bab ii landasan teori a. perkawinan dalam islam

25
12 BAB II LANDASAN TEORI A. Perkawinan dalam Islam 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan atau pernikahan menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nika>h (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwi>j yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmad Hakim sebagaimana, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab nikahunyang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) nakaha, sinonimnya “tazawwajakemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah termasuk dalam bahasa Indonesia. 1 Pengertian perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Slamet Abidin dan Aminuddin terdiri atas beberapa definisi, yaitu sebagai berikut. 2 1 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2013), 7. 2 Bani Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat, 17.

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perkawinan dalam Islam

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati

membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin

atau bersetubuh. Perkawinan atau pernikahan menurut bahasa: al-jam’u

dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nika>h (zawaj) bisa diartikan

dengan aqdu al-tazwi>j yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u

al zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan

di atas juga dikemukakan oleh Rahmad Hakim sebagaimana, bahwa kata

nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar atau

asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja”

kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata

nikah sering juga dipergunakan sebab telah termasuk dalam bahasa

Indonesia.1

Pengertian perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Slamet Abidin dan

Aminuddin terdiri atas beberapa definisi, yaitu sebagai berikut.2

1Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2013), 7. 2 Bani Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat, 17.

13

1. Ulama Hanifiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan

sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan

sengaja artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan

dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan

dan kepuasan.

2. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu

akad dengan menggunakan lafadz nika>h atau zauj, yang

menyimpan arti memiliki. Artinya dengan pernikahan, seseorang

dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.

3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu

akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan

dengan tidak mewajibkan adanya harga.

4. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad

dengan menggunakan lafadz nika>h atau tazwi>j. Untuk

mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat

memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya

dalam pengertian di atas terdapat kata-kata milik yang mengandung

pengertian hak untuk memiliki melalui akad nikah. Oleh karena itu,

suami istri dapat saling mengambil manfaat untuk mencapai

kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan membentuk

keluarga saki>nah mawaddah warahmah di dunia.

14

Aturan adat berlaku bagi masyarakat apabila akan melangsungkan

perkawinan menurut bentuk dan sistem perkawinan. Undang-Undang No.1

Tahun 1974 tidak mengaturnya, hal ini berarti terserah kepada selera dan

nilai-nilai budaya dari masyarakat bersangkutan, asal saja segala sesuatu

tidak bertentangan dengan kepentingan umum, seperti Syariat Islam,

Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur

di situ bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan agama

dan adat kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila

kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya.3

Selanjutnya sehubungan dengan asas-asas perkawinan yang dianut

oleh UU No. 1 Tahun 1974, maka asas-asas perkawinan menurut hukum

adat adalah sebagai berikut:

a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan

hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan

kekal.

b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum

agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat

pengakuan dari para anggota kerabat.

3 Santoso, Hakekat Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat,

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Agama (Vol. 7, No.2, Desember 2016), 430-431.

15

c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan

beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-

masing ditentukan menurut hukum adat setempat.

d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan

anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan

suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.

e. Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum

cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun

sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang

tua/keluarga dan kerabat.

f. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak

diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat

berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.

2. Hukum Melakukan Perkawinan

Hukum Nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan

antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan

biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan

akibat perkawinan tersebut.

16

Perkawinan adalah sunnatulla>h, hukum alam di dunia perkawinan

dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan. Dalam

pernyataan Allah dalam Al-Qur’an, firman Allah SWT:

كل شىء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون ومن

Artinya: “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan

supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Q.S.Al-Dzariyat:49)

Dari makhluk yang diciptakan Allah berpasang-pasangan inilah Allah

menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari

generasi ke generasi berikutnya.

Hukum Islam juga diterapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara

perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia

maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan

terciptanya keluarga sejahtera. Karena keluarga merupakan lembaga

terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat

tergantung pada kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan

perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya.

Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai

terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar

terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan,

17

karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam, bagi yang mempunyai

kemampuan.4

Pada dasarnya Islam menganjurkan perkawinan, akan tetapi para

ulama berbeda pendapat dalam hukum asal perkawinan. Menurut jumhur

ulama hukum asal perkawinan adalah wajib hukumnya. Sedangkan

Syafi’iyyah mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah. Dan

seseorang dibolehkan melakukan perkawinan dengan tujuan mencari

kenikmatan. Hukum perkawinan ada lima macam yaitu Wajib, Sunah,

Haram, Makruh, dan Mubah.5

Dari kelima macam diatas belum dijelaskan secara jelas mengenai

wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Maka dari itu sebagaimana

diuraikan oleh Abdurrahman al-Jaziri adalah sebagai berikut:

a. Wajib

Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang mempunyai

kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam

hidup perkawinan serta ada kekhawatiran apabila tidak kawin maka akan

mudah untuk melakukan zina. Menjaga diri dari perbuatan zina melakukan

perkawinan hukumnya wajib.

4 Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Fiqih, Cet.ke-1, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1995), 45. 5 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru, 1992), 355.

18

b. Sunnah

Perkawinan hukumnya sunah bagi orang yang berkeinginan kuat

untuk perkawinan dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan

dan memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak

melakukan perkawinan juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.

c. Haram

Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan

serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul

kewajiban-kewajiban hidup perkawinan atau punya tujuan menyengsarakan

istrinya, apaabila perkawinan akan menyusahkan isttrinya dengan demikian

perkawinan merupakan jembatan baginya untuk berbuat dzolim. Islam

melarang berbuat dzolim kepada siapapun, maka alat untuk berbuat dzolim

dilarangnya juga.

d. Makruh

Perkawinan menjadi makruh bagi sesorang yang mampu dari segi

materiil, cukup mempunyai daya tahan mental sehingga tidak akan khawatir

terseret dalam berbuat zina. Tetapi mempunyai kekhawatiran tidak mampu

memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap istri. Meskipun tidak berakibat

menyusahkan pihak istri misalnya, pihak istri tergolong orang yang kaya

atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk perkawinan.

19

e. Mubah

Perkawinan hukumnya mubah bagi orang- orang yang mempunyai

harta benda tetapi apabila tidak kawin tidak akan merasa khawatir berbuat

zina dan tidak akan merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya

terhadap istri. Perkawinan dilakukan hanya sekedar memenuhi kesenangan

bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup

beragama.

3. Syarat dan Rukun Perkawinan

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-

masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Berikut ini adalah syarat-

syarat dari rukun tersebut:

a. Calon Suami, syarat-syaratnya adalah beragama Islam, laki-laki, jelas

orangnya, dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan

perkawinan.

b. Calon istri, syarat-syaratnya adalah beragama, perempuan, jelas

orangnya, dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan

perkawinan.

c. Wali Nikah, syarat-syaratnya meliputi laki-laki, dewasa, mempunyai

hak perwalian, tidak terdapat halangan perwaliannya.

d. Saksi Nikah, dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qabul, dapat mengerti

maksud akad, beragama Islam, dewasa.

20

e. Ijab qabul, syarat-syaratnya adanya pernyataan mengawinkan dari wali,

adanya pernyataan pener imaan dari calon mempelai, memakai kata-

kata nikah , tazwij atau terjemahan kedua kata tersebut, antara ijab dan

qabul bersambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orang yang

terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram, majlis ijabbdan qabul

harus dihadiri minimal empat orang (calon mempelai atau wakilnya,

wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi).6

4. Tujuan Perkawinan

Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah menjaga dan memelihara

perempuan yang bersifat lemah dari kebinasaan. Perempuan dalam sejarah

digambarkan sebagai makhluk yang sekadar menjadi pemuas hawa nafsu

kaum laki-laki. Perkawinan adalah pranata yang menyebabkan seorang

perempuan mendapatkan perlindungan dari suaminya. Keperluan dirinya

wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk

memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan

nikah, anak yang dilahirkan tidak diketahui siapa yang akan mengurusnya

dan siapa yang bertanggung jawab menjaga dan mendidiknya, sebab kalau

tidak ada pernikahan, manusia akan mengikuti hawa nafsunya sebagaimana

layaknya binatang, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana,

6Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), 45.

21

dan permusuhan antara sesama manusia, yang mungkin juga dapat

menimbulkan pembunuhan yang Maha dahsyat. Tujuan pernikahan yang

sejati dalam islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan

manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda

dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural. Hubungan

dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya

generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa

depan masyarakat dan negara.

