bab ii pendidikan karakter di sekolah dan character … · 2017. 10. 5. · kedua, pendidikan...
TRANSCRIPT
11
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DAN CHARACTER EDUCATION
PARTNERSHIP
Pada dasarnya, mulai saat ini manusia perlu berpikir tentang pembangunan karakter.
Kekuatan dari pemahaman dan pandangan tentang pembangunan karakter merupakan sebuah
kondisi dan sebuah nilai yang tidak boleh disepelekan, karena kekuatan tersebut dapat
mengubah situasi krisis multidimensional yang membelenggu kehidupan manusia menjadi
kondisi yang lebih beradab dan memanusiakan manusia. Pencapaian terhadap hal tersebut
memerlukan sebuah proses pendidikan yang baik dan efektif. Oleh sebab itu, pendidikan
karakter harus dilaksanakan sebagai suatu kebutuhan untuk menciptakan sebuah tatanan
dunia baru yang lebih baik.
Bab ini akan mengulas tentang beberapa hal esensial yang berkaitan dengan karakter,
pendidikan karakter, dan prinsip pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah menurut
Character Education Partnership (CEP).
II.1. Pendidikan Karakter
II.1.1. Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter
Karakter berasal dari bahasa Yunani Charassein, yang berarti mengukir. Karakter
adalah suatu tanda khusus yang terukir dalam diri seorang individu dalam kaitannya dengan
perilaku dan sebagai konstitusi moralnya.1 Lingkungan sekitar dapat berperan untuk
membentuk karakter seseorang, namun subyek itu sendiri memiliki andil yang cukup besar
1 Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin, Building Character in School. (San Fransisco: Jossey-Bass, 1999), 5.
12
dalam menentukan karakternya. Pembangunan karakter pada umumnya didasarkan pada
kebiasaan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh de Braine bahwa karakter mengacu
pada sifat-sifat positif yang dilatih dalam diri seseorang, hingga menjadi kebiasaan dan setiap
orang yang melakukannya dapat menjadi teladan.2 Dengan demikian, pembangunan karakter
dapat terjadi melalui serangkaian proses panjang meliputi pelatihan, pembiasaan, bahkan
keteladanan.
Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha sengaja untuk
mengarahkan peserta didiknya agar dapat mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan
melakukan kebaikan.3 Definisi tersebut menjelaskan bahwa pendidikan karakter memiliki
tiga ranah, yakni kognitif yang diimplementasikan melalui pemberian pengetahuan, afektif
yang diimplementasikan melalui usaha menumbuhkan perasaan, dan psikomotorik yang
diimplementasikan melalui tindakan-tindakan ke arah kebaikan. Apabila tiga hal ini dapat
diterapkan dalam proses pendidikan, niscaya peserta didik akan memiliki karakter yang baik.
Kesuma mengutip Megawangi mendefinisikan pendidikan karakter sebagai usaha
untuk mendidik seseorang agar dapat mengambil keputusan yang bijak dan dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat memberi kontribusi kepada
lingkungan.4 Kesuma mengutip Gaffar mendefinisikan pendidikan karakter sebagai proses
transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang
sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.5 Berdasarkan pengertian-
pengertian tersebut, penulis melihat bahwa pendidikan karakter mengandung aktivitas
2 Roslyn de Braine, “Leadership, Character and It’s Development: A Qualitative Exploration”, dalam SA
Journal of Human Resource Management, Vol. 5, No.1, 2007, 2. 3 Thomas Lickona, Character Matters, (New York: Touchstone, 2004), 5.
4 Dharma Kesuma, dkk. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. (Jakarta: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), 5. 5 Loc. Cit.
13
transmisi atau pewarisan nilai-nilai, yang dapat membantu seseorang untuk mengambil
keputusan. Aktivitas internalisasi yang memungkinkan seseorang menyerap seluruh nilai-
nilai tersebut, menghidupinya serta menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya,
serta aktivitas transformasi yang mampu merubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik.
Xiang Dong Liu mengutip pandangan Dewey mengenai pendidikan karakter yang
seharusnya berfokus pada tiga hal, pertama, pendidikan karakter harus berfokus pada nilai-
nilai inti etis. 6
Hal-hal substantif yang diajarkan dalam pendidikan karakter pada dasarnya
adalah nilai-nilai etis yang telah disepakati bersama dalam suatu masyarakat. Seseorang
dapat melakukan penilaian secara langsung dan personal terhadap suatu tindakan, maupun
melakukan suatu tindakan yang bernilai etis baginya. Kedua, pendidikan karakter berusaha
mendefinisikan dirinya dalam cara-cara tradisional.7 Hal ini berarti bahwa nilai-nilai yang
diajarkan dalam pendidikan karakter perlu diterjemahkan dalam lingkungan fisik atau
lingkungan sosial. Ketiga, Pendidikan karakter meliputi pengetahuan moral yang dapat
dipelajari melalui teladan, penghargaan dan hukuman.8 Pendidikan karakter perlu memberi
ruang bagi diskusi-diskusi mengenai masalah moral karena melibatkan pengetahuan, tetapi
tidak melepaskan diri dari pemberian teladan dan praktik yang membawanya pada reward,
jika peserta didik berhasil melakukan yang baik, dan punishment, jika peserta didik
melakukan yang tidak baik.
