bab ii landasan teori as3 siip

Upload: astriani-wallnutt

Post on 16-Jul-2015

167 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen (Rusman, 2010:202). Dalam pembelajaran kooperatif, setiap anggota kelompok harus menyadari bahwa tujuan pembelajaran akan lebih baik hasilnya jika pekerjaan dilakukan secara bersama-sama. Dengan adanya jiwa inilah timbul rasa kebersamaan dan tekad untuk belajar, juga tanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya untuk menjadi yang terbaik. Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Proses pembelajaran kooperatif berdasarkan pada pemikiran filosofis Getting better Together artinya bahwa untuk mendapatkan sesuatu lebih baik dalam belajar hendaknya dilakukan secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Disamping itu ada keyakinan berdasarkan penelitian, bahwa peserta didik akan lebih baik belajar dengan rekan sebaya. Johnson & Johnson (dalam Trianto, 2010: 60) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran kooperatif terdapat lima unsur penting, yaitu :

a.

Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.

b. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat. Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antara siswa. Hal ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan bantuan ini akan berlangsung secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok memengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar-menukar ide mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama. c. Tanggung jawab individual. Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal: (a) membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b) siswa tidak dapat hanya sekadar membonceng pada hasil kerja teman jawab siswa dan teman sekelompoknya. d. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil. Dalam belajar kooperatif, selain dituntut mempelajari materi yang diberikan seorang

siswa dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut keterampilan khusus. e. Proses kelompok. Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik. Abdulrahman (1995:11) menjelaskan keuntungan yang dapat

diperoleh dari penerapan pembelajaran kooperatif antara lain: 1) meningkatkan prestasi belajar 2) Meningkatkan retensi 3) Dapat menumbuhkan motivasi dalam diri siswa 4) Meningkatkan sikap positif siswa terhadap guru 5) Dapat meningkatkan hubungan antar manusia yang heterogen 6) Meningkatkan perilaku sosial yang positif 7) Meningkatkan keterampilan hidup bergotong royong 8) Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar memperoleh dan memahami pengetahuan yang dibutuhkan secara langsung, sehingga apa yang dipelajarinya lebih bermakna bagi dirinya. Pembelajaran kooperatif dianggap paling efektif pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan heterogen. Karena metode ini bertitik tolak dari semangat kerjasama, dimana mereka yang lebih pandai dapat membantu

temannya yang masih mengalami kesulitan dalam suasana keakraban dan kekeluargaan. Dipandang dari prosedur pelaksanaan pembelajarannya, Lie

(2002:55-69) membedakan pembelajaran kooperatif dalam beberapa teknik, yaitu make a match (mencari pasangan), think-pair-share (berpikirberpasangan-berbagi), bertukar pasangan, berkirim soal, numbered heads together (kepala bernomor), two stay two stray (dua tamu dua tinggal), talking chips (kartu berbicara), roundtable (meja bundar), insideoutside circle (lingkaran kecil lingkaran besar), paired storytelling (bercerita berpasangan), three step interview (tiga tahap wawancara), dan jigsaw.

B.

Metode Think-Pair-Share Think-Pair-Share merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dari Universitas Maryland pada tahun 1985. Think-Pair-Share memberikan kepada para siswa waktu untuk berpikir dan merespon serta saling bantu satu sama lain. Teknik ini merupakan teknik yang sederhana dengan banyak keuntungan karena dapat meningkatkan partisipasi siswa dan pembentukan pengetahuan oleh siswa. Dengan menggunakan suatu prosedur, para siswa belajar dari siswa yang lain dan berusaha untuk mengeluarkan pendapatnya dalam situasi non kompetisi sebelum mengemukakannya di depan kelas. Kepercayaan diri siswa meningkat dan seluruh siswa diberi kesempatan

