bab ii konsep negara hukum, ham dan civil society dalam … · 2017. 10. 5. · 17 bab ii konsep...

42
17 BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY DALAM MASYARAKAT PLURAL A. Konsep Negara Hukum Pancasila Konsep negara hukum, pada awalnya sangat dekat dengan tradisi politik negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Hamdan Zoelva yang mengutip Tamanaha, menjelaskan bahwa liberalisme yang lahir antara akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum dan negara hukum pada masa kini. 1 Secara embrionik, gagasan negara hukum telah disinggung oleh Plato ketika ia memperkenalkan konsep Nomoi. Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada hukum yang baik. Gagasan ini kemudian dipertegas oleh muridnya Aristoteles yang ditulis dalam bukunya Politica. Senada dengan Plato, konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Meski ide negara hukum telah ada sejak abad ke- 17, namun konsep negara hukum baru berkembang secara eksplisit pada abad ke-19 dengan munculnya istilah rechtsstaat yang bertumpu pada tradisi eropa kontinental, dan the rule of law yang bertumpu pada tradisi anglo saxon. 2 1 Hamdan Zoelva. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, (https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-Pancasila/, diunduh pada 10 Desember 2014. 2 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 2-3.

Upload: others

Post on 13-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 17

    BAB II

    KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY DALAM

    MASYARAKAT PLURAL

    A. Konsep Negara Hukum Pancasila

    Konsep negara hukum, pada awalnya sangat dekat dengan tradisi politik

    negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Hamdan Zoelva yang

    mengutip Tamanaha, menjelaskan bahwa liberalisme yang lahir antara akhir abad

    ke-17 dan awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep

    negara hukum dan negara hukum pada masa kini.1

    Secara embrionik, gagasan negara hukum telah disinggung oleh Plato

    ketika ia memperkenalkan konsep Nomoi. Plato mengemukakan bahwa

    penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada hukum yang baik.

    Gagasan ini kemudian dipertegas oleh muridnya Aristoteles yang ditulis dalam

    bukunya Politica. Senada dengan Plato, konsep negara hukum menurut

    Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan

    kepada warga negaranya. Meski ide negara hukum telah ada sejak abad ke- 17,

    namun konsep negara hukum baru berkembang secara eksplisit pada abad ke-19

    dengan munculnya istilah rechtsstaat yang bertumpu pada tradisi eropa

    kontinental, dan the rule of law yang bertumpu pada tradisi anglo saxon.2

    1Hamdan Zoelva. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila,

    (https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-Pancasila/,

    diunduh pada 10 Desember 2014. 2 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 2-3.

    https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-pancasila/

  • 18

    Menurut Jimly Asshiddiqie konsep negara hukum dengan istilah rechtstaat

    telah dikembangkan oleh Imanuel Kant, F.J Stahl, Fichte dan lain-lain. Sedangkan

    negara hukum dengan istilah the rule of law dikembangkan atas kepeloporan A. V

    Dicey. Dengan mengutip Stahl, Jimly mengungkapkan empat ciri ataupun elemen

    penting yang harus ada dalam negara hukum (rechtsstaat) yaitu:

    1. perlindungan hak asasi manusia;

    2. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia;

    3. peradilan tata usaha negara (administrasi);

    4. pemerintahan berdasarkan perundang-undangan.3

    Sementara itu, Dicey menguraikan unsur-unsur negara hukum (the rule of

    law) yang lahir dari tradisi anglo-amerika, sebagai berikut:

    1. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law);

    2. kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law);

    3. terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang (due process of

    law).4

    Meski berasal dari tradisi dan latar belakang berbeda, baik rechtsstaat

    maupun the rule of law lahir atas dasar yang sama, yakni perlindungan terhadap

    hak-hak dan kebebasan individu serta pembatasan kekuasaan negara. Perumusan

    ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat dan the rule of law sebagaimana

    diungkapkan oleh Stahl dan Dicey di atas, kemudian dikembangkan dan

    diintegrasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan untuk menandai

    ciri-ciri negara hukum modern masa kini. The International Commisison of Jurist

    3Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Mahkamah

    Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2004), 122. 4Ibid.

  • 19

    pada konverensinya di Bangkok tahun 1965 mencirikan konsep negara hukum

    yang dinamis yakni:

    1. perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu

    konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh

    perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

    2. adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

    3. adanya pemilihan umum yang bebas;

    4. adanya kebebasan menyatakan pendapat;

    5. adanya kebebasan berserikat, berorganisasi dan beroposisi;

    6. adanya pendidikan kewarganegaraan.5

    Sudargo Gautama mengemukakan, bahwa teori negara hukum pada

    hakikatnya menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan

    perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu suatu negara yang

    berdasarkan hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu,

    termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Karena pada

    dasarnya, negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan

    diri dari tindakan sewenang-wenang penguasa.6

    Mahfud MD menambahkan, selain perlindungan terhadap hak-hak

    individu untuk menggunakan hak asasinya, konsep negara hukum juga didasari

    atas suatu pemahaman bahwa hukum ditentukan oleh rakyat dan untuk mengatur

    hubungan diantara sesama rakyat. Begitu dekatnya hubungan antara paham negara

    5Hamdan Zoelva, Negara Hukum dan Demokrasi: Peran Mahkamah Konstitusi dalam

    Menegakkan Negara Hukum dan Demokrasi dalam “Negara Hukum yang Berkeadilan” (Bandung:

    FH. Universitas Padjajaran, 2011), 623. 6 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983), 3.

  • 20

    hukum dan kerakyatan, muncul sebutan negara hukum yang demokratis

    (democratische rechstaat) yang mensyaratkan demokrasi sebagai salah satu asas

    negara hukum. Ide tentang perlindungan hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat

    akan menuntut suatu sistem negara hukum yang demokratis.7

    Landasan pemikiran inilah yang kemudian melahirkan konsep negara

    hukum Barat sebagaimana dirumuskan oleh beberapa ahli, yakni pandangan

    negara hukum yang didasari oleh semangat liberalisme dan demokrasi dengan

    pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak individu. Di samping itu,

    rumusan-rumusan yang telah dipaparkan dengan jelas memperlihatkan bahwa

    konsep negara hukum sesungguhnya bermuara pada satu hal pokok, yakni

    pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dimana dalam

    sebuah negara hukum, negara (pemerintah) harus tunduk dan mengikuti hukum

    serta undang-undang yang ada, semua orang tanpa kecuali harus tunduk pada

    hukum secara sama, yakni tunduk pada hukum yang adil. Dengan demikian,

    perlindungan hak-hak fundamental warga negara dengan ketundukan para

    pemegang kekuasaan negara pada hukum adalah merupakan esensi dari suatu

    negara hukum.

    Selain terdapat persamaan esensial dari rumusan-rumusan di atas, terlihat

    pula perbedaan beberapa unsur dari konsep negara hukum dimasing-masing era

    dan tempat dimana konsep itu lahir. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep

    negara hukum pada dasarnya tidak bermakna seragam, tetapi dimaknai berbeda

    dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, konsepsi negara hukum sangat

    7 Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (Yogyakarta:Gama Media, 1999), 126-

    127.

  • 21

    tergantung pada pengaruh kesejarahan, idiologi, falsafah bangsa serta setting

    sosial budaya di suatu negara. Maka, untuk mengetahui secara tepat konsep

    negara hukum Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui gambaran sejarah

    perkembangan pemikiran yang mendorong lahirnya konsep negara hukum

    Indonesia.

    Secara historis, sejak berdirinya negara Indonesia pada 17 Agustus 1945,

    para pendirinya telah menetapkan bangsa ini sebagai negara hukum. Hal tersebut

    dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang

    selanjutnya disebut UUD 1945 pra amandemen, yakni penjelasan umum

    mengenai sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa “Negara

    Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak

    berdasarkan kekuasaan (machtsstaat)”. Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) pasca

    amandemen menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

    Rumusan tersebut oleh Soepomo diartikan bahwa negara harus tunduk pada

    hukum, peraturan-peraturan hukum dan berlaku bagi seluruh badan serta alat-alat

    perlengkapan negara.8

    Dengan ungkapan lain, rumusan tersebut mencerminkan bahwa konstitusi

    Indonesia (UUD 1945) juga menghendaki pembatasan kekuasaan negara oleh

    hukum, sebagaimana konsep negara hukum Barat. Ini sekaligus membuktikan

    bahwa munculnya ide negara hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konsep

    negara hukum barat (rechtsstaat), sebagai konsekuensi dari kolonialisasi Belanda

    yang telah menjajah Indonesia lebih kurang 350 Tahun.

