bab ii pondok pesantren dan pemberdayaan...

Download BAB II PONDOK PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · Bahasa Indonesia (KUBI) pengertian pesantren adalah asrama dan

If you can't read please download the document

Upload: hoangkhuong

Post on 07-Feb-2018

231 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    PONDOK PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

    A. Pondok Pesantren

    1. Pengertian Pondok Pesantren

    Pesantren sering disebut juga sebagai Pondok Pesantren yang

    berasal dari kata santri.1 Senada dengan pernyataan tersebut Dhofier

    (1982) menegaskan bahwa kata santri mendapatkan awalan pe- di depan

    dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri.2 Menurut Kamus Umum

    Bahasa Indonesia (KUBI) pengertian pesantren adalah asrama dan tempat

    murid-murid belajar mengaji.3

    Mengenai asal dari kata santri itu sendiri menurut para ahli, satu

    dengan yang lain berbeda. Manfred Ziemek menyebutkan bahwa asal

    etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an, tempat santri, 4 santri atau

    murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari

    pemimpin pesantren (kyai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz)

    pelajarannya mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam.

    Kemudian dalam tulisan Ismail SM, mengutip pendapat

    Abdurrahman wahid dan Abdurrahman Masud yang mendefinisikan

    pesantren sebagai berikut :

    Abdurrahman Wahid, defined it technically, as a place where santri (student) live (Wahid, 1988). Abdurrahman Masud writes that the world pesantren stems from santri which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge (Masud, 1998).5

    1 Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta,

    1995), hlm. 1 2 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1994), hlm. 18 3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PT. Balai Pustaka,

    1999), hlm. 746 4 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : Perhimpunan

    Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986, hlm. 16 5 Ismail SM., Pesantren (Islamic Boarding School) in Changing Society : toward

    innovation effort, dalam Media, Edisi 31/TH.VIII/Maret 1999, hlm. 69.

    14

  • 15

    Artinya : Abdurrahman Wahid, menggambarkannya secara teknis, sebagai tempat dimana santri (siswa) tinggal (Wahid, 1988). Abdurrahman Masud menulis bahwa kata pesantren itu berasal dari santri yang mana berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan Islam. Pada umumnya kata pesantren itu mengacu pada suatu tempat dimana santri kebanyakan meluangkan waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan (Masud, 1998).

    Pengertian atau tarif pondok pesantren tidak dapat diberikan

    dengan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian

    yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian Pondok Pesantren,

    setidaknya ada 5 (lima) ciri yang terdapat pada suatu lembaga pondok

    pesantren, yakni : kyai, santri, pengajian, asrama dan masjid dengan

    aktivitasnya.6

    Dengan demikian bila orang menulis tentang pengertian pesantren

    maka topik-topik yang harus ditulis sekurang-kurangnya adalah :

    1. Kyai pesantren, mungkin mencakup ideal kyai untuk zaman kini dan nanti.

    2. Pondok, akan mencakup syarat-syarat fisik dan non fisik, pembiayaan tempat, penjagaan, dan lain-lain.

    3. Masjid, cakupannya akan sama dengan pondok. 4. Santri, melingkupi masalah syarat, sifat dan tugas santri. 5. Kitab kuning, bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren

    dalam arti yang luas.7 Saat sekarang pengertian yang populer dari pesantren adalah :

    Suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat.8

    Pendapat lain mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga

    pendidikan Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (Tafaqquh Fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari, penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentuk asrama yang

    7 Tim Departemen Agama RI,Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta :

    Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 40 8 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja

    Rosdakarya, 2004), hlm. 191 8 Haidar Putra Daulay, Historitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah,

    (Yogyakarta : PT. Tiara wacana, 2001), hlm. 8

  • 16

    merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa orang ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar mengajar, serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri selama 24 jam dari masa kemasa mereka hidup kolektif antara kyai, ustadz, santri dan para para pengasuh pesantren lainnya, sebagai satu keluarga besar.9

    Sehingga bila dirangkum semua unsur-unsur tersebut dapatlah

    dibuat suatu pengertian pondok pesantren yang bebas. Adapun yang

    dimaksud penulis dengan pesantren ialah suatu lembaga pendidikan Islam

    yang dijadikan tempat tinggal para santri untuk mendalami, memahami,

    menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (Tafaqquh Fiddin)

    dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman

    hidup bermasyarakat sehari-hari, yang diselenggarakan dengan lima

    elemen penting, meliputi, kyai, pondok / asrama, masjid, santri, dan

    pengajian kitab kuning.

    2. Sejarah Perkembangan Pesantren

    a. Asal-usul pesantren

    Pesantren menurut sejarah akar berdirinya di Indonesia,

    ditemukan dua versi pendapat :

    Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa Pondok Pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Pondok Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem Pondok Pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di nusantara.10

    Oleh karenanya pesantren atau pondok adalah lembaga yang

    bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem

    pendidikan nasional.

    Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna

    ke-Islaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia

    9 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Bagian Tentang Unsur dan

    Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 6 10 Tim Departemen Agama RI, op cit., hlm. 10

  • 17

    (indigenous) 11 , sebab lembaga yang berupa pesantren ini sebenarnya

    sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha sehingga di sini

    Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan

    yang sudah ada, tentunya hal ini tidak berarti mengecilkan peranan

    Islam dalam mempelopori pendidikan di Indonesia.

    Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah

    pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa12, yang telah berhasil

    mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam

    memperkenalkan Islam pada masyarakat.

    Senada dengan berbagai uraian diatas menurut Abdurrahman

    Masud, bahwa :

    Tradisi pesantren sudah ada sejak Walisongo, tetapi Walisongo sendiri sebenarnya mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad, karena itu ada dua contoh yang diambil sebagai model dalam dunia pesantren, model pertama Nabi Muhammad, dan model kedua Walisongo. Sehingga pengaruh dunia pesantren demikian kuat.13

    Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan

    sekomplek sekarang, pada masa awal pesantren hanya berfungsi

    sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur

    pendidikan yakni: ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk

    menyebarkan ilmu dan amal untuk mewujudkan kegiatan

    kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.

    b. Masa Sultan Agung .

    Satu abad setelah masa walisongo, abad 17 pengaruh

    Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram

    dari tahun 1613-1645. 14

    Pada zaman Sultan Agung telah diadakan pembagian

    tingkatan-tingkatan pesantren sebagai berikut : tingkat pengajian Al-

    11 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta :

    Paramadina, 1997), Cet I, hlm. 3 12 Abdurrahman Masud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail SM (ed),

    Dinamika pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 3 13 Neti Farida, Santri Alumni Amerika, EDUKASI 27/th X/11/2003, hlm. 80 14 Abdurrahman Masud, op cit., hlm. 10.

  • 18

    quran, tingkat pengajian kitab, tingkat pesantren besar, pondok

    pesantren tingkat keahlian (takhassus).15

    c. Dari Abad 19 Sampai Kini

    Seperti yang telah diungkapkan terdahulu lahirnya pesantren

    tidak terlepas dari proses islamisasi di Indonesia. Jika sebelum abad

    19, kehidupan kaum santri tampak terwakili dalam hubungan

    Walisongo dengan kerajaan Demak, serta Sultan Agung.