untuk berpartisipasi dalam kelas, bukan hanya beberapa orang saja yang biasanya menjadi sukarelawan. Keunggulan lain dari pembelajaran ini adalah optimalisasi partisipasi siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, tapi pembelajaran ini memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Lie, 2005: 56). Keuntungan bagi guru adalah pengefisienan waktu pemberian tugas dan meningkatkan kualitas kontribusi siswa dalam diskusi kelas. Para siswa dan guru akan memperoleh pemahaman yang lebih besar akibat perhatian dan pertisipasinya dalam diskusi kelas. Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Lyman (Jones, 2002:1). ThinkPair-Share membantu para siswa untuk mengembangkan pemahaman konsep dan materi pelajaran, mengembangkan kemampuan untuk berbagi informasi dan menarik kesimpulan, serta mengembangkan kemampuan untuk mempertimbangkan nilai-nilai dari suatu materi pelajaran. Prosedur dalam pembelajaran kooperatif teknik Think-Pair-Share menurut Lyman (Jones, 2002:1-2) terdiri dari empat tahapan yaitu tahapan pemberian masalah oleh guru, tahapan think (berpikir), pair

(berpasangan), dan tahapan share (berbagi). Tahap pemberian pertanyaan oleh guru. Proses think-pair-share dimulai pada saat guru memberikan pertanyaan yang merangsang pemikiran siswa kepada seluruh kelas. Pertanyaan atau masalah yang

diberikan guru dimaksudkan agar para siswa mencari solusi atau jawaban dari masalah atau pertanyaan tersebut. Dalam tingkatan paling rendah, jawaban pertanyaan yang singkat harus dihindari dalam model ini. Pertanyaan harus mengetengahkan masalah yang merangsang siswa untuk mencari solusinya. Tahap think (berpikir secara individual). Melalui tanda dari guru, siswa diberi batasan waktu untuk memikirkan jawabannya sendiri terhadap pertanyaan yang diberikan. Waktu harus ditentukan oleh guru yang dalam penentuannya guru harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu pengetahuan dasar siswa untuk menjawab pertanyaan yang diberikan, jenis dan bentuk pertanyaan atau masalah yang disuguhkan, serta jadwal pembelajaran untuk setiap kali pertemuan. Hal yang dapat membantu berhasilnya tahapan ini meski tidak harus yaitu siswa dianjurkan untuk menulis jawaban atau solusi mereka. Siswa akan memiliki anggapan bahwa mungkin saja mereka mengemukakan jawaban yang salah. Tapi harus dijelaskan oleh guru bahwa hal itu tidak apa-apa karena setiap siswa dapat mengemukakan jawaban yang berbeda. Tahapan ini secara otomatis membentuk waktu tunggu sebelum masuk ke dalam tahapan diskusi. Tahap pair (siswa berpasangan dengan teman sebangkunya). Akhir dari tahapan think memberikan tanda kepada siswa untuk mulai bekerja dengan pasangannya untuk mendiskusikan jawaban dari

pertanyaan yang disuguhkan oleh guru. Setiap siswa sekarang memiliki

kesempatan untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan jawaban. Secara bersama, setiap pasang siswa dapat memformulasikan jawaban mereka yang berdasarkan pemikiran bersama untuk memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang diberikan. Tahap share (berbagi jawaban mereka dengan seluruh kelas). Dalam tahap ini, siswa dapat mempresentasikan jawabannya secara perseorangan atau secara kooperatif kepada kelas sebagai keseluruhan kelompok. Tahap akhir dari Think-Pair-Share memiliki beberapa keuntungan bagi seluruh siswa. Mereka mencari jawaban yang sama dengan berbagai cara yang berbeda karena perbedaan individu dapat menghasilkan ekspresi yang unik atas jawaban dari pertanyaan. Lebih lanjut, konsep yang digunakan sebagai jawaban dirangkai menggunakan bahasa para siswa, bukan bahasa buku atau bahasa guru sehingga konsep akan lebih dimengerti. Keberhasilan dan kualitas dari kegiatan Think-Pair-Share sangat tergantung dari kualitas pertanyaan yang diberikan pada tahap pertama. Jika pertanyaan merangsang pemikiran siswa secara utuh, maka keutuhan pemikiran siswa ini secara signifikan dapat menciptakan keberhasilan model pembelajaran Think-Pair-Share. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode Think-Pair-Share merupakan salah satu strategi dalam pembelajaran kooperatif yang dapat memberikan waktu kepada siswa untuk berpikir

sehingga strategi

ini

punya potensi

kuat

untuk

memberdayakan

kemampuan berpikir siswa.