    8Teguh Prasetyo dan Arie Purnomisidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila

    (Bandung: Nusa Media, 2014), 1.

  • 22

    Meskipun awal kelahirannya diinspirasi dari konsep negara hukum Barat,

    akan tetapi dalam tataran implementasi, negara hukum Indonesia memiliki

    karakteristik yang berbeda, sesuai dengan dinamika sejarah yang melingkupinya.

    Berbeda dengan latar belakang lahirnya pemikiran negara hukum Barat yang lahir

    sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja,9 pemikiran atau ide

    negara hukum Indonesia didasari oleh semangat kebersamaan dari seluruh elemen

    bangsa untuk membebaskan diri dari kolonialisme dengan cita-cita terbentuknya

    bangsa baru bernama Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan

    makmur. Hal tersebut terlihat dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, sebagai

    pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia dan dasar filosofis tujuan

    negara.10

    Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi dengan berdasarkan kajian dan

    pemahaman terhadap unsur-unsur negara hukum Indonesia, menyimpulkan bahwa

    konsep negara hukum yang diimplementasikan di Indonesia baik pada saat

    berlakunya UUD 1945 pra amandemen maupun dalam UUD 1945 amandemen,

    memiliki ciri khas Indonesia yang terkandung dalam Pancasila. Dengan

    argumentasi tersebut, Negara Hukum Indonesia disebut dengan negara hukum

    Pancasila, yakni suatu negara hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai, identitas

    dan karakteristik yang terdapat dalam Pancasila. Landasan nilai-nilai Pancasila

    dapat ditemukan pada lima sila dalam Pancasila, sedangkan identitas dan

    9Menurut Paul Scholten, gagasan negara hukum muncul sebagai reaksi terhadap kerajaan

    yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Rights 1689, yang berisi

    hak dan kebebasan dari warga negara serta peraturan pengganti Raja di Inggris. Bahder Johan

    Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: CV Mandar Maju, cet. III, 2014), 3. 10

    Ibid.

  • 23

    karakteristik yang ada dalam falsafah Pancasila adalah Ketuhanan, kekeluargaan,

    gotong-royong dan kerukunan.11

    Disisi lain, konsep negara hukum Pancasila mempunyai keistimewaan

    tersendiri terkait dengan budaya dan corak masyarakat Indonesia yang pluralis.

    Oleh karena itu, konsep negara hukum Indonesia harus disesuaikan dengan

    struktur sosial masyarakat Indonesia serta harus bisa mengikuti perkembangan

    zaman dengan berlandaskan pada cita-cita negara Indonesia modern.12

    Ini penting

    dilakukan agar negara hukum Indonesia dapat mewujudkan kesejahteraan dan

    keadilan bagi warga negaranya. Meminjam istilah Satjipto Rahardjo, agar

    Indonesia sebagai negara hukum dapat benar-benar menjadi rumah yang

    membahagiakan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.13

    Lebih lanjut, Teguh dan Arie mengidentifikasi unsur-unsur dalam negara

    hukum Pancasila yang telah disesuaikan dengan perkembangan saat ini, dengan

    mengacu pada pendapat beberapa ahli terutama dari Jimly Asshidiqie.

    Menurutnya terdapat dua belas unsur penting yang harus ada dalam negara hukum

    Pancasila masa kini, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) supremasi Hukum

    (supremacy of law); 3) pemerintahan berdasarkan hukum; 4) demokrasi; 5)

    pembatasan kekuasaan negara; 6) pengakuan dan perlindungan HAM; 7) asas

    persamaan di depan hukum; 8) impeachment (pemakzulan); 9) kekuasaan

    kehakiman yang bebas dan merdeka; 10) peradilan tata negara (mahkamah

    konstitusi); 11) peradilan tata usaha negara; 12) negara kesejahteraan (welfare

    11

    Teguh, Membangun Hukum...46-48. 12

    Ibid, 39. 13

    Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta

    Press, 2008), 14.

  • 24

    state).14

    Unsur-unsur ataupun prinsip-prinsip dari negara hukum Pancasila sebagai

    sebuah konsep sebagaimana disebutkan di atas, merupakan nilai yang diambil dan

    “diramu” dari keseluruhan proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta

    cita hukum negara Indonesia.15

    Melalui penelusuran sejarah perkembangan pemikiran konsep negara

    hukum akan didapatkan bahwa negara hukum berdasarkan Pancasila secara tegas

    menempatkan agama (Ketuhanan) sebagai elemen yang sangat penting, yang

    berbeda dari konsep negara hukum Barat yang memisahkan antara agama dan

    negara (sekuler). Namun ini juga tidak berarti bahwa negara Indonesia adalah

    negara agama (teokrasi), yang hanya mendasarkan pada satu agama tertentu,

    melainkan negara yang mengakui dan menjadikan nilai luhur semua agama di

    Indonesia sebagai pijakannya, sesuai dengan realitas Indonesia yang majemuk.

    Penyebutan kata „Allah‟ dalam pembukaan UUD 1945 menunjukkan

    bahwa prinsip Ketuhanan menjadi elemen utama dari elemen negara hukum

    Indonesia, yang khas, yang membedakan dengan negara hukum yang dikenal

    secara umum. Selain itu, adanya pluralitas budaya, suku, etnis dan agama yang

    dimiliki oleh bangsa ini, menjadi keunikan dan kekayaan tersendiri jika dikelola

    dengan baik sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi oleh founding people.16

    14

    Ibid, 60-134. 15

    Dalam konstitusi negara Indonesia, cita negara hukum menjadi bagian yang tak

    terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Maka, istilah

    cita hukum (Rechtsidee) berarti konsep-konsep hukum menurut bangsa Indonesia (Pancasila).

    Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum berdasarkan Pancasila (Yogyakarta: Media Perkasa,

    2013), 66-68. 16

    Pancasila yang terumus dalam Pembukaan UUD 1945 adalah modus vivendi atau

    kesepakatan luhur bangsa Indonesia. Pancasila sangat relevan dengan realitas bangsa Indonesia

    yang plural. Pancasila akan menjadi ruang bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang

    semula saling bertentangan secara diametral. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara

    Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta : Pustaka LP3ES, 2007), 35.

  • 25

    Berkaitan dengan model relasi agama dan negara, John Titaley

    meyakinkan bahwa konsep negara Pancasila merupakan model terbaik diantara

    bangsa-bangsa di dunia, yang khas Indonesia, unik dan memiliki signifikansi

    universal. Salah satu argumen yang dikemukakan adalah presentasi MM Thomas

    yang menggambarkan empat model yang dibentuk oleh negara Asia dalam

    menghadapi sekularisasi.17

    Pertama, Negara sekularistik; bentuk negara yang melarang agama dan

    tidak mendukung eksistensi agama. Contoh: RRC selama revolusi. Kedua, Negara

    sekuler; bentuk negara yang mengizinkan agama eksis dan diakui negara, tetapi

    agama tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Contoh: india. Ketiga,

    Negara agama; negara ketika sebuah agama tertentu diakui sebagai agama resmi

    dan mendiskriminasi agama lain. Contoh: Pakistan. Dan keempat, Negara

    Pancasila; negara ketika agama dan aliran kepercayaan serta pandangan hidup

    diijinkan untuk mempunyai hubungan dengan kehidupan politik. Contoh:

    Indonesia. Dalam negara Pancasila, agama tertentu tidak dijadikan menjadi dasar

    negara, tetapi negara mengambil nilai-nilai agama dalam konstitusi.18

    Senada dengan Titaley, dalam buku “Negara Paripurna” Yudi Latif

    mengungkapkan bahwa Pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia

    yang paling realistis karena berpijak pada sejarah pembentukan nusantara itu

    sendiri. Soekarno pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah tamansari

    peradaban dunia. Di tamansari peradaban dunia inilah telah hidup berbagai

    macam suku bangsa dengan warna kulit, bahasa serta keyakinan yang berbeda.

    17

    John A. Titaley, Religiositas di Alenia Tiga, Pluralisme, Naionalisme dan Transformasi Agama-agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 155-156.

    18 Ibid.

  • 26

    Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah keniscayaan dalam proses pembentuk bangsa

    Indonesia. Untuk itu toleransi, pluralisme dan Ketuhanan yang berakar pada

    sejarah pembentukan bangsa harus terus menerus dibina dan dijaga eksistensinya.

