bab ii kajian teoritis 2.1 katekisasi sebagai bentuk ......10 bab ii kajian teoritis 2.1 katekisasi...

37
10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki tiga setting pelaksanaan, yaitu keluarga, sekolah dan gereja. Di gereja secara khusus, salah satu pelayanan pendidikan agama Kristen yang paling tua dan yang ada di hampir seluruh Gereja-Gereja di Indonesia ialah pelayanan katekisasi. Walaupun demikian, gereja-gereja di Indonesia bahkan mungkin di seluruh dunia belum mempunyai pendapat yang sama tentang apa itu katekisasi. Beberapa gereja menganggap katekisasi sama dengan pengajaran agama yang dilakukan di sekolah-sekolah, sedangkan beberapa gereja menganggapnya lebih dari itu. Katekisasi dapat dikategorikan sebagai pendidikan agama Kristen sebab tujuannya yang untuk mengajarkan pengajaran-pengajaran Kristiani kepada para pengikutnya. 2.1.1 Perkembangan Katekisasi Pengajaran yang dilakukan di gereja-gereja Kristen telah ada sejak lama dan berasal dari Israel. Dalam Perjanjian Lama (Ul 6:20-25; Mzm 78:1-7; dan lain-lain) dikatakan bahwa kepada orang tua ditugaskan untuk memberikan pengajaran tentang “perbuatan-perbuatan Allah yang besar.” Pengajaran pada saat itu masih bersifat lisan, di mana orang tua meneruskan kepada anak-anak mereka apa yang mereka telah dengar. Sekitar permulaan abad pertama mulai diadakan ”sekolah- sekolah” yang didirikan oleh Jemaat-Jemaat Yahudi, di mana anak-anak kecil mendapat pengajaran dari guru Torah. Maksud pengajaran ini bukan untuk memberikan pengetahuan umum kepada anak-anak, tetapi pengetahuan tentang Torah. 16 Jadi, pengajaran yang dilakukan di dalam perjanjian lama awalnya tidak seperti pengajaran dalam gereja saat ini. Pada saat itu, anak-anak mendapat 16 J. L. Ch. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 1-3.

Upload: others

Post on 18-Mar-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

10

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja

Pendidikan Agama Kristen memiliki tiga setting pelaksanaan, yaitu keluarga,

sekolah dan gereja. Di gereja secara khusus, salah satu pelayanan pendidikan agama

Kristen yang paling tua dan yang ada di hampir seluruh Gereja-Gereja di Indonesia ialah

pelayanan katekisasi. Walaupun demikian, gereja-gereja di Indonesia bahkan mungkin di

seluruh dunia belum mempunyai pendapat yang sama tentang apa itu katekisasi.

Beberapa gereja menganggap katekisasi sama dengan pengajaran agama yang dilakukan

di sekolah-sekolah, sedangkan beberapa gereja menganggapnya lebih dari itu. Katekisasi

dapat dikategorikan sebagai pendidikan agama Kristen sebab tujuannya yang untuk

mengajarkan pengajaran-pengajaran Kristiani kepada para pengikutnya.

2.1.1 Perkembangan Katekisasi

Pengajaran yang dilakukan di gereja-gereja Kristen telah ada sejak lama dan

berasal dari Israel. Dalam Perjanjian Lama (Ul 6:20-25; Mzm 78:1-7; dan lain-lain)

dikatakan bahwa kepada orang tua ditugaskan untuk memberikan pengajaran

tentang “perbuatan-perbuatan Allah yang besar.” Pengajaran pada saat itu masih

bersifat lisan, di mana orang tua meneruskan kepada anak-anak mereka apa yang

mereka telah dengar. Sekitar permulaan abad pertama mulai diadakan ”sekolah-

sekolah” yang didirikan oleh Jemaat-Jemaat Yahudi, di mana anak-anak kecil

mendapat pengajaran dari guru Torah. Maksud pengajaran ini bukan untuk

memberikan pengetahuan umum kepada anak-anak, tetapi pengetahuan tentang

Torah.16 Jadi, pengajaran yang dilakukan di dalam perjanjian lama awalnya tidak

seperti pengajaran dalam gereja saat ini. Pada saat itu, anak-anak mendapat

16 J. L. Ch. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 1-3.

Page 2: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

11

pengajaran bukan sebagai syarat untuk diteguhkan menjadi anggota jemaat dewasa

tetapi untuk mempertahankan dan meneruskan Torah dari satu generasi ke generasi

yang lain.

Banyak istilah yang digunakan untuk pengajaran tersebut. Ada istilah

“Paideuein” yang berararti memberikan bimbingan kepada anak-anak supaya

mereka, dalam dunia orang dewasa dapat menempati tempat mereka.

“Manthanein” yang mengindikasikan suatu proses rohani, di mana orang

mencapai sesuatu bagi dirinya untuk perkembangan kepribadiannya. “Ginoskein”

dimana dalam dunia pemikiran Yunani istilah ini bersifat intelektualistis dan dapat

berarti “mengetahui” sesuatu: mengetahui berdasarkan pengalaman. “Didaskein”

yang sering digunakan untuk pekerjaan menyampaikan pengetahuan dengan

maksud supaya orang yang diajar dapat bertindak dengan terampil. “Katekhein”

yang berarti: memberitakan, memberitahukan, mengajar, memberi pengajaran.

Katekhein memiliki rupa-rupa arti: mengatakan, menjelaskan, memberitakan,

memberitahukan, mengajar. 17 Dari berbagai macam arti tersebut, mengajar adalah

yang paling sering dipakai dan yang kemudian digunakan dalam gereja-gereja di

Indonesia.

Di Yerusalem, pengajaran yang sebenarnya sejak abad keempat dimulai

dengan pengakuan iman di mana pemimpin mengucapkan kata-kata pengakuan

iman yang sampai saat itu belum boleh diketahui dan dipelajari oleh para

ketekumen, diikuti oleh suatu penjelasan. Pada waktu yang telah ditentukan para

calon baptisan harus dapat menghafal kata-kata dari pengakuan iman yang mereka

wajib ucapkan pada waktu mereka dibaptis. Untuk maksud itu, disediakan daftar

tanya jawab. Selain dari pengakuan iman, di beberapa tempat diberitahukan juga

17 Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 5-21.

Page 3: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

12

kata-kata dari doa Bapa Kami. Pemberitahuan ini kemudian disusul oleh pelayanan

baptisan. Tetapi, pengajaran baptisan belum berakhir di situ karena sakramen-

sakramen harus dijelaskan terlebih dahulu dahulu. Hal ini dikarenakan Gereja

kuatir jika kesucian sakramen itu akan dinodai. Lamanya pengajaran sesudah

baptisan biasanya satu minggu. Yang diajarkan ialah selain daripada penjelasan

tentang sakramen-sakramen, juga ulangan dari kewajiban-kewajiban yang para

calon baptisan terima sebagai anggota-anggota baru dari gereja.18

Metode pengajaran katekisasi awal mulanya adalah berupa penghafalan dan

metode itu adalah metode umum yang digunakan dalam proses pengajaran. Orang-

orang belum terlalu memedulikan apakah anak-anak dapat memahami dan

menerima pengajaran tersebut. Keberhasilan dari katekisai dilihat dari apakah

anak-anak mampu menghafal dan mengucapkan kembali apa yang telah mereka

hafalkan. Katekisasi pada saat itu masih dilakukan dengan cara yang sangat kaku

sehingga pengajarannya hanya bersifat satu arah. Materi yang diberikan oleh guru-

guru pada saat itu bukan sesuatu yang bisa ditawar tetapi sesuatu yang harus

diterima apabila ingin menjadi bagian dari komunitas agama tersebut.

Dalam akhir abad-abad pertama, katekisasi gereja semakin mendangkal. Hal

ini terutama disebabkan oleh pembaptisan anak-anak yang telah dipraktekkan di

mana-mana pada waktu itu. Oleh praktik ini, pengajaran katekisasi tidak diberikan

lagi kepada anak-anak dari keluarga Kristen. Menurut tradisi yang diikuti pada

waktu itu, katekisasi hanya diuntukkan bagi orang-orang yang berpindah dari

agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan untuk menjadi anggota Gereja.

Karena itu pengajaran katekisasi harus diberikan sebelum baptisan dan sesudah itu

18 Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 31-33.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

13

tidak diperlukan lagi. Jikalau ada pengajaran yang diberikan kepada orang-orang

yang telah dibaptis, pengajaran itu tidak dianggap sebagai katekisasi.19

Dalam abad kedelapan dan kesembilan, ketika Berita Injil disampaikan

kepada bangsa-bangsa German, katekisasi Gereja mengalami suatu pembaharuan.

