hukum perkawinan islam dan uu no.1 tahun 1974

8
49 HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974 1-- .... ;. ' --- ____ Oleh : M. Tahir Azhary, S.H. _______ _ Sebagaimana diketahui UU No. 1 Tahun 1974 telah berusia hampir dua belas tahun (dihitung sejak tanggal diundangkannya 2 Januari 1975). Na- mun demikian, sampai saat ini pema- haman orang terhadap UU dalam hubungannya dengan hukum perkawinan Islam masih seringkali belum memperlihatkan suatu ketepat- an atau kebenaran ilmiah. Akibatnya terjadi pemahaman yang keliru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lebih fatal lagi, akibat dari pemahaman yang keliru itu, ada kesan seolah-olah terdapat konflik atau pertentangan antara hukum per- kawinan Islam dengan UU No. 1 Ta- hun 1974 tersebut. Untuk menduduki masalah pada tempatnya, melalui karangan ini penu- lis mencoba menjelaskan/membahas persoalan pokok di bawah ini : - Adakah hubungan antara hukum perkawinan Islam dengan UU No.1 Tahun 1974? Apabila ada, bagai- manakah sesungguhnya bentuk hu- bungan tersebut ? Hukum Perkawinan Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Untuk menjawab persoalan pokok tersebut di atas, pada hemat penulis perlu diperhatikan dua pendapat yaitu: Pertama, pandangan ataupendapat yang secara tegas menyatakan bahwa ada hubungan antara hukum perka- win an Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974. Kiranya dapat dianggap sebagai pelopor pendapat ini adalah almarhum Prof. DR. Hazairin, S.H. yang dengan tegas menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 adalah merupakan suatu ijtihad. 1 Sebagaimana diketahui ijtihad dalam hukum Islam merupakan urutan ketiga dari sumber-sumber hukum Is- lam yaitu setelah al-Quran dan Sun- nah RasuI.2 Jadi, hubungan antara 1 Lihat "Kata Sambutan" Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam buku Sayuti Thalib, S.H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, ce- takan ke4, hlm. ix. 2Dalam suatu dialog antara Nabi Mu- hammad SAW yang juga adalah kepala ne- gara kota Madinah dengan Mu'adz bin Jabal yang dikirim menjadi penguasa di Yaman, Nabi bertanya kepada Mu'adz: "Dengan apa engkau mengatur? Dengan Quran", Jawab Mu'adz. Nabi bertanya lagi: "Jika di dalam- nya tidak ada ketentuan?" Mu'adz menja- wab: "Dengan sunnah Nabi". Nabi berta- nya lagi: "Jika di dalam sunnah tidak ada?" Jawab Mu'adz: "Aku akan ber-ijtihad de- ngan akal". (teks aslinya: sa ajtahidu bi ra'- yi). Dad percakapan Nabi Muhammad SA W dengan Mu'adz bin Jabal itu dan de- ngan didasarkan pula pada al-Quran surah IV:59 dapat ditarik kesimpulan bahwa sum- ber-sumber hukum Islam itu adalah (1} al-Quran, (2) Sunnah Rasul dan (3) aka! (al-rayu) melalui ijtihad. Untuk selanjut- nya lihat buku Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam, cetakan kedua, him. 22/29 dan buku beliau, Hukum Is- lam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah, ce- Februari 1987 ,

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974

49

HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974 •

1--....;.'---____ Oleh : M. Tahir Azhary, S.H. _______ _

Sebagaimana diketahui UU No. 1 Tahun 1974 telah berusia hampir dua belas tahun (dihitung sejak tanggal diundangkannya 2 Januari 1975). Na­mun demikian, sampai saat ini pema­haman orang terhadap UU ter~ebut

dalam hubungannya dengan hukum perkawinan Islam masih seringkali belum memperlihatkan suatu ketepat­an atau kebenaran ilmiah. Akibatnya terjadi pemahaman yang keliru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lebih fatal lagi, akibat dari pemahaman yang keliru itu, ada kesan seolah-olah terdapat konflik atau pertentangan antara hukum per­kawinan Islam dengan UU No. 1 Ta­hun 1974 tersebut.

