pembiayaan syariah riba
DESCRIPTION
xTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Riba merupakan pendapatan yang di peroleh secara tidak adil. Riba telah
berkembang sejak zaman jahiliyah hingga sekarang ini. Sejak itu banyaknya masalah-
masalah ekonomi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi tradisi bangsa arab
terhadap jual beli maupun pinjam-meminjam barang dan jasa. Sehingga sudah
mendarah daging, bangsa arab memberikan pinjaman kepada seseorang dan memungut
biaya jauh di atas dari pinjaman awal yang di berikan kepada peminjam akibatnya
banyaknya orang lupa akan larangan riba.
Sejak datangnya Islam di masa Rasullullah saw. Islam telah melarang adanya
riba. Karena sudah mendarah daging, Allah SWT melarang riba secara bertahap. Allah
SWT melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya
pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam Riba. Karena Riba menyebabkan
tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini agar mahasiswa mengerti pengertian dari riba
dan dampaknya dalam perspektif islam
1.3. Rumusan Masalah
1. Pengertian riba secara umum dan khusus
2. Jenis-jenis dan macam-macam riba
3. Faktor penyebab diharamkannya riba
4. Larangan-larangan riba dalam Al-Quran
5. Dampak dan hikmah pelarangan riba
1
BAB II
ISI
2.1. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),
berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (alirtifa'). Sehubungan dengan
arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai
berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain
jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in
lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih
dari apa yang diberikan).
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah
satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering juga diterjemahkan dalam
bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan
cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan
jumlah tambahan banyak.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-
tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente dan
riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga,
maka hukumnya sama yaitu haram.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas
jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif,
sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan
yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank)
maupun debitor (nasabah) samasama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak
bank.
Timbulah pertanyaan, di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk
menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga sebagai
terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Jadi uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga "interest" pada hakekatnya sama, keduanya sama-
sama memiliki arti tambahan uang.
Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba
bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk
2
konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna
keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya
atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat
umum.
Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa tambahan atas
sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh
(imbalan) adalaha riba. Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam
penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu
penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi
yang disetarakan dengan komoditi tersebut.
Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam
perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai konsep bunga,
berbeda dengan perbankan yang berbasis syari'ah yang memakai prinsip bagi hasil
(mudharabah) yang belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-undang
perbankan syari'ah di Indonesia nomor 7 tahun 1992.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman
adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : “...padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... .” Adapun dalil yang terkait dengan
perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di antara ayat tentang riba adalah
sebagai berikut:
كم تفلحون ه لعل لل قو ت ا مضعف و بو أضع لر لذين ءامنو ال تأكلو ها ٱيأي ا� ٱ � �� ة � ة ا� ٱ ا� ا� ٱ“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. QS Ali Imran : 130.
*ع لبي م*ا هم ق*الو إن *أن لمس ذلك ب يطن من لش طه ذى يتخب ل بو ال يقومون إال كما يقوم لر ٱلذين يأكلون ا� � ٱ ٱ ٱ ا� ٱ ٱه لل نتهى فله ما سلف وأمره إلى ه ف ب بو فمن جآءه موعظ من ر لر م لبيع وحر ه لل بو وأحل لر �مثل ٱ ۥ ۥ ٱ ۦ �� ة ۥ � ا� ٱ ٱ ٱ � ا� ٱ ار هم فيها خلدون لن لئك أصحب �ومن عاد فأ ٱ ا�“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka
mereka kekal di dalamnya”. QS:2: 275
3
Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam
Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi perekonomian oleh
masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada zaman itu riba yang berlaku
adalah merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Dengan
demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli
maupun hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syari'at Islam.
Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (non-Islam) riba
telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan riba telah
ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama.
1. Masa Yunani Kuno
Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan memungut
bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat
membenci pembungaan uang:
2. Masa Romawi
Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan
mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga melalui
undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan peraturan
guna melindungi para peminjam.
3. Menurut Agama Yahudi
Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya, menurut kitab suci
agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22:
"Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah
kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan
padanya untuk pemilik uang". Dan pada pasal 36 disebutkan: "Supaya ia dapat hidup di
antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan
engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup diantaramu". Namun
orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan
sesama Yahudi, dan tidak dilarang dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka
mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalau pada pihak yang lain.
Dan inilah yang menyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain
kaumnya. Berkaitan dengan kedhaliman kaum Yahudi inilah, Allah dalam al-Qur'an
surat an-Nisa' ayat 160-161 tegas-tegas mengatakan bahwa perbuatan kaum Yahudi ini
4
adalah riba yaitu memakan harta orang lain dengan jalan BATHIL, dan Allah akan
menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.
