bab ii landasan teori 2.1 kompetensi interpersonal...
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kompetensi Interpersonal
2.1.1 Pengertian Kompetensi Interpersonal
Kompetensi interpersonal yaitu kemampuan melakukan komunikasi
secara efektif (DeVito, 1989). Keefektifan dalam hubungan interpersonal
ditentukan oleh kemampuan untuk mengkomunikasikan secara jelas apa
yang ingin disampaikan, menciptakan kesan yang diinginkan, atau
mempengaruhi orang lain sesuai dengan yang diinginkannya Johnson
(dalam Listyaningsih, 2004) Komunikasi yang efektif minimal
menimbulkan lima hal yaitu pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap,
hubungan yang semakin baik, dan tindakan (Ristianti, 2012).
Pengetahuan tentang konteks pembicaraan yang sesuai dan tidak
sesuai dalam interaksi interpersonal dan pengetahuan tentang peraturan-
peraturan dalam perilaku nonverbal, misalnya; batasan dalam kedekatan
fisik dengan orang lain dan volume suara, merupakan bagian dari
kompetensi interpersonal (DeVito, 1989). Buhrmester dkk (1998)
mengungkapkan bahwa kompetensi interpersonal meliputi kemampuan
berinisiatif, kemampuan bersikap terbuka, kemampuan bersikap asertif,
kemampuan memberikan dukungan emosional, dan kemampuan mengelola
konflik yang muncul dalam hubungan interpersonal.
13
2.1.2 Aspek-Aspek Kompetensi Interpersonal
Buhrmester, dkk (1988) menyatakan kompetensi interpersonal
meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Kemampuan berinisiatif. Menurut Buhrmester (1988) inisiatif adalah
usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang
lain, atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Inisiatif merupakan
usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang
dunia luar, juga tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk
mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat
lebih memahaminya.
2. Kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure), kemampuan
membuka diri merupakan kemampuan untuk membuka diri,
menyampaikan informasi yang bersifat pribadi dan penghargaan
terhadap orang lain. Kartono dan Gulo (1987) mengungkap bahwa
pembukaan diri adalah suatu proses yang dilakukan seseorang hingga
dirinya dikenal oleh orang lain. diri diwujudkan dengan perilaku orang
yang melakukan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab
dengan orang lain.
3. Kemampuan bersifat asertif. Menurut Pearlman dan Cozby (dalam
Yuanita, 2004) asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu
untuk mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas dan dapat
mempertahankan hak-haknya dengan tegas. Dalam konsteks komunikasi
14
interpersonal seringkali seseorang harus mampu mengungkapkan
ketidaksetujuannya atas berbagai macam hal atau peristiwa yang tidak
sesuai dengan alam pikirannya.
4. Kemampuan memberikan dukungan emosional. Kemampuan
memberikan dukungan emosional sangat berguna untuk
mengoptimalkan komuniksi interpersonal antar dua pribadi. Baker dan
Lemie (dalam Buhrmester, dkk, 1988) dukungan emosional mencakup
kemampuan untuk menenangkan dan member rasa nyaman kepada orang
lain ketika orang tersebut dalam keadaan tertekan dan bermasalah.
Kemampuan ini lahir dari adanya empati dalam diri seseorang.
5. Kemampuan dalam mengatasi konflik. Kemampuan mengatasi konflik
meliputi sikap-sikap untuk menyusun strategi penyelesaian masalah,
mempertimbangkan kembali penilaian atau suatu masalah dan
mengembangkan konsep harga diri yang baru. Menyusun strategi
penyelesaian masalah adalah bagaimana individu yang bersangkutan
merumuskan cara untuk menyelesaikan konflik dengan sebaik-baiknya.
Junior (dalam Idrus 2007) mengajukan komponen kompetensi
interpersonal yang terdiri dari: (a) menghargai orang lain; (b) terbuka; (c)
mempercayai motif orang lain; (d) menunjukkan kehangatan dalam
berinteraksi. Secara singkat Junior mencirikan orang yang tidak memiliki
kompetensi interpersonal sebagai seorang yang ”dingin”. Dari paparan di
atas, komponen dari kompetensi interpersonal dapat berupa (a) kemampuan
untuk memulai suatu hubungan interpersonal, (b) kemampuan membuka
15
diri; (c) kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang
lain; (d) kemampuan bersikap asertif; (e) empati; serta (f) kemampuan
mengelola dan mengatasi konflik dengan orang lain.