Penulis melihat bahwa Xiang Dong Liu berusaha untuk mengkaji pendidikan karakter
dari sisi substansi yang didasarkan pada inti karakter dan strategi pelaksanaan yang
diimplementasikan dalam berbagai metode dan model pembelajaran. Dengan demikian,
6 Xiangdong Liu, “The Problem of Character Education And Kohlberg’s Moral Education: Critique From
Dewey’s Moral Deliberation” dalam Philosophical Studies of Education Vol.45, (2014): 137. 7 Ibid., 138.
8 Loc. Cit.
14
pendidikan karakter perlu direncanakan dengan sistematis mulai dari substansinya hingga
strategi pelaksanaannya sebelum dilaksanakan maupun diterapkan.
Pendidikan Karakter dapat diimplementasikan dalam berbagai kegiatan. Menurut
Pala, ada hal-hal praktis yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan pendidikan
karakter. 9
Hal-hal tersebut antara lain,
1) Merencanakan instruksi-instruksi yang berkaitan dengan karakter. Pendidikan karakter
tidak dapat terjadi begitu saja. Pendidikan karakter perlu direncanakan agar dapat
dihayati dalam seluruh ide dan kegiatan yang dihasilkan. Hal ini semakin memperkuat
penelitian Xiang Dong Liu yang telah penulis paparkan sebelumnya.
2) Aplikasi. Pendidikan karakter pada dasarnya mengarahkan seluruh peserta didik untuk
mengaplikasikan hal-hal yang telah mereka pelajari. Kesuksesan pendidikan karakter
terletak pada kemampuan peserta didik untuk mempraktekan nilai-nilai dalam kehidupan.
3) Pendidik yang bersahabat. Pendidikan karakter hanya dapat dilakukan dengan maksimal
jika pendidik mampu membuat situasi yang menyenangkan. Instruksi instruksi dapat
diterima dengan baik apabila pendidik memiliki kemampuan untuk menyampaikannya
secara baik.
4) Dukungan dari semua pihak. Pelaksanaan pendidikan karakter akan lebih maksimal jika
melibatkan semua pihak, baik itu orang tua, pendidik, dan masyarakat termasuk di
dalamnya organisasi keagamaan.
5) Mempersiapkan peserta didik. Pendidikan karakter seharusnya mempersiapkan pendidik
agar dapat menciptakan iklim yang kondusif dimanapun mereka berada.
9 Aynur Pala, “The Need for Character Education,” dalam International Journal of Social Sciences and
Humanity Studies, Vol 3, No 2, (2011): 27.
15
Penjelasan-penjelasan tersebut menjadi dasar bagi penulis untuk mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai suatu usaha sadar, sistematis, dan berkesinambungan untuk
membantu peserta didik mengetahui, menghayati, menginginkan, mencintai, menghidupi dan
melakukan nilai-nilai yang baik sehingga mereka dapat menemukan makna hidupnya sebagai
manusia yang utuh dan berbahagia. Dengan demikian, pendidikan karakter senantiasa
mengarahkan seseorang kepada nilai-nilai kebaikan dan terimplementasi melalui pikiran,
perasaan, dan perbuatan nyata dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun
lingkungan masyarakat.
II.1.2. Inti Karakter, Komponen dan Elemen Pendidikan Karakter, serta
Pelaksanaannya di Sekolah
Pada dasarnya inti dari karakter adalah virtues atau kebajikan.10
Inti dari karakter ini
kemudian dijabarkan ke dalam enam nilai, dengan kekuatan karakter yang dideskripsikan
sebagai berikut:
1) Kebijaksanaan dan pengetahuan. Nilai ini meliputi kreatifitas yaitu cara berfikir
produktif, menciptakan konsep, dan melakukan pencapaian artistik; keingintahuan dan
keterbukaan terhadap pengalaman yaitu mengambil suatu pengalaman berkelanjutan
untuk kepentingan lembaga yang dipimpin; menemukan subyek dan topik yang menarik;
menjelajahi dan menemukan; penilaian (berpikir kritis) yaitu memikirkan dan memeriksa
hal-hal dari semua sisi; tidak langsung mengambil kesimpulan; mampu mengubah pikiran
seseorang berdasarkan bukti; menimbang semua bukti yang cukup; mencintai belajar
10
Roslyn de Braine, “Leadership, Character and It’s Development: A Qualitative Exploration” dalam SA
Journal of Human Resource Management, Vol. 5, No.1, (2007): 3.