Tujuan Pernikahan yang dipahami oleh kebanyakan pemuda dari

dahulu sampai sekarang, di antaranya:

1. Mengharapkan harta benda,

2. Mengharapkan kebangsawanannya,

3. Ingin melihat kecantikanya,

4. Agama dan budi pekertinya yang baik7

B. Pengertian Tradisi (Adat)

Ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat merupakan kebiasaan

dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian

7Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh dan Undang-Undang

Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), 59.

22

ulama ushul fiqh, urf’ disebut adat (adat kebiasaan).8 sebagaimana yang

tercantum dalam QS. Al-a’raf: 199:

خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين Artinya: “Dan suruhlah orang untuk mengerjakan yang ma’ruf dan berpalinglah

orang-orang yang bodoh”9

Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang

diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa

adanya ini, suatu tradisi akan penuh.Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-

istiadat atau kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di

masyarakat. Dalam suatu masyarakat muncul semacam penilaian bahwa cara-

cara yang sudah ada merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan

persoalan. Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model

terbaik selagi belum ada alternatif lain.

Dari penjelasan tersebut mengenai tradisi, dapat disimpulkan bahwa

tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun

temurun dari nenek moyang, dan tradisi merupakan suatu macam penilaian

masyarakat bahwasanya cara-cara yang sudah ada merupakan yang terbaik bagi

masyarakat untuk menyelesaikan masalah.

Dalam pembahasan mengenai seputar hukum Islam, ada beberapa

disiplin pengetahuan yang mendukung kita untuk memahami sejarah dan latar

8Ahmad Sanusi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 81. 9Muhammad Ma’shum Zein, Ushul Fiqh, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 127.

23

belakang kemunculan sebuah ketentuan hukum dalam islam sehingga kita

mampu mengaplikasikanya secara langsung di dalam keseharian. Salah satu

disiplin pengetahuan yang dianggap begitu signifikan dan memiliki peranan

dalam kerangka metodologi hukum adalah ‘urf atau adat.Dalam ushul fiqh ‘urf

dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam menganalisis tradisi-tradisi

sebuah masyarakat tertentu.

Mayoritas ulama’ menerima ‘urf sebagai dalil hukum, tetapi berbeda

pendapat dalam menetapkannya sebagai dalil hukum yang mustaqill (mandiri).

Ibnu Hajar –seperti disebutkan al-Khayyath – mengatakan bahwa para ‘Ulama

as-Shafi’iyyah tidak membolehkan berhujjah dengan ‘urf apabila ‘urf tersebut

bertentangan dengan nash atau tidak ditunjuki nash shar’i. jadi, secara implisit

mereka mensyaratkan penerimaan ‘urf sebagai dalil hukum, apabila ‘urf

tersebut ditunjuki oleh nash atau tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan

‘Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menjadikan ‘urf sebagai dalil hukum yang

mustaqill dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang qath’idan tidak

ada larangan shara’ terhadapnya.Dalam posisi ini, mereka memperbolehkan

men takhsis-kan dalil yang umum, membatasi yang mutlaq, dan ‘urf dalam

bentuk ini didahulukan pemakaianya dari pada qiyas.‘Ulama Hanabilah

menerima ‘urf selama ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan

24

‘Ulama Syiah menerima ‘Urf, dan memandangnya sebagai dalil hukum yang

tidak mandiri, tetapi harus terkait dengan dalil lain, yakni Sunnah.10

Dalam setiap kebudayaan pada masyarakat tentunya mempunyai

sebuah tradisi yang sudah dianggap sebagai sistem keyakinan dan mempunyai

arti penting bagi pelakunya. Tradisi dalam masyarakat mempunyai posisi

yang sentral, karena dapat mempengaruhi aspek kehidupan dalam masyarakat.

Kemudian sejalan dengan itu, tradisi adalah adat atau kebiasaan yang turun

temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.

Penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang

paling baik dan benar.11

Sebuah tradisi pada dasarnya merupakan pranata yang dianggap baku

oleh masyarakat penduduknya, dengan demikian sebuah tradisi merupakan

kerangka acuan norma dalam kehidupan atau perilaku masyarakat, hal ini sulit

untuk berubah karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata

tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, jati diri, masyarakat

penduduknya. Secara garis besarnya, tradisi sebagai kerangka acuan norma

dalam masyarakat disebut pranata.12

10Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaikani (Jakarta: Logos, April 1999), 34 11Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993),

959. 12Abdul Jamil, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 122.

