bab ii landasan teori - repository.bsi.ac.id · zeithaml dan bitner dalam sangadji, etta &...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Kualitas Jasa
2.1.1. Definisi Kualitas Jasa
Kotler dalam Mamang, Sangadji & Sopiah (2013:99) menyatakan kualitas
merupakan “Suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa,
manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Menurut Gronroos dalam Tjiptono & Chandra (2016:13) mengemukakan
jasa adalah “Proses yang terdiri atas serangkaian aktivitas intangible yang
biasanya (namun tidak harus selalu) terjadi pada interaksi antara pelanggan dan
karyawan jasa atau sumber daya fisik barang atau sistem penyedia jasa, yang
disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan”.
Implikasi dari adanya berbagai macam variasi bauran antara barang dan jasa
adalah sulit men-generalisasikan jasa tanpa melakukan pembedaan lebih lanjut.
Sejauh ini telah banyak pakar yang mengemukakan skema klasifikasi jasa, di
mana masing-masing ahli menggunakan dasar pembedaan yang disesuaikan
dengan sudut pandangnya sendiri. Secara garis besar, klasifikasi jasa dapat
dilakukan berdasarkan tujuh kriteria pokok Lovelock dalam Tjiptono & Chandra
(2016:16):
1. Segmen Pasar
Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang ditujukan
pada konsumen akhir (contohnya asuransi jiwa, catering, jasa tabungan dan
pendidikan).
7
8
2. Tingkat Keberwujudan
a. RENTED-GOOD SERVICES
Dalam tipe ini, konsumen menyewa dan menggunakan produk tertentu
berdasarkan tarif yang disepakati selama jangka waktu spesifik. Konsumen
hanya dapat menggunakan produk tersebut, karena kepemilikannya tetap di
tangan pihak perusahaan yang menyewakannya. Contohnya penyewaan
mobil, apartemen dan villa.
b. OWNED-GOOD SERVICES
Pada tipe ini, produk-produk yang dimiliki konsumen direparasi atau
ditingkatkan unjuk kerjanya oleh perusahaan jasa. Contohnya pencucian
mobil, perawatan taman dan pencucian pakaian.
c. NON-GOOD SERVICES
Karakteristik ini khusus pada jenis jasa personal bersifat intangible (tidak
berbentuk produk fisik) ditawarkan kepada para pelanggan. Contohnya
dosen, pemandu wisata, ahli kecantikan dan lain-lain.
3. Keterampilan Penyedia Jasa
Berdasarkan tingkat keterampilan penyedia jasa, terdapat dua tipe pokok.
Pertama, professional services (seperti dosen, konsultan hukum, dokter,
psikolog). Kedua, non-professional services (seperti jasa supir taksi, pengantar
surat, pengangkut sampah).
4. Tujuan Organisasi Jasa
Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat diklasifikasikan menjadi commercial
services atau profit (misalnya jasa penerbangan, bank, penyewaan mobil, hotel)
9
dan non-profit services (seperti sekolah, panti asuhan, yayasan, perpustakaan
dan museum).
5. Regulasi
Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated-services (misalnya
jasa pialang, media massa dan perbankan) dan non-regulated services (seperti
jasa makelar, pondokan dan kantin).
6. Tingkat Intensitas Karyawan
Berdasarkan tingkat intensitas karyawan (keterlibatan tenaga kerja) jasa dapat
dikelompokkan menjadi dua macam: equipment-based services (seperti cuci
mobil otomatis, ATM) dan people-based services (seperti pelatih sepak bola,
bidan, dokter anak).
7. Tingkat Kontak Penyedia Jasa dan Pelanggan
Berdasarkan tingkat kontak ini, secara umum jasa dapat dikelompokkan
menjadi high-contact services (seperti universitas, bank, dokter, penasehat
perkawinan).
Jasa memiliki banyak arti, mulai dari pelayanan personal (personal
service) sampai jasa sebagai suatu produk. Zeithaml dan Bitner dalam Sangadji,
Etta & Sopiah (2013:93) mengemukakan bahwa “Pada dasarnya jasa adalah
seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik,
dikonsumsi dan diproduksi pada saat yang bersamaan, memberikan nilai tambah,
dan secara prinsip tidak berwujud (intangible)”. Berdasarkan beberapa definisi di
atas, jasa pada dasarnya adalah sesuatu yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sesuatu yang tidak berwujud. Tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen.
10
2. Proses produksi jasa dapat menggunakan atau tidak menggunkaan bantuan
suatu produk fisik.
3. Jasa tidak mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan.
4. Terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.
Parasuraman dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:100) mendefinisikan
“Kualitas jasa sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas
tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Lebih lanjut,
Tjiptono dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:100) menjelaskan bahwa apabila
jasa yang diterima atau disarankan sesuai dengan yang diharapkan, kualitas jasa
dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan
pelanggan, kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya,
apabila jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, kualitas jasa
dipersepsikan buruk. Dengan demikian, baik tidaknya kualitas jasa tergantung
pada kemampuan penyedia jasa untuk memenuhi harapan pelanggan secara
konsisten.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kualitas jasa ialah tolok ukur seberapa bagus
tingkat jasa atau produk yang diberikan oleh penyedia jasa dalam memenuhi
harapan pelanggan.
2.1.2. Dimensi Kualitas Jasa
Parasuraman dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:100) mengemukakan
lima dimensi kualitas jasa yaitu :
1. Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan tepat (accurately) dan kemampuan untuk dipercaya
11
(dependably), terutama memberikan jasa secara tepat waktu, dengan cara yang
sama sesuai dengan jadwal yang telah dijanjikan, tanpa melakukan kesalahan;
2. Daya Tanggap (responsiveness), yaitu kemauan atau keinginan para karyawan
untuk membantu memberikan jasa yang dibutuhkan konsumen;
3. Keyakinan, meliputi pengetahuan, kemampuan, keramahan, kesopanan, dan
sifat dapat dipercaya dari kontak personal untuk menghilangkan sifat keragu-
raguan konsumen dan membuat mereka merasa terbebas dari bahaya dan
risiko;
4. Empati, yang meliputi sikap kontak personal atau perusahaan untuk
memahami kebutuhan dan kesulitan, konsumen, komunikasi yang baik,
perhatian pribadi, dan kemudahan untuk melakukan komunikasi atau
hubungan;
5. Produk-produk fisik (tangibles), tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan dan
sarana komunikasi, dan lain-lain yang bisa dan harus ada dalam proses jasa.
