bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir · 2019-08-01 · 12 bab ii kajian pustaka dan kerangka...

38
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A, Tinjauan Studi Terdahulu Terdapat beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya yang sejenis dan relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti dalam upaya menyusun skripsi. Berikut adalah penelitian-penelitian yang menggunakan strategi penolakan Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz. Lisa Nugroho (2000) dari Universitas Kristen Petra Surabaya dalam skripsinya yang berjudul "Refusal Strategies in English Used By American and Indonesian University Students Based on Age, Sex, Social Status and Social Distance" atau "Strategi Penolakan dalam Bahasa Inggris digunakan oleh Mahasiswa Amerika dan Indonesia di Universitas Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Sosial dan Jarak Sosial" dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Penelitian ini mengkaji cara penutur asli bahasa Inggris Amerika dan mahasiswa Indonesia yang belajar bahasa Inggris dalam tindak tutur menolak ajakan atau tawaran berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, status sosial, dan jarak sosial. Responden berjumlah 25 penutur asli bahasa Inggris Amerika dan 26 mahasiswa Indonesia yang mempelajari bahasa Inggris dalam kisaran usia yang sama yaitu antara 18 sampai 25 tahun dan terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan Discourse Completion Task (DCT) dalam bentuk kuesioner. Hasilnya menunjukkan bahwa strategi meminta maaf, menunjukkan minat, alasan, berterima kasih, dan penolakan langsung sebagian besar digunakan oleh kedua kelompok responden. Namun demikian,

Upload: others

Post on 18-Jan-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A, Tinjauan Studi Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya

yang sejenis dan relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti dalam upaya

menyusun skripsi. Berikut adalah penelitian-penelitian yang menggunakan

strategi penolakan Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz.

Lisa Nugroho (2000) dari Universitas Kristen Petra Surabaya dalam

skripsinya yang berjudul "Refusal Strategies in English Used By American and

Indonesian University Students Based on Age, Sex, Social Status and Social

Distance" atau "Strategi Penolakan dalam Bahasa Inggris digunakan oleh

Mahasiswa Amerika dan Indonesia di Universitas Berdasarkan Umur, Jenis

Kelamin, Status Sosial dan Jarak Sosial" dengan menggunakan pendekatan

sosiolinguistik. Penelitian ini mengkaji cara penutur asli bahasa Inggris Amerika

dan mahasiswa Indonesia yang belajar bahasa Inggris dalam tindak tutur menolak

ajakan atau tawaran berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, status sosial, dan

jarak sosial. Responden berjumlah 25 penutur asli bahasa Inggris Amerika dan 26

mahasiswa Indonesia yang mempelajari bahasa Inggris dalam kisaran usia yang

sama yaitu antara 18 sampai 25 tahun dan terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan Discourse Completion Task

(DCT) dalam bentuk kuesioner. Hasilnya menunjukkan bahwa strategi meminta

maaf, menunjukkan minat, alasan, berterima kasih, dan penolakan langsung

sebagian besar digunakan oleh kedua kelompok responden. Namun demikian,

13

strategi meminta maaf paling dominan diterapkan oleh kedua responden untuk

menolak undangan atau tawaran karena meminta maaf digunakan untuk

menunjukkan ketulusan dan kesopanan. Sementara itu, faktor sosial: usia, jenis

kelamin, status sosial, dan jarak sosial tidak hanya mempengaruhi kuat pilihan

kedua responden penolakan tetapi juga ada solidaritas dan penghormatan yang

mempengaruhi pilihan kedua responden penolakan.

Yinling Guo (2012) dari Zhengzhou Institute of Aeronautical Industry

Management dalam skripsinya yang berjudul "Chinese and American Refusal

Strategy: A cross Cultural Approach" atau "Strategi Penolakan Masyrarakat Cina

dan Amerika: Sebuah Pendekatan lintas budaya" penelitian ini menyelidiki

bagaimana masyarakat Cina dan Amerika menyampaikan penolakan tindak tutur

dengan menggunakan Discourse Completion Task (DCT) untuk mengumpulkan

data. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua kelompok lebih suka

menggunakan strategi penolakan tidak langsung daripada menggunakan

penolakan langsung, seperti strategi pernyataan alasan alternatif dan permintaan

maaf. Namun kelompok Amerika sebagian besar lebih suka menggunakan strategi

penolakan langsung. Mereka mengimplikasikan bahwa terdapat lebih banyak

kesamaan dan perbedaan antara peserta Amerika dan peserta Cina dalam

mengucapkan penolakan di mana penolakan dipengaruhi oleh perbedaan budaya

antara Amerika dan Cina.

Ridho Widowati (2011) dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam

skripsinya yang berjudul "Refusal Expressions Among Characters in the Film

Entitled Knowing" meneliti tentang ekspresi penolakan dalam film Knowing.

Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosio-Pragmatik. Ada tiga hasil dalam

14

penelitian ini. Pertama, ada tiga jenis ekspresi penolakan dan strategi penolakan

yang diterapkan oleh karakter dalam film, yaitu: penolakan langsung, penolakan

tidak langsung, dan tambahan untuk penolakan dengan setiap strategi seperti

non-performatif, alasan/penjelasan, keberangkatan fisik, diam, beralih topik,

penundaan, pembatasan, dan syukur/apresiasi. Kedua, karakter menggunakan

penolakan dalam strategi langsung dan tidak langsung di mana mereka lebih

memilih untuk menggunakan strategi penolakan tidak langsung daripada strategi

penolakan langsung. Ketiga, faktor-faktor yang mendorong karakter dalam film

untuk menggunakan ekspresi penolakan di situasi penolakan tertentu: untuk

memudahkan percakapan, untuk menunjukkan apresiasi/penghargaan/perlakuan,

untuk menunjukkan kesopanan, dan untuk menjaga jarak.

Rima Yarsiska (2013) dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam

skripsinya yang berjudul "Tindak Tutur Penolakan Pada Wacana Arisan Keluarga

di Kalangan Masyarakat Berlatar Belakang Budaya Jawa". Tujuan penelitian ini

adalah: (1) Mendeskripsikan bentuk tindak tutur penolakan pada wacana arisan

keluarga di kalangan masyarakat berlatar belakang budaya Jawa; (2)

Mendeskripsikan analisis berdasarkan asumsi pragmatik pada wacana arisan

keluarga di kalangan masyarakat berlatar belakang budaya Jawa. Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini adalah tindak tutur

penolakan pada wacana arisan keluarga di kalangan masyarakat berlatar belakang

budaya Jawa. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

percakapan pada wacana arisan keluarga di kalangan masyarakat berlatar

belakang budaya Jawa. Penelitian ini menggunakan metode simak, teknik sadap,

teknik rekam, dan teknik catat. Teknik analisis data yang digunakan dalam

15

penelitian ini menggunakan metode padan dan metode padan Ekstralingual. Hasil

penelitian ini: pertama, berdasarkan bentuk-bentuk penolakan pada wacana arisan

keluarga di kalangan masyarakat berlatar belakang budaya Jawa terdapat dua

bentuk penolakan, yaitu (1) bentuk bahasa yang terdiri atas tindak tutur penolakan

dan modus penolakan. Tindak tutur penolakan terbagi menjaditiga tuturan

penolakan, yaitu 2 tindak tutur penolakan memerintah, 3 tindak tutur penolakan

menyarankan, dan 3 tindak tutur penolakan menanyakan. Modus penolakan

terbagi menjadi tujuh modus penolakan, yaitu 2 modus ketidaksanggupan, 1

modus ketidaknyamanan, 5 modus ketidakpedulian, 4 modus ketidakmauan, 2

modus ketidaksiapan, 1 modus kesibukan, dan 3 modus keseganan. (2) Bentuk

bahasa tubuh terdiri atas modus penolakan yang terbagi menjadi satu modus

penolakan, yaitu 4 modus ketidakmauan. Kedua, analisis berdasarkan asumsi

pragmatik pada wacana arisan keluarga di kalangan masyarakat berlatar belakang

budaya Jawa terdapat dua kategori, yaitu (1) tindak tutur langsung-tindak tutur

tidak langsung dan; (2) tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal. Tindak

tutur langsung terbagi menjadi dua modus, yaitu 5 modus berita dan 1 modus

perintah, sedangkan tindak tutur tidak langsung terbagi menjadi tiga modus, yaitu

2 modus berita, 1 modus perintah dan 4 modus tanya. Tindak tutur literal

ditemukan 14 tuturan, sedangkan tindak tutur tidak literal ditemukan 4 tuturan.

