bab ii makna doktrin sebagai sumber...

20
25 BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUM A. Scientia JurisLegal Dogmatics Perlu diketahui bahwa pemaknaan doktrin di sini adalah pada batasan doktrin hukum (legal doctrine; doctrine of law). Artinya bahwa pemaknaan atau doktrin yang dimaksud dalam penulisan ini senada dengan yang diungkapkan Peczenik, “The so-called doctrine is of significant importance for legal reasoning. The word “doctrine” refers first of all to the professional legal writing in legal dogmatics, whose task is to systematise and interpret valid law”. 1 Dari referensi berbeda sebagaimana dilansir dari Black’s Law Dictionary, doctrine: “. 1. A principle, esp. a legal principle, that is widely adhered to.” 2 Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai prinsip terutama prinsip hukum yang secara luas dianut. Namun, doktrin memiliki pengertian tidak sebatas itu melainkan juga dengan pengertian yang lebih luas dan mendalam. Guna pemahaman yang lebih mendalam, Peczenik juga menyatakan sebagaimana pada intinya sudah disinggung pada awal paragraf ini, untuk memulai dengan beberapa fakta mengenai doktrin (scientia iuris, Rechtswissenschaft, Rechtsdogmatik, ``doctrine of law,'' legal 1 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Springer, Lund University, Sweden, 2008, h.295. 2 Black’s law Dictionary 8th edition, Op.Cit, h.1457.

Upload: phungkhuong

Post on 16-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

25

BAB II

MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUM

A. Scientia Juris—Legal Dogmatics

Perlu diketahui bahwa pemaknaan doktrin di sini adalah pada batasan

doktrin hukum (legal doctrine; doctrine of law). Artinya bahwa pemaknaan

atau doktrin yang dimaksud dalam penulisan ini senada dengan yang

diungkapkan Peczenik, “The so-called doctrine is of significant importance

for legal reasoning. The word “doctrine” refers first of all to the

professional legal writing in legal dogmatics, whose task is to systematise

and interpret valid law”.1 Dari referensi berbeda sebagaimana dilansir dari

Black’s Law Dictionary, doctrine: “. 1. A principle, esp. a legal principle,

that is widely adhered to.”2 Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai

prinsip terutama prinsip hukum yang secara luas dianut. Namun, doktrin

memiliki pengertian tidak sebatas itu melainkan juga dengan pengertian yang

lebih luas dan mendalam. Guna pemahaman yang lebih mendalam, Peczenik

juga menyatakan sebagaimana pada intinya sudah disinggung pada awal

paragraf ini, untuk memulai dengan beberapa fakta mengenai doktrin

(scientia iuris, Rechtswissenschaft, Rechtsdogmatik, ``doctrine of law,'' legal

1 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Springer, Lund University, Sweden,

2008, h.295.

2 Black’s law Dictionary 8th edition, Op.Cit, h.1457.

Page 2: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

26

dogmatics) bahwa: “Legal doctrine in Continental European law (scientia

iuris) consists of professional legal writings, e.g., handbooks, monographs,

etc., whose task is to systematize and interpret valid law.”3 Berangkat dari

apa yang dikatakan Peczenik, nampak suatu gambaran bahwa doktrin

sebagai teachings dari para ahli hukum yang mana mengelaborasi valid law

untuk diintrepetasi dalam suatu pemikiran yang tersistematisasi. Selanjutnya

ia menyatakan:

“..., legal doctrine aims to present the law as a coherent net of

principles, rules, meta-rules, and exceptions, at different levels of

abstraction, connected by support relations. The argumentation used

to achieve coherence involves not only description and logic but also

evaluative (normative) steps.” 4

Terlihat pokok pikiran yang bermaksud untuk menjelaskan bagaimana

sebenarnya doktrin memiliki makna sebagai sistematisasi dari hukum itu

sendiri. Suatu pemikiran yang berusaha ditunjukkan melalui metafora bahwa

doktrin bermaksud bagaikan jaring yang saling mengikat dan berhubungan

satu dengan yang lain. Sejalan dengan itu, Pattaro juga mengemukakan

bahwa doktrin merupakan “expotition of the law”5. Doktrin disebut bahkan

3 Aleksander Peczenik, Ratio Juris. Vol. 14 No. 1, A Theory of Legal Doctrine,

Ebsco Publishing, 2003, h.75.

