bab ii kesehatan mental dan bimbingan konseling...

62
BAB II KESEHATAN MENTAL DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2.1. Kesehatan Mental 2.1.1. Pengertian Kesehatan Mental 2.1.1.1. Secara etimologi Secara etimologi, kesehatan mental yang biasanya disebut mental hygiene, berasal dari dua kata yaitu mental dan hygeia. Hygeia adalah nama dewi kesehatan Yunani. Dan hygiene berarti “ilmu kesehatan”. Sedangkan mental (dari kata latin mens, mentis) artinya: jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Mental hygiene dalam hal ini sering disebut pula sebagai psiko hygiene. Psyche (dari kata yunani psuche) artinya: nafas, asas kehidupan, hidup, jiwa, roh, sukma, semangat (Kartono dan Jenny Andrea, 1989: 3). Jadi pengertian kesehatan mental secara etimologi adalah jiwa yang sehat atau ilmu yang mempelajari tentang kesehatan jiwa. 2.1.1.2. Secara terminologi Adapun pengertian kesehatan mental secara terminologi, beberapa pakar memberikan definisi yang berbeda-beda. Berikut ini adalah rumusan-rumusan pengertian kesehatan mental menurut pakar-pakar tersebut :

Upload: trinhque

Post on 02-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KESEHATAN MENTAL DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

2.1. Kesehatan Mental

2.1.1. Pengertian Kesehatan Mental

2.1.1.1. Secara etimologi

Secara etimologi, kesehatan mental yang biasanya disebut

mental hygiene, berasal dari dua kata yaitu mental dan

hygeia. Hygeia adalah nama dewi kesehatan Yunani. Dan

hygiene berarti “ilmu kesehatan”. Sedangkan mental (dari

kata latin mens, mentis) artinya: jiwa, nyawa, sukma, roh,

semangat. Mental hygiene dalam hal ini sering disebut pula

sebagai psiko hygiene. Psyche (dari kata yunani psuche)

artinya: nafas, asas kehidupan, hidup, jiwa, roh, sukma,

semangat (Kartono dan Jenny Andrea, 1989: 3). Jadi

pengertian kesehatan mental secara etimologi adalah jiwa

yang sehat atau ilmu yang mempelajari tentang kesehatan

jiwa.

2.1.1.2. Secara terminologi

Adapun pengertian kesehatan mental secara terminologi,

beberapa pakar memberikan definisi yang berbeda-beda.

Berikut ini adalah rumusan-rumusan pengertian kesehatan

mental menurut pakar-pakar tersebut :

29

a) Kartini Kartono

“Hygiene mental adalah ilmu kesehatan jiwa yang mempermasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psiko-fisik yang kompleks” (Kartono, 1989: 3-4).

b) Abdul Aziz El-Quussy

“Kesehatan mental adalah keserasian yang sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang bermacam-macam, disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan, yang biasa terjadi pada orang, disamping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan” (El-Quussy, 1974: 38).

c) M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky

“Mental yang sehat adalah integrasinya jiwa muthmainnah (jiwa yang tenteram), jiwa radhiyyah (jiwa yang meridloi), dan jiwa mardhiyyah (jiwa yang diridloi)” (Adz-Dzaky, 2002: 457).

d) Zakiah Daradjat

“Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat” (Daradjat, 1984: 4).

Dari beberapa definisi di atas, secara umum dapat

disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah integrasi atau

keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan yang disertai

perasaan tentram dan mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, sehingga mampu menghadapi goncangan-

goncangan kejiwaan dengan berlandaskan keimanan dan

30

ketakwaan untuk mencapai hidup yang bermakna dan

bahagia di dunia dan akhirat.

Dalam penelitian ini, ke-empat pakar tersebut merupakan

representasi dari pakar-pakar yang lain dalam memberikan

rumusan pengertian kesehatan mental. Karena secara implisit

maupun eksplisit, ke-empat pakar tersebut memasukkan

unsur agama dalam definisi kesehatan mental.

2.1.1.3. Konsep kesehatan mental dalam konseling

Para pakar dalam bidang kesehatan mental, telah

menggunakan istilah “wellness” untuk menggambarkan

suatu keadaan “sehat” secara lebih komprehensif. Istilah ini

mempunyai makna yang lebih luas yang mencakup mental

health dan mental hygiene, dan dikembangkan secara holistik

untuk mendeskripsikan konsep keutuhan internal dan

eksternal dari kepribadian yang sehat. Para ahli dalam bidang

konseling telah sepakat bahwa “wellness” merupakan tujuan

umum konseling (Surya, 2003: 181).

Dalam pengertian “wellness”, kondisinya tidak hanya

sehat jasmani atau mental, akan tetapi kepribadian secara

keseluruhan sebagai suatu refleksi dari kesatuan unsur

jasmani dan rohani, serta interaksinya dengan dunia luar.

Dengan demikian, “wellness” merupakan konsep “sehat”

yang bersifat multidimensional.

31

Kondisi “wellness” diwujudkan melalui lima tugas hidup,

yaitu:

a. Spiritualitas

Spiritualitas merupakan tugas hidup yang paling utama

dalam kebulatan “wellness”. Tugas hidup dalam dimensi

spiritualitas merupakan naluri keagamaan dari setiap

manusia dari sejak dahulu kala hingga masa kini dalam

berbagai peradaban, budaya dan bangsa. Naluri

keagamaan tercermin dalam nilai-nilai suci dan esensial

bagi kode-kode etika, moral dan hukum yang digunakan

untuk memelihara dan melindungi kesucian hidup.

Dimensi ini mengandung ke-Mahaesaan Tuhan,

kedamaian hidup, makna dan tujuan hidup, optimisme

atau harapan di masa depan serta nilai-nilai yang

dijadikan pedoman untuk melangkah dan membuat

keputusan.

b. Regulasi diri

Regulasi diri yaitu tugas-tugas untuk mengatur diri

sendiri agar mampu hidup secara baik dan sehat. Tugas

regulasi diri mencakup karakteristik tugas-tugas sebagai

berikut :

1. Mewujudkan dan mempertahankan harga diri

2. Pengendalian diri

32

3. Keyakinan yang realistis

4. Spontanitas dan respon emosional secara cepat

5. Stimulasi intelektual, pemecahan masalah dan

kreativitas.

6. Rasa humor

7. Kesegaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat

c. Pekerjaan

Untuk mewujudkan kondisi hidup yang sehat, pekerjaan

tidak hanya bermakna ekonomis, akan tetapi juga

bermakna sosial, psikologis dan spiritual. Secara

ekonomis, pekerjaan sebagai upaya untuk memenuhi

kebutuhan ekonomis melalui penghasilan yang

diperolehnya. Secara sosial, pekerjaan dapat menunjang

berkembangnya interaksi dan kehidupan sosial. Secara

psikologis, pekerjaan merupakan jalan dalam proses

perkembangan dan dapat memenuhi kebutuhan-

kebutuhan psikologis. Secara spiritual, pekerjaan

merupakan salah satu pelaksanaan ajaran agama.

d. Persahabatan

Persahabatan yaitu hubungan sosial antar individu dalam

masyarakat yang berdasarkan komitmen, keakraban dan

saling pengertian. Dengan persahabatan, individu akan

memperoleh dukungan sosial, yang meliputi dukungan

33

yang bersifat emosional, dukungan benda nyata, dan

informasional.

e. Cinta

Kesehatan kita diasuh dalam hubungan pernikahan atau

hubungan emosional yang intim melalui kepercayaan,

pemeliharaan dan kerja sama. Berbeda dengan

persahabatan, dalam cinta hubungan antar individu

memiliki derajat keintiman yang lebih mendalam dan

bersifat emosional serta seksual. Cinta diwujudkan

melalui lembaga keluarga (Surya, 2003: 183-184).

2.1.1.4. Pengertian mental yang sakit (penyakit mental)

Penyakit mental merupakan istilah umum bagi sebarang

reaksi psikotis yang serius, baik yang bersifat psikogenis

maupun organis sifatnya. Pada waktu sekarang orang lebih

suka menggunakan istilah “gangguan mental” atau “mental

disorder” untuk penyakit mental, disebabkan oleh implikasi

somatis atau organisnya dalam penggunaan istilah “penyakit”

(Kartono, 1989: 80).

Menurut Frederick H. Kanfer dan Arnold P. Goldstein,

gangguan kepribadian atau jiwa adalah kesulitan yang

dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang

lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan

34

sikapnya terhadap dirinya sendiri (Ancok dan Fuad Nashori,

1994: 91).

2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental

Ada dua faktor yang mempengaruhi kesehatan mental, yaitu faktor

intern dan ekstern.

2.1.2.1. Faktor intern

Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri

seseorang, seperti keimanan, ketakwaan, sikap menghadapi

problema hidup, keseimbangan dalam berfikir, kondisi

kejiwaan seseorang dan sebagainya.

Seseorang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang

tinggi, dalam hal ini akan dapat memperoleh ketenangan dan

ketentraman batin dalam hidupnya. Apabila ia menghadapi

suatu problematika hidup, ia menghadapinya dengan sabar

dan tidak mudah putus asa karena sebenarnya dalam diri

manusia yang beriman, tidak terjadi putus asa atau “reaksi-

reaksi kompensasi” dan “mekanisme pertahanan diri” yang

sifatnya merugikan. (Daradjat, 1982: 40-41).

Sikap seseorang dalam menghadapi problematika hidup,

juga berpengaruh terhadap kesehatan mental. Menurut para

ahli ilmu jiwa, sikap dan cara orang menghadapi kesukaran

itu berbeda-beda antara satu dengan yang lain, sesuai dengan

kepribadian dan kepercayaan terhadap lingkungannya. Jika

35

masalah ini ditinjau dari segi agama, maka akan kita dapati

perbedaan antara orang yang beragama dan orang yang tidak

beragama. Bagi orang yang beragama, kesukaran atau bahaya

sebesar apapun yang harus dihadapinya, dia akan waras dan

sabar, karena dia merasa bahwa kesukaran dalam hidup itu

merupakan bagian dari cobaan Allah terhadap hamba-Nya

yang beriman. Dia tidak memandang setiap kesukaran dan

ancaman terhadap dirinya dengan cara yang negatif, tetapi

sebaliknya melihat bahwa di celah-celah kesukaran itu

terdapat harapan-harapan. Dia tidak akan menyalahkan orang

lain atau mencari sebab-sebab negatif pada orang lain

(Daradjat, 1994: 60).