Pada waktu itu dituntut lagi bahwa orang-orang yang mau menerima baptisan,

harus dipersiapkan dahulu dengan baik. Pembaharuan ini dipengaruhi oleh Karel

Agung yang tidak henti-hentinya memperingatkan supaya orang-orang German

jangan ditobatkan dengan kekerasan. Dengan sangat ia meminta kepada Kaisar

supaya mengutus penginjil-penginjil kepada bangsa-bangsa yang telah ditaklukkan

dengan tugas untuk perlahan-lahan mengajar dan mendidik mereka. Ia mengatakan

bahwa baptisan baru boleh dilayani jika orang-orang yang akan dibaptis itu telah

mendapat pengajaran katekisasi.20

Pembaharuan tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Sesudah Eropa

selesai mengalami Kristenisasi, pengajaran Katekisasi merosot lagi seperti dahulu

dan hanya terdiri dari penghafalan pengakuan iman dan doa (Bapa Kami, dan

kemudian Ave Maria), pengenalan akan sakramen-sakramen dan upacara-

upacaranya, dan pengetahuan akan daftar-daftar dosa di samping dasa firman dan

juga ketujuh mazmur pengakuan dosa. Sejalan dengan itu, kemerosotan katekisasi

gereja juga semakin bertambah besar, sehingga akhirnya dalam abad kelimabelas

katekisasi sama sekali tidak berarti lagi. Katekisasi menjadi semacam “kursi

pengadilan” rohani yang dengan keputusan-keputusan dan hukum-hukumnya

mencakup seluruh hidup anggota jemaat. 21

Kemerosotan yang terjadi pada abad sebelumnya berubah di masa reformasi.

Alkitab kembali menjadi pusat dalam teologia dan dalam praktik gereja. Hal ini

19

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 33-34. 20

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 35-36. 21

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 36-37.

Page 5: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

14

kemudian membawa perubahan besar di bidang katekisasi, tetapi bukan dalam arti

bahwa bahan-bahan tradisional seperti pengakuan iman, doa, dasafirman dan

sakramen-sakramen dibuang atau diganti dengan bahan-bahan lain. Bahan-bahan

itu terus dipakai tetapi sebagai rangkuman dari ajaran Alkitab. Hal ini bisa dilihat

dalam katekismus-katekismus yang tulis oleh para reformator seperti oleh Luther

(Katekismus Besar dan Katekismus Kecil), Calvin (rangkuman dari Institutio dan

Katekismus dari Geneva), Malanchton (Katekismus dalam bahasa Latin dan dalam

bahasa Jerman), Zwingli (yang menyimpang dari kebiasaan itu dengan tidak

membahas dasa firman dan sakramen-sakramen dalam Katekismusnya), Bullinger

(Katekismus Besar), dan lain-lain.22

Perubahan yang dibawa oleh reformasi berlangsung di tiga bidang. Bidang

pertama yaitu isi katekisasi, di mana katekismus-katekismus yang ditulis pada

waktu itu jika dibandingkan dengan buku-buku katekisasi dari abad-abad

pertengahan jelas terlihat bahwa isi katekismus-katekismus jauh lebih baik. Bidang

yang kedua adalah ruang cakup katekisasi, di mana jika dalam abad-abad

pertengahan katekisasi hanya dibatasi pada orang-orang yang berpindah dari agama

kafir ke agama Kristen, pada waktu reformasi katekisasi diperuntukan bagi semua

orang. Bidang yang ketiga adalah cara mempelajari bahan katekisasi. Jika pada

abad-abad pertengahan katekisasi umumnya terdiri dari menghafal bahan-bahan

katekisasi tanpa mengetahui artinya, pada masa reformasi hal ini berubah. Para

reformator tidak setuju dengan hanya menghafal pertanyaan-pertanyaan dan

jawaban-jawaban dalam katekismus.23

Kebiasaan yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Eropa dalam bidang katekisasi

kemudian dibawa masuk oleh pendeta-pendeta zending ke Indonesia dan dipakai

22

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 38-39. 23

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 39-46.

Page 6: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

15

juga dalam Jemaat-Jemaat di sini. Awal katekisasi masuk di Indonesia, ia memiliki

hubungan yang erat dengan pengajaran agama di sekolah. Dalam Sidang Raya

Agung yang diselenggarakan pada tanggal 6 agustus – 2 Oktober 1624 di Betawi

ditetapkan bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak yang bukan Belanda harus

dididik secara Kristen di sekolah-sekolah dan untuk mengajaran agama selanjutnya

anak-anak harus mengunjungi pengajaran katekisasi Gereja”. Pengajaran lanjutan

yang dilakukan di gereja yang diberikan oleh pendeta-pendeta.24

Dalam masa sekarang, katekisasi di Gereja-Gereja berbeda dengan katekisasi

dalam Gereja-gereja pada waktu zending. Perbedaan ini terdapat di berbagai bidang

penting, di antaranya pada bidang tenaga pengajar dan buku-buku yang digunakan

dalam pengajaran katekisasi. Tenaga-tenaga pengajar katekisasi dalam Gereja-

Gereja Indonesia saat ini biasanya merupakan orang-orang yang memperoleh

pendidikan di bidang Pendidikan Agama Kristen (Sarjana PAK). Buku-buku yang

digunakan pun tidak lagi sama dengan yang digunakan pada waktu zending.

Walaupun demikian, masih ada gereja yang tetap menggunakan buku-buku

katekisasi jaman zending seperti katekismus Heidelberg, Katekismus kecil dari

Luther, dan lain-lain.25

Dengan demikian, sejak awal kemunculannya hingga sekarang, ada tiga jenis

katekisasi yang dikenal yaitu katekisasi keluarga, katekisasi sekolah dan katekisasi

gereja atau yang saat ini lebih dikenal dengan katekisasi sidi. Katekisasi keluarga

adalah bentuk purba dari pelayanan katekisasi, di manan pengajaran itu

berlangsung secara lisan dalam keluarga-keluarga Israel. Yang berikutnya adalah

24

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 48-50. 25

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 54-55.

Page 7: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

16

katekisasi sekolah, di mana katekisasi ini dimulai sejak jemaat-jemaat Yahudi

mulai mendapat pengajaran dari guru-guru Torah. Pada jaman sekarang, orang

sering mengaitkan katekisasi sekolah dengan pendidikan agama di Sekolah.

Sedangkan yang terakhir, yang akan menjadi pembahasan penulis adalah katekisasi

gereja atau katekisasi sidi.

2.1.2 Katekisasi Sidi

Dalam Gereja-Gereja Kristen saat ini, ada hubungan yang erat antara

baptisan anak dengan katekisasi dan peneguhan sidi. Peneguhan sidi dilaksanakan

sebagai lanjutan dari baptisan anak untuk menyempurnakannya. Baptisan

merupakan tanda dan bukti bahwa anak-anak telah masuk ke dalam persekutuan

dengan Kristus; mereka sudah menjadi anggota dari tubuh Kristus. Di dalam

katekisasi sidi ini, pesertanya merupakan orang-orang muda jemaat yang berada

dalam fase perkembangan yang paling penting, di mana dalam usia ini mereka

mudah dipengaruhi sehingga kesan-kesan yang diterima oleh mereka pada masa ini

turut menentukan sikap hidup mereka di kemudian hari.26 Katekisasi yang diakhiri

dengan peneguhan sidi seringkali dianggap sebagai penyempurnaan atau lanjutan

dari baptisan. Ketika dibaptis, anak-anak yang masih sangat kecil belum mampu

untuk mempertanggung jawabkan iman mereka. Ketika diteguhkan menjadi

anggota sidi, anak-anak tersebut dianggap sudah mampu untuk mempertanggung

jawabkan pengakuan iman mereka di hadapan Tuhan dan Jemaat.

Katekisasi adalah pelayanan Gereja, di mana bukan saja dalam arti bahwa

Gereja yang menyelenggarakannya tetapi juga bahwa Gereja yang bertanggung

jawab atas perencanaan dan pelaksanaannya. Tujuan katekisasi ialah bukan

pertama-tama supaya anak-anak diteguhkan menjadi anggota sidi dan dengan itu

26

E.G. Homrighausen, I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1984), 124-125.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

17

menjadi anggota penuh dari Gereja. Tujuan katekisasi sesungguhnya ialah supaya

anak-anak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka

dan dengan itu mendapat persekutuan dengan Dia. Selain itu katekisasi juga

bertujuan untuk membina anggota jemaat untuk menyadari tugas mereka di dalam

Gereja dan kemudian mempertanggujawabkan iman mereka di dalam dunia.27

Katekisasi adalah pelayanan jemaat sehingga yang pertama-tama

bertanggungjawab atas pelayanan ini adalah Majelis Jemaat. Yang memiliki

kerlibatan langsung dalam pelayanan katekisasi adalah pemimpin-pemimpin

katekisasi, di mana mereka adalah orang-orang yang setiap minggu memimpin

pelayanan itu. Biasanya pemimpin-pemimpin katekisasi adalah pendeta-pendeta

Jemaat. Menurut Abineno, hal ini tidak selalu menguntungkan karena sebagai

pendeta Jemaat mereka sangat sibuk dalam pekerjaan mereka. Selain itu, sebagai

pendeta, mereka umumnya cukup mempunyai pengetahuan teologis. Tetapi untuk

pelayanan katekisasi mereka membutuhkan lebih banyak daripada hanya

pengetahuan teologis saja. Mereka membutuhkan juga pengetahuan-pengetahuan

lain seperti dalam bidang paedagogis, didaktik, psikologis dan lain-lain. Justru

dalam bidang-bidang ini lah mereka seringkali tidak mempunyai cukup

pengetahuan. Selain pendeta, banyak gereja juga menggunakan tenaga dari jurusan

PAK.28

Tugas dari pemimpin katekisasi menurut Abineno adalah: (1) menyusun

rencana katekisasi tahunan yang ditugaskan oleh Majelis Jemaat kepadanya.