16
yaitu selalu berusaha menguasai ketrampilan, wawasan, dan pengetahuan baru; perspektif
(didasarkan pada kebijaksanaan) yaitu mampu memberikan nasihat yang bijaksana untuk
orang lain; memiliki cara dalam melihat dunia dengan logis bagi diri sendiri dan orang
lain.
2) Keberanian. Nilai ini meliputi kemampuan dalam menyikapi ancaman, tantangan,
kesulitan; berbicara menurut apa yang benar sekalipun harus berperan sebagai oposisi;
bertindak atas keyakinan walaupun tidak populer; memiliki keberanian fisik; ketekunan
yaitu menyelesaikan apa yang harus dikerjakan; bertahan dalam tindakan meskipun
terhambat; memperoleh jalan keluar dalam menyelesaikan tugas; kejujuran yaitu
berbicara dengan benar tetapi menampilkan diri dengan cara yang tulus dan bertindak
dalam cara yang benar; tanpa kepura-puraan; mengambil tanggung jawab demi perasaan
dan tindakan seseorang; semangat; tidak melakukan sesuatu dengan setengah hati;
menjalani hidup sebagai sebuah petualangan; merasa hidup dan aktif.
3) Kemanusiaan. Nilai ini meliputi cinta yaitu menghargai relasinya dengan orang lain,
khususnya mereka yang mau berbagi dan peduli; kebaikan yaitu melakukan perbuatan
baik bagi orang lain; membantu dan merawat orang lain; kecerdasan sosial (terdiri dari
kecerdasan emosional dan kecerdasan pribadi) yaitu menyadari motif dan perasaan orang
lain dan diri sendiri; mengetahui apa yang harus dilakukan untuk masuk ke berbagai
situasi sosial; mengetahui apa yang membuat orang lain tertarik.
4) Keadilan. Nilai ini meliputi kerjasama tim yaitu bekerja sama dengan baik sebagai
anggota kelompok, menjadi setia kepada kelompok, berbagi dengan orang lain; keadilan
yaitu memperlakukan orang sesuai dengan tatanan dan norma yang berlaku, tidak menilai
orang lain berdasarkan perasaan pribadi, memberi kesempatan yang adil kepada semua
17
orang; kepemimpinan yaitu mendorong kelompok untuk menyelesaikan sesuatu dan pada
saat yang sama menjaga hubungan yang baik dalam kelompok, mengorganisir kegiatan
kelompok.
5) Integritas. Nilai ini merupakan nilai yang paling penting untuk membangun kepercayaan
diri. Hal ini meliputi pengampunan dan belas kasihan yaitu menerima kekurangan orang
lain, memberikan kesempatan kedua, tidak menjadi pendendam; kerendahan hati yaitu
tidak semata-mata mempertahankan harkat dan martabat dan mengutamakan kepedulian;
kehati-hatian yaitu berhati-hati dalam memilih, tidak mengambil resiko yang tidak
semestinya, tidak mengatakan atau melakukan hal-hal yang nanti akan disesali; regulasi
diri yaitu pengaturan terhadap apa yang menjadi tujuan atau visi kedepan.
6) Transendensi. Nilai ini meliputi apresiasi pada keindahan dan keunggulan, baik dalam
kinerja maupun dalam berbagai bidang kehidupan; rasa terima kasih yaitu menyadari dan
mensyukuri hal-hal yang baik; harapan yaitu mengharapkan yang terbaik di masa depan
dan bekerja untuk mencapainya; menyenangkan.
Keenam nilai yang merupakan inti dari karakter ini juga selaras dengan nilai-nilai inti
yang disampaikan oleh Lickona dalam bukunya character matters.11
Menurut Lickona nilai-
nilai inti ini muncul dari kesepakatan masyarakat dan agama-agama di seluruh dunia.12
Oleh
sebab itu, nilai-nilai tersebut bersifat obyektif dan universal, sehingga dapat diberlakukan
kapan saja dan dimana saja.
11
Thomas Lickona, Character Matters, (New York: Touchstone, 2004), 8. Lickona menjabarkan kebajikan ke
dalam sepuluh nilai yang sama maknanya dengan yang dijabarkan oleh de Brainee. 12
Ibid., 7.
18
Barnard menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuk
mengarahkan karakternya menjadi baik atau tidak baik.13
Jika seseorang ingin memiliki
karakter yang baik, maka komponen-komponen karakter yang perlu diperhatikan meliputi
moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral action
(tindakan moral).14
Moral knowing (pengetahuan moral)15
meliputi kesadaran moral yaitu menggunakan
kecerdasan ketika situasi membutuhkan penilaian moral; mengetahui nilai-nilai moral
berdasarkan pewarisan yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; persepsi
yakni kemampuan untuk melihat sudut pandang orang lain, melihat situasi sebagaimana
adanya, dan membayangkan bagaimana mereka berpikir, merasakan, dan bereaksi; penalaran
moral melibatkan pemahaman tentang apa artinya menjadi bermoral dan mengapa kita
seharusnya bermoral; Pengambilan keputusan yakni memikirkan cara seseorang mengambil
keputusan melalui sebuah masalah moral sambil mempertanyakan konsekuensinya.