Jadi menurut hemat penulis, penghayatan dan

pengamalan agama merupakan faktor penting yang dapat

mempengaruhi kesehatan mental. Karena dengan menghayati

dan mengamalkan agama dengan sungguh-sungguh, maka

keimanan dan ketakwaan akan diraih.

Dengan beriman dan bertakwa, manusia mampu bersikap

tenang dan sabar dalam menghadapi problema hidup dan

mampu berfikir secara seimbang serta kondisi kejiwaannya

penuh dengan ketentraman dan kedamaian karena selalu

mengingat Allah. Maka dari itu, orang yang menyikapi

penderitaan yang dialaminya dengan sabar dan menyadari

36

bahwa di balik penderitaan terdapat hikmah, dapat

digolongkan sebagai orang yang sehat mentalnya.

Sebaliknya, orang yang menyikapi penderitaannya dengan

keluhan dan kekecewaan merupakan orang yang mengalami

gangguan mental.

Dalam sebuah ayat Allah SWT. berfirman :

ين أمنوا وتطمئن قلويهم بذآراهللا اال بذآراهللا تطمئن الذ

)28: الرعد ( .القلوب

Artinya : “(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’du : 28) (Tim Disbintalad, 1999: 470).

Menurut Ustman Najati, mengingat Allah yang dimaksud

dalam ayat tersebut adalah ingat kepada Allah yang dapat

menimbulkan perasaan tenteram dan tenang. Di dalam

jiwanya tidak ada perasaan bersalah. Ini merupakan terapi

bagi kegelisahan yang dirasakan manusia ketika ia merasa

lemah dan tidak punya penyangga serta penolong dalam

menghadapi berbagai tekanan dan masalah kehidupan

(Najati, 1981: 326).

2.1.2.2. Faktor ekstern

Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar diri

seseorang, seperti keadaan ekonomi, kondisi lingkungan, baik

37

lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan

pendidikan dan sebagainya.

Sebenarnya faktor intern itu lebih dominan pengaruhnya

dibandingkan dengan faktor ekstern. Hal ini sesuai dengan

pendapat Daradjat (1982: 15), bahwa sesungguhnya

ketenangan hidup, ketenangan jiwa atau kebahagiaan batin

itu tergantung dari faktor ekonomi, adat kebiasaan dan

sebagainya. Akan tetapi lebih tergantung pada cara dan sikap

menghadapi faktor-faktor tersebut.

2.1.3. Tanda-Tanda Kesehatan Mental

Untuk mengetahui sehat dan tidaknya mental seseorang, pada

tahun 1959, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1959) merumuskan

kriteria jiwa atau mental yang sehat, adalah sebagai berikut :

a. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan,

meskipun kenyataan itu buruk baginya.

b. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.

c. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.

d. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.

e. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan

saling memuaskan.

f. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk

dikemudian hari.

38

g. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif

dan konstruktif.

h. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar (Hawari, 1997: 12).

Kriteria jiwa yang sehat versi WHO tersebut, belum memasukkan

elemen agama. Oleh karena itu, pada tahun 1984, WHO

menyempurnakan batasan sehat dengan menambah satu elemen

spiritual (agama), sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat

adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikologis dan sosial, tetapi

juga sehat dalam arti spiritual atau agama (empat dimensi sehat: bio-

psiko-sosio-spiritual) (Hawari, 1997: 12).

Sedangkan menurut Muhammad Mahmud Mahmud, sebagaimana

yang dikutip oleh Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001: 136-144), tanda-

tanda kesehatan mental yaitu :

Kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-tuma’ninah), dan rileks (al-

rahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban

terhadap dirinya, masyarakat maupun Tuhan.

Memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal

potensi, ketrampilan, dan kedudukannya secara baik, maka ia dapat

bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda dari

kesehatan mentalnya.

c. Menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang

yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan

sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi,

39

maupun kemampuannya, karena keadaan itu merupakan anugerah

dari Allah SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. Tanda

kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk

menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia

mampu bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Firman

Allah SWT.:

وال تتمنوا ما فضل اهللا به بعضكم على بعض للرجال نصيب

سئلوا اهللا من فضله ان ا ممااآتسبوا وللنساء نصيب مما اآتسبن و

)32: ا لنساء ( .اهللا آان بكل شئ عليما

Artinya : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah lebihkan sebagian kamu daripada yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan-perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. An-Nisa’ : 32) (Tim Disbintalad, 1999: 150).

d. Adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. Artinya,

kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk

memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan

dilakukan. Perbuatan yang hina dapat menyebabkan psikopatologi,

sedang perbuatan yang baik menyebabkan pemeliharaan kesehatan

mental. Firman Allah SWT. :

فان الجنة هي . واما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى

) 41-40: النازعات ( المأوى

40

Artinya : “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (Q.S. An-Nazi’at : 40-41) (Tim Disbintalad, 1999: 1212 ).

e. Kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggung jawab

keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan

kematangan diri seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda

kesehatan mental. Firman Allah SWT.:

ولو شاء اهللا لجعلكم أمة واحدة ولكن يضل من يشاء ويهدى من

)93: ا لنحل ( .يشاء ولتسئلن عما آنتم تعملون

Artinya : “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. An-Nahl : 93) (Tim Disbintalad, 1999: 519).

f. Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan

yang diperbuat. Berkurban berarti kepedulian diri seseorang untuk

kepentingan bersama dengan cara memberikan sebagian kekayaan

dan atau kemampuannya. Sedang menebus kesalahan artinya

kesadaran diri akan kesalahan yang diperbuat, sehingga ia berani

menanggung segala resiko akibat kesalahannya, kemudian ia

senantiasa berusaha memperbaikinya agar tidak melakukan

kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

g. Kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik

dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi. Hal itu dianggap

41

sebagai tanda kesehatan mental, sebab masing-masing pihak

merasa hidup tidak sendiri, mereka akan saling membantu.

Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling percaya dengan

mengesampingkan sikap saling curiga, buruk sangka, iri hati,

cemburu, dan adu domba. Firman Allah SWT. :

صلحوا بين اخويكم واتقوا اهللا لعلكم المؤمنون اخوة فأ انما

)10: ا لحجرات ( .ترحمون

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat : 10) (Tim Disbintalad, 1999: 1034).

h. Memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara

baik. Keinginan yang tidak masuk akal akan membawa seseorang

ke jurang angan-angan, lamunan, kegilaan, dan kegagalan.

Keinginan yang terealisir dapat memperkuat kesehatan mental,

sebaliknya keinginan yang terkatung-katung akan menambah

beban batin dan kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan

yang dapat mencapai keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan

akhirat.

i. Adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al-surur) dan

kebahagiaan (al-sa’adah) dalam menyikapi atau menerima nikmat

yang diperoleh. Kepuasan dan kebahagiaan dikatakan sebagai

tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa sukses, telah

terbebas dari segala beban, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya.

42

Sikap penerimaan nikmat yang mendatangkan kepuasan atau

kebahagiaan tidak selalu dipandang dari sisi kuantitatif, melainkan

dari kualitas dan berkahnya.

Sedangkan tanda-tanda mental yang sakit, dikemukakan oleh

Kartini Kartono yaitu dengan adanya fenomena ketakutan, pahit hati,

hambar hati, apatis, cemburu, iri hati, dengki, kemarahan-kemarahan

yang eksplosif, ketegangan batin yang kronis, dan lain-lain. Dengan

demikian, sakit mental itu merupakan bentuk gangguan pada

ketenangan batin dan ketentraman hati (Kartono, 1989: 5).

Sedangkan menurut Islam, indikasi orang yang tidak sehat

mentalnya antara lain adalah pemarah, pendendam, pendengki (hasad),

takabbur (sombong, angkuh), suka pamer (riya’), membanggakan diri

sendiri (‘ujub), berburuk sangka (su’udzan), was-was, pendusta

(kadzib), rakus dan serakah, berputus asa, pelupa (lalai), pemalas, kikir

(bathil), dan hilangnya perasaan malu (Adz-Dzaky, 2002: 335-379).

2.1.4. Prinsip-Prinsip Kesehatan Mental

Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan mental ialah fundamen

(dasar-dasar) yang harus ditegakkan manusia guna mendapatkan

kesehatan mental dan terhindar dari gangguan kejiwaan. Di antara

prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

a. Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri

Memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri (self

image) merupakan dasar dan syarat utama untuk mendapatkan

43

kesehatan mental. Orang yang memiliki “self image” memiliki

kemampuan menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, orang lain,

alam dan lingkungan dan Tuhan.

b. Keterpaduan atau integrasi diri

Keterpaduan diri berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-

kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam

hidup, dan kesanggupan mengatasi stres (ketegangan emosi).

