bab ii konsep tentang riba dan bmt a. pengertian...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KONSEP TENTANG RIBA DAN BMT
A. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa berarti tambahan, bertambah, meningkat,
membesar. Dengan kata lain riba adalah pertambahan, pembesaran,
peningkatan, perkembangan pemberi pinjaman dari peminjam dari jumlah
pinjaman pokok sebagai imbalan karena meninggalkan / berpisah dari
sebagian modalnya selama periode waktu itu.
Definisi riba menurut syara’ masih menjadi perselisihan para ahli fiqh
sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab penerapan haramnya.
Golongan hanafi mislanya mendefinisikan, bahwa setiap kelebihan
tanpa adanya imbalan pada takaran dan timbangan diantara pembeli dan
penjual di dalam tukar menukar misalnya dirham dengan berat yang sama
diperbolehkan.
Menurut golongan syafi’i riba ialaha transaksi dengan imbalan tertentu
yang tidak di ketahui kesamaan takarannya, maupun ukurannya, waktu di
lakukan transaksi, atau dengan penundaan waktu penyerahan kedua barang
yang ditukar salah satunya. Kesamaan tukaran/ukuran yang di maksud di sini
adalah pada barang sejenis, seperti emas, perak dengan perak. Penundaan
waktu penyerahan boleh jadi harga yang ditukar salah satu barang itu tekah
berubah harganya. Menurut golongan syafi’i sebab larangan berlakunya pada
barang makanan, meskipun barang tersebut pengukurannya menggunakan
16
takaran/timbangan yang dilakukan tida secara tunai. Alasan larangan tersebut
pada barang yang sama, adalah hadits Ubadah bin Shamid, dari Nabi SAW
yang artinya: “emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma,
gandum dengan gandum, dan beras dengan beras, garam dengan garam
haruslah sebanding serta tunai”
Menurut golongan Hambali riba menurut syara’ adalah tambahan yang
diberikan pada barang tertentu, yang dimaksud dengan tertentu adalah yang
dapat ditukar atau di timbang dengan jumlah yang berbeda. 1 Tindakan inilah
yang dinamakan riba.
Dalam Islam riba secara khusus merujuk pada kelebihan yang diminta
dengan cara-cara tertentu seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar Asqalani
mengatakan bahwa inti dari pad ariba adalah kelebihan, baik itu dalam bentuk
barang/uang. Seperti dua puluh sebagai penukaran satu rupiah.
Sedangkan menurut Syah Waliullah dari Delhi, unsur riba terdapat
dalamm hutang yang diberikan dengan persyaratan bahwa peminjam akan
membayar lebih dari pada yang diterima dari pemberi pinjaman.2
Riba secara formal dapat didefinisikan sebagai suatu keuntungan
moneter tanpa ada nilai imbangan yang ditetapkan untuk salah satu dari dua
pihak yang mengadakan kontrak dalam pertukaran dua nilai moneter.3
Dalam bukunya M. Abdul Manan yang berjudul Teori dan Praktek
Ekonomi Islam mendefinisikan bunga sebagai berikut: “Praktek meminjamkan
1 M. Muslehudin, Asuransi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 24-25. 2 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jlid III, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1996, hlm. 83-84. 3 Mervyn Lewis dan Latifa Algaoud, perbankan Syari’ah, Prinsip, Prospek, Jakarta: PT.
Serambi Ilmu semesta, 2001, hlm. 35.
17
uang dengan bunga yang luar biasa tingginya, terutama dengan bunga yang
lebih tinggi dari pada yang di perkenankan oleh undang-undang”4
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dnegan
prinsip muamalah dalam Islam.
Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya
)29:النساء.... (يا أيها الذين آمنوا ال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesama dengan jalan yang batil…”. (An-Nisa’ : 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al-
Arabi al-Malik dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan,
والربا ىف اللغة هو الزيادة واملردبه ىف االية كل زيادة مل يقابلها عوضArtinya: “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang
dimaksud riba dalam ayat al-Qur’an iniiadalah setiap penambahan
yang di ambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syari’ah”
