faktor itu sama-sama mempunyai pengaruh,

sehingga dari sinilah muncul teori yang dikenal dengan teori

konvergensi.

c. Teori Fitrah

Menurut Islam, fitrah merupakan potensi dasar manusia. Karena

manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu

tauhid. Berangkat dari ajaran fitrah ini, manusia pada hakekatnya

beriman by nature.60 Hal ini diperjelas dengan Firman Allah SWT.

dalam surat al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:

58 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm, 87-88. 59 Ibid., hlm. 85. 60 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 47.

30

دم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على وإذ أخذ ربك من بني اأنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا

ذا غافلنيه ن172: األعراف( ع( Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: (Betul Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kami tidak mengatakan: “sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).61

Dalam ayat atas, Allah bermaksud membuktikan ketuhanan-Nya

dengan mempersaksikan kepada manusia tentang hakikat dirinya

sendiri. Hakikat itu adalah bahwa manusia mempunyai kebutuhan

dalam segi kebutuhannya, baik dari segi wujudnya maupun berbagai

tuntutan dan hukum yang berkenaan dengan wujudnya. Sementara itu,

manusia sendiri adalah makhluk yang lemah, tidak mampu menguasai,

mengatur dan memelihara dirinya sendiri, sehingga ia membutuhkan

penguasa, pengatur dan pemeliharaannya, dan itu bukan lain adalah

Allah SWT.62

Sementara itu dalam konsep fitrah, Islam menegaskan bahwa

manusia memiliki fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat

bawaan atau keturunan. Meskipun semua itu masih merupakan potensi

yang mengandung berbagai kemungkinan, fitrah di sini tidak berarti

kosong atau bersih seperti teori tabularasa, tetapi merupakan pola dasar

yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial.

Karena masih merupakan potensi, maka fitrah itu belum berarti bagi

kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan

diaktualisasikan.63

61 Soenarjo, op. cit., hlm. 250. 62 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 121. 63 Ahmadi, op. cit., hlm. 76-77.

31

Secara fitrah, manusia sadar akan Tuhannya, kesadaran-

kesadaran itu adalah suara fitrah yang ada pada diri manusia itu

sendiri. Namun dengan kesibukan dari pengaruh lingkungan, pengaruh

kawan dan pengaruh dosa-dosa yang diperbuatnya, maka suara fitrah

itu menjadi lemah dan sayup-sayup atau bahkan bisa jadi tidak

terdengar oleh dirinya sendiri.64 Ini semua menunjukkan adanya

pengaruh internal dalam diri manusia berupa keimanan dalam pribadi,

dan pengaruh eksternal yang berupa kegiatan sosialitas dalam

kehidupan bermasyarakat.

Faktor pembawaan dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap

potensi yang ada pada manusia khususnya pada potensi fitrah

(keberagamaan) sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh

Abu Hurairah sebagai berikut:

: مقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسل: عن ابي هريرة أنه كان يقول" انه اورصنيانه اودوهي اهوة فابلى الفطرع لدود إال يلووم ا منم

65)رواه مسلم. (يمجسانهArtinya: Dari Abu Hurairah, beliau berkata: bahwasanya Rasulullah

saw. Bersabda: “Tiada seorang manusia dilahirkan kecuali dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nashrani atau Majusi”. (HR. Muslim)

Atas dasar hadis Nabi di atas, maka kita dapat memperoleh

petunjuk bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir ternyata dapat

dipengaruhi oleh lingkungan. Fitrah tanpa memperdulikan kondisi-

kondisi sekitar, tidak dapat berkembang ia mungkin mengalami

modifikasi atau malah berubah drastis jika saja lingkungan tidak

favorable bagi perkembangan dirinya. Fitrah berinteraksi dengan

faktor-faktor eksternal sifatnya bergantung pada perjalanan panjang

interaksi semacam ini. Tetapi pernyataan ini bukan berarti manusia

64 Qadri Azizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 39.

65 Imam ibn Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburiy, Shahih Muslim, Juz IV, (Beirut, Libanon: Dar al- Ma’arif, t.th.), hlm. 2048.

32

merupakan budak lingkungannya sebagaimana dikemukakan madzhab

behaviourisme.66

Kandungan lain yang terdapat dalam hadis di atas adalah fitrah

yang merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir dan

mengandung nilai-nilai religi sebagaimana yang tersirat pada kalimat

bagian kedua serta keberlakuannya secara mutlak. Penyimpangan

fitrah yang merupakan akibat dari faktor lingkungan (pendidikan). Di

dalam fitrah mengandung pengertian baik-buruk, benar-salah, indah-

jelek, lempeng-sesat, dan seterusnya. Pelestarian fitrah ini dapat

ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal (preventif) atau

mengembalikan pada kebaikan setelah ia mengalami penyimpangan

(kuratif).67

Al-Qur’an mengajarkan kepada kita, bahwa setiap individu itu

mempunyai fitrah sejak lahirnya. Yang dimaksudkan dengan fitrah di

sini, adalah kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan

yang murni bagi setiap individu. Kemampuan dan kecenderungan

tersebut lahir dalam bentuk yang sangat sederhana dan terbatas,

kemudian saling mempengaruhi dalam lingkungan yang pada akhirnya

tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik atau sebaliknya.68

Potensi manusia pada asal penciptaannya adalah suci dan

selamat dari penyimpangan. Dengan demikian, berarti penyimpangan

dan perubahan yang terjadi padanya adalah karena penyakit luar dan

virus yang senantiasa menyerangnya. Hal ini tak ubahnya bagaikan

tubuh manusia, di mana pada asal penciptaannya ia selamat dari segala

macam penyakit. Namun jika ternyata tubuh tersebut sakit, hal itu

adalah karena virus dan penyakit dari luar yang telah menyerangnya

66 Imam Ibnu Husain Muslim Abdullah, “Educational Theory A. Qur’anic Outlook”, terj.

Mutammam, Landasan dan Tinjauan Pendidikan Menurut al-Qur’an serta omplementasinya, (Bandung: Diponegoro, 1997), hlm. 83.

67 Muhaimin, Abdul Mujib, op. cit., hlm. 27. 68 Muhammad Fadhil al-Jamaly, “Al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an”, terj. Judi al

Falasani, Konsep Pendidikan Qur’ani, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 99.

33

dan bukan karena sifat dasar yang ada dalam tubuhnya.69 Dengan kata

lain, pengaruh yang berada di luar diri manusia dapat pula membentuk

diri manusia.70

Dengan demikian, perkembangan potensi anak itu ditentukan

oleh hasil kerjasama oleh faktor keturunan (hereditas, pembawaan dan

lingkungan) yang merupakan hasil kerjasama antara faktor-faktor yang

ada dalam diri anak dan faktor-faktor yang ada di luar anak. hasil

kerjasama antara kekuatan eksogen dan kekuatan endogen itulah yang

dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak.