Untuk menduduki masalah pada tempatnya, melalui karangan ini penu­lis mencoba menjelaskan/membahas persoalan pokok di bawah ini : - Adakah hubungan antara hukum

perkawinan Islam dengan UU No.1 Tahun 1974? Apabila ada, bagai­manakah sesungguhnya bentuk hu­bungan tersebut ?

Hukum Perkawinan Islam dan UU No. 1 Tahun 1974

Untuk menjawab persoalan pokok tersebut di atas, pada hemat penulis perlu diperhatikan dua pendapat yaitu: Pertama, pandangan ataupendapat yang secara tegas menyatakan bahwa

ada hubungan antara hukum perka­win an Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974. Kiranya dapat dianggap sebagai pelopor pendapat ini adalah almarhum Prof. DR. Hazairin, S.H. yang dengan tegas menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 adalah merupakan suatu ijtihad. 1 Sebagaimana diketahui ijtihad dalam hukum Islam merupakan urutan ketiga dari sumber-sumber hukum Is­lam yaitu setelah al-Quran dan Sun­nah RasuI.2 Jadi, hubungan antara

1 Lihat "Kata Sambutan" Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam buku Sayuti Thalib, S.H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, ce­takan ke4, hlm. ix.

2Dalam suatu dialog antara Nabi Mu­hammad SAW yang juga adalah kepala ne­gara kota Madinah dengan Mu'adz bin Jabal yang dikirim menjadi penguasa di Yaman, Nabi bertanya kepada Mu'adz: "Dengan apa engkau mengatur? Dengan Quran", Jawab Mu'adz. Nabi bertanya lagi: "Jika di dalam­nya tidak ada ketentuan?" Mu'adz menja­wab: "Dengan sunnah Nabi". Nabi berta­nya lagi: "Jika di dalam sunnah tidak ada?" Jawab Mu'adz: "Aku akan ber-ijtihad de­ngan akal". (teks aslinya: sa ajtahidu bi ra'­yi). Dad percakapan Nabi Muhammad SA W dengan Mu'adz bin Jabal itu dan de­ngan didasarkan pula pada al-Quran surah IV:59 dapat ditarik kesimpulan bahwa sum­ber-sumber hukum Islam itu adalah (1} al-Quran, (2) Sunnah Rasul dan (3) aka! (al-rayu) melalui ijtihad. Untuk selanjut­nya lihat buku Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam, cetakan kedua, him. 22/29 dan buku beliau, Hukum Is­lam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah, ce-

Februari 1987

,

Page 2: HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974

50

hukum perkawinan Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974 dapat dilihat dari sudut ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga. .

Dalam hukum Islam , ada dua bi­dang yang harus diperhatikan yaitu ibadat dan mu 'amalat. Termasuk ke dalam bidang yang pertama adalah pengaturan mengenai hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Bidang mu'amalat adalah berkenaan dengan hubungan dan kehidupan kemasyara­katan yang mencakup aspek-aspek hu­kum, sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain, serta hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Sehubungan dengan kedua macam bi­dang tersebut, perlu diketahui, bidang mana yang memungkinkan orang ber­ijtihad dan bidang mana yang tidak. 3

takan pertama, hlrn. 13. Lihat pula bu­ku Prof. Dr. Hazairin, S.H., Hukum Kewa-

. risan Menurut Quran dan Hadith, cetakan keenam, hIm. 61-68, yang membahas surah IV:59 tersebut. Lebih lanjut lihat pu­la buku Dr. Said Ramadan, Islamic Law Its Scope and Equity, second edition, hIm. 74-83,