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan
4 M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1993, hlm., 165.
18
tersebut secara adil, sperti transaksi jaul beli, gadai, sewa, atau bagi hasil
proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena
adanya manfaat sewa dari si penyewa, Mobil misalnya, sesudah dipakai maka
nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Demikian
juga dalam bagi hasil, para peserta perkonsian berhak mendapatkan
keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta
menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalmtransaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima si peminjam tersebut. Yang tidak adil di sini
adalah si peminjam di wajibkan untuk selalu, tidak boleh, harus mutlak, dan
pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya
hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan
dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja
untung bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh Jumhur ulama sepanjang sejarah
Islam dari berbagai Mazahib Fiqhiyyah. Diantaranya sebagai berikut:
19
1. Badrad Din Al-Ayni
Prinsip utama riba adalah penambahan, menurut syari’ah riba berarti
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
2. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa
adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syari’ah atas penambahan
terebut.
3. Raghib al-Asfahan
Riba adalah penambahan atas harga pokok5
B. Macam-macam Riba
Mengani pembagian dan jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami,
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syafi’i Antonio menyebutkan macam-
macam riba sebagai berikut:
Riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadl, riba al-yaad dan riba an-nasi’ah. Al-
Mutawally menmabahkan jenis keempat, yaitu riba al-qard. Beliau jyga
menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash
Qur’an dan Hadits Nabi.6
1. Riba Fadl
Menurut ualama Hanafiyah, riba fadl adalah:
زيادة عني مال ىف عقد بيع على املعيار الشرعى عند احتاد اجلنس
5 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001, hlm. 37-38. 6 Ibid, hlm. 41.
20
Artinya: “Tambahan zat harta pada akad jual-beli yang diukur dan
sejenis”. Dengan kata lain, riba fadl adalah jual-beli yang mengandung
unsur riba pada barang dengan adanya tambahan pada salah satu benda
tersebut. Oleh karena itu melaksanakan akad jual-beli antar barang yang
sejenis, tidak boleh di lebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur
riba. 2. Riba Nasi’ah
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah:
فضل احللول على األجل وفضل العني علىالعني ىف املكيلني او املورمنني عند اختالف اجلنس او غري املكيلني اواملوزنني عند حتاد
اجلنسArtinya: “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang
ditangguhkan atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimban yang sama jenisnya.
Maksudnya, menjual barang dengan sejensinya, tetapi satu lebih
banyak, dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram
gandum dengans atu setengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah
dua bulan. Contoh jual beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu
buah semangka dengan dua buah semangka yang aan dibayar setelah
sebulan.7
Adapun pengertian riba nasi’ah menurut Wahbah al-Zuhaily
adalah “penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu
7 Rachmat Syafe’i, Figh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 262-263.
21
pembayaran atau penambahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga utang)
terhadap barang berdeda jenis yang ditimbang atau ditakar atau terhadap
barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang”.8
3. Riba al-Yaad
Juali beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni
bercerai berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti
menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus
saling menyerahkan dan menerima di tempat akad.9
4. Riba al-Qard
Bunga pinjaman, meliputi beban atas pinjaman yang bertambah
seiring dengan berjalannya waktu dengan kata lain merupaan pinjaman
berbunga dan kadang-kadang disebut sebagai riba an-nasia, tambahan
karena menunggu. Riba ii muncu apabila peminjam harta orang lain,
apapun bentuknya di bebani oleh si pemberi pinjaman untuk membayar
suatu tambahan tertentu disamping pokok pinjaman pada saat pelunasan.10
Dengan kata lain riba al-qara yaitu suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap berutang.11
8 Ghufron A. Mas’adi, figh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002,
hlm. 159-160. 9 Radimat Syafe’i, op. cit., hlm. 264. 10 Mervyn Lewis dan Latifa Algaoud, op. cit., hlm. 57. 11 M. Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 41.
22
C. Dasar Hukum Riba
Umat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan
supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai
surah dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW.
1. Larangan riba dalam Al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qura’an tidak diturunkan
sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai
suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
من متيا آتمالله و دو عنبراس فال يال النوفي أم وبرربا لي من متيا آتمو )39:الروم(زكاة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون
Artinya: “Dan, sesuatu riba (tamahan) yang kamu berikan agar dia
menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kau berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang –orang yang melipat-gandakan (pahalanya)”. (Q.S. Ar-Rum : 39)
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah
SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi
yang memakan riba.