4. Cara Mengembangkan Potensi Manusia

Potensi dapat diibaratkan seperti tumbuh-tumbuhan. Wujudnya

akan tampak nyata apabila dipelihara, dirawat, dijaga, dibimbing serta

dikembangkan karena secara kodrati, manusia dianugerahi oleh Tuhan

berupa kemampuan potensi dasar.

Demikian halnya dengan potensi yang dimiliki manusia, maka

potensi naluriah indrawi, akal maupun rasa keberagamaan pada bentuk

asalnya baru berupa dorongan-dorongan dasar yang bersifat alamiah. Oleh

karena itu, potensi tersebut akan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya

apabila dijaga, dipelihara, dibimbing dan dikembangkan secara terarah,

bertahap dan berkesinambungan. Pengembangan potensi manusia dapat

dilakukan dengan beragam cara dan ditinjau dari berbagai pendekatan

sebagai berikut:71

a. Pendekatan filosofis

Pendekatan ini digunakan dalam konteks pandangan filsafat

yang mengacu pada hakekat penciptaan manusia itu sendiri. Yang

mana dalam pandangan aliran dualisme manusia, pada hakekatnya ia

69 Hasan ibn Ali Hasan al-Hijazy, “Al-Fikr al-Tarbawi ‘Inda ibn Qayyim”, terj. Muzaidi

Hasbullah, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyim, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hlm. 39. 70 Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infiniti Press,

2004), hlm. 12. 71 Jalaluddin, op. cit., hlm. 36.

34

merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga, mind and

body.72 Dengan demikian, dalam tinjauan filosofis al-Qur’an, manusia

merupakan makhluk ciptaan yang diprogramkan untuk mengabdi

kepada penciptanya.

Pada garis besarnya, pengembangan potensi manusia harus

mengacu kepada pengabdian dalam bentuk mematuhi ketentuan dan

pedoman Allah selaku pencipta. Sedangkan ungkapan rasa syukur

digambarkan dalam bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai akhlak

yang terkandung di dalamnya serta mampu diimplementasikan dalam

sikap dan perilaku lahiriah maupun batiniah. Pengembangan ini

diarahkan pada nilai-nilai batin dengan harapan dapat menumbuhkan

kesadaran diri manusia, bahwa segala potensi yang dimiliki merupakan

nikmat Allah semata.73 Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat

an-Nahl ayat 53 sebagai berikut:

وما بكم من نعمة فمن اهللا ثم إذا مسكم الضر فإليه )53: النحل( .تجأرون

Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah datangnya dan bila kamu ditimpa kemadharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. (QS. an-Nahl: 53)74

Dengan demikian jelas bahwa potensi yang telah dianut bahkan

itu tidak lepas kaitannya dengan pengabdian kepada pencipta.

b. Pendekatan kronologis

Pendekatan kronologis adalah pendekatan yang didasarkan atas

proses perkembangan melalui pentahapan. Karena proses pembentukan

embrio manusia berlangsung dalam tahap-tahap dari yang sederhana

sampai kepada yang lebih kompleks.75 Karena manusia adalah

72 Mohammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,

(Suarabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 165-166. 73 Jalaluddin, op. cit., hlm. 37. 74 Soenarjo, op. cit., hlm. 409. 75 Muhammad Ali Albar, “Human Development as Revealed in The Holy Qur’an and

Hadis (The Creation of Man Between Medicine and The Qur’an)”, terj. Budi Utomo, Penciptaan

35

makhluk yang berkembang secara evolusi dari lahir hingga menginjak

dewasa perkembangan manusia melalui periodesasi semua ini sejalan

dengan Firman Allah:

كمرجخي لقة ثمع من طفة ثمن من اب ثمرت من لقكمالذي خ وه فى منوتي نم كممنا ووخيوا شكونلت ثم كمدوا أشلغبلت طفلا ثم

)67: املؤمن( . ولتبلغوا أجلا مسمى ولعلكم تعقلونقبلDialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani sesudah itu dari segumpal darah kemdian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak kemudian kamu dibiarkan hidup supaya kamu sampai pada masa dewasa kemudian kamu dibiarkan hidup lagi sampai tua di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. Kami perbuat demikian supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahaminya. (QS. al-Mu’min: 67)76

Merujuk kepada kenyataan ini, maka pengembangan potensi

manusia harus diarahkan kepada bimbingan secara bertahap pula.

Selain itu pengembangan potensi manusia tidak mungkin dilakukan

dengan paksa, karena tiap individu mempunyai irama perkembangan

yang berbeda-beda. Karena itu bimbingan diberikan dan berdasarkan

kemampuan untuk mengenal karakteristik perkembangan tahap demi

tahap.77 Itulah sebabnya potensi itu perlu dikembangkan secara

bertahap.

c. Pendekatan fungsional

Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia

tentunya diarahkan untuk dimanfaatkan. Melalui pendekatan

fungsional ini dimaksudkan bahwa pengembangan potensi manusia

dilihat dalam kaitannya dengan fungsi potensi itu masing-masing,

seperti halnya potensi rasa mengarah pada nilai-nilai etika, estetika dan

Manusia Kaitan Ayat-Ayat al-Qur’an dan Hadis dengan Ilmu Kedokteran, (Jakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm. 3.

76 Soenarjo, op. cit., hlm. 768. 77 Jalaluddin, op. cit, hlm. 38-39.

36

agama.78 Potensi akal pikiran manusia berfungsi untuk merenung dan

memikirkan esensi ciptaan Allah, mengadakan analisis dan studi

perbandingan betapa besar dan agungnya semua rahasia ciptaan-Nya

itu.79 Indra berfungsi sebagai media untuk mengenal dunia luar hingga

manusia dapat berkomunikasi dengan lingkungan. Sedangkan fungsi

dorongan beragama adalah agar manusia dapat mengenal dan

mengabdi kepada Tuhan sebagai pencipta.

Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan agar

perkembangan potensi yang ada pada manusia tidak menjadi sia-sia

karena terlantar. Maka pengembangannya perlu disesuaikan dengan

fungsi utama dari setiap potensi itu masing-masing. Berdasarkan

fungsinya yang hakiki, maka potensi manusia perlu diarahkan sejalan

dengan hakikat kejadiannya. Lebih lanjut atas dasar fungsi hakekat ini,

maka untuk mengaktualisasikan hakekat kemanusiaannya

pengembangan mesti ditujukan pada bagaimana upayanya agar potensi

tersebut dapat dimanfaatkan dalam kehidupan manusia sebagai

makhluk yang manusiawi.80

d. Pendekatan sosial

Berdasarkan pendekatan ini manusia dilihat sebagai makhluk

yang memiliki dorongan hidup berkelompok dan bermasyarakat. Dari

hubungan yang dibina dalam masyarakat akan terwujud hubungan

timbal balik (reciprocal interaction) dengan orang-orang di sekitarnya.