3 Hukum Islam mencakup dua bidang yaitu: ibadat (iman, salat , zakat, puasa dan haji) dan urusan kemasyarakatan yang men­cakup mu'amalat, munakahat, ukubat, mu­khasamat, siyar dan ahkam sultaniah. Sis­tematik tersebut dapllt dibandingkan dengan sistematik hukum barat yaitu mu 'amalat dan munakahat merupakan hukum perda­tu, ukubat atau jinayat adalah hukum pida­na" mukhasamat mengatur tentang hukum acara peradilan, siyar merupakan hukum intemasional dan ahkam sultaniah dapat disamakan dengan hukum tata-negara, hu­kum administrasi /legara dan hukum pajak (liha t buku Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Keuta· maan Hukum Islam, hIm. 25;-26). Perlu dicatat bahwa penulis karangan ini menggu­nakan istilah mu 'amalat dalam arti yang luas, dengan demikian mencakup pengerti­an semua urusan kemasyarakatan yang dirin-

Hukum dan Pembangunan

Dalam hukum Islam sudah terdapat suatu konsensus di kalangan sarjana hukum Islam bahwa syari'ah telah mengatur sedemikian rupa mengenai bidang ibadat sehingga untuk bidang ini tidak lagi diperlukan ijtihad. Oleh karena serrtua aturan bagaimana manu­sia harus berperilaku dalam bidang ibadat telal1 tercantum dengan jelas dan terinci khususnya di dalam Sun­nah Rasul. Contoh, dalam al-Quran digariskan suatu ketentuan bahwa se­tiap muslim/mukmin wajib melaksana­kan salat lima waktu pada setiap hari/ malam, yaitu: subuh, zuhur, 'asar, maghrib dan 'isya. Tentang berapa jumlah rakaatnya dan bagaimana ta­ta-caranya, semuanya itu telah dijelas-, kan secara terinci di dalam Sunnah

Rasul. Berbeda dengan bidang mu 'amalat

yaitu masalah-masalah kemasyarakat­an, al-Quran dan Sunnah Rasul pada umumnya telah ' meletakkan prinsip­prinsip dasar yang tentunya memerlu­kan pengembangan atau penjabaran lebih lanjut, sesuai dengan keadaan, wllktu dan tempat. Timbul pertanya­an, mengapa di dalam bidang ibadat al-Quran dan Sunnah Rasul mengatur secara detil mengenai semua aspek peribadatan dan mengapa di dalam bi­dang mu 'amalat tidak demikian ?

Bidang ibadat sebagaimana diketa­hui mencakup hubungan antara manu­sia dengan Allah SWT yang bersifat kQnstan, teratur, tetap dan terus-mene­rus sampai akhir hayat seseorang. Agar di dalam aplikasinya tidak keliru, ma­ka secara tepat dan sesuai pula dengan fitrah manusia, al-Quran dengan diper­jelas oleh Sunnah Rasul memberikan tuntunan yang terinci kepada manusia

ci di atas.

Page 3: HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974

Hultum Perltawinan Islam

sebagaimana seharusnya ia menghu­bungkan dirinya atau berperilqk:u de­ngan Allah SWT yang telah mencipta­kannya. Berbeda dengan bidang mu '­amaiat, al-Quran dengan diperjelas oleh Sunnah Rasul hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang prinsipil dengan maksud agar hal-hal lainnya yang belum diatur atau yang tidak ada di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul dapat diatur sendiri oleh manusia sesuai dengan perkembangan zaman dan kebu tuhan manusia, yaitu sepan­jang pengaturannya itu tidak berten­tangan dengan al-Quran d<\l1 Sunnah Rasul. Di sini peranan akal sangat pen­ting sekali. Sehubungan dengan itu, al-Quran berulangkali memerintahkan manusia agar menggunakan akal pikir­annya.4 Dalam ilmu hukum Islam, ak­tivitas tersebut dinamakan ijtihad atau al-ra'yu 5 yang diwujudkan dalam ber­bagai metode antara lain ijma, qias, istihsan, is tislah, a tau masalih al­mursalah.

Dengan demikian, hukum Islam se­nantiasa dapat mempertahankan sifat dinamisnya dan senantiasa dapat dite­rapkan di manapun dan pada zaman apa pun. Dalam bidang mu 'amalat (kemasyarakatan) setiap perubahan so sial senantiasa dapat diu'kur dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

Sebagaimana diketahui, termasuk ke dalam bidang mu 'amalat itu antara lain adalah hukum perkawinan. Dalam sistematik ilmu hukum, bidang perka­winan ini termasuk dalam kelompok

4 Ayat-ayat al-Quran yang mengandung

kata pikir atau akai ada iebih dari SO. Lihat buku' Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Ibid., him. 21.