Muryanto (2008) dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam skripsinya

yang berjudul "Refusals Strategies Performed by the Characters of the Film

Entitled Anna and the King (A Socio-Pragmatic Approach" atau Strategi Penolakan

yang dilakukan oleh Karakter dalam Film Berjudul Anna and The King

(Pendekatan Sosio-Pragmatik). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan

16

bahwa ada tiga bentuk strategi penolakan yang dilakukan oleh karakter dalam film

Anna and The King, yaitu penolakan langsung, penolakan tidak langsung dan

kombinasi penolakan. Strategi penolakan langsung yang ditemukan dalam data

adalah kemampuan kemauan negatif. Strategi penolakan tidak langsung yang

ditemukan dalam data adalah pernyataan dari keinginan/harapan,

pernyataan/alasan/penjelasan, pernyataan alternatif, janji penerimaan masa depan,

pernyataan prinsip, pernyataan filsafat, mengkritik/opini pemohon negatif,

permohonan bantuan dengan mengadakan permintaan, permintaan klarifikasi atau

informasi, diam, pengalihan topik, petunjuk, pertanyaan, perintah, dan kondisi

yang ditetapkan. Kombinasi dari penolakan meliputi; (1) kombinasi antara

Penolakan langsung dan Penolakan langsung, yang meliputi kombinasi antara

non-performatif "tidak" dan kemampuan kemauan negatif; (2) kombinasi antara

Penolakan Langsung dan Penolakan langsung, yang meliputi kombinasi antara

non-performatif "tidak" dan pernyatan/alasan/penjelasan, kombinasi antara

kemampuan negatif kemauan, pernyatan/alasan/penjelasan dan kombinasi antara

permintaan klarifikasi atau informasi, pengulangan permintaan, dan kemampuan

kemauan negatif; (3) kombinasi antara penolakan langsung dan penolakan

langsung, yang meliputi kombinasi antara pernyataan penyesalan/maaf dan

pernyataan/alasan/penjelasan dan kombinasi antara kondisi set dan

pernyataan/alasan/penjelasan; (4) kombinasi antara tambahan penolakan dan

penolakan tidak langsung, yang meliputi kombinasi antara pernyataan syukur dan

pernyataan/alasan/penjelasan dan kombinasi antara permintaan empati dan

mengkritik pemohon dan; (5) kombinasi antara tambahan penolakan, penolakan

langsung dan penolakan langsung, yang mencakup pernyataan syukur, opini

17

positif, pernyataan/alasan/keterangan, pernyataan penyesalan/permintaan maaf,

kesediaan negatif dan keberangkatan fisik.

Penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti tentang tindak tutur dalam

novel adalah sebagai berikut:

Wahyuni Novitasari Binaba (2014) dari Universitas Sam Ratulangi

Manado dalam jurnalnya yang berjudul "Aspek Penolakan dalam Novel The Stars

Shine Down Karya Sidney Shelton Suatu Analisis Pragmatik" berdasarkan hasil

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam novel The Stars Shine Down

ditemukan jenis-jenis penolakan dalam ujaran langsung dan ujaran tidak langsung.

Pertama, penolakan langsung atau penolakan eksplisit diekspresikan melalui

ujaran-ujaran penutur dan muncul karena adanya aspek negatif seseorang terhadap

tawaran, permintaan, desakan, pernyataan. Dalam penolakan eksplisit ditemukan

aspek-aspek perlokusi dalam novel The Stars Shine Down seperti: Membuat

penutur berpikir tentang (Get how to think), membuat penutur melakukan sesuatu

(get how to do), mengalihkan perhatian (distraction) dan membuat pendengar tahu

(bring hearer to know). Kedua, penolakan tidak langsung atau penolakan implisit

diekspresikan melalui ujaran-ujaran yang diujarkan penutur dan penuturan itu

muncul dari adanya aspek negatif penutur terhadap permintaan, desakan, tawaran,

dan pernyataan. Dalam penolakan tidak langsung yang ditemukan dalam novel ini

hanyalah ujaran yang mengandung kalimat tawaran, permintaan dan pernyataan,

sedangkan kalimat yang mengandung desakan tidak ditemukan. Aspek-aspek

perlokusi yang ditemukan dalam novel The Star Shine Down yakni:

menjengkelkan (irritate), membuat penutur berpikir (get how to think), membuat

penutur melakukan sesuatu (get how to do) dannmembuat penutur tahu (bring

18

hearer to know).

Dwi Nureny Wijayanti (2014) dari Universitas Negeri Yogyakarta dalam

skripsinya yang berjudul "Tindak Tutur Tokoh dalam Novel Bekisar Merah Karya

Ahmad Tohari". Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat

disimpulkan bahwa; 1. Wujud lokusi dalam dialog novel Bekisar Merah karya

Ahmad Tohari merupakan makna dasar yang diacu oleh ujaran tersebut yaitu

pertama wujud lokusi yang berupa kalimat deklaratif (kalimat berita) kedua wujud

lokusi yang berupa kalimat interogatif (kalimat tanya), dan ketiga wujud lokusi

yang berupa kalimat imperatif (kalimat perintah). Tuturan tersebut dituturkan oleh

seseorang (tokoh-tokoh dalam novel Bekisar Merah) yang membicarakan tentang

sesuatu (kehidupan Lasi dan masyarakat Karangsoga); 2. Wujud ilokusi dalam

dialog novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari adalah tuturan yang mengandung

maksud tertentu untuk mitratuturnya. Wujud ilokusi yang ditemukan yaitu pertama

tindak tutur ilokusi bentuk asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa satu tuturan tidak selalu hanya mengandung

satu tindak ilokusi saja namun dapat juga memiliki dua tindak ilokusi. Selain itu

tidak semua tindak ilokusi mengalami keberhasilan, adapula tindak ilokusi yang

mengalami tidak keberhasilan pada mitratuturnya; 3. Wujud perlokusi dalam dialog

novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari merupakan sebuah tindakan untuk

mempengaruhi mitra tutur. Wujud perlokusi ini dapat berupa hasil yang nyata

setelah ujaran tersebut dituturkan ataupun hasil yang diharapkan oleh penutur.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak semua daya perlokusi menghasilkan

efek seperti yang diharapkan oleh penutur. Ada kalanya ucapan seseorang tidak

memiliki daya pengaruh kepada mitra tuturnya. Selain itu ditemukan pula bahwa

19

efek perlokusi tidak hanya tuturan bentuk verbal, melainkan efek perlokusi dapat

berupa isyarat seperti menangis dan tersenyum; 4. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah tindak tutur merupakan komponen utama dalam sebuah komunikasi antara

penutur dan mitra tuturnya. Komunikasi yang terjadi dalam percakapan antartokoh

dalam tokoh dalam Novel Bekisar Merah memiliki bentuk yang berbeda-beda,

yang oleh Austin dikelompokkan menjadi lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Setiap

tuturan mempunyai keterkaitan antara tindak lokusi, tindak ilokusi dan tindak

perlokusi, sehingga setiap kalimat memiliki kemungkinan menjadi sebuah tindak

lokusi, ilokusi maupun tindak perlokusi; 5. Hubungan tindak tutur lokusi, ilokusi,

dan perlokusi dalam Novel Bekisar Merah memiliki hubungan paralel dan tidak

paralel. Tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi dikatakan paralel jika tuturan

perlokusi menanggapi tuturan lokusi dan ilokusi secara sejajar, sedangkan tindak

tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi dikatakan tidak paralel jika tuturan perlokusi

menanggapi tuturan lokusi dan ilokusi secara tidak sejajar; 6. Pengungkapan tindak

tutur dalam Novel Bekisar Merah meliputi tindak tutur langsung, tindak tutur tidak

langsung, tindak tutur literal, tindak tutur tidak literal, tindak tutur langsung literal,

tindak tutur langsung tidak literal, tindak tutur tidak langsung literal, dan tindak

tutur tidak langsung tidak literal.