Rencana katekisasi ini dapat memuat banyak hal: bukan saja bahan-bahan

pengajaran untuk satu tahun, tetapi juga buku-buku katekisasi yang digunakan,

metode atau cara yang dipakai, waktu yang dibutuhkan, tujuan yang mau dicapai

27

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 99-100. 28

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 104-105.

Page 9: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

18

dan lain-lain.29 Unsur-unsur yang terkandung dalam rencana katekisasi yang

dimaksud oleh Abineno dapat dikategorikan sebagai kurikulum katekisasi. Di

beberapa sinode, penyusunan kurikulum menjadi tugas dan tanggung jawab sinode

tetapi setiap gereja berhak untuk menyusun kurikulum sendiri menyesuaikan

keadaan jemaatnya. (2) mempersiapkan katekisasi (bahan yang mau diajarkan

dengan pengikut-pengikutnya) dengan baik. (3) menilai atau mengevaluasi setiap

mengajaran yang diberikan. (4) mengadakan percakapan dengan pengikut-pengikut

katekisasi, khususnya tentang hal-hal yang tidak dapat mereka cerna atau sulit

pahami. (5) mengadakan pertemuan dengan para orang tua dan Majelis Jemaat

untuk membicarakan tugas mereka bersama. (6) mengadakan kunjungan ke rumah

para orang tua untuk membicarakan keadaan anak-anak mereka yang sedang

mengikuti katekisasi.30

Sebagian besar gereja-gereja di Indonesia memberi batas usia minimal bagi

katekumen ialah mulai dari usia 16 tahun hingga dewasa. Menurut Fowler, Ketika

berada dalam usia remaja, seseorang berada dalam tahap kepercayaan sintetis-

konvensional.31

Dalam tahap ini terjadi perombakan baru dalam struktur pengertian

remaja. Muncul berbagai macam kemampuan kognitif yang membuat remaja

terpaksa meninjau kembali pandangan hidupnya. Dalam konteks baru tersebut

remaja dapat menyusun gambaran diri yang baru pula. Gambaran ini dibangun

dalam ketergantungannya pada orang-orang lain yang berarti baginya. Banyaknya

pribadi lain yang memengaruhi penyusunan gambar diri ini terkadang bertentangan

satu sama lain. Hal ini yang kemudian memunculkan pertanyaan dalam diri remaja

29

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 106. 30

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 106-18. 31

Fowler membagi tahap perkembangan kepercayaan manusia ke dalam 7 tahapan. Tahapan-tahapan ini dibagi berdasarkan batas-batas usia tertentu. Ketujuh tahapan kepercayaan tersebut adalah: Tahap kepercayaan awal dan Elementer (0-2 tahun), tahap intuitif-proyektif (2-6 tahun), tahap mistis-harfiah (6-11 tahun), tahap sintetis-konvensional (12 sampai dewasa), tahap individuatif-reflektif (18 tahun dan seterusnya), tahap konjungtif (30-40 tahun) dan yang terakhir tahap kepercayaan yang mengacu pada universalitas. Lihat Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, (Jogjakarta: Kanisius, 1995), 95-218.

Page 10: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

19

tentang siapakah dia? Gambaran diri yang manakah yang sesuai dengan dirinya

yang sebenarnya? dan pertanyaan mengenai jati diri mulai menghantui pikiran

mereka.32

Selain itu, dalam usia remaja memiliki kondisi dan kebutuhan yang

berbeda dari orang dewasa, antara lain:33

1. Masa remaja adalah masa transisi: mada masa ini anak berada dalam masa

pubertas di mana ia m engalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis.

Selama masa ini terjadi banyak gejolak dalam berbagai bentuk. Pada masa ini,

seorang anak mencoba meninggalkan hal-hal yang kekanak-kanakan dalam

usahanya untuk menjadi seseprang dengan identitas yang unik.

2. Masa remaja adalah masa bertanya: pada masa ini umumnya remaja mulai

mempertanyakan banyak hal yang sudah diajarkan kepada mereka. Banyak

mitos masa kanak-kanak yang diragukan pada waktu mereka menemukan

cara-cara baru dalam memandang realitas. Mereka tidak lagi percaya pada apa

yang dikatakan atau diajarkan hingga mereka mendapatkan kepastian bahwa

nilai-nilai serta kepercayaan tadi mempunyai validitas bagi kehidupan mereka

yang mulai memasuki kedewasaan.

3. Masa remaja adalah masa keterbukaan: Bagi kebanyakan remaja, usaha

mencari/mendapatkan identitas baru merupakan suatu proses yang penuh

dengan coba-coba, yang menyebabkan karakteristik mereka sukar ditebak.

Mereka akan menerima suatu hal pada suatu kesempatan, tetapi pada

kesempatan lain mereka menolaknya sama sekali.

4. Masa remaja adalah masa mengambil keputusan: remaja sering membuat

sejumlah keputusan dan komitmen. Beberapa diantaranya mungkin bertahan

lama. Namun, apabila keputusan mereka akan menjadi sesuatu yang berarti,

32

Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, 134-135. 33

Daniel Nuhamara, PAK Remaja (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 10-14.

Page 11: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

20

keputusan tersebut haruslah merupakan akibat dari proses pemahaman dan

pengujiannya sendiri. Mereka membuat sejumlah besar keputusan yang tidak

dewasa, namun dengan melakukan hal itu mereka merasa puas atau memenuhi

diri sendiri. Upaya mereka untuk mencari kebebasan menyebabkan mereka

membuat sebanyak mungkin keputusan yang dapat membimbing kehidupan

mereka.

Menurut Abineno, ada banyak perbedaan yang dapat dijumpai dalam diri

mereka, di antaranya: (1) perbedaan motivasi: yang seorang datang mengikuti

katekisasi karena diharuskan oleh orang tuanya, yang lain datang karena

kemauannya. (2) perbedaan umur: dalam katekisasi sidi biasanya terdapat anak-

anak muda yang berumur tujuh belas tahun keatas. (3) perbedaan pendidikan:

perbedaan ini biasanya lebih menonjol. Dalam katekisasi sidi terdapat anak-anak

muda yang hanya berpendidikan rendah, ada pula yang menengah maupun yang

tinggi. (3) perbedaan maksud dan tujuan: ada yang datang mengikuti katekisasi

karena ia mau memperdalam pengetahuannya tentang “soal-soal rohani”, dan ada

pula yang datang karena ia mau mengetahui lebih banyak tentang agama Kristen.34

Perkembangan remaja dan perbedaan-perbedaan dalam diri remaja ini tentu saja

memengaruhi proses pengajaran katekisasi, sehingga para pengajar dituntut untuk

mampu menyesuaikan bentuk pengajarannya agar dapat diterima oleh semua

kelompok usia, pendidikan maupun perbedaan latar belakang lainnya.

2.2 Kurikulum Pendidikan Agama Kristen

Berbicara mengenai pendidikan, hal ini tidak terlepas dari apa yang disebut

dengan kurikulum. Pengertian kurikulum sendiri di antara para ahli tidak pernah sama.

Mereka memiliki pandangan dan pengertian yang berbeda-beda mengenai kurikulum.

34

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 110-111.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

21

Beberapa ahli mengartikannya secara sempit (terbatas pada rancangan/daftar materi

pelajaran) dan ada pula yang mengartikannya secara luas (mencakup seluruh proses

pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas). Salah satu definisi kurikulum yang

Peneliti gunakan dalam penulisan ini adalah definisi kurikulum oleh Hilda Taba seperti

yang dikutip dalam Rakhmat Hidayat. Ia memilih untuk mendefinisikan kurikulum

dengan mengambil jalan tengah, yaitu tidak secara sempit dan tidak pula terlampau luas.