25

Dari penjelasan di atas mengenai tradisi, dapat disimpulkan bahwa

tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun

temurun dari nenek moyang, dan tradisi merupakan suatu macam penilaian

masyarakat bahwasanya cara-cara yang sudah ada merupakan yang terbaik

bagi masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Berikut ini jika dilihat dari

segi pandangan ‘Urf yakni:

1. Kajian Tentang ‘Urf

‘Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan

merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun

perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqih, ‘Urf disebut adat, sekalipun

dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan antara ‘urf dengan

adat, karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat juga telah

biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan

hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang

melanggarnya.

Dilihat sepintas, seakan-akan ada persamaan antara ijma>’ dengan

‘urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan

tidak ada yang menyalahinya. Perbedaan ialah pada ijma>’ ada suatu

peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para

mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata

pendapatnya sama. Sedang pada ‘urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa

26

atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat

sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh

anggota masyarakat yang lain, lalu mengerjakan pula. Lama kelamaan

mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak

tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma>’, masyarakat

melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah

menyepakatinya, sedang pada ‘urf, masyarakat mengerjakannya karena

mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.

Kemudian ‘urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi

sifatnya ‘urf terbagai pada:

1. ‘Urf Lafdzi>

Ialah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan kata-kata tertentu

dalam mengungkapkan sesuatu sehingga makna itulah yang

dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya: kata

daging yang berarti aging sapi, padahal kata daging mencakup semua

daging yang ada.

2. ‘Urf Amali>

Ialah ‘Urf yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah

keperdataan, seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapakan

shighat akad jual beli. Padahal menurut syara’, shighat jual beli itu

merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi

27

kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa Shighat jual

beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara’

membolehkanya.

Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘urf, terbagi atas:

1. ‘Urf Shahi>h

Ialah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak

bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits. Selain itu juga tidak

menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa

kesulitan (madharat) kepada mereka. Sejalan dengan pendapat

tersebut, dikatakan bahwa al-‘urf al-shahi>h tidak menghalalkan yang

haram atau bahkan membatalkan yang wajib.

2. ‘Urf Fasi>d

Ialah kebiasaan yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena

bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian

untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal

ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid

yang diajarkan agama islam.

Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi atas:

1. ‘Urf ‘Aam

Ialah kebiasaan tertentu yang berlaku pada suatu tempat, masa dan

keadaan, seperti memberi hadiah kepada orang yang telah

28

memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada

orang yang telah membantu kita dan sebagainya. Pengertian memberi

hadiah disini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi

tugas kewajibanya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu,

ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan

karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibanya

dengan rakyat/masyarakat yang dilayani.

2. ‘Urf Khash

Ialah kebiasaan yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan

tertentu saja. Seperti mengadakan halal bihalal yang biasa dilakukan

oleh bangsa indonesia yang beragama islam pada setiap selesai

menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-

negara islam lain tidak dibiasakan.13

2. Kehujjahan ‘Urf

Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa Al-‘urf al-shāhih baik yang

menyangkut Al-‘urf al-lafzhī, Al-‘urf al-‘amalī maupun menyangkut Al-

‘urf al-ām dan Al-‘urf al-khāsh, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan

hukum syara’. Menurut Imam al-Qarafi (ahli fiqih Maliki) yang dikutip

13Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), 84.

29

oleh Harun Nasroen menyatakan bahwa seorang mujtahid dalam

menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasan yang

berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu

tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut

masalah tersebut. Dengan mengutip pendapat Imam al-Syatibi (ahli ushul

fiqh Maliki) dan Ibn-Qayim al-Jauzi (ahli ushul fiqh Hanbali) Nasrun

Haroen juga menytakan bahwa seluruh ulama’mazhab menerima dan

menjdikan ‘urf sebagai dalil syara dalam menetapkan hukum apabila tidak

ada nash yang menjelaskan hukum masalah yang sedang dihadapi.14

Misalnya, seseorang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga

tertentu, padahal lamanya di dalam kamar mandi dan berapa jumlah air

yang terpakai tidak jelas.Sesuai dengan ketentuan hukum syari’at Islam

dalam satu akad, kedua hal ini harus jelas.Tetapi, perbuatan seperti itu telah

berlaku luas ditengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh ulama’mazhab

menganggap sah akad ini.Alasan mereka adalah adat perbuatan yang

berlaku.