    Pada abad 19 aspirasi dan simpati kaum santri tampak jelas

    tertumpu pada tokoh pengeran Diponegoro (1785-1855).16

    Diponegoro adalah simbol mujahidin Jawa yang menjadi contoh

    terbaik bagi kaum santri, karena perlawanan agungnya terhadap

    penjajah Belanda. Anti kolonialisme Diponegoro tampaknya didasari

    atas panggilan dan sentimen keagamaan hingga pengaruh agama telah

    memainkan peran dalam memotivasi perlawanan rakyat.

    Kebencian dan penentangan kalangan Pesantren terhadap

    Belanda dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi :

    Pertama Uzlah atau pengasingan diri mereka menyingkir ke desa- desa atau tempattempat sepi yang jauh dari jangkauan kolonial. Kedua, bersikap non kooperatif, dan mengadakan perlawanan secara diam-diam, Ketiga, berontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda. 17

    Hal ini terbukti telah terjadi empat kali pemberontakan besar kaum santri di Indonesia yaitu : Pemberontakan kaum Paderi di Sumatera Barat (1821-1828), pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830), pemberontakan di Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud memberlakukan tanam paksa, peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan petani yang meletus pada tahun 1836-1842 dan 1849, kemudian pecah kembali pada tahun 1880 dan 1888, pemberontakan di Aceh (1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar, Panglima Polim, dan Teuku Cik Ditiro.18

    15 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara Sumber

    Widya, 1979), hlm. 223-225. 16 Abdurrahman Masud, op. cit., hlm. 13. 17 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren : Penddikan Alternatif Masa Depan,

    (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), hlm. 79 18 Ibid.

  • 19

    Kemudian pada zaman revolusi kemerdekaan, periode 1959-

    1965, pesantren disebut sebagai alat revolusi dan sesudah itu hingga

    kini pemerintah menganggapnya sebagai potensi pembangunan.19

    Maka sekarang ini pondok pesantren tak luput dari proses

    perubahan yang terjadi secara menyeluruh dan global itu. Pesantren

    yang dulunya diidentikkan dengan sifat tradisonal kolot, dan resistant

    terhadap perubahan, akan tetapi sekarang ini dapat kita lihat bahwa

    dalam lingkungan pesantren telah terjadi perubahan yang luar biasa,

    berbeda dengan pandangan yang seringkali dilontarkan orang selama

    ini.

    Pesantren tidak mempunyai sikap menolak terhadap perubahan,

    tentunya perubahan dalam pengertian yang positif yaitu progres atau

    kemajuan.20

    Ada berbagai cara untuk melihat ciri-ciri kondisional pesantern

    saat ini. Salah satu cara yang dapat digunakan ialah dengan melihat

    ciri-ciri kontekstual, ciri relasional dan ciri analitisnya.21

    Meskipun demikian ciri-ciri tersebut di atas baik kontekstual,

    resional maupun yang analitis adalah ciri-ciri global sehingga dalam

    kenyataannya ada variasi dalam hal kuat/tidaknya ciri-ciri itu tertanam

    dalam pesantren tertentu, deferensiasi dan spesialisasi sudah mulai

    berkembang meskipun belum cukup tajam.

    Disamping itu mulai ada pesantren yang menyerap teknologi

    baru, baik yang bersifat hardware maupun software, mulai dari

    menarapkan manajemen yang tidak lagi murni tradisional, meskipun

    belum pula bisa disebut modern. Bahkan adapula pesantren yang

    19 M. Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren Dalam Peta Pembaharuan dalam M. Dawam

    Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3Es, 1974) hlm. 10 20 Zamakhsyari Dhofier, Kultur Pesantren dalam Perspektif Masyrarakat Modern,

    dalam A. Rifai Hasan (eds), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, (Yogyakarta : PLP2M, 1997), hlm. 388

    21 MM Billah, pikiran awal pengembangan pesantren dalam M Dawam Raharjo (ed) Pergulatan Pesantren : Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 291

  • 20

    sangat terbuka dengan mengundang atau malahan menggantungkan

    pada bantuan dari luar, baik dari pemerintah maupun lembaga swasta.

    Dari berbagai uraian mengenai kondisi pesantren dewasa ini

    jelaslah bahwa pesantren sedang menghadapi masalah-masalah yang

    sangat dilematis, pilihan-pilihan yang saling bertentangan dan setiap

    pilihan yang diambil mendatangkan resiko yang harus dibayar mahal,

    tentu saja pesantren mempunyai cara sendiri-sendiri, dan sebagian

    tampak mengadakan skala prioritas tentang program yang

    dikembangkan.

    Pesantren yang sangat banyak jumlah dan variasinya ini

    memiliki skala prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan masalah

    yang dianggap mendesak dipecahkan, sedang tekadnya sama, yakni

    turut berkiprah dalam proses pembangunan menuju hari depan umat

    dan bangsa Indonesia yang lebih cerah.22

    Dari berbagai uraian di atas, secara historis pesantren memiliki

    karakter utama yaitu :

    1) Pesantren didirikan sebagai bagian dan atas dukungan masyarakat sendiri.

    2) Pesantren dalam menyelenggarakan pendidikannya menerapkan kesetaraan santrinya tidak membedakan status dan tingkat kekayaan orang tuanya.

    3) Pesantren mengemban misi menghilangkan kebodohan, khususnya tafaqquh fi al-din dan mensiarkan agama Islam23

    3. Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren

    Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan yang

    mendasari seluruh aktivitas pendidikan baik dalam rangka penyusunan

    teori, perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan.24

    22 Sudirman Tebba, Diploma Pesantren : Belenggu Politik dan Pembaharuan Sosial,

    dalam, M. Dawam Raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah, (Jakarta : P3M, 1985), hlm. 288

    23 Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 7

    24 Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media, 1992), hlm. 55.

  • 21

    Dalam konteks ini dasar dari pada pondok pesantren yang juga

    termasuk lembaga pendidikan islam adalah pararel dengan dasar

    pendidikan Islam. Yaitu Al-quran dan Al-Hadits Nabi Muhammad SAW.

    kalau pendidikan diibaratkan bangunan maka isi al-quran dan haditslah

    yang menjadi fundamennya.25

    a) Dasar Al-quran

    )125: ......(

    Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan TuhanMu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, (Qs. An-Nahl : 125).26

    b) Dasar Al-Hadits

    : ,

    27) ( Artinya : Dari Abi Hurarah r.a., bahwasannya ia telah berkata Rasulullah SAW telah bersabda : tidak ada seorang anak itu kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tua-nyalah yang menjadikan yahudi, nasrani atau majuzi. (H.R. Muslim).

    Berbagai dasar diatas memberikan pemahaman kepada kita bahwa

    dalam ajaran Islam terdapat suatu perintah untuk memberikan

    pendidikan agama baik melalui keluarga, lingkungan sekitar /

    masyarakat, maupun melalui sebuah wadah lembaga pendidikan, lebih

    spesifiknya seperti halnya pesantren.