نع همدبصو مله ات أحلتبطي همليا عنمروا حاده الذين فبظلم منوأخذهم الربا وقد نهوا عنه وأكلهم أموال الناس . سبيل الله كثريا
23
ع مهمن ا للكافرينندتأعاطل و161-160: النساء(ذابا أليما بالب(
Artinya: “Maka, disebabakan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan merke memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (Q.S. An-Nisa’ : 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dnegan dikaitkan kepada suatu
tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa
pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman.
لكملع قوا اللهاتفة واعضافا معبا أضأكلوا الروا ال تنآم ا الذينها أيي )130:آل عمران(تفلحون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganah kamu meemakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat kebenruntungan”. (Q.S. Ali Imran : 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini
harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat
dari terjadinya riba (jikalai bunga berlipat ganda bukanlag merupakan
syarat dari terjadinya riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik
pembungaan uang pada saat itu.
24
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif
dengan ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9
Hijriah (keterangan lebih lanjut, lihta pembahasan “Alasan pembenaran
pengambilan Riba”, poin “Berlipat Ganda”).
Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharmakan
apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.
ا الذينها أييمننيؤم متبا إن كنالر من قيا بوا مذرو قوا اللهوا اتنآم . وسؤر فلكم متبإن توله وسرالله و ب منروا بحلوا فأذنفعت فإن لم
)279-278:البقرة(أموالكم ال تظلمون وال تظلمون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. (Q.S. al-Baqarah : 278-279)12
Di dalam buku lain dijelaskan juga berapapun jumlahnya, baik
sedikit maupun banyak. Harta hasil riba hukumnhya jelas-jelas haram. Dan
tidak seorangpun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan
kepada pemiliknya, jika mereka telah diketahui. Allah SWT. Berfirman
dalam Surah Al-Baqarah : 27513
12 Muhammad Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 48-50. 13 Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sitem Ekonomi Alternatif; Perpektif Islam,
Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 200.
25
ا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من الذين يأكلون الربا ال يقومون إلالمس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا
الله ومن عاد فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى )275:البقرة(فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Artinya: “Orang-orang yang maka (mengambil) ria tidak daatberdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, lantaran (tekana) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jua;-beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang teah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai padanya larangan Thannya, lalu terus berhenti (dari mengamil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penguni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah : 275)14
Adapun sifat yang tampak dalam riba tersebut adalah adanya suatu
keuntungan yang diambil oleh orang yang menjalankan riba, yaitu
mengeksploitasi tenaga orang lain, dimana ia mendapatkan upah tanpa
harus mencurhkan tenaga sedikit pun. disamping karena harta yang
menghasilkan riba itu dijamin keuntungannya, dan tidak mungkin rugi.
dan ini tentu bertantang dengan kaidah: al-gharam bil gharami
(maksdunya bila ada kuntungan, maka ada pula kerugian)
oleh karena itu, mengelola harta dengan perseroan -yang Islami-
semisal transaksi mudharabah dan musaqat dengan segala macam
persyaratannya adalah mubah. sebab,pengelolaan semacam ini bisa
14 0
26
dimanfaatkan oleh suatu jama’ah, dimana tidak ada sedikitpun tenafa
orang lain yang dieksploitir. bahkan, ia merupakan sarana yang
memungkinkanmereka untuk memanfaatkan tenaga mereka sendiri,
dimana ia bisa menderita kerugian, begitu pula bisa mendapatkan
keuntungan. ini berbeda dengan riba.15
Kemudian, kecamatan keras dan pengharaman riba hyga terdapat
dalam surah al-Baqarah 276 yang merupakan jawaban kalimat kunci
hikmah pengharaman riba, yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi
riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah16 dalam kondisi sempit maupun
lapangan merupakan sebagian pertanda orang yang bertakwa.
Berdasarkan uraian singkat tentang pernyataan al-Qur’an tentang
riba dalam surat al-Baqarah dan surat Ali ilmran, tampaklah bahwa
keduanya berada dalam konteks seruan shadaqah (termasuk seruan infaq fi
sabilillah dan kewajiban berzakat). Dalam pernyataan al-Qur’an antara
keduanya (yakni riba dan shadaqah) selalu dipertetangkan. Kecaman,
ancaman keras dan pengharaman riba dipertentangkan dengan seruan
shadaqah yang sangat gencar. Prkatek riba yang memungut keuntungan
secara berlipat ganda dipertentangkan dengan pahala shadaqah yang
spektakuler, dan riba sebagai hutang kepad manusia dipertentangkan
dengan shadaqah yang dinyatakan sebagai pinjaman kepada Allah.