Penjelasan di atas merupakan kajian studi terdahulu, penelitian-penelitian

tersebut membahas mengenai masalah tindak tutur penolakan dan strategi

penolakan dalam objek kajian penelitiannya. Untuk itu, dengan menggunakan

analisis yang sama, yakni kajian pragmatik, peneliti mencoba meneliti dari segi

yang berbeda. Dalam penelitian ini, penulis mencoba memfokuskan penelitian

mengenai tindak tutur penolakan pada tokoh-tokoh novel Bumi Manusia karya

20

Pramoedya Ananta Toer dan seberapa jauh jarak sosial dapat mempengaruhi

strategi penolakan.

B. Landasan Teori

1. Pragmatik

Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik, mengkhususkan

pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan. Berkaitan dengan

itu, Mey (dalam Rahardi, 2003:12) mendefinisikan pragmatik sebagai "pragmatics

is the study of the conditions of human language uses as there determined by the

context of society", yang artinya pragmatik adalah studi mengenai kondisi-kondisi

penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks masyarakat.

Levinson (dalam Rahardi, 2003:12) berpendapat bahwa pragmatik sebagai

studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan

konteks tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan

terkodifikasi sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu

saja dari struktur kebahasaannya. Pendapat lainnya disampaikan oleh Leech

(1993:1) bahwa seseorang tidak dapat benar-benar mengerti sifat bahasa bila tidak

mengarti pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa pragmatik tidak lepas dari penggunaan bahasa.

Menurut Jenny Thomas (1995:22), pragmatik adalah bidang ilmu yang mengkaji

makna dalam interaksi. Pengertiam tersebut dengan mengandaikan bahwa

pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negoisasi antara

pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik)

dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran.

21

Menurut Yule (2006:3-4) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics

menyebutkan beberapa batasan ilmu pragmatik. Yule berpendapat bahwa ilmu

pragmatik mempunyai empat batasan. Keempat batasan itu, yakni:

a. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang maksud penutur.

b. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang makna kontekstual.

c. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang bagaimana agar lebih banyak

yang disampaikan daripada yang dituturkan.

d. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang ungkapan jarak hubungan.

Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud pragmatik adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa yang

menghubungkan serta menyerasikan kalimat dan konteks. Namun dihubungkan

dengan situasi atau konteks di luar bahasa tersebut, dan dilihat sebagai sarana

interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat. Bahasa dan pemakai bahasa tidak

teramati secara individual tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatan dalam

masyarakat. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai gejala individual tetapi juga

gejala sosial.

2. Situasi Tutur

Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan (Rustono, 1999:25).

Memperhitungkan situasi tutur sangat pnting di dalam pragmatik. Maksud tuturan

yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang

mendukungnya. Tidak selamanya tuturan itu secara langsung menggambarkan

makna yang dikandung oleh unsur-unsurnya.

Leech dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip Pragmatik

22

(1993:19-20) mengungkapkan bahwa pragmatik berbeda dengan semantik,

pragmatik menyangkutna dalam hubungan pada sebuah situasi tutur. Leech

menjelaskan mengenai aspek-aspek situasi tutur untuk mengetahui apakah suatu

percakapan tersebut merupakan fenomena atau sistematis. Aspek situasi ujar

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)

Orang yang menyapa diberi simbol n 'penutur' dan orang yang disapa

dengan t 'petutur'. Simbol-simbol ini merupakan singkatan untuk

'penutur/penulis' dan 'petutur/pembaca'. Jadi penggunaan penutur dan petutur

tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja.

b. Konteks sebuah tuturan

Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang bergantung dengan

lingkungan fisik dan sosial sebagai tuturan. Konteks dapat diartikan juga

sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh

penutur dan membantu petutur menafsirkan makna tuturan.

c. Tujuan sebuah tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi

oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan adalah sesuatu yang ingin

disampaikan melalui makna yang dimaksud atau maksud penutur

mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan dianggap lebih netral dripada maksud,

karena tidak membebani pemakaiannya dengan suatu kemauan atau motivasi

yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan

yang berorientasi tujuan.

23

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar

Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-performasi

verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian

pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata

bahasa.

e. Tuturan sebagai produk tindakan verbal

Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam

pragmatik kata 'tuturan' dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu sebagai

produk suatu tindak verbal (sentence-instance) atau tanda kalimat

(sentence-token), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Maksud yang kedua ini

tuturan-tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya dikaji dalam pragmatik,

sehingga dengan tepat pragmatik dapat digambarkan sebagai ilmu yang

mengkaji makna tuturan. Tindakan verbal dalam tindakan mengekspresikan

kata-kata atau bahasa.

3. Tindak Tutur

Teori tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin melalui

serangkaian kuliah yang dikenal sebagai The William James Lectures di

Universitas Harvard pada tahun 1955. Pemikiran Austin kemudian dituangkan

menjadi buku berjudul How to do Things with Words dan kemudian sangat

berpengaruh pada perkembangan kajian bahasa selanjutnya. Sebelum para ahli

bahasa beranggapan bahwa sebuah kalimat hanya berfungsi untuk

menggambarkan suatu keadaan atau untuk menyatakan suatu fakta, dan kalimat

tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Austin berpendapat bahwa tidak semua

24

kalimat semata-mata diujarkan untuk menyatakan atau melaporkan sesuatu

(Austin 1962:5). Menurut Austin dalam menuturkan sebuah kalimat seseorang

tidak hanya menyatakan suatu hal tetapi ia juga melakukan suatu tindakan.

Beranjak dari pikiran tersebut, Austin membedakan dua jenis tuturan yakni

tuturan konstatif (constative) dan performatif (performative). Tuturan konstatif

adalah tindak tutur yang hanya berisi suatu pernyataan. Contoh tuturannya "John

is running" (Ibid:55). Tuturan ini hanya semata-mata menggambarkan suatu

keadaan. Sedangkan tuturan performatif adalah tindak tutur yang diucapkan untuk

melakukan suatu tindakan (Ibid:1-11). Contoh tindak tutur performatif yaitu saat

seseorang berkata "i apologize...", "I promise...", "I will..." (pada upacara

pernikahan), atau "I name this ship...". Penuturnya bukan hanya menuturkan

sesuatu akan tetapi melakukan sesuatu, yaitu meminta maaf, berjanji, menikahi

pasangannya, dan memberi nama sebuah kapal. Tetapi di akhir bukunya Austin

menyimpulkan bahwa semua tuturan termasuk ke dalam jenis performatif.

