bab ii - abstrak.uns.ac.id · menampilkan pola-pola dengan ragam hias satwa mitos cina, seperti...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Batik
Batik sebagai karya seni bangsa Indonesia sudah tidak disangsikan lagi,
merupakan salah satu bentuk hasil budaya bangsa Indonesia yang termasuk tua.
Sebenarnya kata “Batik” berasal dari bahasa Jawa, dari akar “tik” yang berarti
“kecil”. Seperti misalnya terdapat dalam kata-kata Jawa lainnya. “klitik” (warung
kecil), “bentik” (persinggungan kecil antara dua benda). “kitik” (kutu kecil)
(Soedarso, 1998 : 104). Batik secara etimologi, berasal dari bahasa Jawa yaitu
amba dan titik yang berarti menulis dan titik. Batik merupakan kerajinan yang
memiliki nilai seni tinggi sejak dahulu dan telah menjadi bagian dari budaya
Indonesia, khususnya Jawa. Batik sebagai seni tradisi merupakan ekspresi kultur
dari kreativitas individual dan kolektif yang lahir dari kristalisasi pengalaman
manusia hingga pada akhirnya membentuk identitas kepribadian. Kiranya batik
sebagai salah satu jenis tekstil pada akhirnya tidak dapat dipisahkan dari ekspresi
budaya suatu masyarakat pendukungnya. Ia tumbuh dan berkembang di bumi
Indonesia sebagai manifestasi dan kekayaan budaya daerah-daerah perbatikan,
seperti Solo, Yogyakarta, Pekalongan, dan daerah perbatikan lainnya.
Batik merupakan suatu cara membuat desain pada kain dengan cara
menutup bagian-bagian tertentu dari kain dengan malam. Batik pada mulanya
merupakan lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat
8
bernama canting. Dalam perkembangan selanjutnya dipergunakan alat-alat lain
untuk mempercepat proses pengerjaannya misalnya dengan cap. Canting cap
merupakan salah satu inovasi teknologi dalam memenuhi kebutuhan batik yang
tidak bisa terpenuhi hanya dengan canting tulis saja, dan dengan menggunakan
canting cap akan membuat pekerjaan lebih mudah dan cepat (Hamzuri, 1981 : 1).
Batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia yang diakui
keberadaannya oleh dunia, setelah diakui oleh UNESCO sebagai “World
Herritage” (Warisan Dunia) pada tanggal 2 oktober 2009 (Lisbijianto, 2013 : 6).
Awalnya batik hanya digunakan untuk pakaian para raja di Jawa pada zaman
dahulu. Sejarah perbatikan di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan
Kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Pengembangan
batik banyak dilakukan pada masa-masa Kerajaan Mataram, kemudian pada masa
kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. Kesenian ini mulai meluas di
kalangan rakyat Indonesia, khususnya suku Jawa setelah akhir abad ke-18. Namun
kemudian, seiring berjalannya waktu batik berkembang menjadi pakaian sehari-
hari masyarakat Jawa dan sekitarnya.
Dalam pembuatan batik tradisional terdapat empat aspek yang
diperhatikan, yakni motif, warna, teknik pembuatan, dan fungsinya. Ada kurang
lebih tiga puluh daerah pembatikan di pulau Jawa, yang masing-masing memiliki
ciri tersendiri. Batik juga memiliki keindahan visual karena semua ornamen, isian
dala pola atau “carik” tersusun dengan rapi dan harmonis. Batik juga memiliki
keindahan spiritual karena pesan, harapan, ajaran hidup dan doa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dari pembuat batik dituangkan dalam pola batik. Secara universal
desain batik yang tergolong dalam karya 2 dimensional ini merupakan suatu
9
kesatuan dari elemen-elemen desain yang terdiri dari titik, garis, bentuk, warna
dan tekstur. Kesatuan dari pengorganisasian elemen tersebut akan pengulangan
(ritme), centre of intersest (pusat perhatian), balans (keseimbangan), dan kontras
(kejelasan) (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan
Batik, 1995-1996 : 4).
Santosa Doellah dalam bukunya Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan
tahun 2002, mengatakan bahwa berdasarkan daerah perkembangannya batik
terbagi menjadi beberapa macam yaitu :
a. Batik Kraton
Adalah batik dengan pola tradisional, terutama yang semula tumbuh dan
berkembang di kraton-kraton Jawa. Tata susun ragam hias dan pewarnaannya
merupakan perpaduan mengagumkan antara matra seni, adat, pandangan hidup,
dan kepribadian lingkungan yang melahirkannya, yakni lingkungan kraton.
Daerah perkembangan dari batik Kraton yaitu Kraton Surakarta, Pura
Mangkunegaran, Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, Kraton Cirebon, Kraton
Sumenep (Doellah, 2002 : 54-58). Sebagian besar pola-pola batik kraton
mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa yang pada zaman Pajajaran dan Majapahit
berpengaruh sangat besar dalam seluruh tata kehidupan dan kepercayaan
masyarakat Jawa dan pada masa kemudian menampakkan nuansa Islam dalam hal
“stilasi” bentuk hiasan yang berkait dengan manusia dan satwa.
b. Batik Pengaruh Kraton
Adalah jenis batik yang memadukan ragam hias utama batik kraton Mataram
dengan ragam hias khas daerah setempat sebagai penyusun pola dan kemudian
10
dikembangkan sedemikian rupa sesuai selera masyarakat tempat batik tersebut
berkembang, daerah perkembangannya seperti batik Indramayu, batik Cirebon
dan batik Banyumas (Doellah, 2002 : 112-113). Dapat dikatakan bahwa batik
pengaruh kraton muncul sejalan dengan pergolakan-pergolakan yang terjadi
ketika Pulau Jawa terjadi pertikaian antar sesama raja Jawa serta antara Jawa
dengan bangsa Belanda, karena ketika adipati tidak mau mengakui kekuasaan
Mataram termasuk batik sehingga batik muncul di daerah-daerah bersama dengan
peristiwa politik.
