bab ii kajian teoritis 1.1.1 sistem pemungutan...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN TEORITIS
1.1 Kajian Teoritis
1.1.1 Sistem Pemungutan Pajak
Ada beberapa sistem pemungutan pajak menurut Purwono (2010: 12). Lebih
lanjut dijelaskan sebagai berikut.
1. Self Assessment Sistem merupakan sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak
diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui
sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2. Official Assessment Sistem , melalui sistem ini, besarnya pajak ditentukan oleh
fiskus dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung). Jadi dapat
dikatakan Wajib Pajak bersifat pasif. Tahapan-tahapan dalam menghitung dan
memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan oleh fiskus yang tertuang dalam
SKP. Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif ketika melakukan penyetoran pajak
terutang berdasarkan SKP tersebut.
3. Withholding Sistem
Wewenang pemungutan pajak pada sistem ini diberikan pada pihak ketiga yaitu
orang atau badan yang bukan merupakan badan publik yang sebenarnya tidak
mempunyai wewenang untuk memungut pajak. Pihak ketiga tersebut harus
melaporkan hasil pemungutan pajak tersebut ke kas negara dalam jangka waktu
tertentu sesuai Undang- undang. Untuk sementara ini, sistem ini tercermin pada
pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan Dan Pajak Pertambahan Nilai.
10
1.1.2 Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua
(Wahono, 2012:13) yaitu :
1. Perlawanan enggan (pasif) membayar pajak yang dapat disebabkan antara lain:
1) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
2) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
3) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Bentuknya antara lain :
1) Tax avoidance yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar
undang-undang.
2) Tax evasion yaitu meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar
undang-undang (menggelapkan pajak)
1.1.3 Penagihan Secara Umum
Penagihan pajak menurut pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 sebagai berikut.
“Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melakukan penyitaan, melaksanaan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.”
Tujuan dari penagihan pajak adalah agar penanggung pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak. Agar tujuan penagihan pajak tersebut tercapai, maka
teguran atau sejenisnya, penyampaian Surat Paksa, penyampaian surat perintah
melakukan penyitaan dan tindakan penyitaan, penjualan barang hasil penyitaan,
sampai tindakan tersebut tidaklah harus tuntas dilakukan semuanya, namun urut-urutan
tindakan hanya dilakukan jika Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya.
Misalnya jika suatu utang pajak telah dilakukan tindakan penagihan sampai dengan
surat paksa dan Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihannya,
maka kegiatan penagihan selesai sampai pada tindakan penyampaian Surat Paksa.
Pejabat Direktorat Jenderal Pajak selanjutnya disebut pejabat adalah pejabat
yang berwenang mengangkat dan memberhentikan jurusita Pajak, serta menerbitkan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat
Penentuan Harga Limit, Pembatakan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat
lain yang diperlukan untuk penagihan pajak, sehubungan dengan Penanggung Pajak
tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
1.1.4 Dasar Hukum Penagihan Pajak
Sesuai Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perubahan
ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, bahwa Surat Ketepatan maupun Surat Keputusan yang menjadi
dasar penagihan pajak seperti berikut ini.
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Pajak yang tidak atau
kurang bayar dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan
paling lama 24 bulan, dihitung sejak terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih
harus dibayar.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
4. Surat Keputusan Pembetulan
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan
tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam
surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
5. Surat Keputusan Keberatan
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
yang diajukan oleh Wajib Pajak.
6. Putusan Banding
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap
Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
1.1.5 Tindakan Penagihan
Menurut Suandy (2008:173) dalam Marduati (2012) penagihan pajak dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu sebagai berikut.
1. Penagihan pajak pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan STP, SKPKB, SKPKBT, SK
Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak terutang
menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi maka 7 hari
setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai
dengan menerbitkan Surat Teguran.
2. Penagihan pajak aktif
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana
dalam upaya penagihan ini fiskus lebih berperan aktif dalam arti tidak hanya
mengirim STP atau SKP tetapi akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan
dengan pelaksanaan lelang. Pelaksanaan penagihan aktif dijadwalkan berlangsung
selama 58 hari yang dimulai dengan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa,
surat perintah melaksanakan penyitaan, dan pengumuman lelang.