    Adapun tujuan pendidikan pondok pesantren, sampai sekarang ini

    belum dapt dirumuskan secara baku mengingat banyaknya ciri khas

    25 Ahmad D Marimba, Pengantar Fislasfat Pendidikan Islam, ( Bandung : PT. Al-

    MAarif, 1980), hlm. 41. 26 A. Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1971), hlm. 421. 27 Imam Abi Husain Muslim Ibnu Al-Hujjaj al-Gusyary an-Naisabury, Shahih Muslim,

    Juz IV, (Beirut Libanon : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 260-261 H), hlm. 2047.

  • 22

    maupun tipologi yang dimiliki oleh pondok pesantren. Selain itu

    peranan seorang kyai sebagai seorang figur sentral dalam

    kepemimpinan dipesantren juga mempengaruhi tujuan ke depan dari

    sebuah pesantren yang dipimpinnya.

    Adapun secara garis besar tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan (Allah), berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, dengan jalan memberikan pengabdian pada masyarakat, yitu dengan memposisikan diri menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW, mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian menyebarkan agama atau menegakkan Islam, dalam upaya mewujudkan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (izzu al islam wa al muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadiannya. Yaitu berkepribadian muhsin, bukan sekedar berkepribadian muslim.28

    Dari tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren

    adalah membentuk manusia yang berkepribadian dan berakhlak serta

    memiliki pengetahuan yang islami serta dapat mengamalkannya pada

    kehidupan bermasyarakat setelah mereka kembali ke lingkungannya

    masing-masing.

    4. Tipologi Pondok Pesantren

    Adapun variasi bentuk atau model suatu pesantren yang berkembang

    sekarang ini. Secara garis besar dapat di kelompokkan pada tiga macam

    tipe pesantren berikut :

    a. Pesantren tipe A, memiliki ciri-ciri : 1) Para santri belajar dan menetap di pesantren 2) Kurikulum tidak tertulis secara exsplisit, tetapi berupa hidden

    kurikulum (kurikulum tersembunyi yang ada pada benak kyai). 3) Pola pembelajaran menggunakan metode pembelajaran asli milik

    pesantren (sorogan, bandongan dan lainnya). 4) Tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah

    b. Pesantren tipe B, memiliki ciri-ciri : 1) Para santri tinggal dalam pondok atau asrama 2) Pemaduan antara pola pembelajaran asli pesantren dengan sistem

    madrasah atau sistem sekolah 3) Terdapatnya kurikulum yang jelas

    28 Mastuhu, op. cit., hlm., 55-56.

  • 23

    4) Memiliki tempat khusus yang berfungsi sebagai sekolah atau madrasah

    c. Pesantren tipe C memiliki ciri-ciri : 1) Pesantren hanya semata-mata tempat tinggal (asrama) bagi para

    santri 2) Para santri belajar di madrasah atau sekolah yang letaknya diluar

    dan bukan milik pesantren 3) Waktu belajar di pesantren bisaanya malam atau siang hari pada

    saat santri tidak belajar di sekolah atau madrasah (ketika mereka berada di pondok atau asrama)

    4) Pada umumnya tidak terprogram dalam kurikulum yang jelas dan baku29

    Hampir serupa dengan tipologi pesantren yang telah diuraikan di atas,

    disini pemerintah mencoba memberikan batasan atau pemahaman yang

    lebih mengarah pada bentuk pondok pesantren, sebagai berikut :

    a. Pondok pesantren tipe A, yaitu pondok pesantren di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajarannya yang berlansung secara tradisional (wetonan atau sorogan).

    b. Pondok pesantren tipe B, yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasy) dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi dan diberikan pada waktu-waktu tertentu, para santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.

    c. Pondok pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) dan kyai hanya merupakan pengawas dan pembina mental para santri tersebut.

    d. Pondok pesantren tipe D, yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.30

    Bentuk pondok pesantren seperti yang di ungkapkan di atas merupakan

    upaya pemerintah dalam memberikan batasan atau pemahaman yang lebih

    mengarah kepada bentuk pondok pesantren, walaupun demikian

    sesungguhnya perkembangan pondok pesantren tidak terbatas pada empat

    bentuk tadi, namun dapat lebih beragam banyaknya, bahkan dari tipe yang

    29 Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, op.cit., hlm. 18 30 Tim Departemen Agama RI, Pola Pengemabangan Pondok Pesantren, (Jakarta :

    Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 25

  • 24

    sampai terdapat perbedaan tertentu yang menjadikan satu sama lainnya

    tidak sama.

    Apabila dilihat dari sarana fisik yang dimiliki sebuah pesantren

    sekarang ini, maka dapat dikelompokkan kedalam lima macam, yaitu :

    a. Tipe pertama Pesantren tipe ini hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai,

    pesantren seperti ini masih bersifat sederhana sekali karena untuk kegiatan pengajian ini masih menjadikan masjid atau rumahnya sendiri sebagai tempat diselenggarakannya kegiatan pembelajaran kepada para santri, para santri sendiri tidak menetap di lingkungan itu melainkan tinggal di rumah masing-masing, sehingga ada yang menyebut bahwa tipe ini tidak dapat diketagorikan sebagai pesantren tetapi sebagai kegiatan pengajian bisa.

    b. Tipe kedua Pada tipe ini selain adanya masjid dan rumah kyai, di dalamnya

    telah tersedia pada bangunan berupa pondok atau asrama bagi para santri yang datang dari tempat jauh. Pada tipe ini unsur dasar peantren telah terpenuhi sehingga dapat dikategoriukan sebagai sebuah pesantren.

    c. Tipe ketiga Pesantren tipe ini telah memiliki masjid, rumah kyai serta pondok

    di dalamnya diselenggarakan pengajian dnegan metode sorogan, bandongan dan sejenisnya disamping itu tersedia sarana lain berupa madrasah atau sekolah yang berfungsi sebagai tempat untuk belajarnya para santri, baik untuk ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum.

    d. Tipe keempat Pesantren tipe ini selain telah memiliki masjid, rumah kyai serta

    pondok, juga telah memiliki masjid, rumah kyai serta pondok, juga telah memiliki tempat untuk pendidikan ketrampilan, seperti lahan untuk pertanian dan peternakan, tempat untuk membuat kerajinan, koperasi, laboratorium dan lain sebagainya.

    e. Tipe kelima Pada tipe ini pesantren telah berkembang sehingga disebut pula

    sebagai pesantren modern, disamping adanya masjid, rumah kyai dan ustadz, pondok, madrasah, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lain seperti : perpustakaan, kantor, toko, rumah penginapan untuk tamu, tempat olah raga, dapur umum, ruang makan, aula dan seterusnya.31

    Adapun bentuk pondok pesantren yang muncul sekarang ini

    diantaranya, sebagai berikut :