5 . Lihat karangan Prof. H. Moh . Daud

Ali, S.H., A sas-asas Hukum . II , 1986, him. 5 . •

51

hukum kekeluargaan. Dalam hubungan ini, al-Quran telah menggariskan tidak kurang dad 70 ketentuan yang bersifat imperatij di bidang hukum kekeluar­gaan.6

Dibandingkan dengan. materi yang diatur, maka 70 ketentuan itu adalah limitatif dan sebagian besar merupa· kan prinsip-prinsip dasar. Oleh karena itu , bagaimana aplikasi dari prinsip­prinsip dasar tersebut sepenuhnya dise­rahkan kepada manusia. Dalam kon­teks inilah dapat kiranya dipahami pandangan Prof. DR. Hazairin, S.H. se­bagaimana telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, tidaklah berIebihan apabila ditarik suatu kesimpulan bah­wa antal:a hukum perkawinan Islam dan UU No . 1 Tahun 1974 terdapat hubungan yang erat, artinya di dalam UU No . 1 Tahun 1974 itu terkandung prinsip-prinsip hukum perkawinan Is­lam dan bagaimana aplikasi (penerap­an) prinsip-prinsip tersebut dapat di­kualifisir sebagai suatu hasil ijtihad dari bangsa Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh para ulama dan sar­jana-saljana Islam yang duduk sebagai anggota DPR ketika RUU No. 1 Ta­hun 1974 dibicarakan dalam forum DPR itu .7 Kedua, pendapat yang ti­dak mengakui adanya hubungan antara hukum perkawinan Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974. Pendapat ini ter-

6 Lihat Dr. Said Ramadan, Ibid. . him. 15.

.7 Para ulama dan sarjana-sarjana Islam yang menjabat sebagai anggota DPR itu dapat disebut sebagai satu kelompok dari " uIil-amri min-kum" dalam al-Quran Surah IV: 59, yang kiranya memiliki kualifikasi se­bagai orang yang ber-ijtihad (mlljtahid) dan mempunyai o toritas itu, sebagaimana yang dimaksud dalam nadits Mu'adz bin Jabal.

Februari 1987

Page 4: HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974

52

cermin antara lain dalam pandangan Prof. DR. J. Prins. Di bawah ini pe­nulis sengaja mengutip secara utuh pendapat gurubesar tersebut :

"Sudah sering kita memakai istilah "ajaran hukum" untuk menunjukkan asal-muasal - peraturan-peraturan yang berkenaan undang-undang perkawinan yang wajib berlaku menurut keyakinan Islam. Istilah Indonesia yang secara ber­gantian kami gunakan, ialah syari'at (atau variasinya kata yang berasal dari bahasa Arab ini). Kami telah membuat catatan dalam bab terdahulu, bahwa un­dang-un dang yang baru" seperti nama­nya sekarang ini, membawa pengukuh­an pada kedudukan peradilan agama Is­lam. Harus segera ditambahkan di sini, bahwa ini tidak berarti bahwa hukum perkawinan Islam dalam bentuknya yang aslipun, juga diperkukuh. Dapatlah dika­takan bahwa hukum tersebut malah lebih diperlemah.

Ini tern ya ta dari pem ba tasan-pem ba­tasan yang ditetapkan oleh un dang­undang terhadap poligami (beristri bebe­rapa), yang berada di bawah pengawasan (dapat dikata1can dernikian) peradilan agama Islam, yang menyangkut orang­orang Islam.

Selanjutnya pelaksanaan hak talak oleh suami Islam terikat pada carnpur­tangan, pengawasan dan kerjasama dari pengadilan Agama.

