bab ii landasan teori 2.1. gempa bumi
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Gempa Bumi
Gempa merupakan suatu fenomena getaran atau guncangan pada
permukaan bumi akibat pelepasan energi secara tiba–tiba dari dalam bumi yang
menghasilkan gelombang seismik. Gempa juga merupakan salah satu fenomena
alam yang menghasilkan energi besar dan bersifat destruktif, terutama untuk
daerah-daerah tempat peradaban manusia berkembang.
Menurut Prawirodikromo (2012) dalam bukunya menyebutkan bahwa
kerusakan akibat gempa bumi dibagi menjadi 2 bagian pokok, yaitu kerusakan pada
infrastruktur dan bangunan fisik di atas permukaan tanah dan kerusakan lingkungan
dari dalam tanah dan merambat dampaknya ke permukaan tanah. Kerusakan tanah
yang umum terjadi diantaranya adalah penurunan tanah (settlement), perilaku
abnormal pada stabilitas lereng seperti tanah longsor (landslide and slope stability
problems), batu longsor (rockslides), batu jatuh (rockfalls), dan yang paling
fenomenal dalam dekade ini adalah likuifaksi (liquefaction). Pembelajaran
mengenai proses terjadinya gempa dan karakteristiknya perlu dilakukan untuk
meminimalisir efek kerusakan yang ditimbulkan di masa yang akan datang.
2.1.1. Pengelompokan Jenis Tanah
Setiap jenis tanah memiliki karakteristik yang beragam berdasarkan
kecepatan rambat gelombang, test penetrasi standar, dan kuat geser niralir. Karena
karakteristik yang berbeda tersebut maka terdapat pengelompokan jenis tanah
berdasarkan SNI 1726-2019 sebagaimana yang disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pengelompokan jenis tanah
Kelas Situs
Cepat Rambat
Gelombang Geser Rata-
rata,
Vs (m/detik)
Hasil Test
Penetrasi
Standar
Rata-rata,
N atau NCH
Kuat Geser Niralir
Rata-rata,
Su (kPa)
SA (Batuan keras) > 1500 N/A N/A
SB (Batuan) 750 – 1500 N/A N/A
SC (Tanah keras, sangat padat
dan batuan lunak) 359 – 750 > 50 ≥ 100
12
Tabel 2.1 (lanjutan)
Kelas Situs
Cepat Rambat
Gelombang Geser Rata-
rata,
Vs (m/detik)
Hasil Test
Penetrasi
Standar
Rata-rata,
N atau NCH
Kuat Geser Niralir
Rata-rata,
Su (kPa)
SD (Tanah sedang) 175 - 350 15 – 50 50 – 100
SE (Tanah lunak)
< 175 < 15 < 50
Atau setiap tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah
dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Indeks plastisitas, PI > 20
2. Kadar air, 𝑤 ≥ 40 %
3. Kuat geser tak terdrainase Su < 25 kPa
SF (Tanah khusus, yang
membutuhkan investigasi
geoteknik spesifik dan analisis
respons spesifik)
Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih
dari karakteristik berikut:
- Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban
gempa seperti mudah likuifaksi, lempung sangat sensitif,
tanah tersementasi lemah
- Lempung sangat organik dan/atau gambut (ketebalan H > 3
m)
- Lempung berplastiitas sangat tinggi (ketebalan H > 7,5 m
dengan indeks plastisitas PI > 75)
- Lapisan lempung lunak/setengah teguh (ketebalan H > 35 m
dengan Su <50 kPa)
Keterangan: N/A = Tidak dapat dipakai
Sumber: SNI 1726-2019
Berdasarkan Tabel 2.1, terdapat nilai Vs, N, dan Su yang merupakan nilai
rata-rata berbobot besaran itu dengan tebal lapisan tanah sebagai besaran
pembobotnya. Dijelaskan dalam SNI 1726-2019, nilai tersebut diperoleh melalui
persamaan-persamaan sebagai berikut:
�̅�𝑠 = ∑ 𝑡𝑖
𝑚𝑖=0
∑ 𝑡𝑖𝑚𝑖=0 /𝑣𝑠𝑖
..................................................................................................... (2.1)
�̅� = ∑ 𝑡𝑖
𝑚𝑖=0
∑ 𝑡𝑖𝑚𝑖=0 /𝑁𝑖
...................................................................................................... (2.2)
𝑆�̅�= ∑ 𝑡𝑖
𝑚𝑖=0
∑ 𝑡𝑖𝑚𝑖=0 /𝑆𝑢𝑖
..................................................................................................... (2.3)
Keterangan:
m : Jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan dasar
ti : Tebal lapisan tanah ke-i
vsi : Kecepatan rambat gelombang geser melalui lapisan tanah ke-i
Ni : Nilai hasil Test Penetrasi Standar (SPT) lapisan tanah ke-i
Sui : Kuat geser niralir lapisan tanah ke-i
13
2.1.2. Percepatan Puncak Batuan Dasar (PGA) di Indonesia
Percepatan puncak batuan dasar (PGA) adalah besaran yang sama dengan
percepatan tanah maksimum yang terjadi pada saat gempa di lokasi tertentu
(Douglas, 2003). Nilai PGA sama dengan amplitudo percepatan absolut terbesar
yang tercatat pada akselerogram di suatu lokasi selama gempa tertentu. Guncangan
gempa umumnya terjadi di ketiga arah. Oleh karena itu, PGA sering kali dipecah
menjadi komponen horizontal dan vertikal. PGA horizontal umumnya lebih besar
daripada PGA dalam arah vertikal tetapi hal ini tidak selalu benar, terutama di dekat
gempa bumi besar.
PGA dapat ditentukan nilainya berdasarkan Peta Gempa Indonesia Tahun
2019 yang disediakan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 1726-
2019 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan
gedung dan non-gedung sebagaimana yang disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Peta persebaran Percepatan Puncak Batuan Dasar (PGA) di Indonesia tahun 2019
(Sumber: SNI 1726-2019)
Dalam perhitungan analisis percepatan pada permukaan tanah harus
menganalisis lapisan tanah pada lokasi penelitian, dalam hal ini data lapisan tanah
diperoleh berdasarkan pengujian SPT dan CPT. Selanjutnya nilai amplifikasi PGA
dapat ditentukan berdasarkan pengelompokan jenis tanah seperti yang disajikan
pada Tabel 2.2.