    31 Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, op.cit., hlm. 19

  • 25

    a. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran kitab-kitab klasik (Salafiyah), sebagaimana pengertian umum yang telah diungkap di atas para santri dapat diasramakan, kadangkala tidak diasramakan, mereka yang tidak diasramakan tinggal di masjid dan dirumah-rumah pendidikan yang berada disekitar masjid atau rumah kyai.

    b. Pondok pesantren yang telah diungkapkan pada poin a, namun memberikan tambahan latihan ketrampilan atau kegiatan pada para santri pada bidang-bidang tertentu dalam upaya penguasaan ketrampilan individu atau kelompok, termasuk dalam kategori ini adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan potensi umat.

    c. Pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pengajian kitab, namun lebih mengarah kepada upaya pengembangan tarekat atau sufisme namun para santrinya kadang-kadsang ada yang diasrmakan, ada kalanya pula tidak diasramakan.

    d. Pondok pesantren yang hanya menyelenggarakan kegiatan ketrampilan khusus agam Islam, kegiatan keagmaan seperti tahfidz (hafalan) Al-Quran dan majelis taklim, seperti halnya yang tersebut sebelumnya, adakalanya santri diasramakan, adakalanya tidak.

    e. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab klasik, namun juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal kedalam lingkungan Pondok pesantren. Siswa pada lembaga pendidikan formal ada yang tidak tinggal di asrama tidak termasuk kategori santri (tidak ikut pengajian) kadang-kadang ada santri yang hanya ikut pengajian saja dan tidak tinggal diasrama.

    f. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran pada orang-orang yang menyandang masalah sosial. Patut dicatat bahwa dalam rangka pemerataan pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pengajaran yang layak, maka diupayakan adanya penyelenggraan Pondok pesantren yang memberikan bentuk pengajaran khusus mereka yang memiliki cacat tubuh atau keterbelakangan mental dalam sebuah penyelenggaraan madrasah luar baisa di Pondok pesantren dan juga bagi mereka yang yatim atau anak jalanan dalam sebuah panti asuhan yang dikelola sebagai Pondok pesantren.

    g. Pondok pesantren yang merupakan kombinasi dari beberapa poin atau seluruh poin yang tersebut diatas (konvergersi)32

    Perlu dijelaskan disini bahwa apapun bentuk dan tipe sebuah pondok

    pesantren, ia dapat dikatakan sebagai pondok pesantren jika

    terpenuhinmya sekurang-kurangnya ciri-ciri yang telah disebut diatas.

    32 Tim Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, op.cit.,hlm. 26

  • 26

    Kondisi pesantren di Indonesia sekarang ini setidak-tidaknya apabila

    dilihat dari aspek materi dan metode pendidikan yang diterapkan bisa

    dikelompokkan menjadi tiga bentuk :

    Pertama, bentuk salaf murni, dengan karakter dan ciri-ciri tertentu, yaitu pesantren yang semata-mata hanya mengajarkan atau menyelenggarakan pengajian Kitab Kuning (KK) yang dikategorikan Mutabaroh, dan sistem yang diterapkan adalah sistem sorogan atau bandongan.

    Kedua, bentuk salaf yang dikombinasikan dengan sistem lain (tidak murni) yaitu pesantren yang selain menyelenggarakan pengajian kitab kuning juga membuka pendidikan dengan sistem madrasi (klasikal).

    Ketiga, bentuk pesantren non-salaf, yaitu pesantren yang seluruh program pendidikannya disampaikan dengan sistem klasikal dan tidak membuka pengajian kitab kuning sebagai materi pelajaran utama.33

    Dalam pelaksanannya sekarang ini, secara garis besar pondok

    pesantren dapat digolongkan kedalam dua bentuk yang penting :

    a. Pondok pesantren salafiyah Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang

    menyelenggarakan pengajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu agama Islam yang kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran (pendidikan dan pengajaran) yang ada pada pondok pesantren ini dapat diselenggarakan dengan cara non-klasikal atau dengan klasikal. Jenis pondok pesantren dapat meningkat dengan membuat kurikulum sendiri, dalam arti kurikulum ala pondok pesantren yang bersangkutan yang disusun sendiri berdasarkan cri khas yang dimiliki oleh pondok pesantren. Penjenjangan dilakukan dengan cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan Funun (tema kitab) yang sama setelah tamatnya suatu kitab. Para santri dapat tinggal dalam asrama yang disediakan dalam lingkungan pondok pesantren dapat juga mereka tinggal diluar lingkungan pondok pesantren (santri kalong).

    b. Pondok pesantren khalafiyah (Ashriyah) Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang selain

    menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (jalur sekolah), baik itu jalur sekolah umum (SD, SMP, SMU, SMK) maupun jalur sekolah bercirikhas agama Islam (MI, MTs, MA atau MAK) bisaanya kegiatan pembelajaran kepesantrenan pada pondok pesantren ini memiliki kurikulum pondok peaantren yang klasikal dan berjenjang dan bahkan

    33 Tim Departemen Agama RI, Pola Manajemen Penyelenggaraan Pondok Pesantren,

    op.cit., hlm.17

  • 27

    pada sebagian kecil pondok pesantren, pendidikan formal yang diselenggarakannya berdasarkan pada kurikulum mandiri, pondok pesantren ini mungkin dapat pula dikatakan sebagai pondok pesantren Salafiyah Plus (pondok pesantren salafiyah yang menambah lembaga pendidikan formal dalam pendidikan dan pengajarannya).34 Dua bentuk di atas adalah yang paling popular meski terdapat

    pembetukan lain seperti pondok pesantren tipe A, B, dan C dan lainnya.

    Dalam kedua bentuk atau tipe pondok pesantren ini, bentuk

    pengembangan lain atau ketrampilan serta kegiatan keagamaan dan sosial

    dapat diselenggarakan, mislanya dalam pembentukan unit usaha,

    penyelenggaraan agribisnis, penyelenggaraan program ketrampilan atau

    program pengembangan potensi lainnya.35

    Seluruh tipologis di atas mencermikan bahwa kondisi pesantren

    sekarang ini memiliki keragaman dan perbedaan orientasi yang bisa jadi

    mencolok akan tetapi, pada pokoknya pondok pesantren dengan berbagai

    bentuk atau tipe atau pola penyelenggaraan tetapi sebagai lembaga

    pendidikan yang tumbuh dsan berkembang ditengah-tengah masyarakat

    yang memadukan tiga unsur pendidikan yang amat penting, yaitu

    peningkatan keimanan dengan ibadah serta penjabaran ilmu ajaran Islam

    dengan tabligh dan memberdayakan potensi umat dan merupakan nilai-

    nilai kemasyarakatan yang baik dengan amal sholeh.36

    Dewasa ini dengan adanya otonomi daerah, dimana pendidikan dasar

    hingga menengah dikembalikan kepada masing-masing daerah, pesantren

    sejatinya ikut memperoleh kembali otonominya yang sempat hilang. Hal

    pendidikan yang kaitannya dengan otonom daerah adalah prinsip

    demokrasi, keadilan, pemerataan, bertanggung jawab dan sesuai dengan

    potensi keanekaragaman daerah, artinya pendidikan harus benar-benar

    34 Tim Departemen Agama RI., Pola Pengembangan Pondok Pesantren, op.cit., hlm. 42 35 Ibid., 36 Tim Departemen Agama RI., op.cit.,hlm. 43