Maka terjadilah rangsangan-rangsangan yang dapat

memperkembangkan potensi-potensi alamiah manusia.81

Melalui pendekatan sosial manusia dibina dan dibimbing

sehingga potensi yang dimilikinya yaitu sebagai makhluk sosial dapat

78 Muslim Nurdin, op. cit., hlm. 14. 79 M. Hamdani, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, (Surakarta: Muhammadiyah

Univerity Press, 2001), hlm. 17. 80 Jalaluddin, op. cit., hlm. 39-40. pada dasarnya kita hanya menggunakan 1% saja dari

potensi mental kita. Kita telah mengabaikan 99% dari kemampuan kita sebagai manusia dan kebanyakan kaki kita bekerja seperti mesin otomatis, memandang hanya sekilas kepada sumber kekuatan jiwa kita selama kehidupan kita. Avadhutika Ananda Mitra Acarya, op. cit., hlm. 65.

81 Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 81.

37

teratur dan sekaligus terarah pada nila-nilai positif melalui pembinaan

dan bimbingan yang berpedoman pada prinsip dan akhlak. Diharapkan

potensi yang dimiliki setiap individu akan bermanfaat dalam

pembinaan hubungan sosialnya.82

Dengan demikian, pengembangan potensi melalui pendekatan

sosial ini diharapkan akan terbentuk hubungan sosial yang baik antar

sesama manusia maupun antara makhluk yang terpelihara secara

harmonis, karena berlandaskan pada keimanan dan kemaslahatan.

Hasan Langgulung dalam mengembangkan potensi lebih

mendasarkan pada pendapat filosof muslim, yakni sifat-sifat Tuhan

yang berjumlah 99 itu menurutnya merupakan potensi-potensi yang

harus dikembangkan dengan wajar dan sempurna. Bukan hanya

kekuatan jasmani saja seperti pada pendidikan Sparta, atau kecerdasan

rohani saja seperti di Athena.83

Adapun bentuk pengembangan potensinya harus sesuai dengan

petunjuk Tuhan, itulah yang disebut sebagai ibadah/menyembah

kepada penciptanya.84 Kalau potensi tadi tidak dikembangkan, berarti

ia telah menyeleweng dari tujuan kejadiannya, al-Ilmu misalnya adalah

merupakan sifat Tuhan dan merupakan potensi manusia. Menuntut

ilmu merupakan bentuk pengembangan potensi tersebut, dan ini

merupakan ibadah, tetapi kalau ini tidak dikembangkan dalam diri

manusia dan tidak menuntut ilmu, maka berarti ia menyalahi

potensinya atau dengan kata-kata psikologi, ia menyalahi tabiat semula

(natur)nya. Begitu jugalah dengan sifat-sifat Tuhan yang lainnya.85

Pengembangan potensi juga dapat dilakukan dengan melalui

pendidikan, karena di dalamnya terdapat proses menumbuhkan dan

mengembangkan potensi-potensi tersebut dalam arti berusaha untuk

82 Jalaluddin, op. cit., hlm. 44. 83 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,

(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 263. 84 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapai Abad 21, (Jakarta: Pustaka al-

Husna, 1998), hlm. 60. 85 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran ..., op. cit., hlm. 21.

38

menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi laten tersebut yang dimiliki

setiap anak.86 Untuk itu, dalam rangka mengembangkan potensi atau

kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari

orang lain untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan agar

berbagai potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar

dan optimal, sehingga hidupnya dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Dengan begitu, mereka dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

B. Pendidikan Anak

1. Pengertian Pendidikan Anak

Definisi pendidikan dalam masyarakat Islam sekurang-kurangnya

terdapat tiga istilah yang digunakan, yaitu kata tarbiyah (تربية),

ta’li>m (تعليم) dan ta’di>b (تأديب). Dari ketiga istilah dalam bahasa Arab

itu, orientasinya mengacu pada kata pendidikan.

Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, sebagaimana dikutip oleh

Ahmad Tafsir, merumuskan definisi pendidikan dari kata tarbiyah ( يةترب ).

Menurut pendapatnya, kalau tarbiyah berasal dari tiga kata. Pertama, kata

rabba – yarbu ( ,yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua ( يربوا-ربا

rabba –yurabba, yang berarti menjadi besar atau tumbuh dan berkembang.

Ketiga, rabba – yarubba yang berarti memperbaiki, menguasai urusan,

menuntun, menjaga, memelihara.87 Sedangkan menurut Raghib al-

Ashfahani, menjelaskan, bahwa pada mulanya kata tarbiyah itu digunakan

dalam arti insya al-sya’ihalan fahalun ila hada>d al-tama>m, yang

artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap

sampai pada batas yang sempurna.88

86 Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit., hlm. 138. 87 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1994), hlm. 29. 88 M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta: Karsa Utama

Mandiri, 1998), hlm. 3.

39

Naquib al-Atas berpendapat bahwasanya kata tarbiyah (تربية) secara

semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat

dipakai kepada spesies lain seperti mineral, tanaman dan hewan.89 Sejalan

dengan penjelasan mengenai kata tarbiyah (تربية), di dalam al-Mu’ja>m

al-Wasi>t} sebagaimana dikutip oleh Zuhairini terdapat penjelasan

sebagai berikut:

.ورباه نمى قواه اجلسدية والعقلية واخللقية

Artinya: “Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, akliah (akal) serta akhlak (budi pekertinya)”.90

Firman Allah yang mendukung pengunaan istilah ini antara lain

terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut:

واخفض لهما جناح الذل من الرحمة وقل رب ارحمهما كما ربياني )24: اإلسراء(صغريا

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya. Sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. (QS. al-Isra’: 24)91

Dari istilah tarbiyah (تربية) itu Abdurrahman al-Bani menyimpulkan

bahwa pengertian pendidikan terdiri atas empat unsur:

a. Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh b. Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-

macam. c. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi itu maju menuju kepada

kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya. d. Proses ini dilaksanakan secara bertahap sedikit demi sedikit.92

89 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hlm. 2. 90 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 120-121. 91 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 428. 92 Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam

Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1992), hlm. 32.

40

Sehingga dapat dikatakan, bahwa dari kata tarbiyah mengandung

arti pemeliharaan, didikan khususnya pada fitrah anak serta sebagai sarana

untuk menumbuhkembangkan potensi anak yang semua itu dilakukan

melalui proses menuju pada sebuah kedewasaan.

Istilah lain yang digunakan untuk menunjukkan konsep pendidikan

dalam Islam adalah kata ta’li>m (تعليم). Menurut Abudin Nata,

sebagaimana dikutip oleh M. Irsyad Djuwaeli, bahwasannya kata ta’li>m

digunakan secara khusus untuk (علم) yang berakar dari kata ‘alama (تعليم)

menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga

meninggalkan bekas dan pengaruh pada diri seseorang. Bahkan ada yang

mengatakan, bahwa kata tersebut digunakan untuk mengingatkan jiwa

seseorang agar memperoleh gambaran mengenai arti tentang sesuatu.93

Kata ini terkadang digunakan Allah untuk menjelaskan pengetahuan-Nya

yang diberikan kepada umat manusia sebagaimana Firman Allah dalam

surat al-Baqarah ayat 31.