14
Tabel 2.2 Nilai amplifikasi PGA berdasarkan pengelompokan jenis tanah
Kelas Situs PGA ≤ 0,1 PGA = 0,2 PGA = 0,3 PGA = 0,4 PGA = 0,5 PGA ≥ 0,6
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9
SC 1,3 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
SD 1,6 1,4 1,3 1,2 1,1 1,1
SE 2,4 1,9 1,6 1,4 1,2 1,1
SF Perlu investigasi geoteknik khusus dan analisis respon situs yang spesifik
Sumber: SNI 1726-2019
Untuk proses analisis evaluasi potensi likuifaksi dibandingkan terhadap
percepatan tanah puncak pada lokasi studi, kelas situs, magnitude gempa, dan
karakteristik sumber sesuai dengan percepatan gempa maksimum yang diketahui
berdasarkan peta gempa. Percepatan puncak batuan dasar ditentukan dengan
mempertimbangkan pengaruh amplifikasi spesifik, FPGA sesuai dengan kelas situs
tanah pada lokasi yang ditinjau, dicocokkan dengan Tabel 2.2. Dijelaskan dalam
SNI 1726-2019 nilai percepatan tanah puncak dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
𝑃𝐺𝐴𝑀 = 𝐹𝑃𝐺𝐴 × 𝑃𝐺𝐴 ...................................................................................... (2.4)
Keterangan:
PGAM : Percepatan puncak gempa di permukaan tanah yang telah disesuaikan
dengan pengaruh amplifikasi kelas situs tanah
FPGA : Faktor amplifikasi berdasarkan kelas situs tanah pada Tabel 2.2
PGA : Percepatan puncak gempa di batuan dasar.
2.2. Likuifaksi
Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah secara
tiba-tiba akibat getaran gempa. Lapisan tanah yang rawan terjadi likuifaksi adalah
lapisan tanah yang terdiri dari lapisan pasir lepas. Casagrande (1975) dalam
komentarnya mengenai penelitian tanah likuifaksi menjelaskan lapisan pasir akan
berubah menjadi seperti cairan pada waktu terjadi guncangan (gempa bumi)
sehinga tekanan air pori meningkat, karena tekanan airnya meningkat, jarak antar
partikel pasir menjadi semakin renggang, hal ini menyebabkan kekuatan dan daya
dukung lapisan tanah tersebut berkurang drastis sehingga tidak mampu menopang
15
beban di atasnya. Ilustrasi mengenai keruntuhan tanah akibat likuifaksi disajikan
pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Ilustrasi keruntuhan tanah akibat likuifaksi
(Sumber: Sasaki Y. et al, 2012)
2.2.1. Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulumb
Dalam kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb, suatu material mengalami
keruntuhan akibat kombinasi kritis antara tegangan normal dan tegangan geser.
Hubungan antara ketahanan geser, tegangan normal, kohesi dan sudut gesekan
internal dijelaskan oleh Das (1983) melalui persamaan Coulomb (1776) sebagai
berikut:
𝜏𝑓 = 𝑐 + 𝜎𝑛 𝑡𝑎𝑛 (∅) ...................................................................................... (2.5)
Keterangan:
𝜏𝑓 : Ketahanan geser (kg/cm2)
C : Kohesi antara partikel (kg/cm2)
𝜎𝑛 : Tegangan normal
Ø : Sudut geser internal
16
Persamaan 2.5 dituangkan dalam grafik kriteria keruntuhan Mohr-Coulumb
sebagaimana yang disajikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Grafik kriteria keruntuhan Mohr-Coulumb
(Sumber: Das, 1983)
Dengan jarak partikel yang rapat interaksi antara partikel solid akan saling
mengikat satu sama lain. Adanya rongga berupa pori antar partikel membuat
partikel solid akan memampat ketika diberikan tegangan. Jika ada air yang mengisi
pori tersebut maka air juga ikut menahan tegangan yang diberikan. Seperti sifat
fluida lainnya, air tidak dapat menahan tegangan yang diberikan dan berusaha untuk
keluar. Tekanan yang disebabkan oleh fenomena ini disebut tekanan air pori.
Naiknya tekanan air yang disebabkan oleh gempa, nilai tegangan efektif tanah pun
akan berkurang. Kondisi ini dapat dinyatakan dengan persamaan yang dinyatakan
oleh Das (1983) sebagai berikut:
𝜎𝑣′ = 𝜎𝑣 − 𝑢 ...................................................................................................... (2.6)
Keterangan:
𝜎𝑣′ : Tegangan efektif (kg/cm2)
𝜎𝑣 : Tegangan normal total (kg/cm2) = 𝛾𝑠 × 𝐻
𝑢 : Tekanan air pori (kg/cm2) = 𝛾𝑤 × 𝐻
𝛾𝑠 : Berat jenis tanah jenuh (kg/m3)
𝛾𝑤 : Berat jenis air pori (kg/m3)
𝐻 : Tebal lapisan tanah (m)
17
Likuifaksi terjadi karena tanah kehilangan ketahanan gesernya. Berdasarkan
Persamaan 2.5 dan Persamaan 2.6, untuk kehilangan ketahanan gesernya tanah
harus kehilangan ikatan kohesi antar partikelnya. Kriteria ini hanya dapat dipenuhi
oleh tanah pasir yang tidak berkohesi dan lepas, serta berada dalam keadaan jenuh.
Grafik keruntuhan untuk tanah pasir disajikan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Grafik kriteria keruntuhan Mohr-Coulumb tanah pasir
(Sumber: Das, 1983)
2.2.2. Analisis Kuantitatif Potensi Likuifaksi
Analisis potensi likuifaksi secara kuantitatif dilakukan apabila salah satu
kriteria dalam analisa potensi likuifaksi secara kualitatif terpenuhi, sehingga perlu
dilakukan analisis lanjutan untuk memperkuat prediksi terhadap likuifaksi. Metode
yang sering digunakan untuk proses analisis potensi likuifaksi secara kuantitatif
adalah metode simplified seed dan untuk menganalisis tingkat kerusakan akibat
likuifaksi digunakan metode liquefaction potential index (LPI).
2.2.2.1. Metode Simplified Seed
Metode Simplified Seed adalah metode yang digagas oleh Seed dan Idriss
pada 1971. Metode ini menganalisis likuifaksi menggunakan data standard
penetration test (SPT). Semenjak terjadinya gempa Niigata, fenomena likuifaksi
menjadi sorotan setiap terjadinya gempa. Pengamatan di lapangan saat gempa
terjadi dilakukan untuk mendapatkan data–data yang diperlukan untuk mengenal
likuifaksi lebih jauh. Kumpulan data–data ini digunakan untuk membentuk korelasi
empiris terkait terjadi atau tidaknya fenomena likuifaksi terhadap guncangan pada
18
tanah dan karakteristik dasar dari tanah non-kohesi. Oleh Kramer (1996) sebaran
data yang dikumpulkan oleh Seed et al. dibuat dalam bentuk grafik seperti yang
disajikan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Korelasi antara 𝜏𝑎𝑣/𝜎0′ dan (N1)60
(Sumber: After Seed et al, 1975)
Gambar 2.5 menunjukkan korelasi antara suatu lokasi dengan tanah pasir
terhadap gempa dengan kekuatan 7.5 SR. Setiap titik berkoresponden dengan salah
satu hasil birung pada suatu kejadian gempa. Dalam metode ini digunakan
perbandingan dua parameter yaitu cyclic stress ratio (CSR) dan cyclic resistance
ratio (CRR) dari tanah untuk menganalisis potensi terjadinya likuifaksi akibat
gempa bumi.