Orang yang memiliki keseimbangan diri berarti orang yang

seimbang kekuatan id, ego, dan super egonya. Orang yang

memiliki kesatuan pandangan hidup adalah orang yang

memperoleh makna dan tujuan dari kehidupannya.

c. Perwujudan diri

Perwujudan (aktualisasi) diri sebagai proses kematangan diri dapat

berarti sebagai kemampuan mempergunakan potensi jiwa dan

memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri serta

peningkatan motivasi dan semangat hidup.

d. Berkemampuan menerima orang lain, melakukan aktivitas sosial

dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal

Kemampuan menerima orang lain berarti kesediaan menerima

kehadiran, mencintai, menghargai menjalin persahabatan dan

memperlakukan orang lain dengan baik. Melakukan aktivitas sosial

berarti bersedia bekerja sama dengan masyarakat dalam melakukan

pekerjaan sosial yang menggugah hati dan tidak menyendiri dari

44

masyarakat. Menyesuaikan diri dengan lingkungan berarti usaha

untuk mendapatkan rasa aman, damai dan bahagia dalam hidup

bermasyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

e. Berminat dalam tugas dan pekerjaan

Setiap manusia harus berminat dalam tugas dan pekerjaan yang

ditekuninya. Tanpa adanya minat, manusia sulit mendapatkan rasa

gembira dan bahagia dalam tugas dan pekerjaannya.

f. Agama, cita-cita dan falsafah hidup

Untuk pembinaan dan pengembangan kesehatan mental, manusia

membutuhkan agama, seperangkat cita-cita yang konsisten, dan

pandangan hidup yang kukuh. Dengan agama, manusia dapat

terbantu dalam mengatasi persoalan hidup yang berada di luar

kesanggupan dirinya sebagai manusia yang lemah. Dengan cita-

cita, manusia dapat bersemangat dan bergairah dalam perjuangan

hidup yang berorientasi ke masa depan, membentuk kehidupan

secara tertib, dan mengadakan perwujudan diri dengan baik.

Dengan falsafah hidup, manusia dapat menghadapi tantangan yang

dihadapinya dengan mudah.

g. Pengawasan diri

Manusia yang memiliki pengawasan diri akan terhindar dari

kemungkinan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, baik

hukum agama, adat maupun aturan moral dalam hidupnya. Karena

45

dengan pengawasan diri tersebut, manusia mampu membimbing

tingkah lakunya.

h. Rasa benar dan tanggung jawab

Rasa benar dan rasa tanggung jawab, penting bagi tingkah laku

karena setiap individu ingin bebas dari rasa dosa, salah dan

kecewa. Sebaliknya rasa benar, tanggung jawab dan sukses adalah

keinginan setiap manusia yang sehat mentalnya. Rasa benar yang

ada dalam diri selalu mengajak manusia kepada kebaikan,

tanggung jawab dan kesuksesan, serta membebaskannya dari rasa

dosa, salah dan kecewa (Jaelani, 2001: 83-86).

2.1.5. Metode Perolehan dan Pemeliharaan Kesehatan Mental

Orang yang tidak merasa tenang, aman serta tenteram dalam

hatinya adalah orang yang sakit rohani atau mentalnya. Para ahli

psikiatri dalam hal ini mengakui bahwa setiap manusia mempunyai

kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu berupa kebutuhan jasmani, rohani

maupun kebutuhan sosial yang diperlukan untuk melangsungkan

proses kehidupan secara lancar. Apabila kebutuhan tersebut tidak

terpenuhi, maka manusia akan berusaha untuk menyesuaikan diri

dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya. Kemampuan untuk

menyesuaikan diri ini akan mengembalikan ke kondisi semula, hingga

proses kehidupan berjalan lancar seperti apa adanya.

Tetapi dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai bahwa

seseorang tak mampu menahan keinginan bagi terpenuhinya

46

kebutuhan bagi dirinya. Dalam kondisi seperti itu akan terjadi

pertentangan (konflik) dalam batin. Pertentangan ini akan

menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan rohani, yang dalam

kesehatan mental disebut kekusutan rohani. Kekusutan rohani ini

disebut “kekusutan fungsional.” (Jalaluddin, 2001: 159).

Usaha penanggulangan kekusutan rohani atau mental ini

sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh yang bersangkutan.

Dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan

memilih norma-norma moral, maka kekusutan mental akan

terselesaikan.

Penyelesaian dengan memiliki penyesuaian diri dengan norma-

norma moral yang luhur seperti bekerja dengan jujur, resignasi

(penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan), sublimasi dan

kompensasi. Dalam konteks ini terlihat hubungan agama sebagai terapi

kekusutan mental. Sebab nilai-nilai luhur termuat dalam ajaran agama

bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan pengendalian

diri, hingga terhindar dari konflik batin. (Jalaluddin, 2001: 159).

Pendekatan terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi Al-

Qur’an sendiri sebagai kitab suci. Di antara konsep terapi gangguan

mental ini adalah pernyataan Allah SWT dalam surat Yunus dan surat

Al-Isra’.

المدور وهدى يايها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفائ لما في

)57: يو نس(. ورحمة للمؤمنين

47

Artinya : “Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu (Al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (penyakit batin/jiwa) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman .” (Q.S. Yunus : 57) (Tim Disbintalad, 1999: 394).

Ada beberapa metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan

mental, diantaranya:

a. Metode Iman

Metode iman berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan

keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib. Keimanan

yang direalisasikan secara benar akan membentuk kepribadian

mukmin (syakhshiyah al-mu’min) yang membentuk enam karakter

(al-thab’u), yaitu:

1). Karakter rabbani, yaitu karakter yang mampu mentrans-

internalisasikan (mengambil dan mengamalkan) sifat-sifat dan

asma-asma Allah SWT ke dalam tingkah laku nyata sebatas

pada kemampuan manusiawinya.

Proses pembentukan karakter rabbani dapat ditempuh

melalui tiga tahap, yaitu:

a. Proses ta’alluq

Proses ta’alluq adalah menggantungkan kesadaran diri

kepada Allah dengan cara berpikir dan berdzikir kepada-

Nya.

48

b. Proses takhalluq.

Proses takhalluq adalah adanya kesadaran diri untuk

mentrans-internalisasikan sifat-sifat dan asma-asma Allah

SWT sebatas pada kemampuan manusiawinya.

c. Proses tahaqquq.

Proses tahaqquq adalah kesadaran diri akan adanya

kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT, sehingga

tingkah lakunya didominasi oleh-Nya.

2). Karakter malaki, yaitu karakter yang mampu mentrans-

internalisasikan sifat-sifat malaikat yang agung dan mulia,

seperti menjalankan perintah Allah SWT. dan tidak bermaksiat

dengan-Nya, bertasbih kepada-Nya, dan sebagainya.

3). Karakter qur’ani, yaitu karakter mampu mentrans-

internalisasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam tingkah laku

nyata, seperti membaca, memahami, dan mengamalkan ajaran

yang terkandung di dalam al-qur’an dan sunah, sebab ia

memberikan petunjuk (al-hidayah), rahmah (al-rahmah), berita

gembira (al-tabsyir) bagi orang muslim yang bertakwa,

memberikan wawasan dan totalitas untuk semua aspek

kehidupan, dan sebagainya.

4). Karakter rasuli, yaitu karakter yang mampu mentrans-

internalisasikan sifat-sifat rasul yang mulia, seperti jujur (al-

49

shidiq), dapat dipercaya (al-amanah), menyampaikan informasi

atau wahyu (al-tabligh), dan cerdas (al-fathanah).

5). Karakter yang berwawasan dan mementingkan masa depan

(hari akhir). Karakter ini menghendaki adanya karakter yang

mementingkan jangka panjang dari pada jangka pendek atau

wawasan masa depan daripada masa kini, tingkah lakunya

penuh perhitungan sebab semuanya akan diperhitungkan

(hisab).

6). Karakter takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya

penyerahan dan kepatuhan pada hukum-hukum, aturan-aturan,

dan sunah-sunah Allah SWT. yang pasti untuk kemaslahatan

hidupnya, seperti mengetahui dan mematuhi sunnah-sunnah

Allah SWT., baik sunah qur’ani maupun sunnah kauni.

b. Metode Islam

Metode Islam berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan

muamalah. Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian

muslim (syakhshiyah al-muslim) yang mendorong seseorang untuk

hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan diri dalam setiap

kondisi. Kondisi seperti itu merupakan syarat mutlak bagi

terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim menimbulkan

lima karakter ideal, yaitu:

1) Karakter syahadatain, yaitu karakter yang mampu

menghilangkan dan membebaskan dari segala belenggu atau

50

dominasi tuhan-tuhan temporal yang relatif, seperti materi dan

hawa nafsu, kemudian mengisi diri sepenuh hati dengan Allah,

Tuhan yang mutlak.

2). Kakter mushalli, yaitu karakter yang mampu berkomunikasi

dengan Allah (Ilahi) dan dengan sesama manusia (insani).

Komunikasi Ilahiyah ditandai dengan takbir, sedang

komunikasi insaniyah ditandai dengan salam. Karakter ini juga

menghendaki adanya kebersihan dan kesucian lahir dan batin.

Kesucian lahir diwujudkan dalam wudhu, sedang kesucian

batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyukan.

3). Karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan

hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya serta untuk

pemerataan kesejahteraan umat pada umumnya. Karakter ini

menghendaki adanya pencarian harta secara halal dan

mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Ia menuntut

adanya produktifitas dan kreatifitas.

4). Karakter sha’im, yaitu karakter yang mampu mengendalikan

dan menahan diri dari nafsu-nafsu rendah, seperti menahan

makan, minum, hubungan seksual pada waktu, tempat dan cara

yang dilarang.

5). Karakter hajji, yaitu karakter yang mau mengorbankan harta,

waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT.

Karakter ini menghasilkan jiwa yang egaliter, memiliki

51

wawasan inklusif dan pluralistik, melawan kebatilan, serta

meningkatkan wawasan wisata spiritual.

c. Metode Ihsan

Metode ihsan berkaitan dengan prinsip-prinsip moral dan etika.

Metode ini apabila dilakukan dengan benar maka membentuk

kepribadian muhsin (syakhsiyah al-muhsin) yang dapat ditempuh

melalui beberapa tahapan:

1). Tahap permulaan (al-bidayah)

Pada tahapan ini, seseorang merasa rindu kepada Khalik-nya.