Moral feeling (perasaan moral)16
meliputi hati nurani yaitu sebuah kesadaran yang
matang meliputi perasaan dari kewajiban moral untuk pengambilan keputusan moral yang
konstruktif; penghargaan diri dimana penghargaan diri yang sehat akan membantu kita
mencintai diri sendiri dan tidak bergantung pada persetujuan orang lain; empati yaitu
memahami orang lain secara emosional dari sudut pandang mereka; mencintai yang baik
artinya menyukai atau tertarik dengan hal yang baik; pengendalian diri, yang akan membantu
kita untuk menjadi etis dan akan mengekang kesenangan diri sendiri yang merugikan.
13
H. Barnard, The anthropological presuppositions of Personal and Professional Leadership: Unpublished
masters essay. (Johannesburg: Rand Afrikaans University, 2003), 22. 14
Roslyn de Braine, “Leadership, Character and It’s Development: A Qualitative Exploration”, 5. 15
Loc. Cit. 16
Roslyn de Braine, “Leadership, Character and It’s Development: A Qualitative Exploration”, 5.
19
Moral action (tindakan moral)17
meliputi kompetensi moral yaitu kemampuan untuk
mengubah perasaan dan penilaian moral menjadi tindakan moral yang efektif; kehendak
yaitu mobilisasi energi moral untuk melakukan apa yang dipikirkan; kebiasaan yaitu
membiasakan diri melakukan hal-hal bermoral yang juga memberi manfaat.
Penulis melihat bahwa tiga komponen moral ini saling mempengaruhi satu dengan
yang lain untuk membentuk karakter manusia yang baik. Manusia tidak dapat dipisahkan
dengan karakternya, dan karakter manusia tidak dapat dilihat dari satu komponen saja. Tugas
dari pendidikan karakter salah satunya adalah memberi penyadaran secara menyeluruh dalam
diri manusia agar menyelaraskan pengetahuan, perasaan, dan tindakannya. Dengan demikian,
tiga hal ini dapat berjalan dengan selaras apabila seseorang mau berlatih dan membiasakan
diri. Kebiasaan tersebut akan menjadi karakter seseorang pada akhirnya.
Selain komponen karakter, de Brainee menemukan bahwa ada elemen-elemen
pembentuk karakter.18
Hal tersebut antara lain, kepemimpinan, biasanya dikaitkan dengan
karakteristik seorang pemimpin, misalnya dapat menjadi teladan, memberi inspirasi, dan
sebagainya; integritas, dapat diketahui lewat perkataan yang benar dan yang dapat dipercaya
dalam kondisi apapun; kerajinan, yaitu kemampuan untuk menghasilkan etos kerja yang
tinggi; empati, yakni menempatkan diri pada posisi orang lain; kesetiaan, baik pada diri
sendiri, orang lain maupun lembaga; optimisme, yaitu sikap positif yang ditunjukkan saat
menghadapi masalah; keadilan, dapat ditunjukkan melalui penerapan aturan secara konsisten
dan memberikan kepada orang lain kesempatan yang sama; belas kasihan, yakni berkaitan
dengan sisi kemanusiaan yang membutuhkan perhatian dan konseling; cinta, dapat
ditunjukkan saat melakukan pelayanan dalam konsep kasih yang tanpa pamrih; humor,
17
Loc. Cit. 18
Ibid., 6.
20
sebagai treatment dalam menghadapi masalah; disiplin diri, biasanya dapat dilihat melalui
sikap yang bertanggung jawab dalam setiap kegiatan; ketekunan, yaitu gairah yang
mendorong seseorang selalu berusaha dalam mencapai sesuatu; percaya diri, yang dapat
ditunjukkan melalui kemampuan mengambil keputusan; rendah hati, yakni tidak
menganggap diri lebih tinggi dari orang lain; pemahaman diri, yakni mengetahui kekuatan
dan kelemahan diri; inisiatif, yakni mampu berprakarsa tanpa perlu didorong oleh pihak lain;
hati nurani, selalu berperan saat seseorang melakukan hal yang benar maupun yang salah;
kreatifitas, yakni berusaha memodifikasi diri; spiritualitas yakni kekuatan yang melampaui
diri sendiri.
Penulis melihat bahwa elemen-elemen karakter yang disampaikan oleh de Brainee
dapat memberi gambaran yang lebih mendetail pada tataran praktis. Menurut penulis,
elemen-elemen di atas perlu dilihat dalam relasi-relasi yang beragam yakni relasi manusia
dengan dirinya sendiri, relasi manusia dengan sesama manusia yang lain, relasi manusia
dengan alam lingkungan, dan relasi manusia dengan Tuhan.