  • 28

    mampu mempelajari kontribusi baik aspek sosial, budaya, ekonomi,

    politik dan lapangan kerja.37

    Dunia pesantren sekarang ini dihadapkan pada kondisi

    mendapatkannya kembali kebebasan berkreasi, akan tetapi sekaligus

    memikul tanggung jawab yang besar untuk menciptakan sumberdaya

    manusia dan man capital yang bersaing, ini sungguh berat akan tetapi

    sangat utopis rasanya jika kita mengharapkan pesantren mampu

    melahirkan ulama yang intelek dan intelek yang ulama tersebut

    sekaligus. Perkembangan dunia yang cepat dan mengarah pada

    profesionalisme menghendaki adanya spesialis-spesialis yang tidak

    mungkin dapat dipenuhi seluruhnya oleh pesantren.38

    Adapun pondok pesantren yang akan diteliti kali ini yaitu Pondok

    Pesantren Pabelan ialah tipe pondok pesantren yang selain

    menyelenggarakan pengajaran kitab-kitab klasik (salafiyah), sebagaimana

    pengertian umum yang telah diungkapkan diatas tetapi juga memberikan

    tambahan latihan ketrampilan atau kegiatan pada para santri pada bidang-

    bidang tertentu dalam upaya penguasaan ketrampilan individu atau

    kelompok, termasuk dalam kategori ini adalah pondok pesantren yang

    menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan potensi umat.

    B. Pemberdayaan Masyarakat Oleh Pesantren

    1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

    Pemberdayaan ialah kekuatan, tenaga. 39 Dalam makna yang lain

    pemberdayaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memberdayakan.40

    Sedangkan masyarakat ialah sejumlah manusia dalam arti seluas-

    luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.41

    37 Abi Manyu Adzin, Diploma II Tarbiyah, Kebutuhan atau Tuntutan, (Edukasi, XXIX, th. XIV, 2004), hlm, 43

    38 Zakaria Anshori, Mencari Peran Ideal Pondok Pesantren dalam Era Globalisasi : Sebuah Pengamatan Mata Burung, (Birds Ege View) dalam Rijal Rokian S.Ag. MA, (ed), Kapita Selekta Pondok Pesantren (Jakarta : Depag RI, 2002), hlm. 155

    39 W. J. S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999), hlm. 233.

    40 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3 (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), hlm. 242.

  • 29

    Dalam makna yang lain masyarakat diartikan sebagai pergaulan hidup

    manusia (sehimpunan orang yang hidup) bersama disuatu tempat dengan

    ikatan-ikatan aturan yang tertentu.42

    Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat

    ialah suatu tindakan membangkitkan kemauan, kemampuan, dan

    kepercayaan pada diri sendiri, agar mereka dapat terlibat secara aktif

    dalam pembangunan. Juga, agar mereka bergerak secara metodis, efisien

    dan terorganisir.43

    Sedangkan dalam konteks peranan pesantren, pemberdayaan disini

    dimaksudkan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh pesantren

    sebagai proses, cara, perbuatan memberdayakan serta membangkitkan

    kemauan, kemampuan, dan kepercayaan pada diri sendiri, agar mereka

    dapat terlibat secara aktif dalam suatu gerakan masyarakat yang terlaksana

    secara metodis, efisien dan terorganisir dalam suatu program yang

    dilakukan oleh pesantren bersama masyarakat.

    2. Peranan Pesantren

    Sebagaimana telah diuraikan didepan, maka dapat diketahui bahwa

    pondok pesantren merupakan komunitas paling signifikan yang dapat

    diharapkan memainkan peranan pemberdayaan (empowerment)

    masyarakat secara efektif, kemudian dalam buku Pola Pengembangan

    Pondok Pesantren terbitan Departemen Agama RI, mengutip pendapat

    Said Agil Siradj yang mendeskripsikan beberapa peranan pesantren dalam

    pemberdayaan masyarakat yaitu : Peranan instrumental dan fasilitator,

    peranan mobilisasi, peranan sumber daya manusia, peran sebagai agent of

    development, dan peranan sebagai center of excellence.44

    a. Peranan instrumental dan fasilitator pondok pesantren yang mana

    selain sebagai sebuah lembaga pendidikan dan keagamaan namun

    41 Ibid., hlm. 721. 42 W. J. S. Poerwodarminto, op. cit., hlm. 636. 43 Wiryanto Yomo-Gunter Wehner, Membangun Masyarakat : Buku Pegangan Bagi

    Pekerja Pembangunan Masyarakat, (Bandung : Alumni, 1973), hlm. 27. 44 Tim Departemen Agama RI, Pola Pengembagan Pondok Pesantren, op.cit., hlm. 91-

    94.

  • 30

    juga sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat. Sehingga pondok

    pesantren dapat menjadi sarana pengembangan potensi

    pemberdayaan masyarakat, Selain dengan adanya alat atau instrumen

    tersebut, pondok pesantren juga telah memberikan pelatihan atau

    pendidikan (workshop) yang diperlukan. Sehingga kini pondok

    pesantren tidak hanya sekedar berperan sebagai sarana saja namun

    juga sebagai fasilitator.

    b. Selanjutnya peranan sosial dalam pemberdayaan masyarakat yang

    dimiliki oleh pondok pesantren sebagai sebuah lembaga yang dapat

    memobilisasi masyarakat dalam perkembangan mereka. Peranan ini

    dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat. Sebagai lembaga yang

    dipercaya dan dihormati oleh masyarakat serta adanya kharisma dari

    kyai sendiri, peranan pondok pesantren tentu menjadi sangat strategis

    dalam memberikan contoh atau mengajak untuk melakukan

    pengembangan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat

    sekitar, artinya dengan posisi seperti itu pondok pesantren dapat

    dengan mudah menggalang semangat kebersamaan masyarakat untuk

    ikut serta dalam menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan

    masyarakat yang dimotori oleh pondok pesantren.

    c. Kemudian pondok pesantren juga mempunyai peranan yang cukup

    besar dalam sumber daya manusia, seperti dalam sistem pendidikan

    yang dikembangkan oleh pondok pesantren sebagai upaya

    mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, pondok pesantren

    memberikan pelatihan khusus atau diberikan tugas magang di

    beberapa tempat, lembaga atau instansi yang sesuai dengan

    pengembangan yang akan dilakukan oleh pondok pesantren. Hal ini

    sangat membantu tugas pemerintah dalam upaya pemerataan kegiatan

    pengembangan, khusunya ekonomi di daerah agar setiap daerah

    memiliki potensi sumber daya manusia yang kompeten.