Taba mengatakan bahwa kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan

yang bersifat umum dan khusus, dan materinya dipilih dan diorgnanisasikan berdasarkan

suatu pola tertentu untuk kepentingan proses belajar-mengajar. Biasanya dalam suatu

kurikulum sudah termasuk dengan program penilaian hasilnya.35 Taba seperti yang

dikutip dalam Nasution juga menambahkan bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum

merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota

yang produktif dalam masyarakatnya.36

Pengertian Kurikulum lainnya, menurut UU. No. 20 Tahun 2003 adalah

seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta

cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk

mencapai tujuan pendidikan nasional.37

Dalam menyikapi perbedaan definisi ini, harus

disadari bahwa kurikulum merupakan pilihan, di mana hal ini bergantung pada pendirian

atau sikap seseorang tentang pendidikan. Pada umumnya dapat dibedakan dua pendirian

utama, yakni yang tradisional dan yang progresif. Kurikulum tradisional sifatnya ingin

mengawetkan yang lama. Hal ini tidak selamanya buruk dan merugikan jika yang

diawetkan adalah hal-hal yang baik seperti nilai-nilai, dan sebagainya. Namun dalam

masa perubahan yang serba dinamis ini menutup mata bagi perubahan akan merugikan

35

Rakhmat Hidayat, Pengantar sosiologi kurikulum (Jakarta: Rajawali pers, 2011), 9 36

S. Nasution, Asas-asas kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 7 37

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB I: Pasal 1.

Page 13: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

22

diri sendiri. Sebaliknya kurikulum progresif juga tidak dengan sendirinya baik dan luput

dari berbagai kekurangan. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi.38

Di dalam Pendidikan Agama Kristen secara khusus, terciptanya keputusan-keputusan

secara langsung dapat memengaruhi praktek pendidikan secara aktual. Keputusan-

keputusan ini secara khusus berkaitan dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi

sebuah kurikulum. Para pendidik Kristen bisa mengeksplorasi hal-hal mendasar dari

kurikulum degan berfokus pada realitas yang konkrit dan kepedulian untuk

mengembangkan panduan praktis bagi pengajaran.39

Pengambilan keputusan mengenai

kurikulum bersifat krusial karena melalui kurikulum, nilai-nilai pendidikan dan

komitmen mengambil bentuknya dan secara nyata diwujudkan dalam praktek

pendidikan. Kurikulum adalah saranan atau medium yang melaluinya visi pendidikan

mampu berakar.40

Ketika mengambil keputusan untuk menggunakan kurikulum yang sudah ada, ada

beberapa area penting yang harus dieksplorasi. Pertama, apakah teologi yang digunakan

penyusun kurikulum sesuai dengan teologi yang dianut gereja? apakah konsep teologi

yang ada dalam kurikulum tersebut sesuai bagi peserta didik dari berbagai tingkat usia

dan komprehensif dalam penyampaiannya? Kedua, apakah kurikulum tersebut

menyatakan Alkitab sebagai otoritas tertinggi yang dijunjung oleh gereja atau komunitas

yang dilayani? Apakah aktivitas pembelajaran bervariasi dan relevan dengan situasi

hidup mereka? Apakah peserta didi secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan

ditantang untuk menjawab pertanyaan tentang iman Kristen yang tepat? Apakah rencan

pembelajaran memberikan kesempatan untuk mengadaptasi materi supaya bisa

disesuaikan dengan batasan waktu, sumber daya yang tersedia, ukuran kelas, dan

berbagai kemampuan peserta didi yang berbeda? Apakah materi yang disampaikan

38

Nasution, Asas- asas kurikulum, 15. 39

Pazmino, Fondasi pendidikan kristen, 321. 40

Pazmino, Fondasi pendidikan kristen, 325.

Page 14: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

23

sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan dan fokus dari peserta didik? Dan yang

terakhir apakah tampilan, warnha dan kualitas materi yang disampaikan menarik dan

membuat orang memperhatikannya?41

2.2.1 Konsep Kurikulum

Keberadaan kurikulum dalam suatu proses pendidikan dapat membantu

dalam mengarahkan proses pendidikan menuju pada tujuan yang ingin dicapai.

Selain memiliki beberapa definisi, kurikulum juga memiliki beberapa konsep,

antara lain:42

1. Kurikulum ideal (ideal curriculum), yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang

baik, yang diharapkan atau dicita-citakan, sebagaimana dimuat dalam buku

kurikulum.

2. Kurikulum nyata (real curriculum), yaitu kegiatan-kegiatan nyata yang

dilakakukan dalam proses pembelajaran atau yang menjadi kenyataan dari

kurikulum yang direncanakan, sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum.

Kurikulum ini seyogianya sama dengan kurikulum ideal, atau sekurang-

kurangnya mendekati kurikulum ideal, meskipun tak mungkin sama dalam

kenyataannya.

3. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu kebiasaan-kebiasaan yang

dilakukan oleh pengajar baik disengaja maupun tidak yang dapat memberikan

dampak dalam proses pendidikan.

4. Kurikulum dan pembelajaran, yaitu kurikulum bukan sekedar apa yang

dirancangkan di awal, tetapi mencakup apa yang dilaksanakan di lapangan

(termasuk metode pengajaran yang digunakan, tenaga pengajar, peserta didik

hingga tujuan yang ingin dicapai).

41 Pazmino, Fondasi pendidikan kristen,328-329 42

Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: Rosda, 2012), 7-8.

Page 15: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

24

2.2.2 Komponen Kurikulum

Ralph W. Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and

Instruction (1949) mengajukan 4 pertanyaan pokok, yakni:43

1) Tujuan apa yang harus dicapai dalam proses pendidikan?

2) Bagaimanakah memilih bahan pengajaran guna mencapai tujuan itu?

3) Bagaimana bahan disajikan agar efektif diajarkan?

4) Bagaimana efektivitas belajar dapat dinilai?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka diperoleh keempat

komponen kurikulum yakni, (1) tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) proses belajar-

mengajar, (4) evaluasi atau penilaian.44

1) Komponen Tujuan

Komponen kurikulum mempunyai peranan yang sangat penting dan

strategis, karena akan mengarahkan dan memengaruhi komponen-komponen

kurikulum lainnya. Setiap rumusan tujuan pendidikan harus bersifat

komprehensif, yaitu mengandung bidang pengetahuan, keterampilan, sikap

dan nilai. Dalam penyusunan kurikulum, perumusan tujuan ditetapkan terlebih

dahulu sebelum menetapkan komponen yang lain.

2) Komponen Isi/ Materi

Isi/materi kurikulum pada hakikatnya adalah semua kegiatan dan

pengalaman yang dikembangkan dan disusun dalam rangka mencapai tujuan

pendidikan. pemilihan isi kurikulum dapat mempertimbangkan kriteria sebagai

berikut: (a) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (b) sesuai dengan tingkat

perkembangan peserta didik, (c) bermanfaat bagi peserta didik, masyarakat,

dunia kerja, bangsa dan negara, baik untuk masa sekarang maupun masa yang

43

Nasution, Asas- asas kurikulum, 17. 44

Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, 82-94.

Page 16: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

25

akan datang, dan (d) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

3) Komponen Proses

Proses pelaksanaan kurikulum harus menunjukkan adanya kegiatan

pembelajaran, yaitu upaya guru untuk membelajarkan peserta didik, baik di

sekolah melalui kegiatan tatap muka, maupun di luar sekolah melalui kegiatan

terstruktur dan mandiri. Dalam konteks ini, guru di dituntut untuk

menggunakan berbagai strategi pembelajaran, metode mengajar, media

pembelajaran, dan sumber-sumber belajar. Pemilihan strategi pembelajaran

harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum.

4) Komponen Evaluasi

Evaluasi kurikulum merupakan usaha yang sulit dan kompleks, karena

banyak aspek yang harus dievaluasi, banyak orang yang terlibat, dan luasnya

kurikulum yang harus diperhatikan. Ada beberapa model evaluasi kurikulum,

antara lain model measurement (Thorndike dan Ebel), model congruence

(Ralph W. Tyler), model CIPP (Daniel L. Stufflebeam), model illuminative

(Malcolm Parlett), dan model formative dan sumative (Scriven).

Keempat komponen tersebut saling berhubungan. Komponen Tujuan

menentukan materi apa yang akan dipelajari, bagaimana proses belajarnya, apa

atau bagaimana harus dinilai. Demikian pula penilaian dapat memengaruhi

komponen lainnya. Misalnya saja, pada saat pendidik memilih evaluasi dalam

bentuk ujian, maka timbul kecenderungan untuk menjadikan bahan ujian sebagai

tujuan kurikulum. Evaluasi seperti ini yang menyebabkan proses belajar mengajar

cenderung mengutamakan latihan dan hafalan.

Page 17: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

26

Dalam menyusun keempat komponen kurikulum tersebut, pengajar

terlebih dahulu melakukan Need Assesment. Need Assesment sendiri merupakan

proses dimana pengajar melihat kebutuhan dari peserta didik dan memutuskan apa

prioritas mereka atau apa yang hendak dicapai dalam proses pendidikan tersebut.45

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Asas kurikulum, Need Assesment dan

komponen kurikulum memiliki kaitan yang erat satu dengan yang lain, di mana

dalam penyusunan komponen kurikulum, dibutuhkan need assesment yang

didasarkan pada asas-asas kurikulum.

