bab ii pembahasaan jiwa i napza

Upload: marni-hasan

Post on 13-Oct-2015

28 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

napza

TRANSCRIPT

Makalah Keperawataan Jiwa I

BAB IIPEMBAHASAN

a. PengertianPenyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002).

Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).

Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003).

Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001).

Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:

1.Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi

2.Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA

3.Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

4.Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik

5.Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja

6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya

NaPZa adalah: NarkotikaZat yang dapat menimbulkan penurunan/ perubahan kesadaran atau mengurangi/ menghilangkan nyeri, dan dapat menjadikan ketagihan. Yang termasuk narkotika:- Cannabis: ganja, cimenk, gelek.- Opium: morphin, heroin/ putauw, etep, PT- Kokain. PsikotropikaZat yang berkhasiat seperti narkotika, namun bersifat psikoaktif sehingga menimbulkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Yang termasuk golongan psikotropika:- Amphetamin: extacy, shabu.- BK, megadon, lexotan, dan lainnya.- LSD (Lysergic Acid Diethylamide). Zat/ bahan AdiktifTidak termasuk Narkotika dan Psikotropika, namun menimbulkan efek ketagihan. Yaitu:- Nikotin (rokok).- Kafein (kopi).- Etanol atau alkohol.- Solvent atau lem.b. Jenis-Jenis Napza

Karakteristik Efek Akibat Penggunaan Zat-Zat Utama

Klasifikasi ObatCara PemberianEfek ( Urutan Peningkatan Keparahan Gejala )

AlkoholOral1. Relaksasi dan Sedasi

2. Menurunnya kemampuan menahan diri

3. Kurang koordinasi dan berdiri tidak tegak

4. Bicara tidak jelas

5. Mual dan muntah

6. Halusinasi pengelihatan, perabaan, atau pendengaran yang sifatnya sementara

7. Ansietas berat

8. Agitasi psikomotor

9. Potensial tinggi mengalami kerusakan permanen pada hati atau otak

Amfetamin ( deksedrin, metamfetamin, ice, uppers, crank, speed )Oral atau suntik1. Grandiositas ( waham kebesaran )

2. Waspada berlebihan ( hipervigilance )

3. Hipertensi atau hipotensi

4. Takikardi atau bradikardi

5. Midriasis ( pupil melebar)

6. Gembira berlebihan (euforia)

7. Penekanan nafsu makan

8. Perubahan kepribadian

9. Perilaku anti sosial

10. Episode skizofrenia

Kanabis ( mariyuana, grash, pot, hashish, joint,weed, TCH )Dirokok atau disuntikan1. Intoksikasi ringan

2. Peningkatan nafsu makan

3. Mulut kering

4. Kurang koordinasi

5. Kerusakan penilaian dan memori

6. Gairah seksual

7. Takikardi

8. Halusinasi penglihatan

Kokain ( coke, snow, lady, bubuk, carck )Oral, suntik, atau di hisap1. Berbicara sangat aktif

2. Grandiositas

3. Waspada berlebihan

4. Ansietas

5. Kerusakan penilaian

6. Takikardia atau bradikardia

7. Hipertensi atau hipotensi

8. Midriasis (pupil melebar)

9. Otot kedutan

10. Depresi pernafasan

11. Halusinasi, waham paranoid, atau paranoia

12. Formiksi (sensasi serangga merayap dipermukaan kulit)

13. Perubahan kepribadian

14. Prilaku anti sosial

15. Euforian diikuti depresi dan perasaan menurun

Halusinogen (iysergic acid diethilamide yang juga dikenal sebagai LSD atau acid, peyote, psilosibin, meskalina )Oral atau dihirup1. Persepsi dan perasaan lebih intensif

2. Sinestisia ( melihat suara atau mendengar bisikan )

3. Halusinasi penglihatan, pendengaran, atau perabaan

4. Takut kehilangan pikiran

5. Midriasis ( pupul melebar )

6. Takikardi atau palpitasi

7. Penglihatan kabur

8. Pusing, lemah, tremor

9. Perubahan persepsi (kilas balik)

10. Kerusakan penilaian dan perilaku aneh

11. Alam perasaan labil dan gejala menyerupai psikotik

Inhalan ( bahan bakar berbentuk semprotan dalam kaleng, produk cat dan pelarut cat, lem, bensin, cairan pembersih )Dihirup1. Euforia dan mabuk