2.2.2.1.1. Cyclic Stress Ratio (CSR)
CSR merupakan nilai perbandingan antara tegangan geser rata-rata yang
diakibatkan oleh gempa dengan tegangan vertikal efektif di tiap lapisan. Nilai CSR
19
pada suatu lapisan tanah sangat dipengaruhi oleh nilai percepatan gempa (a).
Metode ini digagas oleh Seed dan Idriss (1971) yang dijelaskan kembali oleh
Boulanger dan Idriss (2014) dalam bukunya. Seed dan Idriss mengusulkan suatu
prosedur untuk mengevaluasi ketahanan tanah terhadap likuifaksi dengan
menggunakan pendekatan tegangan. Intensitas gerakan tanah pada lokasi tersebut
direpresentasikan sebagai (τav/σ’o) pada ordinat vertikal dengan (τav) adalah rata-
rata tegangan geser puncak dan (σ’o) adalah effective overburden pressure.
Dengan menganggap nilai percepatan rata-rata akibat gempa adalah 65%
dari percepatan maksimum, maka nilai tegangan geser rata-rata dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
𝜏𝑐𝑦𝑐 = 0,65𝑎𝑚𝑎𝑥
𝑔𝜎𝑣 .......................................................................................... (2.7)
Karena kolom tanah tidak berprilaku seperti sebuah struktur yang kaku pada
saat terjadi gempa (tanah dapat mengalami deformasi), maka Seed dan Idriss (1971)
memasukkan sebuah faktor reduksi kedalaman (rd) terhadap persamaan tersebut
sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:
𝜏𝑐𝑦𝑐 = 0,65𝑎𝑚𝑎𝑥
𝑔𝜎𝑣 𝑟𝑑 ..................................................................................... (2.8)
Untuk mendapatkan nilai CSR maka kedua sisi dinormalisasi dengan
tegangan vertikal efektif, sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:
𝐶𝑆𝑅 = 𝜏𝑐𝑦𝑐
𝜎′𝑣= 0,65
𝑎𝑚𝑎𝑥
𝑔
𝜎𝑣
𝜎′𝑣 𝑟𝑑 ...................................................................... (2.9)
Keterangan:
𝑎𝑚𝑎𝑥 : Percepatan maksimum di permukaan tanah
𝑔 : Percepatan gravitasi bumi = 9,81 m/s2
𝜎′𝑣 : Tegangan vertikal efektif
𝜎𝑣 : Tegangan vertikal total
rd : Faktor reduksi terhadap tegangan
Faktor reduksi rd merupakan nilai yang dapat mengurangi tegangan di
dalam tanah. Semakin jauh ke dalam tanah maka faktor reduksi akan semakin kecil.
Nilai rd adalah faktor nonlinier pengurangan beban yang bervariasi terhadap
kedalaman. Besar dari nilai reduksi pada tanah berdasarkan kedalamannya telah
20
disempurnakan oleh Boulanger dan Idriss (2014) dalam presentasi grafik seperti
yang disajikan pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Grafik Faktor Reduksi (rd)
(Sumber: Seed dan Idriss, 1971)
Nilai rd akan mempengaruhi besarnya nilai CSR (Cyclic Stress Ratio) pada
suatu lapisan tanah. Semakin kecil nilai rd maka akan semakin kecil pula nilai CSR
sehingga potensi terjadinya likuifaksi juga akan semakin kecil. Perhitungan nilai rd
dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan kedalaman lokasi yang ditinjau melalui
persamaan Boulanger dan Idriss (2014) sebagai berikut:
a) Persamaan rd untuk kedalaman z ≤ 34 meter
𝑟𝑑 = 𝑒𝑥𝑝 (𝛼(𝑧) + 𝛽(𝑧)𝑀) ......................................................... (2.10)
𝛼(𝑧) = −1,102 − 1,126 𝑠𝑖𝑛 (𝑧
11,28+ 5,142) ............................... (2.11)
𝛽(𝑧) = 0,106 − 0,118 𝑠𝑖𝑛 (𝑧
11,28+ 5,142) .................................. (2.12)
b) Persamaan rd untuk kedalaman z > 34 meter
𝑟𝑑 = 0,12 𝑒𝑥𝑝 (0,22 × 𝑀) .......................................................... (2.13)
Keterangan:
𝑧 : Kedalaman tanah (meter)
𝑀 : Besaran gempa
21
2.2.2.1.2. Cyclic Resistance Ratio (CRR)
Nilai Cyclic Resistance Ratio (CRR) merupakan nilai ketahanan suatu
lapisan tanah/daya tahan tanah terhadap tegangan cyclic. Nilai CRR dapat diperoleh
melalui beberapa cara, diantaranya berdasarkan hasil pengujian lapangan yaitu hasil
pengujian Standard Penetration Test (SPT). Pada perhitungan nilai CRR, standar
untuk nilai SPT yang digunakan adalah nilai SPT untuk setiap hammer dengan
efisiensi 60% atau dinotasikan dengan (N1)60. Adapun persamaan untuk
memperoleh nilai tersebut dikemukakan oleh Youd (2001) adalah sebagai berikut:
(𝑁1)60 = 𝐶𝐸 𝐶𝑅 𝐶𝐵 𝐶𝑆 𝐶𝑁 𝑁𝑀 ........................................................................ (2.14)
Keterangan:
(𝑁)60 : Nilai N SPT yang dikoreksi dengan efisiensi pukulan 60%
𝐶𝐸 : Koreksi Energi, diperoleh melalui persamaan sebagai berikut:
𝐶𝐸 =𝐸𝑅𝑀
60 ............................................................................................ (2.15)
𝐸𝑅𝑀 : Rasio energi pemukul (%)
𝐶𝐵 : Koreksi diameter borelog (Skempton, 1986)
Cb = 1,0 untuk diameter borehole 65 mm – 115 mm
Cb = 1,05 untuk diameter borehole 150 mm
Cb = 1,15 untuk diameter borehole 200 mm
𝐶𝑅 : Koreksi panjang rod (Skempton, 1986)
Cr = 0,75 untuk panjang rod 3- 4 m
Cr = 0,85 untuk panjang rod 4-6 m
Cr = 0,95 untuk panjang rod 6-10 m
Cr = 1,0 untuk panjang rod sampai dengan 10 m