2.1.3. Model Kualitas Jasa
Parasuraman dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:101) mengidentifikasi
lima gap yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa. Kelima gap tersebut
adalah:
1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen, yaitu adanya
perbedaan antara penilaian pelayanan menurut pengguna jasa dan persepsi
manajemen mengenai harapan pengguna jasa. Kesenjangan ini terjadi karena
kurangnya orientasi penilaian pemasaran, pemanfaatan yang tidak memadai
atas temuan penelitian, kurangnya interaksi antara pihak manajemen dan
12
pelanggan, komunikasi dari bawah ke atas yang kurang memadai, serta terlalu
banyaknya tingkatan manajemen.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi
kualitas jasa. Kesenjangan terjadi, antara lain, karena tidak memadainya
komitmen manajemen terhadap kualitas jasa persepsi mengenai
ketidaklayakan, tidak memadainya standarisasi tugas, dan tidak adanya
penyusunan tujuan.
3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (service delivery).
Kesenjangan ini terutama disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
a. Ambiguitas pesan, yaitu sejauh mana pegawai dapat melakukan tugas
sesuai dengan harapan manajer dan tetap bisa memuaskan pelanggan;
13
KONSUMEN
Komunikasi Getok Tular Kebutuhan Pribadi Pengalaman Masa Lalu
Jasa yang Diharapkan
GAP 5
Jasa yang Dipersepsikan
GAP 1
Penyampaian Jasa GAP 4 Komunikasi
eksternal pada pelanggan
GAP 3
PEMASAR Spesifikasi Kualitas jasa
GAP 2
Persepsi Manajemen Atas
harapan Pelanggan
Gambar II.1. Model Konseptual Service Quality
Sumber: Zeithaml dan Bitner dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:102)
b. Konflik pesan, yaitu sejauh mana pegawai meyakini bahwa mereka tidak
memuaskan semua pihak;
c. Kesesuaian pegawai dengan tugas yang harus dikerjakannya;
d. Kesesuaian teknologi yang digunakan pegawai;
14
e. Sistem pengendalian dari atasan, yaitu tidak memadainya sistem penilaian
dan sistem imbalan;
f. Kontrol yang dirasakan (perceived control), yaitu sejauh mana pegawai
merasakan kebebasan atau fleksibilitas untuk menentukan cara pelayanan;
g. Kerja tim (team work), yaitu sejauh mana pegawai dan manajemen
merumuskan pelanggan secara bersama-sama dan terpadu.
4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Ekspektasi pelanggan
atas kualitas pelayanan dipengaruhi oleh pernyataan yang dibuat oleh
perusahaan mengenai komunikasi pemasaran. Kesenjangan ini terjadi karena
(a) tidak memadainya komunikasi horizontal dan (b) adanya kecenderungan
untuk memberikan janji yang berlebihan.
5. Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan, yaitu adanya
perbedaan persepsi antara jasa yang dirasakan dan yang diharapkan oleh
pelanggan. Jika keduanya terbukti sama, perusahaan akan memperoleh citra
dan dampak positif. Namun, bila yang diterima lebih rendah dari yang
diharapkan, kesenjangan ini akan menimbulkan permasalahan bagi
perusahaan.
2.1.4. Pengukuran Kualitas Jasa
Mengukur kualitas jasa berarti mengevaluasi atau membandingkan kinerja
suatu jasa dengan seperangkat standar atau yang telah ditetapkan terlebih dahulu
untuk model pengukuran. Parasuraman dan kawan-kawan telah membuat sebuah
skala multi-item yang diberi nama SERVQUAL. Alat yang dimaksudkan untuk
mengukur harapan dan persepsi pelanggan, dan kesenjangan (gap) yang ada pada
model kualitas jasa. Pengukuran dapat dilakukan dengan skala Likert atau
15
semantik diferensial, di mana responden cukup memilih derajat kesetujuan atau
ketidaksetujuannya atas pernyataan kualitas jasa. Zeithaml dan Bitner dalam
Sangadji, Etta & Sopiah (2013:104) mengemukakan beberapa formulasi untuk
mengukur kualitas jasa sebagai berikut:
1. Skor kualitas = skor kinerja – skor harapan
2. Skor kualitas jasa = skor derajat kepentingan x (skor kinerja – skor harapan)
3. Skor kualitas jasa = skor kinerja
4. Skor kualitas jasa = skor derajat kepentingan x skor kinerja
2.1.5. Manfaat Kualitas
Produktivitas biasanya selalu dikaitkan dengan kualitas dan profitabilitas.
Meskipun demikian, ketiga konsep ini memiliki penekanan yang berbeda-beda
Edvardsson dalam Tjiptono & Chandra (2016:120) :
1. Produktivitas menekankan pemanfaatan (utilisasi) sumber daya, yang
seringkali diikuti dengan penekanan biaya dan rasionalisasi modal. Fokus
utamanya terletak pada produksi atau operasi.
2. Kualitas lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan dan pendapatan. Fokus
utamanya adalah customer utility.
3. Profitibilitas merupakan hasil dari hubungan antara penghasilan, biaya dan
modal yang digunakan.
Perspektif tradisional seringkali hanya berfokus pada pencapaian
produktivitas dan profitibilitas dengan mengabaikan aspek kualitas. Hal ini dapat
mengancam survivabilitas jangka panjang perusahaan. Dalam konteks kompetisi
global di era pasar bebas ini, setiap perusahaan harus bersaing dengan para
pesaing lokal dan global. Peningkatan intensitas kompetisi menuntut setiap
16
perusahaan untuk selalu memperhatikan dinamika kebutuhan, keinginan dan
preferensi pelanggan serta berusaha memenuhinya dengan cara-cara yang lebih
efektif dan efisien dibandingkan para pesaingnya. Saat ini setiap perusahaan tidak
lagi hanya terbatas pada produk (barang atau jasa yang dihasilkan) semata, tetapi
juga pada aspek proses, sumber daya manusia, dan lingkungan. Dengan demikian
hanya perusahaan yang berkualitas yang dapat memenangkan persaingan dalam
pasar global.