Ia sadar dalam kerinduannya itu terdapat tabir (al-hijab) yang

menghalangi hubungannya, sehingga ia berusaha

menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut juga tahapan

takhalli. Takhalli adalah mengosongkan diri dari segala sifat-

sifat yang kotor, tercela, dan maksiat. Kepribadian muhsin

tingkat ini diantaranya meninggalkan syirik, kufur, nifaq,

bid’ah, sombong, riya’ dan sebagainya.

2).Tahap kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadat).

Pada tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-

sifat tercela dan maksiat, kemudian ia berusaha secara

sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang

baik. Tahapan ini disebut juga tahapan tahalli. Tahalli adalah

upaya mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik. Fase yang

umum dipakai untuk kepribadian muhsin ini adalah:

52

a. Taubat dari segala tingkah laku yang mengandung dosa.

b. Menjaga diri dari hal-hal yang syubhat (al-wara’).

c. Tidak terikat oleh gemerlapan materi atau dunia (al-zuhud).

d. Merasa butuh pada Allah (al-faqr).

e. Sabar terhadap cobaan dan melaksanakan kebajikan.

f. Tawakal pada putusan Allah, dan sebagainya.

Dalam tahapan al-mujahadat, seseorang yang

melaksanakannya harus ditopang oleh tujuh pendidikan dan

latihan psikofisik (riyadhat al-nafs), yaitu:

a). Musyarathah, yaitu memberikan dan menentukan syarat

bagi diri sendiri, dengan cara membekali diri dengan iman

dan ilmu pengetahuan, memperingatkan diri menjauhi

segala maksiat dan mendekati perbuatan ma’ruf.

b). Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat agar

selalu dekat kepada Allah. Kedekatan Allah dengan

manusia sangat tergantung pada kedekatan manusia. Jika

manusia mendekat niscaya Dia mendekat, tetapi jika

manusia menjauh maka Dia juga akan menjauh.

c). Muhasabah, yaitu membuat perhitungan terhadap tingkah

laku yang diperbuat. Apakah perbuatan yang dilakukan hari

ini lebih baik dari hari kemarin. Jika lebih jelek maka ia

harus beristighfar dan berusaha memperbaikinya. Jika sama

berarti kehidupannya statis dan tidak memperoleh nilai

53

lebih sama sekali. Jika ternyata lebih baik maka harus

disyukuri dan tetap dilakukan secara istiqamah.

d). Mu’aqabah, yaitu menghukum diri karena melakukan

keburukan dengan cara berbuat baik, sebab perbuatan baik

dapat menghapus perbuatan buruk.

e). Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi

baik. Dalam kesungguhan itu, seseorang tidak lagi

memperdulikan pengorbanan yang dikeluarkan, baik

dengan harta maupun jiwa. Dalam mujahadah diperlukan

adanya jihad dan ijtihad, sedang jihad yang paling berat

adalah melawan hawa nafsu.

f). Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan dosanya

dengan cara bertaubat (kembali pada hukum-hukum dan

aturan-aturan Allah).

g). Mukasyafah, yaitu membuka penghalang atau tabir agar

tersingkap semua rahasia Allah. Ketidakbahagiaan

seseorang sesungguhnya disebabkan oleh ketidaktahuannya

tentang cara dan hukum yang ditempuh untuk memperoleh

kebahagiaan itu. Ketika seseorang telah memperoleh

kasyaf, maka pola hidupnya selalu baik dan benar, terhindar

dari hal-hal yang munkar, dan dapat menghantarkan

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

54

3). Tahap merasakan (al-muziqat).

Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan

perintah sang Khalik dan menjauhi larangan-Nya, namun ia

merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan dengan-Nya. Tahapan

ini disebut juga tajalli. Tajalli adalah menampakkannya sifat-

sifat Allah SWT pada diri manusia setelah sifat-sifat buruknya

dihilangkan dan tabir yang menghalangi menjadi sirna (Mujib

dan Jusuf Mudzakir, 2001: 150-161).

2.2. Bimbingan Konseling Islam

2.2.1. Pengertian Bimbingan Konseling Islam

Bimbingan dan konseling merupakan alih bahasa dari istilah

inggris guidance dan counseling. Mengenai kedudukan dan hubungan

antara bimbingan dan konseling terdapat banyak pandangan, salah

satunya memandang konseling sabagai teknik bimbingan. Dengan kata

lain, konseling berada di dalam bimbingan. Pendapat lain mengatakan

bahwa bimbingan terutama memusatkan diri pada pencegahan

munculnya masalah sementara konseling memusatkan diri pada

pencegahan masalah yang dihadapi individu. Dalam pengertian lain,

bimbingan sifat atau fungsinya preventif, sementara konseling kuratif

atau korektif. Dengan demikian bimbingan dan konseling berhadapan

dengan obyek garapan yang sama, yaitu problem atau masalah.

Perbedaannya terletak pada titik berat perhatian dan perlakuan

terhadap masalah tersebut.

55

a. Pengertian bimbingan Islami

Bimbingan itu sendiri didefinisikan bermacam-macam.

Prayitno dan Erman Amti mendefinisikan bimbingan dengan

menyimpulkan rumusan-rumusan pengertian yang dikemukakan

oleh para tokoh. Keduanya menyimpulkan bahwa bimbingan

adalah:

“Proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma-norma yang berlaku” (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 99).

Sedangkan pengertian bimbingan Islami dikemukakan oleh

Aunur Rahim Faqih sebagai berikut :

“Proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat” (Faqih, 2001: 4).

Bimbingan Islami merupakan proses pemberian bantuan,

artinya bimbingan tidak menentukan atau mengharuskan,

melainkan sekedar membantu individu. Individu dibantu,

dibimbing, agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan

petunjuk Allah. Maksudnya sebagai berikut :

1. Hidup selaras dengan ketentuan Allah artinya sesuai dengan

kodrat yang ditentukan Allah; sesuai dengan sunnatullah;

sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Allah;

56

2. Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya sesuai dengan

pedoman yang telah ditentukan Allah melalui rasul-Nya (ajaran

Islam);

3. Hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah berarti

menyadari eksistensi diri sebagai makhluk Allah untuk

mengabdi kepadanya; mengabdi dalam arti seluas-luasnya.

(Faqih, 2001: 4).

Dengan demikian bimbingan Islami merupakan proses

bimbingan sebagaimana kegiatan bimbingan lainnya, tetapi dalam

seluruh seginya berlandaskan ajaran Islam, artinya berlandaskan

Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

b. Pengertian konseling Islami

1. Secara etimologis

Istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu “consilium”

yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan

“menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-

Saxon, istilah konseling berasal dari “sellen” yang berarti

“menyerahkan” atau menyampaikan.” (Prayitno dan Erman

Amti, 1999: 100).

2. Secara terminologi

Pengertian konseling secara umum dikemukakan oleh beberapa

pakar, yaitu sebagai berikut:

57

a. Dewa Ketut Sukardi

“Konseling adalah suatu upaya bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau tatap muka antara konselor dan konseli yang berisi usaha yang laras, unik, human (manusiawi), yang dilakukan dalam suasana keahlian dan yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku, agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri dalam memperbaiki tingkah lakunya pada saat ini dan mungkin pada masa yang akan datang.” (Sukardi, 2000: 22).

b. Prayitno dan Erman Amti

“Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.” (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 99).

c. Hasan Langgulung

“Konseling adalah proses yang bertujuan menolong seseorang yang mengidap kegoncangan emosi sosial yang belum sampai kepada tingkat kegoncangan psikologis atau kegoncangan akal, agar ia dapat menghindari diri dari padanya.” (Langgulung, 1986: 452).

Dari pendapat para pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa

konseling adalah sebuah proses pemberian batuan dengan cara

wawancara antara seorang konselor dengan seorang klien, yang

sedang mengalami suatu masalah psikologis dengan tujuan klien

memahami masalahnya tersebut dan dapat menyelesaikannya

sendiri.

Definisi-definisi tersebut hanya merupakan pemahaman dari

pemikiran empiris sanis belaka yang tidak melibatkan unsur Islam,

dengan kata lain tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

58

Sedangkan dalam konseling Islami adalah penjabaran dari ayat-

ayat Al-Qur’an sebagai dasar rujukan yang dijadikan landasan

dalam proses konseling.

Kemudian jika aspek Islam dimasukkan dalam pengertian

konseling, maka akan dihasilkan rumusan pengertian konseling

Islami sebagai berikut :

a. Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits

Landasan (fondasi atau dasar pijak) utama konseling Islami

adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits, sebab keduanya merupakan

sumber dari segala sumber pedoman kehidupan umat Islam.

Al-Qur’an dan Al-Hadits dapatlah diistilahkan sebagai

landasan ideal dan konseptual konseling Islami. Dari Al-Qur’an

dan Al-Hadits itulah gagasan, tujuan dan konsep-konsep

konseling Islami bersumber (Musnamar, 1992: 5-6).

Jika Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dasar utama yang

dilihat dari sudut asal-usulnya, yang merupakan landasan

“naqliyah”, maka dasar lain yang digunakan dalam konseling

Islami yang sifatnya “aqliyah” adalah filsafat dan ilmu

(pendapat para pakar muslim).

Dalam Islam, aktivitas konseling sangat kental, luas dan

lengkap. Karena ajaran Islam datang ke permukaan bumi ini

memiliki tujuan yang sangat prinsip atau mendasar, yaitu

membimbing, mengarahkan, menganjurkan kepada manusia

59

menuju kepada jalan yang benar yaitu “jalan Allah”. Dengan

jalan itulah manusia akan dapat hidup selamat dan bahagia di

dunia hingga di akhirat.

Keselamatan dan kebahagiaan tidak dapat diraih begitu saja

dengan mudah, melainkan memerlukan perjuangan,

pengorbanan dan upaya yang disiplin, terus menerus dan

totalitas dengan prinsip saling tolong menolong, kebersamaan

dan penuh kasih sayang (Adz-Dzaky, 2002: 181).