𝐶𝑆 : Koreksi metode sampling (Skempton, 1986)
Cs = 1,0 untuk metode sampling standard/with liner
Cs = 1,1 untuk metode sampling without liner
𝐶𝑁 : Faktor koreksi tegangan efektif
𝑁𝑀 : Jumlah pukulan pada prosedur standar SPT
Selanjutnya Nilai CN, adalah koreksi overburden dihitung menggunakan
persamaan yang dipopulerkan oleh Youd (2001) sebagai berikut:
22
𝐶𝑁 = 2,2
1,2+(𝜎′
𝑣𝑃𝑎
) ≤ 1,7 .................................................................................... (2.16)
Keterangan:
𝑃𝑎 : Tekanan atmosfer = 100 kPa = 1 kg/cm3
Nilai SPT juga dikoreksi terhadap analisis untuk pasir murni, sehingga
ekuivalensi nilai SPT (N1)60 untuk tanah yang tak berkohesi, persamaan yang
digunakan (Boulanger dan Idriss, 2014) adalah sebagai berikut:
(𝑁1)60𝐶𝑆 = (𝑁1)60 + ∆(𝑁1)60 ..................................................................... (2.17)
Dengan (𝑁1)60 adalah penambahan N-SPT akibat pengaruh nilai finest
content. Perhitungan untuk (𝑁1)60 dengan memperhatikan pengaruh fine content
menggunakan persamaan (Boulanger dan Idriss, 2014) sebagai berikut:
∆(𝑁1)60 =𝑒𝑥𝑝 𝑒𝑥𝑝 (1,63 + (9,7
𝐹𝐶+0,001) − (
15,7
𝐹𝐶+0,01)
2) ............................... (2.18)
Keterangan:
(𝑁1)60 : Nilai N-SPT terkoreksi
∆(𝑁1)60 : Nilai N-SPT akibat pengaruh nilai FC dalam %
𝐹𝐶 : Finest Content, kandungan pasir atau butiran halus dalam %
Pengaruh durasi getaran dari gempa juga berpengaruh terhadap perhitungan
nilai CRR. Parameter ini dinyatakan dalam earthquake magnitude scaling factor
(MSF) dan overburden stress efektif yang dinotasikan sebagai overburden
correction factor, Kσ. Nilai CRR yang terkoreksi kedua parameter tersebut dapat
dihitung dengan persamaan yang dikemukakan oleh Boulanger dan Idriss (2014)
sebagai berikut:
𝐶𝑅𝑅𝑀;𝜎′𝑣= 𝐶𝑅𝑅𝑀=7,5;𝜎′𝑣=1 × 𝑀𝑆𝐹 × 𝐾𝜎 ................................................. (2.19)
Keterangan:
𝐶𝑅𝑅 : Menurut kondisi magnitude (M) 7,5 dan tegangan efektif 1 atm
𝑀𝑆𝐹 : Magnitude Scalling Factor
𝐾𝜎 : Factor overburdern correction
Nilai CRR yang dicari dikembangkan dari kondisi Magnitude (M) = 7.5 dan
σ’v = 1 atm yang dihitung dengan menggunakan persamaan yang dijabarkan oleh
Boulanger dan Idriss (2014) sebagai berikut:
23
𝐶𝑅𝑅𝑀=7,5;𝜎′𝑣=1 = 𝑒𝑥𝑝{((𝑁1)60𝐶𝑆
14,1) + (
(𝑁1)60𝐶𝑆
126)
2
− ((𝑁1)60𝐶𝑆
23,6)
3
+ ((𝑁1)60𝐶𝑆
25,4)
4
− 2,8} ......... (2.20)
MSF (Magnitude Scaling Factor) merupakan nilai kekuatan gempa yang
menyebabkan likuifaksi. Nilai MSF dapat diperoleh dengan persamaan Idriss dan
Boulanger (2008) sebagai berikut:
𝑀𝑆𝐹 = 6,9 𝑒𝑥𝑝 𝑒𝑥𝑝 (−𝑀
4) − 0,058 ≤ 1,8 .................................................. (2.21)
Faktor koreksi overburden (overburden correction factor, Kσ), diusulkan
oleh Boulanger (2003). Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai faktor
koreksi ini menggunakan pendekatan dengan hubungan antara Kσ dan ∆(𝑁1)60
seperti ditunjukkan pada persamaan berikut:
𝐾𝜎 = 1 − 𝐶𝜎 𝑙𝑛 𝑙𝑛 (𝜎𝑣
′
𝑃𝑎) ≤ 1,1 .................................................................. (2.22)
Nilai 𝐶𝜎 diperoleh melalui persamaan yang dikemukakan oleh Boulanger
dan Idriss (2004) yang dijelaskan lebih lanjut dalam buku Boulanger dan Idriss
(2008) sebagai berikut:
Cσ =1
18,9−2,55√(𝑁1)60𝑐𝑠 ≤ 0,3 ........................................................................ (2.23)
2.2.2.1.3. Safety Factor (FS)
Dari kedua nilai parameter CSR dan CRR yang telah diperoleh dari
perhitungan, nilai safety factor (FS) dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan yang dijabarkan oleh Idriss dan Boulanger (2008) sebagai berikut:
𝐹𝑆 =𝐶𝑅𝑅𝑀;𝜎′𝑣
𝐶𝑆𝑅 ............................................................................................... (2.24)
Tingkat potensi terjadinya likuifaksi dapat diperoleh dari nilai FS yang telah
dihitung. Suatu lokasi atau lapisan tanah berpotensi terjadi likuifaksi apabila nilai
FS ≤ 1. Sedangkan lokasi atau lapisan tanah tersebut tidak berpotensi terjadi
likuifaksi apabila nilai FS > 1.
2.2.2.2. Metode Liquefaction Potential Index (LPI)
Metode ini dikembangkan oleh Iwasaki et al (1981) untuk memprediksi
tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh likuifaksi. Perbedaan dengan metode
simplified seed sebelumnya, metode LPI digunakan untuk menentukan pengaruh
24
likuifaksi di permukaan tanah, bukan potensi likuifaksi pada elemen tanah.
Beberapa asumsi yang digunakan dalam penggunaan metode LPI ini antara lain
sebagai berikut:
● Tingkat keparahan likuifaksi sebanding dengan ketebalan tanah yang
berpotensi terlikuifaksi.
● Tingkat keparahan likuifaksi sebanding dengan jarak lapisan tanah yang
terlikuifaksi dengan permukaan tanah.
● Tingkat keparahan likuifaksi berhubungan dengan nilai FS, namun hanya
nilai FS<1 yang dapat mempengaruhi tingkat keparahan tersebut.