    Karena tanpa itu kita hanya tinggal menunggu kehancuran Indonesia.19

    Titaley menambahkan, pada alenia ketiga pembukaan UUD 1945,

    pernyataan “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa...” yang awalnya

    berbunyi “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa...” mengindikasikan

    bahwa negara baru bernama Indonesia saat itu mengakui dan menggunakan kata

    “Tuhan” sebagai perwujudan “Yang Mutlak”, yang merupakan representasi semua

    agama di Nusantara--bahkan yang tidak diakui sebagai agama- dan menjadikan

    seluruh masyarakat Indonesia setara, sederajat dan manusiawi dihadapan hukum

    dan dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

    Namun sayang, konsep keberagamaan Pancasila yang disebutnya sebagai

    model keberagamaan inklusif transformatif ini telah dicedirai dan sering diingkari

    oleh para pemimpin bangsa.20

    Atas dasar pengakuan akan keberadaan dan

    kemahakuasaan tersebut, negara hukum Pancasila wajib menjamin kebebasan

    beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan.

    1. negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

    2. negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

    agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

    Pasal tersebut jelas menyatakan tentang hak beragama di Indonesia yang

    dijamin oleh Undang-undang sebagai hak semua warga negara yang sah dan

    19

    Yudi Latif, Negara Paripurna:Historisitas,Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:

    Gramedia Pustaka Utama, 2011), 3. 20

    Titaley, Religiositas di Alenia...153-154.

  • 27

    setara yang merupakan landasan yuridis formal untuk keyakinan umat beriman.

    Tugas dan fungsi negara juga sangat jelas dinyatakan yakni untuk melindungi,

    menjamin, memfasilitasi serta memberi pelayanan kepada setiap warga negara

    untuk menjalankan setiap bentuk praktik keagamaan secara netral dan fair.

    Dalam konteks kebebasan beragama di negara hukum Pancasila, Teguh

    dan Arie berpandangan bahwa negara hanya boleh melakukan intervensi dalam

    masalah-masalah administratif seperti penyediaan sarana dan prasarana (tempat

    ibadah) serta penyelesaian konflik antarumat beragama secara adil. Jadi urusan

    tatacara dan ajaran dari agama-agama sama sekali bukan urusan negara.21

    Dengan demikian, dalam konteks negara hukum Indonesia--yang merujuk

    pada prinsip negara hukum Pancasila mutakhir-, kebebasan beragama hanya bisa

    diwujudkan jika negara (Pemerintah) benar-benar menyadari keragaman

    (pluralitas) masyarakat sebagai kenyataan normatif yang mendasari pendirian

    Indonesia. Sehingga semua pihak dapat diperlakukan secara sama dan setara

    dihadapan hukum yang adil.

    Dengan asumsi tersebut, Pemerintah ditingkat nasional hingga lokal harus

    secara konsisten menghindari praktik sewenang-wenang, diskriminatif dan

    melanggar hak asasi manusia. Disamping itu, secara konsekuen dan tegas dapat

    menindak segala bentuk kekerasan dan intoleransi yang mengancam kebebasan

    beragama di negara bhineka tungggal ika.

    Tanda tanya besar yang perlu diajukan kemudian, jika negara hukum

    Pancasila telah dengan jelas menjamin kebebasan beragama warga negaranya,

    21

    Prasetyo, Membangun Hukum...67-68.

  • 28

    mengapa pelanggaran terhadap kebebasan beragama tetap menjadi masalah serius

    di bumi Pancasila?

    Menurut Satjipto Rahardjo, dalam suatu konsep negara hukum disyaratkan

    untuk selalu menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian

    hukum dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.22

    Maka, diperlukan

    suatu sistem hukum yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak warga negara

    termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama. Jika sistem merupakan suatu

    kesatuan yang terdiri dari elemen yang saling berinteraksi, maka hukum sebagai

    sebuah sistem merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri dari unsur-unsur yang

    berkaitan erat satu dengan yang lain.

    Teguh Prasetyo mencatat, sistem hukum merupakan suatu sistem yang

    terbuka. Dalam sistem hukum yang terbuka kesatuan unsur-unsur dari sistem

    hukum dipengaruhi faktor dari luar sistem, begitupun sebaliknya unsur-unsur

    dalam sistem juga mempengaruhi unsur diluar sistem hukum tersebut. Oleh

    karena itu, hukum selalu mengalami perkembangan mengikuti perkembangan

    yang terjadi diluar sistem hukum itu sendiri.23

    Terdapat tiga aspek dari sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman,

    sebagaimana dikutip Teguh Prasetyo dan A. Halim Barkatullah, yaitu structure,

    substance dan culture, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.

    1. Struktur hukum, (legal structure), yakni terkait lembaga-lembaga yang

    berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang. Seperti lembaga

    pengadilan, lembaga legislatif dan penegak hukum.

    22

    Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 1978), 11. 23

    Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum...40.

  • 29

    2. Substansi hukum, (legal substance) yakni menyangkut isi, materi atau

    bentuk dari peraturan hukum atau perundang-undangan.

    3. Budaya hukum (legal culture), yakni menyangkut kepercayaan akan nilai,

    pikiran dan harapan masyarakat.24

    Hukum akan berperan dengan baik manakala ketiga aspek subsistem yaitu

    struktur, substansi dan budaya hukum saling berinteraksi dan memainkan peranan

    sesuai fungsinya, sehingga hukum akan berjalan secara serasi dan seimbang

    sebagaimana mestinya. Namun apabila ketiga subsistem hukum tidak berfungsi

    dengan baik, maka akan muncul problem dalam upaya memfungsikan hukum.25

    Dalam suatu negara hukum, ketiga elemen sistem hukum tersebut harus

    menjadikan hukum sebagai panglima agar sistem hukum dapat bersinergi dan

    selaras mewujudkan keadilan bagi semua. Dalam konteks negara hukum

    Pancasila, ketiga subsistem baik kelembagaan, isi peraturan maupun budayanya

    harus menginternalisasikan nilai-nilai dan falsafah yang ada dalam Pancasila.

    Apabila hukum atau peraturan justru menimbulkan konflik di masyarakat,

    kemungkinan terjadi ketidak cocokan antara salah satu atau ketiga sub sistem

    hukum diatas. Jika budaya hukum dalam masyarakat secara umum menghargai

    pluralisme sebagaimana tercermin dalam Pancasila, namun lembaga hukum

    ataupun pemerintah serta substansi hukum bertentangan dengan nilai-nilai dan

    falsafah Pancasila maka bisa dipastikan akan menimbulkan chaos di masyarakat.

    Sebaliknya, jika materi hukum telah sesuai dengan Pancasila namun otoritas

    24

    Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:

    Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: PT. Raja Grafindo,

    2012), 312. 25

    Ibid.

  • 30

    lembaga dan budaya masyarakat tidak berkiblat pada kenyataan pluralisme bangsa

    sebagaimana dijunjung dalam Pancasila, maka hukum tidak akan memberikan

    keadilan bagi masyarakat. Begitu seterusnya, sehingga ketiga subsistem harus

    sejalan agar hukum berfungsi dengan baik.

    Di negara yang beraneka tradisi, suku, ras, bahasa dan agama seperti

    Indonesia, dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan. Di

    antara kepentingan itu ada yang berselaras dengan kepentingan yang lain, tetapi

    ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan lain.26

    Dalam

    konteks ini pula hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk

    mencapai tujuannya.

    Roscoe Pound berpandangan bahwa dalam fungsi hukum tercakup dua hal.

    Pertama, hukum berfungsi sebagai rekayasa sosial (law as tool a social

    engineering). Fungsi hukum sebagai sarana untuk mengadakan pembaruan

    (rekayasa sosial) mengehendaki agar perilaku masyarakat diarahkan sesuai

    dengan hukum. Kedua, hukum sebagai kontrol sosial (law as tool as social

    control). Fungsi hukum sebagai sarana untuk pengendalian sosial (kontrol sosial)

    adalah hukum berfungsi sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga

    masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri

    dan harta bendanya.27

    Dalam konteks sosiologi hukum, fungsi hukum adalah untuk menertibkan

    dan mengatur pergaulan serta menyelesaikan konflik yang terjadi dalam

    26

    Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia

    Pustaka Utama), 130. 27

    Soerdjono Soekamto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Dalam Masyarakat (Bandung:

    Alumni, 1983), 270.