4 Ibid.

5 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General

Jurisprudence, Vol.4: Scientia Juris, Legal Doctrine as Knowledge of Law and as Source of

Law, Dordrecht, 2005, h.1.

Page 3: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

27

sebagai penjelasan yang terperinci mengenai hukum. Dengan penjelasan

demikian maka dalam hal ini makna doktrin ialah lebih kepada suatu ajaran

(teachings) yang mana pada isinya yaitu dalam rangka bagaimana

menjelaskan hukum sebagai suatu sistem. Penjelasan yang terperinci

mengenai hukum yang dijelaskan Pattaro berangkat dari produk aktifitas ahli

hukum, sebagaimana ia mengemukakan dalam tulisannya:

“The term “legal doctrine” refers in this volume to the activity of

scholars as well as to the products of this activity, that is, to the

content of books and research. My original intention was to write

about the products rather than about the activity. But an

understanding of the products very often requires reference to the

activity.”6

Namun demikian, meskipun doktrin berasal dari pemikiran para ahli

hukum dalam menjelaskan hukum sebagai sistem, bukan berarti doktrin pada

pembahasan ini adalah bebas nilai. Karena bisa saja terjadi doktrin diartikan

sebagai produk dari pemikiran yang spekulatif. Spekulatif dalam artian

ketiadaan koherensi dari alur penalaran untuk memproduksi pokok pikiran

yang bisa juga nantinya menjadi doktrin. Justru pada tulisan ini ingin

ditunjukkan posisi doktrin yang sarat nilai (value-laden). Sebagaimana yang

dikatakan juga oleh Peczenik bahwa:

“The work of legal doctrine is almost always value-laden. Legal

doctrine is a good example of a practice of argumentation, pursuing

6 Ibid, h.2.

Page 4: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

28

knowledge of the existing law, yet in many cases leading to a change in

the law.”7

Bahkan dikatakan manakala doktrin merupakan contoh yang baik pada

bagaimana menerapkan argumentasi dan mendorong bagi pengembangan

pengetahuan tentang existing law, serta pada situasi tertentu membawa

perubahan pada hukum. Berbicara mengenai doktrin yang sarat nilai itu,

Pattaro menjelaskan tentang bagaimana pengaruh atau peran dari doktrin

yang salah satunya adalah “promoting justice and morality, as by

interpreting old law in a new way.”8 Nampak bahwa doktrin tidak bebas

nilai. Doktrin memiliki peran untuk mempromosikan keadilan dan moralitas.

Oleh sebab itu, seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa doktrin

dalam hal ini merupakan produk pemikiran yang sejalan hukum. Sebab

hukum mencerminkan keadilan dan moralitas itu sendiri.

Selain mempromosikan keadilan dan moral tentunya, doktrin sendiri

secara terperinci memiliki peran yang begitu penting. Tampak dari apa

sebenarnya yang ‘dilakukan’ doktrin yang dilansir dari pendapat Peczenik

dan Hage sebagai berikut.

analysis of particular cases; mapping of possibilities, e.g., listing

of possible interpretations of a statute;

7 Aleksander Peczenik, Ratio Juris, Op.Cit, h.76.

8 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence

Vol.4, Op.cit, h.6.