c. Batik Saudagaran
Adalah batik yang dihasilkan oleh kalangan saudagar batik, polanya bersumber
pada pola-pola batik kraton, baik pola larangan maupun pola batik kraton lainnya,
yang ragam hias utama serta isen polanya digubah sedemikian rupa sesuai dengan
selera kaum saudagar (Doellah, 2002 : 124). Para saudagar juga menciptakan
pola-pola baru, baik ragam hias utama maupun isen-nya, hal ini karena banyaknya
permintaan batik yang kian hari kian meningkat memacu para saudagar di luar
kraton mengembangkan usaha pembuatan batik. Tahun 1850 tumbuhlah industri
batik yang dikelola oleh para saudagar, mereka menciptakan canthing cap untuk
menggantikan canthing tulis dalam proses pembatikan.
d. Batik Petani
Adalah batik yang digunakan oleh kaum petani setelah pemakaian batik sebagai
bahan busana menembus tembok kraton dan merambah masyarakat pedesaan.
Pola-pola batik petani bersumber pada pola-pola batik Kraton dan digubah oleh
para petani dengan ragam hias yang berasal dari alam sekitar berupa tumbuh-
11
tumbuhan, buah-buahan, dan bahkan burung-burung kecil (Doellah, 2002 : 126).
Perkembangan kerajinan membatik karena pekerjaan membatik dapat dikerjakan
oleh para wanita di sela-sela pekerjaan di sawah dan pekerjaan rumah tangga.
Pada awalnya membatik hanya sebagai pekerjaan sambilan, tetapi setelah
penemuan proses pengecapan kemudian tersentralisasi di pabrik-pabrik.
(Sariyatun, 2005 : 53).
e. Batik Pengaruh India
Adalah batik yang menerapkan ragam hias dari India, yaitu kain patola dan chintz
atau sembagi, serta mulai dibuat oleh pedagang-pedagang Arab dan Cina pada
awal abad ke-19 di kawasan pantai utara Pulau Jawa, terutama Cirebon dan Lasem
(Doellah, 2002 : 154). Hal ini karena meurunnya perdagangan tekstil India pada
abad ke-18 menyebabkan pasokan kain patola menurun, sehingga membuat para
pengusaha memanfaatkan peluang emas ini dengan meniru motif kain patola dan
sembagi dengan teknik batik dalam mengisi kekosongan pasar.
f. Batik Belanda
Adalah jenis batik yang tumbuh dan berkembang di antara tahun 1840 sampai
dengan tahun 1940, hampir semuanya berbentuk sarung, pada mulanya hanya
dibuat bagi masyarakat Belanda dan Indo-Belanda, dan kebanyakan dibuat di
daerah pesisir (Pekalongan) (Doellah, 2002 : 164). Pola batik Belanda banyak
menampilkan motif bunga, kupu-kupu dan burung, namun ada jenis batik Belanda
dengan motif tentang kisah cerita yang tumbuh di dalam masyarakat Barat
(Lisbijanto, 2013:36)
12
g. Batik Cina
Adalah jenis batik yang dibuat oleh orang-orang Cina atau peranakan, yang
menampilkan pola-pola dengan ragam hias satwa mitos Cina, seperti naga, singa,
burung phoenix (burung hong), kura-kura, kilin (anjing berkepala singa), dewa
dan dewi, ragam hias yang berasal dari keramik Cina kuna, serta ragam hias
berbentuk mega dengan warna merah atau merah dan biru. Batik Cina juga ada
yang mengandung ragam hias buketan atau bunga-bunga, terutama batik Cina
yang dipengaruhi pola batik Belanda, dan menggunakan warna-warna seperti
batik Belanda (Doellah, 2002 : 182). Kehalusan batik Cina dapat dkatakan
menyamai batik Belanda, baik dalam teknik maupun pola, bahkan banyak pula
yang melebihi.
h. Batik Djawa Hokokai
Adalah jenis batik yang merupakan perpaduan antara budaya Cina dan budaya
Jawa, pola yang digunakan dalam batik ini selalu berlainan antara satu sisi dengan
sisi lainnya. Pola ini disebut dengan “Pagi-Sore”. Jenis batik ini banyak
diproduksi oleh perusahaan batik milik warga Tionghoa yang ada di Pekalongan
dan sekitarnya. Batik Djawa Hokokai mempunyai ciri kha pada pinngiran kain
yang dihiasi dengan bunga dan kupu-kupu menyerupai kimono (Lisbijanto,
2013:38)
i. Batik Indonesia
Adalah batik yang selain secara teknis berupa paduan antara pola tradisional batik
kraton dan proses batik pesisiran juga mengandung makna persatuan Indonesia.
Dan menurut Nian S Djomena (1990:55) umumnya kain batik memiliki bentuk
13
persegi yang terdiri dari beberapa ukuran dengan penggunaan dan bersifat
serbaguna, yang paling utama adalah digunakan untuk berbusana dan
perlengkapannya serta sebagai hiasan pada berbagai upacara adat atau keagamaan
seperti cerana, panji dan lain sebagainya. (Doellah, 2002 : 212). Batik Indonesia
merupakan awal gagasan dari Presiden Soekarno dalam menciptakan karya batik
dengan ragam hias dari beberpa daerah dan mengenalkan batik berasal dari
Indonesia serta menyuarakan persatuan Indonesia.