الأس مءاد لمعبئوني ولائكة فقال أنلى المع مهضرع ا ثماء كلهمادقنيص متلاء إن كنؤاء هم31: البقرة. (بأس(

Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang-orang yang benar. (QS. al-Baqarah: 31)94

Konsep pendidikan Islam menurut Abdul Fatah Jalal, lebih identik

dengan menggunakan istilah ta’li>m. Karena di dalam istilah ini

mengandung proses pendidikan, di antaranya:

a. Ta’li>m adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati.

b. Proses ta’li>m tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah (domain) kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afektif. Pengetahuan yang berada dalam batas-batas wilayah kognisi tidak akan mendorong seseorang untuk

93 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 3. 94 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 14.

41

mengamalkannya dan pengetahuan semacam itu biasanya diperoleh atas dasar prasangka (taqli>d).95

Dari sini menunjukkan, bahwa kata ta’li>m (تعليم) lebih luas serta

lebih mendalam daripada kata tarbiyah (تربية) dalam memberikan

pengertian mengenai konsep pendidikan.

Adapun mengenai kata ta’di>b (تأديب) ini merupakan bentuk

mashdar dari kata kerja addaba (أدب) yang berarti pendidikan. Dan istilah

ini digunakan oleh Naquib Alatas untuk menggambarkan pengertian

pendidikan. Karena dari kata addaba (أدب) itu mempunyai arti untuk

mengatur pikiran dan jiwa, menambah pada baiknya kualitas dan lambang

pikiran dan jiwa, melakukan pembenahan untuk memperbaiki kesalahan

dalam bertindak, membenahi yang salah serta memelihara dan

perlindungan dari tingkah laku yang tidak baik.96

Menurut Naquib al-Attas, bahwa kata addaba diturunkan juga kata

adabun, yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa

pengetahuan dan wujud bersifat teratur. Secara hirarkhis sesuai dengan

berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat

seseorang yang tepat yang hubungannya dengan hakikat itu serta dengan

kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang.97

Adapun mengenai kata ta’di>b yang berakar pada kata addaba tidak

dijumpai dalam al-Qur’an. Kata tersebut dijumpai dalam hadits yang

berbunyi:

الحا صثندقال ح ا احملاربىثندالم حس ناب وه دمحا منربان أخين حبقال رسول اهللا : قال عامر الشعبي حدثنى أبو بردة عن أبيه قال: قال

لمسه وليلى اهللا عص .. : نسا فأحهلمعا وهبأديت نسا فأحهبفأد 98)رواه البخارى... (تعليمها

95 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 7. 96 Syed Muhammad Naquib al-Atas, Aims and Objectives of Islam Education, (Jeddah:

King Abdul Aziz University, 1979), hlm. 36. 97 Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 29. 98 Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 29.

42

Artinya: Muhammad (Ibnu Salam) telah menceritakan kepada kita, al-Maharib telah menceritakan kepada kita, ia berkata: S{aleh ibn Hayyan berkata: ‘Amir al-Sya’bi telah menceritakan kepadaku, yakni Abu Burdah dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw. Bersada: ....Maka didiklah ia dengan didikan yang baik dan ajarlah ia dengan pengajaran yang baik.... (HR. Bukhari)

Meski demikian, kata ta’di>b menurut Naquib al-Attas justru

memiliki fungsi dan arti yang lebih tepat bagi pendidikan.99 Berdasarkan

konsep adab tersebut, al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai

pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke

dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di

dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing

ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam

tatanan wujud dan kepribadian.100

Berdasarkan etimologi bahasa dari ketiga kata tersebut dapat ditarik

benang merah, bahwa kata tarbiyah memuat kandungan upaya sadar akan

pemeliharaan, pengembangan seluruh potensi diri manusia sesuai dengan

fitrahnya dan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak

kemanusiaannya. Sementara kata ta’li>m mengesankan proses pemberian

ilmu pengetahuan dan penyadaran akan fitrahnya dan tugas-tugas

kemanusiannya yang harus diwujudkan oleh individu dalam kehidupan

nyata. Sedangkan kata ta’di>b mengesankan proses pembinaan

kepribadian dan sikap moral (afektif) dan etika dalam kehidupan. Dengan

demikian, ketiga kata tersebut pada intinya mengacu kepada pemeliharaan,

perlindungan dan pengembangan keseluruhan potensi diri manusia.

Selain dari sudut pandang etimologi, maka diperlukan juga segi

terminologi agar suatu pembahasan atau uraian menjadi jelas dan

sistematis.

99 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 4. 100 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 9-10.

43

Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang pengertian

pendidikan, akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli sebagai

berkut:

a. M.J. Langeveld

Pendidikan adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju pada kedewasaan dan kemandirian.101

b. Syaikh Musthafa al-Ghulayani

التربية هي غرس االخالق الفاضلة فى نفوس الناشئين وسقيها بماء رشاد والنصيحة حتى تصبح ملكة من ملكات النفس ثم تكون إلا

102.نفع الوطنثمرتها الفاضيلة واخلير وحب العمل لArtinya: “Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia

dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”.

c. Ahmad D. Marimba

Pendidikan103 adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si

pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik

menuju terbentuknya kepribadian yang utama.104

d. Joe Park

Merumuskan pendidikan sebagai: the art of process of imparting or

acquiring knowledge and habit through instructional as study. Di

dalam definisi ini, tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada

101 Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih

Diperlukan, (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 22. 102 Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nasihin, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189. 103 Menurut caranya, pendidikan terbagi menjadi 3 macam, yaitu: 1) aresurt, yakni

pendidikan yang berdasarkan paksaan, dilakukan pada kanak-kanak yang umurnya belum 1 tahun; 2) latihan, dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan yang dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh anak didik; 3) pendidikan dimaksudkan untuk membentuk kata hati. Anak didik yang diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri dan menentukan kelakuan sendiri atas tanggungjawabnya sendiri pula. Lihat, Tim Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, t.th.), hlm. 2627.

104 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), hlm. 19.

44

pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian yang dibina

adalah aspek kognitif dan kebiasaan.105

Dari beberapa pendapat di atas dapat diuraikan, bahwa pendidikan

adalah usaha sadar yang teratur dan sistematis yang dilakukan orang-orang

yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai

sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan, yakni membentuk

kepribadian muslim.