Jelaslah bahwa tujuan dari semua itu adalah bahwa Allah bermaksud
15 Taqyuddin An-Nabhani, op. cit., hlm. 201. 16 Ghufron A. Mas’adi, op. cit., hlm. 152.
27
menghapuskan tradisi Jahiliyah, yakni praktek riba, dan menggantinya
dengan tradisi baru, yakni tradisi shadaq.17
Pengharaman tentang riba dalam surah al-Baqarah ayat 278-279
yang dikutip oleh M. Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah; dari
Teori ke Praktek, pernayataan senada juga dikutip oleh Yusuf Al-Qarwadi
yang dialih bahasakan oleh Muammal Al-Hamidy dalam kitabnya Halal
dan Haram dalam Islam. Yang intinya adalah Islam menutup pintu bagi
siapa saja yang berusaha mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba.
Maka di haramkannyalah riba itu sedikit demi sdikit maupun banyak, dan
mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah
melarangnya.18
2. Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam hadits tidak hanya merujuk pada Al-Qur'an,
melainkan juga al-hadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang
berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan
melalui Al-Qur'an, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci.
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 dzulhijjah tahun 10
Hijriyah, Rasulullah SAW masih menekankan sikap Islam yang melarang
riba.
“ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu
17 Ibid, hlm. 154. 18 Syekh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi, alih Bahasa Muammal Al-Hamidy, halal dan
Haram dalam Islam, Jakarta: Bina Ilmu, hlm. 264.
28
adalah hak kamu, kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”19 Selain masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di
antaranya:
رأيت أيب إشترى حجاما فأمر : أخربنا عون بن أيب جحيفة قال مبحامجه فكسرت فسألته عن ذلك قال إن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ى عن مثن الدم ومثن الكلب وكسب األمة ولعن الوامشة
.واملستومشة وأكل الربا وموكله ولعن املصورArtinya: “Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli
seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darsah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahkuu menjawab bahwa Rasulullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab busak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan uang meminta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar” (H.R. bukhari No. 2084 kitab Al-Buyu)20
3. Pendapat Para Ulama Tentangh Riba
Pendapat Syekh Muhammad Abu Zahrah, guru besar Syari’at
Silam pada Fakultas Hukum di Universitas Cairo: “Hukum mengharamkan
riba itu terdapat di dalam al-Qur’an dan dalam Sunah Rasul. Ulama besar
dari Salafus Saleh pun telah sekata mengharamkannya. Begitu juga ulama
mujtahidin yang datang di belakang merka. Abad berganti abad, ijma’
tersebut berlaku seperti biasa, segenap hati orang yang mu’min rela
dengan tenang menerima hukum riba itu haram; yang jengkel dan ribut
hanyalah orang yang berhati keras. Yang belakangan ini terkadang dengan
19 M. Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 51. 20
29
cara berterusterang, terkadang dengan cara mencari-cari helah, melanggar
hukum tersebut.21
Menurut Hanafi bahwa tidak dibolehkan memberikan qiradl
kepada seseorang lain dengan syarat meminta sesuatu yang lain yang
berupa manfaat umpamanya dipinjamkan dengan qiradl 20 kurang gandum
yang belum bersih, dengan syarat harus dikembalikan 20 karung gandum
yang sudah bersih. Kalau disyaratkan, qiradl itu tidak sah.
Syafi’i berpendapat bahwa qiradl itu fasid dengan mensyaratkan
sesuatu yang menarik menfaat bagi yang meminjamkan. Dan ini diperinci
ke dalam tiga pasal:
a. Qiradl yang disyaratkan menarik manfaat, ini membinasakan bagi
aqad qiradl tersebut.
b. Syarat yang memberi keuntungan bagi yang meminjam saja,
seperti yang dikembalikan harus buruk, sedang yang dipinjam baik.
Sudah tentu qiradl ini tidak sah, karena merugikan kepada yang
mempunyai benda (kapital)
c. Syarat untuk menambah kepercyaan, seperti minta jaminan, borg,
maka syarat ini dapat dibenarkan.