Fungsi kain batik juga mempengaruhi bentuk ragam hias dan ukurannya,
misalnya kain panjang, kain sarung, dodot, selendang, kemben, ikat kepala, ikat
pinggang, dan sebagainya memiliki ragam hias yang disesuaikan dengan
fungsinya. Seiring berjalannya waktu fungsi batik juga telah berubah dan semakin
dekat dengan masyarakat, perubahan yang terjadi tidak hanya dalam segi motif
namun juga teknik serta fungsi dari motif batik itu sendiri. Batik tidak lagi
digunakan dalam acara formal namun kini batik juga digunakan dalam acara non
formal dari segala usia dan golongan.
2. Ragam Hias Batik
Motif merupakan kerangkan gambar yang dipakai dalam kerajinan batik
yang mewujudkan bentuk dari batik secara keseluruhan, sehingga menghasilkan
corak atau motif yang dikenali oleh penggunanya (Lisbijanto, 2013:48).
Berdasarkan perkembangan batik di Pulau Jawa, pola batik dapat diperinci
menjadi tiga unsur pokok, yakni ragam hias utama, isen-isen dan ragam hias
pengisi. Ragam hias utama merupakan bentuk hiasan yang menjadi unsur
penyusun utama pola batik. Isen-isen adalah hiasan yang mengisi bagian-bagian
14
ragam hias utama, misalnya cecek, cecek sawut, dan sisik melik. Ragam hias
pengisi adalah hiasan yang ditempatkan pada latar pola sebagai penyeimbang
bidang agar pola secara keseluruhan tampak serasi; misalnya ukel, galar, dan
gringsing. Dalam berbagai hal dan berbagai susunan ragam hias isen
berkemungkinan berfungsi sebagai ragam hias pengisi; misalnya sekar sedhah,
rembyang, dan sekar pacar (Doellah, 2002 : 19).
Ragam hias batik terdiri atas hiasan-hiasan yang disusun sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu kesatuan rancangan yang berpola. Secara tradisional
pola batik sangat banyak jenisnya. Untuk mempermudah pengenalan, pola batik
dapat dikelompokkan berdasar bentuk dan gaya. Berdasar bentuknya, pola batik
terbagi atas dua kelompok besar, yakni pola bangun berulang atau pola geometri
dan pola non geometri. Salah satu diantaranya adalah pola parang yang
merupakan salah satu pola yang sangat terkenal dalam kelompok pola garis
miring. Pola ini terdiri atas satu atau lebih ragam hias yang tersusun membentuk
„garis-garis‟ sejajar dengan sudut miring 450. Terdapat ragam hias berbentuk
belah ketupat sejajar dengan deretan ragam hias utama pola parang. Ragam hias
ini disebut mlinjon. Pola parang sangat banyak ragamnya, antara lain Parang
Barong dan Parang Sekar Pisang (Doellah, 2002:20).
Menurut Sewan Susanto dalam bukunya Seni Kerajinan Batik Indonesia
(1980 : 212) Berdasarkan susunan dan bentuk-bentuk ornamen di dalam motif
batik, maka motif-motif tersebut sampai perkembangan dewasa ini dapat diadakan
penggolonggan dan pembagian sebagai berikut :
15
a. Pertama, motif-motif batik yang ornamen-ornamennya atau susunan
ornamen tersebut merupakan susunan geometris, golongan motif ini kita
sebut motif-motif batik golongan geometris, motif-motif yang termasuk
dalam golongan pertama ini ialah motif banji, motif ganggong, motif
ceplokan, motif seperti anyaman, motif parang dan lereng
(Susanto,1980:212).
b. Golongan kedua adalah motif-motif yang ornamen utamanya terdiri dari
tumbuhan, meru, burung atau lar-laran dan binatang yang tersusun secara
harmoni tetapi tidak menurut bidang-bidang geometris, golongan ini
disebut semen. Menurut macam ornamen-ornamennya dalam motif
tersebut, golongan semen ini dapat dibedakan atas 3 macam yaitu :
1) Motif semen yang tersusun dari ornamen tumbuhan-tumbuhan saja,
yaitu bagian bunga atau kuncup dan daun.
2) Motif semen yang tersusun dari ornamen tumbuhan dan binatang,
yaitu bunga atau daun dan binatang.
3) Motif semen dimana ornamen-ornamennya berupa tumbuhan,
binatang dan lar-laran atau binatang bersayap (Susanto, 1980:212).
c. Golongan ketiga adalah motif batik yang disebut motif buketan, di mana
pada kain batik penempatan bidang untuk ornamen atau gambarnya tidak
sama, disuatu sisi bidang penuh dengan gambar-gambar, sedang pada sisi
bidang yang lain hampir kosong. Yang terkenal dalam golongan ini ialah
batik Terang bulan (Susanto, 1980:212).
d. Golongan keempat ialah golongan batik yang baru, yaitu yang disebut
batik gaya baru, atau batik modern. Golongan ini baru muncul dan terkenal
16
pada tahun 1967. Gambar pada batik ini diperoleh dimana pola dasarnya
adalah lukisan lilin pada kain tersebut dan kemudian diselesaikan secara batik
yaitu di beri isen-isen, cecek, ukel dan garis-garis atau sesuatu ornamen.
Batik golongan ini sebenarnya sudah mendekati lukisan. Jenis batik ini
disebut pola batik Gaya Bebas. Perkembangan dari batik modern ini disebut
juga batik Gaya Baru, atau batik lukisan, ialah kain lukisan, yang dalam
pembuatannya bukan lilin yang dilukiskan, melainkan langsung zat
warnanya, dan kain muncul mulai pertengahan tahun 1968. Batik golongan
ini disebut pola batik tanpa pola (Susanto, 1980:212).