  • 31

    masyarakat.28

    Sedangkan tujuan hukum seringkali diungkapkan dengan tiga hal

    yang menentukan satu sama lain yakni kepastian, ketertiban (keteraturan) dan

    keadilan.29

    Maka, sebagaimana tujuan dan fungsi hukum, keberadaan hukum

    menjadikan konflik tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat,

    melainkan berdasarkan peraturan yang berorientasi pada keadilan, yakni

    berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak

    membedakan antara yang kuat dan yang lemah.

    Ketika hukum telah dijadikan panglima dalam kehidupan berbangsa dan

    bernegara, maka pola kehidupan dan sikap masyarakat maupun aparat negara

    yang cenderung menyimpang dari norma hukum Pancasila akan dapat

    dikendalikan dan mengalami perubahan. Dengan demikian, pendekatan sosiologis

    juga diperlukan untuk menciptakan pola-pola baru agar masalah-masalah sosial

    dapat dipecahkan dan mencapai tujuan dan fungsi sosial yang diharapkan,

    sebagaimana termaktub dalam nilai-nilai dasar Pancasila.

    B. Konsep Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama

    Terdapat tiga konsep dasar penyelenggaraan negara telah lahir dari paham

    yang menolak kekuasaan absolut menyusul renaissance yang bergelora di dunia

    barat, yakni perlindungan hak asasi manusia, demokrasi dan negara hukum.

    Dalam paham ini dikatakan, pemerintah berkuasa karena rakyat bukan lagi

    sebagai wakil Tuhan. Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kuasa

    28

    Soerdjono Soekamto, Suatu Tinjaun Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial

    (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1989), 274. 29

    Lili Rasjidi dan I.B Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Sebuah Sistem (Bandung: PT. Remaja

    Rosdakarya, 1993), 127.

  • 32

    menyelenggarakan pemerintahan negara agar dapat memberi perlindungan atas

    hak asasi manusia. Untuk melindungi hak asasi manusia negara harus dibangun di

    atas prinsip negara hukum agar ada instrumen yang mengawasi dan mengadili jika

    terjadi pelanggaran hak asasi manusia.30

    Dengan kata lain, konsekuensi dari

    negara hukum dan demokrasi adalah negara berkewajiban untuk melindungi hak-

    hak asasi warganya, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.

    Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu konsep etika politik modern

    dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan

    kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang

    bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Konsep HAM

    berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan

    bermartabat (human dignity). Karena itu, esensi dari konsep HAM adalah

    penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa

    diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun, serta pengakuan

    terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.31

    Deklarasi Universal hak asasi manusia (Universal Declaration of Human

    Rights) PBB pada 10 Desember 1948 atau dikenal dengan DUHAM merupakan

    pernyataan definitif pertama tentang hak asasi manusia dan yang menyebutkan

    secara jelas hak-hak yang bersifat universal. Meski secara gagasan, paradigma dan

    kerangka konseptual telah ada sebelumnya dalam sejumlah dokumen historis

    30

    Nasution. Negara Hukum...9 31

    Paul S. Baut dan Beny Harman, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia (Jakarta:YLBHI

    1988), vi.

  • 33

    seperti Magna Charta (1215), Bill of Rights England (1689), Rights of Man

    France (1789), Bill of Rights USA (1791), Rights of Russian People (1917).32

    Jan Materson dari komisi HAM PBB, dalam Teaching Human Rights

    United Nation sebagaimana dikutip Baharudin Lopa menyatakan “Human Rights

    could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and

    without which can not live as human being”. Sementara John Locke

    mengungkapkan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan

    langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh

    karenanya tidak ada kekuasaan dan keadaan apapun di dunia yang dapat

    mencabutnya.33

    Di Indonesia, definisi HAM secara terperinci diatur dalam UU Nomor 39

    Tahun 1999 dimana jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan

    menjadi bagian fundamental hak asasi manusia. Pada Pasal 1 disebutkan “hak

    asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

    manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

    yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,

    pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

    martabat manusia”, Dengan kata lain, hak beragama yang merupakan hak asasi

    manusia, adalah hak setiap manusia yang dibawa sejak lahir dan bersifat kodrati

    (fundamental) sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa -bukan pemberian

    32

    Peter Baehr, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia (Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia, 2001) 33

    Dede Rosyada, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta:

    Prenada Media, 2003), 200-201.

  • 34

    manusia ataupun lembaga kekuasaan- yang harus dihormati dan dilindungi oleh

    setiap individu, masyarakat dan negara.

    Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen hak asasi

    manusia internasional (DUHAM) secara jelas disebutkan pada Pasal 18: “Setiap

    orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini

    mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan

    untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,

    peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan

    orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.”34

    Selain dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak kebebasan

    beragama dan berkeyakinan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan

    Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini telah diratifikasi

    pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isi dari kovenan tersebut

    adalah sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,

    berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau

    menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,

    baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum

    atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan

    ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh

    dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu

    agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.35

    34

    Baut, Kompilasi Hukum...81. 35

    Ismail Hasani dan Nipospos Bonar Tigor (ed.), Mengatur Kehidupan Beragama;

    Menjamin Kebebasan Beragama? Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan

    Beragama/Berkeyakinan (Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 24.

  • 35

    Maka dalam perspektif HAM, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan,

    tercakup dalam delapan komponen utama sebagai berikut:

    1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir,

    berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk

    menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya

    sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.

    2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara

    individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk

    memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan

    peribadahannya.

    3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan

    yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi

    suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.

    4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan

    menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di

    dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis

    kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk:

    asli atau pendatang, serta asal usulnya.

    5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati

    kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa

    pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan

    keyakinannya sendiri.

  • 36

    6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek vital dari kebebasan

    beragama atau berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah

    berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu

    komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau

    berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian dalam pengaturan

    organisasinya.

    7. Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk

    menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh

    undang-undang, dan itupun semata-mata demi kepentingan melindungi

    keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum, serta

    dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.

    8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama

    atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.36

    Jika kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk dalam hak individu

    yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (non derogable rights), maka kebebasan

    beragama merupakan hak asasi manusia yang fundamental yang harus dijamin

    dan dilindungi oleh negara. Prinsip non derogable rights menegaskan tentang

    hak-hak mendasar yang bersifat absolut dan oleh karena itu tak dapat

    ditangguhkan dalam situasi dan kondisi apapun.

    Hak-hak yang tercantum dalam prinsip non drogable rigths ini mencakup

    hak hidup, hak atas keutuhan diri, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas

    beragama, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama didepan

    36

    Nur Kholis Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

    (Jakarta: LBH, 2011), 20-21.

  • 37

    hukum, hak untuk tidak dipenjara atas kegagalannya memenuhi kewajiban

    kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku

    surut. Dengan demikian, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan

    hilangnya hak seseorang ataupun kelompok untuk bebas bergama, dapat

    dikategorikan sebagai pelanggran HAM.37

    Musdah Mulia dengan mengutip Nowak, menjelaskan bahwa kebebasan

    beragama dalam bentuk kebebasan mewujudkan, mengimplementasikan, atau

    memanifestasikan agama dan keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah

    atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah

    digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama

    dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau

    ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, penundaan pelaksanaan, pembatasan atau

    pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.38

    Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan,

    pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan atas lima hal,

    yaitu public safety; public order; public health; public morals;protection of rights

    and freedom of others, sebagaimana penjelasan dibawah ini.

    1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk

    Melindungi Keselamatan Masyarakat). Pembatasan disini mencakup

    tentang larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan

    37

    Ibid. 38

    Musdah Mulia, HAM dan Kebebasan Beragama (Disampaikan pada acara Konsultasi

    Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi

    KUHP, tgl 4 Juli 2007 di Jakarta)

  • 38

    pemeluknya. Sebagai contoh, ajaran agama yang ekstrim, yang

    menghalalkan bom bunuh diri, baik secara individu maupun secara masal.

    2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk

    Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan dalam kebebasan

    memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau

    masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan

    hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat atau keharusan mendirikan

    tempat ibadah pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum

    3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk

    Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan

    dengan kesehatan publik ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan

    kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau

    penyakit lainnya. Pemerintah mewajibkan melakukan vaksinasi atau

    mengambil sikap ketika ada ajaran agama tertentu yang melarang

    vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya.

    4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi

    Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang

    menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.