Anak menurut Ahmad Warson Munawir di dalam Kamus Arab

Indonesia: Munawir diistilahkan dengan kata al-tifl (الطفل) yang jamaknya

adalah athfa>l (أطفال) yang berarti bayi, anak kecil.106 Sedangkan menurut

pendapat Aristoteles membatasi, masa anak-anak mulai dari umur o

sampai 14 tahun yang kemudian diklasifikasikan menjadi dua fase, sebagai

berikut:

a. Fase I dari 0;0 smpai 7;0: masa anak kecil ke masa anak bermain

b. Fase II dari 7;0 smpai 14;0 : masa anak, masa belajar atau masa

sekolah rendah.107

Jadi, pendidikan anak adalah merupakan suatu usaha sadar yang

dilakukan oleh orang dewasa/pendidik dalam rangka membantu,

membimbing, memelihara dan menumbuhkembangkan potensi dan

sumber daya insani yang telah ada pada diri anak sejak kecil mulai masa

awal pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga dapat memperluas dan

meningkatkan intelektual, pengenalan kehidupan (lingkungan sosial dan

kepercayaan diri), sehingga dapat membentuk kepribadian mereka menjadi

insan kamil sesuai dengan norma-norma Islam.

105 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980),

hlm. 5-6. 106 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Krapyak Yogyakarta: Pondok

Pesantren al-Munawir, 1984), hlm. 918. 107 Sumadi Suryabrata, op. cit., hlm. 185-186.

45

2. Tujuan Pendidikan Anak

Setiap usaha, tentu saja selalu diproyeksikan pada pencapaian

tujuan, termasuk pula usaha mendidik anak. Karena tanpa tujuan yang

jelas, niscaya langkah usaha itu akan kabur dan tidak terarah, sehingga apa

yang diharapkan itu tidak akan berhasil secara maksimal.

Sebelum membahas panjang lebar mengenai tujuan pendidikan,

maka alangkah lebih baiknya diketahui terlebih dahulu mengenai arti

tujuan terlebih dahulu. Tujuan di sini berarti batas akhir yang dicita-

citakan seseorang dan menjadi pusat perhatiannya untuk dicapai melalui

usaha. Dalam tujuan terkandung cita-cita kehendak dan kesengajaan serta

berkonsekuensi penyusunan daya upaya untuk menncapainya.108

Berbicara mengenai tujuan pendidikan anak, maka tidak akan jauh

berbeda dengan tujuan pendidikan Islam. Untuk membahas tentang tujuan

pendidikan Islam, maka dimulai terlebih dahulu tujuan pendidikan secara

umum yang terdapat dua pandangan teoritis. Pandangan teoritis yang

pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap

pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik,

baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis.

Pandangan teroritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu yang

lebih memfokuskan diri pada kebutuhan daya tampung dan minat

pelajar.109

Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin

diwujudkan. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat

sebagaimana pendapat Muhammad Fadhil al-Jamaly yang menjelasklan

108 Hery Noer Aly., op. cit., hlm. 51. istilah yang dipakai dalam bahasa Inggris yang

merujuk pada hasil pendidikan yang dicita-citakan/tujuan pendidikan menggunakan istilah objective, aims purposes dab goals, sedangkan dalam bahasa Arab menggunakan istilah Chayyat, ahdaf dan mawashid yang berarti tujuan. Baca, Abdurrahman Shaleh Abdullah, “Educational Theory: a Qur’anic Outlook”, terj. M. Arifin dan Zainuddin, Teori Pendidikan menurut al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 131-132.

109 Wan Mohd Nor Wan Daud, “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmi dkk., Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 163.

46

tujuan pendidikan menurut al-Qur’an, yang disimpulkannya sebagai

berikut:

a. Mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesama manusia dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidupnya.

b. Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata kehidupan.

c. Mengenalkan manusia akan alam ini, mengajak mereka memahami hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk dapat mengambil manfaat dari alam tersebut.

d. Mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah SWT.) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.110

Menurut pandangan al-Ghazali, bahwasanya tujuan pendidikan itu

untuk mencapai dua tujuan inti, yaitu:

a. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

b. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia

dan di akherat.111

Hal ini menunjukkan bahwasannya tujuan yang utama dalam sebuah

pendidikan adalah untuk menjamin masa depan anak di akhirat kelak. Hal

ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Tahrim ayat 6 sebagai

berikut:

)6: التحرمي(ياأيها الذين امنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. al-Tahrim: 6)112

Hasan Langgulung dalam bukunya yang berjudul Manusia dan

Pendidikan, mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memelihara

kehidupan manusia.113 Ahmad D. Marimba berpendapat, bahwa tujuan

pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim.114 Kemudian

110 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 12-13. 111 Fathiyah Hasan Sulaiman, “Al-Madzhabuut Tarbawi inda al-Ghazali”, terj.

Fatchurrahman dan Syamsuddin Asyrafi, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), hlm. 26.

112 Soenarjo dkk., op. cit,, hlm. 951. 113 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologis, Filsafat dan

Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), hlm. 33. 114 Ahmad D. Marimba, op. cit., hlm. 46.

47

dilihat dari tujuan umum pendidikan Islam, maka hal itu sinkron dengan

tujuan agama Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar

tunduk, bertakwa dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga

memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akherat.115

Hal ini menunjukkan bahwasanya islam menghendaki agar manusia

dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupannya sebagaimana

yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah

ialah beribadah kepada Allah, yaitu sebagai hamba (‘a>bid). Ini diketahui

dari surat al-Dza>riya>t ayat 56 sebagai berikut:

)56: الذريات. (وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

Dan Aku tidak menciptaka jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. al-Dzariyah: 56)116

Selain itu, tujuan pendidikan Islam, juga tidak lepas dari kaitannya

dengan eksistensi hidup manusia sebagai wakil-Nya (kha>lifah Allah) di

bumi. Salah satu fungsi dan tugas seorang pemimpin (kha>lifah) adalah

kemampuannya dalam memelihara, mengatur dan mengembangkan

potensi dasar yang beragam (heterogen) dari yang dipimpinnya di atas

dasar amanah, dan bukan atas dasar prinsip kepemilikan (privatisasi).

Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya memelihara dan mengembangkan

hidup ini, sebab hidup merupakan fitrah yang paling dasar bagi manusia.

Hidup bukan hanya terjadi di dunia ini secara lurus (mustaqi>m)

seseorang akan selamat dan bahagia dalam menuju Tuhan.117 Kaitannya

dengan persoalan manusia sebagai khalifah Allah ini telah dipertegas

dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut:

115 Hery Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung

Insani, 2000), hlm. 142. 116 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 862. 117 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 13-14.

48

لائكة إنللم كبإذ قال را ول فيهعجليفة قالوا أتض خاعل في الأري جمن يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال

)30: البقرة. (إني أعلم ما لا تعلمونIngatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bmu itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS. al-Baqarah: 30)118

Dari tujuan pendidikan Islam yang masih bersifat umum tersebut,

yakni berpusat pada ketakwaan dan kebahagiaan tersebut, maka dapat

digali tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:

a. Mendidik manusia yang shaleh dengan memperhatikan segenap

dimensi perkembangannya, baik rohaniah, emosional, sosial,

intelektual dan fisik.

b. Mendidik anggota kelompok sosial yang shaleh, baik dalam keluarga

maupun masyarakat muslim.

c. Mendidik manusia yang shaleh bagi masyarakat insani yang benar.119

Adapula yang merinci tujuan pendidikan dalam bentuk taksonomi

yang terutama meliputi:

a. Pembinaan kepribadian (nilai formal)

1) Sikap (attitude)

2) Daya pikir kritis rasional

3) Objektivitas

4) Loyalitas kepada bangsa dan ideologi

5) Sadar nilai-nilai moral agama

b. Pembinaan aspek pengetahuan

c. Pembinaan potensi bangsa dan ideologi120

118 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 13. 119 Hery Noer Aly dan Munzier S., op. cit., hlm. 143-144.