Austin selanjutnya mengatakan bahwa dalam mengucapkan sebuah tuturan,

seseorang melakukan tiga peristiwa tindakan sekaligus, yaitu:

a. Tindak Lokusi (locutionary act)

Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk

menyatakan sesuatu dalam arti "berkata" atau tindak tutur dalam bentuk

kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut sebagai

The Act of Saying Something. Searle (1969) menyebut tindak tutur lokusi ini

dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena tindak tutur

ini hanya berkaitan dengan makna.

25

b. Tindak Ilokusi (illocutionary act)

Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of doing

something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang

mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.

c. Tindak Perlokusi (perlocutionary act)

Sebuah tuturan yang diucapkan seseorang sering memiliki efek atau

daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan

mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (1962:101) dinamakan tindak

perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara

sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur inilah yang merupakan

tindak perlokusi.

4. Jenis Tindak Tutur

Tindak tutur yang tidak terhitung jumlahnya oleh Searle (dalam Rustono,

1999:37) dikategorikan mennjadi lima jenis, yaitu:

a. Representatif (Representatives)

Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat

penuturnya akan kebenaran atas sesuatu yang diujarkan. Jenis tindak tutur ini

terkadang juga disebut dengan tindak tutur asertif. Tuturan-tuturan yang

termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur menyatakan,

menuntut, mengakui, melaporkan, memprediksi, menunjukkan, dan

menyebutkan.

b. Direktif (Directives)

Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh

26

penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan tindakan yang

disebutkan di dalam tuturan itu atau berharap mitra tutur melakukan sesuatu.

Jenis tindak tutur ini kadang-kadang juga disebut dengan tindak tutur imposif.

Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya,

tindak tutur menyuruh, memohon, menuntun, menyarankan, memerintah,

meminta, dan menantang.

c. Komisif (Commisives)

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya

pada suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan

melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Tuturan-tuturan

yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur berjanji,

bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan, dan

mengancam.

d. Ekspresif (Expressives)

Tindak tutur ekspresif adalah tinak tutur yang dilakukan dengan

maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang

disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur

terhadap suatu keadaan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak

tutur ini misalnya, tindak tutur memuji, mengucapkan terima kasih, meminta

maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh.

e. Deklarasi (Declaration)

Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan penutur

dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya)

yang baru. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini

27

misalnya, tindak tutur memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,

mengabulkan, menggolongkan, mengampuni, memafkan, dan mengangkat.

Yule (1996:54-56) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak tutur

langsung dan tidak langsung adalah sebagai berikut:

a. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

1) Tindak Tutur Langsung

Menurut George Yule (1996:54-55), tindak tutur langsung terjadi

apabila ada hubungan antara struktur dengan fungsi. Jadi tindak tutur

langsung adalah bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu

pernyataan.

Sebuah tuturan dapat diungkapkan secara langsung maupun tidak

langsung, seperti dalam Wijana (1996:29) yang mengatakan bahwa

sebuah tuturan dapat mengandung arti sebenarnya dan berfungsi untuk

menyatakan informasi secara langsung karena modusnya adalah kalimat

berita (deklaratif). Sebuah tuturan juga mungkin saja merupakan

pengungkapan secara tidak langsung karena maksud memerintah yang

diutarakan dengan kalimat berita.

Berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita

(deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif)

(Wijana, 1996:30). Secara konvesional kalimat berita digunakan untuk

memberikan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan

sesuatu, kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan,

atau permohonan. Apabila kalimat berita, kalimat tanya dan kalimat

perintah difungsikan secara konvensional maka akan membentuk tindak

28

tutur langsung (direct speech act).

2) Tindak tutur Tidak Langsung

Tindak tutur tidak langsung terjadi apabila ada hubungan tidak

langsung dengan fungsi. Jadi tindak tutur tidak langsung adalah bentuk

deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan (Yule,

1996:55).

Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau

kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.

I Dewa Putu Wijana (1996:30) mengatakan bahwa tindak tutur tidak

langsung dapat digunakan untuk berbicara secara sopan, seperti halnya

kalimat perintah dapat diutarakan dengan kalimat tanya.

b. Tindak Tutur Literal dan Tidak Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang

dimaksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan

tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang

dimaksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang

menyusunnya. Apabila tindak tutur langsung diinteraksikan dengan tindak tutur

literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut:

1) Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act)

Tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan makna yang sama

dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan

kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan

sesuatu dengan kalimat tanya.

29

2) Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act)

Tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak

sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang

menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya:

"Bajumu kotor, tuh". Kalimat itu bukan saja menginformasikan, tetapi

sekaligus menyuruh membersihkannya atau mengganti bajunya.

3) Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech)

Tindak tutur yang diiytarakan dengan modus kalimat yang sesuai

dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki

makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya: "Tulisanmu bagus,

kok". Penutur sebenarnya ingin mengatakan bahwa tulisan lawan tuturnya

jelek.

4) Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act)

Tindak tutur yang yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak

sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang

pembantu membersihkan meja, seorang majikan dapat saja mengutarakan

dengan kalimat "Mejanya bersih sekali, Mbok".

5. Tindak Tutur Penolakan

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak mudah untuk menolak sesuatu dari

lawan tutur, untuk penolakan datar yang diberikan, mungkin ditafsirkan sebagai

lebih dari sekedar penolakan itu sendiri. Sebaliknya, hal itu dapat menciptakan

perasaan ketidaknyamanan di kedua pemohon dan penerima permohonan.

Menanggapi permintaan, undangan, tawaran, dan saran, penerimaan atau

30

persetujuan biasanya disukai oleh peserta tutur sedangkan penolakan tidak disukai

oleh peserta tutur. Penolakan dapat berarti ketidaksetujuan dari ide bicara dan oleh

karena itu, diperlukan adanya Face Threatening Act (FTA). Sementara

penerimaan atau persetujuan cenderung digunakan dalam bahasa langsung tanpa

banyak penundaan, peringanan, atau penjelasan. Penolakan tidak langsung, bisa

dicontohkan dengan penundaan jawaban. Penundaan jawaban menunjukkan

bahwa si penolak memiliki alasan yang baik untuk menolak dan mungkin

menyiratkan bahwa si penolak akan menerima dan menyetujui tawaran atau

permintaan tersebut.

Strategi penolakan yang dilakukan masing-masing bahasa bervariasi antara

negara satu dengan negara lainnya. Tidak semua bahasa atau budaya

menggunakan strategi penolakan yang sama. Penolakan sering mencakup

penjelasan dan alasan mengapa penolakan tersebut diperlukan. Strategi penolakan

berfungsi untuk menghibur penerima penolakan bahwa mereka masih disetujui

tetapi ada alasan yang diperlukan untuk menolak, dan menjelaskan bahwa penutur

menyesalkan adanya keharusan untuk melakukan penolakan. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan strategi penolakan yang dicetuskan oleh Beebe, Takahashi,

dan Uliss-Weltz.

Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz dalam Pragmatic transfer in ESL

refusal (1990:55-73) membagi strategi penolakan menjadi dua kategori, yaitu

direct atau penolakan langsung dan indirect atau penolakan tidak langsung. Perlu

diketahui bahwa strategi tersebut biasanya dalam satu tuturan penolakan terdapat

dua atau lebih strategi yang digunakan. Berikut adalah penjelasan dari strategi

penolakan:

31

A. Strategi Penolakan langsung

1. Performatif

Contoh: Saya menolak untuk membatalkan kelas.

Penutur biasanya mengacu pada tindakan yang terlibat pada saat tuturan

2. Pernyataan non-performatif

a. "Tidak"

Dalam strategi ini, penolakan yang dilakukan oleh kata "tidak" tanpa

modifikasi internal. Kata "Tidak" adalah cara langsung dalam penolakan.