4. Menurut Agama Nasrani
Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram dilakukan bagi
semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari
kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut mereka (tokoh-tokoh Nasrani)
dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23 pasal 19 disebutkan: "Janganlah
engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan
atau apapun yang dapat dibungakan". Kemudian dalam perjanjian baru di dalam Injil
Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau
harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah
kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena
pahala kamu sangat banyak".
Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. pada akhir abad
ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang dianggap masih
sangat konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab baru, maka piminjaman
dengan dipungut bunga mulai diterima masyarakat. Para pedagang berusaha menghilangkan
pengaruh gereja untuk menjastifikasi beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada
beberapa tokoh gereja yang beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan
administrasi dan kelangsungan organisasi dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang.
Tetapi sikap pengharaman riba secara mutlak dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan
oleh Martin Luther, tokoh gerakan Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik
sedikit atau banyak, jika harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.
Pada masa jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (jahiliyah) riba
mempunyai beberapa bentuk aplikatif. Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah.
Bentuk pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa
jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksudnya adalah jika ada
seseorang mempunyai hutang (debitor), tetapi ia tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh
tempo, maka ia (debitor) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan.
Penambahan itu bisa dengan cara melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya
jika pinjaman tersebut berupa bintang. Demikian seterusnya.
Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang laki-laki
menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggat waktunya habis dan
5
barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh
menambah tenggatnya.
Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah hanyalah
sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu. Tambahan itu adalah
ganti dari rentang waktu. Allah SWT menghapusnya.
Menurut Mujahid (meninggal pada tahun 104 Hijriah), menjelaskan tentang riba yang
dilarang oleh Allah SWT, "di zaman Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari orang lain.
Orang itu berkata kepadamu seperti itulah anda menangguhkannya dari saya, maka diampuni
menangguhkannya."
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus
dibayar dengan bunga. Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh
masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara
tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan
kesepakatan bersama.
Bentuk ketiga: Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan. Ibnu
hajar al-Haitsami menyatakan, "riba nasi'ah adalah riba yang populer di masa Jahiliyah.
Karena biasanya seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan pembayaran
tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya tiap bulan sementara jumlah uang
yang dihutang tetap sampai tiba waktu pembayaran, kalau tidak mampu melunasinya, maka
diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.
2.2. Jenis-Jenis dan Macam-Macam Riba
6
Mayoritas ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang
(dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang
(riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:
1. Riba Dalam Utang
Dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang. Riba
ini terjadi dalam transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi tak tunai selain
qardh, semisal transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal). Perbedaan antara utang yang
muncul karena qardhdengan utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang qardh
muncul karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk
dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena
harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan
utang sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah
menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka
tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Termasuk riba duyun adalah, jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan
apabila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai
tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka
temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut.
Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebut riba jahiliyah karena banyak
7
dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi qardh (utang-
piutang).
Sementara riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah
apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas
dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan
diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.
Perlu diketahui bahwa dalam konteks pinjaman, riba atau tambahan diharamkan
secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi
pada segala macam barang. Jika si A meminjam dua liter bensin kepada si B, kemudian
disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam pengembaliannya, maka tambahan
tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian pula jika si A meminjam 10 kg buah apel
kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1kg, maka tambahan
tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat
berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya
tambahan dalam pinjam meminjam (qardh) adalah riba, meski hanya berupa segenggam
makanan ternak”.
Bahkan, mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang meminjam
harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi pinjaman, maka hadiah dan
jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka ia
adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi pinjaman uang kepada si A
dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya kepada si B selama satu bulan,
maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan riba.
2. Riba Dalam Jual-beli
Dalam jual-beli, terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah.
Keduanya akan kita kenal lewat contoh-contoh yang nanti akan kita tampilkan. Berbeda
dengan riba dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam
jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh
Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar
dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma
dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau
8
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no.
1584)
Dalam riwayat lain dikatakan:
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut
dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan
semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan
(kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke
tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
Pertama, Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya
menyebutkan enam komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan
garam. Maka ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam
komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain.
Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.
Kedua, Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar
dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus
dipenuhi, yaitu:pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua
keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10
gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali
lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas
jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus
setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang
disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus
dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara
tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini
tergolong riba nasi’ahatau ada sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan
penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.