Page 5: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

29

systematisation of law under abstract principles provided by

general doctrines, such as the above-mentioned doctrine of `

`adequate' ' causation, negligence, intent, rebus sic stantibus in

contract law, doctrines stating the goal of punishment

(treatment, deterrence, retribution etc.);

development of jurisprudence (legal theory) with normative

consequences, e.g., various doctrines of statutory interpretation;

doctrines of the internal system of the law etc.; doctrines about

the sources of the law;

development of moral-philosophical doctrines; e.g., philosophy

of justice behind the doctrine of ` `adequate' ' causation and,

finally,

explication of basic philosophical positions behind jurisprudence

and moral philosophy.9

Doktrin memang sangat erat dengan perannya untuk menginterpretasi

peraturan perundang-undangan. Oleh karena, dalam kasus-kasus tertentu

butuh suatu penjelasan yang membimbing (guidance) terutama ketika hakim

dalam menangani perkara. Agar suatu hal yang berkaitan dengan perkara

yang ditangani jelas dan terang tentunya hakim ‘meminta bantuan’ dari

doktrin-doktrin yang relevan untuk itu. Seperti yang diketahui, dalam hukum

terdapat prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip yang cenderung abstrak dalam

hukum disistematisasi oleh doktrin dalam rangka pencapaian suatu

pengertian yang lebih jelas. Peranan berikutnya sebagaimana kutipan di atas

merupakan peran yang cukup vital bahwa demi pengembangan ilmu hukum.

9 Aleksander Peczenik and Jaap Hage, Ratio Juris. Vol. 13 No. 3, Legal

Knowledge about What?, Blackwell Publishers Ltd, 108 Cowley Road, Oxford OX4 1JF, UK

and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA, 2000, h.334.

Page 6: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

30

Pengembangan ilmu hukum tidak akan lepas dari peran para yuris/legal

scholar dalam karya-karya akademik mereka. Berangkat dari peranan-

peranan tersebut, pada tingkat filosofis sebagaimana kacamata Penulis

menggunakan Natural Law, doktrin memiliki peran untuk pengembangan

doktrin mengenai posisi moral itu sendiri. Peranan-peranan ini begitu penting

berkaitan dengan pemaknaan doktrin, sebab doktrin dalam arti scientia juris

berputar pada isu-isu peranan tersebut.

Adapun Shecaira memberikan standar dari doktrin yang mana pada

poinnya yang pertama sangat berkaitan erat dengan karakter hukum yang

preskriptif. Sebagaimana juga sejalan dengan teori hukum alam mengenai

apa yang seharusnya (“ought”).

“So what is standard legal scholarship? It can be identified by

reference to three related characteristic: (1) it is prescriptive; (2) it is

directed not only at other scholars but also at legal officials and

practitioners; and (3) it employs a discourse and style of argument that

is typical of the legal professionals who form part of its audience.”10

Berkaitan dengan poinnya yang pertama yaitu preskriptif Shecaira

mengemukakan:

“First, to say that standard legal scholarship is prescriptive is not to

say that it necessarily formulates its theses in terms of “ought”

(scholars, like judges, often prefer to present their views in terms of

10 Fabio P. Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Springer, London,

2013, h.36

Page 7: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

31

what the law “is” or “requires”) but rather that it is capable of

providing (as opposed to simply reporting officially sanctioned)

solutions to fairly specific legal questions.”11

Dalam hal ini doktrin diposisikan dalam rangka memberikan solusi

terhadap isu hukum yang lebih spesifik. Namun, berangkat dari kutipan di

atas, Penulis tidak bersetuju ketika Shecaira mengatakan walaupun doktrin

itu preskriptif tetapi tidak mengatakan itu berarti merumuskan thesis dalam

hal apa yang seharusnya (“ought”). Ada ketidak-konsistenan ketika Shecaira

mengemukakan demikian. Ketika doktrin itu preskriptif, sudah tentu dalam

rumusannya haruslah preskriptif walaupun dikatakan biasanya hakim lebih

memilih untuk mengemukakan pandangannya sendiri mengenai apa itu

hukum. Ia mengatakan standar preskriptif tersebut ialah dalam rangka

memberikan solusi terhadap isu hukum. Bagaimana doktrin akan

memberikan solusi ketika ternyata dalam formulasinya tidaklah mengenai

apa yang seharusnya (“ought”) tetapi lebih kepada ‘kemauan’ hakim dalam

memandang hukum. Oleh karena itu, Penulis berpendapat akan lebih

konsisten ketika para legal scholar termasuk hakim pun dalam menjawab isu

hukum dirumuskan dalam kerangka yang juga preskriptif. Mengingat juga

dengan yang dimaksudkan dalam natural law mengenai apa yang seharusnya

(“ought”).