    5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom

    of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan

    orang lain). (1) Proselytism (Penyebaran Agama): Pemerintah dapat

    membatasi kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agama mereka

    melalui aktivitas-aktivitas misionaris. Ini dilakukan dalam rangka

  • 39

    melindungi agar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau

    dikonversikan. (2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari

    agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari

    orang lain, seperti hak hidup, hak untuk bebas dari kekerasan,

    perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak pada kaum

    minoritas.39

    Dengan demikian, tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan,

    pengaturan atau pembatasan kebebasan beragama di atas adalah dalam kerangka

    untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik warga

    negara.

    Dalam hal kebebasan beragama di Indonesia, secara legalistik-formal,

    republik ini telah menjaminnya sebagai hak sipil warga negara yang dijamin oleh

    undang-undang, ini dapat ditemukan dalam pasal 28 dan pasal 29 UUD 1945 yang

    secara jelas telah mengatur hal tersebut. Pasal 28 (e) ayat 1, 2 dan 3 undang-

    undang hasil amandemen, menyebutkan:

    1. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan

    fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya

    2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

    nuraninya

    3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

    mengeluarkan pendapat

    39

    Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkayakinan di Era Reformasi.

    Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM, Penegakan HAM dalam 10 Tahun

    Reformasi (Jakarta: Hotel Borobudur, 2008)

  • 40

    Pasal di atas dipertegas dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 dimana negara harus

    menjamin keberlangsungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

    1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa

    2. Negara menjamin kebebasan individu untuk menjalankan kewajiban

    menurut agama dan kepercayaannya.

    Pasal-pasal ini kemudian dikuatkan dengan UU nomor 39 tahun 1999 ayat

    1 dan 2 dengan redaksi sebagai berikut:

    1. Setiap orang berhak memeluk agamanya masing-masing dan untuk

    beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu

    2. Negara menjamin kemerdekaan kemerdekaan tiap orang memeluk

    agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan

    kepercayaannya itu.

    Pasal-pasal di atas telah secara gamblang dinyatakan tentang hak

    beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang dijamin oleh konstitusi sebagai hak

    semua warga negara yang sah dan setara yang merupakan landasan yuridis formal

    untuk keyakinan umat beriman di Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga telah

    meratifikasi beberapa kovenan internasional yang memberikan jaminan kebebasan

    beragama dan berkeyakinan. Maka, amanat konstitusi tersebut sudah seharusnya

    menjadi panduan dalam memproduksi kebijakan dibawahnya.

    Nurkholis Hidayat mencatat, ketentuan jaminan nasional dan internasional

    terdapat dalam beberapa instrumen antara lain: DUHAM Pasal 18, UUD 1945

    Pasal 28e dan 29, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 dan 22, UU

    Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan ICCPR atau kovenan tentang hak sipil

  • 41

    dan politik, UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang pengesahan CERD atau kovenan

    Penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, UU Nomor 11 Tahun 2005

    tentang Ecosob atau Kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya.40

    Maka, prinsip

    kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu pada instrumen hukum

    internasional mengenai HAM (DUHAM), juga mengacu pada konstitusi dan

    sejumlah Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM.

    Namun, dalam implementasi DUHAM yang merupakan tonggak

    bersejarah peradaban manusia tersebut mengalami hambatan pelaksanaan

    dikarenakan asumsi deklarasi ini adalah karya manusia yang tidak bisa melebihi

    wahyu Tuhan sebagaimana klaim yang difatwakan oleh para pemuka agama di

    beberapa belahan dunia. Akibatnya, negara yang seharusnya mendapat wewenang

    penuh untuk melindungi perwujudan HAM tidak sanggup melaksanakan

    kewajibannya ketika berhadapan dengan klaim tersebut. Oleh karenanya, menurut

    Titaley, mengatasi eksklusivisme menjadi penting dalam relasi agama, negara dan

    HAM. Selama eksklusivisme ini masih kental dalam kehidupan beragama

    masyarakat, maka masalah masih akan terus terjadi di negeri Pancasila ini.41

    Dalam masyarakat yang multi-SARA seperti Indonesia, agama memang

    lebih dimaknai sebagai organisasi sosial dari pada seperangkat nilai dan

    spiritualitas. Agama tidak hanya menjadi urusan pribadi antara hamba dengan

    Tuhannya, tetapi juga sebagai landasan dan rujukan dalam setiap tindakan sosial,

    politik, ekonomi dan budaya. Konsekuensi logis yang harus ditanggung, adalah

    terjadinya tarik menarik antara agama dan kekuasaan, serta kompetisi dalam satu

    40

    Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus...19. 41

    Titaley, Religiositas di Alenia...1-2.

  • 42

    organisasi agama ataupun dengan agama lain. Kompetisi tersebut sesungguhnya

    wajar terjadi dalam masyarakat, akan tetapi ketika kompetisi melebar ke arena

    politik kekuasaan, yang terjadi kemudian adalah kontestasi merebut ruang publik

    dan pengaruh politik. Disinilah sebuah regulasi yang adil dan dapat

    mempertahankan kemajemukan menjadi sebuah kebutuhan.

    C. Dari SKB ke PBM: Upaya Negara dalam Mengelola Kehidupan

    Beragama

    Tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum mengandung konsekuensi

    bahwa negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warganya, baik

    dalam bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan agama.

    Sebagai negara yang bertanggungjawab atas terciptanya kerukunan

    antarumat beragama, Pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya dalam

    menjaga hubungan harmonis antarumat beragama. Salah satunya dengan

    membenahi peraturan tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam

    Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah

    Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya” dalam Surat Keputusan Bersama (selanjutnya

    disebut SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dengan Nomor

    01/BER/MDN-MAG/1969, yang telah dikeluarkan pada 13 Desember 1969.42

    Regulasi ini lahir untuk menjawab tantangan baru hubungan antaragama

    pada masa Orde Baru. SKB ini tidak secara khusus mengatur tentang pendirian

    rumah ibadah. Peraturan tersebut secara umum mengatur tentang pengembangan

    42

    Dokumen SKB Nomor 1 tahun 1969.

  • 43

    dan penyiaran agama yang di dalamnya terkait dengan keberadaan rumah ibadah.

    Pada Pasal pendirian rumah ibadah, SKB Dua Menteri ini menyatakan bahwa

    pendirian rumah ibadah harus mendapatkan ijin dari kepala daerah setempat. Ijin

    pendirian rumah ibadah akan dikeluarkan jika. pemohon telah mendapatkan

    rekomendasi dari kepala perwakilan Departemen Agama, peneliti planologi, dan

    persetujuan dari masyarakat setempat.43

    Namun, maraknya konflik tempat ibadah yang memuncak di tahun 2005

    semakin memicu ketegangan sosial diantara kelompok agama. SKB tersebut

    dinilai banyak kalangan multitafsir dan diskriminatif. Maka Pemerintah-pun

    terdesak memperbarui regulasi rumah ibadah yang terdapat dalam SKB no 01

    tahun 1969, sehingga regulasi yang khusus mengatur tentang rumah ibadah segera

    direalisasikan. Satu tahun kemudian, pada 2006 Pemerintah menerbitkan

    Peraturan Bersama Menteri (selanjutnya disebut PBM) tentang “Pedoman

    Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan

    Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama

    dan Pendirian Rumah Ibadah” no 8 dan 9 tahun 2006.44

    PBM ini sangat detail mengatur kewenangan pemeliharaan kerukunan

    umat beragama, mekanisme perijinan rumah ibadah, dan penyelesaian jika terjadi

    konflik. PBM terdiri dari 30 Pasal yang dibagi dalam 10 bab, yakni: (1) Ketentuan

    Umum; (2) Tugas Kepala Daerah; (3) Tugas dan Peran Forum Kerukunan Umat

    Beragama (FKUB); (4) Pendirian Rumah Ibadah (5) Rumah Ibadah Sementara;

    (6) Ijin Sementara Pemanfaatan Gedung; (7) Penyelesaian Perselisihan; (8)

    43

    Ihsan Ali Fauzi, Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS UGM, 2011), 34. 44

    Suara Merdeka, 23 Maret 2006, Menag: Sudah Tidak Multitafsir.