Ketiga, Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya
boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita boleh
9
menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai kerelaan
keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau
dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias
kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda
penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilakukan. Para ulama
menggolongkan praktek penundaan penyerahanbarang ribawi ini kedalam jenis riba
nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama
riba yad.
Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak
ditukar dengan ke kayu, maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak
disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh
menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita
juga boleh menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar
10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai bukan
barang ribawi.
Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Fadhl secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan nasii’ah secara
bahasa maknanya adalah penundaan atau penangguhan. Sekarang mari kita mencoba untuk
memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan istilah riba fadhl dan riba nasi’ah,
meskipun sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu hal
yang wajib untuk mengenal nama-namanya. Hanya saja, karena istilah riba fadhl dan nasi’ah
ini sangat sering kita baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk
memahami tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.
Silahkan cermati kembali poin dua dan poin tiga pada penjelasan hadits yang baru
saja kita lewati, setelah itu insyaallah kita bisa memahami apa yang disebut dengan riba fadhl
dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar
barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram.
Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena penundaan, sebab, nasi’ah sendiri
maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Semua riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong riba
nasi’ah, karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, riba nasi’ah berupa
tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan. contohnya utang dengan
tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%,
10
misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana
keberadaan tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk
mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama
ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan
pertukaran barang sejenis dengan penambahan).
Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa
tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang
sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis.
Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau membeli perak
dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak
merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus
kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam
riba nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang
ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.
2.3. Faktor Penyebab Diharamkannya Riba
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi
kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Berikut merupakan sebab – sebab haramnya Riba yaitu :
1. Nas-nas dari Al-Quran dan Hadis tentang pengharaman Riba.
2. Mencerobohi kehormatan seorang Muslim dengan mengambil berlebihan tanpa ada
pertukaran/iwadh.
3. Memudharatkan orang miskin/lemah kerana mengambil lebih daripada yang sepatunya.
4. Membatalkan perniagaan, usaha, kemahiran pengilangan dan sebagainya ini adalah
karena cara mudah mendapatkan uang yang menyebabkan keperluan asasi yang lain
akan terabaikan dan terbengkalai.
5. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab
kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan
uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari
penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha,
dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
6. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia
dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang
akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga.
11
Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap
berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua
dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.
7. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah
orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan
jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai
tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh
rahmat Allah.
8. Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri. Orang yang melakukan riba akan selalu
menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang meminjam
uang kepadanya. Pikiran dan angan–angan yang demikian itu akan mengakibatkan
dirinya selalu was–was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat
kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar. Jika orang yang melakukan
riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi
manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya
karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
9. Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain. Orang yang meminjam uang kepada
orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan
lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima
pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa
mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat
mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya
bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan
menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.
10. Pemakan riba akan dihinakan dihadapan seluruh makhluk, yaitu ketika ia dibangkitkan
dari kuburnya, ia dibangkitkan bagaikan orang kesurupan lagi gila.
11. Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktik riba setelah datang kepadanya
penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syari’at islam, akan
dimasukkan keneraka.
12. Allah ta’ala mensipati pemakan riba adalah sebagai’’ orang yang senantiasa berbuat
kekafiran atau ingkar, dan selalu berbuat dosa.
13. Allah menjadikan perbuatan meninggalkan riba sebagai bukti akan keimanan
seseorang, dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tatap memekan riba
berarti iman nya cacat dan tidak sempurna.
12
2.4. Larangan-Larangan Riba dalam Al-Qur’an
Adapun dalil yang terkait dengan perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Di antara ayat tentang riba adalah sebagai berikut:
ن� ح�و ل� ف� ح� ف� �ح �� ن �ن ن� ن �� ن ٱ� ح!وا� �� ن ن�ٱ � "� ة ن� �ن ضن# %�ح ��ا ة �ضن ف' ن)� ا� ضو ن( ر* ٱ� ح�وا� ح, ف)ا ن� ن.ا ح/وا� ن% ن�0 ن1 ل3ي �� ن ٱ ن4ا ح�ي ن)� ضن�
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. QS Ali Imran : 130.