Kualitas berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan
dorongan khusus bagi para pelanggan untuk menjalin ikatan relasi saling
menguntungkan dalam jangka panjang dengan perusahaan. Ikatan emosional
semacam ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama
harapan dan kebutuhan spesifik pelanggan. Pada gilirannya, perusahaan dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan, dimana perusahaan memaksimumkan
pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan atau
meniadakan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan. Selanjutnya,
kepuasan pelanggan berkontribusi pada terciptanya rintangan beralih (switching
barriers), biaya beralih (switching costs), dan loyalitas pelanggan
17
Keunggulan
harga
Customer-
Pangsa
driven
pasar
quality
Customer
value
Atribut pelanggan Produktivitas dan
dan spesifikasi desain pertumbuhan
Produktivitas
Kualitas
Biaya yang
spesifikasi
lebih rendah
Biaya kualitas yang
lebih rendah
Investasi Dalam
Penyempurnaan kualitas
Gambar II.2. Manfaat Kualitas
Sumber : Ross dalam Tjiptono & Chandra (2016:120)
Kualitas juga dapat mengurangi biaya. Crosby dalam Tjiptono & Chandra
(2016:120) menyatakan bahwa “Quality is Free”. Biaya untuk mewujudkan
produk berkualitas jauh lebih kecil dibandingkan biaya yang ditimbulkan apabila
perusahaan gagal memenuhi standar kualitas. Adanya penekanan biaya
dikarenakan kemampuan mewujudkan proses dan produk berkualitas akan
menghasilkan keunggulan kompetitif berupa peningkatan profitibilitas dan
pertumbuhan bisnis. Selanjutnya, kedua faktor ini dapat memberikan sarana dan
dana bagi investasi lebih lanjut dalam hal penyempurnaan kualitas, misalnya
untuk keperluan riset dan pengembangan. Secara ringkas, manfaat kualitas
superior meliputi :
18
1. Loyalitas pelanggan lebih besar.
2. Pangsa pasar lebih besar.
3. Harga saham lebih tinggi.
4. Harga jual produk atau jasa lebih tinggi.
5. Produktivitas lebih besar.
Semua manfaat di atas pada gilirannya berkontribusi pada peningkatan daya
saling berkesinambungan bagi organisasi yang mengupayakan pemenuhan
kualitas yang bersifat customer-driven. Dalam jangka panjang perusahaan seperti
ini akan tetap survive dan menghasilkan laba.
2.2. Loyalitas Konsumen
2.2.1. Pengertian Loyalitas Konsumen
Griffin dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:104) menyatakan “loyalty is
defined as non random purchase expressed over time by some decision making
unit”. Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa loyalitas lebih
mengacu pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan keputusan untuk
melakukan pembelian secara terus menerus terhadap barang atau jasa dari suatu
perusahaan yang dipilih.
Kalalo (2013:1555) mendefinisikan loyalitas sebagai “customer loyalty is
deeply held commitment to rebuy or repatronize a preffered product or service
consistenly on the future, despite situational influences and marketing effort
having the potential to cause switching behavior”. Maksudnya disini loyalitas
konsumen adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk
melakukan pembelian ulang produk baik barang atau jasa secara konsisten di
19
masa yang akan datang meskipun pengaruh situasi usaha pemasaran berpotensi
merubah perilaku.
Loyalitas konsumen dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu
loyalitas merek (brand loyalty) dan loyalitas toko (store loyalty). Misalnya,
seorang konsumen sudah sangat sering melakukan pembelian terhadap suatu
merek produk. Tidak ada lagi merek yang dipertimbangkan untuk dibeli selain
merek produk yang sering dibelinya. Ketika merek produk itu tidak tersedia di
toko atau outlet yang ditujunya, dia terus berusaha mencari produk itu sampai ke
tempat yang jauh sekalipun. Bahkan ketika merek barang itu tidak tersedia, dan
petugas penjualan mengatakan merek produk yang dicarinya akan datang
beberapa hari kemudian, dia bersedia menunggunya. Jika ada konsumen dalam
pembeliannya berperilaku seperti itu, maka bisa dikatakan bahwa konsumen itu
sangat loyal terhadap merek pilihannya dan itulah yang disebut loyalitas merek
(brand loyalty). Loyalitas merek bisa didefinisikan sebagai sikap menyenangi
terhadap suatu merek yng direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten
terhadap merek itu sepanjang waktu.
Terdapat dua pendekatan yang bisa dipakai untuk mempelajari loyalitas
merek. Pertama, pendekatan instrumental conditioning, yang memandang bahwa
pembelian yang konsisten sepanjang waktu ialah menunjukkan loyalitas merek.
Perilaku pengulangan pembelian diasumsikan merefleksikan penguatan
atau stimulus yang kuat. Jadi, pengukuran bahwa seorang konsumen itu loyal atau
tidak dilihat dari frekuensi dan konsistensi perilaku pembelian terhadap satu
merek. Pengukuran loyalitas konsumen dengan pendekatan ini menekankan pada
perilaku masa lalu.
20
Seorang konsumen telah membeli satu merek produk sampai tujuh kali,
maka hal itu bisa dikatakan bahwa konsumen itu loyal. Pendekatan ini
mengandung kelemahan, karena didasarkan pada perilaku masa lalunya, padahal
loyalitas juga berhubungan dengan estimasi perilaku pembelian masa mendatang.
Jika konsumen dianggap loyal terhadap satu merek dengan melakukan pembelian
sampai tujuh kali, dan sebenarnya pada pembelian kedelapan konsumen tidak lagi
memilih merek yang sering dibelinya, tetapi memilih merek lain karena sudah
bosan atau ingin mencoba merek lain (variety seeking). Hal ini menunjukkan
bahwa perilaku pembelian tujuh kali terhadap satu merek bukan loyalitas, tetapi
hanya merupakan inersia atau habitual saja. Benar memang dalam loyalitas
terdapat perilaku pembelian yang berulang, tetapi loyalitas tidak hanya
ditunjukkan oleh perilaku tersebut.
Pendekatan kedua, yaitu didasarkan pada teori kognitif. Beberapa peneliti
percaya bahwa perilaku itu sendiri tidak merefleksikan loyalitas merek. Dengan
perkataan lain, perilaku pembelian berulang tidak merefleksikan loyalitas merek.
Menurut pendekatan ini, loyalitas menyatakan komitmen terhadap merek yang
mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian terus menerus.
Konsumen mungkin sering membeli merek tertentu karena harganya murah, dan
ketika harganya naik, konsumen beralih ke merek lain. Pendekatan behavioral
menekankan bahwa, loyalitas dibentuk oleh perilaku, dan oleh karena itu perilaku
pembelian berulang ialah loyalitas, sementara itu pendekatan kognitif memandang
bahwa loyalitas merek merupakan fungsi dari proses psikologi (decision making).