Mengatakan "Tidak" kepada seseorang adalah FTA. Hal ini biasanya diikuti

dengan pelembut bahasa, kecuali dalam beberapa kasus, ketika orang-orang

sangat langsung. Sebagai contoh: Tidak!

b. Kemampuan kemauan negatif

Kategori ini mencakup beberapa ekspresi yang mengandung negasi atau

penyangkalan. Negasi dapat dinyatakan oleh partikel negatif "Tidak", atau dengan

menggunakan kata yang semantis meniadakan proposisi. Misalnya: Saya tidak

bisa meminjamkan mobil saya.

B. Strategi Penolakan Tidak langsung

1. Pernyataan penolakan dengan cara penyesalan/permintaan maaf

Kata-kata "maaf", "menyesal", "permisi" berarti bahwa seseorang telah

melakukan kesalahan, dan merasa buruk tentang hal itu sehingga penutur

meminta pengampunan (maaf). Laporan yang berisi kata-kata ini

diklasifikasikan sebagai penyesalan /permintaan maaf.

Sebagai contoh: Saya minta maaf karena saya tidak punya cukup uang

untuk meminjamkannya kepada Anda.

32

2. Pernyataan penolakan dengan cara mengungkapkan keinginan/harapan

Dalam kategori ini, penutur secara tidak langsung menolak permintaan

dengan menunjukkan keinginan.

Sebagai contoh: Saya berharap saya bisa melakukannya untuk Anda.

3. Pernyataan penolakan dengan cara mengungkapkan alasan / penjelasan

Penutur secara tidak langsung menolak permintaan dengan menunjukkan

beberapa alasan, yang mungkin umum atau khusus.

Misalnya: Saya memiliki sebuah pertemuan penting malam ini.

4. Pernyataan penolakan dengan memberikan alternatif atau pilihan lain

Sementara penutur tidak dapat mematuhi permintaan tersebut, dia

menyarankan alternatif di mana permintaan dapat dipenuhi. Pernyataan

alternatif dapat digunakan untuk melunakkan kekuatan penolakan.

Sebagai contoh: Bagaimana jika Anda meminta Belinda untuk

melakukannya untuk Anda?

5. Pernyataan penolakan dengan mengungkapkan janji penerimaan masa

depan

Dalam beberapa situasi, penolakan tersebut mungkin berisi janji bahwa

permintaan akan dicapai pada waktu kemudian, ketika ada kondisi yang

menguntungkan untuk penyelesaiannya.

Misalnya: Saya akan membelinya untuk Anda pada hari ulang tahun

Anda berikutnya.

6. Pernyataan penolakan dengan memberikan alasan yang berupa prinsip

Dalam kategori ini, penutur menunjukkan sebuah pernyataan yang telah

dianutnya untuk waktu yang lama. Jadi jika ia memenuhi permintaan

33

tersebut, ia mungkin melanggar prinsip.

Sebagai contoh: Saya tidak pernah meminjamkan uang kepada orang

asing.

7. Pernyataan penolakan dengan memberikan alasan yang berupa filosofi

Beberapa orang ingin mengungkapkan apa yang mereka pikirkan tentang

permintaan dengan memberikan sudut pandang atau keyakinan dalam

sesuatu.

Sebagai contoh: tidak apa-apa. Semua orang membuat kesalahan, Anda

tidak perlu mengganti vas bunga tersebut.

8. Pernyataan penolakan dengan cara mengkritik pemohon / Opini Negatif

Penutur mencoba untuk menghalangi lawan dengan mengkritik pemohon

atau memberikan perasaan negatif atau pendapat.

Misalnya: Anda pikir Anda siapa? / Itu ide yang buruk.

9. Pernyataan penolakan dengan menggunakan cara permintaan bantuan,

empati, dan bantuan dengan menjatuhkan atau memegang permintaan.

Sebagai contoh: mudah-mudahan Anda dapat memberi saya izin untuk

tidak pergi melakukan hal ini. Karena saya memiliki rencana penting,

untuk menghadiri pernikahan.

10. Pernyataan penolakan dengan cara permintaan klarifikasi atau informasi

Sebelum memutuskan untuk menolak atau menerima permintaan atau

undangan, seseorang mungkin meminta klarifikasi dari permintaan atau

undangan.

Sebagai contoh: tetapi kapan pesta akan diadakan?

34

11. Pernyataan penolakan dengan cara diam

Terkadang seseorang menghindari memberikan jawaban atas pertanyaan

dengan tidak mengatakan apapun. Keheningan ini menunjukkan

keraguan apakah ia menolak atau menerima sesuatu.

12. Pernyataan penolakan dengan cara keberangkatan fisik

Strategi ini biasanya dilakukan ketika seseorang menghindari

memberikan jawaban atas pertanyaan dengan meninggalkan pembicara.

Strategi non-verbal ini terkadang mengikuti strategi penolakan lainnya,

seperti memberikan alasan dan permintaan maaf yang begitu cepat.

13. Pernyataan dengan cara pengalihan topik

Untuk mengarahkan pembicaraan jauh dari permintaan, lawan tutur dapat

mengubah topik pembicaraan. Dengan pengalihan topik ini, permintaan

diharapkan akan turun.

Sebagai contoh:

Budi : Ada sebuah film baru, Bu,

Ibu : Apa itu?

Budi : "Kuntilanak beranak", Bu. Bolehkah saya melihat film ini?

Ibu : Ibu akan mengunjungi Ayah di rumah sakit. Dokter

mengatakan keadaannya semakin buruk.

14. Pernyataan penolakan dengan cara pengulangan bagian dari permintaan

Sebuah pemohon dapat menolak sesuatu atau menolak seseorang dengan

mengulangi bagian dari permintaan.

Sebagai contoh: apa? Meminjam uang?

35

15. Pernyataan penolakan dengan cara pertanyaan

Sebuah pertanyaan sederhana dapat digunakan untuk menunjukkan

seseorang menolak permintaan atau pendapat.

Sebagai contoh:

Andi : Bisakah Anda membantu saya untuk melakukan pekerjaan

rumah saya, Bu?

Ibu : Tidakkah Anda melihat bahwa saya sedang memasak

sekarang?

16. Pernyataan penolakan dengan cara perintah

Perintah ini juga dapat digunakan untuk menolak sesuatu atau seseorang;

Namun, ini bisa menyinggung lawan tutur karena mendapat FTA.

Sebagai contoh:

Pengemis : Bisakah saya minta segelas air, Bu? Aku sangat haus.

Ibu : Pergi dari rumah saya, pengemis!

17. Pernyataan penolakan dengan cara set kondisi

Kondisi pengaturan berarti bahwa pembicara menggunakan kondisi

hipotetis sebagai alasan untuk menolak.

Sebagai contoh:

Ana: Liz, mari kita pergi sekarang.

Liz : apa kita tidak menunggu Alice?

Ana : Jika dia ingin melihat film, dia akan berada di sini.

36

C. Tambahan untuk Penolakan

Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz dalam Pragmatic transfer in ESL

refusal (1990:55-73) juga menambahkan adjunct to refusal atau tambahan untuk

strategi penolakan. Strategi ini termasuk tambahan berarti yang berfungsi

modifikasi sebagai tambahan untuk melindungi wajah positif pembicara. Strategi

ini biasanya digunakan sebelum atau sesudah penolakan. Berikut adalah beberapa

contoh tambahan penolakan.

1. Pernyataan pendapat positif. Pernyataan tentang pendapat positif atau

persetujuan. Penutur mengungkapkan pendapat yang positif atas ajakan

yang ditawarkan

Sebagai contoh: Aku ingin, tapi... atau tidak apa-apa tapi...

2. Pernyataan empati

Sebagai contoh: Saya menyadari Anda berada dalam situasi yang sulit.

3. Pengisi waktu jeda. Strategi ini digunakan sebagai pengisi waktu antara

selesainya tuturan yang dituturkan pengajak dengan dimulainya tuturan

penolakan yang akan diucapkan penutur.