2.1.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal
Willis (dalam Yuanita, 2004) mengemukakan terdapat dua faktor
yang mempengaruhi kompetensi interpersonal, yaitu
1. Faktor Internal
1). Usia
Semakin bertambah usia, bertambah dewasa dan semakin bertambah
banyak melakukan kontak dengan orang lain dan kita belajar
bagaimana bersikap terhadap orang lain.
2). Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin laki- laki dengan perempuan sedikit banyak
berpengaruh terhadap gaya dan tingkat kemampuan interpersonal
individu dalam mengembangkan dirinya.
3). Konsep Diri
Konsep diri merupakan suatu bentuk sikap dan kemampuan untuk
menerima diri apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Cara pandang dan konsep berfikir individu sedikit banyak
dipengaruhi oleh konsep diri yang ada pada dirinya, termasuk dalam
kemampuan kompetensi interpersonalnya.
4). Kemampuan menyesuaikan diri
16
Kemampuan menyesuaikan diri merupakan kemampuan seseorang
dalam melakukan penyesuaian secara wajar dengan lingkungan
sekitarnya secara mandiri dan inovatif.
5). Kemampuan berempati
Kemampuan berempati adalah kemampuan untuk merasakan yang
orang lain rasakan.
6). Kemampuan menghargai orang lain
Kemampuan menghargai orang lain adalah kemampuan diri kita
dalam menyikapi dan menghargai orang lain. Pada dasrnya untuk
dapat diterima oleh orang lain, maka kita harus dapat untuk
menghargai orang lain dengan baik terlebih dahulu.
7). Kemampuan berkomunikasi
Kemampuan berkomunikasi adalah bukan bagaimana cara kita
berbicara, akan tetapi cara kita berkomunikasi. Dengan melakukan
kmunikasi secara baik dan benar, maka setiap pesan yang kita
sampaikan kepada orang lain dapat ditangkap dengan baik oleh
lawan bicara kita, sehingga orang lain dapat mengerti atas setiap hal
yang ingin kita sampaikan/ inginkan.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dimaksud dalam kompetensi interpersonal
adalah lingkungan. Muhammad (2002) lingkungan adalah semua
totalitas faktor fisik dan faktor sosial yang diperhitungkan dalam
pembuatan keputusan mengenai individu dalam suatu sistem.
17
2.2 Interaksi Teman Sebaya
2.2.1 Remaja Dalam Kelompok Teman Sebaya
Dalam masa remaja pergaulan dengan teman sebaya merupakan
faktor yang penting dalam kehidupan remaja. Remaja menjadi lebih dekat
dengan teman sebaya, pada umumnya remaja lebih banyak menghabiskan
waktu dengan teman sebaya, ini sebenarnya sedang menonjolkan apa yang
membedakan dirinya dengan orang dewasa yaitu originalitasnya sebagai
remaja bahkan menunjukan pertentanganya dengan orang dewasa dan
solidaritas dengan teman sebaya.
Bila dilihat dari perkembanganya, pada dasarnya remaja memiliki
dua macam gerakan perkembangan yaitu memisahkan diri dari orang tua
dan menuju kearah teman sebaya (Monks, dkk, 1994) hal ini terjadi karena
perasaan negatif atau positif. Bila seseorang dari kelompok tersebut
senang dengan acara disko, maka remaja akan terpengaruh pula untuk ikut
dalam acara disko. Dengan demikian seorang remaja yang telah merasa
cocok dengan teman atau kelompoknya tertentu cenderung untuk
mengikuti gaya teman dalam kelompoknya walaupun itu dirasa buruk.
Peranan teman sebaya menjadi sangat penting karena apapun
teman yang mereka pilih, pastilah dipilih karena suatu alasan seperti yang
diungkapkan Kenny (dalam Listyaningsih, 2004) bahwa remaja
menghargai pandangan dari anak-anak yang dipilih sebagai teman sebaya.
Selanjutnya Charleswood dan Hartup (dalam Walgito 2000) menyatakan
bahwa remaja dalam hubunganya dengan teman sebaya mempunyai unsur
18
positif yaitu saling memberikan perhatian dan mufakat, membagi perasaan
daln saling menerima diri, saling percaya dan saling memberikan sesuatu
pada orang lain. Dengan demikian tidak semua pengaruh teman sebaya itu
bersifat negatif. Remaja dalam perkembanganya akan memilih teman
sebayanya sehingga, kelompok teman sebaya akan membawa terrtentu
bagi kehidupan remaja. Remaja yang merasa diterima dan dihargai oleh
teman sebayanya akan mengikuti segala bentuk tingkah laku yang
dilakukan oleh teman-temanya. Baik itu tingkah laku yang positif maupun
tingkah laku yang negatif.