2.3 Latar Belakang Munculnya Pedagogi Pembebasan Paulo Freire

Kata Pedagogi berasal dari bahasa Yunani paidaegoge. Secara harafiah pedagogi

berarti “memimpin anak”. Dalam bahasa Yunani Kuno, umumnya kata pedagogi

bermakna seorang budak yang mengawasi pengajaran putra majikannya. Ketika itu, anak

perempuan tidak umum diberikan pengajaran khusus. Kata pedagogi ini diturunkan dari

bahasa Latin yang bermakna: mengajari anak. Dalam makna modern, istilah pedagogy

dalam bahasa Inggris merujuk kepada seluruh konteks dan sumber daya operasi

pengajaran dan pembelajaran yang secara nyata terlibat di dalamnya. Pedagogy dalam

bahasa Inggris merujuk kepada teori pengajaran, dimana guru berusaha memahami

bahan ajar, mengenali siswa, dan menentukan cara mengajarnya.46 Walaupun secara

harafiah pengertian pedagogi dalam bahasa Yunani Kuno dan dalam bahasa Inggris

memiliki perbedaan, tetapi keduanya sama-sama berkaitan dengan pendidikan dan

pengajaran.

Pedagogi Pembebasan muncul sebagai reaksi atas keprihatinan Freire terhadap

kondisi masyarakat Brasil pada masa penjajahan. Pada masa itu, Brasil berada di bawah

45

John D. McNeil, Contemporary Curriculum: In thought and Action (Los Angels: University of California, 2014), 91-92.

46 Sudarwan Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi (Bandung: Alfabeta. 2010), 47-48.

Page 18: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

27

kekuasaan Portugal. Salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat Brasil pada saat itu

adalah tidak adanya pengalaman demokrasi. Hampir semua penganalisis sejarah dan

kebudayaan Brasil mencatat tentang tidak adanya prasyarat-prasyarat bagi

berkembangnya tindakan partisipasi, yang memungkinkan terbentuknya masyarakat

“dengan tangan sendiri”. Brasil berkembang dalam kondisi-kondisi yang menghalangi

bertambahnya pengalaman demokrasi, kondisi kepala tertunduk, ketakutan terhadap

mahkota, tiadanya pers, tanpa hubungan luar negeri, tanpa sekolah, dan tanpa memiliki

suara sendiri. 47

Kolonialisasi yang terjadi sangat keji dan didasari oleh eksploitasi ekonomi aras

pemilikan tanah yang luas dan tenaga budak. Kolonisasi semacam ini tidak dapat

menciptakan kondisi-kondisi yang layak untuk berkembangnya mentalitas yang dapat

ditembus dan fleksibel, yang menjadi ciri kebudayaan demokratis. Sejak semula,

kolonisasi di Brasil hanya mementingkan usaha komersial. Portugal tidak berniat

menciptakan peradaban di tanah jajahan yang baru, ia hanya berusaha untuk memperoleh

keuntungan.48

Kolonisasi di Brasil juga berkembang atas dasar pemilikan tanah yang luas dalam

bentuk perkebunan dan pabrik gula. Areal tanah yang sangat luas ini diberikan kepada

pribadi-pribadi, yang kemudian menguasai baik tanah maupun orang-orang yang hidup

dan bekerja atas tanah itu. Karena pemilikan tanah yang luas dan terpisah-pisah ini,

penduduk tidak punya pilihan lain selain menjadi anak buah dari para tuan tanah yang

berkuasa. Pada akhirnya, perkebunan yang sangat luas, langkanya penduduk karena

negara induk menghambat usaha pemukiman, semangat dagang para perantai,

mengakibatkan terciptanya lembaga perbudakan. Kenyataan ini menciptakan serangkaian

47

Paulo Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan. Terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: Gramedia. 1984), 21. 48

Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 22.

Page 19: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

28

hambatan dalam pembentukan mentalitas demokrasi, dan pembentukan kesadaran yang

terbuka.49

Pada masa penjajahan, Portugal memperlakukan Brasil menjadi hampir terisolasi

total. Pembatasan-pembatasan drastis dikenakan tidak hanya untuk hubungan-hubungan

luar negeri, tetapi juga untuk hubungan-hubungan antar daerah sendiri. Selain itu, di

Brasil hampir tidak terdapat cita-cita demokrasi. Yang ada ialah kepatuhan yang telah

diciptakan oleh metropolit Portugal. Mereka yang memerintah sesudah masa

kemerdekaan hanya menirukan cara penjajah pemerintah. Selain itu, kabinet dan senat

kolonial memberikan kesempatan untuk pengalaman demokrasi, tetapi rakyat tidak dapat

berpartisipasi dalam lembaga-lembaga ini. kelas yang mempunyai hak-hak istimewa

yang dapat memerintah dewan kota, yang namanya tercantum dalam buku orang-orang

terhormat. Mereka merupakan wakil-wakil dari para bangsawan gula, para tuan tanah,

para nigrat, dan juga para orang kaya baru yakni mereka yang telah berhasil dalam

perdagangan dan diangkat menjadi bangsawan. Orang-orang biasa tidak diikutsertakan

dalam proses pemilihan dan tidak diperbolehkan menentukan nasib masyarakatnya

sendiri.50

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa munculnya pedagogi pembebasan

terjadi ketika Brasil berada dalam masa kolonisasi. Di mana hal ini membuat masyarakat

biasa tidak mendapat hak untuk menentukan pilihan. Pada masa ini, tidak ada demokrasi

sehingga keputusan-keputusan yang diambil merupakan wewenang dari kaum-kaum

penguasa. Masyarakat biasa menerima nasib mereka yang ditentukan oleh penguasa dan

mereka menjadi budak di negara sendiri. Kaum-kaum elit menjalankan pemerintahan

dengan kepentingan pribadi guna memperoleh keuntungan.

2.3.1 Awal Kemunculan Pedagogi Pembebasan Paulo Freire

49

Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 22 – 23. 50

Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 25-26.

Page 20: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

29

Paulo Freire lahir dan dibesarkan dalam kalangan kelas menengah Brasil.

Sekalipun latar belakang yang ia miliki menjaminnya untuk hidup terjamin, tetapi

Freire mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar

1929. Pengalaman ini yang kemudian membentuk keprihatinannya terhadap kaum

miskin dan ikut membangun dunia pendidikannya yang menembus batas-batas

yang ada. Seperti simbol kelas menengah yang lain, keluarga Freire juga selalu

mengenakan dasi dan memiliki piano buatan Jerman di rumah mereka,

menunjukkan warisan keluarga kelas menengah mereka tapi berdiri berbeda

dengan kondisi sebenarnya mereka yang sebenarnya berada dalam kemiskinan.

Merefleksikan situasi mereka, Freire mencatat, “Kami berbagi rasa lapar tapi tidak

kelas”. Pengalaman hidup dan keprihatinan ini yang melatarbelakangi penolakan

radikal Freire terhadap masyarakat berbasis kelas.51

Adanya pembagian kelas di

Brasil membuat hak-hak dari masyarakat biasa menjadi hilang. Mereka menjadi

masyarakat yang tunduk dan patuh pada kekuasaan yang ada. Hak untuk memilih,

menentukan, merasakan pendidikan, mendapatkan hidup layak hanya menjadi

milik dari kaum bangsawan, tuan tanah dan masyarakat ekonomi menengah keatas

lainnya.

Pedagogi Pembebesan yang diperkenalkan oleh Freire muncul sebagai reaksi

atas situasi Brasil yang mulai bergejolak sehingga menimbulkan banyak gerakan

reformasi di awal tahun 1960an. Dari 34,5 juta penduduk, hanya 15,5 juta orang

yang dapat berpartisipasi dalam memberikan suara. Hal ini dikarenakan banyak

masyarakat pedesaan yang miskin dan buta aksara. Harapan akan perubahan ini

yang membawa Freire menjadi kepala Cultural Extention Service yang pertama di

Universitas Recife, yang membawa program melek hurufnya yang terkenal sebagai

51

Paulo Freire, Pedagogy Of The Oppressed. Terj. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum. 2000), 13.

Page 21: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

30

metode Freire kepada petani di Timur Laut. Mulai Juni 1963 sampai maret 1964,

Tim Freire bekerja di seluruh negeri. Mereka menyatakan diri berhasil dalam

menarik minat orang dewasa yang buta huruf untuk belajar membaca dan menulis

hanya dalam waktu 45 hari.52

Metode yang diperkenalkan Freire ini menjadi sangat berhasil karena proses

penyadaran yang digunakan Freire untuk menggambarkan pendidikan yang otentik.

Kepasifan dan fatalisme para petani dengan segera menyusut saat kemampuan baca

tulis dapat diraih dan dihargai. Namun karena metode ini dianggap mempolitisir

dan sangat radikal di mata militer Brasil dan para pemilik tanah, Freire dimasukkan

ke dalam penjara selama 70 hari. Di dalam penjara inilah Freire mulai menuliskan

karya kependidikannya yang pertama Educacao como Practicia da Liberdade

(Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan) yang berisi analisis atas kegagalannya

memengaruhi perubahan di Brasil harus diselesaikan di Chili, tempat ia dibuang.53

Kritik dari Freire menyajikan suatu pandangan filosofis tentang kemungkinan

dari para lelaki dan perempuan untuk mentransformasikan sejarah dan menjadi

subjek-subjek melalui suatu refleksi yang kritis. Freire beranggapan bahwa mereka

dapat menemukan diri mereka sendiri. Setiap orang datang untuk melihat dunia

bukan sebagai realitas statis tetapi sebagai realitas dalam proses transformasi.