11 Ibid.

Page 8: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

32

Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan, juga penting

dilihat karakteristik dari doktrin itu sendiri. Nampak dari yang dijelaskan

oleh Pattaro,

“Thus, legal doctrine appears to be descriptive and normative at the

same time. Dreier (1981, 90ff.) makes the following example. Consider

two competing theories in contracts, the will theory and the

declaration (reliance, trust) theory. According to the first, a party is in

principle not bound by declared contract terms that unintentionally

end up conflicting with the real will expressed when concluding the

contract. According to the second, the declared will takes precedence

over factual will, because the other party must go by what was stated.

How does one test which theory is right? If the theories are

descriptive, the test is in their coherence with the words of the statute

and with factual judicial practice. If the theories are normative, the

ultimate test lies in the justice and reasonableness of their

consequences. In practice, both kinds of testing take place.”12

Selain batasan dari pengertian maupun konsep yang disebutkan di atas,

doktrin juga dibatasi dalam karakteristiknya. Doktrin dikatakan memilliki

karakteristik yang deskriptif dan juga normatif. Karakter yang deskriptif

ialah terletak pada koherensinya pada peraturan perundang-undangan dan

praktek peradilan sedangkan karakter normatif pada keadilan dan batas

kewajaran. Dalam kutipan tersebut jelas terlihat bahwa pengertian doktrin

dalam karakter deskriptif bukan dalam arti empiris. Artinya, doktrin yang

dimaksud bukan ketika menjelaskan suatu peristiwa secara deskriptif seperti

12 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General

Jurisprudence Vol.4, Op.cit, h.5

Page 9: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

33

halnya pada ilmu sosial. Karakter yang deskriptif itu diperjelas dengan

karakter berikutnya tersebut yang mana ketika dilihat dari sudut pandang

ilmu sosial sangat dibedakan pengertian secara empiris yang senyatanya dan

normatif yang seharusnya. Dengan demikian, karakteristik tersebut

sebetulnya telah menonjolkan batasan dari doktrin itu sendiri.

Selain pada maknanya doktrin—legal doctrine—sebagai teachings

atau ajaran dalam rangka membuka cakrawala berpikir (knowledge), sisi

yang lain dari doktrin adalah sebagai sumber hukum. Sumber hukum

merupakan landasan argumentasi, apalagi dalam praktik ajudikasi yang

notabene harus memberikan hasil solutif sejalan dengan hukum. Sumber

hukum memberikan batasan mana yang sesuai dan mana yang ‘offside’

menurut hukum. Seperti dikatakan Aarnio,

“The doctrine of the sources of law is thus a cornerstone of

argumentation. It draws a boundary between what is legal and what is

not... In a way, the sources of law locate the limit of law. However, the

source problem is only a part of a more fundamental problem with the

limits of law.” 13

Landasan argumentasi tersebut adalah dalam bentuk batasan antara

what is legal and what is not. Sumber hukum ditempatkan untuk

memberikan arena batas dari hukum. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri

13 Aulis Aarnio, Essays on the Doctrinal Study of Law, Springer, Dordrecht, 2011,

h.147.

Page 10: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

34

arti pentingnya sumber hukum sebagai landasan argumentasi khususnya

dalam proses ajudikasi. Hakim dalam memutus suatu perkara tentunya harus

memperhatikan landasan argumentasi yang justifiable. Oleh karena itu,

proses legal reasoning merupakan hal yang tak bisa diabaikan. Sebagaimana

pula dinyatakan Aarnio bahwa: “For the above reasons, the doctrine of the

sources of law doctrine has been an essential part of the theory of legal

reasoning, and as such very much discussed,...”14 Alasan digunakannya

sumber hukum ialah karena merupakan bagian esensial dari proses legal

reasoning. Artinya, adalah bisa dikatakan sebuah aksioma ketika

digunakannya sumber hukum dalam proses legal reasoning.