3. Tekstil Motif Batik
Batik sebagai wastra tradisional dengan menggunakan teknik celup rintang
sebagai bahan perintang warna, dan bahan yang paling tepat untuk pembuatan
wastra batik adalah kain yang terbuat dari serat alami. Meski demikian, akibat
perkembangan zaman dan teknologi kini pembuatan batik dapat dilakukan diatas
bahan serat tiruan seperti polyester, polyamida, dan bahan lycra dengan
menggunakan teknik cetak saring atau printing. Kain hasil teknik ini biasanya
disebut “teknik dengan pola yang tersusun dari ragam hias batik” namun ini
pilihan tepat dalam memenuhi kebutuhan batik sesuai citarasa dan selera
masyarakat modern (Doellah, 2002:10). Penggunaan teknik printing dari segi
harga lebih terjangkau oleh masyarakat karena biaya produksi dan waktu yang
dibutuhkan relatif singkat.
Skripsi Dewi Sulistyoningsih dengan judul Printing Batik Pelangi
Sukoharjo Pada Seragam Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Sukoharjo (2013:15)
menjelaskan salah satu artikel Kompasiana yang menyebutkan bahwa pada
17
Konvensi batik Internasional di Yogyakarta tahun 1997, menyepakati bahwa
definisi batik adalah proses penulisan gambar atau ragam hias pada media apapun
dengan menggunakan lilin batik (wax) sebagai perintang warna. Jadi, bilamana
proses membatik di kain tanpa menggunakan lilin batik maka kain batik tersebut
tidak bisa disebut sebagai batik, namun dikatakan sebagai tekstil bermotif batik.
Jenis batik Indonesia menurut Kusrianto dalam bukunya Batik, Filosofi, Motif dan
Kegunaannya (2013, 302) :
a. Batik Tulis (Hand Drawn Batik), yaitu buatan tangan dengan alat
canting yang berisi lilin batik (malam). Pembuatan batik ini per helai
kain memakan waktu 2-3 bulan bahkan sampai 6 bulan untuk
pembuatan batik tulis halus.
b. Batik Cap (Hand Stamp Batik), yaitu proses pembuatan kain batik
dengan menggunakan alat cap/stamp waktu yang diperlukan relatif
singkat yaitu sekitar 1-3 minggu untuk batik cap. Teknik blok printing
di India yang mula-mula mengilhami pembatik Jawa untuk membuat
batik menggunakan teknik cap. Teknik batik cap ini hanya mengganti
teknik menulis (melukis) kain malam pada kain dari canting menjadi
cap logam.
c. Batik Printing ini sebenarnya bukan termasuk batik, karena tidak
sesuai dengan definisi batik pada Konvensi batik, biasanya batik
printing ini diproduksi oleh pabrikan dalam jumlah banyak.
Jika awal abad ke-20 teknik membatik dengan menggunakan cap
masih cukup untuk mengejar jumlah produksi yang diminta pasar,
maka seiring dengan berjalannya waktu membuat keadaan berbicara
18
lain. Produsen Chintz dari Coromandel dan Patola dari Gujarat, India
yang membuat kain cetak dengan sistem kain cetak saring (screen
printing) yang dibuat oleh produsen Eropa. Mereka sengaja
memproduksi batik “imitasi” untuk dilempar ke pasar Nusantara
dengan menggunakan kualitas mori yang sama bagusnya dengan batik
tulis, batik imitasi ini dapat dijual dengan harga yang lebih murah,
motif yang rapi serta warna yang lebih kuat.
Kelebihan dari teknik printing ini adalah kemampuan untuk
memproduksi dalam jumlah banyak pada saat relatif singkat. Dengan
teknologi ini kebutuhan batik untuk (misalnya) pakaian seragam
sekolah, karyawan, pegawai maupun seragam komunitas tertentu akan
lebih mudah dipenuhi, disamping itu biasanya biaya produksi yang
diperlukan menjadi lebih murah dibanding pembuatan batik tulis
dengan sarana teknologi mesin printing ini kecintaan orang pada batik
menjadi lebih mudah direalisasikan.
Maraknya batik printing tidak membuat batik tulis terancam, karena
batik tulis tetap memiliki konsumennya sendiri, walaupun pada
segmen yang lebih spesifik. Keluhan bahwa batik printing mengancam
keberadaan batik tulis hanya pantas dikeluhkan oleh pengusaha batik
yang terbatas kreativitasnya dan kurang memiliki kemampuan
berwirausaha.
4. Batik di Karanganyar
Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di
Propinsi Jawa Tengah, sekitar 14 km sebelah timur kota Surakarta. Dalam
19
Perkembangan sejarah Karanganyar termasuk bagian dari wilayah
Mangkunegaran, yang disebut dengan batik Vorstenlanden, yang corak motifnya
memiiki kesamaan dengan Surakarta dan Wonogiri. Industri perbatikan di
Karanganyar terletak di Girilayu, Matesih. Kemunculan pembatikan di Girilayu
karena dipengaruhi adanya Astana atau makam para penguasa dan kerabat dekat
raja Pura Mangkunegaran. Motif yang dihasilkan di desa Girilayu merupakan
motif Mangkunegaran, yang berbeda dengan motif Kasunanan dalam warna yang
dihasilkan, pewarnaan di Kasunanan lebih ke warna kemerahan sedangkan di
Mangkunegaran lebih dominan dengan warna soga dan kekuningan, namun dari
segi motif yang dihasilkan sama motifBatik nya (Artikel Terasolo tanggal
5/12/2014).
Widyastuty, dkk, (2012 : 50) menjelaskan Batik di Girilayu mempunyai
kesamaan dengan corak batik Surakarta, hal itu tidak bisa dilepaskan dengan
ikatan historis bahwa Girilayu sangat dekat dengan keraton Mangkunegaan yang
mempunyai pemakaman raja-raja Mangkunegaran di Girilayu Astana Mangadeg,
merupakan tempat pemakaman raja Mangkunegaran, disana terdapat makam
Raden Mas Said atau masyarakat lebih mengenal dengan pangeran Sambernyowo,
untuk berziarah ke makam tersebut peziarah dianjurkan menggunakan kain batik
dalam mengunjungi makam sesuai dengan tradisi keraton. Hal itu juga merupakan
satu contoh aspek kemiripan corak batik Girilayu dengan batik Surakarta.