Gambar 2: Tahap dan Jadwal Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak
1.1.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus
Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika
dan Sekaligus menyatakan bahwa Penagihan Seketika Dan Sekaligus adalah tindakan
penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak kepada Penanggung Pajak
tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran, yang meliputi seluruh utang pajak
dari semua jenis pajak, Masa Pajak dan Tahun Pajak. Penagihan seketika dan
sekaligus dilakukan apabila :
1. Penanggung Pajak akan meninggakan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu.
2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia.
3. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha
atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk
lainnya.
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara.
5. Terjadi penyitaan atas barang Penangung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
diterbitkan sebelum Surat Paksa.
1.1.7 Penagihan Dengan Surat Teguran
Langkah awal dalam tindakan penagihan adalah penerbitan Surat Teguran
(Pasal 8 ayat (1) PMK 24/2008 sttd PMK 85/2010. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 menyatakan
Surat Teguran atau dapat disebut juga Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis
adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan
kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Langkah ini diambil sebagai
peringatan agar penanggung pajak segera melunasi utang pajaknya untuk menghindari
dilakukannya tindakan penagihan. Surat Teguran juga dimaksudkan agar Penanggung
Pajak mempunyai kesempatan sampai dengan jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari,
sebelum dilakukan upaya paksa dengan diterbitkannya Surat Paksa.
Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (5) PP 80 Tahun 2008 sttd PP No. 74 Tahun
2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan diatur bahwa
dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
waktu yang telah ditentukan, pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan
terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran. Surat Teguran tersebut diterbitkan lewat 7
hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 sttd Peraturan
Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2010 diatur bahwa mengenai saat penerbitan Surat
Teguran , tergantung dari ada tidaknya sengketa seperti berikut ini.
1. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) atau
Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi (PAHV) dan Wajib Pajak tidak mengajukan
keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada Wajib Pajak
disampaikan Surat Teguran, setelah 7 hari sejak jatuh tempo pengajuan keberatan.
2. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau
Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan
banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), atau Surat Ketetapan Pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak
tanggal jatuh tempo pengajuan banding.
3. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau
Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan Wajib Pajak mengajukan permohonan
banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7
(tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar
berdasarkan Putusan banding.
4. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar
dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil
Verifikasi, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari
sejak jatuh tempo pelunasan.
5. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT) setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tapi sebelum tanggal diterima
surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak, kepada Wajib Pajak
disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan
pengajuan keberatan tersebut.
1.1.7.1 Tata Cara Penerbitan Surat Teguran
Penerbitan Surat Teguran dilakukan pada seksi Penagihan, dengan prosedur
sebagai berikut.
1. Pelaksana pada seksi penagihan meneliti Surat Ketetapan Pajak (SKP)/Surat
Tagihan Pajak (STP)/ Surat Tagihan Bea (STB) yang harus diterbitkan Surat
Teguran dalam Sistem Administrasi Perpajakan dan meminta persetujuan Kepala
Seksi dan kemudian diteruskan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak melalui
sistem informasi DJP.
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak memeriksa usulan penerbitan Surat Teguran dan
memberikan persetujuan penerbitan melalui Sistem Informasi DJP.
3. Pelaksana melihat Sistem Informasi DJP dan memeriksa persetujuan penerbitan
Surat Teguran dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak, mencetak Surat Teguran dan
menyampaikannya kepada Kepala Seksi Penagihan.
4. Kepala Seksi Penagihan meniliti, memaraf Surat Teguran, dan menugaskan
kepada Pelaksana untuk menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak.
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak meniliti, menandatangi Surat Teguran, dan
meneruskan kepada pelaksana untuk disampaikan kepada Wajib Pajak.
6. Pelaksana meneliti Surat Teguran yang telah ditandatangani Kepala Kantor
Pelayanan Pajak, menatausahakan, dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak
melalui Subbag Umum.
1.1.8 Penagihan Dengan Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya Penagihan
Pajak (Pasal 1 angka12 UU PPSP). Surat Paksa diterbitkan dalam hal berikut ini.
1. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan
atau surat lain yang sejenis.