5�ن ن6 ن)� ن� � ا� ضو ن( ر* ٱ� ح5 ف7 ل% ح8 ف9 ن: ف� ٱ ن;ا <� ن ل=� ا� ح�و ن<ا ف� ح4 <� ن ن)ا ل( ن? ل� ضن@ � Aر ن; ف� ٱ ن1 ل% ح1 Bضن ف9 C�ن ٱ� ح Bح :� ن Dن Eن ني ل3ى �� ن ٱ Gح ح!و ني ن;ا ن, �.ا ن ل=� ن� ح%و ح!و ني ن.ا ا� ضو ن( ر* ٱ� ن� ح�و ح, ف)ا ني ن1 ل3ي �� ن ٱ
ف� Hح � Iل �/ا ن ٱ� Jح ضن� Kف ن)� ن? Lل ضن� ا� ح)ا Mن Nن نOا ف1 ن% ن� � ل �� ن ٱ� ن�ى ل=� حQۥ ح* ف% ن)� ن� Rن ن� Sن ن%ا ح ۥ ن� Mن ضى ن4 Eن نMٱ> ل ۦ ر( I�ن ر1% "� ة Uن Oل فو ن% حQۥ ن0 ا Vن ن;1 Mن � ا� ضو ن( ر* ٱ� Gن *� ن ن6 ن� ن8 ف9 ن: ف� ٱ ح �� ن ٱ�
ن� �Wح ل� Xضن ن4ا 9Mل
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. QS:2:
275,
م� 9Zل ن)� Iم ��ا ن ن, 5�ن ح, J�ح ل� حي ن.ا ح �� ن ن�ٱ� � ل] ضن< Wن \�ن ٱ� ل(ى ف* حي ن� ا� ضو ن( ر* ٱ� ح �� ن ٱ� ح[ ن� ف; نيAllah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. QS Al-Baqarah : 276.
ن1 ل/9 ل% ف %�ح �Eح ح,/ ل=�� ا� ضو ن( ر* ٱ� ن1 ل% نى ل! ن( ن%ا ح�Iا� ن@ ن� ن �� ن ٱ� ح!وا� �� ن ٱ ح/وا� ن% ن�0 ن1 ل3ي �� ن ٱ ن4ا ح�ي ن)ا ضني
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS Al-Baqarah : 278).
ن� ح;و ن� Uف ح� ن.ا ن� ن� ح;و ل� Uف ن� ن.ا ف� �ح ل� ضنو ف% ن)� ح_ ح�0 Iح ف� �ح ن� Mن ف� Eح ف: ح� ل=�� ن� � ل ۦ ل� حSو Iن ن� ل �� ن ٱ� ن1 ر% م ب ف* ن� ل( ح>وا� ن@ ف)ا Mن ح�وا� �ن ف� ن� ف� �� ن ل=ا� MنMaka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. QS Al-Baqarah :
279.
13
ح� Hح ن? Lل ضن� ا� ح)ا Mن ل �� ن ٱ� ن Vف ن� ن� �Wح ل*ي ح� م� ب ضو ن, bن ر1% �Eح ف9 ن� ن�0 ا ن% ن� � ل �� ن ٱ� Wن /Oل ح(وا� ف* ني نdا Mن ل_ �/ا ن ٱ� eل ضنو ف% ن)� لMى ا� نو ح( ف* ن9 ر� �(ا ة Iر ر1% �Eح ف9 ن� ن�0 ا ن% ن�
ن� ح�و �ل ف# ح; ف� ٱDan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). QS. Rum : 39.
Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :
ل : : في Wن Hل نfا ن� ، ح ن: ل� ن,ا ن� ، ح ن� ل, ح%و ن� ، ن(ا ر* �� ن5 ل, � ن� �� ن Sن ن� ل ف9 ن� Oن ح �� ن �� ن��ى Kن ل �� ن �� eح حSو Iن ن1 �ن ن� eن ن<ا ح ف/ Oن ح �� ن �� hن ل' Iن م* ل( نVا ف1 Oن
سواء : هم وقالDari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya,
penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.
2.5. Tahapan Larangan Riba Dalam Al-Qur’an
Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa
besar. Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step
by step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan
perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk
mengalihkan kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam
kehidupan perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer
yang pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan.
1. Tahap pertama
Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah
dengan menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan
barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan
larangan dan belum mengharamkannya.
2. Tahap kedua
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. Riba
digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah
menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga
14
menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang Yahudi
walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah
membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan riba. Ayat ini
menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam agama Yahudi. Ini
memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan menyatakan
pengharaman riba bagi kaum Muslim.
3. Tahap ketiga
Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas,
tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah
yang melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak
zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa
melakukan riba siap menerimanya.
4. Tahap keempat
Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara
tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan
tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi.
Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya.