Sedang Madzab Maliki bahwa mengadakan enam yang syarat
untuk qiradl ini, dan syarat yang keenam itu berbunyi tidak harus di dalam
aqad qiradl itu disyaratkan sesuatu syarat yang menarik manfaat bagi yang
meminjamkan, umpamanya yang meminjam harus memberi kepada
21 Moh. Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Bandung: PT.
Al-Maarif, 1993, hlm. 80
30
sipeminjam rumah untuk tempat dan sebagainya. Demikian juga kepada
yang meminjam tidak harus memberi kurang daripada apa diterimanya.22
Adapun Madzab Hanbali, Ibnu Qayyim, juga mengatakan
pengharaman riba dengan aspek moralnya dengan merujuk kepada riba
pra-Islam, ia mengatakan bahwa dalam kebanyak kasus si debitur adalah
orang yang melarat yang tidak memiliki pilihan selain menunggak
pembayaran utang. Alasan inilah, menurut kaum modernis, yang membuat
pengharaman riba secara moral berlanjut dalam lingkungan sosial-
ekonomi yang berubah. Menurut salah seorang mufassir modern,
Muhammad Asad:
Garis besarnya, kekejian riba (dalam arti dimana istilah ini
digunakan dalam al-Qur’an dan dalam banyak ucapan Nabi) terkait dengan
keuntungan-keuntungan yang diperoleh melalui pinjaman-pinjaman
berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang-orang yang berekonomi
lemah oleh orang –orang yang kuat dan kaya. Dengan menyimpan defini
ini di dalam benak, kita menyadari bahwa persoalan mengani jenis
transaksi keuangan mana yang jatuh kedalam kategori riba, pada akhirnya
adalah persoalan moral, yang sangat terkait dengan motivasi sosial-
ekonomi yang mendasari hubungan timbal balik antara dipeminjam dan
pemberi pinjaman.23
Imam Rozi juga mencoba menjelaskan alasan pelarangan riba,
pertama, karena riba berarti mengambil di peminjam secara tidak adil.
22 Ibid, hlm. 102. 23 Abdullah Saed, Menyoal Bank Syari’ah, Jakarta: E.J. Brill, 1996, hlm. 61.
31
Pemilik uang biasanya berdalih ia berhak atas keuntyungan bisnis yang
dilaukan si peminjam. Namun, ia tampaknya lupa bila ia tidak
meminjamkan, uangnya tidak bertambah. Ia pun berdalih kesempatannya
berbisnis hilang karena meminjamkan uangnya karenanya berhak atas riba.
Ini pun keliru karena belum tentu bisnisnya menghasilkan untung dan
yang pasti ia harus menanggung risiko bisnis.
Kedua, dengan riba seseorang akan malas bekerja dan berbisnis
karena dapat duduk-duduk tenang sambil enunggu uangnya berbunga.
Imam Razi mengataan bahwa kegiatan produksi dan perdangan akan lesu.
Lihat saja saat ini, bisnis mana yang akan berkembang dengan bunga 60%.
Ketiga, riba akan mernedahkan martabat manusia karena untuk
memnuhi hasrat dunianya seseorang tidak segan-segan meminjam dengan
bunga tinggi walau akhirnya dikejar-kejar penagih utang. Saat ini, berapa
banyak orang yang terpandang kedudukannya menjadi pesakitan karena
tidak mampu membayar bunga kartu kreditnya. Keempat, riba akan
membuat yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin.
Dalam masa krisis saat ini, orang kaya malah bertambah kaya karena
bunga deposito dan simpanan dolarnya. Kelima, riba jelas-jelas dilarang
oleh Al-Qur’an dan Sunnah.24
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih,
masih saja ada beberapa cendikiawan yang mencoba memberikan
pembenaran atas pengambilan bunga uang. Dia antaranya karena alasan:
24 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema
Insani, 2001, hlm. 71.
32
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga
yang “wajib” dan tidak mendzalimi, diperkenankan
a. Darurat
الضرورات تقدر بقدرهاArtinya: darurat itu ada msa berlakunya serta ada batasan ukuran
dan kadanya.