  • 44

    Pengawasan dan Pelaporan; (9) Sumber Dana FKUB; dan (10) Mekanisme

    Peralihan dan Penutup. PBM ini antara lain mengatur bahwa pendirian rumah

    ibadah wajib memenuhi syarat, yaitu (1) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk

    (KTP) 90 orang pengusul rumah ibadah yang disahkan oleh pejabat sesuai dengan

    batas wilayah setempat, (2) KTP 60 orang warga setempat yang disahkan oleh

    kepala desa atau lurah, (3) Rekomendasi tertulis dari kantor Departemen Agama

    kabupaten atau kota setempat, (4) Rekomendasi dari FKUB kabupaten setempat

    Rekomendasi tersebut harus didasarkan pada musyawarah mufakat dan tidak

    dapat dilakukan dengan voting.45

    Oleh Pemerintah PBM ini dianggap lebih baik karena disusun berdasarkan

    berbagai pengalaman penerapan SKB sebelumnya, sehingga kekurangan yang ada

    bisa diperbaiki. Namun, setelah hampir sembilan tahun PBM ini

    diimplementasikan, celah diskriminasi justru semakin lebar terjadi pada warga

    minoritas. Seperti di Bali, warga muslim yang merupakan minoritas tetap sulit

    untuk mendirikan rumah ibadah, dan warga Kristen kesulitan mendirikan

    bangunan di wilayah yang mayoritas Islam, begitu pula sebaliknya. Kesulitan ini

    lebih disebabkan karena PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006 terlalu rigid mengatur

    hal-hal yang bersifat administratif.46

    45

    Dokumen PBM Nomor 8 dan 9 tahun 2006. 46

    Dari penelitian yang dilakukan oleh Tim dari Paramadina dan CRCS, menyimpulkan

    bahwa peluang diskriminasi dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu: pertama, politisasi

    kewenangan pemerintah daerah dalam megeluarkan IMB. Kedua, keanggotaan FKUB berdasarkan

    presentasi jumlah pemeluk agama, mengakibatkan minoritas selalu kalah dalam voting meski

    tertera bahwa keputusan FKUB harus dengan musyawarah mufakat. Ketiga, persyaratan dukungan

    60 KTP seringkali melahirkan diskriminasi pada masyarakat yang kurang toleran. Fauzi,

    Kontroversi Gereja...37-38 .

  • 45

    Berdasarkan konstitusi, regulasi negara, dan sejumlah instrumen hukum

    internasional sebagaimana disebutkan pada sub bab sebelumnya, dapat

    disimpulkan bahwa tidak ada alasan bagi siapapun, termasuk negara untuk

    melarang umat beragama mendirikan rumah ibadah. Jadi, pendirian rumah ibadah

    merupakan hak setiap individu atau kelompok masyarakat. Mengutip Dawam

    Rahardjo, pendirian rumah ibadah seharusnya tidak lebih sulit dari pada pendirian

    bangunan lainnnya seperti pendirian panti pijat ataupun klub malam. Karena pada

    hakikatnya pendirian rumah ibadah tak memiliki bahaya apapun, sebaliknya hal

    itu akan menjadi berkah bagi semua orang, dikarenakan kehadiran rumah ibadah

    meniscayakan hadirnya manusia-manusia beriman yang berakhlak mulia.47

    Menurut Nella Sumika Putri, pada dasarnya pembatasan kebebasan

    beragama yang dilakukan oleh Pemerintah diperkenankan dan tidak melanggar

    HAM sepanjang berkaitan dengan forum externum (kebebasan memanifestasikan

    ajaran yang dipeluknya) dan dilaksanakan tanpa ada diskriminasi. Hal ini pun

    dengan catatan bahwa pembatasan hanya boleh didasarkan pada undang-undang.

    Akan tetapi, karena PBM no 8 dan 9 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah

    bukan merupakan produk undang-undang dan dalam pengimplementasiannya

    melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan, maka dapat dikatakan PBM tersebut

    merupakan produk yang inkonstitusional.48

    Maka dalam konteks tersebut, keberadaan regulasi yang secara

    komprehensif menjamin terlaksananya hak beragama dan berkeyakinan semakin

    47

    Dawam Rahardjo, Kebebasan Beragama Bukan Karunia Pemerintah (Jakarta: Veritas

    Dei vol 6 Juni 2012 Tahun III), 5. 48

    Nella Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama di Indonesia (External Freedom)

    dihubungkan Ijin Pembangunan Rumah Ibadah (Bandung: Jurnal Dinamika hukum Unpad, vol. 11

    no. 2 Mei2011), 237.

  • 46

    mendesak diejawantahkan. Regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum

    bagi setiap warga negara Indonesia dalam melaksanakan haknya atas kebebasan

    untuk beragama dan berkeyakinan di negara multi-SARA ini.

    Dengan hadirnya regulasi pendirian rumah ibadah yang adil, netral dan

    non-diskriminatif maka akan dapat mencegah regulasi sosial yang diciptakan oleh

    kelompok-kelompok diluar institusi negara. Karena pada realitasnya, regulasi

    sosial lebih membatasi kebebasan beragama dibanding regulasi yang dibuat

    negara, disebabkan negara seringkali tunduk pada tekanan sosial dari kelompok-

    kelompok yang mengatasnamakan mayoritas.

    D. Konsep Civil Society dalam Masyarakat Plural

    Secara analitis, konsep civil society bukanlah merupakan suatu konsep

    yang final dan „siap pakai‟, melainkan sebuah wacana yang harus dipahami

    sebagai sebuah proses yang terus berkembang dan berdialog dengan zamannya.

    Oleh karena itu diperlukan sebuah analisa historik dalam rangka memahami dan

    menemukan ciri atau konsep civil society yang relevan dengan setting sosial-

    kultural, politik dan ekonomi suatu bangsa. Dalam kajian ini, konsep civil society

    dipakai untuk menjelaskan sejauh mana suatu kelompok gerakan masyarakat

    dapat disebut sebagai bagian dari civil society.

    Di Indonesia, sebagai sebuah terminologi, civil society memiliki

    penerjemahan yang berbeda-beda. Diantara terjemahan tersebut adalah

    masyarakat sipil, masyarakat madani, masyarakat kewargaan, masyarakat warga

    dan civil society (tanpa diterjemahkan). Dalam studi ini, penulis menggunakan

  • 47

    istilah masyarakat sipil sebagai terjemahan dari civil society untuk

    menggambarkan sebuah konsep atau tatanan komunitas masyarakat yang

    mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban serta menghargai

    pluralisme sebagai sebuah keharusan dalam konteks keindonesiaan.

    Secara historis, wacana mengenai civil society (masyarakat sipil) bermula

    dan berkembang dalam tradisi pemikiran politik Barat dan telah melalui

    perjalanan sejarah sejak zaman Yunani kuno. Wacana masyarakat sipil merupakan

    konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat

    yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju

    kehidupan masyarakat industri kapitalis.49

    Gagasan masyarakat sipil telah ada dalam pembicaraan tentang filsafat

    sosial pada abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 di Eropa.50

    Bahkan menurut

    beberapa sarjana, wacana masyarakat sipil telah mengemuka sejak abad ke-4 SM

    dalam pemikiran Aristoteles (384-322 SM), yang dipahami dengan istilah

    koinonia politike (masyarakat politik). Istilah ini dikemukakan Aristoteles untuk

    menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di

    dalamnya bekedudukan sama didepan hukum (ethos).51

    Dalam konsep Aristoteles

    gagasan masyarakat sipil adalah sebuah ide tentang keadilan bagi semua warga

    negara untuk diperlakukan setara tanpa membedakan apapun.

    49

    M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan

    Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 133. 50

    Ibid. 51

    Ethos dalam masa itu dipahami sebagai seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya

    berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari

    berbagai bentuk interaksi diantarawarga negara. Jean L.Cohen dan Andrew Arato, Civil Society

    and Political Theory (Cambridge: MIT Press, 1992), 84-85.

  • 48

    Konsepsi Aristoteles ini kemudian diikuti oleh Marcus Tullius Cicero

    (106-43 SM) yang mula-mula menggunakan istilah dari bahasa latin societies

    civilies, yang secara harfiah diterjemahkan dengan civil society. Lahirnya istilah

    tersebut berkaitan dengan warga romawi yang hidup di kota yang telah memiliki

    hukum sipil (civil law) sebagai ciri masyarakat beradab berhadapan dengan warga

    diluar romawi yang dianggap belum beradab (barbarian). Dalam jangka waktu

    cukup lama, istilah tersebut menghilang dan baru muncul kembali pada

    pertengahan 1950-an hingga 1960-an.52

    Thomas Hobes, John Locke dan JJ. Rousseau adalah orang yang

    menghidupkan kembali istilah civil society (masyarakat sipil) di alam modern.