    d. Sedangkan peranan yang tak kalah besarnya yang dimiliki oleh

    pesantren adalah peranan sebagai agent of development, dimana

  • 31

    pondok pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap

    situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan

    pada runtuhnya sendi-sendi moral melalui transformasi nilai yang

    ditawarkan pondok pesantren. Kehadirannya bisa disebut sebagai

    agen perubahan sosial (agent of social change) yang selalu melakukan

    pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral,

    penindasan politik, pemiskinan ilmu pengetahuan dan bahkan dari

    kemiskinan ekonomi. Instutusi pondok pesantren dengan begitu

    mengesankan telah berhasil mentransformasikan masyarakat di

    sekitarnya menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Pada

    tataran ini, pondok pesantren telah berfungsi sebagai pelaku

    pemberdayaan masyarakat (social empowerment), dan menjadi agen

    bagi pembangunan nasional, dalam lingkup yang menjadi tanggung

    jawabnya.

    e. Selanjutnya pondok pesantren juga mempunyai peranan sebagai

    center of excellence, hal ini dikarenakan salah satu misi awal

    didiriakannya pondok pesantren adalah menyebarluaskan informasi

    ajaran dan pengetahuan agama Islam ke seluruh pelosok nusantara

    yang berwatak pluraris, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya

    maupun kondisi sosial masyarakat. Melalui medium pendidikan yang

    dikembangkan dalam bentuk pondok pesantren. Sebagai upaya untuk

    menjawab tantangan zaman, pondok pesantren kemudian

    mengembangkan peranannya dari sekedar lembaga keagamaan dan

    pendidikan menjadi lembaga pemberdayaan masyarakat. Sehingga

    pada tataran ini pondok pesantren telah berfungsi sebagai pusat

    keagamaan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.

    3. Pondok Pesantren dan Pengembangan Masyarakat

    Pesantren sebagai subkultur, lahir dan berkembang seiring dengan

    derap langkah perubahan-perubahan yang ada dalam masyarakat global.

    Perubahan-perubahan yang terus bergulir itu, cepat atau lambat pasti akan

  • 32

    mengimbas pada komunitas pesantren sebagai bagian dari masyarakat

    dunia, meskipun tidak dikehendaki.

    Karenanya tidaklah berlebihan jika Sahal Mahfudz menyebutkan

    bahwa ada dua potensi besar yang dimiliki pesantren, yakni potensi

    pendidikan dan potensi pengembangan masyarakat.45 Sehingga bisa

    diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja dalam ilmu pengetahuan

    keagamaannya, luas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikirannya,

    tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam rangka

    pemecahan persoalan kemayarakatan.

    Pesantren pada umumnya bergerak dalam pendidikan Islam,

    Pesantren kerap kali diidentifikasi memiliki peran penting dalam

    masyarakat Indonesia, yaitu :

    1. Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional (transmission of Islamic knowledge).

    2. Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional (maintenance of Islamic tradition).

    3. Sebagai pusat reproduksi ulama (reproduction of ulama)46 Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa pesantren pada dasarnya

    adalah lembaga tafaqquh fiddin, yakni lembaga untuk mengkaji dan

    mengembangkan ilmu-ilmu keislaman (al-ulum al-syariah).47 Akan

    tetapi, akhir-akhir ini terdapat suatu kecenderungan memperluas fungsi

    pesantren bukan cuma dalam tataran sebagai lembaga agama

    (pendidikan).

    Oleh karenanya sekarang ini pesantren juga bertugas sebagai lembaga

    sosial, tugas-tugas yang digarapnya bukan saja soal-soal agama, tetapi juga

    menanggapi soal-soal kemasyarakatan yang hidup.48

    45 Sahal Mahfudz, Nuanssa Fiqih Sosial (Yogyakarta : LkiS, 1994) hlm. 356 46 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001),

    hlm. 147 47 Ali Yafie, Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan,

    (Yogyakarta: LKPSM, 1997) hlm. 25 48 Suyata, Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Yang Hidup dalam M.Dawam Rahardjo

    (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985) hlm. 17

  • 33

    Dewasa ini, kiranya belum terlalu banyak orang yang mengetahui

    atau memahami seluk beluk dunia pesantren secara keseluruhan, yang

    secara umum diketahui atau didengar adalah bahwa lembaga pondok

    pesantren, memang mempunyai peranan tertentu.

    Hal ini tercermin pada zaman revolusi kemerdekaan, periode 1959-

    1965, pesantren disebut sebagai alat revolusi dan sesudah itu hingga kini

    pemerintah menganggapnya sebagai potensi pembangunan.

    Apabila kita meletakkan kasus pesantren dalam kerangka dan rel

    perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia, maka setidak-tidaknya

    dapat disebutkan bahwa pesantren merupakan salah satu bentuk lembaga

    komunikasi yang efektif dalam masyarakat, disamping lembaga pesantren

    ini secara tetap dan pokok merupakan lembaga-lembaga pendidikan agama

    dan kemasyarakatan, yang bisa mempengaruhi perubahan-perubahan

    sosial dari berbagai segi.

    Manfaat sosial yang disumbangkan pesantren, setidaknya tercermin

    dalam dua hal, yaitu : manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. 49

    a. Manfaat langsung

    Manfaat langsung, berupa manfaat yang ditimbulkan pesantren

    kepada masyarakat disekitar pesantren dalam hal ekonomi dan sosial

    budaya.

    b. Manfaat Tidak Langsung

    Manfaat tidak langsung adalah peranannya dalam manghasilkan

    lulusan-lulusan santri yang mampu berperan secara strategis dalam

    pembinaan dan pengembangan masyarakat.

    Dari potensi dan kompetensi tersebut diatas, maka tidaklah

    mengherankan apabila peranan pesantren dalam menghasilkan lulusan-

    lulusan (santri) dapat berperan secara strategis dalam pembinaan dan

    pengembangan masyarakat serta diharapkan mampu berperan sebagai agen

    perubahan sosial (agen of social change) yang selalu melakukan kerja-

    49 Akbar Zaenuddin., Pesantren dan Pengembangan Civil Society dalam Rijal Roihan, S.Ag., M.A.(ed.), Kapita Selekta Pondok Pesantren.(Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2002), hlm. 113.

  • 34

    kerja pembebasan dari segala keburukan moral dan penindasan yang

    dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Bermula dari banyaknya peristiwa yang melibatkan peran sosial

    pesantren, dapat dikatakan bahwa pesantren hingga sekarang

    sesungguhnya mempunyai interaksi yang dinamis dengan masyarakat.

    Pesantren adalah kekuatan masyarakat dan sangat diperhitungkan oleh

    negara. Pesantren masih berwibawa dan di percaya masyarakat, walaupun

    bukanlah ujung tombak satu-satunya.

    Karena itu dalam kondisi sosial politik yang serba bernegara dan

    dihegemoni oleh wacana kemodernan, pesantren yang konsisten dengan

    ciri tradisonalitasnya mempunyai ruang publik (public sphere).50 Agar

    dapat melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama kepada kaum

    tertindas, terpinggirkan dan selalu tidak diuntungkan dalam konstelasi

    sistem ini.

    Pesantren merupakan modal dan potensi yang signifikan bagi

    pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, perkembangan pesantren di

    masa depan akan sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam melakukan

    inovasi dan perkembangan masyarakat.