Pada dasarnya pendidikan karakter dapat dilakukan dalam berbagai setting yaitu
keluaraga, sekolah, gereja, dan lingkungan masyarakat. Pada pembahasan ini, penulis akan
fokus pada pendidikan karakter dalam setting sekolah. Pendidikan karakter dalam setting
sekolah dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan
pengembangan perilaku peserta didik secara utuh yang didasarkan pada nilai-nilai yang
dirujuk oleh sekolah.19
Pengertian ini mengandung adanya suatu konsekuensi bahwa sekolah
memiliki otoritas dalam mengarahkan yang baik, sehingga evaluasi terhadap setiap
komponen pendukungnya perlu dilakukan. Rujukan nilai yang pilih oleh sekolah ini salah
19
Aynur Pala, “The Need for Character Education”, 27.
21
satunya bisa bersumber dari nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, nilai-nilai kebangsaan,
dan lain-lain.20
Ada lima argumentasi yang mendukung pelaksanaan pendidikan karakter disekolah.
Adapun argumentasi-argumentasi tersebut dijabarkan sebagai berikut,21
1) Argumentasi dari pakar intelektual. Pemikir besar dunia dari barat termasuk Plato,
Aristoteles, Kant, dan Dewey serta pemikir besar dari timur seperti Confucius, Laotzu,
dan Budha dengan sangat kuat memberi perhatian kepada formasi karakter dan
memfokuskan energi kemanusiaan kita untuk menjalani kehidupan yang layak.
Pertanyaan yang mendalam yang direnungkan adalah apakah sebuah kehidupan yang
baik dan mulia itu? Apa sesungguhnya yang membuat seseorang benar-benar bahagia?
Apa yang dibutuhkan seseorang untuk menjaga dirinya dari kehancuran? Pertanyaan ini
dapat dijawab melalui suatu proyek pendidikan.
2) Argumentasi menurut the founding fathers. Thomas Jefferson, James Madison, John dan
Abigail Adams, dan Benjamin Franklin pernah memberi himbauan bahwa suatu republik
yang baru harus menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Mereka menekankan
agar pendidikan tidak semata-mata dilakukan karena alasan ekonomi tetapi juga karena
bentuk pemerintahan mereka didasarkan pada hati yang bersumber dari nilai moral yang
tumbuh di kalangan masyarakat.
3) Argumentasi yang didasarkan pada hukum. Kenyataanya, hal ini lebih kepada peringatan
dari pada sebuah argumentasi sejak ditetapkannya suatu kode Negara mengenai
20
Albertus Doni Koesoema, Mencari Format Pendidikan Karakter dalam Konteks ke Indonesiaan dalam
Education for Change,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010 ), 275. 21
Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin, Building Character in School. (San Fransisco: Jossey-Bass, 1999), 50-52.
22
pendidikan yang dimandatkan secara langsung kepada sekolah untuk mengajarkan nilai-
nilai moral yang mendukung kehidupan demokratis.
4) Argumentasi Vox Populi. Hal ini dimaknai sebagai argumentasi publik. Publik adalah
orang-orang yang sering menjadi responden survei. Substansi survei tersebut biasanya
berkaitan dengan cara responden menanggapi fenomena yang ada, termasuk tayangan
populer yang muncul di TV sampai kepada kehidupan seksual politisi. Hal ini
memberikan gambaran tentang pikiran publik mengenai hal-hal tersebut.
5) Argumentasi keniscayaan. Argumentasi ini memberi pandangan bahwa anak-anak tidak
dapat memasuki sistem pendidikan pada usia 4 sampai dengan 16 atau 17 tahun tanpa
memiliki karakter dan nilai-nilai moral yang dirasakan melalui pengalaman. Anak-anak
sangat mudah terpengaruh dan kejadian yang dialami di sekolah mempengaruhi
bagaimana mereka berpikir, merasakan, percaya, dan melakukan.
Argumentasi yang dipaparkan di atas pada dasarnya bersifat teoritis. Masing-masing
argumentasi memiliki sudut pandang yang saling memperkaya satu dengan yang lain. Penulis
berasumsi bahwa semua argumentasi yang dipaparkan mencoba melihat bahwa sekolah
merupakan salah satu setting yang tepat untuk melaksanakan pendidikan karakter, karena
sekolah merupakan lembaga pendidikan formal, yang didukung oleh tenaga-tenaga
professional dan berpengalaman serta mampu menghasilkan orang-orang yang memiliki
sikap kritis terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, pendidikan
karakter dapat direncanakan dan dilaksanakan lebih sistematis serta komprehensif melalui
sekolah.
23
II.2. Character Education Partnership.
Pelaksanaan pendidikan karakter tentunya perlu dikaji lebih mendalam. Banyak
sekolah belum memiliki pemahaman yang benar mengenai pelaksanaan pendidikan karakter.