Adapun kehujjahan ‘Urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas

argumen-argumen berikut ini.

a. Firman Allah SWT pada surah Al-A’raf (7): 199

14Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet.2, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), 142.

30

خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Melalui ayat di atas Allah SWT memerintah kaum muslimin untuk

mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri

ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-

ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan yang

dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.

b. Ucapan sahabat Rasulullah SAW

ئ ي س الله د ن ع و ه ا ف ئ ي س ن و م ل المس ه آار م و ن س ح الله د ن ع و ه ا ف ن س ح مسلمون ال ه آار م

Artinya: Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik

disisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud ra diatas, baik dari segi redaksi maupun

maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di

dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat islam,

adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang

bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarkat, akan

melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal,

dalam pada itu, Allah SWT berfirman pada surah al-Maidah (5): 6:

31

يكم ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطه ركم وليتم نعمته عل

لعلكم تشكرون

Artinya: Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak

membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya

kamu bersyukur.15

Berdasarkan dalil-dalil kehujjahan ‘urf diatas sebagai dalil hukum, maka

ulama, terutama ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah merumuskan kaidah hukum

yang berkaitan dengan al-‘urf, antara lain, berbunyi:

ة م ك ح م ة اد ع ل ا

1. Adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum

اط ر ش ط و ر ش م ا ل ا ك ف ر ع ف و ر المع

2. Sesuatu yang baik yang menjadi ‘urf sama kedudukannya dengan sesuatu

yang disyaratkan untuk menjadi syarat.

ص لن با ت ا ب الث ك ف ر ع ال ب ت ا ب الث

3. Sesuatu yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan sesuatu yang ditetapkan

melalui nash.

15Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2010), 212.

32

ة ن ك م ال و ة ن م ز ال ر ي غ ت ب ام ك ح ل ا ر ي غ ت ر ك ن ي ل

4. Tidak diingkari, perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan

tempat16

Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa adat (‘urf) merupakan sumber

hukum yang diambil oleh mazhab Hanafi dan Maliki. Dan sesungguhnya

perbedaan diantara para fuqaha’ adalah perbedaan adat dimana mereka hidup.

Dari berbagai kasus adat yang dijumpai, para ulama’ ushul fiqh

merumuskan kaidah kaidah fiqh yang berkaitan dengan adat, diantaranya adalah:

ص الن ف ال خ ي م ا ل م ة م ك ح م ة اد ع ل ا Artinya: “Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum selama tidak bertentangan

dengan nash”

Berangkat dari beberapa paparan terkait permasalahan ‘urf atau ‘addah di

atas, maka dapatlah kita simpulkan bahwa ‘urf atau ‘addah tersebut dapat

dijadikan sebuah landasan hukum apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:

1. ‘Urf atau‘adah tersebut memiliki kemaslahatan dan dapat diterima oleh akal

sehat. Syarat ini telah merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang sahih,

sebagai persyaratan untuk diterima secara umum.

16Moh Shofiyul Huda, Ushul Fiqh, (Kediri: STAIN Kediri Pers,2009), 145.

33

2. Keberadaan ‘Urf atau ‘adah tersebut sudah menjadi kebiasaan dalam

masyarakat setempat. Berkenaan dengan hal ini, dijelaskan bahwa

sesungguhnya adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara

umum, sehingga apabila adat tersebut masih kacau, maka tidak perlu

diperhitungkan kembali.17 Sesuai kaidah:

دت فإن لم يطرد فل ت ب ر العادة إذا اطر إنما ت ع

Artinya: “Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku

secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan”.

3. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau

bertentangan dengan prinsip yang pasti.

a. Maksud Kaidah

Yang dimaksud dengan Adat yang terus-menerus berlaku adalah

kebiasaan tersebut berlaku secara holistic (dalam setiap ruangan dan waktu),

sedangkan kebiasaan tersebut dilakukan oleh mayoritas publik.Artinya tidak

dianggap kebiasaan yang biasa dijadikan pertimbangan hukum, apabila ada

kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan tidak berlaku secara umum. Kaidah

ini adalah termasuk dalam kategori syarat dari pada adat, yaitu terus-menerus

dilakukan dan bersifat umum (keberlakuaanya).

Adat bisa dijadikan salah satu dalil dalam menerapkan hukum syara’

apabila memenuhi syarat sebagai berikut.

17 Amir Syarifuddin, Ushul Fikih jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 364.

34

1) Berlaku secara umum, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan.

Berlaku terhadap seluruh kasus yang terjadi di masyarakat dan dianut oleh

seluruh masyarakat.

2) ‘Urf telah memasyarakat ketika munculnya persoalan yang akan ditetapkan

hukumnya.

3) ‘Urf Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam

suatu akad (transaksi).

4) ‘Urf Tidak bertentangan dengan nash yang menyebabkan hukum di dalam

nash tersebut tidak dapat diterapkan.18

Dari uraian di atas dijelaskan bahwa ‘urf atau adat itu digunakan sebagai

landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama atas adat itu

bukanlah semata-mata ia bernama adat atau ‘urf. ‘urf atau adat itu bukanlah

dalil yang berdiri sendiri. Adat atau ‘urf itu menjadi dalil karena ada yang

mendukung atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma>’ atau

maslahat. Adat yang berlaku dikalangan umat berarti telah diterima sekian lama

secara baik langsung dan telah terjadi ijma>’ walaupun dalam bentuk sukuti.

18

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet.2, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), 139-141

35

C. Tradisi Midak Tigan

Midak Tigan Berasal dari bahasa jawa yang berarti menginjak telur,

dalam masyarakat jawa tradisi midak tigan tidak hanya merupakan suatu tradisi

tanpa makna. Oleh karena itu masyarakat jawa percaya bahwa makna tigan

merupakan artian awal permulaan memasuki hubungan rumah tangga, hal itu

dilihat dari upacara pernikahan yang terdapat prosesi menginjak telur. Tradisi

ini dilakukan oleh pengantin laki-laki ritual ini dilakukan tanpa menggunakan

alas kaki, tradisi ini bisa menggunakan telur ayam kampung mentah yang

diletakkan disebuah wadah ceper dengan diberi taburan bunga mawar dan irisan

daun pandan.19

Dengan panduan seorang tata rias Lalu kemudian pengantin laki-laki

disuruh menginjak telur tersebut dengan kaki kanan, setelah melakukan prosesi

tersebut maka kaki pengantin laki-laki akan dibersihkan oleh pengantin

perempuan dengan pembasuhan dimana perempuan akan duduk bersimpuh di

bawah pengantin laki-laki Sesudah itu pengantin perempuan akan membasuh

kaki pengantin laki-laki dengan air yang sudah dicampur dengan bunga-bunga

yang melambangkan kesetiaan seorang istri terhadap suaminya, yang selalu

menyambut kedatangan suami dengan segala kasih sayangnya. Dengan

melakukan tradisi midak tigan seorang perempuan dipusatkan sebagai objek

19 Irmawati, pemilik tata rias, Lamongan, 5 Februari 2019.

36

yang harus tunduk dan patuh terhadap aturan laki-laki, dalam tradisi ini

perempuan diharapkan bisa berlaku legowo atau berlapang dada terhadap

peraturan laki-laki.20

Dari uraian di atas tradisi jawa tidak lepas dengan yang namanya arti-

arti prosesi dalam pernikahan dan bersifat selalu melekat dalam kehidupan

masyarakat yang telah diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang.

Salah satunya yaitu tradisi midak tigan yang sampai sekarang masih populer

digunakan dalam ritual prosesi pernikahan dalam masyarakat jawa. Upacara

pernikahan adat jawa memiliki banyak keunikan dan keindahan, tiap

tahapannya memiliki banyak makna yang dipercayai oleh masyarakat setempat

karena mengandung pesan-pesan kebaikan.

20 Sholikun, Tokoh Masyarakat, Lamongan, 7 Februari 2019.