2.6. Dampak dan Hikmah Pelarangan Riba
Dampak Riba dari Segi Perekonomian
Menurut Agustianto (2010), dalam Riba dan Meta Ekonomi Islam, dampak riba dari
segi ekonomi adalah: pertama, sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis
ekonomidi mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi
ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat
mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi punca
utama penyebabtidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa
akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga
riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan
menyimpanuangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan
dengan caraini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini
dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi
masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin
15
makin miskin. Data IMF menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi sejak tahun
1965 sampai hari ini.
Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya
pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi
menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka
pengangguran
Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan
menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat
ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam. Inflasi akan menurunkan daya
beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus.
Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara
berkembangkepada jebakan hutang (debt trap) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga
saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Keenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga
berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk
membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI.
Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah
yangmembuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun
dalam jumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba,
maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerika.
Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga
tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi
perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan
ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena
ulah tangan manusia,supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku
mereka. Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”. Konteks ayat ini sebenarnya
berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan
ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang
menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Selama berabad-abad sistem ekonomi dunia dikendalikan oleh alat instrumen tunggal
yakni bunga (riba) dan selama itu pula ekonomi dunia tidak pernah stabil bahkan Irfing
Cristol dan Daniell Bell dalam bukunya “Runtuhnya Teori Ekonomi” menyebutnya dengan
empat gelombang besar keruntuhan ekonomi, hal ini dimulai sejak mazhab Merkantilisme
sampai runtuhnya mazhab klasik 1930 atau yang biasa dikenal dengan great depression. Dan
16
nampaknya gelombang kelima sedang terjadi yakni dengan hancurnya pasar finansial dunia
serta tumbangnya perusahaan-perusahaan raksasa sehingga pertumbuhan ekonomi negara-
negara maju sampai angka minus. Maka bahasan berikut adalah dampak riba terhadap sektor-
sektor ekonomi.
Dampak Riba dari Segi Ketahanan Perusahaan
Jika salah satu prinsip perusahaan adalah going concern atau perusahaan itu akan ada
selamanya maka perusahaan tersebut akan melewati berbagai kondisi ekonomi setiap
waktunya, diamana laiknya cuaca kondisi ekonomi bisa sangat cerah dan bisa sangat ekstrim
di waktu yang lain, oleh karena itu hanya perusahaan yang punya daya tahanlah yang akan
bertahan.
Menyadari akan keadaan tersebut maka perusahaan akan senantiasa mencari cara dan
skema bertahan dalam menghadapi berbagai macam kondisi ekonomi, maka pertanyaannya
adalah seberapa jauhkah bunga berpengaruh terhadap ketahanan perusahaan. Terdapat pula
dampak negatif lain yang tidak berdampak langsung pada sebuah perekonomian, namun
dalam jangka panjang efeknya baru dapat dirasakan.
- Riba dapat menumbuhkan rasa permusuhan diantara individu dan melemahkan nilai
sosial dan kekeluargaan. Selain itu, riba dapat menimbulkan eksploitasi dan tindak
kedzaliman pada pihak tertentu.
- Menumbuhkan sikap pemalas bagi orang yng mempunyai modal, di mana ia mampu
mendapatkan banyak uang tanpa adanya sebuah usaha yang nyata.
- Mendorong manusia untuk menimbun harta sabil menunggu adanya kenaikan interest
rate.
- Menimbulkan sifat elitism dan jauh dari kehidupan masyarakat.
- Membuat manusia lupa akan kewajiban hartanya seperti infak, sedekah dan zakat.
- Mendorong manusia untuk melakukan tindak kezaliman dan eksploitasi terhadap
oranglain, baik pinjaman yang bersifat produktif maupun konsumtif
Cara Menghindari Riba Dalam Ekonomi Islam
Pandangan tentang riba dalam era kemajuan zaman kini juga mendorong maraknya
perbankan Syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung di dapat dari sistem bagi hasil
bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional pada umumnya. Karena, menurut
sebagian pendapat bunga bank termasuk riba. Hal yang sangat mencolok dapat diketahui
bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal jadi ketika nasabah
17
sudah menginventasikan uangnya pada bank dengan tingkat suku bunga tertentu, maka akan
dapat diketahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya
memberikan nisbah bagi hasil untuk deposannya.
Hal diatas membuktikan bahwa praktek pembungaan uang dalam berbagai bentuk
transaksi saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah saw yakni
riba nasi’at. Sehingga praktek pembungaan uang adalah haram.
Sebagai pengganti bunga bank, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari
unsur riba antara lain:
Wadiah atau titipan uang, barang dan surat berharga atau deposito.