Perdebatan mengukur loyalitas secara general belum berakhir, oleh karena itu
generalisasi mengenai loyalitas tidak bisa dirumuskan. Namun demikian, terdapat
21
beberapa karakteristik umum yang bisa diidentifikasi, apakah seorang konsumen
mendekati loyalitas atau tidak. Assael dalam Setiadi (2016:130) mengemukakan
empat hal yang menunjukkan kecenderungan konsumen yang loyal sebagai
berikut:
1. Konsumen yang loyal terhadap merek cenderung lebih percaya diri terhadap
pilihannya.
2. Konsumen yang loyal lebih memungkinkan merasakan tingkat risiko yang
lebih tinggi dalam pembeliannya.
3. Konsumen yang loyal terhadap merek juga lebih mungkin loyal terhadap toko.
4. Kelompok konsumen yang minoritas cenderung untuk lebih loyal terhadap
merek.
Hurriyati dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:104) menyatakan bahwa
loyalitas adalah “Komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk
berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk atau jasa terpilih
secara konsisten di masa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-
usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku”.
Parasuraman dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:104) mendefiniskan
loyalitas pelanggan dalam konteks pemasaran jasa sebagai respon yang terkait erat
dengan ikrar atau janji untuk memegang teguh komitmen yang mendasari
kontinuitas relasi, dan biasanya tercermin dalam pembelian berkelanjutan dari
penyedia jasa yang sama atas dasar dedikasi dan kendala pragmatis. Morais dalam
Sangadji, Etta & Sopiah (2013:104) menyatakan bahwa loyalitas pelanggan
adalah komitmen pelanggan terhadap suatu merek toko, atau pemasok,
22
berdasarkan sikap yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang
konsisten.
Berdasarkan definisi-definisi di atas terlihat bahwa loyalitas lebih ditujukan
pada suatu perilaku, yang ditunjukkan dengan pembelian rutin dan didasarkan
pada unit pengambilan keputusan.
2.2.2. Karakteristik Loyalitas Konsumen
Konsumen yang loyal merupakan aset penting bagi perusahaan. Hal ini
dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya. Griffin dalam Putro, Shandy,
Semuel, & Karina (2014:4) menyatakan bahwa konsumen yang loyal memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Pembelian ulang
2. Kebiasaan mengonsumsi merek
3. Rasa suka yang besar pada merek
4. Ketetapan pada
5. Perekomendasian
2.2.3. Merancang dan Menciptakan Loyalitas
Dalam kaitannya dengan pengalaman pelanggan, Morais dalam Sangadji,
Etta & Sopiah (2013:105) mengungkapkan bahwa loyalitas pelanggan tidak bisa
tercipta begitu saja, tetapi harus dirancang oleh perusahaan. Adapun tahap-tahap
perancangan loyalitas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mendefinisikan nilai pelanggan (define customer value)
a. Identifikasi segmen pelanggan sasaran;
b. Definisikan nilai pelanggan sasaran dan tentukan pelanggan mana yang
menjadi pendorong keputusan pembelian dan penciptaan loyalitas;
23
c. Ciptakan diferensiasi janji merek.
2. Merancang pengalaman pelanggan bermerek (design the branded customer
experience)
a. Mengembangkan pemahaman pengalaman pelanggan;
b. Merancang perilaku karyawan untuk merealisasikan janji merek;
c. Merancang perubahan strategi secara keseluruhan.
3. Melengkapi orang dan menyampaikan secara konsisten (equip people and
deliver consistently):
a. Mempersiapkan pemimpin untuk menjalankan dan memberikan
pengalaman kepada pelanggan;
b. Melengkapi pengetahuan dan keahlian karyawan untuk mengembangkan
dan memberikan pengalaman kepada pelanggan dalam setiap interaksi
yang dilakukan pelanggan terhadap perusahaan;
c. Memperkuat kinerja perusahaan melalui pengukuran dan tindakan
kepemimpinan.
4. Menyokong dan meningkatkan kinerja (sustain and enhance performance):
a. Gunakan respons timbal balik pelanggan dan karyawan untuk memelihara
karyawan secara berkesinambungan dan untuk mempertahankan
pengalaman pelanggan;
b. Membentuk kerja sama antara sistem personalia (human resource
development) dengan proses bisnis yang terlibat langsung dalam
pemberian dan penciptakan pengalaman pelanggan;
24
c. Secara terus menerus mengembangkan dan mengomunikasikan hasil untuk
menanamkan pengalaman konsumen bermerek yang telah dijalakan
perusahaan.
2.2.4. Tahap-Tahap Loyalitas
Proses seorang calon pelanggan menjadi pelanggan yang loyal terhadap
perusahaan terbentuk melalui beberapa tahapan. Sondakh (2014:26)
mengemukakan loyalitas pelanggan dibagi menjadi empat tahapan sebagai
berikut:
1. Loyalitas berdasarkan kesadaran (cognitive loyality). Merasakan bahwa merek
yang satu lebih disukai dibandingkan merek lain berdasarkan informasi atribut
tentang merek yang diterimanya. Informasi merek yang dipegang oleh
konsumen harus menunjuk pada merek yang dianggap lebih superior dalam
persaingan.
2. Loyalitas berdasarkan pengaruh (affective loyality). Pada tahap ini loyalitas
memiliki tingkat kesukaan konsumen harus lebih tinggi daripada merek
saingan, baik dalam perilaku maupun komponen yang mempengaruhi
kepuasan. Kondisi ini sangat sulit untuk dihilangkan karena kesetiaan sudah
tertanam dalam pikiran konsumen bukan hanya sebagai kesadaran atau
harapan.
3. Loyalitas berdasarkan komitmen (conative loyality). Tahap loyalitas ini
mengandung komitmen perilaku yang tinggi dalam melakukan pembelian
suatu jasa. Hasrat untuk melakukan pembelian ulang atau bersikap loyal
merupakan tindakan yang dapat diantisipasi namun tidak disadari.
25
4. Loyalitas berdasarkan tindakan (action loyalty). Tahap ini merupakan tahapan
terakhir dari kesetiaan. Tahap ini diawali dengan suatu keinginan yang disertai
dengan motivasi, selanjutnya diikuti oleh siapapun untuk bertindak dan ingin
mengatasi seluruh hambatan untuk melakukan tindakan.