49

Untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, tujuan itu harus dirinci

menjadi tujuan yang khusus. Bahkan sampai ke tujuan yang operasional.

Usaha merinci tujuan umum itu dilakukan oleh al-Syaibani, yang

menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi:

a. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang

mencakup perubahan yang berupa pengetahuan tingkah laku, jasmani,

rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk

kehidupan dunia dan akhirat.

b. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku

masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan

kehidupan masyarakat dan memperkaya pengalaman masyarakat.

c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran

sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan

masyarakat.121

Dari berbagai pendapat tersebut, merujuk pada pemeliharaan dan

pengembangan kehidupan jiwa (rohaniah) dan raga (jasmaniah) sebagai

sumber potensi masyarakat, maka dalam hal ini tujuan pendidikan dalam

arti pemeliharaan dan pengembangan potensi manusia dapat dipertajam

lagi dengan lebih memfokuskannya kepada tiga sasaran utama. Pertama,

mencerdaskan akal pikiran dengan cara memelihara dan

mengembangkannya melalui pembelajaran yang sistematis, serta

memberikan perlindungan menyeluruh kepadanya. Karena akal pikiran

merupakan potensi dasar manusia yang sangat penting bagi keutamaan

hidup. Kedua, memelihara dan mengembangkan rasa kebebasan (free

will). Potensi dasar ini merupakan aspek fundamental bagi perkembangan

dan pertumbuhan hidup manusia yang kedudukannya senantiasa

bergantung dengan tanggung jawab. Dalam konteks ini, pendidikan harus

mampu memelihara dan memupuk potensi kebebasan yang dimiliki

peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang kapada

120 Muhammad Noor Syam, op. cit., hlm. 147-148. 121 Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani, “Falsafatut tarbiyah al-Islamiyah”, terj.

Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399.

50

mereka dalam mewujudkan kemampuan tanggung jawab atas tindakan dan

pilihannya. Karena tanpa kebebasan dan tanggung jawab dunia, maka

pendidikan akan kehilangan artinya. Ketiga, memelihara dan

mengembangkan kemampuan berbicara, sebab manusia tidak dapat

menyatakan dirinya lebih jelas, kecuali hanya dengan berbicara. Maka dari

itu, pendidikan harus dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang

memungkinkan peserta didik dapat mengungkapkan dirinya dalam

berbicara,bertindak, berfikir dan aksi. Pencapaian tujuan dasar ini

merupakan tuntutan dasar bagi dunia pendidikan.122

Apabila diambil kesimpulan, maka pendidikan Islam bertujuan

bukan hanya sekedar memenuhi otak murid-murid dengan ilmu

pengetahuan, tetapi tujuannya adalah mendidik akhlak dengan

memperhatikan segi-segi kesehatan, pendidikan fisik maupun mental

(psikologis), perasaan dan praktek menyiapkan manusia sebagai anggota

masyarakat.

Jadi, tujuan pendidikan anak adalah membekali anak agar menjadi

hamba Allah (abdullah) yang bertakwa dan beribadah sema-mata hanya

karena Allah, menghantarkan anak agar mampu melaksanakan tugasnya

sebagai khalifah di muka bumi, sehingga memperoleh kebahagiaan dunia

dan akherat, menumbuhkembangkan potensi yang ada dalam dirinya,

sehingga anak dapat merealisasikan dirinya sebagai pribadi muslim, serta

memperluas pandangan hidup anak sebagai makhluk individu, sosial dan

religius sehingga nantinya akan terbentuk pribadi anak yang shaleh yang

dapat bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara.

3. Materi Pendidikan Anak

Sasaran dan tujuan pendidikan tidak mungkin akan tercapai kecuali

materi pendidikan terseleksi dengan baik dan tepat. Istilah materi

digunakan di sini untuk sejumlah disiplin. Ilmu yang mengembangkan

basis kegiatan sekolah, dan biasanya diklasifikasikan dalam beberapa

122 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 14-16.

51

subjek materi yang berbeda-beda. Materi dalam hal ini, intinya adalah

subtansi yang akan disampaikan dalam proses interaksi edukatif kepada

anak didik dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai.

Bahan pelajaran atau materi pendidikan adalah merupakan unsur

inti dalam kegiatan interaksi edukatif. Karena harus diupayakan untuk

dapat dikuasai oleh anak didik123 dalam rangka memenuhi kebutuhan anak

dalam pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan anak itu dijelaskan oleh Verna

Hildebrand dalam bukunyta Introduction to Early Childhood Education

sebagai berikut:

a. The child needs to grow in independence b. The child needs to learn to give and share as well as recieve

affection c. The child needs to learn to get along with others d. The child needs to develop self control e. The child needs to learn the appropriate sex role f. The child needs to begin understanding his body g. The child needs to learn many large and small motor skills h. The child needs to begin to understand and control his physical

world i. The child needs to learns new words and how to use words in his

social an intellectual activity j. The child needs to begin to develop a notion abaout his

relationship to the word.124

Artinya: a. Anak membutuhkan perkembangan secara independen b. Anak membutuhkan untuk belajar memberi dalam berbagai hal

untuk menerima kasih sayang c. Anak butuh belajar untuk bergaul akrab dengan orang lain d. Anak butuh mengembangkan pengendalian diri e. Anak membutuhkan untuk belajar sesuai jenis kelamin dan peran

yang sesuai f. Anak butuh pemahaman terhadap badannya g. Anak butuh belajar banyak ketrampilan motorik dalam skala kecil

dan besar h. Anak butuh untuk memahami dan mengendalikan dunia fisiknya

123 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000), hlm. 18. 124 Verna Hildibrand, Introduction to Early Childhood Education, (New York: Macmillan

Publishing, 1971), hlm. 24-26.

52

i. Anak butuh belajar kata-kata baru dan bagaimana cara menggunakan kata-kata itu dalam hubungan sosialnya, yaitu suatu aktivitas intelektual

j. Anak harus mulai untuk kembangkan suatu dugaan tentang hubungannya kepada kata.