C. Keterampilan Metakognitif Metakognisi mengacu pada pengetahuan tentang proses kognitif sendiri atau apapun yang berhubungan dengan mereka (Flavell, 1976). Metakognisi merupakan istilah yang dibuat oleh Flavell pada tahun 1976 yang menimbulkan banyak perdebatan dalam mendefinisikannya. Arti metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang penelitian psikologi, begitu juga tidak bisa diterapkan pada satu bidang psikologi saja. Ketidakkonsistenan ini muncul karena peneliti mendefinisikannya sesuai dengan bidang penelitiannya. Namun demikian, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi, pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Flavell (Livington, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognisi (metakognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi metakognisi

(metacognitive experiences or regulation). Sedangkan menurut Desoete (Mulbar, 2008) membagi metakognisi ke dalam tiga komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognitif, (b)

keterampilan metakognitif, dan (c) kepercayaan metakognitif. Namun menurut mulbar (2008), belakangan ini, perbedaan paling umum dalam

metakognisi keterampilan

adalah

memisahkan

pengetahuan

metakognisi

dan

metakognisi.

Pengetahuan

metakognisi

meliputi

pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional (Brown & De Loache, Veenman dalam Mulbar, 2008). Sedangkan keterampilan metakognisi mengacu pada keterampilan prediksi (prediction skills), keterampilan perencanaan (planning skills), keterampilan monitoring (monitoring skills), dan keterampilan evaluasi (evaluation skills). Meskipun sangat beragam pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh pakar-pakar, namun pada dasarnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri.

Sedangkan yang dimaksud dengan kesadaran berpikir seseorang adalah kesadaran seseorang tentang apa yang diketahui dan apa yang akan dilakukan. Tahap-tahap pembelajaran metakognitif menurut Elawar (Nindiasari, 2004: 18) diupayakan dalam tiga tahap, yaitu: 1) Diskusi Awal Pertama-tama guru menjelaskan tujuan tentang topik yang sedang dipelajari. Setiap siswa diberi bahan ajar, dan penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam bahan ajar tersebut. Siswa dibimbing untuk menanamkan kesadaran dengan bertanya kepada diri sendiri saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bahan ajar.

2) Kerja Mandiri Siswa diberi persoalan dengan topik yang sama dengan bahan ajar pada tahap diskusi awal. Siswa mengerjakan persoalan tersebut secara individual. Guru berkeliling kelas dan memberikan feedback secara individual. Feedback ini bertujuan untuk memusatkan perhatian siswa pada kesalahan yang dibuatnya dan memberi petunjuk agar siswa dapat mengoreksinya sendiri. 3) Penyimpulan Penyimpulan dilakukan oeh siswa. Penyimpulan ini merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di kelas dan dibimbing oleh guru. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan metakognitif adalah kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri yang meliputi pemantauan, perencanaan, strategi kognitif dan kesadaran diri.

D.

Gender Gender sering diidentikan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak sematamata demikian. Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983:265). Kata gender bisa diartikan sebagai perbedaan yang tampak

antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria Neufeld (ed.), 1984: 561). Menurut WHO (2001), gender adalah perbedaan status dan peran antara perempun dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalm periode waktu tertentu. Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, contohnya melalui proses sosialisasi, ajaran keagamaan serta kebijakan negara, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut seolah-olah dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender dalam pendidikan dapat terjadi dalam keterampilan metakognisinya. Perempuan dalam proses pembelajaran di kelas, pada dasarnya memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk aktif dalam proses pembelajarannya. Perempuan dan laki-laki dalam setiap situasi pendidikan tersebut sama-sama terbuka untuk mengakses buku-buku di kelas. Namun, bahan-bahan belajar dan sikap guru yang secara halus dapat mempengaruhi penilaian mereka tentang diri mereka sendiri serta masyarakat. Bahan-bahan belajar yang dimaksud adalah bahan-bahan belajar yang membedakan peran gender laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (Anonim, 2008) membuktikan bahwa buku-buku pelajaran sarat dengan nuansa bias gender lebih dari 50 persen, meskipun telah dilakukan perbaikan, namun masih ditemukan bias gender