Freire membandingkan kemungkinan ontologis setiap orang untuk menjadi subjek

dengan suatu masyarakat tertutup yang terjajah, di mana kekuasaan dijalankan oleh

mereka yang mengeksploitasi Brasil hanya untuk dikembalikan kepada portugal.

Kritik ini membawa Freire pada upaya untuk membebaskan masyarakat biasa dari

penindasan yang tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya

tetapi juga dalam bidang pendidikan.

52 Denis Collin, Paulo Freire: kehidupan, karya dan pemikirannya (Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 1999), 9-11. 53

Collin, Paulo Freire: kehidupan..., 11-14.

Page 22: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

31

Melalui refleksi dan analisisnya, Freire menemukan bahwa pendidikan

haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri

yang bersifat objektif dan subjektif dalam arti kesadaran subjektif dan kemampuan

objektif adalah suatu fungsi dialektis yang konstan dalam diri manusia dalam

hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya.

Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur dalam hubungan

dialektisnya yang konstan yaitu pengajar dan pelajar sebagai subjek yang sadar dan

realitas dunia sebagai objek yang tersadari atau disadari.54

Dengan proses semacam

inilah, Freire mengharapkan agar masyarakat tidak lagi menerima keadaan mereka

sebagai sebuah nasib yang harus diterima dan tidak dapat diperbaiki. Ia mencoba

mengajak masyarakat biasa untuk melihat realita yang ada melalui sudut pandang

dan refleksi kritis mereka sendiri.

Sistem pendidikan seharusnya menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat

manusia. Sistem pendidikan yang mapan selama ini telah menjadikan anak didik

sebagai manusia-manusia terasing dan terpisah dari realitas dirinya sendiri dan

realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi seperti orang

lain, bukan menjadi dirinya sendiri. Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya

akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya,

namun tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi

penonton dan peniru, bukan pencipta. Akhirnya Freire sampai pada formulasi

filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakan sebagai “pendidikan kaum

tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama

dengan, dan bukan diperuntukkan bagi kaum tertindas. Untuk itu, Freire kemudian

menciptakan suatu sistem pendidikan pembaharuan di mana bagi Freire,

54 Freire, Politik pendidikan, ix-x.

Page 23: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

32

pendidikan ditujukan untuk pembebasan dan bukan untuk penguasaan. Pendidikan

harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial budaya.55

Sambil menjalani hidup bersama dengan penduduk tani Brasil, Freire

melakukan redefinisi dan melihat konsep pemberantasan buta huruf dari kacamata

politik, Freire mengembangkan analisa kritis yang sama di mana dia menegaskan

bahwa bentuk pendidikan tradisional pada dasarnya berfungsi untuk

menyingkirkan kaum tertindas. Lebih dari itu, dia juga mengeksplorasi secara

mendalam karakteristik budaya yang mendominasi, dan melakukan analisa secara

sistematis bagaimana budaya tersebut hidup dengan adanya praktik-praktik sosial

dan buku-buku tertentu yang bertujuan menciptakan dan menjaga keberlangsungan

budaya bisu masyarakat Brasil.56

Meskipun Freire tidak menggunakan istilah kurikulum maupun hidden

curriculum dalam wacananya, tetapi ia menggunakan pendekatan pedagogis

sehingga peserta didik dapat mengetahui bahwa pendidikan dengan materi

pelajaranya mengandung muatan ideologis yang bentuk, isi dan pengurangan

materi pelajaran yang dilakukan secara selektif membutakan orang akan adanya

logika dominasi dan tertindas. Kemudian Freire menjelaskan hubungan antara

seleksi, diskusi dan evaluasi materi pelajaran di sekolah dengan proses pedagogis

yang melengkapi fenomena pendidikan saat ini. Dalam pandangannya, tidak

mungkin memisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena penyelenggaraan

pendidikan pasti berkaitan erat dengan pengetahuan dan gerakan sosial yang

radikal.57

2.3.2 Kritik Terhadap Model Pendidikan Gaya Bank Yang Menindas

55

Freire, Politik pendidikan, xii - xiii. 56 Freire, Politik pendidikan, 10-11. 57 Freire, Politik pendidikan, 11.

Page 24: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

33

Sekalipun Brasil telah terlepas dari penjajahan Portugal, sistem

pemerintahan yang berlangsung pada masa itu masih banyak dipengaruhi oleh

sistem kolonialisme Portugal. Sistem ini membuat para penguasa menjadi subjek-

subjek aktif yang berhak mengatur dan menentukan, sedangkan masyarakat biasa

menjadi sekedar objek-objek yang wajib menerima pandangan dan keputusan dari

pengusa. Hal ini juga terjadi dalam sistem pendidikan yang ada dan berlangsung

pada saat itu. Freire melihat bahwa pada masa itu, model pendidikan yang

berlangsung masih bersifat naratif dengan ciri utamanya adalah guru sebagai

subyek bercerita dan murid-murid sebagai obyek yang patuh dan mendengarkan.

Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi

empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup.

Guru menceritakan sebuah topik yang asing bagi pengalaman eksistensial para

murid. Tugasnya dalah “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan,

bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkan dan

dapat memberinya arti. Murid mencatat, menghafal dan mengulangi apa yang

diceritakan oleh guru tanpa memahami apa arti sesungguhnya.58

Freire melihat bahwa sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama

ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di

mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil

dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito

potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomis lainnya yang lazim

dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-

lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositornya

adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun

58

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 52.

Page 25: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

34

lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana

tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya

kelak.59

Jadi guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif

yang penurut. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi

informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan.

Pembicaraan guru tentang suatu realitas itu seolah-olah bergerak, statis,

terkotak dan dapat diprediksi. Substansi yang disampaikan guru bagaikan alur

cerita sinetron yang mudah dibaca dan membosankan. Seandainyapun guru

berusaha memperluas sesuatu yang sepenuhnya asing bagi pengalaman eksistensial

murid, hal itu tetap kurang menyentuh realitas. Tugas guru seakan-akan hanya

untuk “mengisi” murid dengan isi narasi versi guru yang terlepas dari realitas,

terputus dari totalitas pemaknaan yang sesungguhnya dikehendaki atau bermanfaat

bagi murid. Apa yang guru ajarkan hanya kisaran format: lima kali lima adalah dua

puluh lima; Ibukota Indonesia adalah Jakarta dan sebagainya. Murid hanya

mencatat, menghafal, dan mengulangi ungkapan-ungkapan guru tanpa memahami

apa esensi “lima” atau apa esensi “ibu kota”.60

Pendidikan bercerita dengan guru sebagai pencerita akan mengarahkan

murid untuk menghafal secara mekanis isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk

lagi, murid diubah menjadi “bejana-bejana” atau wadah-wadah kosong untuk diisi

oleh guru. Semakin penuh guru mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula ia

sebagai seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik

pula mereka sebagai murid. Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan

menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya.

Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-

59

Freire, Politik pendidikan, x-xi. 60

Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi, 77-78.

Page 26: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

35

pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan

patuh oleh para murid.61

Hal ini yang dimaksud oleh Freire sebagai konsep

pendidikan “gaya bank”, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para

murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Padahal menurut

Freire, tanpa usaha mencari, tanpa praksis, manusia tidak akan menjadi benar-

benar manusiawi.

Dalam konsep “pendidikan gaya bank”, pengetahuan adalah hadiah yang

diberikan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan atas orang-orang

yang mereka anggap tidak tahu apa-apa. Inilah karakteristik dari ideologi

penindasan, meniadakan pendidikan dan pengetahuan sebagai proses penyelidikan,

pemecahan masalah atau pencarian dan penemuan. Pekerjaan murid tidak lebih

dari menyimpan deposito yang dipercayakan kepada mereka. Murid kurang

mengembangkan kesadaran kritis akan hasil dari intervensi mereka di dunia

sebagai transformator dari dunia itu. Semakin benar-benar mereka menerima peran

pasif yang dikenakan pada mereka, semakin mereka cenderung hanya beradaptasi

dengan dunia seperti apa adanya.62

Secara sederhana, Freire menggambarkan keadaan dalam pendidikan gaya

bank seperti demikian:63

1. Guru mengajar, murid diajar

2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa

3. Guru berpikir, murid menyadap pikiran guru

4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan

5. Guru menentukan peraturan, murid diatur

6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui

61

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 52. 62

Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi, 79-80. 63

Freire, Pendidikan kaum tertindas., 53-54.

Page 27: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

36

7. Guru bertindak, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan

gurunya

8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan

pelajaran itu

9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan

jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid

10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka

Tidak mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang

manusia sebagai makluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang

diatur. Semakin banyak murid menyimpan tabungan yang dititipkan kepada

merekam semakin mereka kurang dalam mengembangkan kesadaran kritis yang

dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut.

Semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya,

mereka semakin cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya

serta pandangan terhadap realitas yang terpotong-potong sebagaimana yang

ditanamkan kepada diri mereka.64

2.3.3 Mengganti Model Pendidikan Gaya Bank (Banking Style of Education)

Dengan Pendidikan Hadap Masalah (Problem posing Education)

Dalam pengamatan freire, praktek pendidikan selalu mencakup: subjek atau

pelaku (orang yang mengajar dan memberitahu); orang yang belajar, tetapi turut

serta “memberi pelajaran”; objek yang harus diajarkan atau diberitahu; metode

yang digunakan oleh orang yang mengajar untuk menyampaikan isi pengajaran.65

Bagi Freire, hanya melalui komunikasi manusia dapat menemukan hidup yang

bermakna. Guru tidak dapat berpikir untuk murid-muridnya, atau tidak dapat

64

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 54-55. 65

Paulo Freire, Pedagogy of hope. Terj. Robert R. Barr (New York: Bloomsbury Revelations. 2014), 108.

Page 28: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

37

memaksakan pikirannya pada mereka. Model pendidikan gaya bank akan selalu

berusaha mengendalikan pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar

menyesuaikan diri terhadap dunia dan menghalangi kemampuan kreatif mereka.

Untuk itu Freire menawarkan suatu konsep pendidikan yang membebaskan yang

disebutnya sebagai pendidikan hadap masalah. Model pendidikan hadap masalah

ini pertama-tama menuntut adanya pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan

murid. Hubungan dialogis yang harus ada pada para pelaku pemahaman untuk

bersama-sama mengamati obyek yang sama.66

Pendidikan hadap masalah ini menolak pola hubungan vertikal dalam

pendidikan gaya bank. Melalui dialog, guru tidak lagi menjadi orang yang

mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialogi dengan para murid,

yang pada akhirnya di samping diajar mereka juga mengajar. Mereka semua

bertanggung jawab terhadap suatu proses tempat mereka tumbuh dan berkembang.

Metode ini tidak akan menganggap obyek-obyek yang dapat dipahami sebagai

milik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para murid serta dirinya sendiri.

Dengan cara ini, pendidik hadap masalah secara terus menerus memperbaharui

refleksinya di dalam refleksi para murid. Murid yang bukan lagi pendengar yang

penurut telah menjadi rekan pengkaji yang kritis melalui dialogi dengan guru. Guru

menyajikan pelajaran kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji

kembali pemikirannya yang terdahulu ketika murid mengemukakan hasil

pemikiran sendiri.67

Pendidikan gaya bank berusaha mempertahankan penenggelaman

kesadaran, sementara pendidikan hadap masalah berjuang bagi kebangkitan

kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas. Melalui pendidikan hadap masalah

66

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 64. 67

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 65-66.

Page 29: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

38

ini juga, murid yang semakin banyak dihadapkan pada masalah-masalah yang

berhubungan dengan kehadiran mereka di dalam bersama dengan dunia, akan

merasa semakin ditantang dan berkewajiban untuk menjawab tantangan ini.68

Jawaban mereka terhadap tantangan itu menimbulkan tantangan-tantangan baru,

kemudian disusul dengan pemahaman-pemahaman baru pula. Pada akhirnya secara

bertahap mereka akan merasa memiliki keterlibatan.

Dalam pendidikan hadap masalah, manusia mengembangkan kemampuannya

untuk memahami secara kritis relitas mereka di dalam dunia dan bagaimana

mereka menemukan diri sendiri. Mereka akan memandang dunia bukan sebagai

realitas yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak

perubahan. Konsep dan praktik pendidikan hadapa masalah dan pendidikan gaya

bank terlihat saling bertentangan. Konsep pendidikan gaya bank menolak dialog;

sementara pendidikan hadap masalahh menganggap dialog sebagai prasyarat bagi

laku pemahaman untuk menguak realitas.

Pendidikan gaya bank memperlakukan murid sebagai obyek yang harus

ditolong; sementara pendidikan hadap masalah menjadikan mereka pemikir yang

kritis. Pendidikan gaya bank menghalang-halangi kreativitas dan menjinakkan

intensionalisas kesadaran dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia, yang

dengan demikian menolak fitrah ontologis dan kesejarahan manusia untuk menjadi

manusia seutuhnya. Pendidikan hadap masalah mendasari dirinya atas kreativitas

serta mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas (praksis), dan

68

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 66.

Page 30: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

39

dengan cara itu menyambut fitrah manusia yang akan menjadi makluk sejati hanya

jika terlibat dalam pencarian dan perubahan kreatif.69

2.3.4 Konsientisasi Sebagai Tujuan Pendidikan Pembebasan

Freire, dengan programnya di perkampungan kumuh Brasil, memulainya

dengan mengkonseptualisasikan sebuah proses penyadaran yang mengarah pada

konsep pembebasan yang dinamis dan pada apa yang disebutnya sebagai

“kemanusiaan yang lebih utuh”. Hasil dari proses ini dinamakannya

conscientizacao, atau tingkat kesadaran di mana setiap individu mampu melihat

sistem sosial secara kritis. Mereka dapat memahami akibat-akibat yang saling

kontradiktif dalam kehidupan mereka sendiri, dapat menggenaralisasikan

kontradiksi-kontradiksi tersebut pada lingkungan lain di sekelilingnya dan dapat

mentransformasikan masyarakat secara kreatif dan bersama-sama.70 Freire

mendeskripsikan conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia

yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase:

kesadaran magis, naif dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek

berdasarkan tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut:

apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian?

(penamaan); apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut?

(berpikir); dan apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah

tersebut? (aksi).71

Orang-orang dalam fase kesadaran magis menyesuaikan dengan

kehidupan di mana mereka tinggal. Mereka mendefinisikan masalah dengan

mengaitkannya pada persoalan-persoalan cara bertahan hidup dan merasa bahwa

69

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 69-70. 70

Willam A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihartoro (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 3.

71 Smith, Conscientizacao, 54.

Page 31: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

40

masalah-masalah ini disebabkan oleh kekuasaan-kekuasaan yang di luar jangkauan

mereka. Tingkat kesadaran naif, di mana individu tertindas ingin memperbaharui

sistem yang telah dirusak oleh orang-orang jahat yang melanggar norma dan

aturan, bisa dibagi menjadi dua sub kesadaran: menyalahkan diri sendiri dan

menyalahkan individu lain yang dianggap menindas dan merugikan. Individu-

individu yang berkesadaran kritis menganggap sistem ini perlu ditransformasi.72

Perkembangan individu ini tidak dimulai dengan kesadaran kritis dan kemudian

menjadi kesadaran magis, bukan dari kesadaran magis langsung ke kesadaran

kritis, juga bukan secara acak. Perkembangan adalah kemajuan dari kesadaran naif

ke kesadaran kritis; perkembangan ini muncul seiring dengan bergulirnya roda

dunia.73

Proses penyadaran tersebut merupakan proses inti atau hakikat dari proses

pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang tidak boleh berhenti, ia

senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap

berikutnya, dari tingat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran kritis”,

sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni

“kesadaran-nya kesadaran” (the consice of the consciousness). Jika seseorang

sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itu pun

mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-

mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan

diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”, sedangkan orang yang

menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar

72

Smith, Conscientizacao, 101-102. 73

Smith, Conscientizacao, 107.

Page 32: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

41

apa yang dikatakannya, dari mana ia tlah menerima hafalan yang dinyatakan itu,

dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat itu.74

Penyadaran pada umumnya, dan conscientizacao pada khususnya,

memperhatikan perubahan-perubahan hubungan antarmanusia yang akan

memperbaiki penyelewengan manusia. Conscientizacao bukanlah teknik untuk

mentransfer informasi, atau bahkan untuk pelatihan keterampilan, tetapi

merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-

sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial mereka. Conscientizacao

mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma,

aturan, prosedur dan kebijakan baru.75

Pesan yang ingin disampaikan Freire dari konsep pendidikannya relatif

cukup jelas. Jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka

pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, di mana dominasi itu

tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi

itu secara subjektif maupun objektif. Akan tetapi proyek ini tidak akan mungkin

terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang

spesifik, bentuk-bentu kehidupang sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang

tertindas, sebagai titik awal melakukan analisa.76

Bagi Freire, pendidikan bukanlah pengorganisasian fakta yang sudah

diketahui sedemikian rupa sehingga orang bodoh melihatnya sebagai sesuatu yang

baru. Conscientizacao adalah sebuah pencarian jawaban-jawab secara kooperatif

atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang.

Dengan demikian, tidak ada “ahli” yang mengetahui jawaban-jawaban tersebut dan

yang pekerjaannya mentransfer jawaban-jawaban tadi. Setiap individu memiliki

74

Freire, Politik pendidikan, xvii-xviii. 75

Freire, Politik pendidikan, 4. 76

Freire, Politik pendidikan, 18-19.