2.2.5. Prinsip-Prinsip Loyalitas
Kotler dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:109) mengemukakan bahwa
pada hakikatnya loyalitas pelanggan dapat diibaratkan sebagai perkawinan antara
perusahaan dan publik (terutama pelanggan inti). Jalinan relasi ini akan langsung
bila dilandasi sepuluh prinsip pokok loyalitas pelanggan berikut:
1. Kemitraan yang didasarkan pada etika dan integritas utuh;
2. Nilai tambah (kualitas, biaya, waktu, siklus, teknologi, profitabilitas, dan
sebagainya), dalam kemitraan antara pelanggan dan pemasok;
3. Sikap saling percaya antara manajer dan karyawan, serta antara perusahaan
dan pelanggan inti;
4. Keterbukaan (saling berbagi data teknologi, strategi, dan biaya) antara
pelanggan dan pemasok;
5. Pemberian bantuan secara aktif dan konkret;
6. Tindakan berdasarkan semua unsur antusiasme konsumen. Untuk produk fisik,
unsur-unsur tersebut meliputi kualitas, keseragaman, keandalan,
ketergantungan, keterpeliharaan, diagnosis, ketersediaan, kinerja teknis,
ergonomi, karakteristik, fitur menyenangkan dan keamanan ekspektasi masa
depan, untuk efektivitas operasional, layanan sebelum penjualan, layanan
sesudah penjualan, harga jual nilai kembali, pengiriman dan reputasi.
26
Sementara untuk jasa, unsur-unsur tersebut terdiri atas kualitas, ketetapan
waktu, ketergantungan, kekooperatifan dan komunikasi;
7. Fokus pada faktor-faktor tidak terduga yang bisa menghasilkan kesenangan
pelanggan (customer delight);
8. Kedekatan dengan pelanggan internal dan eksternal;
9. Pembinaan relasi dengan pelanggan internal dan eksternal;
10. Antisipasi kebutuhan dan harapan pelanggan di masa datang.
2.2.6. Mempertahankan Loyalitas Pelanggan
Zeithaml dan Bitner dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:110)
mengemukakan bahwa untuk mewujudkan dan mempertahankan loyalitas
pelanggan dibutuhkan langkah kunci yang saling terikat, yaitu:
1. Komitmen dan keterlibatan manajemen puncak
Dalam setiap keputusan strategis organisasi, peranan penting manajemen
puncak perlu dimainkan. Dukungan, komitmen, kepemimpinan dan partisipasi
aktif manajer puncak selalu dibutuhkan untuk melakukan transformasi budaya
organisasi, struktur kerja, dan praktik manajemen SDM dari paradigma
tradisional menuju paradigma pelanggan.
2. Tolok ukur internal (internal benchmarking)
Proses tolok ukur internal meliputi pengukuran dan penilaian atas manajemen,
SDM, organisasi, sistem, alat, desain, pemasok, pemasaran dan jasa
pendukung perusahaan. Adapun pengukuran-pengukuran yang digunakan
meliputi loyalitas pelanggan (jumlah presentase dan kelanggengannya), nilai
tambah bagi pelanggan inti, dan biaya akibat kualitas yang jelek.
27
3. Identifikasi kebutuhan pelanggan
Identifikasi kebutuhan pelanggan dapat dilakukan dengan beberapa metode
mutakhir seperti riset nilai (value research), jendela pelanggan (customer
window), model, analisis sensitivitas, evaluasi multiatribut, analisis konjoin,
dan quality function deployment (QFD).
4. Penilaian kapabilitas persaingan
Dalam era hiperkompetitif ini pemahaman mengenai aspek internal
perusahaan dan pelanggan saja tidak memadai. Untuk memenangkan
persaingan, kapabilitas pesaing (terutama yang terkuat) harus diidentifikasikan
dan dinilai secara cermat.
5. Pengukuran kepuasan dan loyalitas pelanggan
Kepuasan pelanggan menyangkut apa yang diungkapkan oleh pelanggan,
sedangkan loyalitas pelanggan berkaitan dengan apa yang dilakukan
pelanggan. Oleh sebab itu, parameter kepuasan pelanggan lebih subyektif,
lebih sukar dikuantifikasi, dan lebih sulit diukur daripada loyalitas pelanggan.
6. Analisis umpan balik dari pelanggan, mantan pelanggan, non-pelanggan, dan
pesaing. Lingkup analisis perusahaan perlu diperluas dengan melibatkan
mantan pelanggan dan non-pelanggan, tentunya selain pelanggan saat ini da
pesaing. Dengan demikian, perusahaan bisa memahami dengan lebih baik
faktor-faktor yang menunjang kepuasan dan loyalitas pelanggan, serta faktor
negatif yang berpotensi menimbulkan pembelotan pelanggan (customer
defection). Atas dasar pemahaman ini tindakan antisipatif dan kreatif bisa
ditempuh secara cepat, akurat dan efisien.
28
7. Perbaikan berkesinambungan
Loyalitas pelanggan merupakan perjalanan tanpa akhir. Tidak ada jaminan
bahwa bila sudah terwujud, lantas loyalitas bisa langgeng dengan sendirinya.
Pada prinsipnya, perusahaan harus selalu aktif mencari berbagai inovasi dan
terobosan untuk merespons setiap perubahan yang menyangkut faktor 3C
(customer, company, dan competitors). Berbagai teknik dan metode yang
digunakan dalam beragam total quality management dan business process
reengineering (BPR) sangat bermanfaat untuk membantu proses perbaikan
berkesinambungan pada setiap organisasi baik organisasi profit maupun
nonprofit.
Griffin dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:111) mengemukakan
beberapa cara agar perusahaan bisa menahan pelanggan beralih pesaing:
1. Meriset pelanggan
Tujuan riset yang mengatur adalah untuk memahami keinginan pelanggan.
2. Membangun hambatan agar pelanggan tidak berpindah
Ada tiga macam hambatan yang bisa dilakukan agar pelanggan tidak
berpindah ke perusahaan pesaing, yaitu:
a. Hambatan fisik, yaitu dengan menyediakan layanan fisik yang dapat
memberikan nilai tambah kepada pelanggan;
b. Hubungan psikologis, yaitu dengan menciptakan persepsi dalam pikiran
pelanggan supaya mereka tergantung pada produk atau jasa
perusahaan;
29
c. Hambatan ekonomis, yaitu dengan memberikan insentif bagi pelanggan
yang menguntungkan secara ekonomis, misalnya dengan memberikan
diskon atau potongan harga.