Ketika kedalaman tanah lebih dari besar 20 meter, maka pengaruh likuifaksi
dapat diabaikan karena tidak ada efek permukaan akibat likuifaksi yang pernah
terobservasi dalam rentang kedalaman tersebut. Persamaan perhitungan tingkat
keparahan likuifaksi yang diusulkan oleh Iwasaki et al (1981) adalah sebagai
berikut:
𝐼𝐿 = ∫ 𝐹 × 𝑤(𝑧) 𝑑𝑧 20
0; untuk kedalaman 0 – 20 m .................................... (2.25)
Keterangan:
𝐹 : Nilai FS yang telah dikoreksi
F = 1 – FS; untuk FS < 1
F = 0 ; untuk FS > 1
𝑤(𝑧) : 10 – 0,5 z
𝑧 : Titik tengah kedalaman (m)
Dari Persamaan 2.25, akan diperoleh nilai IL (liquefaction index) di mana
nilai ini akan dipergunakan untuk menentukan tingkat keparahan likuifaksi, seperti
yang disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Korelasi nilai IL terhadap potensi likuifaksi
IL (Liquefaction Index) Tingkat Kerentanan Likuifaksi
0 Sangat Rendah
0 < IL ≤ 5 Rendah
5 < IL ≤ 15 Tinggi
15 < IL Sangat Tinggi
Sumber: Iwasaki et al. 1982
Selain dari nilai LPI, tingkat kegagalan tanah akibat likuifaksi dapat
diestimasi berdasarkan data empiris. Menurut Li, et al (2006), batasan kegagalan
25
tanah yang mengalami likuifaksi dapat didekati dengan menggunakan pendekatan
probabilitas seperti ditunjukkan pada Persamaan 2.26 sebagai berikut.
𝑃𝐺 =1
1+(𝑒4,90−0,73𝐼𝐿)≤ 0,1 .............................................................................. (2.26)
Hubungan antara nilai probabilitas PG dengan resiko kegagalan tanah akibat
likuifaksi ditunjukkan oleh Tabel 2.4
Tabel 2.4 Korelasi nilai PG terhadap resiko kegagalan tanah akibat likuifaksi
Probabilitas Resiko Kegagalan Tanah Akibat Likuifaksi
0,9 < PG Extremely to absolutely certain
0,7 < PG ≤ 0,9 High
0,3 < PG ≤ 0,7 Medium
0,1 < PG ≤ 0,3 Low
PG ≤ 0,1 Extremely low to none
Sumber: Li, et al. 2006
2.3. Perbaikan Tanah
Metode yang akan dilakukan dalam mitigasi likuifaksi pada lingkup studi
kasus adalah dengan melakukan perbaikan tanah. Terdapat beberapa metode
perbaikan tanah yang dapat digunakan untuk mengurangi potensi likuifaksi dengan
meningkatkan kekuatan serta daya dukung tanah dan mengurangi penurunan
(settlement) yang mungkin akan terjadi. Beberapa metode perbaikan tanah
berdasarkan karakteristik tanah setempat disajikan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Macam-macam teknik perbaikan tanah berdasarkan karakteristik tanah setempat
(Sumber: Schaefer et al., 2012)
26
Pada studi ini penulis memilih metode vibro-compaction atau stone column.
Pemilihan metode stone column sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar
belakang studi ini dilandasi oleh teori Woodward (2005) yang menjelaskan jika
gradasi tanah setempat didominasi oleh pasir dan masuk ke dalam zona kesesuaian
metode stone column, maka kondisi tanah tersebut paling cocok untuk diterapkan
metode stone column karena ukuran butirnya yang memudahkan penetrasi vibroflot
untuk aplikasi penggetaran pada kedalaman yang direncanakan.
2.3.1. Metode Stone Column
Stone column atau dikenal juga dengan vibroreplacement adalah salah satu
metode perbaikan tanah yang merupakan kolom–kolom vertikal dari kerikil,
semacam tiang pancang tetapi dari bahan-bahan lepas yang dipadatkan. Kerikil
tersebut merupakan kerikil lepas yang tidak diikat oleh bahan pengikat semen atau
yang lainnya. Fungsi utama pemasangan stone column adalah untuk meningkatkan
daya dukung tanah yang lembek sehingga tanah lembek tersebut dapat menerima
beban yang lebih besar dan settlement yang terjadi akan berkurang. Gambar 2.8
menampilkan ilustrasi instalasi stone column. Beberapa manfaat dari metode stone
column lainnya adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi total settlement tanah
2. Memperpendek waktu konsolidasi
3. Mengurangi bahaya likuifaksi.
Gambar 2.8 Metode stone column
(Sumber: PT Rekakarya Geoteknik, 2018)
27
2.3.2. Metode Pelaksanaan Stone Column
SNI 8460-2017 menjelaskan metode pelaksanaan stone columns dapat
dilakukan melalui tiga cara sebagai berikut:
1. Proses kering (dengan) penghubung atas atau dry top-feed process: Pada
tanah berbutir kasar pada umumnya metode ini hanya dapat diterapkan
untuk tanah yang berada di atas muka air tanah. Metode ini umumnya
diaplikasikan dengan menggunakan vibroflot. Vibroflot dan batang
penyambungnya dimasukkan ke dalam tanah melalui getaran dan berat
sendiri vibroflot yang dibantu dengan semprotan udara bertekanan yang
dipompakan ke ujung vibroflot dengan menggunakan kompresor. Setelah
kedalaman rencana tercapai, vibroflot dipertahankan beberapa lama
untuk memastikan kestabilan lubang. Selanjutnya vibroflot diangkat
keluar lubang yang terbentuk, lubang segera diisi dengan material pengisi
berbutir kasar dengan sejumlah tertentu, lalu vibroflot diturunkan
kembali untuk memadatkan tanah berbutir tersebut. Proses mengangkat
vibroflot, mengisi lubang, menurunkan vibroflot untuk pemadatan
dilakukan berulang-ulang hingga material terisi penuh di dalam lubang
dan terbentuk stone column yang “terkunci” dengan tanah di sekitarnya.
Ilustrasi instalasi dengan dry top-feed process disajikan pada Gambar
2.9.
Gambar 2.9 Metode stone column dry top-feed process
(Sumber: After Taube, 2002)
2. Proses basah atau wet process: Proses basah ini digunakan apabila lubang
yang terbentuk dengan proses kering (dengan) penghubung atas tidak
28
stabil. Alat pemadat yang digunakan sama seperti sebelumnya, yaitu
vibroflot, hanya saja dalam proses ini air yang dipompakan dan bukan
udara. Lubang dibentuk dengan bantuan semprotan air (water jetting),
getaran dan berat sendiri vibroflot. Setelah mencapai kedalaman rencana,
vibroflot dapat digerakkan naik turun beberapa kali sambil air tetap
dipompakan, hal ini dimaksudkan untuk mengeluarkan lumpur dari
dalam lubang. Kemudian, dengan vibroflot tetap menggantung dalam
lubang dan aliran air tetap mengalir (aliran air dalam jumlah yang cukup
dan kontinu menjamin kestabilan lubang yang terbentuk), material
pengisi diisikan dari atas melalui lubang yang terbentuk. Vibroflot di
tarik secara perlahan-lahan, getaran vibroflot akan memadatkan tanah
berbutir yang diisikan dan membentuk stone column. Bilamana perlu
vibroflot dapat didorong turun kembali untuk lebih memadatkan stone
column yang dihasilkan. Proses ini memerlukan aliran air yang banyak,
dan juga perlu disediakan parit untuk mengalirkan lumpur ke tempat
penampung sementara.