4. Pernyataan Syukur

Sebagai contoh: Saya sangat bersyukur tapi.

6. Jarak Sosial

Strategi penolakan biasanya dipengaruhi oleh status sosial seperti

kedudukan, pangkat, jasa, ketenaran, maupun kekayaan. Status sosial

menentukan variasi bahasa dan tingkah laku seseorang dalam berinteraksi.

Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terutama pada saat memilih

37

menggunakan kata "tidak" atau memilih strategi penolakan tidak langsung.

Dalam interaksi, cara seseorang berbicara kepada ibu adalah salah satu

faktor yang paling penting untuk mengetahui seberapa baik orang tersebut

mengenal seseorang. Hal ini tercermin di tingkat solidaritas atau jarak sosial

antara penutur dan mitra tutur. Misalnya, bentuk-bentuk standar yang

digunakan untuk menyatakan jarak antara peserta dan gaya tuturan tertentu

yang digunakan untuk melakukan keintiman antara peserta dalam sebuah

tuturan. Selain itu, strategi kesopanan positif tepat diterapkan oleh para

peserta yang kenal baik satu sama lain, tetapi kesopanan negatif cenderung

digunakan oleh orang asing atau mereka yang mempunyai jarak sosial

(Holmes, 2001:374).

Adanya jarak sosial sebagai salah satu faktor indirectness atau

ketidaklangsungan memiliki peran ketika seseorang bertemu dengan orang

asing yang mereka tidak kenal sebelumnya, karena orang tersebut tidak punya

hubungan dengan mereka atau berbeda dalam hal umur, kelas sosial,

pekerjaan, jenis kelamin, dan etnis, dll. Mereka memicu dirinya untuk

menggunakan bentuk indirectness dalam berkomunikasi dengan orang asing.

Sementara itu, jika dia merasa begitu dekat dengan seseorang, mereka

cenderung untuk menggunakan directness atau keterusterangan dalam

membuat tindakan daripada indirectness (Thomas, 1995:128-129).

Jarak sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya atau

masyarakat mempengaruhi cara satu kelompok melakukan komunikasi.

Dengan kata lain, kelompok tersebut akan belajar bahasa kelompok lain

(Longman Dictionary of Applied Linguistics, 1985:261). Selain itu ada empat

38

dimensi yang tercermin pada komunikasi, yaitu skala jarak sosial, skala status

sosial, skala formalitas dan skala fungsi yang diusulkan oleh Holmes

(2001:376).

1. Skala jarak sosial

Skala jarak sosial berkenaan dengan hubungan peserta, seberapa

baik mereka mengenal satu sama lain, yang berbicara kepada siapa

adalah faktor penting yaitu, suami istri, orang tua untuk anak-anak, guru:

siswa atau pekerja untuk manajer. Solidaritas atau jarak sosial terkait

dengan pilihan bahasa yang digunakan selama komunikasi. Skala jarak

solidaritas-sosial dapat ditampilkan sebagai berikut:

Intim jauh

Solidaritas tinggi solidaritas rendah

Holmes 1992:12

2. Skala status sosial

Cara orang berbicara satu sama lain mencerminkan hubungan

mereka pada dimensi ini. Orang-orang dalam kelompok sosial yang lebih

tinggi lebih mungkin menggunakan bentuk standar bahasa. Kata-kata

yang digunakan dalam komunikasi dapat menunjukkan apakah peserta

unggul, subordinat atau setara. Skala status sosial dapat ditampilkan

sebagai berikut.

39

Unggul berstatus tinggi

Subordinat berstatus rendah

Holmes 1992:13

Holmes mengklaim bahwa orang dengan status sosial yang tinggi

lebih cenderung menerima perilaku hormat, termasuk perbedaan bahasa

dan kesopanan negatif. Sehingga mereka dengan status sosial yang lebih

rendah cenderung untuk menghindari menyinggung orang-orang dengan

status yang lebih tinggi dan menunjukkan rasa hormat kepada mereka. Ini

berarti bahwa status yang berbeda antara peserta juga mempengaruhi

pembicaraan. Jika peserta lebih unggul peserta lain, percakapan akan

berbeda dari percakapan antara peserta dengan status yang sama.

Perbedaannya terperangkap dalam pilihan bahasa antara peserta.

3. Skala formalitas

Skala ini berguna dalam menilai pengaruh pengaturan sosial atau

tipe interaksi pada pilihan bahasa. Meskipun solidaritas dan status

biasanya sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan bahasa yang

sesuai, pengaturan formalitas atau tuturan terkadang dapat menaikkan

mereka. Formalitas dan informalitas menentukan pilihan bahasa selama

komunikasi. Skala formalitas dapat ditampilkan sebagai berikut:

40

Formal formalitas tinggi

Informal formalitas rendah

Holmes 1992:13

Menurut Holmes, skala ini berguna dalam mengevaluasi pengaruh

lingkungan sosial atau jenis interaksi pada pilihan bahasa (Holmes, 1992:

13). Ini berarti bahwa kondisi formal dan informal akan mempengaruhi

pilihan bahasa yang digunakan oleh penutur.

4. Fungsional skala (referensial dan afektif)

Bahasa menyajikan banyak fungsi bagi semua masyarakat. Fungsi

dari dimensi mencakup referensial dan afektif. Bahasa dapat

menyampaikan informasi tujuan dari jenis referensial yang disebut

dengan fungsi referensial. Sementara itu, bahasa adalah cara untuk

menunjukkan bagaimana perasaan penutur, hal ini disebut fungsi afektif.

Secara umum, semakin referensial orientasi dalam berinteraksi,

cenderung semakin berkurang pengungkapan perasaan penutur. Dengan

kata lain, ini berhubungan dengan tujuan atau topik interaksi. Timbangan

fungsi referensial dan afektif adalah sebagai berikut:

Referensial

tinggi rendah

Informasi informasi

Isi/kandungan isi/kandungan

41

Afektif

rendah tinggi

Afektif afektif

isi/kandungan isi/kandungan

Holmes 1992:14

7. Sinopsi Novel

Novel Bumi manusia adalah novel pertama dari tetralogi Buru yang ditulis

oleh Pramoedya ketika menjadi tahanan politik di Pulau Buru, Maluku. Sebelum

ditulis pada tahun 1975, Bumi Manusia diceritakan Pramoedya secara lisan kepada

tahanan politik lainnya di Buru pada tahun 1973. Keadaannya di Buru tidak

menyurutkan semangatnya dalam menulis, bagi Pramoedya menulis merupakan

panggilan jiwanya. Tidaklah heran, meskipun dalam kehidupannya yang penuh

dengan penindasan dan ketidakadilan Pramoedya tetap menulis dan menghasilkan

karya-karya yang fenomenal. Sejak kecil Pramoedya mengaku mulai suka menulis,

seperti yang diaku Pram dalam wawancaranya. Pram mulai menulis sejak

kanak-kanak karena ayahnya Toer kebetulan seorang penggarang.

Pengalaman-pengalaman hidup yang telah dilalui Pramoedya dari sejak

masa Hindia Belanda hingga masa reformasi menjadi materi-materi yang

memperkaya karya-karyanya. Novel Bumi Manusia diterbitkan Hasta Mitra pada

tahun 1980 dan satu tahun kemudia dilarang beredar atas perintah Jaksa Agung.