Akhirnya ada kewajiban memelihara (bagi yang bukan agarna Islam oleh ha­kim biasa, bagi yang Islam pada hakikat­nya oleh hakim pengadilan agama Is­lam) yang bukan akan diharuskan ke­pada suarni yang telah bercerai, untuk kepentingan bekas istrinya (dan ,anak­anaknya). Suatu peraturan yang tidak dikenal oleh syari'at Islam klasik terha­dap seorang wanita". 8

Terhadap kutipan di atas, ada be­berapa hal yang perlu ditanggapi, yai­tu :

8 Prof. Dr. J. Prins, Tentang Hukum Per­kawinan di Indonesia, alih-bahasa: G.A. Ticoalu, cetakan pertama, him. 86.

Hukum dan Pembanj(unan

1. Bahwa UU No. 1 Tahun 1974 menurut Prof. Prins telah memper­kuat kedudukan peradilan Agama di Indonesia, Penulis sependapat dan setuju dengan pandangan Prof. DR. 1. Prins tersebut. Pendapatnya itu benar dan tepat, oleh karena sesul!i dengan ketentuan dalam Pa­sal 63 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974. Dengan lahirnya UU No.1 Tahun 1974, maka keduduk­an pengadilan Agama di Indonesia menjadi semakin kokoh.9

2. Bahwa dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 maka kedudukan hu­kum perkawinan Islam "malah le­bih diperlemah". Demikian. menu­rut Prof. DR. 1. Prins. Pendapat­nya ini jelas tidak benar. Oleh ka­rena itu penulis menolaknya. Argu­mentasi beliau, sehubungan dengan pendapatnya itu sarna sekali tidak mendukung. Bahkan, penulis mem­peroleh kesan, bahwa beliau belum mengkaji masalah ini dari sudut sumber-sumber hukum Islam, khu­susnya yang berkaitan dengan ijti­had. Lebih lanjut, dari sudut per­undang-undangan - dalam hal ini UU No . 1 Tahun 1974 Pasa12 ayat (1) - dengan tegas dirumuskan suatu ketentuan yang sangat asasi yaitu: "perkawinan adalah sah, apa­hila dilakukan menurut hukum ma­sing-masing agamanya dan keperca-

9 pasal 63 UU No.1 Tahun 1974 berbu­nyi: "(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah: a. Pengadil­an Agama bagi merelqi yang beragama is­lam; b . Pengadilan Umurn bagi lainnya". Kiranya ketentuan di atas dapat dipahami bahwa eksistensi Pengadilan Agama sema­kin diakui eleh UU dan dengan demikian kedudukannyapun menjadi semakin kuat.

Page 5: HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974

Hukum Perkawinan Islam

., yaannya itu" Dari ketentuan illl

dapat kiranya disirnpulkan bahwa UU No . 1 Tahun 1974 telah mene­tapkan hukum agama sebagai t%k­ukur untuk menentukan apakah suatu perkawinan itu sah atau ti­dak. Dengan perkataan lain UU No . 1 Tahun 1974 telah menggariskan suatu ketentuan yang sangat esen­sial dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, ketcntuan mana .bersifat irnperatif. Dengan demikian sepasang calon mempelai yang ingin menikah wajib melaksanakan ketentuan tersebut. Kalau tidak, maka konsekuensinya, perkawinan mereka menjadi tidak sah. Bagi orang-orang yang beraga­rna Islam, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 itu , ma­ka hukum perkawman Islam harus diterapkan terhadap mereka. Lebih lanjut, makna dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 itu, sehubungan dengan kedudukan hukum Islam di Indonesia , adalah, bahwa pasal tersebut di atas secara formal hukum , telah memperkuat dan mengukuhkan kedudukan hu­kum Islam.lO Dengan demikian, je-

.