3. Proses kering (dengan) penghubung bawah atau dry bottom-feed process:
Proses kering (dengan) penghubung bawah ini dilakukan dengan
menggunakan pipa penggetar yang dimasukkan ke dalam tanah dengan
menggunakan top mounted vibrator. Ujung bawah pipa penggetar
dilengkapi dengan sepatu yang dapat membuka secara otomatis saat pipa
ditarik ke atas dan menutup saat pipa didorong ke bawah. Saat ujung pipa
penggetar mencapai kedalaman rencana, material pengisi sejumlah
volume tertentu (tidak sekaligus sebesar volume lubang yang dihasilkan)
diisikan ke dalam pipa penggetar, kemudian pipa diangkat setinggi 2-3
m, saat ini material pengisi akan turun ke dalam lubang (saat ini udara
bertekanan dipompakan ke ujung pipa penggetar melalui pipa kecil yang
terpasang untuk menghilangkan dampak vakum dan membantu proses
turunnya material). Selanjutnya pipa penggetar didorong ke bawah
setinggi 1-2 m untuk memadatkan material pengisi dan membentuk stone
column. Sepanjang proses vibrator tetap bergetar. Proses pengisian pipa,
29
mengangkat dan mendorong kembali sambil tetap bergetar dilakukan
berulang-ulang ke arah atas lubang hingga proses pembentukan stone
column selesai. Karena sepanjang proses batang penggetar selalu berada
di dalam tanah, maka kestabilan lubang tidak menjadi masalah. Gambar
2.10 menampilkan ilustrasi dry bottom-feed process.
Gambar 2.10 Metode stone column dry bottom-feed process
(Sumber: After Taube, 2002)
2.3.3. Bahan Pengisi Stone Column
Material yang digunakan untuk membentuk stone columns, harus cocok
dengan peralatan yang digunakan dan dapat disalurkan ke dalam tanah dengan
lancar, baik dengan metode penghubung bawah (bottom feed) ataupun penghubung
atas (top feed). Gradasi tanah pengisi tipikal yang umum digunakan sebagaimana
disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Gradasi bahan pengisi tipikal
Proses Gradasi (mm)
Proses kering (dengan) penghubung atas (dry top-feed process) 40 - 75
Proses basah (wet process) 25 - 75
Proses kering (dengan) penghubung bawah (dry bottom-feed process) 8 - 50
Sumber: SNI Persyaratan Perancangan Geoteknik (8460-2017)
2.3.4. Perencanaan Stone Column
Perencanaan stone column meliputi perencanaan diameter, jarak dan
panjang stone column. Perencanaan tersebut berpengaruh terhadap kapasitas daya
dukung batas stone column sebagai stone column tunggal dan kelompok, overall
stability terhadap sliding, serta settlement yang terjadi setelah dipasang.
30
1. Panjang dan Jarak Stone Column
Panjang stone column yang direncanakan diukur dari muka tanah asli
sampai dengan batas bawah perencanaan. Jarak stone column adalah
jarak antara pusat penampang stone column dengan pusat penampang
stone column di sebelahnya. Dengan demikian suatu kelompok stone
column mempunyai dua arah spacing, yaitu arah x dan arah y yang
besarnya sama. Selain itu spacing juga akan mempengaruhi besarnya
settlement pada stone column dan tanah di sekelilingnya.
2. Diameter dan Pola Stone Column
Stone column diidealisasikan sebagai suatu silinder dengan penampang
berbentuk lingkaran berdiameter (D). Diameter stone column
menentukan besarnya area replacement ratio dan besarnya distribusi
tegangan pada tanah dan stone column. Perencanaan diameter stone
column tergantung dari tipe tanah yang diperbaiki, beban yang harus
didukung tanah, dan pola pemasangannya. Pola pemasangan stone
column dibedakan menjadi dua pola, yaitu pola segitiga (equilateral
triangular pattern) dan pola bujur sangkar (square pattern) sebagaimana
yang disajikan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Pola instalasi stone column
(Sumber: Cabe, 2007)
31
Pola pemasangan segitiga memberikan bentuk segi enam pada
penampang unit cell sebagaimana yang disajikan pada Gambar 2.11, dan
pola bujur sangkar akan memberikan bentuk bujur sangkar. Kedua
bentuk penampang tersebut bisa didekati dengan bentuk lingkaran yang
mempunyai diameter De (diameter ekuivalen), dengan ilustrasi De
disajikan pada Gambar 2.12 dan 2.13. Adapun persamaan yang dapat
digunakan dijabarkan dalam Indian Standard 15284 bagian 1 (2003)
adalah sebagai berikut:
𝐷𝑒 = 1,13𝑠 ; Untuk pola instalasi segitiga ................................... (2.27)
𝐷𝑒 = 1,05𝑠 ; Untuk pola instalasi bujur sangkar ......................... (2.28)
Keterangan:
De : Diameter ekuivalen
s : Jarak antar stone column
Gambar 2.12 Ilustrasi diameter equivalen untuk pola pemasangan bujur sangkar
(Sumber: Indian Standard, 2003)
Gambar 2.13 Ilustrasi diameter equivalen untuk pola pemasangan segitiga
(Sumber: Indian Standard, 2002)
32
3. Area Replacement Ratio (Ar)
Volume tanah stone column yang akan menggantikan tanah asli,
memiliki pengaruh yang penting terhadap hasil dari perkuatan tanah, dan
mempengaruhi besarnya volume tanah yang akan tergantikan. Untuk
menghitung jumlah pergantian tanah yang dibutuhkan stone column,
ditetapkan rasio pergantian luas dengan rumus yang dijelaskan dalam
Indian Standard 15284 (2003) sebagai berikut:
𝐴𝑟 = 𝐴𝑠
𝐴 ......................................................................................... (2.29)
𝐴𝑐 = 𝐴−𝐴𝑠
𝐴 ..................................................................................... (2.30)
𝐴𝑆 = 0,907 (𝐷
𝑆)
2
; untuk pola segitiga sama sisi .......................... (2.31)
𝐴𝑆 = 1
4𝜋(𝐷)2; untuk pola bujur sangkar ...................................... (2.32)
𝐴 = 1
4𝜋(𝐷𝑒)2 ................................................................................ (2.33)
Keterangan:
𝐴𝑟 : Area replacement ratio stone column
𝐴𝑐 : Area replacement ratio tanah lunak
𝐴𝑠 : Luas penampang stone column
𝐴 : Luas penampang total 1 unit cell
𝐷 : Diameter stone column
𝐷𝑒 : Diameter equivalen
𝑠 : Jarak antar stone column
2.3.5. Evaluasi Perencanaan Stone Column
Analisis untuk perencanaan stone column relatif sulit, dikarenakan areal
yang perlu perbaikan mencakup wilayah yang sangat luas dan membutuhkan
jumlah stone column yang sangat banyak. Untuk menyederhanakannya, dalam
proses analisis luasan wilayah rencana dapat disederhanakan menjadi unit–unit sel
dengan luasan (A) yang diasumsikan terdiri dari satu kolom dengan penampang
(Ac) dan dianggap mempengaruhi tanah di sekitarnya. Menurut Priebe (1995)
kondisi sel dianggap ideal dengan asumsi:
33
● Kolom terdiri dari lapisan yang kaku
● Material dianggap tak termampatkan
● Bulk density kolom dan tanah diabaikan.