Pelarangan atas Bumi Manusia karena dianggap mengandung Marxisme dan

Leninisme. Tentu saja pelarangan atas karya-karyanya bukanlah pertama kali bagi

42

Pramoedya sehingga tidak mengejutkannya ketika Bumi Manusia dan Anak Semua

Bangsa yang terbit pada tahun yang sama dilarang. Namun menurut Pramoedya,

menulis merupakan hak setiap manusia sehingga tidak ada yang dapat melarang

dan merampas hak tersebut. Oleh karena itu, meskipun di tahanan tidak diizinkan

Pramoedya tetap menulis. Setelah kunjungan Jenderal Soemitro berkunjung ke

Pulau Buru, Pramoedya mendapat lampu hijau dan dapat menulis secara terbuka.

Namun tuduhan atas kandungan novel tersebut belum lah dibuktikan dan

hingga tahun 1999 belum ada pencabutan pelarangan atas karya-karya Pramoedya.

H.B. Jassin yang disebut sebagai sastrawan yang bertentangan dengan Pramoedya

pun memberikan penilaianya tentang Bumi manusia. Menurutnya Bumi Manusia

tidak mengandung hal-hal yang melanggar hukum, namun pelarangan atas novel

tersebut karena ditulis oleh tokoh Lekra. Akan tetapi sejak memasuki era refomasi

karya-karya Pramoedya bisa ditemukan di manapun (GETAR Buletin Sastra

Indonesia, 14: 3-4).

Bumi manusia adalah sebuah cerita tentang bangsawan Jawa yang

menghadapi kekacauan hidup saat masa pendewasaan selama periode penjajahan

Belanda. Dalam novel ini kebanyakan terjadi di Wonokromo, salah satu desa-desa

kecil di Surabaya, Jawa Timur. Karakter utama, Minke adalah keturunan Jawa

yang beruntung karena dapat mendaftar di H.B.S, sebuah sekolah tinggi untuk

siswa keturunan Eropa di Surabaya. Sebagai seorang anak dari keluarga

bangsawan di kota B, Minke tumbuh sebagai anak baik dengan pendidikan yang

baik pula. Situasi ini sangat berbeda dengan sebagian besar anak-anak Indonesia

yang tidak bisa mendaftar ke sekolah dan akhirnya berpaling sebagai penduduk

asli yang tidak berpendidikan. Minke adalah satu-satumya keturunan asli

43

Indonesia di H.B.S, Minke yang tinggal secara terpisah dari orang tuanya,

menunjukkan kinerja yang luar biasa selama masa pembelajaran. Sejak ia bertemu

dan bercampur dengan orang yang beragam dari seluruh dunia, Minke mampu

menyerap berbagai budaya terutama dari Barat. Ia sangat mengidolakan gurunya

dari Belanda yang bernama Juffrow Magda Peters sebagai orang yang selalu

mendorong dia untuk berbagi pemikirannya melalui tulisan karena akan berbekas

selamanya dan tidak pernah akan lenyap oleh waktu.

Seiring berjalannya waktu, Minke secara bertahap tergila-gila pada budaya

Eropa dan secara tidak sadar meninggalkan budaya leluhurnya. Dia benar-benar

memuja peradaban Barat, hal itu dapat dilihat dari cara ia dapat berbicara dalam

bahasa Belanda dengan lancar dan lebih sering digunakan daripada Bahasa

Indonesia dan Jawa. Karena kemampuannya yang sangat baik dalam berbicara

dan menulis dalam bahasa Belanda, Minke ditawarkan untuk menulis artikel di

salah satu Surat Kabar Belanda. Di bawah nama ketenaran Max Tollenar, Minke

mulai menulis artikel dalam bahasa Belanda. Ia menyamar sebagai Belanda dan

menyembunyikan jati dirinya sebagai seorang bangsawan Jawa. Anehnya, nama

Max Tollenar dan tulisannya semakin populer di Surabaya. Pendapatnya yang

tajam dan kritis dalam berkomentar dan meninjau isu-isu yang ada dianggap baik

oleh masyarakat. Beberapa pihak mengklaim bahwa Max Tollenar telah membuka

kedok beberapa kasus sensitif dan kontroversial dengan sudut pandang objektif.

Di sisi lainnya, beberapa artikelnya menimbulkan reaksi tidak ramah dari

beberapa orang yang tidak menyukai keberadaannya.

Sebagai pelajar berprestasi yang selalu berada dalam sorotan, Minke

meraih beberapa kecemburuan dari teman-temannya. Robert Suurhof adalah salah

44

satu teman sekelasnya yang cemburu pada Minke karena ketenaran dan performa

yang hebat di sekolah. Ia selalu berpikir bahwa Minke tidak pantas untuk duduk

bersama dengan orang kulit putih di sekolah yang sama. Suurhof sama seperti

sebagian besar orang Eropa yang menganggap bahwa orang-orang Asia tidak akan

pernah setara dengan mereka. Suatu hari, dia mengajak Minke ke rumah temannya

di Wonokromo. Rumah yang dikenal sebagai Boerderij Buitenzorg adalah rumah

dari keluarga Herman Mellema yang terkenal sebagai tempat yang 'berbahaya'.

Keluarga Mellema sangat populer dan dikenal kaya serta terhormat. Mereka

terasing dan tinggal di sebuah rumah besar. Robert Suurhof adalah teman dari

Robert Mellema yaitu anak dari Herman Mellema. Di Boerderij Buitenzorg pula

Minke bertemu dengan Annelies, Annelies adalah putri dari Tuan Mellema yang

terkenal dengan kecantikannya yang sempurna. Robert Suurhof mempunyai

maksud tersembunyi dengan mengajak Minke ke rumah itu. Ia berusaha untuk

menunjukkan kepada Minke bagaimana orang kulit putih dapat dengan mudah

mendapatkan Annelies. Sayangnya, ia gagal untuk mendapatkan perhatian

Annelies. Annelies malah menyambut Minke dengan senang hati. Pertemuan

pertama mereka telah merubah hidup mereka, Annelies jatuh cinta kepada Minke,

begitupun sebaliknya. Minke berjanji untuk lebih sering berkunjung ke rumah

Annelies.

Kemudian Minke mulai mengetahui lebih dalam tentang keluarga Mellema.

Ibu Annelies, Nyai Ontosoroh yang bernama asli Sanikem adalah keturunan Jawa

murni yang dipaksa menikah dengan Herman Mellema oleh orang tuanya sendiri.

Dengan kata lain, Nyai Ontosoroh dijual kepada Belanda untuk dijadikan gundik

atau wanita simpanan. Kehidupan tidak pernah mudah bagi Nyai Ontosoroh sejak

45

saat itu. Dia harus melayani Herman Mellema sebagai suatu keharusan. Beberapa

tahun kemudian, Herman Mellema menikahinya secara ilegal. Hubungan mereka

menjadi lebih baik dan mereka memiliki dua anak dari perkawinan itu. Meski

Nyai melahirkan anak dari seorang Eropa, pemerintah Hindia-Belanda hanya

mengakui anak dari perkawinan itu tetapi tidak bagi perempuan pribumi yang

dijadikan gundik.

Nyai dan Mellema mempunyai usaha dan menjalankannya dengan sabar

serta kasih sayang sampai perusahaan menjadi lebih besar. Nyai adalah wanita

yang pintar dan pekerja keras. Dari suaminya, dia belajar tentang peradaban Eropa

dan kemodernan. Hal tersebut membuatnya mampu berbahasa Belanda dan

mengetahui baik tentang bagaimana mengelola perusahaan secara profesional. Dia

belajar budaya Barat yang luar biasa tetapi masih bangga kebudayaan leluhurnya.

Itu membuat dia menjadi wanita Jawa berpendidikan dan terhormat yang

statusnya adalah istri tidak sah dari Herman Mellema.