Islam adalah nama dari agama yang telah dianugerahkan

oleh Allah kepada manusia sebagai falsafah dan sandaran

hidup. Di dalamnya mengandung ajaran yang membimbing dan

mengarahkan akal fikiran, jiwa qalbu, indrawi dan jasmani

kepada kefitrahan yang selalu cenderung untuk berbuat

ketaatan dan ketauhidan kepada Yang Maha Mencipta, yaitu

kecenderungan positif yang pada eksistensinya ada di dalam

diri setiap manusia yang ada di permukaan bumi ini.

Firman Allah SWT. surat Al-Maidah ayat 3:

اليوم أآملت لكم دينكم وأتممت عليكم ورضيت لكم اإلسالم دينا

)3: ا لما ئده (

Artinya : “Hari ini Aku telah menyempurnakan untukmu agamamu dan Aku aku telah mencukupkan nikmat-Ku untukmu dan Aku telah meridhai Islam sebagai agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah: 3) (Tim Disbintalad, 1999: 193).

60

Oleh karena itu, bagi siapa saja yang tidak mengikuti fitrah-

Nya dan kecenderungan atau dorongan fitrah itu yang ada

dalam dada, maka ia akan mendapatkan kerugian yang besar di

bumi dan di langit, di dunia hingga di akhirat, karena telah

terlepas dan terjauh dari bimbingan dan petunjuk-Nya. (Adz

Dzakky, 2002: 182-183).

Konseling menurut ajaran Al-Qur’an adalah merupakan

upaya meningkatkan kemampuan daya tangkal yang bersumber

pada kemantapan iman dan jati diri menuju takwa kepada Allah

SWT. sekarang dan pada waktu mendatang sesuai dengan

fitrah manusia yang bahagia dan sejahtera hidupnya.

Sabda Nabi Muhammad SAW. :

الدين :لى اهللا عليه وسلم قالص نبيال أن: عن تميم الدارى

نيملسم ولكتابه ولرسوله وأل ئمة الهللا:الق؟ نلم:حة قلنايلنصا

) رواه مسلم(وعامتهم

Artinya : “Dari Tamim Ad-Dariyyi: Sesunguhnya Nabi SAW. telah bersabda: Agama itu nasehat, kami bertanya kepada beliau, untuk siapa? Rasulullah menjawab : Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya dan untuk pemimpin kaum dan umat Islam seluruhnya.”(H.R. Muslim) (Muslim, 1991: 74).

Dari beberapa ayat dan Hadits di atas, menunjukkan secara

jelas bahwa konseling Islami adalah suatu aktifitas memberikan

bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang

meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya

61

seorang konseli dapat mengembangkan potensi akal

pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat

menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan

baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-

Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.

b. Menurut pakar

1. Hamdani Bakran Adz-Dzaky

“Suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.” (Adz-Dzaky, 2001: 180).

2. HM. Arifin

“Konseling adalah usaha pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan baik lahiriah maupun batiniah yang menyangkut kehidupannya di masa kini dan di masa mendatang. Bantuan tersebut berupa pertolongan di bidang mental dan spiritual agar orang yang bersangkutan mampu mengatasinya dengan kemampuan yang ada pada dirinya mapun dorongan dari kekuatan iman dan takwa kepada Allah.” (Arifin,1994: 6).

3. Thohari Musnamar

“Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat”. (Musnamar, 1992: 5).

62

Dari beberapa definisi tentang konseling yang telah

dikemukakan oleh para ahli tersebut baik dalam kerangka term

pendidikan secara umum maupun pendidikan Islam, maka

peneliti menyimpulkan bahwa konseling Islami adalah proses

pemberian bantuan secara kontinyu terhadap individu agar

mampu hidup selaras, mandiri dengan ketentuan dan petunjuk

dari Allah SWT., sehingga ia dapat meningkatkan amal shaleh

baik dari pengertian dan kemampuannya dalam menghadapi

berbagai masalah yang pada akhirnya akan mencapai

kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

2.2.2. Asas-Asas Bimbingan Konseling Islami

Bimbingan konseling Islami berlandaskan terutama kepada Al-

Qur’an dan Al-Hadits atau Sunnah Nabi, ditambah dengan berbagai

landasan filosofis dan landasan keimanan. Berdasarkan landasan-

landasan tersebut dijabarkan asas-asas atau prinsip-prinsip pelaksanaan

konseling Islami (Faqih, 2001: 21-22), yaitu sebagai berikut:

a. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat

Bimbingan dan konseling Islam tujuan akhirnya adalah membantu

klien, yakni orang yang dibimbing, mencapai kebahagiaan hidup

yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim.

Firman Allah SWT. surat Al-Baqarah ayat 201:

و فىاالخرة حسنة وقنا ةنبنا اتنا فى الد نيا حسرومنهم من يقول

)201: البقرة (نار لا ابعذ

63

Artinya : “Dan diantara mereka ada yang mendo’a: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”(Q.S. Al-Baqarah: 201) (Tim Disbintalad, 1999: 56).

Kebahagiaan hidup duniawi bagi seorang muslim hanya

merupakan kebahagiaan yang sifatnya sementara, kebahagiaan

akhiratlah yang menjadi tujuan utama, sebab kebahagiaan akhirat

merupakan kebahagiaan abadi. Kebahagiaan akhirat akan tercapai

bagi semua manusia jika dalam kehidupan dunianya juga

mengingat Allah. Oleh karena itulah Islam mengajarkan hidup

dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kehidupan

keduniaan dan keakhiratan (Faqih, 2001: 22-23).

b. Asas fitrah

Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien

untuk mengenal, memahami dan menghayati fitahnya sehingga

segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan fitrahnya

tersebut.

Manusia menurut Islam dilahirkan dalam atau dengan

membawa fitrahnya, yaitu berbagai kemampuan potensial bawaan

dan kecenderungan sebagai muslim atau beragama Islam.

Konseling Islami membantu klien untuk mengenal dan memahami

fitrahnya itu, atau mengenal kembali fitrahnya tersebut manakala

pernah “tersesat”, serta menghayatinya sehingga dengan demikian

akan mampu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat

64

karena bertingkah laku sesuai dengan fitrahnya itu. Hadits Nabi

Muhammad SAW.:

أمه على تلده إنسان آل وسلم قال عليهلى اهللا ص أن رسول اهللا: عن أبى هريرة

فمسلم مسلمين آانا فإن نه دانه وينصرانه ويمجسا وأبواه بعد يهو. الفطرة

.)رواه مسلم(

Artinya : “Dari Abi Hurairah: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda: Setiap manusia dilahirkan ibunya dalam keadaan fitrah. Dan kemudian ayah-ibunya yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi. Dan jika ayah-ibunya itu seorang muslim, maka jadilah (si anak) seorang muslim.” (H.R. Muslim).

Fitrah kerap kali juga diartikan sebagai bakat, kemampuan,

atau potensi. Dalam arti luas maka potensi dan bakat tersebut

diperhatikan pula dalam bimbingan dan konseling Islam (Faqih,

2001: 23-24).

c. Asas “lillahi ta’ala”

Bimbingan dan konseling Islam dilaksanakan semata-mata karena

Allah SWT. konsekuensi dari asas ini berarti konselor melakukan

tugasnya dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih, sementara klien

menerima atau meminta konseling pun dengan ikhlas dan rela pula,

karena semua pihak merasa bahwa semua yang dilakukan adalah

karena dan untuk pengabdian kepada Allah semata, sesuai dengan

fungsi dan tugasnya sebagai makhluk Allah yang harus senantiasa

mengabdi kepada-Nya (Faqih, 2001: 24-25). Firman Allah SWT.

surat Adz-Dzariyat ayat 56:

65

)56: ت اريا الذ(ون النس اال ليعبد وما خلقت الجن وا

Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat : 56) (Tim Disbintalad, 1999: 1051).

d. Asas bimbingan seumur hidup

Manusia hidup betapapun tidak akan ada yang sempurna dan selalu

bahagia. Dalam kehidupannya mungkin saja manusia akan

menjumpai berbagai kesulitan dan kesusahan. Oleh karena itu,

bimbingan dan konseling Islam diperlukan selama hayat masih di

kandung badan.

Kesepanjanghayatan konseling ini, selain dilihat dari kenyataan

hidup manusia, dapat pula dilihat dari sudut pendidikan. Seperti

telah diketahui bahwa konseling merupakan bagian dari

pendidikan. Pendidikan sendiri berasaskan pendidikan seumur

hidup, karena belajar menurut Islam,wajib dilakukan oleh semua

orang Islam, tanpa membedakan usia (Faqih, 2001: 25).

e. Asas kesatuan jasmaniah-rohaniah

Manusia dalam hidupnya di dunia merupakan satu kesatuan

jasmaniah rohaniah. Bimbingan dan konseling Islam

memperlakukan kliennya sebagai makhluk jasmaniah-rohaniah

tersebut, tidak memandang sebagai makhluk biologis semata, atau

makhluk rohaniah semata (Faqih, 2001: 26).

Firman Allah SWT. surat Al-Isra’ ayat 72 yang menyebutkan

perlunya keseimbangan jasmani dan rohani sebagai berikut :

66

ومن آان في هذه اعمى فهو فى االخرة اعمى واضل سبيال

) 72: االسراء (

Artinya : “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (Q.S. Al-Isra’: 72) (Tim Disbintalad, 1999: 541).

f. Asas keseimbangan rohaniah

Rohani manusia memiliki unsur daya kemampuan pikir, merasakan

atau menghayati dan kehendak atau hawa nafsu, serta juga akal.

Kemampuan ini merupakan sisi lain kemampuan fundamental

potensial untuk mengetahui, memperhatikan atau menganalisis,

dan menghayati. Bimbingan dan konseling Islami menyadari

keadaan kodrati manusia tersebut, dan dengan berpijak pada

firman-firman Allah serta Hadits Nabi, membantu klien

memperoleh keseimbangan diri dalam segi mental rohaniah

tersebut. Firman Allah surat Al-A’raf ayat 179:

ولقد ذرأنا لجهنم آثيرا من الجن واالنس لهم قلوب ال يفقهون بها

ولهم اعين اليبصرون بها ولهم اذان اليسمعون بها اولئك آاالنعام

)179: االعراف (بل هم اضل اولئك هم الغفلون

Artinya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya

67

untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raf: 179) (Tim Disbintalad, 1999: 318).