Mudarabah adalah kerja sama antara pemlik modal dengan pelaksanaan atas dasar
perjanjian profit and loss sharing
Syirkah (perseroan) adalah diamana pihak Bank dan pihak pengusaha sama-sama
mempunyai andil (saham) pada usaha patungan (jom ventura)
Murabahan adalah jual beli barang dengan tambahan harga ataaan.u cost plus atas
dasar harga pembelian yang pertama secara jujur.
Qard hasan (pinjaman yag baik atau benevolent loan), memberikan pinjaman tanpa
bunga kepada para nasabah yang baik sebagai salah satu bentuk pelayanan dan
penghargaan.
Menerapkan prinsip bagi hasil, hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya,
maka yang dibagi adalah keuntungan dari yang di dapat kemudian dibagi sesuai
dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Misalnya, nisbahnya dalah
60% : 40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang di dapat oleh pihak
bank.
Selain cara-cara yang telah diterapkan pada Bank Syariah, riba juga dapat dihindari
dengan cara berpuasa. Mengapa demikian? Karena seseorang yang berpuasa secara
benar pasti terpanggil untuk hijrah dari sistem ekonomi yang penuh dengan riba ke
sistem ekonomi syariah yang penuh ridho Allah. Puasa bertujuan untuk mewujudkan
manusia yang bertaqwa kepada Allah swt dimana mereka yang bertaqwa bukan hanya
mereka yang rajin shalat, zakat, atau haji, tapi juga mereka yang meninggalkan
larangan Allah swt.
Puasa bukan saja membina dan mendidik kita agar semakin taat beribadah, namun
juga agar aklhak kita semakin baik. Seperti dalam muamalah akhlak dalam muamalah
mengajarkan agar kita dalam kegiatan bisnis menghindari judi, penipuan, dan riba. Sangat
aneh bila ada orang yang berpuasa dengan taat dan bersungguh-sungguh namun masih
18
mempraktekan riba. Sebagai orang yang beriman yang telah melaksanakan puasa, tentunya
orang itu akan meyakini dengan sesungguhnya bahwa Islam adalah agama yang mengatur
segala aspek kehidupan (komprehensif) manusia, termasuk masalah perekonomian. Umat
Islam harus masuk ke dalam Islam ssecara utuh dan menyeluruh dan tidak sepotong-potong.
Inilah yang dititahkan Allah pada surah al-Baaqarah : 208, “ Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (utuh dan totalitas) dan jangan kamu ikuti
langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh nyata bagimu”.
Ayat ini mewajibkan orang beriman untuk masuk ke dalam Islam secara totalitas baik
dalam ibadah maupun ekonomi, politik, social, budanya, dan sebgainya. Pada masalah
ekonomi, masih banyak kaum muslim yang melanggar prinsip islam yaitu ajaran ekonomi
Islam. Ekonomi Islam didasarkan pada prinsip sayariah yang digali dari Al-Qur’an dan
sunnah. Dalam kitab fiqih pun sangat banyak ditemukan ajaran-ajaran mu’amalah Islam.
Antara lain mudharabah, murabahah, wadi’ah, dan sebagainya.
Hikmah Dibalik Larangan Riba
A. Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia,
tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik
individu maupun masyarakat.
B. Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang di peroleh
si pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Keuntungannya
diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari
padanya.
C. Riba dapat menyebabkan krisis akhlak dan rohani. Orang yang meribakan uang atau
barang akan kehilangan rasa sosialnya, egois.
D. Riba dapat menimbulkan kemalasan bekerja, hidup dari mengambil harta orang lain
yang lemah. Cukup duduk di atas meja, orang lain yang memeras keringatnya.
E. Riba dapat mengakibatkan kehancuran, banyak orang-orang yang kehilangan harta
benda dan akhirnya menjadi fakir miskin.
2.7. Contoh Kasus Praktik Riba Dalam Perekonomian
Ekonomi Syariah menekankan pada nilai-nilai etis yang bersumber dari Alquran dan
Al-Hadist. Dalam ekonomi syariah lebih ditekankan pada aspek keadilan menghilangkan
segala bentuk penghisapan dan penindasan terhadap pihak lain sehingga melahirkan
ketimpangan. Oleh sebab itu dalam ekonomi syariah tidak hanya menekankan pada aspek
19
kepentingan individu tetapi juga masyarakat atau aspek sosial. Dengan demikian, setiap
individu tetap memiliki ruang untuk berkembang secara maksimal, namun di pihak lain juga
diberikan batasan-batasan sedemikian rupa sehingga aktifitas ekonominya tidak merugikan
orang lain.