Berkowitz dan Bustamante menyatakan bahwa upaya untuk menentukan hal-hal yang
menjadi prioritas dalam pelaksanaan pendidikan karakter perlu didasarkan pada hasil
penelitian dan teori yang kemudian dipraktikan.22
Hal ini mengindikasikan bahwa teori yang
akan digunakan, dikonstruksi berdasarkan pengalaman atau bukti empiris dan bukan hanya
hasil pemikiran kognitif saja. Penulis berpendapat bahwa pelaksanaan pendidikan karakter
yang efektif perlu dirumuskan ke dalam suatu prinsip-prinsip yang didasarkan pada
penelitian. Hal itu pula yang dilakukan oleh Character Education Partnership (CEP) dalam
merumuskan sebelas prinsip pendidikan karakter yang efektif di sekolah.
Prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh CEP menggunakan pendekatan klarifikasi
bukan pengajaran nilai.23
Pendekatan klarifikasi melihat bahwa setiap pendekatan baik yang
didasarkan pada nilai religius, nilai kebangsaan, dan nilai yang lain memiliki posisi yang
sama.24
Dengan demikian, CEP mencoba membawa pendekatan yang lebih netral, tidak
mengistimewakan salah satu sumber nilai karena memilih salah satu sumber nilai dianggap
sebagai pelanggaran terhadap kebebasan individu. Prinsip-prinsip pendidikan karakter yang
didasarkan pada pendekatan klarifikasi tersebut akan penulis paparkan di bawah ini.
Prinsip ke satu, komunitas sekolah mempromosikan inti etis dan nilai kinerja sebagai
dasar karakter yang baik.25
Sekolah yang efektif mempromosikan karakter yang baik
berdasarkan kesepakatan tentang kinerja etis dan inti nilai yang paling ingin ditanamkan
22
Marvin W. Berkowitz dan Andrea Bustamante, “Using Research to Set Priorities for Character Education in
Schools: A Global Perspective” dalam KEDI: Journal for Educational and Policy, (2013): 15-16. 23
Albertus Doni Koesoema, Mencari Format Pendidikan Karakter dalam Konteks ke Indonesiaan, 275. 24
Loc. Cit 25
Character Education Partnership (CEP), 11 Principles of effective character Education, (USA: CEP, 2010), 2.
24
dalam diri peserta didik mereka. Beberapa sekolah menggunakan istilah lain seperti
kebajikan, sifat, pilar, atau harapan untuk merujuk pada kualitas karakter yang ingin mereka
dorong. Nilai-nilai inti yang dipromosikan oleh pendidikan karakter yang berkualitas
menegaskan martabat manusia, meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan individu,
melayani kepentingan umum, mendefinisikan hak dan tanggung jawab dalam masyarakat
yang demokratis, dan memenuhi tes klasik universalitas (yaitu, apakah anda ingin semua
orang untuk bertindak dengan cara ini dalam situasi yang sama?) dan reversibilitas (yaitu,
Apakah Anda ingin diperlakukan dengan cara ini?).
Prinsip ke dua, Sekolah mendefinisikan "karakter" secara komprehensif yang
melibatkan pikiran, perasaan, dan perbuatan.26
Karakter yang baik akan melibatkan
pemahaman, kepedulian, dan tindakan atas inti etika dan kinerja nilai–nilai. Hal ini
merupakan sebuah pendekatan holistik untuk pengembangan karakter. Dengan demikian
melakukan suatu usaha untuk mengembangkan kognitif, emosional, dan perilaku disposisi
yang diperlukan untuk melakukan hal yang benar adalah salah satu karya terbaik. Peserta
didik akan tumbuh untuk memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan
mendiskusikannya, mengamati model perilaku, dan menyelesaikan masalah yang melibatkan
nilai-nilai. Peserta didik belajar untuk peduli pada nilai-nilai inti dengan mengembangkan
keterampilan berempati, membentuk hubungan peduli, mengembangkan kebiasaan kerja
yang baik, mengambil tanggung jawab berarti, membantu menciptakan masyarakat,
mendengar cerita inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.
Prinsip ke tiga, sekolah menggunakan pendekatan pengembangan karakter yang
bukan hanya komprehensif, disengaja, tetapi juga proaktif.27
Sekolah perlu berkomitmen
26
Character Education Partnership (CEP), 11 Principles of effective character Education, 4. 27
Ibid., 6.
25
untuk mengembangkan karakter dan melihat diri mereka sendiri melalui lensa karakter untuk
kemudian menilai hampir semua hal yang terjadi di sekolah, khususnya bagaimana hal
tersebut mempengaruhi karakter peserta didik. Sebuah pendekatan yang komprehensif
menggunakan semua aspek sekolah sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Hal ini
tergambar dalam kurikulum formal dan kegiatan ekstrakurikuler akademik, serta yang
kadang-kadang disebut tersembunyi dalam kurikulum formal (misalnya, bagaimana prosedur
sekolah mencerminkan nilai-nilai inti, bagaimana orang dewasa menjadi model karakter yang
baik, bagaimana mereka menghormati proses pembelajaran, dan sebagainya.)