10 9 4 Dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1 7 maka teod resepsi secara hukum perundang­an telah diangkat dari bumi Republik Indo­nesia. Lihat buku Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Un dang-un­dang Perkawinan, cetakan pertama, hIm. 1 yang mengutip pendapat Prof. Mahadi, S.H., bahwa hukum Islam telah Iangsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan bantu­an/perantaraan hukum adat. Lihat Prof. Mahadi, S.H., Hukum Adat dan Hukum Is­lam di Indonesia Setelah Perang Dunia ke-II (dalam Bidang Perdata) . Proyek BPHN be· kerja sarna dengan Fakultas Hukum USU, 1978, hIm. 31. Selain itu Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam Hukum Kekeluargaan Nasional. hIm. 6, telah menyampaikan kritik beliau

53

laslah, bahwa pendapat Prof. DR. J. Prins mengenai kedudukan hukum perkawinan Islam, . sebagaimana te­lah disebutkan di atas, sarna sekali bertentangan dengan makna dan maksud dari isi Pasal 2 (1) UU No. 1 Tahun 1974 itu sendiri.

3. Prof. DR. J. Prins berpendapat bah­wa UU No. 1 Tahun 1974 telah menggariskan apa yang disebutnya sebagai "pembatasan-pembatasan", sehubungan dengan (a) poligami dan (b) pelaksanaan hak talak. Untuk kedua hal ini, oleh karena UU No. 1 Tahun 1974 memberi­kan wewenang kepada pengadilan Agama dalam aplikasinya, maka we­wenang tersebut dinilai oleh Prof. DR. J. Prins sebagai suatu campur­tangan dati pengadilan Agama. Pen­dapatnya ini jelas keliru dan oleh karena itu patut ditolak. Pada hemat penulis, dengan dilirn­pahkan wewenang kepada pengadil­an Agama mengenai pelaksanaan poligami dan hak talak suami, di-pandang dari sudut hukum · Islam, hal ini tiada lain merupakan salah satu rangkaian dari seluruh rangkai­an iftihad, sehubungan dengan UU No.1 Tahun 1974 itu. Sebagairnana diketahui , sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, ada kecenderungan di dalam prak­tek sehari-hari, seorang suami secara sepihak - tanpa sepengetahuan dan persetujuan istrinya - melakukan perkawinan poligami dan dengan sewenang-wenang menjatuhkan ta­lak - tanpa memberikan kesem­patan pembelaan kepada istrinya - . Hal ini jelas, sangat bertentangan

secara tajam terhadap teod resepsi yang beliau namakan sebagai ajaran iblis.

Februari 1987

Page 6: HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974

54

dengan kaidah-kaidah hukum per­kawinan Islam. Sesungguhnya, apa yang dinamakan oleh Prof. DR. J. Prins sebagai "pembatasan-pemba­tasan" sepanjang mengenai poliga­mi dan hak talak suami itu, selain penyebutannya tidak benar, masa­lah ini harus dilihat dari sudut moti­vasi UU No.1 Tahun 1974 itu sen­diri, yaitu apakah maksud dan tu­juan UU No.1 Tahun 1974 mem­berikan wewenang dan peranan yang cukup besar kepada pengadil­an Agama, sehubungan dengan pe­laksanaan poligami dan hak talak suami? Penulis berpendapat, bahwa mak­sud dan tujuan UU No. 1 Tahun 1974 memberikan wewenang kepa­da pengadilan Agama -- dalam hal pelaksanaan poligami dan pelaksa­naan talak oleh suami -, tiada lain adalah untuk menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan hu­kum kepada wanita dan hak-hak mereka. Dalam hal poligami, al-Quran te­lah menggariskan ketentuan, bahwa dibolehkan berpoligami bagi se­orang ~uami , akan tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan syarat utama adalah bersikap adil terhadap para istri (maksimal empat orang). Sesungguhnya, syarat ini merupakan sesuatu yang hampir tidak mungkin sanggup dilaksana­kan oleh manusia. Oleh karena itu, al-Quran memperingatkan apa­bila syarat utama menegakkan keadilan tidak mungkin terlaksana , "maka kawinlah kamu dengan se­orang istri saja".l1 Ketentuan al-

11 al-Quran Surah IV:3 : "Jika kamu ta­kut, bahwa kamu tak akan berlaku adil ten-