Orang yang dibimbing diajak untuk mengetahui apa-apa yang

perlu diketahuinya, kemudian memikirkan apa-apa yang perlu

dipikirkannya, sehingga memperoleh kayakinan, tidak menerima

begitu saja, tetapi juga tidak menolak begitu saja. Kemudian

diajak memahami apa yang perlu dipahami dan dihayatinya setelah

berdasakan pemikiran dan analisis yang jernih diperoleh keyakinan

tersebut. Klien diajak untuk menginternalisasikan norma dengan

mempergunakan semua kemampuan rohaniah potensialnya

tersebut, bukan cuma mengikuti hawa nafsu (perasaan dangkal,

kehendak) semata (Faqih, 2001: 27-28).

g. Asas kemaujudan individu

Bimbingan dan konseling Islam berlangsung pada citra manusia

menurut Islam, memandang seseorang individu merupakan suatu

maujud (eksistensi) tersendiri. Individu mempunyai hak,

mempunyai perbedaan individu dari yang lainnya, dan mempunyai

kemerdekaan pribadi sebagai konsekuensi dari haknya dan

kemampuan fundamental potensial rohaniahnya (Faqih, 2001: 28-

29). Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.:

أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال إن لربك عليك : عن سلمان

.حقا ولنفسك عليك حقا وألهلك عليك حقا فأعط آل ذى حق حقه

68

)رواه البخارى(

Artinya : “Dari Salman: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda: Bahwasanya Tuhanmu mempunyai hak atasmu yang wajib engkau tunaikan, begitu juga dirimu dan ahlimu semuanya mempunyai hak yang wajib engkau tunaikan. Dekatilah ahlimu, dan berikanlah hak mereka masing-masing.” (H.R. Bukhori).

h. Asas sosialitas manusia

Manusia merupakan makhluk sosial. Hal ini diakui dan

diperhatikan dalam konseling Islami. Pergaulan, cinta kasih, rasa

aman, penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, rasa

memiliki dan dimiliki, semuanya merupakan aspek-aspek yang

diperhatikan di dalam bimbingan dan konseling Islam, karena

merupakan citra hakiki manusia.

Dalam bimbingan dan konseling Islam, sosialitas manusia

diakui dengan memperhatikan hak individu, individu juga diakui

dalam batas tanggung jawab sosial, dan masih ada pula hak “alam”

yang harus dipenuhi manusia (prinsip ekosistem), begitu pula hak

Tuhan (Faqih, 2001: 29). Firman Allah SWT. surat An-Nisa ayat 1:

يايهاالناس اتقواربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها

زوجها وبث منهما رجاال آثيرا ونساء واتقوااهللا الذي تساءلون به

) 1: النساء (واالرحام ان اهللا آان عليكم رقيبا

Artinya : “Hai Sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada

69

Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa: 1) (Tim Disbintalad, 1999: 140).

i. Asas kekhalifahan manusia

Manusia menurut Islam, diberi kedudukan yang tinggi sekaligus

tanggung jawab yang besar, yaitu sebagai pengelola alam semesta

(khalifatullah fil ard). Dengan kata lain, manusia dipandang

sebagai makhluk berbudaya yang mengelola alam sekitar sebaik-

baiknya. Sebagai khalifah, manusia harus memelihara

keseimbangan ekosistem, sebab problem-problem kehidupan kerap

kali muncul dari ketidakseimbangan ekosistem tersebut yang

diperbuat oleh manusia itu sendiri (Faqih, 2001: 30). Firman Allah

SWT. surat Ar-Ruum ayat 41:

الناس ليذيقهم بعض ظهرالفساد في البر والبحر بما آسبت أيدي

)41: الروم (عملوا لعلهم يرجعون الذي

Artinya : ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar.” (Q.S. Ar-Rum: 41) (Tim Disbintalad, 1999: 801).

j. Asas keselarasan dan keadilan

Islam menghendaki keharmonisan, keselarasan, keseimbangan,

keserasian dalam segala segi. Dengan kata lain, Islam

menghendaki manusia berlaku “adil” terhadap hak dirinya sendiri,

70

hak orang lain, hak alam semesta, dan juga hak Tuhan (Faqih,

2001: 32). Firman Allah SWT. surat An-Nisa ayat 135:

)135: النساء ... (لقسط مين با قوا ا آونو منوا ين ا الذ يها يا

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan.” (Q.S. An-Nisa: 135) (Tim Disbintalad, 1999: 179 ).

k. Asas pembinaan akhlaqul karimah

Manusia menurut pandangan Islam, memiliki sifat-sifat yang baik

(mulia, dan sebagainya) sekaligus mempunyai sifat-sifat lemah.

Sifat-sifat yang baik merupakan sifat yang dikembangkan oleh

bimbingan dan konseling Islam. Bimbingan dan konseling Islam,

membantu klien memelihara, mengembangkan, menyempurnakan

sifat-sifat yang baik tersebut. Sejalan dengan tugas dan fungsi

Rasulullah diutus oleh Allah SWT. (Faqih, 2001: 32). Firman

Allah SWT. surat Al-Ahzab ayat 21:

لقد آان لكم في رسول اهللا اسوة حسنة لمن آان يرجوااهللا واليوم

)21: االحزاب ( االخروذآر اهللا آثيرا

Artinya : ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab: 21) (Tim Disbintalad, 1999: 827).

l. Asas kasih sayang

Setiap manusia memerlukan cinta kasih dan rasa sayang dari orang

lain. Rasa kasih sayang ini dapat mengalahkan dan menundukkan

71

banyak hal. Bimbingan dan konseling Islam dilakukan dengan

berlandaskan kasih dan sayang, sebab hanya dengan kasih

sayanglah konseling akan berhasil (Faqih, 2001: 33).

Hadits Nabi Muhammad SAW. :

اليؤمن : عن النبى صلى اهللا عليه وسلم قال , عن أنس بن مالك

)رواه مسلم (.احدآم حتى يحب ألخيه ما يحب لنفسه

Artinya : “Tiadalah seseorang beriman sampai ia mencintai saudaranya (sesama manusia seperti ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Muslim).

m. Asas saling menghargai dan menghormati

Dalam bimbingan dan konseling Islam, kedudukan konselor dan

klien pada dasarnya sama atau sederajat; perbedaannya terletak

pada fungsinya saja, yakni pihak yang satu memberikan bantuan

dan yang satu menerima bantuan. Hubungan yang terjalin antara

kedua belah pihak merupakan hubungan yang saling menghormati

sesuai dengan kedudukannya masing-masing sebagai makhluk

Allah SWT.

Pembimbing dipandang diberi kehormatan yang dibimbing

karena dirinya dianggap mampu memberikan bantuan mengatasi

kesulitannya atau untuk tidak mengalami masalah, sementara klien

diberi kehormatan atau dihargai oleh konselor dengan cara yang

bersangkutan bersedia membantu atau membimbingnya (Faqih,

2001: 33-34). Prinsip saling menghargai ini seperti yang diajarkan

Allah dalam kasus yang relatif sederhana sebagai berikut:

72

واذاحييتم بتحية فحيواباحسن منها اوردوها ان اهللا آان على آل

)86: النساء ( شيئ حسيبا

Artinya : ”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. An-Nisa: 86) (Tim Disbintalad, 1999: 165).

n. Asas musyawarah

Bimbingan dan konseling Islam dilakukan dengan asas

musyawarah; artinya antara pembimbing atau konselor dengan

yang dibimbing atau klien terjadi dialog yang baik, satu sama lain

tidak saling mendikte, tidak ada perasaan tertekan dan keinginan

tertekan. (Faqih, 2001: 34). Firman Allah SWT. :

فبما رحمة من اهللا لنت لهم ولو آنت فظا غليظا القلب النفضوامن

حولك فا عف عنهم واستغفر لهم وشاورهم فىاالمر

) 159 :ال عمران ( Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku

lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..........”(Q.S. Ali Imran, 3: 159) (Tim Disbintalad, 1999: 128-129).

73

o. Asas keahlian

Bimbingan dan konseling Islam dilakukan oleh orang-orang yang

memang memiliki keahlian di bidang tersebut, baik keahlian dalam

metodologi dan teknik-teknik bimbingan dan konseling, maupun

dalam bidang yang menjadi permasalahan (obyek garapan atau

materi) bimbingan dan konseling. (Faqih, 2001: 35).

2.2.3. Tujuan Bimbingan Konseling Islami

Menurut Faqih (2001: 35), secara umum tujuan bimbingan

konseling Islami adalah sebagai berikut :

“Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.”

Individu yang dimaksud di sini adalah orang yang dibimbing atau

klien, baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri

sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan

hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras

perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau

kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk

individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya (Musnamar,

1992: 33).

Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor manusia bisa

tidak seperti yang dikehendaki, yakni menjadi manusia yang

seutuhnya. Dengan kata lain yang bersangkutan berhadapan dengan

masalah (problem), yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara yang

74

seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang menghadapi

masalah, lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak merasa

bahagia. Konseling Islami berusaha membantu individu agar bisa

hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat. Karena

itu tujuan akhir konseling Islami adalah kebahagiaan hidup manusia di

dunia dan akhirat (Musnamar, 1992: 33). Firman Allah SWT. surat Al-

‘Ashr ayat 1-3

اال الذين امنوا ) 2(إن االنسان لفي خسر ) 1(والعصر

).3(وعملواالصلحت وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر

)3-1: العصر (Artinya : “Demi masa (1). Sesungguhnya manusia itu benar-benar

berada dalam kerugian (2). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (3). (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3) (Tim Disbintalad, 1999: 1266).