    Hobbes, Locke dan Rousseau memahami masyarakat sipil sebagai tahapan lebih

    lanjut dari natural society (masyarakat alami) dengan mentautkan asal-usul negara

    atau masyarakat politik sebagai hasil dari kontrak sosial. Terlepas dari perbedaan

    gagasan diantara mereka, ketiga tokoh ini hendak menggambarkan satu bentuk

    masyarakat beradab sebagaimana dicita-citakan Aristoteles dan Cicero. Baik

    dalam pandangan Hobes, Locke maupun Rousseau belum dikenal perbedaan

    antara masyarakat sipil, masyarakat politik dan negara.53

    Dengan kata lain,

    mereka meyakini masyarakat sipil sebagai kebalikan dari masyarakat alami dan

    ketiganya masih mengidentikkan negara, masyarakat politik dan masyarakat sipil

    sebagai entitas yang sama, yang membedakan dengan masyarakat alami.

    Arief Budiman memiliki pandangan senada terkait sejarah lahirnya

    gagasan masyarakat sipil. Menurutnya, kehadiran konsep masyarakat sipil di

    52

    Rahardjo, Masyarakat Madani...137. 53

    Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, Wahana dan Aksi Ornop di Indonesia

    (Jakarta:LP3ES, 2006), 44.

  • 49

    Eropa tidak dapat dilepaskan dari munculnya konsep natural society (masyarakat

    alami). Ini adalah sebuah konsep tentang masyarakat dimana mereka hidup secara

    alamiah dan belum mengenal hukum kecuali hukum alam (hukum rimba). Untuk

    mengatasi hal yang memungkinkan adanya pertentangan antar kelompok atau

    antar individu, rakyat kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada suatu badan

    yang disebut sebagai negara. Badan ini kemudian berkembang dan mempunyai

    kekuasaan yang sangat besar yang mampu mengontrol semua kehidupan

    masyarakat. Kekuatan dan hukum alam kemudian digantikan dengan kekuatan

    dan hukum politik yang dikenal sebagai political society (masyarakat politik).54

    Perbedaan antara masyarakat sipil dan negara baru muncul pada

    pandangan G. W. F Hegel yang kemudian diikuti Karl Marx dan Antonio Gramsci

    yang me-vis-a-vis-kan masyarakat sipil dengan negara, dan tidak lagi

    menyamakan masyarakat sipil dengan pemerintahan sipil (negara). Ketiga tokoh

    ini menekankan konsep masyarakat sipil sebagai elemen ideologi kelas dominan

    (borjuis) yang melawan tindakan sewenang-wenang negara.55

    Dengan demikian,

    Hegel dan pengikutnya telah mengembangkan konsep masyarakat sipil dengan

    menambahkan domain masyarakat ekonomi yang menyatu dengan masyarakat

    sipil dan memisahkan domain masyarakat politik yang identik dengan negara.

    Pada periode berikutnya, konsep tentang masyarakat sipil dikembangkan

    oleh Alexis de‟ Tocqueville, sebagai reaksi atas pemikiran Hegel. Meski ia sendiri

    merupakan orang berkebangsaan Perancis, namun ia telah memberikan gambaran

    cukup komperhensif mengenai konsep masyarakat sipil dalam konteks demokrasi

    54

    Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia (Clayton: Center of Southheast Asian

    Studies Monash University, 1990), 3-4. 55

    Ibid, 48-50.

  • 50

    Amerika Serikat. Pada awal pembentukannya, demokrasi di sana dijalankan

    melalui masyarakat sipil berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat yang

    concern membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi

    negara. Dalam konteks ini, teori masyarakat sipil dikembangkan sebagai

    komunitas penyeimbang kekuatan bagi negara agar tidak bertindak sewenang-

    wenang.

    Tocqueville berpandangan bahwa kekuatan politik dan masyarakat sipil

    telah menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Masyarakat sipil

    dalam konteks ini digambarkannya sebagai masyarakat yang menjunjung

    pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik. Dengan prasyarat tersebut

    Tocqueville mengasumsikan warga negara akan mampu mengimbangi dan

    mengontrol kekuatan negara.56

    Disini, Tocqueville masih mengidentikkan domain

    masyarakat politik dengan negara, meski di sisi lain ia juga telah mengembangkan

    gagasan Gramsci dengan memisahkan atau mendikotomikan hubungan

    masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi.57

    Berbeda dengan para pendahulunya yang memposisikan masyarakat sipil

    sebagai kelompok subordinatif negara. Paradigma yang diusung Tocqueville ini

    lebih menekankan pada masyarakat sipil yang tidak apriori subordinatif terhadap

    negara. Konsep masyarakat sipil dalam pengertian ini merupakan suatu entitas

    yang keberadaanya mampu melampaui batas-batas kelas dan dapat menjadi

    kekuatan penyeimbang (balancing force) terhadap kecenderungan intervensionis

    negara. Pada saat yang sama, masyarakat sipil mampu melahirkan kekuatan kritis

    56

    Alexis de Tocqueville, Democracy in America (New York: Alferd A Knopf, 1994). 57

    Culla, Rekonstruksi Civil... 48

  • 51

    reflektif (reflective force) yang dapat mencegah atau mengurangi derajat konflik

    dalam masyarakat. Timbulnya konflik dalam masyarakat oleh Tocqueville disebut

    sebagai akibat dari proses formasi sosial modern yang mendorong terjadinya

    formalisme dan kekuatan birokratis.58

    Bagi Tocqueville, masyarakat sipil bertanggung jawab mengontrol negara

    yang cenderung despotik. Karena itu, masyarakat sipil harus mencari dan

    menemukan perangkat yang dapat digunakan untuk membatasi kekuasaan negara,

    misalnya dengan pembagian kekuasaan atau pemilihan umum secara periodik.

    Kontrol kekuasaan tetap dipegang oleh masyarakat sipil. Interaksi asosiasi-

    asosiasi bebas dan mandiri yang mampu mengimbangi kekuasaan negara, oleh

    Tocqueville disebut sebagai independent eye of civil society.59

    Penjelasan tentang teori masyarakat sipil dalam paradigma Tocquevellian

    di atas menuju pada satu definisi bahwa masyarakat sipil merupakan suatu

    komunitas atau kelompok masyarakat yang memposisikan diri sebagai

    penyeimbang kekuatan (balancing force) agar kekuatan besar yang dimiliki oleh

    negara tidak menghegemoni dan memasung kebebasan masyarakat yang sejatinya

    adalah pemilik negara. Karakteristik yang dapat disarikan dari konsep Tocqueville

    dalam konteks Amerika Serikat adalah, 1) menjunjung pluralitas; 2) bersifat

    otonom (mandiri); 3) egaliter; 4) memiliki kapasitas politik; 5) bersikap kritis dan

    reflektif terhadap segala kebijakan negara.

    Konsep tentang masyarakat sipil kontemporer dengan kerangka

    pemahaman lebih luas, dikemukakan oleh Jean Louis Cohen dan Andrew Arato.

    58

    M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1997), 84-85.. 59

    Neera Chandoke, The State and Civil Society: Exploration in Political Theory (New

    Delhi: Sage Publications, 1995), 161.

  • 52

    Kedua ilmuwan ini mengembangkan konsep masyarakat sipil dengan

    menyebutkan:

    ...a sphere of social interaction between economy and state, compose

    above all of the intimate sphere (especially the family), the sphere of

    associations (especially voluntary associations), social movements, and

    forms of public communications60

    Dalam pengertian ini masyarakat sipil merupakan suatu ruang interaksi

    sosial antara ekonomi dan negara. Pemahaman terhadap ruang disini adalah suatu

    ruang asosiasi bersifat sukarela yang terwujud dalam gerakan-gerakan sosial dan

    bentuk-bentuk komunikasi publik. Selanjutnya ia menciptakan bentuk-bentuk

    konstitusi-diri dan memobilisasi diri serta diinstitusionalisasi dan digeneralisasi

    melalui hukum dan hak-hak subjektif.

    Menurut Cohen dan Arato masyarakat sipil adalah wilayah sosial di luar

    lembaga resmi yang tidak hanya mengontrol proses ekonomi, namun juga

    mengkritik dan mengontrol negara, sekaligus mengkritik dan memisahkan

    masyarakat politik sebagai domain yang tunggal. Dengan demikian masyarakat

    sipil mengacu pada kehidupan individu dalam organisasi yang bekerjasama

    membangun ikatan sosial, menggalang solidaritas kemanusiaan di atas prinsip-

    prinsip egaliterianisme dan inklusivisme universal.