Materi pendidikan anak yang dicanangkan al-Ghazali, baik itu di

rumah maupun di Madrasah Ibtida’iyah pada dasarnya meliputi:

pengetahuan yang menuntutnya adalah fard}u ‘ain bagi setiap muslim,

yaitu meliputi rukun iman, cara melakukan perintah-perintah Allah dan

prinsip-prinsip tingkah laku yang benar “dalam bentuknya yang paling

sederhana”. Al-Ghazali memandang mata pelajaran-mata pelajaran ini

menguntungkan, baik untuk pemenuhan praktis terhadap kewajiban-

kewajiab agama maupun sebagai alat untuk memperkuat keimanan anak-

anak.125 Oleh karena itu, hal yang terpokok yang perlu diserap oleh anak

adalah hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, keislaman dan akhlak,126

seperti yang dikatakan oleh pikiran, diamalkan dalam kehidupan dalam

bentuk ibadah dan diungkapkan dalam bentuk perkataan, sikap, akhlak

(perangai) pergaulan dan kehidupan pada umumnya.

Untuk mewujudkan generasi yang kokoh iman dan islamnya,

Abdullah Nasih Ulwan sebagaimana dikutip oleh Raharjo menekankan

bahwa materi pendidikan yang bersifat mendasar dan universal. Materi-

materi pendidikan tersebut adalah pendidikan iman, akhlak, fisik,

intelektual, psikis, sosial dan seksual.127 Sedangkan menurut Chabib

Thoha memfokuskan materi pendidikan pada aspek pendidikan ibadah,

pokok-pokok ajaran Islam dan membaca al-Qur’an, pendidikan akhlak dan

125 Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bungan Rampai dari Chicago,

(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 77. 126 Zakiah Daradjat, “Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 Tahun”,

dalam Ahmad Tafsir (ed.), Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 113.

127 Raharjo, “Dr. Abdullah Nasih Ulwan: Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 62.

53

pendidikan akidah Islamiyah.128 Sejalan dengan pemikiran Thoha, M.

Nipan Abdul halim menambahkannya dengan pendidikan ekonomi dan

kesehatan sebagai penunjang tegaknya akidah, ibadah dan akhlak anak.129

Adapun yang mendasar adalah:

a. Pendidikan iman (akidah)

Pendidikan akidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang

yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sedemikian

mendasarnya pendidikan akidah ini bagi anak-anak, karena dengan

pendidikan inilah anak akan mengenali siapa Tuhannya, bagaimana

cara bersikap terhadap Tuhannya dan apa saja yang mesti mereka

perbuat dalam hidup ini.130

Materi pendidikan keimanan ini adalah untuk mengikat anak

dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah. Sejak

anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Adapun tujuan

mendasar dari pendidikan ini adalah agar anak hanya mengenal Islam

mengenai dirinya. Al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah sebagai

pemimpin dan teladannya.131 Hal ini sesuai dengan Firman Allah

dalam surat Luqman ayat 13 sebagai berikut:

هنه وان لابإذ قال لقمو لظلم كربالله إن الش ركشلا ت ينابي عظهي وظيم13: لقمان. (ع(

Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya: “hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar. (QS. Luqman: 114)132

128 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

hlm. 105. 129 M . Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra

Pustaka, 2000), hlm. 91. 130 Ibid., hlm. 94. 131 Raharjo, op. cit., hlm. 62. 132 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 654.

54

b. Pendidikan ibadah

Materi pendidikan ibadah secara menyeluruh oleh para ulama

telah dikemas dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fikih

dan fikih Islam. Karena seluruh tata peribadatan telah dijelaskan di

dalamnya, sehingga perlu diperkenalkan sejak dini dan sedikit demi

sedikit dibiasakan dalam diri anak, agar kelak mereka tumbuh menjadi

insan-insan yang bertakwa.133 Pendidikan ibadah di sini, khususnya

pada pendidikan shalat yang merupakan tiang dari segala amal ibadah

sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah dalam surat Luqman ayat

17 sebagai berikut:

يابني أقم الصلاة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما إن ذلك كابورأصم الأمزع 17: لقمان(. من(

Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. (QS. Luqman: 17)134

Pendidikan shalat dalam konteks ayat tersebut tidak hanya

terbatas tentang tata cara untuk menjalankan shalat yang lebih bersifat

fi’liyah, melainkan termasuk menanamkan nilai-nilai dibalik ibadah

shalat. Anak harus mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf nahi

mungkar serta jiwanya teruji menjadi orang yang sabar.

c. Pendidikan akhlak (moral)

Yang dimaksud dengan pendidikan akhlak adalah pendidikan

mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus

dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak masa analisa hingga

menjadi seorang mukallaf, seorang yang telah siap untuk mengarungi

lautan kehidupan. Tujuan dari pendidikan akhlak ini adalah untuk

membentuk benteng religius yang berakar pada hati sanubari. Benteng

133 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 102. 134 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655.

55

tersebut akan memisahkan anak dari sifat-sifat negatif, kebiasaan, dosa

dan tradisi jahiliyah.135

Keluarga merupakan tempat pertama yang harus meletakkan

pendidikan akhlak dalam diri anak dengan jalan melatih dan

membiasakan hal-hal yang baik. Pendidikan akhlak tidak hanya

dikemukakan secara teoritik, melainkan disertai contoh-contoh

kongkrit untuk dihayati maknanya. Kemudian direfleksikan dalam

kehidupan kejiwaannya.136 Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam

surat Luqman ayat 18 sebagai berikut:

تصعر خدك للناس ولا تمش في الأرض مرحا إن الله لا يحب ولا )18: لقمان(كل مختال فخور

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. (QS. Luqman: 18)137

d. Pendidikan intelektual

Pendidikan intelektual adalah pembentukan dan pembinaan

berfikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu

pengetahuan, peradaban ilmiah dan modernisme serta kesadaran

berfikir dan berbudaya. Dengan demikian, ilmu rasio dan peradaban

anak benar-benar dapat terbina.138

Pendidikan intelektual ini sangat erat hubungannya dengan

pendidikan iman, moral dan fisik dalam rangka membentuk pribadi

anak secara integral dan di dalam mendidik anak secara sempurna agar

menjadi seorang insan yang konsisten dalam melaksanakan kewajiban,

risalah dan tanggung jawabnya, pelaksanaan pendidikan intelektual ini

mencakup tiga masalah yang krusial dan saling terkait, yaitu kewajiban

135 Raharjo, op. cit., hlm. 63. 136 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 108. 137 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655. 138 Abdullah Nasih Ulwan, “Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam”, Juz I, terj. Saifullah Kamali

dan Hery Noer Ali, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa’, 1981), hlm. 270.

56

mengajar, penyadaran berfikir dan pemeliharaan kesehatan

intelektual.139

Dengan diberikannya pokok-pokok pendidikan anak tersebut

diharapkan anak akan tumbuh dewasa menjadi insan mukmin yang benar-

benar shaleh, insan yang kuat akidahnya, mantap ibadahnya, mulia

akhlaknya dan cemerlang pemikirannya, sehingga kepribadian mereka

terbentuk menjadi pribadi muslim yang kuat.

4. Metode dalam Mendidik Anak

Metode pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam

pendidikan, karena kenyataan materi pendidikan tidak akan dapat

dipelajari dan diterima secara efektif dan efesien, kecuali disampaikan

dengan cara-cara tertentu. Ketiadaan metode pendidikan yang efektif akan

menghambat dan membuang secara sia-sia waktu dan upaya pendidikan.