Page 33: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

42

kebenaran yang sama, tetapi berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang harus

didefinisikan dan cara mencari jawabannya yang harus diformulasikan. Partisipasi

bukanlah sebuah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses

pendidikan.77

Pada dasarnya, tujuan dari model pendidikan yang diusulkan Freire

agar pendidikan dapat membawa individu bersentuhan dengan dunia secara kritis.

Dengan kata lain, tugas dari pendidikan adalah menghadirkan pertanyaan-

pertanyaan, bukan menyediakan jawaban-jawaban. Pendidikan yang harapkan

Freire adalah yang bersifat dialogis dan mendorong tumbuhnya hubungan-

hubungan horisontal antar individu ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan

tersebut.

2.3.5 Pendidikan dan Teologi Pembebasan

Pedaogogi pembebasan yang usung oleh Freire memiliki kaitan yang erat

dengan teologi pembebasan. Teologi pembebasan sendiri pertama kali muncul di

Amerika Latin pada tahun 1970-an. Motivasi berteologi pembebasan pertama-

tama bukan untuk menciptakan ideologi yang membenarkan suatu status quo.

Bukan pula sebagai obat penenang pada saat iman mendapat tantangan dari

sekularisme dan konsumerisme. Tetapi motivasi terdalam berteologi adalah untuk

membiarkan diri kita dinilai oleh sabda Allah.78

Gebrakan baru dalam berteologi

ini tidak terletak pada kajian dan isi pengajaran melainkan pada metode dan cara

berteologinya. Cara berteologi pembebasan adalah transformatif, bertolak dari

praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu.79

Menurut Gutierrez, teologi

77

Smith, Conscientizacao, 4-5. 78 Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation (USA: Ninth Printing, 1981), ix –x. 79

Juan Luis Segundo, Liberation of Theology (Dublin: Gill and MacMillan, 1977), 19.

Page 34: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

43

bukan merupakan kebijaksanaan dan bukan juga pengetahuan rasional, melainkan

refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh sabda Injil.80

Praksis yang dimaksud adalah praksis untuk pembebasan manusia. Bukan saja

pembebasan dari kendala sosial, ekonomi dan politik di dunia, melainkan

pembebasan yang utuh dan menyeluruh sebagaimana manusia dicintai Allah untuk

berpartisipasi dalam citra-Nya. Menurut Gutierrez dalam Nitiprawiro, pembebasan

bukan saja sebuah proses, melainkan juga sebuah matrik berbagai tataran arti yang

saling bertautan: (1) pembebasan ekonomi, sosial, dan politik; (2) pembebasan

manusiawi, yang menciptakan manusia baru dalam masyarakat solidaritas yang

baru; (3) pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan

Allah dan semua manusia.81

Menurut Freire, gereja-gereja tradisional telah bersekutu dengan kelompok

penguasa, baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu, peranan yang dapat

dimainkan oleh gereja dalam bidang pendidikan tergantung pada cara pandang

mereka terhadap dunia, agama manusia dan takdir. Dalam gereja tradisional ini,

seolah kaum tertindas menemukan semacam obat penyembuh atas keletihan

hidupnya. Pada akhirnya, semakin banyak masyarakat yang tenggelam dalam

budaya bisu mereka, dengan segala kekerasan yang dilakukan oleh kaum penindas,

maka akan semakin banyak masyarakat yang berduyun-duyun datang ke gereja

untuk menawarkan ajaran religius. Karena tenggelam dalam budaya bisu ini, di

mana satu-satunya yang boleh bersuara adalah penguasa, mereka memandang

80

Gustavo Gutierrez adalah salah satu tokoh pencetus teologi pembebasan. Karya yang ia terbitkan dan menjadi acuan dalam berteologi pembebasan di berbagai negara adalah Teologia de la liberacion, Perspectivas yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Gutierrez, A Theology of Liberation, 15

81 Gutierrez, A Theology of Liberation, 235.

Page 35: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

44

gereja ini sebagai semacam rahim di mana mereka dapat bersembunyi dari struktur

sosial yang opresif.82

Orang Kristen di Amerika Latin kemudian menemukan pendidikan dan model

berteologi yang baru dan harus menentukan sikap: apakah mengubah pandangan

naif mereka menjadi lebih kooperatif dan dengan sadar bergabung dengan ideologi

yang dominan, atau bergabung dengan kaum tertindas dan dengan penuh dedikasi

bersama mereka mencari kebebasan yang sesungguhnya. Jika mereka

meninggalkan kepatuhan mereka kepada kelompok yang dominan, metode belajar

mereka yang baru beserta masyarakat sebagai peserta didik akan menimbulkan

tantangan tersendiri di mana dalam usaha ini mereka berhadapan dengan resiko

yang sebelumnya tidak mereka ketahui.83

Melalui metode belajar yang baru ini

masyarakat mulai menemukan bahwa kesucian yang mereka pertahankan selama

ini, tidak sedikitpun merupakan bentuk kejujuran. Namun, banyak orang yang

merasa takut untuk mengakuinya; mereka kehilangan keberanian menghadapi

resiko yang pasti ada, ketika mereka patuh kepada suatu komitmen historis.

Akhirnya mereka kembali pada ilusi idealistik, tetapi dalam kapasitasnya sebagai

anggota kelompok yang lebih kooperatif.

Dalam membicarakan teologi pembebasan, analisa Freire yang tampak utopis

menjadi konkret karena semangat pembebasan dan “rangsangannya”, serta menjadi

starting point yang bersifat kolektif di dalam berbagai macam keadaan sejarah,

khususnya tatkala terjadi penindasan. Analisanya dikatakan utopis karena menolak

untuk menghindar dari resiko dan bahaya yang mengancamnya sebab dia

menantang struktur kekuasaan yang dominan. Visi politiknya dikatakan profetis

karena seharusnya manusia meyakini Kekuasaan Tuhan sehingga memiliki

82

Freire, Politik Pendidikan, 220-221. 83

Freire, Politik pendidikan, 209.

Page 36: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

45

kesadaran dan semangat untuk selalu menumpas kebatilan. Kesadaran yang

dimasud Freire di sini muncul karena penderitaan kaum tertindas. Bahwa

penderitaan ini tidak boleh berlanjut dan visi profetik ini merupakan proses yang

terus berkelanjutan di mana hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Pendeknya, dengan melakukan kritik dan menciptakan

kemungkinan yang lebih baik, berarti Freire memadukan sejarah dan teologi untuk

membuat dasar teoritis bagi sistem pendidikan radikal yang mencakup tumbuhnya

harapan, refleksi kritis dan perjuangan bersama.84

Di sini sebenarnya Freire mengkritik dan sekaligus menyelamatkan ajaran

Krisen yang revolusioner. Freire melancarkan kritik terhadap Gereja karena sikap

revolusionernya. Dia meyakini Tuhan dan menaruh harapan pada-Nya yang telah

menciptakan sejarah dan “membiarkan” hamba-hamba-Nya menjadi tertindas,

tetapi ajaran-ajaran-Nya justru tidak mampu mengubah sejarah. Dalam bahasa

Freire, melihat kondisi yang seperti ini seharusnya cinta-kasih Kristiani menaruh

perhatian terhadap kasus-kasus eksploitasi manusia.85

Dalam melaksanakan pendidikan maupun teologi yang membebaskan, yang

perlu diingat ialah sekalipun teologi termasuk dalam daftar ilmu pengetahuan,

teologi lebih merupakan kegiatan refleksi daripada pembuktian empiris.86

Demikian pula halnya dengan pendidikan agama Kristen. Dalam melaksanakan

pendidikan agama Kristen, murid dan guru secara bersama-sama mengadakan

proses berteologi. Guru bukan yang paling tahu, karena ini bukan soal

pengetahuan, dan murid juga tidak dianggap dan menganggap diri sebagai bejana

mati yang siap menampung dan menghafal apa yang dipompakan oleh sang guru.

84

Freire, Politik pendidikan, 13-14. 85

Freire, Politik pendidikan, 13. 86 Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya (Jogjakarta: Masa Media,

1985), 133.

Page 37: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja Pendidikan Agama Kristen memiliki

46

Berteologi adalah persoalan hidup, di mana dalam hidup tidak ada yang paling

tahu. Yang ada adalag orang yang lebih banyak pengalaman, dan yang masih harus

mengkaji pengalamannya dengan pengalaman yang lain. Oleh karenanya, Freire

mengajukan alternatif kegiatan belajar mengajar menurut gaya hadap masalah

(guru dan murid secara bersama mengkaji masalah hidup sehari-hari) untuk

menggantikan model belajar gaya bank.87

Dengan demikian, pendidikan

pembebasan dan teologi pembebasan memiliki pandangan dan tujuan yang sama

yaitu untuk mencapai kesadaran manusia melalui praksis. Keduanya menekankan

pada perubahan metode pengajaran yang selama ini dianggap menindas.

87

Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 134.