Dewasa ini banyak dari masyarakat yang melakukan praktek-praktek ekonomi yang
terdapat unsur riba di dalamnya, masalah yang timbul dan banyak dibicarakan adalah status
bunga yang terdapat pada bank konvesional, yaitu dengan mengambil tambahan dalam
hutang piutang. Namun, dalam kehidupan masyarakat banyak yang memungut tambahan atas
pinjaman sebagai contoh adalah praktek hutang piutang yang ada pada masyarakat yaitu
mengambil bunga dari pinjaman baik itu melalui kegiatan-kegiatan warga seperti PKK
maupun individu. Dan tidak hanya itu, dalam hal jual beli sebagian masyarakat melakukan
jual beli yang ada unsur riba yaitu membeli buah-buahan yang belum nampak hasilnya
(borongan).
Menurut Fuad Fachrudin, dalam koperasi sendiri untuk kegiatan usahanya harus
meninggalkan praktek riba berupa penggunaan skim bunga dalam kegiatan usahanya. Tidak
menetapkan menetapkan bunga dalam kegitan simpan pinjamnya karena riba bertentangan
dengan semnagat kemitraan keadilan dan kepedulian terhadap lingkungan. Sistem bunga
tidak peduli dengan nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok
modal. Konsep ini harus diterapkan secara menyeluruh bukan sepotong-potong karena
penetapan yang sepotong-potong tidak menjamin teraktualisasinya tujuan koperasi.
Dalam transaksi perbankan basis yang digunakan dalam praktek perbankan
internasionaladalah menggunakan basis bunga (interest based) dimana salah satu
pihak(nasabah) bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai
pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut nasabah dikenakan bunga sebagai
kompensasi dari pertanggungan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak
mempedulikan apakah nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak. Praktek seperti ini
sebenarnya sangat mirip digunakan dengan praktek riba jahiliyah padamasa jahiliyah. Hanya
bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketikasi peminjam tidak bisa
melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan sebagai kompensai penambahan waktu
pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan bungan telah ditetapkansejak pertama kali
keepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yangdipinjamnya. Oleh karena
itulah tidak heran jika banyak ulama mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor
perbankan saat ini lebih jahiliyah dibandingkan riba jahiliyah.
20
Selain terjadi dalam aspek pembiayaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada
aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank sebagai
komepensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun
kerugian. Berbeda dengan disistem syariah dimana bank syariah tidak menjanjikan return
tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu persentase yang akan dibagikan dari keuntungan yang
didapatkan dari bank). Sehingga return yang di dapatkan nasabah bisa naik turun sesuai
dengan naik turunnya keuntungan bank. Istilah seperti ini yang kemudian berkembang
namanya menjadi sistem bagi hasil.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi
(konvensional) terjadi tukar menukar uang dalam jumlah yang tidak sama dan dalam
waktuyang juga tidak sama. Sebagaimana contoh, seseorang yang mengasuransikan
kendaraannya dengan premi Rp 1.000.000,00/tahun. Pada tahun ketiga dia kehilangan
mobilnya seharga Rp100.000.000,00 dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti
rugi sebesar harganya yang telah hilang. Padahal jika diakumulasikan dia baru membayar
premi sebesar Rp3.000.000,00. Jadi darimana Rp 97.000.000,00 yang telah diterimanya?
Jumlah Rp97.000.000,00 yang diterimanya masuk dalam ketegori riba Fadhl (yaitu tukar
menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga termasuk kategori riba nasi’ah (kelebihan
yangdikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan dibiayai
dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oeh karenanya
terjadilah riba nasi’ah.
Pada transaksi jual beli secara kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu
pada bunga yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut
berfluktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah.
Sehingga harga jual dan belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya
dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada kepastian harga antara penjual dan pembeli,
serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang
yang diperjualbelikan. Selain itu jika, jika terjadi kemacetan pembayaran di tengah jalan,
barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau dealer dalam jual beli kendaraan.
Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai sewa terhadap barang tersebut. Belum
lagi komposisi cicilan pembayaran, seringkali tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa
bunganya. Seringkali cicilan pembayaran pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar
dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dikembalikan. Akhirnya pembeli kerap
merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini terutama berbeda dengan sistem jual beli
21
secarasyariah, dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak
mengalami perubahan sebagiamana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas,
jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual
maupun pembeli.