Istilah metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan. Jadi,

jalan itu bermacam-macam, begitu juga dengan metode.140 Metode

diartikan pula sebagai suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan.141 Sedangkan menurut

Moh. Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Omar Muhammad al-

Thoumy mendefinisikan metode sebagai suatu jalan yang kita ikuti untuk

memberi faham kepada murid-murid segala macam pelajaran.142

Dalam konteks pendidikan Islam, tujuan untuk mengembangkan

sikap, pengetahuan, daya cipta dan ketrampilan pada anak dapat dicapai

melalui berbagai metode, maka metode yang digunakan untuk pendidikan

anak dalam Islam adalah melalui metode teladan, teguran, cerita,

pembiasaan dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.143 Sedangkan

menurut M. Fadhil al-Jamaly menyebutkan metode dari sudut pandang al-

139 Raharjo, op. cit., hlm. 64. 140 Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 183. 141 Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., hlm. 19 142 Omar Mohammad Thoumi al-Shaibani, op. cit., hlm. 551. 143 Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: al-

Ma’arif, 1993), hlm. 324.

57

Qur’an, yaitu pemberi peringatan, pemberi pelajaran dan nasehat, historis,

keteladanan ibarat yang historis.144

Adapun di antara metode yang sesuai bagi pendidikan anak dan

cocok untuk diterapkan dalam mendidik anak antara lain sebagai berikut:

a. Metode keteladanan

Metode keteladanan berarti metode dengan memberi contoh,

baik berupa tingkah laku sifat cara berfikir dan sebagainya.145

Keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada omelan

atau nasehat.146 Ini sejalan dengan pendapat Nashih Ulwan,

sebagaimana dikutip oleh Raharjo yang menyatakan, bahwa metode

keteladanan adalah metode yang paling menentukan keberhasilan

dalam menentukan, mempersiapkan dan membentuk sikap dan prilaku

moral, spiritual dan sosial anak.147

Metode keteladanan dalam pendidikan anak adalah metode yang

influitif yang paling meyakinkan keberhasilan dalam mempersiapkan

dan membentuk anak di dalam moral spiritual dan sosial. hal ini karena

pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan

ditirunya dalam tindak tanduknya dan tata santunnya, didasari atau

tidak bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu gambaran

pendidik, baik dalam ucapan dan perbuatan yang bersifat material dan

spiritual, yang diketahui atau tidak.148

Ini menunjukkan bahwa pendidikan dengan metode keteladanan

merupakan metode yang berhasil guna.

Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menunjukkan

kepentingan penggunaan bentuk keteladanan dalam pendidikan. Di

antaranya terdapat dalam surat al-Ahza>b ayat 21 sebagai berikut:

144 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 128-134. 145 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 178. 146 Jaudah Muhammad Awwat, Manhaj Islam fi al-Tarbiyah al-Athfal, terj. Shihabuddin,

Mendidik Anak secara Islami, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 13. 147 Raharjo, op. cit., hlm. 66. 148 Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 2.

58

و اللهجركان ي نة لمنسة حوول الله أسسفي ر كان لكم لقد )21: األحزاب. (واليوم الآخر وذكر الله كثريا

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullh itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab: 21)149

Di antara faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dalam

pendidikan dan dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah uswah

hasanah (suri tauladan) yang diikuti oleh anak-anak dan orang

dewasa.150 Ini menunjukkan pentingnya contoh teladan pergaulan yang

baik dalam usaha membentuk kepribadian seseorang. Dan di sini,

peran seorang guru berperan di mana ia harus bisa menjadi contoh

yang baik bagi anak-anak didiknya, karena dalam prakteknya anak

didik cenderung meneladani pendidiknya.

b. Metode pembiasaan

Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang

sangat penting, terutama bagi anak-anak. adapun pembiasaan yang

harus dikembangkan dalam diri anak mencakup tingkah laku,

ketrampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu.151 Menurut Ahmad

Tafsir, pembiasaan merupakan teknik pendidikan yang jitu, walau ada

kritik terhadap metode ini. Karena cara ini tidak mendidik anak untuk

menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Oleh karena itu,

pembiasaan ini harus mengarah kepada kebiasaan yang baik.152

Bentuk metode pembiasaan yang harus ditanamkan dalam diri

anak adalah pembiasaan akidah, ibadah dan akhla>k al-kari>mah.153

Menanamkan kebiasaan itu sulit kadang-kadang memerlukan waktu

149 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 670. 150 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 135. 151 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 185. 152 Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 144. 153 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 187.

59

yang lama, kesulitan itu disebabkan pada mulanya seorang anak belum

mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakan.

Dalam pendidikan anak, metode ini dapat diterapkan dengan

cara orang tua/guru, memberi atau melakukan kebiasaan-kebiasaan

yang baik, seperti hidup rukun, tolong menolong, jujur dan lain-lain.

Dengan sistem pengajaran semacam ini anak secara otomatis menjadi

terbiasa baik di sekolah maupun di keluarga.

Bertolak dari dasar-dasar yang Islami dan metode paedagogis

ini, maka wajib bagi setiap orang tua, pendidik, masyarakat dan media

masa berperan aktif untuk mencegah anak dari segala bentuk yang

membahayakaan akidah dan mendorong mereka untuk melakukan

tindak kejahatan dan kehinaan.154 Semua ini dilakukan dalam rangka

membantu untuk merealisasikan metode keteladanan supaya dapat

berjalan dengan baik di dalam membentuk diri pribadi anak menuju

yang lebih baik.

c. Metode Nasehat

Di antara metode pendidikan yang telah masyhur sejak berabad-

abad yang silam adalah metode pemberian pembelajaran/nasehat.

Metode ini digunakan dalam pendidikan untuk membuka mata anak-

anak pada hakekatnya sesuatu yang mendorongnya menuju situasi

luhur menghiasinya dengan akhlak mulia dan membekalinya dengan

prinsip-prinsip Islam. Metode ini mempunyai pengaruh yang sangat

besar terhadap jiwa dan perasaan.155

Metode ini sangat penting, karena seseorang kadang-kadang

lebih senang mendengarkan atau memperhatikan nasehat orang-orang

yang ia cintai dan ia jadikan tempat untuk mengadu segala

permasalahan.156 Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan

pengaruh jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan dengan metode ini

pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan anak

154 Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 128-129. 155 Raharjo, op. cit., hlm. 69. 156 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 130-131.

60

didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan

masyarakat dan umat. Hubungannya dengan metode ini al-Qur’an

menjelaskan dalam surat al-Nisa’ ayat 58.

الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن ا بميعكان س به إن الله عظكما ينعم ل إن اللهدوا بالعكمحا تصري

)58: النساء(Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat (QS. al-Nisa’: 58)157

Dalam metode ini, pendidik hendaknya berusaha menimbulkan

kesan bagi anak didik, bahwa dia adalah yang mempunyai niat baik

dan sangat peduli terhadap kebaikan anak didik.

157 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 128.