2. Sakit kepala

3. Pusing, letih, atau mengantuk

4. Nistagmus ( pergerakan mata tidak terkendali dan cepat )

5. Berdiri tidak tegap, atau tremor

6. Bicara tidak jelas

7. Pandangan kabur atau diplopia ( pandangan dobel )

8. Kerusakan pada paru, hati dan ginjal

Opioid ( morfin, kodein, metadon, dilaudid, heroin yang juga dikenal sebagai smack atau horse )Oral, suntik, dihirup1. Euforia segera diikuti disforia

2. Retardasi psikomotor atau agitasi

3. Bicara tidak jelas

4. Kerusakan penilaian dan memori

5. Sedasi dan depresi pernapasan

6. Pupil mengecil ( konstriksi )

7. Penurunan dorongan seksua dan agresif

Fensiklidin ( fensiklidin, angel dust, hog )Oral, suntik, atau dihirup1. Waham kebesaran dan ilusi kekuatan

2. Implusif

3. Agitasi psikomotor

4. Perilaku menyerang

5. Penurunan kepekaan sensori

6. Hipertensi dan takikardi

7. Berdiri tidak tegak dan kurang koordinasi

8. Nistagmus ( pergerakan mata cepat dan tidak disadari )

9. Mood labil dan paranoia

Sedatif, hipnotik, atau ansiolitik ( seperti natrium sekobarbital [ seconal], natrium pentobarbital [nembutal],diazepam [ valium] alprazollam [ xanax], klordiiazepoksida [ librium] )Oral atau disuntikan1. Berdiri tidak tegak dan kurang koordinasi

2. Bicara tidak jelas

3. Nistagmus ( pergerakan mata cepat dan tidak disadari )

4. Sedasi

5. Kerusakan penilaian

6. Pperilaku seksual tidak sesuai dan dorongan perilaku agresif

7. Mood labil

NikotinOral atau dihirup1. Takikardi

2. Vasokontriksi

3. Iritasi mukosa mulut

4. Batuk terus-menerus ( batuk perokok )

5. Kerusakan pada alveoli dan bronkioli

6. Emfisema

7. Kemungkinan besar terkena kanker mulut, laring, atau paru

8. Stimulasi indra

9. Kewaspadaan dan peningkatan kinerja

10. Ansietas dan gelisah

Kafein Oral 1. Wajah kemerahan

2. Bicara sangat aktif

3. Tremor dan otot kedutan

4. Takikardi atau aritmia

5. Insomnia

6. Iritasi lambung

c. Etiologi

Penyebab yang tepat penggunaan obat, ketergantungan, dan adiksi tidak di ketahui, tetapi berbagai factor di duga berkontribusi pada perkembangan gangguan yang berhubungan dengan zat (Jaffe, 2000c). Kebanyakan penelitian tantang factor biologi dan genetic telah dilakukan pada penyalahgunaan alcohol, tetapi studi psikologis, social dan lingkungan juga meneliti obat lain. Adapun factor-faktornya adalah :

1. Factor Biologi

Anak-anak dari orang tua alkoholik beresiko tinggi mengalami alkoholisme dan ketergantungan obat dari pada anak-anak dari orang tua non alkoholik (Jaffe 2000c). peningkatan resiko ini sebagian akibat factor lingkungan, tetapi ada bukti bahwa factor genetic juga penting. Studi adopsi menunjukan bahwa angka alkoholisma pada anak laki-laki dari ayah biologis yang mengalami alkoholisme lebih tinggi dari pada anak laki-laki dari ayah biologis non alkoholik. Studi ini membuat ahli teori menjelaskan komponen genetic alkoholisme sebagai kerentanan genetic yang kemudian di pengaruhi oleh berbagai factor social dan lingkungan. Prescott dan Kendler (1999) menemukan bahwa 48%-58% variasi penyebab alkoholisme adalah akibat genetic, dan sisanya akibat pengaruh lingkungan.