2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
atau
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat Paksa diterbitkan untuk memerintahkan dengan paksa kepada
Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajak beserta biaya penagihan. Surat Paksa
dibuat dengan kepala surat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kepala surat ini sama seperti kepala surat yang tercantum dalam Keputusan Hakim
Pengadilan. Hal ini menunjukan bahwa Surat Paksa telah memiliki kekuatan
eksekutorial dan memilik kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ini berarti bahwa jurusita sebagai
petugas pelaksana Surat Paksa dapat melakukan eksekusi langsung (parate executie)
atas barang-barang milik penanggung pajak, jika penanggung pajak tidak melakukan
perintah yang dimaksud dalam Surat Paksa tersebut.
Dalam Surat Paksa terdapat 2 (dua) perintah. Perintah pertama ditujukan kepada
Penanggung Pajak agar melakukan pelunasan utang pajak dan biaya penagihan dalam
jangka waktu 2 x 24 jam. Dan kepada Jurusita yang melaksanakan Surat Paksa untuk
melakukan penyitaan atas barang-barang milik Wajib Pajak/ Penanggung Pajak apabila
dalam waktu 2 (dua) kali dua puluh empat jam Surat Paksa ini tidak dipenuhi.
1.1.8.1 Prosedur Penerbitan Surat Paksa
Penerbitan Surat Paksa yang dilakukan di seksi Penagihan dilaksanakan
dengan prosedur sebagai berikut.
1. Pelaksana Seksi Penagihan mengiventarisasi Penunggak Pajak yang harus dikirim
Surat Paksa, meniliti dengan melihat data tunggakan beserta pelunasan
(SSP/STTS/SSB/bukti pbk) atau pengurangan (keputusan pembetulan/keputusan
keberatan/keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi),
membuat konsep Surat Paksa dan menyampaikannya kepada kepala seksi
penagihan.
2. Kepala seksi penagihan meneliti, menyetujui dan memaraf konsep Surat Paksa,
serta menyampaikannya kepada kepala kantor pelayanan pajak.
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti, menyetujui dan menandatangani Surat
Paksa dan meneruskan kepada Kepala Seksi Penagihan.
4. Kepala Seksi Penagihan menerima Surat Paksa, menugaskan Pelaksana untuk
menatausahakan, dan meneruskan kepada Juru sita Pajak.
5. Pelaksana menatausahakan Surat Paksa dan meneruskan kepada Juru Sita untuk
ditindaklanjuti.
6. Juru Sita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Penunggak Pajak/
Penanggung Pajak atau pihak yang mewakilinya dan membuat Berita Acara
Penyampaian Surat Paksa yang ditandatangani Penanggung Pajak atau pihak yang
mewakilinya sebagai bukti bahwa Surat Paksa, telah disampaikan, membuat
konsep Laporan Pelaksanaan bukti bahwa Surat Paksa telah disampaikan,
membuat konsep Laporan Pelaksanaan Surat Paksa, dan menyampaikannya
kepada Kepala Seksi Penagihan melalui pelaksana.
7. Kepala Seksi Penagihan meniliti, menyetujui dan menandatangani Laporan
Pelaksanaan Surat Paksa, serta menugaskan Pelaksana untuk
menatausahakannya.
8. Pelaksana menerima Laporan Pelaksanaan Surat Paksa dan menatausahakan
Laporan Pelaksanaan Surat Paksa, salinan Surat Paksa dan Berita Acara
Penyampaian Surat Paksa ke dalam berkas penagihan Wajib Pajak.
1.1.8.2 Tata Cara Penyampaian Surat Paksa
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan
penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Dengan Pernyataan artinya Surat
Paksa harus dinyatakan dengan cara dibacakan di depan Penanggung Pajak, dan
Salinan Surat Paksa tersebut diserahkan kepada Penanggung Pajak. Tata cara ini
sama seperti tata cara penyampaian keputusan Hakim Pengadilan yang di memiliki
kekuatan eksekutorial. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak
oleh Jurusita Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua
belah pihak menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa
telah diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung
Pajak, sedangkan Surat Paksa yang asli disimpan di kantor pejabat.
Pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam Pasal 10, 17 & 18 UU PPSP serta
PMK No. 24/PMK.03/2008 sttd PMK No. 85/PMK.03/2010. Jika Penanggung Pajak
adalah orang pribadi, maka Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita kepada:
1. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau tempat lain yang
memungkinkan.
2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat
usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak
dapat dijumpai.
3. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila Wajb Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan
belum dibagi; atau
4. Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang telah
dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli waris.
Surat Paksa dimaksud memuat, antara lain jumlah tunggakan utang pajak yang
telah dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-
masing ahli waris. Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Paksa diserahkan
kepada wali atau pengampunya. Dalam hal Wajib Pajak badan Surat Paksa
diberitahukan kepada :
1) Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik
modal baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal
mereka maupun di tempat lain yang memungkinan. Yang dimaksud pengurus,
misalnya:
a. Untuk perseroan terbatas pengurus meliputi Direksi, Komisaris, pemegang
saham tertentu, dan orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut
menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam
menjalankan perseroan. Pengertian komisaris meliputi komisaris sebagai
orang yang lazim disebut Dewan Komisaris dan komisaris sebagai orang
perseroan yang lazim disebut sebagai anggota Komisaris. Yang dimaksud
dengan pemegang saham tertentu adalah pemegang saham pengendali
atau pemegang saham mayoritas dari perseroan terbatas terbuka maupun
tertutup.
b. Untuk Badan Usaha Tetap kepada kepala perwakilan, kepala cabang, atau
penanggung jawab.
c. Untuk badan usaha lainnya seperti kontrak investasi kolektif, persekutuan,
firma, persekutuan komanditer adalah direktur pemilik modal atau orang
yang ditunjuk untuk melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung
jawab atas perusahaan yang dimaksud.
d. Untuk yayasan adalah ketua dan orang yang melaksanakan dan
mengendalikan serta bertanggung jawab atas yayasan yang dimaksud.
e. Termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata
mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil
keputusan, sedangkan yang dimaksud dengan pemegang saham adalah
pemegang saham mayoritas.
f. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang
bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang
sebagaiman yang dimaksud dalam angka (1), yang dimaksud pegawai tetap
adalah pegawai perusahaan yang membidangi keuangan, pembukuan,
perpajakan, personalia, hubungan masyarakat, atau bagian umum dan
bukan pegawai harian.
1.1.9 Penyitaan Monetary Assest Penunggak Pajak
Peraturan Pemerintah No.135 Tahun 2000 menyebutkan bahwa Penyitaan
adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna
dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi
penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan
penyanderaan. Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan oleh
Jurusita Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang diterbitkan
oleh Pejabat. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan adalah surat perintah yang
diterbitkan oleh Pejabat untuk melaksanakan penyitaan. Yang menjadi Objek Sita
adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak. Barang
dalam hal ini adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita. Adapun tata
cara penyitaan Penunggak Pajak adalah sebagai berikut.
1. Penyitaan Terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang berupa Piutang
dilaksanakan sebagai berikut.
1) Jurusita Pajak melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan
jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita
Acara Pelaksanaan Sita;
2) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
3) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih
Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat dan salinannya disampaikan
kepada Penangung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang.
4) Dalam hal Penangggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara
Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Pajak kepada Pejabat, Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha atau tempat
kedudukannya atau Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak patut diduga
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, penyitaan tetap dapat
dilaksanakan dan Jurusita Pajak membuat Acara Pelaksanaan Sita.
2. Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
adalah sebagai berikut.
1) Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran memerintahkan
kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada Bank agar
memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut
kepada Jurusita Pajak;
2) Dalam hal penanggung pajak tidak memberi kuasa kepada bank sebagaimana
yang dimaksud dalam angka (1), maka Pejabat meminta Gubernur Bank
Indonesia Melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank
memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada
bank dimaksud kepada Pejabat;
3) Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan;
4) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan ditandatangani
oleh Jurusita Pajak, saksi-saksi, pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk;
5) Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada
Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan.
3. Tata cara pemblokiran rekening Penunggak Pajak di bank.
1) Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP kepada Pimpinan Bank tempat harta
kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan:
a. Salinan Surat Paksa; dan
b. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
2) Pimpinan Bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan
pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di
bank secara seketika setelah menerima permohonan pemblokiran dari Kepala
KPP tersebut.
3) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat Berita Acara
Pemblokiran, dan menyampaikan tindasnya kepada:
a. Penanggung Pajak
b. Kepala KPP yang meminta pemblokiran.
4) Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang
diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan pemohonan kepada Kepala
KPP menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya
penagihan dan utang pajak.
Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita
Pajak dan dapat dipercaya. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus:
1. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak
2. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.
1.1.10 Pelelangan/ Penjualan Aset Sitaan
Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah
dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang
terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang (Pasal 25 ayat (1) UU PPSP).
Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak, tetapi belum melunasi biaya
penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat
dilaksanakan.
Namun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan lelang, setiap penjualan
secara lelang harus didahului dengan Pengumuman Lelang (Penjelasan Pasal 26 ayat
(1) UU PPSP). Dalam Pasal 1 angka 17 UU PPSP disebutkan bahwa Lelang adalah
setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan
dan/atau melalui usaha pengumpul peminat atau calon pembeli. Sedangkan kantor
yang berwenang melakukan penjualan secara lelang disebut Kantor Lelang (Pasal 1
angka 18 UU PPSP). Penjualan secara lelang terhadap barang sita dilaksanakan paling
singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa (Pasal
26 ayat (1) UU PPSP), sedangkan pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14
(empat belas) hari setelah penyitaan.
1.1.11 Daluwarsa Penagihan Pajak
Daluwarsa Penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh
undang-undang yang berlaku bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan
penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Daluwarsa penagihan dimaksudkan
untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak terhadap suatu utang
pajak untuk tidak ditagih lagi. Ketentuan mengenai daluwarsa penagihan tersebut diatur
dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007
tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan Yang Berbunyi sebagai berikut.
“Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah lampau 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.”
UU tersebut, digunakan untuk tahun pajak 2007 ke atas. Sedangkan untuk tahun pajak
sebelum itu menggunakan UU No. 16 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua
dari UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Dalam
UU KUP pasal 22 ayat (1) tersebut, disebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan
pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak daluwarsa setelah
lampau waktu 10 tahun, terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak yang bersangkutan.
Daluwarsa penagihan pajak akan tertangguh apabila terjadi hal-hal berikut ini.
1. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
2. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung.
3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
1.1.12 Penghapusan Utang Pajak
Penghapusan utang pajak dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang
bersangkutan, misalnya Wajib Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak-pihak yang
berwenang. Penyebab penghapusan piutang pajak orang pribadi menurut Peraturan
Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Pajak dan
Penetapan Besarnya Penghapusan adalah sebagai berikut.
1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak
mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat diketemukan.
2. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan
surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat.
3. Wajib Pajak tidak dapat diketemukan lagi atau dokumen tidak dapat ditemukan lagi
disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana
alam, dan sebagainya.
4. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan
penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang perpajakan; atau
5. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena
kondisi tertentu sehubungan dengan adanya Perubahan kebijakan dan/atau
berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Penyebab penghapusan utang Wajib Pajak badan adalah sebagai berikut.
1. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat
ditemukan.
2. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa.
3. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan
penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang perpajakan; atau
4. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena
kondisi tertentu sehubungan dengan adanya Perubahan kebijakan dan/atau
berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
1.1.13 Efektivitas
Mahmudi (2010: 86) mengatakan bahwa efektivitas terkait dengan hubungan
antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Masih dalam
bukunya, disebutkan efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Ndraha (2005:163)
“Efektivitas (effectiveness) yang didefinisikan secara abstrak sebagai tingkat pencapaian tujuan, diukur dengan rumus hasil dibagi dengan (per) tujuan. Tujuan yang bermula pada visi yang bersifat abstrak itu dapat dideduksi sampai menjadi kongkrit, yaitu sasaran (strategi). Sasaran adalah tujuan yang terukur, Konsep hasil relatif, bergantung pada pertanyaan, pada mata rantai mana dalam proses dan siklus pemerintahan, hasil didefinisikan.” Jadi, bisa disimpulkan bahwa
Mardiasmo (2009:134) dalam Erwis (2012) mengatakan
bahwa efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai
tujuannya. Dimana apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi
tersebut dikatakan telah berjalan efektif. Pengertian efektivitas secara umum
menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu
ditentukan. Hal yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang berapa
besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya
melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
1.2 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan
dalam penelitian ini.