5. Estetika
Estetika merupakan suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
berkaitan dengan keindahan. Estetika secara sederhana bagian dari cabang filsafat
20
yang didalamnya membahas mengenai permasalahan konsep estetis (keindahan)
yang sangat luas, Karena permasalahan estetika termasuk dalam perenungan para
filsuf sejak dahulu, dan pada kenyataannya hidup manusia selalu bersinggungan
dengan perihal estetis serta seni, kemudian muncul definisi atau konsep estetika
yang beragam dari masa ke masa. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada definisi
yang mutlak “benar” mengenai konsep estetika.
Tinjauan Desain Tekstil (Rizali, 2013:16) berdasarkan
pengertiannya “Estetika berasal dari kata aesthetis (Yunani) yang
berarti pencerapan atau cerapan indra. Pencerapan atau persepsi
tidak hanya melibatkan indra, tetapi juga proses psikofisik seperti
asosiasi, pemahaman, khayal, kehendak dan emosi. Pada awalnya
estetika adalah bidang ilmu filsafat yang berusrusan dengan
pemahaman tentang keindahan alam dan seni. Dalam
perkembangannya hingga kini estetika diartikan sebagai „inti seni‟
yang meliputi pemilikan dan penyususnan unsur-unsur seni (rupa),
serta cara pengungkapannya”.
Tinjauan Desain Tekstil (Rizali, 2013:20-21) menyebutkan bahwa alam
menilai suatu karya pada kriteria perwajahan (appearance) khususnya, perlu
dikaji sentuhan-sentuhan estetis pada :
a. Bentuk
Bentuk merupakan totalitas rupa pada produk yang dapat mengekspresikan
peranan fungsi produk sekaligus sebagai kesatuan (unity) dalam produk
tersebut.
b. Warna
Warna merupakan salah satu yang harus dapat mengesankan keselarasan
(harmoni) antar bagian produk. Warna dapat juga memberikan kesan
tangguh, kuat, lembut, lunak dan sebagainya
c. Detail
21
Detail merupakan bagian dari produk yang mencerminkan pesan perfect,
teliti, serius dalam penyelesaian.
d. Ukuran
Ukuran merupakan suatu hal yang berkaitan dengan rasa kenyamanan
dalam pemakaian sekaligus keamanan.
e. Daya pikat atau kesan
Daya pikat atau kesan merupakan perwajahan pada dasarnya sebagai
“etalase” produk yang memerlukan kiat untuk membangkitkan rasa greget
dan senang bagi pemandangnya setidaknya mendorong timbulnya
ungkapan bahwa produk tersebut indah dan menarik.
6. Desain
Kata “design” berasal dari bahasa latin yaitu designere yang berarti
menandai, desain tidak dapat terlepaskan dengan seni, karena desain merupakan
gambaran dari pemikiran dari perancang. Desain menurut Agus Sachari dalam
bukunya Paradigma Desain Indonesia adalah integrasi dari berbagai komponen
alam (termasuk manusia) sehingga antara satu dengan yang lain merupakan satu
rangkaian kegiatan timbal balik dan saling mengisi tetapi pada prinsipnya desain
adalah bermula dari manusia. Desain lahir karena manusia berkeinginan untuk
membuat semua hal menjadi menarik : manusia memang merindukan keindahan
dari setiap benda pakainya (1986 : 89).
Desain dapat disimpulkan bahwa desain merupakan bentuk suatu proses
pemikiran, pertimbangan dan perhitungan yang dituangkan dalam wujud gambar.
Gambar tersebut merupakan pengalihan dari gagasan atau pola pikir dari seorang
desainer.
22
a. Prinsip desain
Prinsip-prinsip desain merupakan hal yang terpenting dalam menciptakan
suatu desain. Desain mempunyai beberapa aspek yang perlu
dipertimbangkan oleh desainernya, sehingga pada akhirnya akan tercapai
suatu kesatuan (unity) secara menyeluruh (Rizali, 2013:43). Prinsip-pinsip
desain terdiri dari :
1) Irama
Irama adalah hasil dari repetisi dan gerakan, yang apabila diwujudkan
melalui warna, nada, bidang/bentuk, garis dan tekstur akan
menghasilkan unity atau kesatuan. Irama merupakan suatu susunan
dalam seluruh desain (Rizali, 2013:43).
2) Keseimbangan atau balance
Keseimbangan merupakan hubungan yang menyenangkan dalam suatu
desain. Keseimbangan (balance) adalah suatu kondisi atau kesan optis,
tentang kesan berat, tekanan, tegangan dan kestabilan.(Rizali,
2013:45). Pada sebuah desain terdapat dua jenis keseimbangan yaitu
keseimbangan simetris dan asimetris.