3. Melatih dan memodifikasi staf untuk loyal
Karyawan dan staf merupakan faktor penting untuk membangun loyalitas
pelanggan. Ikut sertakan mereka dalam proses tersebut dan beri pelatihan
informasi dukungan dan imbalan agar mereka mau melakukan hal tersebut.
4. Pemasaran loyalitas
Pemasaran loyalitas adalah pemasaran dengan program-program yang
memberikan nilai tambah pada perusahaan dan produk atau jasa di mata
konsumen. Program-program tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Pemasaran hubungan (relationship marketing), yaitu pemasaran yang
bertujuan untuk membangun hubungan baik dengan para pelanggan;
b. Pemasaran frekuensi (frequency marketing), yaitu pemasaran yang
bertujuan untuk membangun komunikasi dengan pelanggan;
c. Pemasaran keanggotaan (membership marketing), yaitu pengorganisasian
pelanggan ke dalam kelompok keanggotaan atau klub yang dapat
mendorong mereka melakukan pembelian ulang dan meningkatkan
loyalitas.
Hawkins dan Coney dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:112)
mengemukakan alasan pentingnya menumbuhkan dan menjaga loyalitas
konsumen, antara lain:
1. Konsumen yang sudah ada memberikan prospek keuntungan yang cenderung
lebih besar;
30
2. Biaya yang dikeluarkan untuk menjaga dan mempertahankan konsumen yang
sudah ada lebih kecil dibandingkan dengan biaya untuk mencari konsumen
yang baru;
3. Kepercayaan konsumen pada suatu perusahaan dalam satu urusan bisnis akan
membawa dampak, mereka juga akan percaya pada bisnis yang lain;
4. Loyalitas konsumen bisa menciptakan efisiensi;
5. Hubungan yang sudah terjalin lam antara perusahaan dengan konsumen akan
berdampak pada pengurangan biaya psikologis dan sosialisasi;
6. Konsumen lama akan mau membela perusahaan serta mau memberi referensi
kepada teman-teman dan lingkungan untuk mencoba berhubungan dengan
perusahaan.
Griffin dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:113) mengemukakan
keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki
konsumen yang loyal, antara lain:
1. Dapat mengurangi biaya pemasaran (karena biaya untuk menarik konsumen
yang baru lebih mahal);
2. Dapat mengurangi biaya transaksi;
3. Dapat mengurangi biaya perputaran konsumen atau turn over (karena
pergantian konsumen yang lebih sedikit);
4. Dapat meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar
perusahaan;
5. Mendorong getok tular yang lebih positif, dengan asumsi bahwa konsumen
yang loyal juga berarti mereka yang puas;
6. Dapat mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya penggantian dan lain lain).
31
Pada era pemasaran hubungan, pemasar beranggapan bahwa loyalitas
konsumen terbentuk karena nilai (value) dan merek (brand). Nilai adalah persepsi
nilai yang dimiliki konsumen berdasarkan apa yang didapat dan apa yang
dikorbankan ketika melakukan transaksi, sedangkan merek adalah identitas
sebuah produk yang tidak berwujud, tetapi sangat bernilai.
Untuk mendapatkan loyalitas konsumen, perusahaan tidak hanya
mengandalkan nilai dan merek, seperti yang diterapkan pada pemasaran
konvensional. Pada masa sekarang diperlukan perlakuan yang lebih atau disebut
kebutuhan unik, perbedaan kebutuhan antara satu konsumen dengan konsumen
lainnya. Untuk itu, peranan dari pemasaran hubungan sangat diperlukan. Pada
Gambar 2.3 terdapat tiga pilar loyalitas konsumen era pemasaran hubungan yang
memfokuskan konsumen di tengah pusaran.
Nilai Merek
Konsumen
Pemasaran
Hubungan
Gambar II.3. Tiga Pilar Loyalitas
Sumber: Mamang, Sangadji & Sopiah (2013:114)
Dengan menempatkan konsumen di tengah pusaran aktivitas bisnis
diharapkan perusahaan selalu memerhatikan dan mengutamakan konsumen dalam
32
segala aktivitas ataupun program yang dilakukan sehingga konsumen menjadi
pihak yang selalu didahulukan, merasa puas, nyaman, dan akhirnya menjadi loyal
pada perusahaan. Karena pentingnya loyalitas terhadap kelangsungan hidup
perusahaan, perusahaan harus secara kontinu menjaga dan meningkatkan loyalitas
dari para konsumennya. Oleh karena itu, untuk membangun loyalitas konsumen,
perusahaan harus memiliki hubungan yang baik dengan konsumen sehingga
perusahaan dapat lebih memahami kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan
para konsumennya.
2.2.7. Mengukur Loyalitas
Untuk mengukur loyalitas diperlukan beberapa atribut, yaitu:
1. Mengatakan hal yang positif tentang perusahaan kepada orang lain;
2. Merekomendasikan perusahaan kepada orang lain yang meminta saran;
3. Mempertimbangkan bahwa perusahaan merupakan pilihan pertama ketika
melakukan pembelian jasa;
4. Melakukan lebih banyak bisnis atau pembelian dengan perusahaan dalam
beberapa tahun mendatang.
Tjiptono dalam Sangadji, Etta & Sopiah (2013:115) mengemukakan lima
dimensi yang bisa digunakan untuk mengukur loyalitas konsumen, yaitu:
1. Pembelian ulang yaitu, melakukan pembelian secara teratur pada produk yang
sama maupun berbeda di perusahaan yang sama;
2. Kebiasaan mengonsumsi merek seperti, melakukan pembelian di semua lini
produk atau jasa. Dengan kata lain menggunakan lebih dari satu produk yang
ada pada perusahaan tersebut;
33
3. Rasa suka yang besar pada merek yaitu, menunjukkan kekebalan dari daya
tarik produk sejenis dari pesaing yang mengakibatkan tidak tertarik terhadap
produk sejenis diluar perushaan tersebut;
4. Ketetapan pada merek ialah menolak produk dari pesaing apapun kondisi yang
terjadi;
5. Perekomendasian meliputi, merekomendasikan produk atau jasa yang telah
dikonsumsi kepada orang lain, memberikan informasi tentang hal-hal baik
yang ada pada perusahaan dan menyarankan pada orang lain yang belum
menggunakan produk atau jasa di perusahaan tersebut.