Namun, Herman Mellema mempunyai kasus yang belum selesai dengan

keluarganya di Belanda. Ia telah kehilangan statusnya sebagai kepala keluarga

yang bijaksana. Ketika anaknya dari Belanda datang ke Wonokromo dan

menuntutnya karena ia tidak bertanggung jawab dan meninggalkan keluarganya di

Belanda, Mellema berubah menjadi orang asing, ia meninggalkan Wonokromo,

meninggalkan istri dan anak-anaknya, Annelies dan Robert Mellema. Nyai

Ontosoroh mengambil alih bisnis keluarga dan dikembangkan menjadi lebih besar

daripada sebelumnya. Annelies dirawat dengan baik oleh Nyai sampai dia tumbuh

sebagai seorang gadis pintar yang membantu ibunya menjalankan bisnis keluarga.

Karena kerjasama yang baik antara Ann dan ibunya, perusahaan Boerderij

46

Buitenzorg menjadi perusahaan ternak berkualitas yang memproduksi

barang-barang di Surabaya.

Nyai Ontosoroh adalah wanita pekerja keras, cerdas dan terbuka yang

berjuang untuk hidup keluarganya secara independen setelah ditinggalkan oleh

Herman Mellema bertahun-tahun sebelum Minke melangkah di rumah itu. Namun,

ia masih menyimpan dendam mendalam pada beberapa orang di dalam hidupnya

termasuk kedua orang tuanya. Nyai benar-benar mencintai Minke dan

memungkinkan dia untuk memiliki hubungan dengan Annelies. Dia bahkan

meminta Minke untuk menginap di Boerderij Buitenzorg. Dia juga yang selalu

mengingatkan Minke untuk selalu bangga dengan budaya leluhur dan tidak pernah

mengambil budaya Eropa. Berbeda dengan ibunya dan saudara perempuannya

yang menerima Minke tinggal di rumah mereka, Robert Mellema, yang tidak

pernah menganggap Nyai Ontosoroh sebagai ibunya karena dia seorang pribumi,

tidak nyaman dengan keberadaan Minke di rumahnya. Dia tidak pernah menerima

Minke sebagai tamu keluarga Mellema karena ia berpikir bahwa penduduk

pribumi tidak akan pernah layak sejajar dengan Eropa.

Waktupun berlalu, Minke menghabiskan waktu lebih banyak di Boerderij

Buitenzorg dan jarang kembali ke asramanya. Akibatnya, orang-orang sekitar

mulai bergosip tentang Minke yang tinggal di Boerderij Buitenzorg tanpa ikatan

apapun dengan keluarga Mellema. Kemudian Minke dituduh sebagai simpanan

baru Nyai Ontosoroh. Desas-desus menyebar keluar cukup cepat di Wonokromo

dan menyebar ke rumah Minke. Ayahnya adalah bupati di kota B sangat marah

saat ia mendengar sesuatu yang memalukan tentang anaknya. Setelah itu, Minke

dipaksa untuk kembali pulang dan dihakimi oleh ayahnya sendiri dengan

47

serangkaian tuduhan tanpa bukti. Ayahnya mengklaim bahwa Minke telah

menodai kehormatan nama keluarga. Namun, itu tidak membuat Minke meminta

maaf kepada ayahnya. Dia malah berbalik dan memarahi ayahnya dan akhirnya

memutuskan untuk tidak pernah datang kembali ke rumah. Minke kecewa dengan

ayahnya yang hanya mementingkan kebanggaan dirinya dan tidak percaya dengan

anaknya sendiri. Mulai saat itu, kekecewaannya terhadap budaya Jawa semakin

besar. Dia sangat menentang feodalisme yang masih ada di antara orang Jawa

dimana setiap orang sangat memuja-muja posisi jabatan dan kebanggaan diri.

Minke menjalani hidup pasca bertengkar dengan ayahnya. Dia mulai untuk

lebih sering tinggal di Boerderij Buitenzorg. Dengan seringnya Minke tinggal di

sana membuat hubungannya dan Annelies menjadi lebih dekat hari demi hari.

Oleh karena itu, Nyai Ontosoroh mendorong mereka untuk mengikat hubungan

mereka dengan pernikahan agar menghindari desas-desus negatif terhadap mereka.

Selanjutnya, perkawinan dilakukan dengan persetujuan dari kedua keluarga.

Ibu Minke datang ke pernikahan untuk mendukung anaknya sementara

ayahnya tetap menjauh dari hidup Minke. Hidup ini terasa begitu indah untuk

Minke dan Annelies sampai suatu hari datanglah surat dari putra Herman Mellema

di Belanda yang menuntut Nyai Ontosoroh di pengadilan Belanda. Ir. Maurits

Mellema menggugat Nyai Ontosoroh tentang hak kekayaan dari perusahaan

Boerderij Buitenzorg. Maurits mengklaim bahwa Nyai Ontosoroh dan seluruh

keluarga tidak pantas untuk mengakui dan memiliki properti Boerderij Buitenzorg

karena dia bukan istri yang sah dari Herman Mellema. Keadaan bertambah buruk

ketika Maurits juga mengusulkan untuk membawa Annelies di bawah

bimbingannya dengan cara membawa Annelies ke Belanda. Ini adalah cobaan

48

berat untuk pernikahan Minke. Berbagai rangkaian sidang pun dilalui oleh Nyai

Ontosoroh. Untungnya, dia mendapat banyak dukungan dari masyarakat pribumi

selama persidangan. Namun, itu tidak dapat membantu Nyai Ontosoroh untuk

memenangkan klaim. Hampir semua properti Boerderij Buitenzorg diambil.

Keadaan menjadi lebih buruk ketika Annelies diambil oleh hukum. Maurits

Mellema dan pengadilan Belanda secara paksa mengambil Annelis di tengah

penyakitnya. Minke tidak dapat menerima keputusan dari pengadilan Belanda

tersebut. Penderitan yang dialami Minke membuatnya tersadar bahwa Belanda

dan bangsa-bangsa Eropa lainnya telah membawa penderitaan untuk bangsa dan

khususnya keluarganya sendiri. Ia mulai berpikir tentang apa yang telah ia

lakukan sebelumnya, hal tersebut merubah semua pemikiran Minke yang semula

pengagum Eropa kini dia merasakan ketidakadilan, penjajahan, diskriminasi

Eropa terhadap pribumi.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti

untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir digunakan

peneliti untuk menggambarkan, mengkaji, dan memahami permasalahan yang

diteliti. Peneliti berusaha menjelaskan hubungan dan keterkaitan antar variabel

yang terlibat, sehingga posisi setiap variabel yang akan dikaji menjadi jelas

(Sutopo, 2002:141).

Kerangka pikir yang terkait dalam penelitian ini secara garis besar

digambarkan pada bagan di bawah ini.

49

Objek kajian penelitian ini adalah bentuk tindak tutur serta strategi penolakan

yang dilakukan oleh karakter tokoh pada novel Bumi Manusia di mana penolakan

dipengaruhi oleh adanya jarak sosial melalui tinjauan pragmatik. Sumber data

pada penelitian ini adalah sumber data tertulis yang berupa novel Bumi Manusia

karya Pramoedya Ananta Toer. Dari sumber data akan diperoleh data penelitian

berupa dialog yang diucapkan oleh para tokoh dalam novel yang mengandung

tindak tutur serta startegi penolakan yang dipengaruhi oleh jarak sosial. Dialog

dalam novel Bumi Manusia akan dianalisis menggunakan teori tindak tutur serta

strategi penolakan Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz, dan teori Holmes tentang

domain jarak sosial dan kesantunan Brown dan Levinson untuk menjawab

pertanyaan tentan bagaimanakah bentuk tindak tutur penolakan, jenis strategi

penolakan dan alasan mengapa para tokoh menggunakan strategi penolakan dalam

novel Bumi Manusia.

Novel Bumi Manusia

Karya Pramoedya Ananta

Toer

Analisis Pragmatik

Jarak Sosial

Tindak Tutur

Penolakan

Simpulan