3) Pusat perhatian atau aksen
Pusat perhatian atau aksen yang pertama kali yang membuat mata pada
sesuatu yang penting dalam suatu desain. Untuk menarik perhatian,
suatu ciri visual bagian hendaknya dikontraskan dengan daerah
sekitarnya akan menjadikan pusat perhatian yang apabila disebarkan
dalam suatu ukuran susunan akan menciptakan tema pokok.
b. Unsur-unsur Desain
23
Unsur desain merupakan unsur-unsur yang digunakan untuk
mewujudkan desain sehingga orang lain dapat membaca desain. Unsur
desain disini dinilai dilihat dengan unsur visual. Unsur-unsur desain
terdiri dari :
1) Garis
Garis merupakan unsur yang paling tua digunakan manusia dalam
mengungkapkan perasaan atau emosi. Unsur garis ialah hasil goresan
dengan benda keras diatas permukaan benda alam dan benda buatan,
lewat goresanlah seseorang dapat berkomunikasi dan mengemukakan pola
desain atau rancangannya kepada orang lain. Ada dua jenis garis sebagai
dasar dalam pembuatan garis, yaitu :
a) Garis lurus
Garis lurus ialah garis yang jarak antara ujung dan pangkalnya
mengambil jarak yang paling pendek. Garis lurus merupakan dasar
untuk membuat garis patah dan bentuk-bentuk bersudut. Contoh
garis yaitu vertikal, horizontal, diagonal, garis lengkung, dan garis
kusut.
b) Garis lengkung
Garis lengkung adalah jarak terpanjang yang menghubungkan dua
titik atau lebih. Garis lengkung ini berwatak lebih dinamis dan
luwes.
1) Arah
Pada benda apapun, dapat kita rasakan adanya arah tertentu, misalnya
mendatar, tegak lurus, miring dan sebagainya. Arah dapat dirasakan
24
keberadaannya, hal ini sering dimanfaatkan dalam merancang benda
dengan tujuan tertentu.
2) Bentuk
Bentuk merupakan hasil hubungan dari beberapa garis yang mempunyai
area atau bidang dua dimensi (shape). Berdasarkan jenisnya, bentuk terdiri
atas bentuk naturalis, bentuk geometris, bentuk dekoratif dan bentuk
abstrak.
3) Ukuran
Ukuran merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi desain.
7. Warna
Warna merupakan unsur desain yang paling menonjol, dengan adanya
warna menjadikan suatu benda dapat dilihat. Selain itu, warna juga dapat
mengungkapkan suasana perasaan atau watak benda yang dirancang. Warna dapat
menunjukkan sifat dan watak yang berbeda-beda, bahkan mempunyai variasi yang
sangat banyak, yaitu warna muda, warna tua, warna terang, warna gelap, warna
redup dan warna cemerlang (Ernawati, dkk, 2008 :191-193).
a. Pengelompokkan warna
1) Warna dapat dikelompokkan menjadi lima bagian warna yaitu :
2) Warna primer merupakan warna dasar atau pokok karena warna ini
tidak dapat diperoleh dengan pencampuran hue lain, warna ini terdiri
dari tiga warna yaitu merah, kuning dan biru.
3) Warna sekunder merupakan hasil pencampuran dua warna primer,
warna sekunder terdiri dari orange, hijau dan ungu.
25
4) Warna intermediet merupakan warna yang diperoleh dengan dua cara,
yaitu dengan mencampurkan warna primer dengan warna sekunder
yang berdekatan dengan lingkaran warna atau dengan cara
mencampurkan dua warna primer dengan perbandingan 1:2.
5) Warna tertier merupakan warna yang terjadi apabila dua warna
sekunder di campur.
6) Warna kwarter merupakan warna yang dihasilkan oleh pencampuran
dua warna tertier.
b. Jenis-jenis warna
Pembahasan jenis-jenis warna mendasarkan pada teori tiga warna primer,
tiga warna sekunder dan enam warna intermediate. Kedua belas warna ini
kemudian disusun dalam satu lingkaran yang digolongkan menjadi daerah
warna panas dan daerah warna dingin. Secara terperinci pembagian
berbagai warna panas dan dingin sebagai berikut :
1) Warna panas merupakan warna yang memberikan kesan panas dan
efek panas yang terdiri dari tiga warna yakni merah, jingga dan
kuning. Warna panas memberikan kesan semangat, kuat dan aktif.
2) Warna dingin merupakan warna yang memberikan kesan dingin dan
efeknya juga dingin yang terdiri dari warna biru, ungu dan hijau.
warna hijau akan menjadi hangat/panas apabila warna hijau berubah
ke arah hijau kekuning-kuningan. Warna dingin memberikan kesan
tenang, kalem dan pasif.
Warna menurut Sadjiman Ebdi Sanyoto dalam bukunya Niramana
Elemen-elemen Seni dan Desain (2009:46-50) ketika mendapatkan cahaya,
26
bentuk/benda apa saja termasuk karya sni/desain akan menampakan warna. Warna
merupakan fenomena getaran/geombang yang ditangkap oleh indera penglihatan,
sedangkan bunyi diterima oleh indera pendengaran. Warna memiliki watak
tersendiri, seperti :
a) Warna hitam adalah warna tergelap yang berasosiasi dengan
kegelapan malam, kesengsaraan, misteri, ketiadaan.
Watak/karakter dari warna hitam ini adalah menekan, tegas,
mendalam dan depresive. Warna hitam melambangkan
kesengsaraan tetapi juga melambangkan kekutan, keunggulan dan
formalitas, warna hitam akan berubah total wataknya apabila
bertemu atau dikombinasikan dengan warna-warna lain. Sebagai
warna latar belakang, hitam berasosiasi dengan kuat, tajam,
formal dan bijaksana (Sanyoto, 2009:50).
b) Warna cokelat adalah warna yang berasosiasi dengan tanah, warna
tanah/warna natural. Karakter dari warna cokelat adalah kedekatan
hati, sopan, arif, bijaksan tetapi sedikit kurang cemerlang karena
warna cokelat merupakan hasil dari pencampuran beberapa warna
tersier (Sanyoto, 2009:51).
c) Warna hijau merupakan warna yang berasosiasi pada hijaunya
tumbuh-tumbuhan yang hidup dan berkembang. Warna hijau memiliki
watak segar, muda, hidup dan tumbuh, dibandingkan dengan warna-
warna lain, warna hijau relatif lebih netral terhadap pengaruh
emosinya sehingga warna hijau cocok untuk istirahat. Hijau sebagai
pusat spektrum memberikan keseimbangan yang sempurna dan
27
sebagai sumber kehidupan. Warna hijau melambangkan kesuburan,
kesetiaan, kebangkitan, kepercayaan, kealamaian, keseimbangan dan
kelarasan (Sanyoto, 2009:49).
d) Warna kuning adalah warna yang berasosiasi pada sinar matahari yang
menunjukkan keadaan terang dan hangat. Warna kuning mempunyai
karakter gembira, ramah, hangat dan warna kuning melambangkan
kecerahan kehidupan, kemenangan, kegembiraan, peringatan dan
humor (Sanyoto, 2009:46).