2.3. Konsep Dasar Operasional dan Perhitungan
2.3.1. Kisi-kisi Operasional Variabel
Kisi-kisi Operasional Variabel Kualitas Jasa
Parasuraman dalam Haryanto (2013:751) merangkum lima dimensi kualitas
jasa yaitu :
1. Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan tepat (accurately) dan kemampuan untuk dipercaya
(dependably), terutama memberikan jasa secara tapt waktu, dengan cara yang
sama sesuai dengan jadwal yang telah dijanjikan, tanpa melakukan kesalahan;
2. Daya Tanggap (responsiveness), yaitu kemauan atau keinginan para karyawan
untuk membantu memberikan jasa yang dibutuhkan konsumen;
3. Keyakinan, meliputi pengetahuan, kemampuan, keramahan, kesopanan, dan
sifat dapat dipercaya dari kontak personal untuk menghilangkan sifat keragu-
34
raguan konsumen dan membuat mereka merasa terbebas dari bahaya dan
risiko;
4. Empati, yang meliputi sikap kontak personal atau perusahaan untuk
memahami kebutuhan dan kesulitan, konsumen, komunikasi yang baik,
perhatian pribadi, dan kemudahan untuk melakukan komunikasi atau
hubungan;
5. Produk-produk fisik (tangibles), tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan dan
sarana komunikasi, dan lain-lain yang bisa dan harus ada dalam proses jasa.
Tabel II.1.
Tabel Dimensi dan Indikator Variabel Kualitas Jasa
Dimensi Butir
No Variabel Indikator Pernyataan Item Kualitas Jasa
Karyawan BRI
berperilaku jujur pada
setiap layanan yang 1
Kejujuran
diberikan kepada nasabah
BRI memberikan 2 pelayanan sesuai janji
Adil
Karyawan BRI
3 1. Keandalan senantiasa bersikap adil kepada nasabah
BRI memberikan 4 pelayanan yang cepat
Kecepatan
Karyawan BRI selalu
memberikan layanan 5
yang tepat pada nasabah
35
Karyawan BRI memiliki
Memiliki pengetahuan yang baik 6
Pengetahuan terhadap segala hal yang saya tanyakan
Karyawan BRI melayani
2. Daya Tanggap Terampil
dengan cepat tanggap 7
dalam mengatasi keluhan
nasabah
Menguasai
Karyawan BRI bekerja sesuai aturan yang 8 Peraturan ditetapkan perusahaan
Mampu
Karyawan BRI 9
berkomunikasi dengan Berkomunikasi
baik kepada nasabah
Karyawan BRI
3. Keyakinan Kesopanan berperilaku ramah 10
terhadap nasabah
Pelayanan
Karyawan BRI melayani secara menyeluruh tanpa 11
Menyeluruh pilih-pilih nasabah
BRI memberikan
Perhatian
perhatian serta 12 pengertian yang baik
setiap melayani nasabah
4. Empati
Karyawan BRI
13 Penampilan berpakaian rapih dan
sopan sesuai peraturan
Karyawan BRI bersikap 14
sabar dalam menangani Respek
masalah nasabah
Sebagai nasabah saya
Formulir Mudah mudah untuk 15 Didapat menemukan formulir
yang dibutuhkan
36
BRI menyediakan tempat
Fasilitas bagi nasabah untuk 16
5. Produk Fisik
mengisi formulir
Perlengkapan BRI menyediakan alat 17 tulis yang memadai
Sumber: Sangadji dan Sopiah, 2013
Kisi-kisi Operasional Variabel Loyalitas Konsumen
Griffin dalam (Putro, 2014:4) menyatakan lima dimensi konsumen yang
loyal adalah sebagi berikut:
1. Pembelian ulang yaitu, melakukan pembelian secara teratur pada produk yang
sama maupun berbeda di perusahaan yang sama;
2. Kebiasaan mengonsumsi merek seperti, melakukan pembelian di semua lini
produk atau jasa. Dengan kata lain menggunakan lebih dari satu produk yang
ada pada perusahaan tersebut;
3. Rasa suka yang besar pada merek yaitu, menunjukkan kekebalan dari daya
tarik produk sejenis dari pesaing yang mengakibatkan tidak tertarik terhadap
produk sejenis diluar perusahaan tersebut;
4. Ketetapan pada merek ialah menolak produk dari pesaing apapun kondisi yang
terjadi;
5. Perekomendasian meliputi, merekomendasikan produk atau jasa yang telah
dikonsumsi kepada orang lain, memberikan informasi tentang hal-hal baik
yang ada pada perusahaan dan menyarankan pada orang lain yang belum
menggunakan produk atau jasa di perusahaan tersebut;
37
Tabel II.2.
Tabel Dimensi dan Indikator Variabel Loyalitas Konsumen
Dimensi Variabel
Butir No Loyalitas Indikator Pernyataan
Item Konsumen
Saya rutin dalam
menggunakan produk 1
jasa BRI
Melakukan Saya sering
1. Pembelian Ulang pembelian secara menggunakan jasa BRI 2
teratur dibanding bank lain
Saya sering melakukan
transaksi di BRI 3
Saya akan
menggunakan produk 4 jasa lain yang ada di
Melakukan BRI
Kebiasan pembelian di
2. Mengonsumsi semua lini produk
Merek atau jasa Saya menggunakan
produk-produk BRI 5 karena menguntungkan
Saya tidak tertarik 6
terhadap produk bank
Menunjukkan
lain selain BRI
3. Rasa Suka yang kekebalan dari
Besar pada Merek daya tarik produk 7
sejenis dari pesaing Produk BRI tidak kalah
dengan produk pesaing
Ketetapan pada
Menolak produk Saya akan tetap untuk
4. dari pesaing menggunakan produk 8 Merek
jasa BRI
38
Saya menyarankan pada 9
orang lain untuk
menjadi nasabah BRI
Saya memberikan
informasi tentang hal- 10
hal positif mengenai
Merekomendasikan
BRI produk atau jasa
5. Perekomendasian yang telah Saya memberitahukan
dikonsumsi kepada
orang lain pada orang lain tentang 11 produk-produk BRI
Saya
merekomendasikan 12
pada orang lain untuk
bertransaksi di BRI
Sumber: Sangadji dan Sopiah, 2013
2.3.2. Uji Instrumen Penelitian
Menurut Sugiyono (2013:146) instrumen penelitian adalah “Suatu alat
yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati.
Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian”.
Dalam mencapai tujuan penelitian, penulis menggunakan metode analisis
kuantitatif. Analisis kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang
spesifikasinya adalah sistematis, terencana dan terstruktur dengan jelas. Analisis
kuantitatif ini merupakan pengujian hipotesis untuk mencari pengaruh dan
hubungan kualitas jasa terhadap loyalitas konsumen dengan bantuan SPSS versi
21. Dalam penelitian ini pengumpulan data diambil dengan menggunakan
kuesioner, adapun alat ukur untuk menentukan validitas dan reabilitas sebagai
berikut:
39
1. Uji Validitas
Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan dari suatu
alat ukur dalam melakukan pengukuran. Menurut Sugiyono (2013:267)
validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek
penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Uji validitas ini
dilakukan untuk mengukur valid atau tidaknya instrumen penelitian yang
digunakan, dengan kata lain apakah responden telah mengerti dan paham
dengan pernyataan dari kuesioner yang diajukan. Adapun rumus yang penulis
gunakan untuk mengukur uji validitas ialah sebagai berikut:
xy x y r N
2 2 2 2
x x y y
N
N
Gambar II.4. Rumus Uji Validitas
Sumber: Sugiyono (2013:267)
Keterangan:
r : nilai korelasi
N: Jumlah Subyek
X: Skor item
Y: Skor Total
∑X : Jumlah skor keseluruhan item pernyataan x
∑Y : Jumlah skor keseluruhan item pernyataan y
∑XY : Jumlah skor hasil kali item pernyataan x dan item pernyataan y
∑X2
: Jumlah kuadrat skor item pernyataan x
40
∑Y2
: Jumlah kuadrat skor item pernyataan y
2. Uji Reabilitas
Menurut Noor dalam Pramularso (2018:43) menyatakan bahwa “Perhitungan
untuk reabilitas menggunakan rumus Alpha Chronbach juga dengan program
SPSS. Jika nilai Alpha > 0,60 disebut reliabel”. Reabilitas dilakukan untuk
mencari tingkat kepercayaan data yang digunakan. Reabilitas menunjukkan
sejauh mana kuesioner yang digunakan dapat dipercaya atau memberikan
perolehan hasil pengukuran yang relatif konsisten. Metode ini dipilih karena
paling sesuai untuk diterapkan pada kuesioner yang memiliki lebih dari satu
item untuk setiap dimensinya.
2.3.3. Konsep Dasar Perhitungan
1. Populasi dan Sampel
a. Pengertian Populasi
Fatimah (2016:60) mengartikan populasi sebagai keseluruhan subjek
penelitian. Populasi juga diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri
atas objek maupun subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
untuk diteliti.
b. Pengertian Sampel
Fatimah (2016:61) mengartikan sampel sebagai bagian dari jumlah dan
karakteristik yang ada dalam populasi. Apabila populasi yang ditentukan
sangat besar dan tidak memungkinan untuk meneliti semua yang ada pada
populasi, maka sampel inilah yang dapat digunakan oleh periset untuk
dijadikan objek atau subjek riset.
41
c. Metode Penarikan Sampel
Secara garis besar terdapat dua metode yang dapat digunakan periset untuk
menarik sampel dari populasi dalam riset mereka. Kedua metode yang dibuat
berdasarkan ada atau tidaknya peluang tersebut yaitu probability dan non-
probability sampel. Dikatakan probability sampel apabila memungkinan setiap
anggota dalam populasi untuk terpilih menjadi sampel penelitian, metode ini
disebut juga sebagai simple random sampling (SRS). Sedangkan non
probability sampel hanya memberikan peluang bagi anggota tertentu saja
dalam populasi.
d. Besarnya Sampel
Cara menentukan jumlah anggota sampel dari suatu populasi sebagai berikut:
n =
dimana : n = Ukuran Sampel
N = Ukuran Populasi
e = Presentase (%), toleransi ketidaktelitian karena kesalahan
dalam pengambilan sampel.
2. Skala Likert
Menurut Sugiyono (2013:134) menyatakan bahwa ”Skala Likert digunakan
untuk mengukur suatu sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok
orang tentang suatu fenomena sosial”. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jenis instrumen kuesioner dengan skala berinterasi 1 sampai 4
dengan pilihan jawaban sebagai berikut :
42
a. Sangat Setuju (SS)
b. Setuju (S)
c. Tidak Setuju (TS)
d. Sangat Tidak Setuju (STS)
Pemberian skor untuk masing-masing jawaban dalam kuesioner sebagai
berikut :
a. Pilihan pertama, memiliki nilai skor 4 (empat)
b. Pilihan kedua, memiliki nilai skor 3 (tiga)
c. Pilihan ketiga, memiliki nilai skor 2 (dua)
d. Pilihan keempat, memiliki nilai skor 1 (satu)
e. Koefisien Korelasi
Menurut Siregar (2013:251) menyatakan bahwa “Koefisien korelasi adalah
bilangan yang menyatakan kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih
atau juga dapat menentukan arah dari kedua variabel”.
Nilai korelasi: (r) = (-1 ≤ 0 ≤ 1).
Tabel II.3.
Tingkat Korelasi dan Kekuatan Hubungan
Nilai Korelasi Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat lemah
0,20 – 0,399 Lemah
0,40 0,599 Cukup
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 0,100 Sangat kuat
Sumber : Siregar (2013:251)
43
f. Koefisien Determinasi
Menurut Siregar (2013:252) “Koefisien determinasi adalah angka yang
menyatakan atau digunakan untuk mengetahui kontribusi atau sumbangan
yang diberikan oleh sebuah variabel atau lebih X (bebas) terhadap variabel Y
(terkait)”.
Dengan rumus: KD = (r)² x 100%
Keterangan :
KD : Koefisien Determinasi
r : Koefisien Korelasi
g. Persamaan Regresi
Menurut Sugiyono dalam Yuliantari & Ulfa (2016:237) mengemukakan
bahwa “Regresi sederhana didasarkan pada hubungan fungsional ataupun
kausal satu variabel independen dengan satu variabel dependen”.
Secara umum persamaan regresi sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y = a + bX
Y : Variabel terikat yang diproyeksikan
a: Nilai harga konstan Y jika = 0
b: Koefisien regresi atau nilai arah sebagai penentu prediksi yang
menunjukkan nilai peningkatan atau penurunan variabel terikat
X : Variabel bebas