Doktrin sebagai sumber hukum adalah otoritatif. Otoritatif dalam

makna kewibawaan. Doktrin berada pada posisi otoritatif atau memiliki

wibawa bagi para yuris. Sebagaimana yang dikatakan Pattaro,

“Legal doctrine is a source of law that a jurist may take into account

as an authority reason. In other words, one may pay attention to theses

developed in legal writing not only because of the quality of the

reasons proffered therein, but also due to the authoritative position

that legal writers occupy. It is a well-known phenomenon that a

doctoral dissertation gains in authority the moment its author becomes

a professor of law.”15

14 Ibid.

15 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General

Jurisprudence Vol.4, Op.cit, h.17.

Page 11: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

35

Nampak dari kutipan tersebut bahwa doktrin sebagai sumber hukum

memiliki sifat otoritatif bagi para yuris. Bahkan dikatakan tidak hanya bahwa

dalam artian bagaimana kualitas argumentasi (the quality of reason), tetapi

juga posisi otoritatif—wibawa—yang ditempati para penulis hukum. Sama

halnya dengan yang ia katakan ketika disertasi doktoralnya menjadi

otoritatif/berwibawa bersamaan saat ia menjadi profesor hukum.

Kewibawaan doktrin sebagai sumber hukum juga oleh karena bagaimana

doktrin memberikan deskripsi rasional dan ‘memurnikan’ hukum, serta

menjelaskan apa sebenarnya hukum itu.

“Legal doctrine has been a source of law of varying importance in the

course of history. But legal doctrine is more than merely a source of

law. It is a rational description and refining of the law, and it claims

(at least occasionally) to tell us what the law actually is. In other

words, legal doctrine has a twofold nature: It is, on the one hand, a

relatively subordinated source of law and, on the other, the best

presentation of the law itself.”16

Dengan demikian, doktrin memiliki wibawa atau otoritatif.

Bahwasanya doktrin bukan hanya sekedar sumber hukum, tetapi doktrin

adalah lebih dari itu. Berangkat dari Pattaro menjelaskan:

“Why is legal doctrine authoritative? The answer is, because of the

quality of argumentation it typically produces. Legal doctrine delivers

rational arguments; hence the presumption that it should be regarded

16 Ibid.

Page 12: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

36

as authoritative. A more profound answer is that it gains authority

because pro tanto well in-formed, coherent, and just.

Thus, legal doctrine converts reason into authority.”17

Berdasarkan dari penjelasan-penjelasan demikian, Penulis memaknai

doktrin sebagai ajaran (teachings)—mengenai hukum—dan selain itu juga

sebagai sumber hukum (source of law). Doktrin memberikan penjelasan

yang terintegrasi mengenai hukum itu sendiri dalam rangka penguatan dan

pengembangan pengetahuan (knowledge) hukum. Lepas dari itu, doktrin juga

dalam maknanya sebagai sumber hukum yang memberikan deskripsi

rasional, koheren, dan apa yang secara moral benar dan adil.

B. Bukan Scientia Juris bukan Doktrin

Sebagaimana dalam batasan bahwa doktrin yang dimaksud di sini

adalah scientia juris, maka semua karya akademik di luar itu bukanlah

doktrin. Pembedaan terhadap mana yang scientia juris dan kajian eksternal

lain sangat vital untuk supaya dipahami. Meskipun dalam praktek peradilan,

semua karya akademik termasuk kajian di luar hukum mempunyai pengaruh

yang kuat. Dalam hal ini mengapa harus dibedakan, karena dalam konteks

yang lebih luas doktrin merujuk pada karya akademis yang tak berkait

langsung dengan hukum atau dengan kata lain disiplin ilmu yang menjadikan

hukum sebagai objek kajian, seperti sejarah hukum, sosiologi hukum, hukum

17 Ibid.

Page 13: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

37

dan ekonomi, filsafat hukum dan lain-lain. Semuanya itu memiliki andil

dalam mempengaruhi hakim dalam memutus. Akan tetapi, pengaruh itu

hanya sebatas pedoman intepretasi dalam rangka membuat keputusan.