Hukum dan Pembangunan

Quran ini, sesungguhnya mengan­dung satu prinsip monogami. Oleh karena, perkawinan seorang sua­mi dengan hanya seorang istri pada hakikatnya merupakan suatu per­kawinan yang ideal dan sejalan pula dengan fitrah manusia yang diciptakan untuk hidup berpasang­an (suami-istri) sebagaimana tercan­tum dalam Q.S. IV: 1.12. Apabila garis hukum tentang po­ligami yang diatur di dalam al-Qur­an kita kaitkan dengan UU No. 1 Tahun 1974 maka prinsip hukum yang terkandung di dalam al-Qur­an itu tetap diakui oleh UU No.1 Tahun 1974, sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 3 ayat (2) UUNo. 1 Tahun 1974:

"Pengadilan dapat memberi izin ke­pada seorang suami un tuk beristri

~lebih dari seorang apabila dikehen­daki oleh pihak-pihak yang bersang-

tang anak-anak yatim, maka kawinilah oleh­mu wanita-wanita yang baik bagimu, dua, tiga atau em pat orang. Tetapi jika kamu ta­kut, bahwa tiada akan berlaku adil , maka kawinilah scorang saja , ... ". Dari ayat ini dapat ditarik dua kesimpulan yaitu (1)

dibolehkan poligami bagi seorang suami de­ngan persyaratan yang sangat ketat ant~ra lain sanggup menegakkan keadilan (bersikap adil) terhadap para istriitu dan (2) prinsip monogami adalah sesungguhnya kehendak al-Quran. Lihat antara lain Tafsir Quran Karim o1eh Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, him. 105 .

12 al-Quran surah IV: 1: " Wahai man usia. Takutbh (dalam arti bertakwa) kepada Tu­han-mu yang tdah mendptakan kamu dari diri yang satu dan menjadikan istri dari pa­danya . . ,". Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia ber­pasangan yaitu mulai dari Adam dan Hawa. Proses ini merupakan suatu sunnatullah, de­mikian secara alamiah manusia itu hidup berpasangan (suami-istri). Prof. Dr. H. Mah­mud Yunus, Ibid., hIm . 104 .

Page 7: HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974

Hukum Perkawinan Islam

kutan" .

Ketentuan ini, pada hakikatnya adalah ketentuan yang bersifat im­plementatif dari asas hukum yang membolehkan poJigami (Q.S. IV:3). Adapun bagaimana pelaksanaan per-

. kawinan poJigami itu, telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal5 ayat (1) dan (2) UU No.1 Tahun 1974 yo. PP No.9 Tahun 1975 Pasal 40 sampai dengan Pasal 43. Dihubungkan dengan hukum perkawinan Islam, pada hakikatnya Pasal 3, 4 dan 5 UU No.1 Tahun 1974 itu, tiada lain, adalah merupa­kan suatu hasil ijtihad dengan re­asoning untuk kemaslahatan umum (for the public utilityj.13 Tegas­nya, kepentingan masyarakat - da­lam hal ini kepentingan kaum wanita - wajib dilindungi oleh UU, mengingat pengalaman-pengalaman pada masa pra UU No. 1 Tahun 1974 sering terjadi tindakan yang sewenang-wenang dari pihak suami tethadap istrinya, sehingga merugi­kan kepentingannya. Mengenai pelaksanaan talak oleh suami, UU No. 1 Tahun 1974 menggariskan ketentuan sebagai be­rikut :

"pasal 39 ayat (1): perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan ber­usaha dan tidak berhasil mendamai­kan kedua pihak".

Ayat selanjutnya da!am pasa! yang sarna UU No.1 Tahun 1974 menen­tukan bahwa untuk melakukan per-

13 atau masalih al-mursalah (istislah) ada­lah satu metode ijtihad yang diintrodusir oleh Imam Malik. Lihat karangan Prof. H. Moh. Daud Ali, S.H.,lbid., hIm. 92.