Contoh, seandainya dihutan ada sapi atau ayam maka dispensasi
untuk memakan daging babi menjadi hilan. Demikian juga
seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tig asuap
maka tidak boleh melampui batas hingga tujuh atau lebih.
b. Berlipat ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah
berlipat-ganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajar-
wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang
keliru atas Surat Ali Imran ayat 130.
قوا اللهاتفة واعضافا معبا أضأكلوا الروا ال تنآم ا الذينها أيي )130:آل عمران(لعلكم تفلحون
Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kalian
memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah
kalin kepad Allah supaya kalian mendapat
keberuntungan.”
33
Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini
Syaikh Umar Abdul Aziz al-Matruk, penulis buku Riba dan
transaksi lembaga keuangan dalam pandangan syari’ah Islam
menegaskan
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surat Ali Imran termasuk redaksi berlipat-ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan Rasul-Nya)25
hal yang senada juga disebutkan oleh Yusuf Qardhawi yang di alih
bahasakan oleh Muammal Al-Hamidy dalam kitab halal dan
haram dalam Islam, sebagai berikut tetapi apabila di situ ada suatu
keharusan yang tidak dapat dihindari dan mengharuskan kepada si
peminjam untuk memberinya rente, maka waktyu itu dosanya haya
terkena kepada si pengambil rente saja.
Namun dalam hal ini diperlukan beberapa syarat:
1) adanya suatu dharurat yang benar-benar, bukan hanya sekedar
ingin kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa yang disebut dharurat,
yaitu satu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, apabila
terhalang, akan membawa kebinasaan. Seperti makanan pokok,
pakaian perlindungan dan berubat yang semesetinya dilakukan.
25 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, hlm. 80-83.
34
2) Kemudian perkenaan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan,
tidak boleh lebih. Maka barangsiapa yang kiranya cukup dengan
$ 9, - (9 pounds) mislanya, misalnya tidak halal butang $ 10,-
3) Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencarai jalan untuk dapat
lolos dari kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun
harus membantu dia untuk mengatasi problemanya itu. Jika tidak
ada jalan lain kecuali dengan meminjam dengan riba, maka barulah
dia boleh melakukan, tetapi tidak boleh dengan kesengajaan dan
melewati batas. Sebab Alah adalah maha pengampun dan
penyayang.
4) Dia berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang.
Begitulah sehingga Allah memberikan jalan keluar kepadanya.26
26 Yusu Qardhawi, alih bahasa Muammal Al-Hammidy, op. cit., hlm. 368.
35
D. Konseptualisasi tentang BMT
1. Pengertian BMT
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) pada dasarnya merupakan
pengembangan dari konsep ekonomi dalam Islam terutama bidang
keuangan. Istilah BMT adalah penggabungan dari baitul maal wa tamwil
dan baitut tamwil. Baitul maal adalah lembaga keuangan yang kegiatannya
mengelola dana yang bersifat Nirlaba (sosial). Sumber dana diperoleh dari
zakat, infaq, dan sadaqah atau sumber lain yang halal. Kemudian dana
tersebut disalurkan kepada mustakhiq,yang berhak atau untuk kebaikan.
Adapun baitut tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya
adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit
motive. Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan
penyalurnya dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investsi yang
dijalankan berdasarkan prinsip syari'at.1
Dengan demikian BMT menggabungkan dua kegiatan yang berbeda
sifatnya, laba dan nirbala dalam satu lembaga. Namun secara organisasi
BMT tetap merupakan entitas (badan) yang terpisah.
2. Produk BMT (Baitul Maal wa Tamwil)
Untuk dapat menarik minat anggota dalam menabung, maka BMT
perlu mengemas produknya ke dalam nama yang menarik dan mudah
diingat. Produk penghimpunan dana BMT harus mampu menampung
1Hertanto Widodo AT., Panduan Praktis Operasional BMT, Mizan, Jakarta, 1999, hlnm. 81
36
keinginan nasabah. Jenis produk-produk dapat dikembangkan sebagai
berikut :
- Tabungan Haji (Taji) yakni tabungan khusus menampung keinginan
masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji dalam jangka panjang.7
- Tabungan qurban (Taqur), yakni tabungan yang disediakan untuk para
shohibul qurban, yaitu masyarakat disediakan produk yang dapat
membantu merencanakan ibadah qurbannya.