Rujukan terhadap doktrin yang bukan produk dari ilmu hukum hanyalah

menjadi pedoman interpretasi belaka dan tidak dalam arti sumber hukum.

Hal ini tampak dari apa yang dikatakan Peczenik bahwa,

“The word “doctrine” may also refer, in some contexts, to other types

of legal writing, such as history of law, sociology of law, law and

economics, philosophy of law etc. In legal reasoning performed within

legal research, importance of previous research is obvious.” 18

Di sisi lain dalam segala pembedaannya yang mana sangat penting

untuk dipahami ketika mengambil keputusan, ternyata bukan hanya hakim

saja, seluruh kaum yuris secara luas pun apakah itu pada mahasiswa hukum,

dalam berpaktek administrasi, maupun para profesional hukum yang lain

dipengaruhi oleh doktrin. Sebagaimana Peczenik melanjutkan,

“The author of a legal writing must, of course, pay attention to existing

literature concerning the discussed matter. But the doctrine also

influences legal reasoning in judicial and administrative practice. The

mandatory literature affects all students of law, including future judges

and officials. The outstanding legal researchers, appointed as high

judges or members of a legislative committee, continue to pay attention

18 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Springer, Lund University, Sweden,

2008, h.295.

Page 14: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

38

to the professional literature which have been a necessary tool of their

profession.”19

Sebagaimana telah dijelaskan, selain dalam artian scientia juris, dalam

konteks yang lebih luas terdapat kajian-kajian ilmiah mengenai hukum—tak

berkait langsung dengan hukum—yang mana pada dasarnya itu tidak dalam

posisi sebagai sumber hukum tetapi hanya sebatas pedoman hakim dalam

interpretasi. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Shecaira, bahwa,

“On the broadest meaning of the term, any intellectual enterprise that takes

law as its central subject matter would count as an exercise in legal

scholarship.”20 Ia pula melanjutkan lalu mencontohkan doktrin dalam

konteks yang lebih luas,

“Philosophy of law, law and economics, law and literature, critical

legal theory, sociology of law, legal history, legal anthropology,

comparative law, inquiries into international law, and inquires into the

laws of any national jurisdiction are perhaps the most common

examples of legal scholarship in the broad sense. They are examples of

intellectual undertakings that have law as their central subject

matter.”21

Oleh sebab doktrin memiliki konteks yang lebih luas, maka perlu

ditekankan lagi bahwa kajian-kajian atau produk intelektual lainnya di luar

19 Ibid.

20 Fabio P.Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Springer, London,

2013, h.35.

21 Ibid, h.36.

Page 15: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

39

scientia juris hanya sebatas bahan bagi hakim untuk membuat lebih jelas dan

terang mengenai kasus tertentu (particular case). Artinya, material-material

yang tidak berkaitan langsung dengan hukum tersebut bukan menjadi sumber

hukum. Contohnya ketika misalnya dalam suatu perkara hak asuh anak.

Hakim dalam mengambil sikap terhadap perkara tersebut tentu secara hukum

harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak. Namun, untuk

memutuskan mana yang terbaik bagi kepentingan anak, secara psikologis—

nonhukum—harus diketahui bagaimana misalnya seharusnya dipenuhi

tumbuh kembang anak itu. Hal tersebut tidak akan didapatkan dalam prinsip

hukum, melainkan pada ilmu psikologi. Oleh karenanya, hakim harus

menggali dengan misalnya mempelajari hal-hal tertentu di bidang psikologi

melalui berbagai referensi atau mengundang saksi ahli psikologi dalam

sidang perkara tersebut. Contoh-contoh seperti ini, apakah itu ilmu psikologi,

ilmu kedokteran, dan lain sebagainya, agar hakim mengerti mengenai kasus

tertentu bisa mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Tetapi

contoh tersebut bukanlah doktrin melainkan menurut Marzuki merupakan

bahan nonhukum.22 Bahan nonhukum ini bisa saja digunakan dalam

pengadilan untuk memberi pengertian tertentu bagi hakim.