Konseling Islami berusaha membantu mencegah jangan sampai

individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain,

membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya.

Bantuan pencegahan masalah ini merupakan salah satu tujuan

pemberian konseling Islami.

Karena berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi

masalah, dan kerap kali pula individu tidak mampu memecahkan

masalahnya sendiri, maka konseling Islami berusaha membantu

memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan

masalah ini merupakan salah satu fungsi konseling Islami juga, khusus

75

merupakan fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik konseling

Islami (Faqih, 2001: 35).

Di sisi lain, tujuan konseling dapat difokuskan pada pengoptimalan

perkembangan klien, upaya-upaya yang memungkinkan klien lebih

maju dalam menguasai tugas dan krisis perkembangan. Hal ini

mengandung pengertian bahwa konseling bukan hanya untuk individu

yang berkesulitan saja, melainkan konseling dapat dijalankan bagi

semua individu (Mappiare, 2004: 67).

Tujuan konseling Islami dapat dirumuskan sebagai proses

penemuan diri dan duniannya, sehingga individu dapat memilih,

merencanakan, memutuskan, memecahkan masalah, menyesuaikan

secara bijaksana, dan berkembang sepenuh kemampuan dan

kesanggupannya serta dapat memimpin diri sendiri sehingga individu

dapat menikmati kebahagiaan batin yang sedalam-dalamnya dan

produktif bagi lingkungannya (Gunawan, 1992: 41).

Dengan demikian, secara singkat tujuan konseling Islami dapat

dirumuskan sebagai berikut :

a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan dan

kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai

(muthmainnah), bersikap lapang dada (radhiyah) dan mendapatkan

pencerahan taufiq dan hidayah Tuhannya (mardhiyyah). Firman

Allah SWT. surat Ar-Ra’du ayat 11:

)11: الرعد (... بأنفسهم ال يغير ما بقوم حتى يغيروا ماإن اهللا...

76

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah dirinya sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’du: 11) (Tim Disbintalad, 1999: 465).

b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan

tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri

sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan

sosial dan alam sekitarnya. Firman Allah surat Al-Qashash ayat

83:

يريدون علوا فى االرض وال فساداوالعاقبة تلك الدار االخرة نجعلها للذين ال

)83: القصص ( للمتقين

Artinya : “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Qashash: 83) (Tim Disbintalad, 1999: 774).

c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu

sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan,

tolong menolong dan rasa kasih sayang. Sebagaimana firman Allah

SWT. surat Al-Ma’idah ayat 2:

والعدوان وتعاونوا على البر والتقوى وال تعاونوا على اإلثم...

)2: المائدة (ب شديد العقا إن اهللا واتقوا اهللا

Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Ma’idah: 2) (Tim Disbintalad, 1999: 192).

77

d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu

sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat

taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya

serta ketabahan menerima ujian-Nya. Firman Allah SWT. surat

Ath-Thalaq ayat 4:

)4: الطالق ( له من أمره يسرايجعل من يتق اهللا...

Artinya : “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Q.S. Ath-Thalaq: 4) (Tim Disbintalad, 1999: 1139).

e. Untuk menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan potensi itu

individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik

dan benar, ia dapat dengan baik menanggulangi berbagai persoalan

hidup, dan dapat memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi

lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan (Adz-Dzaky, 2002:

21). Firman Allah surat Al-Isra’ 84:

هو أهدى سبيال قل آل يعمل على شاآلته فربكم أعلم بمن

)84: االسراء (

Artinya: “Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya” (Q.S. Al-Isra’: 84) (Tim Disbintalad, 1999: 543).

2.2.4. Fungsi Bimbingan Konseling Islam

Fungsi bimbingan dan konseling Islam dirumuskan oleh Faqih,

sebagai berikut :

78

a. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau

mencegah timbulnya masalah bagi dirinya.

b. Fungsi kuratif atau korektif, yakni membantu individu

memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.

c. Fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi

dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah)

menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in

state of good).

d. Fungsi developmental atau pengembangan; yakni membantu

individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang

telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak

memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya

(Faqih, 2001: 37).

2.2.5. Metode dan Pendekatan Bimbingan Konseling Islami

Yang dimaksud dengan metode konseling Islami adalah landasan

berpijak yang benar tentang bagaimana proses konseling itu dapat

berlangsung baik dan menghasilkan perubahan-perubahan positif pada

klien mengenai cara dan paradigma berfikir, cara menggunakan

potensi nurani, cara berperasaan, cara berkeyakinan dan cara

bertingkah laku berdasarkan wahyu (Al-Qur’an) dan paradigma

kenabian (As-Sunnah) (Adz-Dzaky, 2001: 190). Firman Allah SWT.

surat An-Nahl ayat 125 :

أحسن الحسنة وجادلهم بالتي هي ك بالحكمة والموعظةادع إلى سبيل رب

79

)125 :النحل (ين بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتد إن ربك هو أعلم

Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang telah tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.:” (Q.S. An-Nahl: 125) (Tim Disbintalad, 1999: 526).

Ayat di atas menjelaskan tentang metode atau teori dalam

membimbing, mengarahkan dan mendidik untuk menuju kepada

perbaikan, perubahan dan pengembangan yang lebih positif dan

membahagiakan. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut:

a. Metode “Al-Hikmah”

“Al-Hikmah” dalam perspektif bahasa mengandung makna: (a)

Sikap kebijaksanaan yang mengandung asas musyawarah dan

mufakat, asas keseimbangan, asas mufakat dan menjauhkan

mudharat serta asas kasih sayang; (b) Energi Ilahiyah yang

mengandung potensi perbaikan, perubahan, pengembangan dan

penyembuhan, (c) Esensi ketaatan dan ibadah; (d) Wujudnya

berupa cahaya yang selalu menerangi jiwa, kalbu, akal, fikiran dan

inderawi, (e) Kecerdasan Ilahiyah, yang dengan kecerdasan itu

segala persoalan hidup dalam kehidupan dapat teratasi dengan baik

dan benar; (f) Rahasia ketuhanan yang tersembunyi dan gaib; (g)

Ruh dan esensi Al-Qur’an, (h) Potensi kenabian.

Dengan demikian metode “Al-hikmah” ialah sebuah pedoman,

penuntun dan pembimbing untuk memberi bantuan kepada

80

individu yang sangat membutuhkan pertolongan dalam mendidik

dan mengembangkan eksistensi dirinya hingga ia dapat

menyelesaikan atau mengatasi berbagai ujian hidup secara mandiri.

Proses aplikasi konseling dengan teori ini semata-mata dapat

dilakukan konselor dengan pertolongan Allah secara langsung atau

melalui utusan-Nya, yaitu Allah mengutus Malaikat-Nya, dimana

ia hadir dalam jiwa konselor atas izin-Nya.

Teori ini tidak dapat dilakukan oleh konselor yang tidak taat,

tidak dekat dengan Allah dan malaikat-Nya, karena metode ini

merupakan metode konseling yang dilakukan para rasul, nabi, dan

auliya Allah serta menyangkut problem dan penyakit yang paling

berat dan tidak dapat disembuhkan dengan cara-cara manusia atau

makhluk, seperti penyimpangan-penyimpangan perilaku

diakibatkan karena terganggunya jiwa, dan yang menyebabkan

jiwa terganggu adalah akibat ulah syetan dan iblis, dimana mereka

bersenyawa dalam jiwa dan menggerakkan seluruh aktivitas

individu dalam prilaku yang dapat membahayakan diri sendiri

maupun lingkungan (Adz-Dzaky, 2002: 198).

b. Metode “Al-Mau’idloh Al-Hasanah”

Yang dimaksud metode “Al-Mau’izhoh Al-Hasanah” yaitu metode

konseling dengan cara mengambil pelajaran-pelajaran atau i’tibar-

i’tibar dari perjalanan kehidupan para nabi, rasul, para auliya

Allah. Bagaimana Allah membimbing dan mengarahkan cara

81

berfikir, cara berperasaan, cara berperilaku serta menanggulangi

berbagai problem kehidupan. Bagaimana cara membangun

ketaatan dan ketakwaan kepada-Nya, bagaimana cara mereka

mengembangkan eksistensi diri dan menemukan jati diri dan citra

diri, bagaimana cara mereka melepaskan diri dari hal-hal yang

dapat menghancurkan mental spiritual dan moral.

Dalam penggunaan teori ini, sebelumnya konselor harus benar-

benar telah menguasai dengan baik tentang sejarah, riwayat hidup

dan perjuangan orang-orang agung, pejabat-pejabat Allah dan

kekasih-kekasih-Nya, khususnya Rasulullah SAW., sebagaimana

firman-Nya:

لقد آان لكم في رسول اهللا اسوة حسنة لمن آان يرجوااهللا واليوم

)21: االحزاب (االخر وذآر اهللا آثيرا

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab: 21) (Tim Disbintalad, 1999: 827).

Materi “Al-Mau’idloh Al-Hasanah” dapat diambil dari sumber-

sumber pokok ajaran Islam maupun dari para pakar selama tidak

bertentangan dengan norma-norma Islam tersebut (Adz-Dzaky,

2002: 201-202).

c. Metode “Mujadalah”

Yang dimaksud metode “Mujadalah” ialah metode konseling yang

terjadi dimana seorang konseli sedang dalam kebimbangan. Teori

82

ini biasa digunakan ketika seorang konseli ingin mencari suatu

kebenaran yang dapat meyakinkan dirinya, yang selama ini ia

memiliki problem kesulitan mengambil suatu keputusan dari dua

hal atau lebih, sedangkan ia berasumsi bahwa kedua hal atau lebih

itu baik dan benar untuk dirinya. Padahal dalam pandangan

konselor hal itu dapat membahayakan perkembangan jiwanya, akal

fikirannya, emosionalnya dan lingkungannya (Adz-Dzaky, 2002:

202-203).