Walaupun dalam Islam telah dijelaskan keharaman riba, saat ini masyarakat banyak
yangtidak mengetahui tentang apa itu riba. Mereka berpandangan bahwa riba adalah
mengambiltambahan yang terlau tinggi dalam hutang piutang misalnya yang dilakukan oleh
pararintenir, sedangkankan apabila tambahan yang diambil dari pinjaman kecil maka
bukanlahriba. Dalam jual beli masyarakat tidak memahami riba, yang mereka ketahui bahwa
ribahanya terdapat dalam hutang piutang yaitu mengambil tambahan dalam pinjaman dan
merekamencotohkan seperti yang dilakukan bank-bank konvesional.
Hutang piutang dengan tambahan dilakukan masyarakat karena memang praktek seperti
itulah yang mereka ketahui, dan mereka beranggapan bahwa tidak ada hutang piutang yang
tidak dengan bunga karena selama ini tidak ada yang melakukan hutang piutang tanpa
tambahan baik dari individu maupun kegiatan-kegiatan warga. Dengan alasan di atas, bahwa
diperlukan pemahaman tentang praktek perekonomian yang diusung oleh Islam, kewajiban
bagi para ulama dan juga para cendekiawan untuk memberikan pemahaman agar masyarakat
mengetahui praktek perekonomian apa saja yang dilarang oleh Islam dan yang dibolehkan,
sehingga Islam yang disebut sebagai pedoman hidup baik di dunia maupun di akhirat dapat
terwujud.
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ditinjau dari berbagai penjelasan yang kami paparkan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Macam-
macam riba yaitu: Riba Yad, Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah.
Di masa sekarang ini riba banyak di temukan di bank konvensional. Faktor-faktor yang
melatar belakangi perbuatan memakan hasil riba yaitu: Nafsu dunia kepada harta benda,
serakah harta, tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan,
imannya lemah, serta selalu ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba.
Allah SWT secara tegas melarang riba yang terdapat di dalam Al Qur’an di antaranya
pada:
23
QS. ar-Rum (30) : 39, QS.
an-Nisa' (4) : 160-161, QS.
Ali Imran (3) : 130, dan
Qs. Al-Baqarah (2) : 278-280.
Riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang
disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi
sedangkan Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah
tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut
paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa antara riba dan bunga
bank adalah sama. Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan
konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman
yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan
pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai.
Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa hukum antara riba dan
bunga bank adalah haram. Karena hukum asal riba adalah haram baik itu dalam Al-Qur’an,
Hadis, dan Ijtihad. Seluruh ummat Islam wajib untuk meninggalkannya, serta menjauhinya
yakni dengan cara bertaqwa kepada Allah.
Dampak akan bahayanya riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia; (1). Bagi jiwa
manusia : hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal
melainkan diri sendiri. (2).Bagi masyarakat : Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan
menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. (3). Bagi roda pergerakan ekonomi : Dari
segi ekonomi, hal ini akan menyebabkan manusia dalam dua golongan besar yaitu orang
miskin sebagai pihak yang tertindas dan orang kaya sebagai pihak yang menindas.
24
DAFTAR PUSTAKA
Amin Isfandiar, Ali. (2014). Ayat Ekonomi tentang Riba (Riba dan Zakat). (online).
Tersedia: http://iecourse.blogspot.com/2014/02/qs-ar-rum-30-39.html. [13
Maret 2016].
Amin Isfandiar, Ali. (2014). Ayat Ekonomi tentang Riba (Riba sebelum Islam). (online).
Tersedia: http://iecourse.blogspot.com/2014/02/qs-nisa-4-160- 161.html. [13
Maret 2016].
Amin Isfandiar, Ali. (2014). Ayat Ekonomi tentang Riba (Riba Jahiliyah).
http://iecourse.blogspot.com/2014/02/qs-ali-imran-3-130.html. [13 Maret 2016].
Anderta, Rio. (2014). Riba : Hukum Riba, Macam-macam Riba dan Bahaya Riba.
(online). Tersedia: http://mata-air-ilmu-pusat
kecemerlangan.blogspot.com/2013/05/riba-hukum- macam-bahaya.html. [13 Maret
2016].
25
Chair, Wasilul. 2012. Riba dalam Perspektif Islam.
(http://fe.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/RIBA-DALAM-PERSPEKTIF-
ISLAM.pdf diakses 12 Maret 2016)
Mu’adhom. dkk. (2012). RIBA. (online). Tersedia:
http://albarkasi.blogspot.com/2012/12/riba.html. [25 November 2014].
Syamsul, Arif. 2013. Dampak Riba dalam Perekonomian.
(https://www.academia.edu/7310018/Dampak_Riba_Dalam_Perekonomian diakses 12
Maret 2016)
26