22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi. Op.Cit, h.204-206.

Lihat bahasan pada Sub-bab mengenai “Bahan-bahan Nonhukum”.

Page 16: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

40

Penekanan atas produk intelektual lainnya yang hanya menjadi bahan

supaya memperjelas kasus tertentu bukan menjadi sumber hukum, juga

diungkapkan oleh Shecaira bahwasanya,

“A truly general account of legal scholarship would have to say

something substantive about all these very different intellectual

enterprises that have law as their central subject matter. I, however,

am interested in discussing legal scholarship as a source of law. In

view of this, I will focus hereafter on one particular kind of legal

scholarship. It is the sort of legal scholarship that is most likely to

serve the function of a souce of law in modern municipal legal systems,

i.e. the sort of legal scholarship that judges in such systems are most

likely to treat as providing norms that function as (more or less

weighty) content-independent reasons for deciding cases in a

particular way. I will be focusing on a sort of legal scholarship that is

often described by legal scholars as “standard” (or “conventional” or

“traditional” or “normal”).”23

Shecaira menambahkan bahwa, “... standard scholarship does not

freely employ extra-legal arguments; it argues fundamentally on the basis of

legal doctrine, that is, on the basis of rules established in traditional sources

of law, such as precedent, legislation and custom.”24 Jadi, dari kutipan ini,

doktrin tidak bebas sepenuhnya untuk menggunakan argumen yang extra-

legal. Karena, doktrin sebetulnya penggunaannya ialah dalam kerangka

prinsip di mana yang dibangun sebagaimana dalam sumber hukum

tradisional. Sehubungan dengan pembedaan antara doktrin dengan kajian-

23 Ibid.

24 Ibid, h.37

Page 17: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

41

kajian lain terutama yang menjadikan hukum sebagai objek, Westerman juga

menjelaskan,

“... the term ‘legal doctrine’ for the type of research, sketched above,

which draws on the legal system as the main supplier of concepts,

categories and criteria. The term ‘legal science’, although a rather

bizarre term in the english speaking world, can then be used in order

to denote a mixed bag of other non-legal disciplines that study the law

from an independent theoretical framework, which consists of

concepts, categories and criteria that are not primarily borrowed from

the legal system itself. These may include historical studies,

sociological research, philosophy, political theory and economy.”25

Dibandingkan dengan kajian yang lain, yang mana dalam bahasa

Westerman menyebutnya sebagai “legal science” yang menunjukkan

campuran disiplin nonhukum, doktrin ialah sebagai pemasok utama dari

konsep, kategori, maupun kriteria. “Legal science” ibaratnya hanyalah

meminjam konsep dari hukum itu sendiri. “Legal science” berdiri di atas

kakinya sendiri dan hanya menjadikan hukum sebagai objek amatan.

Selanjutnya Westermen memberi penjelasan, terkait pula penekanan akan

bedanya doktrin dengan kajian akademis lain sebagaimana telah disebutkan

di atas,

25 Pauline C Westerman, Open or autonomous? The debate on legal Methodology

as a Reflection of the Debate on Law, disunting oleh Mark Van Hoecke, Methodologies of

Legal Research, Which Kind of Method for, What Kind of discipline?, European Academy

of Legal Theory Monograph Series, Hart Publishing, Oxford and Portland, Oregon, 2011,

h.94.