Karena asumsi di atas diterapkan, kolom tidak akan gagal pada end-bearing-
nya, dan untuk setiap penurunan tanah pada area beban yang akan
menggelembungkan kolom, panjang kolom dianggap konstan.
2.3.5.1. Metode Evaluasi Baez dan Martin
Menurut Baez dan Martin melalui komunikasi personal ke Byrne (1992)
yang dijelaskan Kembali dalam jurnalnya, pada metode ini asumsi dasar yang
digunakan mengenai evaluasi terhadap distribusi tegangan berdasarkan kekakuan
dari masing-masing elemen, shear strains antara material yang diperbaiki dan
material isi sama. Pada dasarnya pembebanan pada stone column tidak akan
menyebabkan displacement atau perpindahan pada arah tertentu selain dari
pergerakan tanah. Maka dari itu, dapat digunakan persamaan Baez dan Martin
(1993) sebagai berikut:
𝛾𝑠 = 𝛾𝑠𝑐 ......................................................................................................... (2.34)
𝜏𝑠
𝐺𝑠=
𝜏𝑠𝑐
𝐺𝑠𝑐 ............................................................................................................ (2.35)
Keterangan:
𝛾𝑠 : Shear strain pada tanah
𝛾𝑠𝑐 : Shear strain pada stone column
𝜏𝑠 : Shear stress pada tanah
𝜏𝑠𝑐 : Shear stress pada stone column
𝐺𝑠 : Shear modulus pada tanah
𝐺𝑠𝑐 : Shear modulus pada stone column
Dijelaskan dalam jurnal Baez dan Martin (1993), Seed dan Idriss (1971)
mengemukakan dengan mengasumsikan pendekatan sederhana untuk
memperkirakan nilai tegangan geser akibat gempa, diperoleh persamaan sebagai
berikut:
𝜏𝐴 ≈ 𝜏𝑠 𝐴𝑠 + 𝜏𝑠𝑐 𝐴𝑠𝑐 .................................................................................... (2.36)
34
𝜏𝑠𝑐 = 𝜏
[𝐴𝑟+ 1
𝐺𝑟 (1−𝐴𝑟)]
....................................................................................... (2.37)
𝜏𝑠 = 1
𝐺𝑟 𝜏𝑠𝑐 .................................................................................................... (2.38)
Keterangan:
𝜏 : Shear stress = 0,65𝑎𝑚𝑎𝑥
𝑔𝜎𝑣 𝑟𝑑 (Persamaan 2.8)
𝐴 : Luas area total per unit = As + Asc
𝐴𝑠 : Luas area tanah per unit
𝐴𝑠𝑐 : Luas area stone column
𝐴𝑟 : Replacement ratio = 𝐴𝑠𝑐
𝐴
𝐺𝑟 : Modulus ratio = 𝐺𝑠𝑐
𝐺𝑠
Dari persamaan–persamaan di atas, dapat disimpukan bahwa tegangan akan
terkonsentrasi pada stone column dengan proporsional terhadap rasio modulus
geser antara tanah dan stone column. Maka akan didapat tegangan pada material
stone column akan lebih kaku, sedangkan tegangan geser tanah akan lebih kecil
tanpa adanya pemasangan stone column.
Pergantian luasan tanah yang digantikan oleh material stone column dapat
meningkatkan modulus geser tanah sehingga mempengaruhi nilai CSR tanah.
Besaran faktor koreksi nilai CSR akibat modulus geser gabungan material stone
column dengan tanah dapat dihitung melalui persamaan Baez dan Martin (1993)
sebagai berikut:
𝐾𝐺 = 𝜏𝑠
𝜏=
𝐶𝑆𝑅1
𝐶𝑆𝑅 ........................................................................................... (2.39)
Untuk analisis evaluasi stone column dengan menggunakan metode ini,
salah satu data yang dibutuhkan adalah data modulus geser tanah. Nilai modulus
geser tanah diperoleh melalui persamaan yang diusulkan oleh Rollins et al (1998)
sebagai berikut:
𝐺 = 𝐸
2(1+𝜇) .................................................................................................... (2.40)
Keterangan:
𝐺 : Modulus geser tanah
𝐸 : Modulus elastisitas tanah (Tabel 2.6)
35
𝜇 : Poisson’s ratio
Nilai modulus elastisitas tanah sesuai dengan jenis tanah yang diketahui,
disajikan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Perkiraan nilai modulus elastisitas tanah
Jenis Tanah E (kN/m2)
Pasir
Berlanau 5000-20000
Tidak padat 10000-25000
Padat 50000-81000
Pasir dan Kerikil
Padat 100000-200000
Tidak padat 50000-150000
Sumber: Bowles, 1997
2.3.5.2. Metode Evaluasi Priebe
Hasil perbaikan tanah yang diharapkan dengan pemasangan stone column
dengan mengasumsikan bahwa material kolom bergeser pada kondisi awal
sementara tanah di sekelilingnya bereaksi secara elastik. Didapatkan nilai no yang
merupakan notasi dari faktor perbaikan yang diusulkan oleh Priebe (1995), dengan
no diperoleh dari persamaan sebagai berikut:
𝑛0 = 1 + 𝐴𝑐
𝐴 [
5− 𝐴𝑐𝐴
4 ×𝐾𝑎𝑐 ×(1−𝐴𝑐𝐴
)− 1] ................................................................. (2.41)
Keterangan:
𝑛0 : Initial improvement
𝐴𝑐 : Luas penampang stone column
𝐴 : Luas penampang cell unit
𝐾𝑎𝑐 : Koefisien tekanan tanah aktif
Nilai dari Kac diperoleh melalui persamaan Priebe (1995) sebagai berikut:
𝐾𝑎𝑐 = (45ᴼ −Ø𝑐
2) ......................................................................................... (2.42)
Keterangan:
Ø𝑐 : Sudut geser material stone column
Pemampatan terhadap struktur akan tetap terjadi meski material pengisi
kolom sudah padat. Oleh sebab itu, setiap beban yang menyebabkan penurunan
tidak akan dibarengi penggelembungan pada kolom. Dengan diketahui nilai dari µs
36
= 1/3, maka persamaan Priebe (1995) digunakan untuk memperoleh nilai (AC/A)1
sebagai berikut:
(𝐴𝑐
𝐴)
1= −
4 × 𝐾𝑎𝑐 ×(𝑛0−2)+5
2 ×(4 × 𝐾𝑎𝑐−1) ±
1
2 × √[
4 × 𝐾𝑎𝑐 ×(𝑛0−2)+5
(4 × 𝐾𝑎𝑐−1)]
2
+ 16 × 𝐾𝑎𝑐 ×(𝑛0−1)
4 × 𝐾𝑎𝑐−1 .. (2.43)
Keterangan:
(𝐴𝑐
𝐴)
1 : Rasio luasan akibat kompresi pada kolom, nilai yang diambil ada yang
bernilai positif dan terkecil.