Tabel 3: Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Metode
Hasil Penelitian
Derlina Sutria Tunas (2013)
Efektivitas Penagihan Tunggakan Pajak Dengan Menggunakan Surat Paksa Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado
Deskriptif Kuantitatif
penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado dalam hal pembayaran tunggakan pajak dengan Surat Paksa bisa dikategorikan efektif karena penerimaan tunggakan pajak tahun 2011 ke tahun 2012 mengalami peningkatan.
Velayati, Mala Rizkika dkk. (2013)
Analisis Efektivitas Dan Kontribusi Tindakan Penagihan Aktif Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Sebagai Upaya Pencairan Tunggakan Pajak (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu Tahun 2010-2012).
Deskriptif Kuantitatif
Efektivitas Surat Teguran tergolong tidak efektif. Efektivitas Surat Paksa pada tahun 2010 dan 2012 tergolong tidak efektif tetapi di tahun 2011 dikategorikan sangat efektif. Penilaian tingkat kontribusi dengan menggunakan Rasio Penerimaan Tunggakan Pajak (RPTP) kategori sangat kurang.
Juniarty, Sy. (2013)
Efektivitas Penagihan Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak Dengan Surat Teguran Dan Surat Paksa Pada Kantor
Efektivitas Penagihan Tunggakan Terhadap Pencairan Piutang Pajak masih belum efektif.
1.3 Kerangka Pemikiran
Sistem Self Assestment yang tidak didukung penuh dengan kesadaran dan
kepatuhan Wajib Pajak akan menimbulkan kelalaian terhadap kewajiban perpajakan.
Salah satu bentuk kelalaian Wajib Pajak yang sangat marak di Indonesia adalah
penunggakan pajak. Hal ini, ditunjukan dengan adanya jumlah tunggakan pajak yang
besar terhadap negara setiap tahunnya.
Tunggakan Pajak yang tidak kunjung dilunasi 7 (tujuh) hari setelah tanggal jatuh
tempo pelunasan akan ditegur atau diperingati. Hal tersebut sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa atau
biasa disebut dengan UU PPSP. Dalam pasal 8 ayat (2) UU PPSP disebutkan apabila
Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar sampai dengan
tanggal jatuh tempo pelunasan, maka pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih
dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau Surat lain
yang sejenis. Setelah itu, jika Surat Teguran atau Surat lain yang sejenis tidak
diindahkan oleh Penunggak Pajak maka dalam kurun waktu 21 hari dapat diterbitkan
Surat Paksa. Sesuai dengan penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU PPSP dikatakan bahwa
agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak yang didasari oleh Surat Paksa,
ketentuan ini memberi kekuatan eksekutorial serta memberi kedudukan hukum yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Pelayanan Pajak Pratama Pontianak
Nana Adriana Erwis (2012)
Efektivitas Penagihan Pajak Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Selatan
Deskriptif Kuantitatif
Penagihan pajak di KPP Pratama Makassar Selatan tergolong tidak efektif. Kontribusi penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak tergolong sangat kurang.
kepada Surat Paksa. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan
tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding. Selain itu,
Penagihan dengan surat paksa juga bisa dilakukan sampai pada proses penyitaan,
dimana paling cepat dalam waktu 2 × 24 jam sudah dapat diterbitkan Surat Perintah
Melakukan Penyitaan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertuang dalam UU PPSP
Pasal 1 angka 14.
Serangkaian kegiatan penagihan aktif yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pajak ini diharapkan dapat mengupayakan pencairan tunggakan pajak dengan cara
menimbulkan efek jera (detterent effect) terhadap Penunggak Pajak yang lalai terhadap
kewajibannya. Oleh karena itu dalam Strategi Penerimaan Pajak oleh Direktorat
Jenderal Pajak dari tahun ke tahun Kegiatan Penagihan dianggap sebagai kegiatan
extra effort yang diyakini mampu memberikan sumbangan pemasukan bagi Kas Negara
(Siaran Pers DJP).
Sebagai kegiatan extra effort yang terus menerus digalangkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak, maka keefektivan kegiatan penagihan aktif merupakan tolak ukur,
berhasil tidaknya tindakan penagihan tersebut dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Berikut merupakan gambar yang menjabarkan kerangka pemikiran peneliti untuk
menjawab masalah dalam penelitian ini.