Page 18: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

42

“These disciplines, different as they may be, are marked by a more or

less independent theoretical perspective and thus do not share the

characteristics mentioned above. They may be normative – as political

theory or philosophy – but they are not necessarily so. In judging and

evaluating a certain legal arrangement they may be informed by legal

principles and other criteria that are generally respected within the

legal system, but not necessarily so, and more often than not they go

‘beyond’ these principles by examining and questioning their status as

such. These disciplines may also be practice-oriented, such as

economy or sociology, aiming at either enhancing effectiveness or

efficiency, but they do not restrict themselves to enquiries concerning

the best legal arrangements. they may include other means in order to

maximise these virtues. Unlike legal doctrine, the features of legal

science are not bound up with the features of the legal system. The

degree to which they address an international audience, as well as the

degree of innovation are not determined by the degree of

internationalisation and innovation by the legal system. these features

are determined by the theoretical perspective, which is, in the case of

these disciplines, independent from the legal system.”26

Kajian-kajian di luar hukum yang menjadikan hukum hanya sebagai

objek sebagaimana dimaksud di atas mungkin saja normatif seperti halnya

hukum atau secara spesifik doktrin (scientia juris) itu sendiri. Akan tetapi,

kajian-kajian tersebut tidak selalu normatif. Dalam mengkaji pengaturan

hukum tertentu kajian ini bisa saja menggunakan prinsip-prinsip hukum

sebagai acuan, tetapi sekali lagi tidak selalu begitu. Kajian-kajian ini justru

lebih sering keluar dari prinsip-prinsip hukum dan lebih banyak

mempertanyakan, juga lebih berorientasi praktek. Apakah itu berbicara

mengenai efektifitas dan efisiensi bukan justru mempertanyakan bagaimana

26 Ibid.

Page 19: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

43

pengaturan yang baik dan seharusnya dilakukan. Pada intinya, “legal

science” yang dimaksud Westerman adalah mandiri, dalam arti di luar

doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu scientia juris.

Seperti halnya Westerman dengan bahasanya “legal science” yang

pada intinya adalah kajian yang menjadikan hukum sebagai objek, Marzuki

memberikan contoh lain yaitu buku berjudul The Legal System. Sub judul

buku ini adalah “A Social Science Perspective” ditulis oleh Lawrence M.

Friedman, seorang yuris. Buku tersebut bukanlah suatu buku hukum

(treatise), karena dari Preface disebutkan bahwa:

“... There are, of course, many valid ways to look at law. The lawyer

looks at it mostly from the inside. He judges law in its own terms; he

has learned certain standards against which he measures legal

practices and rules. Or he writes about practical affairs: how to use

law, how to work with it. This book falls into another category. It

looks at law from the outside. It tries to deal with the legal system

from the viewpoint of social science...”27

Preface di atas memberikan gambaran bahwa buku The Legal System

yang ditulis Friedman bukan doktrin atau scientia juris, tetapi buku yang

berada di ranah ilmu sosial (bukan ilmu hukum). Sub judul buku tersebut

telah memberi gambaran begitu jelas bahwa “The Legal System” yang

dimaksud adalah dilihat dari sudut pandang atau perspektif ilmu sosial.

Ditambahkan lagi dalam bagian Preface bahwa buku tersebut membahas

27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi. Op.Cit, h.199.

Page 20: BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUMrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/2/T2_322014015_BAB II... · Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai ... Namun demikian,

44

kategori yang lain yaitu melihat hukum dari luar (it looks at law from the

outside), atau dengan perkataan lain tidak membicarakan hukum itu sendiri

secara langsung.

Dengan demikian, perlu disadari dan dipahami bahwa ketika suatu

karya akademis (scholarship) bukan scientia juris, maka itu bukan doktrin

yang dimaksud dalam tulisan ini. Doktrin dengan kualifikasi sebagai sumber

hukum adalah scientia juris. Hakim sah-sah saja ketika dalam kasus-kasus

tertentu menggunakan karya akademik nonhukum, tetapi hanyalah sebatas

untuk mencari pemahaman, pencerahan, dan pengertian mengenai kasus per

se. Dalam perkataan lain, penggunaan karya akademik nonhukum tersebut

sangat mungkin dilakukan oleh hakim, tetapi statusnya bukan doktrin yang

merupakan sumber hukum (legal materials atau authorities), tetapi bahan-

bahan non-hukum (non-legal materials)28.

28 Ibid, h.204-206.