- Tabungan Pendidikan (Tapen), yakni tabungan yang disediakan untuk
membantu masyarakat dalam menyediakan kebutuhan dana pendidikan
di masa yang akan datang.8
- Tabungan berjangka Mudharabah (Tobah), yakni deposito dengan
berjangka waktu tertentu.
Masing-masing jenis tabungan tersebut memiliki jangka waktu
yang berbeda, sehingga nisbah bagi hasilnya pun sangat mungkin juga
berbeda.
Di sisi lain BMT (baitukl Maal wa Tamwil) mempunyai banyak
produk yang ditawarkan dalam rangka memperdayakan ekonomi.
a. Al-Wadiah (Titipan/Simpanan)
Didalam kita al-Mathali bil Asar menyebutkan :
فرض على من لودعت عنه وديعة حفظها وردها إىل صاحبها إذا الدمسى، وقد صح رسول طلبها منه ومن الرب حفظ مال املسلم او
7Muhammad Ridwan, Manajemen BMT, UII press, Yogyakarta, 2004, hlm. 155 8Ibid., hlm. 158
37
اهللا صلى اهللا عليه وسلم عن إضاعة املال، وهذى عموم ملال املرء ومال غريه
Artinya : “Orang yang mendapat titipan menjaga titipan itu sampai orang yang mempunyai titipan itu mengambilnya. Dan salah satu dari bentuk kebaikan adalah pemeliharaan harta orang muslim atau diizini (orang yang hidup dalam komunitas Islam (non Islam) dan sungguh sangat besar adanya larangan Nabi terhadap penyia-nyiaan harta baik hartanya sendiri apabila harta orang lain”.27
b. Al-Wakalah / Wakil
Al-Wakalah berarti Penyerahan Mandat Pendelegasian, Atau
Pemberian Mandat.28
c. Al-Kafalah / Jasa Peminjam
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung.29 d. Ar-Rahn (Gadai)
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas peminjam yang diterimanya barang yang ditanam
tersebut memiliki nilai ekonomis.30
27 Abu Muhamad Ali bin Said bin Hazm al Andaluzy, Al Makhali bil Asar, Beirut : Darul
Kitab al Ilmiyah, 1978, hlm. 137. 28 Ibid., hlm. 89. 29 Muhamad Syafii Antonio, loc.cit., hlm. 176. 30 Ibid., hlm. 182.
38
Sistem yang digunakan dalam BMT
Secara umum sistem yang digunakan dalam BMT adalah bagi hasil.
Dalam hal ini bagi hasil dikenal dengan istilah profit sharing.
Sesungguhnya prinsip bagi hasil dalam BMT dapat dilakukan
dalam empat yakni; Al-Musyarokah, al-Mudhorobah, al-Muzara’ah, dan
al-Musaqoh.31
Prinsip yang digunakan atau yang paling banyak dipakai adalah al-
Musyarokah dan al-Mudhorobah.
a. Al-Musyarokah adalah syirkah musyarokah adalah kerjasama antara
dua pihak kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.32
Landasan syari'ah/landasan hukumnya ada dalam QS. As-Shod : 24
ا إنوكثري لطاء منغي الخبلي مهضعلى بض ععإلا ب وا الذيننءام
الصالحات وعملواArtinya : “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”. (QS. As-Shod : 24).33
b. Al-Mudhorobah
Mudhorobah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian
diantara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak pemilik modal
31 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari'ah Suatu Pengenalan Umum, Tazkia Institut, Jakarta, 1999, hlm. 182.
32 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah, Ekonosia, Yogyakarta, 2003, hlm. 63.
33 Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, loc.cit., hlm. 735.
39
(shohibul maal atau rab al maal) mempercayakan sejumlah dana kedua
pihak lain. Pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktifitas
atau usaha.34
c. Al-Muzaroah
Al-Muzaroah adalah kerjasama pengelolaan pertanian antara
pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan memberi imbalan bagian tertentu
(persentase) dari hasil panen.35
d. Al-Musaqoh adalah bentuk yang lebih sederhana dari Muzaroah,
dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan
pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah
tertentu dari hasil panen.36
34 Henry K. Lewis Latifa M al Gasup, Perbankan Syari'ah, Prinsip, Praktek dan Prospek,
Sekambi, Jakarta, 2001, hlm. 66. 35 Muhammad Syafii Antonio, op.cit., hlm. 139. 36 Ibid., hlm. 140.