    Bila demikian, pesantren akan semakin eksis dalam merespon

    perubahan sosial dan bahkan berperan mengarahkan perubahan yang

    terjadi seiring dengan modernisasi dan globalisasi.51 Karena kita dapat

    menciptakan tenaga-tenaga pengembangan masyarakat (change agents)

    dari pesantren.

    Adapun cara yang digunakan adalah dengan meletakkan fungsi

    kemasyarakatan pesantren dalam konteks/kerangka menumbuhkan

    50 Marzuki Wahid., Pesantren di lautan Pembangunanisme : Mencari Kinerja

    Pemberdayaan, dalam Marzuki Wahid dan Suwendi (eds), Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 149.

    51 Ismail SM., Sinifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat Madani,, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti (eds.), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 184.

  • 35

    lembaga-lembaga non-pemerintah yang matang,52 atau yang lebih kita

    kenal dengan L.N.P., sebagai ganti N.G.O. yang menjadi kependekan dari

    Non-Govermental Organizations, Sehingga mampu menjadi partner yang

    sesungguhnya bagi pemerintah dalam kerja-kerja pembangunan.

    Dalam segmen masyarakat yang terakhir ini sesungguhnya terletak

    wilayah pesantren untuk berkhidmat, pesantren dituntut untuk mampu

    melakukan pemberdayaan. Secara sosial-ekonomi-politik-budaya, secara

    sosiologis, pesantren mempunyai keunggulan dan kedekatan strategis

    untuk memberdayakan masyarakat. Ikatan (emosional, rasional, nilai)

    keagamaan dan kharisma sosial kyai-ulama bagi masyarakat, dewasa ini

    masih cukup penting diperhatikan dan karena itu, cukup signifikan

    dijadikan sarana pemberdayaan. Disinilah barangkali posisi startegis

    pesantren untuk melakukan kerja-kerja pemberdayaan dan transformasi

    masyarakat.

    Melihat esensi problem yang dihadapi, tampaknya yang perlu

    dilakukan adalah perjuangan untuk merebut hak-hak masyarakat melalui

    proses transformasi sosial, yaitu sebuah proses perubahan fundamental

    dari struktur ekonomi yang eksploitatif menuju hubungan ekonomi yang

    adil. Dari struktur politik yang represif menuju kondisi politik yang

    demokratis, dan dari struktur budaya yang hegemoni menuju kebudayaan

    yang pluralistic, egaliter dan damai, dengan membuka diri melalui

    pagelaran wacana baru diluar wacana yang selama ini digeluti.

    Disinilah memang diakui atau tidak, kelemahan pesantren sejak awal,

    selama ini pesantren terlalu asyik masuk dengan wacana fiqhnya, yang

    terkadang malah dipahami secara beku atau rigid. Sudah saatnya,

    pesantren membangun sejarahnya yang baru dengan polesan

    pemberdayaan masyarakat, yang sebetulnya merupakan mutiara miliknya

    yang hilang.

    52 Abdurrahman Wahid., Pesantren dan Pengembangannya, dalam Kumpulan Tulisan

    dan Karangan Abdurrahman Wahid, Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta : CV. Dharma Bhakti, 1978), hlm., 162.

  • 36

    Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya

    pembinaan anak didik yang dilaksankan secara seimbang,53 antara nilai

    dan sikap, pengetahuan, kecerdasan dan ketrampilan, kemampuan

    berkomunikasi dengan masyarakat secara luas serta meningkatkan

    kesadaran terhadap alam lingkungannya.

    Dalam hal ini, pesantren adalah lembaga pendidikan yang mampu

    secara aktif membangun sistem pendidikan komprehensif, sehingga

    menghasilkan santri-santri dan lulusan yang relatif mandiri.

    Disamping itu, dengan kemampuan keilmuan keagamaan yang cukup

    luas, para santri juga disiapkan untuk menjadi pemimpin masyarakat

    dikemudian hari, sesudah berguru di pesantren tersebut.54

    Selanjutnya, berikut ini akan dideskripsikan eksistensi pesantren lebih

    secara kelembagaan berdasarkan data statistik, sebagai berikut :

    Pada tahun 1942, jumlah pesantren dan madrasah di Indonesia

    sebanyak 1.871 dengan siswa sebanyak 139.415 orang. Pada tahun 1977 jumlah itu berkembang menjadi 4.195 dengan jumlah siswa 677.384. Kemudian pada tahun 1997, jumlah pesantren di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 9.415 buah dengan santri lebih kurang 1.631.727 orang.55

    Dengan kondisi semacam ini, pesantren sebenarnya mempunyai

    potensi yang cukup besar untuk bisa manjadi basis bagi pengembangan

    masyarakat sekaligus diharapkan mampu menumbuhkan kelas sosial

    menengah muslim yang bisa menjadi salah satu pilar pemberdayaan

    masyarakat .

    Namun demikian, dengan kenyataan yang ada sekarang, untuk

    mampu menjadi basis pengembangan, setidaknya ada beberapa pra-

    kondisi yang dibutuhkan pesantren untuk mampu menumbuhkan santri-

    santri mandiri, yakni :

    53 Tim Departemen Agama RI , Pola Pengembangan Pondok Pesantren , op.cit., hlm. 90. 54 Akbar Zainuddin, op. cit., hlm. 114. 55 Ismail SM., Pengembangan Pesantren Tradisonal, Sebuah Hipotesis Mengantisipasi

    Perubahan Sosial, dalam Ismail SM dan Nurul Huda (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 56.

  • 37

    1. Pesantren harus mampu mempertahankan sistem pendidikan terpadu yang menggunakan aspek kehidupan jasmani, pengetahuan dan mental spiritual santri.

    2. Pesantren harus mampu mengembangkan sistem pendidikan yang secara aktif mengajarkan santri untuk menghargai hak-hak kemanusiaannya yang universal, terutama dalam hubungannya dengan bermasyarakat dan bernegara.

    3. Pesantren harus mampu menumbuhkan sikap kritis reflektis pada santri yang menjadi salah satu pilar pemberdayaan masyafakat.56 Sebagai gambaran, kondisi pesantren sendiri masih menyisakan

    berbagai kelemahan yang menjadi persolan, sebagai berikut :

    Pertama, kultur pendidikan pesantren lebih banyak bersifat paternalistik dengan kyai atau pengasuh pesantren sebagai sumber otoritas utama. Dengan demikian kultur ini akan menginternal dalam mentalitas santri ataupun lulusannya ketika terjun ke masyarakat. Kedua, pola pendidikan pesantren masih bersifat pedagogik dengan santri sebagai objek pendidikan. Ketiga, partisipasi santri dalam pembentukan format sosial pesantren masih sangat minim akibat sentralisasi kekuasaan yang masih ada pada tangan pengasuh/kyai.57

    Sesuai dengan paparan diatas, ada dua point penting yang sudah bisa

    dicatat ketika ingin membuka wacana pesantren dalam hubungannya

    dengan pemberdayaan masyarakat, yakni : Pertama, pesantren pada

    hakekatnya mempunyai potensi besar untuk ikut dalam gelombang

    pengembangan masyarakat yang selama ini bergulir, karena dipesantren

    terdapat daya tarik dalam gerakannya sebagai pusat gerakan. Kedua,

    pesantren masih memilki cukup banyak persolan sehingga potensi

    tersebut kurang bisa muncul dan menjelma manjadi basis pengembangan

    masyarakat.