55

ceraian harlls ada cukup alasan, bahwa an tara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri. Sedangkan, bagaimana tata cara perceraian di depan sidang pengadilan itu diatur dalam UU PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal35 . Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Ta­hun 1974 itu harus dibaca dan dipahami sejalan dengan Pasal 63 ayat (1) UU terse but, yaitu yang dimaksud dengan pengadilan bagi mereka yang beragama Islam adalah pengadilan Agama dan bagi yang lainnya adalah pengadilan Negeri. Di dalam praktek peradilan aga­rna, seorang suami yang ingin men­jatuhkan talaknya terhadap istrinya harus mengajukan l1ermohonan ik­rar talak kepada pengadilan Aga­rna di tempa.t tinggal istrinya atau di tempat tinggalnya sendiri, terha­dap permohonan suami itu - sete­lah disidangkan oleh pengadilan Agama dan para pihak dipanggil untuk hadir - dikeluarkan suatu penetapan pengadilan Agama yang diktumnya mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan itu. Hal ini tergantung pada apakah sudah ada cukup alasan untuk ikrar talak tersebut , sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 itu yo. Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975. Terhadap suatu penetapan peng adilan Agama, berkenaan dengan dikabulkannya satu permohonan ik­rar talak, maka kepada istri yang tidak puas dan menolak penetapan itu , tetap diberikan hak untuk

menggunakan upaya hukum ban-ding kepada pengadilan Tinggi Agama, apabila perlu sampai pada

Februari 1987

Page 8: HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU NO.1 TAHUN 1974

56

kasasi, bahkan juga peninjauan kern bali melalui Mahkamah Agung. Dari penjelasan penulis sebagai­mana disebutkan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa wewe­nang pengadilan Agama yang diberi­kan oleh UU dalam hal poligami dan pelaksanaan talak, bukanlah suatu campur-tangan _.- sebagaima­na dipahami oleh Prof. DR. J. Prins - akan tetapi adalah suatu wewenang yang wajar dan memang diperlukan, satu dan lain hal, untuk

tercapainya pelaksanaan hukum per-kawinan secara tertib, adil dan tidak merugikan kepentingan istri.

4. Mengenai kewajiban memelihara, dalam arti membeayai bekas istri dan anak -anak, seandainya keten­tuanini tidak dikenal oleh syari'at Islam klasik - sebagaimana dise­butkan oleh Prof. DR. J. Prins-, maka hal ini harus pula dilihat da­lam konteks sumber hukum Islam yang ketiga itu - ijtihad --. Untuk kemaslahatan bekas istri dan anak­anak suami, maka ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 (b) dan (c) yang substansinya berkenaan dengan ma­salah akibat putusnya perkawinan, adalah sesuai dan sejalan dengan prinsip istislah dalam ilmu hukum Islam.14 Dengan reasoning ini pula,

14 Prinsip istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik itu dapat diterapkan dalam se­tiap aspek kehidupan kemasyarakatan, apa­bila tidak ada pengaturannya dalam al-Qur­an dan Sunnah Rasul. Bahkan juga di bi­dang' lalu-lintas (jalan raya), pemasangan traffic ligh t merupakan sesuatu yang wajib, dengan motivasi untuk kemaslahatan umum yaitu an tara lain mencegah kecelakaan lalu­lin tas. Di sini jelas ada kaitan an tara H ukum Islam dan lalu-lin tas.

Hukum dan Pembangunan

penulis menolak pendapat Prof. DR. J. Prins terse but.

Kesimpulan

Dari uraian tersebu t di atas, sampai­lah penulis pada suatu kesimpulan, bahwasesungguhnya antara hukum Islam dengan UU No.1 Tahun 1974 tidak ada sesuatu hal yang kontradik­tif, bahkan sebalL1<nya terdapat suatu hubungan atau kaitan yang erat, dalam makna, cukup banyak asas-asas hukum perkawinan Islam dituangkan dalam UU No.1 Tahun 1974 itu. 15

IS Asas-asas h ukum per ka winan Islam ter­sebut antara lain persetujuan pihak,pihak yang akan melangsungkan pernikahan itu, dengan car,a peminangan, tidak semua wani­ta boleh dinikahi : ada syarat-syarat tertentu untuk melangsungkan perkawinan, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu rumah-tangga yang tenteram, damai dan langgeng, suami-istri mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dan lain-lain. Li­hat Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawin­an Islam dan Undang-undang Perkawinan, hIm. 5- 7.