Kemampatan pada material kolom dapat dihitung dengan mereduksi nilai
dari faktor perbaikan (n1) seperti ditunjukkan pada persamaan berikut:
𝑛1 = [1
2+𝑓(µ𝑠,
𝐴𝐶𝐴
)
𝐾𝑎𝑐 ×𝑓(µ𝑠, 𝐴𝐶𝐴
) − 1] ................................................................................ (2.44)
𝑓 (µ𝑠, 𝐴𝐶
𝐴) =
(1− µ𝑠)×(1− 𝐴𝐶𝐴
)
1− 2µ𝑠 + 𝐴𝐶𝐴
........................................................................... (2.45)
𝐴𝐶
𝐴=
1 𝐴𝐶𝐴
+ 𝛥(𝐴𝐶𝐴
) ................................................................................................ (2.46)
𝛥 (𝐴𝐶
𝐴) =
1
(𝐴𝐶𝐴
)1
− 1 ........................................................................................... (2.47)
Pada poin sebelumnya, salah satu parameter yang dibutuhkan untuk analisis
potensi likuifaksi dengan metode simplified seed adalah nilai CSR. untuk
mengestimasikan secara kasar efisiensi stone column akan mempengaruhi nilai
CSR akibat gempa, dan dinotasikan dengan faktor α seperti ditunjukkan persamaan
sebagai berikut:
𝛼 =1
𝑛1 ............................................................................................................. (2.48)
Nilai faktor α kemudian digunakan sebagai faktor reduksi untuk
menghitung ulang nilai CSR baru (CSR1) melalui persamaan sebagai berikut:
𝐶𝑆𝑅1 = 𝐶𝑆𝑅 × 𝛼 .......................................................................................... (2.49)
2.3.5.3. Metode Evaluasi Baez
Pemadatan tanah yang berpotensi likuifaksi merupakan salah satu cara
untuk menurunkan potensi terjadinya likuifaksi. Berbeda dari dua metode yang
digagas sebelumnya yang lebih menitikberatkan perubahan dan koreksi terhadap
37
nilai CSR akibat stone column, metode Baez (1995) menitikberatkan pada
perhitungan pengaruh stone column terhadap perubahan kepadatan tanah yang
mengakibatkan perubahan nilai SPT dan nilai CRR.
Baez menggagas hubungan antara perbaikan tanah (n) sebagai variabel
Normalized Pre-SPT (nilai SPT sebelum dipasang stone column) yang berbeda
antar rasio luas stone column (Ar) seperti yang disajikan pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Kurva hubungan nilai SPT dengan Improvement Index untuk nilai Ar yang berbeda
(Sumber: Baez, 1995)
Nilai CRR diperoleh dari perhitungan nilai SPT dalam proses analisis
likuifaksi secara kuantitatif. Dari analisis tersebut kemudian digagas sebuah grafik
hubungan antara kondisi nilai SPT sebelum dan sesudah pemasangan stone column
(pre-SPT vs post-SPT) seperti yang disajikan pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Kurva hubungan nilai SPT sebelum (Pre-SPT) dan sesudah (Post-SPT) instalasi
stone column
(Sumber: Baez, 1995)
38
Dari grafik tersebut diperoleh persamaan regresi untuk kasus nilai Ar yang
bervariasi, seperti yang ditunjukkan persamaan sebagai berikut:
𝐴𝑟 =1
20,61𝑙𝑛 𝑙𝑛 ((
𝑥
0,776−0,0194𝑥) (
1
𝑦− 0,025)) .......................................... (2.50)
Dari persamaan ini kemudian digunakan untuk mencari nilai x dan y sebagai
nilai Pre-SPT dan Post-SPT, yang diperoleh melalui persamaan sebagai berikut:
𝑦 =𝑥
0,776𝑒−20,61𝐴𝑟+(0,025−0,019𝑒−20,61𝐴𝑟)𝑥 ......................................................... (2.51)
Keterangan:
𝑦 : Nilai post-SPT
𝑥 : Nilai pre-SPT
𝐴𝑟 : Rasio luas stone column terhadap luas tanah tributary
Berdasarkan Persamaan 2.50, diperoleh grafik hubungan antara post-SPT
dan pre-SPT yang disajikan pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16 Kurva hubungan Pre-SPT dan Post-SPT Persamaan 2.49
(Sumber: Baez, 1995)
Dari grafik dan persamaan tersebut, nilai SPT baru akibat pengaruh stone
column digunakan untuk melakukan perhitungan nilai CRR, guna mendapatkan
nilai yang baru, CRR1. Parameter CRR1 kemudian digunakan untuk menghitung
nilai Safety Factor yang baru, seperti disajikan pada Persamaan 2.24.
39
2.4. Analisis Rencana Anggaran Biaya (RAB)
Analisis Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang direncanakan merupakan
output dari pekerjaan yang akan dilaksanakan. Tanpa RAB sangat mungkin terjadi
pembengkakan biaya karena pengadaan yang tidak sesuai dengan perencanaan.
Dalam merencanakan RAB diperlukan Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK) yang
disusun terdiri atas HSD tenaga kerja, HSD alat, dan HSD bahan. Analisis HSD
berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 tentang Pedoman Analisis Harga Satuan
Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum. Setelah memperoleh data dari HSD masing-
masing, data tersebut masuk dalam dokumen HSPK seperti contoh tabel analisa
harga satuan pekerjaan galian dengan excavator pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Contoh analisa harga satuan pekerjaan galian 1 m3 dengan excavator
No Uraian Koef. Satuan Harga Satuan
(Rp)
Jumlah Harga
(Rp)
A Tenaga Kerja
1 Mandor 0,0293 OH 130.000,00 3.809,00
2 Pekerja 0,2933 OH 120.000,00 35.196,00
Jumlah Harga Tenaga Kerja 39.005,00
B Bahan
Jumlah Harga Bahan -
C Peralatan
1 Excavator (Long Arm) 0,0403 Jam 472.891,55 19.037,50
Jumlah Harga Peralatan 19.037,50
D Jumlah Harga (A+B+C) 58.042,50
E Overhead + Profit (10% × D) 5.804,25
F Harga Satuan Pekerjaan (D+E) 63.846,75
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2016