2.2.2 Pengertian Interaksi Teman Sebaya
Sejak lahir manusia sudah mempunyai kebutuhan untuk bergaul
dengan individu lain untuk memenuhi kebutuhan biologis, psikologis atau
kebutuhan sosial saat mencapai remaja Partowisastro (1989) mengatakan
bahwa kelompok teman sebaya bukan sekadar sekumpulan anak, yang
dengan keanggotaan terbatas, namun juga mengharuskan adanya interaksi
satu dengan yang lain. Ditambahkannya bahwa kelompok teman sebaya
ini relatif stabil untuk waktu tertentu, dengan saling membagi dan
mempengaruhi nilai, norma kebiasaan di antara mereka. Dalam kelompok
tersebut mereka melakukan interaksi sosial, yaitu hubungan antara
individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat
mempengaruhi inividu yang lain (Walgito, 2000).
Gerungan (1996) mengemukakan bahwa fakta menunjukan
bahwa tidak ada makhluk hidup di dunia ini yang bisa hidup tanpa
19
membutuhkan orang lain karena kehadiran diri akan berharga bila bergaul
dengan orang lain. Dimana dalam pergaulan tersebut akan terjadi suatu
interaksi antara satu individu dengan individu lain atau sebaliknya.
Menurut Mapiere (1982) bahwa:Interaksi antara remaja satu dengan yang
lain dapat terjadi baik di masyarakat, sekolah atau keluarga. Kepribadian
remaja tersebut berkembang selaras dengan pertumbuhan dan
perkembangan aspek-aspek biologis, psikologis atau sosiologis, anak akan
mengalami perkembangan dalam dunia sosial yaitu dunia orang dewasa
dan dunia teman sebaya. Interaksi sosial merupakan suatu hubungan
antar dua individu atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu
yang satu mempengaruhi, mengubah, atu memperbaiki kelakuan individu
yang lain atau sebaliknya (Boner, dalam Gerungan 1996).
2.2.3 Model Interaksi teman sebaya
Dalam tulisannya yang sama Mussen, dkk (dalam Idrus, 2007)
juga membagi posisi seorang dalam kelompoknya, yaitu (1) remaja yang
diterima kelompok ; (2) remaja yang diabaikan, dan (3) remaja yang
ditolak kelompok teman sebayanya. Remaja yang diterima kelompoknya
memiliki sifat toleran, luwes, energik, riang, memiliki rasa humor,
bertingkah sewajarnya, antusias, mendorong dan merencanakan aktivitas
kelompok. Sementara itu remaja yang diabaikan memiliki karakterisitik
yang berlawanan dengan remaja yang diterima. Beberapa karakteristik
tersebut adalah, kurang percaya diri, cenderung bereaksi secara kasar,
gugup, mengisolasi diri.
20
Hampir sama dengan karakteristik remaja yang dilupakan,
Mussen, dkk (dalam Listyaningsih 2004) memberi karakteristik mereka
yang ditolak oleh teman sebayanya seperti cenderung kurang percaya diri
dan sebagai pengimbangnya dia berperilaku terlalu agresif, mengganggap
dirinya penting, mencari-cari perhatian, berpusat selalu pada diri, tidak
mau menerima kondisi orang lain, sarkastis, bersikap kasar, egois, dan
sedikit memberi kontribusi terhadap upaya-upaya yang dilakukan
kelompoknya, demikian juga mereka sedikit menerima dari kelompoknya.
Dalam memberi karakteristik tentang remaja yang diabaikan dan yang
ditolak Mussen, dkk tampaknya hampir sama. Hanya saja Mussen, dkk
menegaskan bahwa remaja yang diabaikan sebenarnya merupakan lawan
remaja yang populer. Dengan kalimat lain, remaja yang diabaikan adalah
kelompok remaja yang tidak populer.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas disimpulkan bahwa
interaksi sosial teman sebaya adalah kedekatan hubungan antara remaja
yang satu dengan yang lain dalam suatu kelompok teman sebaya dimana
dalam hubungan tersebut terjadi proses pengaruh dan mempengruhi.