dalam buku ajar. Salah satu bentuk bias gender seperti dalam memberikan contoh: menggambarkan anak perempuan bekerja di dalam rumah, sedangkan anak laki-laki membantu ayahnya bekerja di kebun. Selain berupa gambar, penokohan selama ini menggambarkan

bagaimana perempuan adalah sosok yang lemah, lembut, penyayang dan cantik, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai pemimpin, kuat, dan suka bekerja keras. Perempuan dalam pembelajaran di kelas, identik dengan keterampilan pekerjaan ibu rumah tangga. Mereka dituntut untuk bersikap tenang, bersifat menghargai, penuh perhatian, dapat dipercaya, serta mau bekerja sama. Untuk laki-laki harapan lebih didasarkan pada kriteria kemampuan akademik seperti pengetahuan, kecakapan intelektual, dan kebiasaan kerja (Ollenburger dan Moore, 1995). Atas dasar nilai-nilai tersebut, perempuan di sekolah lebih memilih kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat feminim, seperti seni. Laki-laki lebih menyukai kegiatan yang sifatnya maskulin seperti olah raga atau kegiatan pecinta alam yang memang memerlukan fisik yang kuat. Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan

seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseorang akan menjadi apa nantinya.

E. Kerangka Berfikir Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya untuk mengarahkan siswa kedalam proses belajar, sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam kegiatan

pembelajaran terkadang ditemukan sebuah titik jenuh. Kejenuhan tersebut diakibatkan dari beberapa faktor diantaranya materi pembelajaran yang tidak menarik, media pembelajaran yang tidak bervariasi, metode maupun strategi pembelajaran yang tidak tepat dalam menyajikan suatu materi pembelajaran. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Jika interaksi antara faktor tersebut tidak berjalan dengan baik, akan menimbulkan suasana belajar yang tidak kondusif. Sehingga tujuan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa akan sulit tercapai. Tingkatan kemampuan berfikir salah satunya adalah

keterampilan

metakognitif.

Keterampilan

metakognitif

membutuhkan

keterampilan dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. Menurut teori metacognition bahwa siswa yang belajar memiliki

keterampilan tertentu untuk mengatur dan mengontrol apa yang dipelajarinya, sehingga keterampilan ini berbeda-beda antara individu

yang satu dengan individu yang lain sesuai dengan kemampuan proses berpikirnya. Selama ini pembelajaran biologi belum banyak yang mengembangkan keterampilan metakognitif siswa. Guru lebih mengutamakan kemampuan kognitif siswa sehingga hanya mampu memahami materi pelajaran yang diajarkan guru tanpa mampu memahami bagaimana seharusnya mereka belajar. Keterampilan metakognitif siswa penting dalam proses pembelajaran karena dengan keterampilan ini siswa dapat belajar bagaimana belajar (learning how to learn) dan selanjutnya meningkatkan hasil belajarnya. Sehingga, keterampilan metakognitif siswa perlu dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran. Salah satu upaya untuk mengembangkan keterampilan metakognitif siswa yaitu dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat yaitu strategi Think-Pair-Share (TPS). Strategi Think-Pair-Share (TPS)

merupakan salah satu strategi pembelajaran yang memasangkan siswa kemudian siswa tersebut berpikir secara berpasangan dan saling berbagi pengetahuan. Dengan strategi tersebut memberikan siswa kesempatan berpikir dan waktu yang lebih luang sehingga siswa dapat menganalisis alternatif jawaban dari sebuah permasalahan. Dengan demikian strategi Think-Pair-Share (TPS) diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap keterampilan metakognitif siswa sehingga

proses pembelajaran biologi menjadi lebih baik dan diperoleh hasil belajar siswa yang memuaskan.

F. Perumusan Hipotesis Terdapat pengaruh Metode Think-Pair-Share (TPS) terhadap

keterampilan metakognitif siswa pada materi sistem ekskresi.