Prinsip ke empat, sekolah menciptakan komunitas yang peduli.28
Sekolah yang
berkomitmen untuk membentuk karakter akan berusaha untuk menjadi mikro kosmos dari
masyarakat dengan menciptakan suatu masyarakat yang peduli dan adil. Hal ini dapat
dilakukan dengan menciptakan sebuah komunitas yang dapat membantu semua anggotanya
melalui hubungan yang saling menghormati, yang mengarah pada kepedulian dan tanggung
jawab terhadap satu sama lain.
Prinsip ke lima, sekolah memberikan peserta didik kesempatan untuk melakukan
tindakan moral.29
Dalam domain intelektual mengenai etika, cara belajar terbaik bagi peserta
didik adalah dengan mengonstruksi sendiri apa yang ia pelajari melalui apa yang ia lakukan.
Pengembangan karakter dalam berbagai aspek seperti kognitif, emosional, dan perilaku,
dapat dilakukan dengan memberikan banyak kesempatan kepada peserta didik untuk bergulat
dengan tantangan kehidupan nyata (misalnya, bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tanggung jawab yang penting, bekerja sebagai bagian dari tim, bernegosiasi untuk
28
Character Education Partnership (CEP), 11 Principles of effective character Education, 8. 29
Ibid., 10.
26
memperoleh solusi yang mendamaikan, mengenali dan mengatasi dilema etika, dan
mengidentifikasi serta memenuhi kebutuhan sekolah dan masyarakat).
Prinsip ke enam, sekolah menawarkan kegiatan yang bermakna dan menantang.30
Hal
ini ditandai dengan diperlukannya suatu kurikulum yang menghormati semua peserta didik,
mengembangkan karakter mereka, dan membantu mereka untuk berhasil, karena peserta
didik memiliki beragam keterampilan, minat, latar belakang, dan kebutuhan belajar. Sebuah
program akademik yang membantu semua peserta didik berhasil akan menjadi salah satu di
mana substansi dan pedagogi terlibat sehingga semua peserta didik terpenuhi kebutuhannya.
Oleh sebab itu, perlu disusun suatu kurikulum yang inheren, menarik, dan bermakna bagi
peserta didik. Kurikulum ini juga perlu diterapkan dengan cara yang menghormati dan peduli
kepada peserta didik.
Prinsip ke tujuh, sekolah mendorong peserta didik memotivasi diri.31
Sebuah pepatah
kuno menyebutkan “Karakter berarti melakukan hal yang benar dan melakukan pekerjaan
yang terbaik "bahkan ketika tidak ada yang melihat".” Terbaik dalam arti memiliki
kesesuaian dengan penalaran etis dan aturan, misalnya, penghormatan terhadap hak-hak dan
kebutuhan orang lain, tidak takut kepada hukuman, atau tidak selalu termotivasi untuk
memperoleh hadiah. Pendidik ingin agar peserta didik dapat bersikap baik kepada orang lain
dan memiliki keyakinan batin bahwa kebaikan adalah baik, sehingga sangat penting untuk
menjadi orang yang baik. Pendidik ingin agar peserta didik dapat melakukan pekerjaan-
pekerjaan yang baik dan mengembangkan lebih lanjut kemampuan terbaik mereka, karena
merasa bangga ketika melakukan suatu pekerjaan yang berkualitas, bukan hanya karena
30
Character Education Partnership (CEP), 11 Principles of effective character Education, 12. 31
Ibid., 14.
27
mereka ingin nilai yang baik. Inilah yang perlu ditanamkan pada peserta didik sehingga
dengan sendirinya mereka akan termotivasi.
Prinsip ke delapan, para staff sekolah menjadi komunitas pembelajaran etika yang
dapat berbagi tanggung jawab dalam mendidik karakter serta mematuhi nilai-nilai inti yang
sama dalam membimbing peserta didik.32
Kepala sekolah, pendidik, administrator, konselor,
paraprofesional, narasumber, psikolog sekolah dan pekerja sosial, perawat, pelatih,
sekretaris, pekerja kantin, cleaning service, serta sopir perlu terlibat dalam pembelajaran dan
pembahasan tentang pendidikan karakter. Berikut ini beberapa hal yang menandai prinsip ini
yaitu, pertama, anggota staff bertanggung jawab dengan menjadi model. Kedua, nilai-nilai
yang sama dan norma-norma yang mengatur kehidupan peserta didik berfungsi untuk
mengatur kehidupan kolektif anggota dewasa dalam komunitas sekolah. Ketiga, sekolah
menyediakan waktu bagi para staff untuk dapat merefleksikan isu-isu tentang etika dan
menemukan cara-cara menjadi komunitas yang unggul.