Pengaruh neurokimia pada pola penggunaan zat telah di pelajari terutama pada penelitian binatang (Jaffe 2000c). ingesti zat yang mengubah mood menstimulasi alur dopamine pada system limbic, yang menimbulkan perasaan senang, atau euphoria , yang merupakan pengalaman yang menguatkan atau positif.

2. Factor Sosial Dan Lingkungan

Factor budaya , sikap social, perilaku teman sebaya, hukum, serta biyaya dan ketersediaan zat mempengaruhi penggunaan zat awal dan lanjutan (Jaffe 2000c). secara umum , zat yang menimbulkan sedikit ketidak setujuan masyarakat, seperti alkohoh dan kanabis, di gunakan oleh anak muda yang mencoba-coba, obat seperti kokain dan opioid, yang lebih mahal, dan angka ketidak setujuan masyarakat lebih tinggi, di gunakan oleh orang yang lebih tua. Konsumsi alcohol meningkat di tempat yang tersedia alkoholnya meningkat dan menurun di tempat yang harga alkoholnya meningkat akibat meningkatnya pajak. Penggunaan kanabis di masyarakat meskipun illegal di pandang kebanyakan beberapa orang sebagau hal yang tidak terlalu membahayakan bahkan beberapa orang mendukung lelga lisasi penggunaan mariyuana untuk tujuan social.

3. Factor Psikologis

Selain hubungan genetic pada alkoholisme, dinamika keluarga di duga memainkan peranan. Anak-anak dari orang tua alkoholik memiliki kemungkinan empat kali untuk mengalami alkoholisme (Schuckit, 2000) beberapa ahli teori yakin bahwa inkonsistensi perilaku orang tua, model peran yang buruk, dan kurangnya asuhan membuat anak mengadopsi gaya koping maladaptive yang sama, hubungan yang kacau dan penyalahgunaan zat. Hipotesis lain bahwa anak-anak yang membenci kehidupan keluarga mereka bahkan mungkin menyalahgunakan zat ketika dewasa karena mereka tidak memiliki keterampilan koping adaptif dan tidak dapat membina hubungan yang berhasil (Tweed dan Ryff, 1996).

Alcohol dapat di gunakan sebagai mekanisme koping atau cara untuk mengurangi stress dan ketegangan, meningkatkan perasaan kuat, dan mengurangu derita psikologis. Akan tetapi, alcohol dosis tinggi secara actual meningkatkan ketegangan otot dan kegugupan (Schuckit, 2000).

d. Rentang Respon Napza

Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZARespon adaptif

Respon Maladaptif

Eksperimental Rekreasional Situasional Peyalahgunaan Ketergantungan

(Sumber: Yosep, 2007)

Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasaingin tahu dari remaja. Sesuai kebutuhan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.

Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya.

Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi.

Penyalahgunaan:Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai

dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.

e. Peraturan Perundang-Undangan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, atau mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, bahwa narkoba tidak diperbolehkan disalahgunakan dan diedarkan secara gelap. Masih menurut kedua undang-undang tersebut bahwa narkoba boleh digunakan dan boleh diedarkan dalam dunia pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.Penyalahgunaan narkotika disertai dengan sanksi pidana terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, tercantum dalam Bab XII Ketentuan Pidana yang terdiri atas pasal 78 hingga pasal 100. Berikut ini kutipan pasal 80.

(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:a) Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

b) Memproduksi, mengolah, mengkonversi,merakit, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); c.memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:a. Ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);

b. Ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatanjahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun, dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

c. Ayat (1) huruf c didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:a) Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

b) Ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi,dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah); c.ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:a) Ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);

b) Ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);

c) Ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).f.Gejala klinis penggunaan NAPZA1.Perubahan Fisik :

Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo ( cadel ), apatis ( acuh tak acuh ), mengantuk, agresif.

Bila terjadi kelebihan dosis ( Overdosis ) : nafas sesak, denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, bahkan meninggal.

Saat sedang ketagihan ( Sakau ) : mata merah, hidung berair, menguap terus, diare, rasa sakit seluruh tubuh, malas mandi, kejang, kesadaran menurun.

Pengaruh jangka panjang : penampilan tidak sehat, tidak perduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi keropos, bekas suntikan pada lengan.