    Bagi Cohen dan Arato masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan

    juga penghasil ruang publik politis. Ruang publik politis yang dihasilkan aktor-

    aktor masyarakat sipil dicirikan oleh pluralitas (kelompok non formal dan

    kelompok sukarela), publisitas (media massa dan institusi budaya), privasi (moral

    60

    Cohen, Civil Society...ix.

  • 53

    dan pengembangan diri) serta legalitas (struktur hukum dan hak-hak dasar).

    Sedangkan karakter dari masyarakat sipil minimal harus memiliki empat prasyarat

    yang harus dipenuhi yaitu otonom (autonomy); wilayah publik yang bebas (free

    public sphere); wacana publik (public discource); dan interaksi berdasarkan

    prinsip-prinsip kewarganegaraan (citizenship).61

    Melalui penelusuran historik di atas, terlihat bahwa konsep masyarakat

    sipil sangat beragam, tidak hanya dalam terminologi tapi tentunya dalam gagasan

    yang berkelindan disetiap terminologi yang muncul dan berkembang seiring

    perkembangan sejarahnya. Dari masa Aristoteles yang memaknai masyarakat sipil

    sebagai satu entitas dengan negara, hingga era Cohen dan Arato yang memandang

    masyarakat sipil sebagai entitas yang berbeda dengan domain negara, masyarakat

    politik dan masyarakat ekonomi. Penulis akan menghadapi masalah ketika harus

    mengadopsi dan menerapkan konsep teori-teori Barat tanpa memperhatikan

    konteks sejarah serta pengalaman negeri non-Barat yang berbeda.

    Dalam pengelompokan pandangan masyarakat sipil, tampak bahwa

    masyarakat sipil menjadi prasyarat utama yang diperlukan dalam sebuah proses

    demokratisasi, dimana prinsip egalitarianisme dan supremasi hukum dijunjung

    tinggi. Ini semakin diperjelas oleh Tocqueville yang mengambil pengalaman

    demokrasi Amerika, bahwa tujuan masyarakat sipil adalah sebagai wadah

    asosiasi untuk berpartisipasi dalam mengawal, menjaga, dan mengawasi

    pemerintah dengan segala kebijakannya agar tidak hegemonik dan otoriter.

    Dengan harapan, pemerintah akan menjalankan fungsinya untuk menjamin hak

    61

    Ibid, 46-61

  • 54

    milik, kehidupan, pluralitas dan kebebasan para anggotanya serta tidak

    mendominasi masyarakat.

    Dalam kajian ini penulis mengidentifikasi beberapa karakteristik

    masyarakat sipil yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Indonesia untuk

    menjadi pijakan dalam merumuskan sebuah konsep masyarakat sipil yang lebih

    spesifik, aktual dan kontekstual dengan keindonesiaan saat ini. Identifikasi ini

    bermanfaat untuk menganalisa sejauh mana sebuah asosiasi, organisasi,

    komunitas ataupun kelompok masyarakat bisa disebut sebagai bagian dari

    masyarakat sipil yang dapat mendorong laju demokrasi di negeri berbhineka ini.

    AS Hikam dengan memegang konsep Tocqueville, mendiskripsikan

    konsep masyarakat sipil Indonesia sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang

    terorganisasi dan bercirikan antara lain 1) kesukarelaan (voluntary); 2)

    keswasembadaan (self-generating); 3) keswadayaan (self-supporting); 4)

    kemandirian tinggi berhadapan dengan negara; dan 5) keterkaitan dengan norma-

    norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Apabila esensi dari

    masyarakat sipil adalah ketundukan pada norma hukum, maka dalam konteks

    negara hukum pancasila, masyarakat sipil adalah masyarakat yang mengacu pada

    identitas, nilai-nilai serta karakteristik dalam Pancasila. Ketiga norma tersebut

    terkandung dalam lima sila pancasila dan nilai-nilai komunal seperti gotong-

    royong, kekeluargaan, toleransi dan ketuhanan.

    Hikam menjelaskan bahwa pada konteks ruang politik, masyarakat sipil

    adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan

    refleksi mandiri dan tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material maupun

  • 55

    terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalam masyarakat

    sipil tersirat pentingnya ruang publik yang bebas (free public sphere) tempat

    dimana komunikasi yang bebas dapat dilakukan oleh warga masyarakat.62

    Menurut Bahtiar Effendy, sebagai sebuah konsep masyarakat sipil

    memang memiliki banyak pandangan. Namun ada satu kesamaan garis besar

    bagaimana konsep tersebut dipahami, yakni istilah “civilitas” yang merupakan inti

    dari konsep tersebut. Terdapat tiga ciri pokok dari masyarakat sipil menurutnya

    yakni toleran terhadap perbedaan cara pandang, pembatasan kekuasaan negara

    dan kebebasan berekspresi dalam menentukan pilihan jalan hidup.63

    Dede Rosyada berpandangan bahwa dalam merealisir wacana masyarakat

    sipil diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat

    dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi

    dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat sipil. Dalam konteks ini Dede

    mengidentifikasi syarat masyarakat sipil Indonesia dalam lima hal: 1) ruang

    publik yang bebas, 2) demokratis, 3) toleran, 4) pluralisme, 5) keadilan sosial.64

    Merujuk pada definisi serta ciri-ciri yang dikemukakan oleh beberapa

    sarjana di atas, penulis mengidentifikasi karakeristik masyarakat sipil di negara

    hukum pancasila sebagai berikut:

    1. Sukarela, Swasembada dan Swadaya

    Adanya suatu komunitas bersifat sukarela (tanpa paksaan) yang menjamin

    berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung

    62

    Hikam, Demokrasi dan...3 63

    Bahtiar Effendy, Masa Depan Civil Society di Indonesia dalam “Masyarakat Agama dan

    Pluralisme Keagamaan” (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 162 64

    Dede Rosyada...247-250

  • 56

    oleh kondisi kehidupan material (swasembada) dan tidak menjadi

    subordinasi negara dengan terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan

    politik resmi (swadaya).

    2. Otonom

    Sebuah komunitas gerakan masyarakat sipil harus mampu mengambil

    sikap yang mandiri, independen serta bebas intrvensi negara, ataupun

    pihak lain seperti masyarakat ekonomi maupun masyarakat politik.

    3. Ruang dan wacana publik yang bebas

    Individu-individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan

    transaksi wacana pada ruang publik yang bebas tanpa mengalami distorsi

    dan kekhawatiran. Masyarakat berhak melakukan kegiatan secara merdeka

    dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta

    mempublikasikan informasi kepada publik.

    4. Demokratis

    Sebuah asosiasi masyarakat sipil secara ekspisit harus mensyaratkan

    tumbuhnya demokrasi dan memberikan kesadaran bahwa warga negara

    adalah pemilik negara

    5. Egaliter

    Dalam interaksinya masyarakat sipil dapat berlaku santun dengan

    sekitarnya tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan.

  • 57

    6. Toleran

    Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat sipil

    untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas

    yang dilakukan orang lain.

    7. Pluralisme

    Komunitas masyarakat sipil harus berlandaskan pada penghargaan

    terhadap kemajemukan bangsa. Pluralisme tidak hanya dipahami dengan

    sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk,

    tetapi disertai dengan menyadari dan bersikap tulus menerima kenyataan

    pluralisme bernilai positif dan merupakan rahmat Yang Kuasa.

    8. Keadilan sosial

    Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian

    yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang

    mencakup seluruh aspek kehidupan.

    9. Pembatasan kekuasaan negara

    Tugas masyarakat sipil adalah mengontrol Negara dengan membatasi

    kekuasaan negara. Masyarakat dapat melakukan partisipasi dan

    mengkritisi kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan

    berinteraksi, dengan semangat toleransi.

    10. Terikat dengan norma hukum

    Hubungan baik antara masyarakat sipil dengan negara, tidak berarti bahwa

    masyarakat sipil dapat merebut kekuasaan atas negara atau mendapatkan

    posisi dalam negara.

  • 58

    Apabila gerakan kemasyarakatan adalah pertanda kehadiran masyarakat

    sipil, maka kararakeristik masyarakat sipil Indonesia dalam studi ini akan menjadi

    indikator dan alat analisa, apakah sebuah asosiasi, organisasi, komunitas atau

    suatu kelompok gerakan masyarakat dapat dikatakan sebagai bagian dari

    masyarakat sipil, atau justru sebaliknya akan berwujud kelompok gerakan yang

    menghegemoni negara dan kelompok yang lain (uncivil society).