Prinsip ke sembilan, sekolah mendorong kepemimpinan bersama dan memberi
dukungan jangka panjang terhadap pendidikan karakter.33
Sekolah yang terlibat dalam
pendidikan karakter yang efektif memiliki pemimpin yang berusaha berbagi kepemimpinan
dengan semua pemangku kepentingan. Misalnya, mendirikan suatu komite pendidikan
karakter yang terdiri dari pengurus yayasan, staff, peserta didik, orang tua, dan anggota
masyarakat-yang mengambil tanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan, dan
memberi dukungan terhadap pendidikan karakter. Seiring waktu, kepemimpinan tersebut
juga dapat mengambil langkah untuk menyediakan dukungan jangka panjang (misalnya,
pengembangan staff yang memadai, waktu untuk merencanakan, dan sebagainya.)
32
Character Education Partnership (CEP), 11 Principles of effective character Education, 16. 33
Ibid., 18.
28
Prinsip ke sepuluh, sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai
mitra dalam upaya membangun karakter.34
Sekolah yang menjangkau keluarga dan
melibatkan mereka dalam upaya pembangunan karakter akan meningkatkan peluang untuk
menyukseskan peserta didiknya. Sekolah dapat berkomunikasi dengan keluarga melalui
newsletter, e-mail, pekan keluarga, website sekolah, dan konfrensi orang tua mengenai
kegiatan pendidikan karakter. Orang tua yang diwakili oleh komite pendidikan karakter dapat
ikut mengambil keputusan yang berkaitan dengan upaya mendidik karakter peserta didik. Hal
ini juga didukung oleh Elias. Elias menyatakan bahwa ada koneksi antara karakter sekolah
dengan karakter individu dan karakter masyarakatnya.35
Oleh sebab itu, Penting bagi sekolah
untuk menjalin kerjasama dengan seluruh pihak.
Prinsip ke sebelas, sekolah teratur menilai budaya dan iklim, fungsi staff sebagai
pendidik karaker, dan sejauh mana peserta didik memanifestasikan karakter yang baik.36
Pendidikan karakter yang efektif memiliki suatu penilaian berkelanjutan mengenai kemajuan
dan hasil yang telah dicapai baik secara kualitatif dan kuantitatif. Sekolah menggunakan
berbagai data penilaian (misalnya, tes akademik, skor, kelompok fokus, hasil survei) yang
mencakup persepsi peserta didik, pendidik, dan orang tua. Sekolah melaporkan data ini dan
menggunakannya untuk menentukan langkah selanjutnya. Sekolah mengelola kuisioner dan
melaporkan kepada komite pendidikan karakter untuk menilai kemajuan yang telah
didapatkan.
34
Character Education Partnership (CEP), 11 Principles of effective character Education, 20. 35
Maurice. J. Elias, “The Character of Schools, The Character of Individuals, and The Character of Society:
Creating Educational Policy to Reflect This Inextricable Interconnection” dalam KEDI: Journal for Educational
and Policy, (2013):141-149. Dalam pembahasannya Elias mencoba menciptakan sistem untuk
mengimplementasikan kebijakan berkesinambungan, sehingga pendidikan karakter adalah tanggung jawab seluruh
masyarakat bukan hanya sekolah. 36
Ibid., 22.
29
Sebelas prinsip yang dikemukakan oleh CEP menitik beratkan kepada peran aktif dari
seluruh stakeholders sekolah untuk bersama-sama mengajak keluarga dan masyarakat turut
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan karakter. Tidak hanya itu, penulis
melihat bahwa dalam setiap prinsipnya, seluruh stakeholders diharapkan dapat mendalami
dan selalu mempertanyakan kualitas upayanya itu. Jika sekolah ingin mendidik manusia
secara utuh, maka sekolah perlu memperhatikan keterkaitan di antara berbagai komunitas
yang ada. Sebagaimana manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan karakter perlu juga
memberikan suatu upaya dari dalam dan ke luar, agar seluruh lapisan masyarakat menyadari
pentingnya hal ini serta tergugah untuk mendukung pelaksanaannya.
Prinsip-prinsip yang disampaikan oleh CEP pada dasarnya lebih menitikberatkan
pada proses edukasi dari nilai-nilai yang dipilih oleh sekolah dan kurang memperhatikan hal-
hal yang berkaitan dengan aturan dan bagaimana sekolah mengatur seluruh stakeholders agar
dapat mendukung dan menjalankan aturan-aturan tersebut sesuai prosedur yang ada. Menurut
penulis, proses pendidikan karakter di sekolah seharusnya tidak hanya mementingkan
substansi materi pembelajaran yang akan diajarkan tetapi perlu juga memperhatikan
pemberlakuan aturan yang tegas dan jelas, sebab pelanggaran terhadap aturan yang telah
ditetapkan merupakan bentuk ketidakmampuan dalam memiliki karakter yang baik.