    Karena itu upaya pemberian stimulus untuk pengembangan potensi

    pesantren ini setidaknya dapat didekati malalui dua pendekatan, yakni :

    pendekatan sistem dan pendekatan personal.58

    Pertama, pendekatan sistem melalui proses perubahan pada struktur

    dan kultur pesantren secara keseluruhan.

    56 Akbar Zainuddin, loc. cit. 57 Ibid., hlm. 115. 58 Akbar Zainuddin, loc. cit.

  • 38

    Oleh karena itu, apabila kita mencoba melakukan pendekatan sistem

    melalui proses perubahan pada struktur dan kultur pesantren secara

    keseluruhan, maka kita akan dihadapkan pada resiko dan konsekuensi

    dalam proses pendekatannya nanti. Pada pendekatan sistem ini,

    kemungkinan terjadi resistensi dan selfdefense dari pihak pengasuh

    pesantren cukup besar.

    Karena seperti sebuah sistem yang mapan pada umumnya.

    Munculnya pemikiran baru diluar konstruksi pemikiran yang ada dapat

    dipastikan akan menimbulkan resistensi internal.59 Walaupun dengan

    tanpa menafikan adanya respon para pengasuh pesantren yang sangat

    beragam.

    Kedua, melalui pendekatan personal kepada santri ataupun lulusan

    pesantren yang diharapkan bisa menjadi aktor bagi pengembangan

    masyarakat secara lebih luas.

    Hal itu disebabkan santri ataupun alumni pesantren telah menerima

    suatu jenis pendidikan yang bersifat spirituil dan moral sedemikian rupa

    yang dapat dijadikan dasar/basis bagi hidupnya dalam masyarakat.

    Pendidikan di pesantren memungkinkan mereka, pertama, bersikap

    bebas dan kedua, siap menjadi anggota masyarakat dalam

    masyarakatnya.60 Sehingga harapan untuk menjadi aktor bagi

    pengembangan masyarakat secara lebih luas dapat terealisir.

    Adapun pada pendekatan yang kedua ini, seperti halnya pada

    pendekatan yang pertama, juga mempunyai resiko dan konsekuensi berupa

    resistensi internal.61 Akan tetapi munculnya resistensi ini bisa

    diminimalisir, namun membutuhkan potensi yang lebih jelas dari santri

    mengingat banyaknya pesantren dan santri di Indonesia.

    59 Akbar Zainuddin, loc. cit. 60 Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren : Sebagai Usaha

    Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta : Cemara Indah, 1978) hlm. 64.

    61 Akbar Zainuddin, op. cit., hlm. 116.

  • 39

    Pemetaan potensi santri pada hakekatnya juga merupakan perkara

    mudah, dibutuhkan semacam need assessment untuk melihat apa

    sebenarnya kebutuhan santri, akan lebih mudah memetakan potensi-

    potensi tersebar yang diharapkan menjadi basis bagi pemberdayaan

    masyarakat. Selanjutnya, dengan kejelasan peta potensi dan kebutuhan

    santri diharapkan bisa menjadi acuan untuk pemberian stimulus-stimulus

    yang diperlukan agar potensi tersebut bisa dimunculkan.

    Alasan lain fokus pemberian stimulus pada santri adalah karena di

    masa depan santri diharapkan bisa menjadi acuan perubahan (agent of

    change) dan motor bagi pemberdayaan setelah mereka terjun di

    masyarakat, dengan penguatan pada tingkat calon pemimpin, yang

    diharapkan kualitas kepemimpinannya akan mampu menumbuhkan

    kemandirian dan partisipasi masyrakat yang lebih luas.

    Alasan ketiga adalah, agar dapat menimbulkan sifat natural pada

    proses perubahan pesantren yang diharapkan dapat meminimalisir

    terjadinya efek resistensi internal dari pesantren itu sendiri.62

    Maka dari itu pemberdayaan masyarakat dapat kita ketahui melalui

    pengembangan kemandiran, ciri kesukarelaan, keswadayaan dan

    keswasembadaan, serta keterkaitan dengan norma atau nilai.63

    Pengembangan kemandirian, misalnya nampak pada penyadaran

    kelompok sasaran untuk memetakan masalah/kebutuhan mereka,

    menentukan prioritas program pemecahan/pemenuhannya dan pelaksanaan

    program oleh mereka sendiri, kelompok sasaran menjadi tidak lagi

    bergantung pada negara.

    Ciri kesukarelaan nampak pada peran serta aktif semua anggota

    kelompok sasaran dalam seluruh proses kegiatan. Kemudian, ciri

    keswadayaan dan keswasembadaan nampak pada pendayagunaan

    sumber daya material dan ketrampilan sumber daya lokal.

    62 Ibid. 63 Ismail SM., op. cit., hlm. 196.

  • 40

    Sementara ciri keterkaitan dengan norma atau nilai, seperti :

    persamaan, keterbukaan, partisipasi, toleransi dan lain sebagainya, nampak

    baik dalam diskusi-diskusi anggota kelompok sasaran tentang pemetaan

    masalah atau kebutuhan mereka dan penentuan prioritas program aksi

    maupun dalam pelaksanaan program itu sendiri.

    Gagasan mengenai peranan pesantren dalam pemberdayaan

    masyarakat, bukanlah sesuatu yang final. Ia tidak lebih sebagai suatu

    hipotesis dalam kerangka mengantisipasi perubahan masyarakat,yang

    merupakan proses yang tidak pernah berakhir-menyertai pesantren sebagai

    sebuah sistem pendidikan dan sosial Islam khas Indonesia yang unik.

    Dari wacana tentang pemberdayaan masyarakat ini, dapat dipahami

    bahwa ia bukan sebatas wacana yang berhenti pada dataran idealisme,

    namun ia merupakan suatu wacana yang bisa dikejar dan diwujudkan

    dalam realitas kehidupan. Yang penting dicatat bahwa pemberdayaan

    masyarakat perlu dipahami sebagai proses, bukan sebagai sesuatu yang

    jadi / instant.

    Berangkat dari peranan pesantren dengan segala dinamikanya dan

    wacana tentang pemberdayaan masyarakat sebagaimana diuraikan diatas,

    setidaknya bisa memberikan landasan teori yang komprehensif pada bab-

    bab berikutnya dalam penelitian ini. Disamping itu, juga dapat dicari

    benang merah bahwa mencari kaitan peranan pesantren dalam

    pemberdayaan masyarakat, bukan merupakan kajian yang mengada-ada,

    namun sebaliknya merupakan sebuah hipotesis yang perlu ditemukan

    relevansi dan signifikansinya.