2.2.4 Aspek-Aspek Interaksi Teman Sebaya
Darten (dalam Listyaningsih, 2004) mengemukakan ada enam
aspek dalam interaksi sosial dengan teman sebaya pada remaja. Aspek-
aspek tersebut diuraikan sebagai berikut:
a. Jumlah remaja berada di luar rumah, remaja lebih banyak
menggunakan waktu dengan kelompok dengan teman sebayanya.
21
Dengan teman-teman sebaya remaja memiliki kesempatan yang
banyak untuk berbicara banyak dengan bahasa dan persoalanya sendiri.
b. Keterlibatan remaja bermain dengan teman sebaya, remaja
menganggap bahwa teman-teman sebayanya lebih dapat memahami
keinginanya dan dapat belajar mengambil keputusanya sendiri serta
ada dorongan untuk berdiri sendiri.
c. Kecenderungan untuk bermain sendiri. Anak kecil cenderung memilih
bermain sendiri-sendiri, sedangkan bagi remaja hanya orang yang
introvert yang lebih menyukai bermain sendiri dapri pada harus
berkumpul dengan orang lain, atau bila dalam menghadapi suatu
tekanan dan hanya berperan sebagai penonton saja.
d. Kecenderungan untuk bermain paralel. Anak remaja akan berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dimana remaja aktif bermain
dengan teman sebayanya, perkembangan sosial yang semakin
meningkat pada remaja tampak terlihat dalam keinginanya untuk
memperoleh stimulus diluar.
e. Bermain asosiatif. Remaja cenderung memiliki permainan asosiatif
atau bermain bersama-sama teman sebayanya dan melepaskan diri dari
lingkungan orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya.
f. Sikap kerjasama pada sekelompok teman sebaya, untuk pertama kali
remaja menerapkan prinsip-prinsip hidup bersama dan bekerjasama
sehingga terbentuk norma-norma, nilai-nilai dan symbol-simbol
tersendiri.
22
Sedangkan menurut Partowisastro (1983) aspek-aspek interaksi
kelompok teman sebaya dirumuskan menjadi tiga aspek yaitu:
a. “keterbukaan dalam kelompok” individu akan menunjukan sifat
keterbukaan terhadap kelompoknya dan penerimaan individual dalam
kelompoknya.
b. “bekerjasama dalam kelompok” individu akan terlibat dalam kegiatan
kelompoknya dan mau menyumbangkan ide bagi kemajuan
kelompoknya.
c. “frekuensi dalam kelompok” individu lebih banyak menggenakan
waktunya untuk bertemu dengan anggota kelompoknya dan saling
berbicara dalam hubungan yang dekat. Interaksi sosial kelompok
teman sebaya merupakan proses pengaruh mempengaruhi satu sama
lain dalam pikiran, sikap dan perilkau, bila perilaku itu terus
meningkat maka akan mempengaruhi penyesuaian terhadap norma-
norma yang berlaku. Berdasarjan uraian di atas penulis menyimpulkan
bahwa aspek-aspek dalam kelompok interaksi teman sebaya adalah (a)
kontak sosial meliputi menjalin hubungan yang akrab, memperoleh
penerimaan dan dukungan dari teman sebaya, teman sebagai sumber
informasi baru. (b) aktifitas bersama meliputi: mengikuti kegiatan
kelompok, senang bekerja sama dengan teman, mempunyai prinsip dan
nilai-nilai yang dianut bersama (c) Frekuensi hubungan meliputi:
menghabiskan waktu bersama teman, mengunjungi teman.
23
2.3 Hubungan Antara Interaksi Teman Sebaya Dengan Kompetensi
Interpersonal
Kuh & Terenzini (dalam Idrus 2007) menyatakan bahwa interaksi
dengan teman sebaya juga memiliki kontribusi terhadap kompetensi
interpesonal. Penelitian Kramer dan Gottman (dalam Idrus, 2007) individu
yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial,
perkembangan emosi, dan lebih mudah membina hubungan interpersonal.
Penelitian Idrus sendiri yang berjudul interaksi teman sebaya dengan
kompetensi interpersonal sebesar 0,457 (p = 0,000). Hasil tersebut
menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara interaksi teman
sebaya dengan kompetensi interpersonal
3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan
antara interaksi sosial dengan kompetensi interpersonal pada anggota Palang
Merah Remaja Wira Palang Merah Indonesia Kota Salatiga.