Penggunaan atau penerapan warna memberikan ciri atau karakter pada
sebuah desain, hal ini dipengaruhi dalam menciptakan suasana yang
menyenangkan bagi penggunanya.
8. Seragam
Seragam merupakan salah satu bagian dari busana, dan busana merupakan
istilah yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu “bhusana” dan istilah popular
dalam bahasa Indonesia yaitu “busana” yang dapat diartikan “pakaian”. Namun
demikian pengertian busana dan pakaian terdapat perbedaan di mana busana
mempunyai konotasi “pakaian yang bagus atau indah” yaitu pakaian yang serasi,
harmonis, selaras, enak dipandang, nyaman melihatnya, cocok dengan pemakai
serta sesuai dengan kesempatan. Sedangkan pakaian adalah bagian dari busana itu
sendiri (Ernawati,dkk, 2008 : 24).
Berbusana dibagi menjadi beberapa kategori salah satunya sesuai dengan
kesempatan, berbusana menurut kesempatan berarti kita harus menyesuaikan
busana yang dipakai dengan tempat ke mana busana tersebut akan kita pakai,
28
karena setiap kesempatan menurut jenis busana yang berbeda baik dari segi
desain, bahan, maupun warna dari busana tersebut. Salah satunya yaitu busana
kerja. Busana kerja oleh Ernawati, dkk diartikan sebagai busana yang dipakai
untuk melakukan suatu pekerjaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Busana
kerja banyak macamnya, sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Jenis pekerjaan
yang berbeda menuntut pula perbedaan model, bahan dan warna yang diperlukan.
(Ernawati, dkk. 2008 : 32)
Sejak manusia mengenal peradaban pakaian seragam telah di kenal
keberadaannya. Di Indonesia pakaian seragam sudah ada sejak zaman sejarah, hal
ini dapat di lihat dari relief-relief di candi atau dapat dilihat di dalam kitab kuno.
Umumnya kerajaan-kerajaan tempo dulu sudah menerapkan pakaian seragam
untuk menegakkan keteraturan, ketertiban dan wibawa pemerintahan. Era modern
sekarang ini pakaian seragam mengalami banyak perkembangan yang melingkupi
berbagai segi seperti sekitar kita banyak yang mengenakan pakaian seragam,
misalnya segam pramuka, SD, SMP, SMU, Korpri, Pegawai Pos dan Giro (contoh
yang disebutkan tadi adalah sebagian kecil dari pakaian yang ditetapkan oleh
Pemerintah, yang menekankan faktor fungsional dan kesederhanaan) (Astuti,
2002 : 6).
Menurut Wancik dalam bukunya Bina Busana, pengertian pakaian
seragam merupakan model dan bahan pakaian bagian atas dan bawah sama.
Artikel Batik sebagai seragam kerja untuk PNS menjelaskan seragam adalah
sesuatu yang wajib dikenakan para pegawai, baik pegawai dalam lingkungan kerja
formal dan lingkungan kerja non-formal. Seragam kerja PNS bermotif batik ini
29
membantu mengenalkan batik di masyarakat dan dapat menjadi baju yang
menjadi ciri khas (artikel.rumahjait.com diakses pada 09-12-2015, pukul 19.30)
Fungsi seragam kerja sebagai identitas harus dipakai oleh disaat pegawai
berada pada jam kerjanya. Setiap pegawai harus memakai seragam kerja supaya
dengan mudah diketahui profesi yang dimiliki. Seragam akan membentuk
identitas pegawai tersebut sesuai denga profesinya dan pakaian seragam dapat
menjadi ciri pembeda yang berkaitan dengan status sosial, politik, ekonomi dan
profesi.
Selain sebagai suatu identitas diri, seragam memiliki arti lain seperti
mewakili suatu instansi yang berkaitan dengan membawa visi dan misi dari
instansi terkait. Penggunaan seragam juga memiliki arti didalamnya seperti dari
motif, corak, warna hingga susunannya.
Pada penetapan Batik sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada
tanggal 2 Oktober 2009 (Lisbijianto, 2013 : 6), batik di Indonesia mulai
berkembang lagi dan banyak kalangan yang menggunakan batik sebagai salah
satu busana baik busana pesta, busana sehari-hari maupun seragam. Seragam di
Kabupaten Karanganyar pada saat periode pemerintahan tahun 2009 – 2013,
seragam PNS yang dipakai merupakan motif Srikandi. Sedangkan pada periode
pemerintahan tahun 2014 hingga saat ini, motif yang dipakai merupakan motif
Batik Tirta Intanpari, yang diperoleh dari hasil sayembara yang dilakukan oleh
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan pada tahun 2014 dan sesuai dengan Perintah
Bupati SK TIM SKPD Kepala Dinas No 027/03/IX/PPBJ-DISPARBUD
30
pemakaian seragam batik Tirta Intanpari ini dipakai setiap hari kamis dimulai
pada hari jadi Kabupaten Karanganyar yaitu tanggal 26 November 2014.