Pada pembahasan di atas, telah dibahas tentang adanya

sejumlah teori konseling. Apabila ditilik lebih lanjut teori-teori

tersebut, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga

pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, konseling non-

direktif, dan konseling elektrik. Adapun rincian dari masing-

masing pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Konseling direktif

Konseling direktif yang karena proses dan dinamika

pengentasan masalahnya mirip “penyembuhan penyakit”,

pernah juga disebut “konseling klinis” (clinical counseling).

Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa klien tidak mampu

mengatasi sendiri masalah yang dihadapinya. Karena itu, klien

membutuhkan bantuan dari orang lain, yaitu konselor. Dalam

konseling direktif, klien bersifat pasif, dan yang aktif adalah

konselor.

83

Dengan demikian, inisiatif dan peranan utama pemecahan

masalah lebih banyak dilakukan oleh konselor. Klien bersifat

menerima perlakuan dan keputusan yang dibuat oleh konselor.

Dalam konseling direktif diperlukan data yang lengkap tentang

klien untuk dipergunakan dalam usaha diagnosis (Prayitno dan

Erman Amti, 1999: 299).

b. Konseling non-direktif

Konseling non-direktif merupakan upaya bantuan pemecahan

masalah yang berpusat pada klien. Melalui pendekatan ini,

konseli diberi kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan

dan pikiran-pikirannya secara bebas. Pendekatan ini berasumsi

dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada

dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi

masalahnya sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan,

potensi dan kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau

berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mengembangkan dan

memfungsikan kembali kemampuannya itu, klien memerlukan

bantuan.

Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka dalam

konseling ini, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah

diletakkan di pundak konseli sendiri. Sedangkan kewajiban dan

peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar

potensi dan kemampuan yang ada pada diri konseli itu

84

berkembang secara optimal, dengan jalan menciptakan

hubungan konseling yang hangat dan permisif. Suasana seperti

ini akan memungkinkan klien mampu memecahkan sendiri

masalahnya (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 300).

c. Konseling elektrik

Dalam kenyataan praktek konseling, menunjukkan bahwa tidak

semua masalah dapat dientaskan secara baik hanya dengan satu

pendekatan atau teori saja. Ada masalah yang lebih cocok

diatasi dengan pendekatan direktif, dan ada pula yang lebih

cocok dengan pendekatan non-direktif atau dengan teori khusus

tertentu. Dengan perkataan lain, tidaklah dapat ditetapkan

bahwa setiap masalah harus diatasi dengan salah satu

pendekatan atau teori saja. Pendekatan atau teori mana yang

cocok digunakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara

lain:

1. Sifat masalah yang dihadapi (misalnya tingkat kesulitan

dan kekomplekannya).

2. Kemampuan klien dalam memainkan peranan dalam proses

konseling.

3. Kemampuan konselor sendiri, baik pengetahuan maupun

ketrampilan dalam menggunakan masing-masing

pendekatan atau teori konseling. Mereka yang mempelajari

pendekatan ini mungkin ada yang tertarik dan merasa

85

dirinya lebih cocok untuk mendalami dan mempraktekkan

satu pendekatan tertentu saja. Dan mungkin ada pula yang

berusaha “menggabungkan” antara kedua pendekatan

tersebut. Kebanyakan diantara mereka bersikap elektrik

yang mengambil berbagai kebaikan dari kedua pendekatan

konseling yang ada itu, mengembangkan dan

menerapkannya dalam praktek sesuai dengan permasalahan

klien. Sikap elektrik ini telah ada sejak lama dan bahkan

dianggap lebih tepat dan sesuai dengan filsafat atau tujuan

konseling daripada sikap yang hanya mengandalkan satu

pendekatan saja (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 301-

302).

Dengan adanya metode dan pendekatan di atas, maka

seorang konselor dapat memilih metode dan pendekatan yang

cocok untuk diterapkan dalam proses konseling sesuai dengan

sifat permasalahan dan kepribadian seorang klien.

2.3. Korelasi antara Logoterapi dan Konsep Dakwah

Korelasi antara logoterapi dan konsep dakwah, kiranya dapat dilihat dari

aspek tujuan dan materi dakwah. Menurut Syukir (1990: 51), tujuan umum

dakwah yaitu mengajak umat manusia kepada jalan yang benar, yang

diridhai Allah SWT., agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia

maupun di akhirat.

86

Sedangkan tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup bermakna dan

mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi.

(Bastaman, 2000: 70).

Dari tujuan dakwah dan tujuan logoterapi di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa akhir dari kedua tujuan itu adalah kebahagiaan. Oleh

karena itu, logoterapi dapat digunakan sebagai materi dakwah. Karena

logoterapi merupakan psikoterapi yang memusatkan diri pada pencarian

makna hidup, dengan kebahagiaan sebagai efek sampingnya. Kebahagiaan

di dunia dapat diraih dengan makna hidup pribadi, sedangkan kebahagiaan

hidup di akhirat dapat diraih dengan makna hidup paripurna.

Selanjutnya, logoterapi dapat dijadikan sebagai materi dakwah dengan

melihat aspek materi dakwah itu sendiri.

Menurut Tasmara (1997: 43), materi dakwah yaitu semua pernyataan

yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, baik tertulis maupun lisan

dengan pesan-pesan (risalah) tersebut. Mengenai risalah-risalah itu, Tasmara

mengutip pendapat M. Natsir yang membaginya dalam tiga pokok yaitu:

a. Menyempurnakan hubungan manusia dengan Kholik-nya, hablum

minallah.

b. Menyempurnakan hubungan manusia dengan sesama manusia, hablum

minannas.

c. Mengadakan keseimbangan (tawazun) antara keduanya itu.

Dari pendapat tersebut, penulis menyatakan bahwa logoterapi dapat

dijadikan materi dakwah, karena logoterapi juga berbicara tentang hablum

87

minallah melalui makna hidup paripurna, dan juga berbicara tentang hablum

minannas melalui makna hidup pribadi.

Selain itu, ajaran Islam itu meliputi seluruh aspek kehidupan di dunia

dan juga di akhirat, maka dengan sendirinya materi itu akan sangat luas dan

kompleks sekali. Adapun materi pokok yang harus disampaikan menurut

Agus Toha antara lain:

a. Akidah Islam, tauhid dan keimanan,

b. Pembentukan pribadi yang sempurna,

c. Pembangunan masyarakat yang adil dan makmur,

d. Kesejahteraan di dunia dan akhirat. (Kuswata dan Kuswara, 1990: 37).

Dari keempat materi itu, logoterapi lebih cenderung memuat materi

pembentukan pribadi yang sempurna. Karena dalam logoterapi, pasien

(klien) dituntun untuk mencari, menemukan dan memenuhi makna hidup,

sehingga pribadi sempurna dapat diraih.

Selanjutnya, di antara ajaran-ajaran logoterapi yang mempunyai

kesesuaian dengan ajaran Islam adalah tentang dimensi spiritual. Dimensi

spiritual yang oleh Frankl dinamakan juga “dimensi noetic”, dalam

pandangan logoterapi lebih cenderung ke arah dimensi antropologis

daripada dimensi teologis. Selain itu, dimensi spiritual yang dimaksud

Frankl tidak mengandung konotasi agama, tetapi merupakan sumber dari

kualitas-kualitas insani.

Kualitas-kualitas insani adalah semua kemampuan, sifat , sikap dan

kondisi yang semata-mata terpatri dan terpadu pada eksistensi manusia dan

88

tidak dimiliki oleh hewan dan makhluk-makhluk lainnya. Yang termasuk

kualitas-kualitas insani antara lain adalah intelegensi, ide, makna, imajinasi,

kesadaran diri, pengembangan diri, humor, nilai-nilai, cinta kasih, hasrat

untuk hidup bermakna, moralitas, hati nurani, transendensi diri, keimanan,

kreativitas, kebebasan dan tanggung jawab (Bastaman, 1996: 57).

Malik Badri dalam bukunya yang berjudul “Dilema Psikolog Muslim”,

memberikan penghargaan khusus kepada logoterapi. Dia menganggap

logoterapi sebagai aliran psikologi barat yang mengembangkan sikap

optimis dan banyak kesesuaiannya dengan ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-

Hadits). (Bastaman, 2000: 68).

Jika ajaran-ajaran logoterapi banyak kesesuaiannya dengan ajaran Islam,

maka logoterapi dapat digunakan sebagai materi dakwah, meskipun ada

ajaran logoterapi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu

logoterapi tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Dalam hal ini, Ya’qub menyatakan bahwa ajaran Islam itu dinamis,

progressif dialektis dan romantis. Seorang muballigh harus mampu

menunjukkan kehebatan ajaran Islam itu kepada masyarakat yang menjadi

sasaran dakwah, melalui argumentasi (dalil-dalil) atau keterangan yang

mudah dipahami oleh mereka (Ya’qub, 1992: 29).

Dari pendapat tersebut, tersirat makna bahwa seorang da’i dapat

menggunakan materi apa saja termasuk logoterapi, dengan tujuan untuk

memudahkan mad’u dalam menangkap pesan dakwah yang disampaikan.

Jadi, meskipun logoterapi tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits,

89

logoterapi dapat dijadikan sebagai materi dakwah, karena banyak ajaran

logoterapi yang mempunyai substansi yang sama dengan Al-Qur’an dan Al-

Hadits.

Lebih lanjut, Sanwar (1984: 74) menegaskan bahwa Al-Islam sebagai

ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., hendaknya selalu

dipegang teguh, sebaliknya yang bertentangan dengan ajaran Islam harus

dihindarkan dan dilawan.

Oleh karena itu, seorang da’i jika menggunakan logoterapi sebagai

materi dakwah harus memilah-milah terlebih dahulu, ajaran mana yang

sesuai dengan Islam dan ajaran mana yang bertentangan dengan Islam.

Karena pada dasarnya, logoterapi tidak sepenuhnya bersifat Islami. Ada

beberapa ajarannya yang berbeda, bahkan bertentangan dengan Islam.