2.Perubahan sikap dan perilaku :

Prestasi di sekolah menurun, tidak mengerjakan tugas sekolah, sering membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.

Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas atau tempat kerja.

Sering berpergian sampai larut malam, terkadang tidak pulang tanpa ijin.

Sering mengurung diri, berlama lama di kamar mandi, menghidar bertemu dengan anggota keluarga yang lain.

Sering mendapat telpon dan didatangi orang yang tidak dikenal oleh anggota keluarga yang lain.

Sering berbohong, minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tidak jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau keluarga, mencuri, terlibat kekerasan dan sering berurusan dengan polisi.

Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, pemarah, kasar, bermusuhan pencurigaan, tertutup dan penuh rahasia.

g. Penanganaan secara Umum Pada Klien NAPZA

Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:1) DetoksifikasiProgram terapi harian untuk pasien rawat inap dan rawat jalan detoksifikasi adalah :

Dibawah pengawasan medis, berikan obat yang sama dengan obat-obatan yang disalah gunakan dan kemudian secara bertahap hentikan penggunaan.

Pasilitasi penatalaksanaan sindrom putus zat pada klien.

Kaji dan intervensi kebutuhan fisik dan emosi klien.

Kaji tanda-tanda toksisitas dan dari pengobatan pengganti, misalnya perubahan fisiologis atau prilaku.

Koordinasikan semua terapi medis darurat, jika perlu.

Sediakan dukungan selama periode krisis.

Koordinasikan bantuan farmakologis tambahan setelah beriode detoksifikasi awal (metadon atau klonidin mungkin digunakan untuk tujuan ini).

Detoksifikasi dibagi menjadi 2, yaitu :a)Detoksifikasi tanpa subsitusi Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.

b)Detoksifikasi dengan substitusi Pantau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.2) Rehabilitasi Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).Sesudah klien penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).Program terapi harian untuk pasien rehabilitasi :

Minta klien berpatisipasi dalam program terapi yang telah dirancang untuk mengevaluasi masalah klien dan perkenalkan kedua belas langkah program pemulihan.

Ajarkan penatalaksanaan stress, meliputi penggunaan teknik relaksasi.

Tentang pengingkaran klien terhadap penyalahgunaan zat dorong tanggung jawab pribadi. Bantu klien mengevaluasi dan mulai mengubah kebiasaan dan prilaku anti sosial.

Prakarsai terapi individual, pertemuan terapi keluarga, dan konseling pekerjaan.

BAB IIIASUHAN KEPERAWATANa. PengkajianPrinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi :

a.Perilaku

b.Faktor penyebab dan faktor pencetus

c.Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:

penyangkalan (denial) terhadap masalah

rasionalisasi

memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya

mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya

Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien

b. Diagnosa KeperawatanPerlu diingat bahwa diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.

Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti:

a.Ketidakefektifan koping Individub. Perubahaan sensori atau persepsi termasuk halusinasi, visual, dan pendenganran.c. Resiko cederad. Defisit pengetahuan tentang dampak penyalahgunaan zat.c. Intervensi Keperawatan Dorong Klien untuk mengungkapkan secara verbal tentang perasaan nya yang negatif, misalnya ansietas, kemarahan, kesedihan dan rasa frustasi.

Diskusikan dengan klien tentang apa saja yang terdapat dalam prilaku yang dapat di terima.

Tentukan tingkat intoksikasi, dan pantau gejala putus obat yang berhubungan dengan pemakaian zat tertentu.

Orientasikan klien dengan sering atau sesuai kebutuhan. Ajari klien untuk mengakaji, memonitor, dan mencari bantuan untuk mengatasi perubahan sensori persepsi yang mungkin timbul.

Diskusikan gejala-gejala putus zat dan cara mengatasi perasaan ketakutan dan ketidaknyamanan.

Evaluasi kesalahan persepsi klien tentang penyalahgunaan zat.

Kaji kemampuan belajar klien, kesiapan untuk belajar, dan tingkat asietas.

c. EvaluasiEvaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan yang dilakukan perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai. Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan untuk dilakukan selanjutnya.

Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan klien. Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps.

2Asuhan Keperawataan Klien NAPZA