9. Metode Komparatif
Komparatif yang diadopsi oleh bahasa Indonesia dari bahasa Inggris yakni
comparative berasal dari bahasa Latin yakni comparativus yang berarti
kemampuan menggunakan metode untuk mengetahui persamaan atau perbedaan
yang ditentukan dengan pengujian secara simultan dari dua hal atau lebih. Kata ini
dalam bahasa Indonesia selanjutnya disebut dengan komparatif, sedangkan
compare berarti menguji karakter atau kualitas terutama untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan-perbedaan, kata ini selanjutnya dalam bahasa Indonesia
disebut dengan komparasi.
Tanpa menelusuri lebih jauh asal usulnya dapat diduga bahwa cara-cara
perbandingan, model-model komparatif baik dalam kehidupan praktis sehari-hari
maupun sebagai cara-cara ilmiah dalam penelitian, sudah digunakan sejak lama.
Kehidupan dalam masyarakat kita selalu membandingkan suatu objek dengan
objek lain, melalui perbandingan objek yang dimaksudkan dapat di ukur
kualitasnya. Dengan singkat, tanpa perbandingan proses penilaian pada dasarnya
tidak ada. Berat ringan, tinggi rendah, kaya miskin, dan sebagainya diperoleh
dengan cara membandingkan objek yang berbeda-beda. Dengan membanding-
bandingkan, akan adanya pengetahuan terhadap kekurangan atau kelemahan suatu
objek terhadap objek lain akan menimbulkan usaha untuk memperbaiki
kekurangan yang ada. Konsep-konsep perbandingan pada gilirannya berfungsi
untuk memicu perkembangan kebudayaan (Ratna, 2010 :332-333).
31
Metode komparatif ini dilakukan dengan membandingkan dua objek yang
diduga memiliki persamaan dan perbedaan, seperti perbandingan kehidupan
masyarakat petani dengan nelayan atau perbandingan kehidupan baik petani
maupun nelayan sebelum dengan sesudah dipengaruhi oleh industri pariwisata.
Permasalahan yang dianalisis misalnya, perbedaan jam kerja, perbedaan
penghasilan, hubungan sosial dalam kaitannya sistem religi, termasuk perilaku
dalam mengelola penghasilan yang diperoleh.
Metode komparatif pada gilirannya bersifat ex post facto, pengumpulan
data melalui kejadian yang sudah selesai. Oleh sebab itu salah satu kelemahan
metode ini tidak mungkin mengetahui penyebab yang digunakan sebagai dasar
pembanding sebab tidak mempunyai kontrol terhadap variabel bebas. Untuk
mengatasinya maka peneliti harus melipatgandakan argumentasi yang
memungkinkan terjadinya hubungan kausal dan praduga-praduga dalam rangka
menarik suatu simpulan (Ratna, 2010 : 334). Data yang telah dikumpulkan
setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Peneliti
mengambil satu atau lebih akibat (sebagai “dependent variabels”) dan menguji
data itu dengan menelusuri kembali ke masa lampau untuk mencari sebab-sebab,
saling hubungan, dan maknanya. Gleser dan Straus mengintroduksi perbandingan
konstan, membandingkan kejadian pada setiap kategori yang artinya peneliti
mencatat kejadian sebanyak mungkin dalam setiap kategori, dilanjutkan dengan
memadukan kategori dengan ciri-cirinya.
Dikaitkan dengan variabelnya, metode komparatif ada dua macam, yaitu
komaparatif deskripif dan komperatif korelasional. Metode pertama
membandingkan dengan cara menguraikan, metode kedua membandingkan
32
dengan cara menghubungkan secara timbal balik, sebagai sebab-akibat. Baik
metode pertama maupun kedua dilakukan dengan membandingkan variabel yang
sama dalam kaitannya dengan sampel yang berbeda, seperti perbedaan motivasi
kerja ( sebagai variabel bebas) terikat. Kedua metode juga dapat dilakukan
terhadap variabel yang berbeda untuk memahami sampel yang sama, seperti
perbedaan pengaruh pornografi dalam buku bacaan dengan film terhadap anak-
anak SMA. Pada dasarnya kedua metode hanya berbeda secara teoritis. Dalam
proses penelitian keduanya sulit dipisahkan sehingga metode yang dimaksudkan
lebih tepat disebut sebagai komparatif deskriptif korelasional. (Ratna, 2010 : 334-
335).
B. Kerangka Pikir
Munculnya Sayembara Desain Motif Batik
di Kabupaten Karanganyar
Metode Komparatif
Sebab-akibat (kausal)
Deskriptif (uraian)
Perubahan warna dan motif dari
seragam motif batik Tirta
Intanpari
Perbandingan desain dan
realisasi seragam motif batik
Tirta Intanpari
33
Fenomena munculnya desain seragam pegawai Pemerintahan di beberapa
daerah di Indonesia mendorong Pemerintah Kabupaten Karanganyar untuk
mengadakan sayembara desain motif batik untuk dijadikan seragam pegawai di
Kabupaten Karanganyar. Perlombaan desain motif batik ini dengan melihat
potensi yang berada di Kabupaten Karanganyar yaitu potensi pariwisata dengan
khas tradisional Jawa yang dituangkan dalam desain motif batik.
Motif batik dalam seragam Pegawai dapat dikaji dengan menggunakan
metode komparatif, karena didalam metode ini dapat melihat perbandingan
sebab-akibat yang dihasilkan dari desain motif batik Tirta Intanpari karena dari
hasil realisasi berbeda dengan awal desain yang dimenangkan. Metode inilah tepat
dalam mengkaji desain motif seragam Pegawai Kabupaten Karanganyar dalam
menggali potensi pariwisata yang ada serta membantu penampilan desain motif
batik Seragam Tirta Intanpari sebagai salah satu ciri khas motif batik Kabupaten
Karanganyar dan identitas dari daerah tersebut. Metode komparatif ini digunakan
untuk melihat perbandingan sebab-akibat dari desain dihasilkan dari awal
sayembara hingga realisasi menjadi seragam.