bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir a. penelitian
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Penelitian Terdahulu
Kajian pustaka dalam penelitan ini dilakukan dengan cara menelusuri
penelitian-penelitian terdahulu, khususnya yang berkaitan dengan objek plesetan
Kaos Tomat, yakni:
Skripsi Aris Mustofa (2010) berjudul “Wacana Humor Dalam Plesetan Gokil
Karya Diela Maya” (Suatu Kajian Pragmatik). Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah (1) bagaimanakah prinsip kerja sama dalam buku plesetan Gokil Karya Diela
Maya?, (2) bagaimanakah implikatur percakapan terbentuk dengan adanya
pelanggaran prinsip kerja sama dalam buku plesetan Gokil Karya Diela Maya?.
Simpulan penelitian ini adalah penerapan prinsip kerja sama yang meliputi
pelanggaran-pelanggaran dan pemenuhan terhadap prinsip kerja sama. Pelanggaran
prinsip kerja sama mencakup pelanggaran satu maksim, pelanggaran dua maksim,
pelanggaran tiga maksim, dan pelanggaran empat maksim; adapun pelanggaran dan
pemenuhan prinsip kerja sama mencakup pelanggaran satu maksim dan pemenuhan
satu maksim, pelanggaran satu maksim dan pemenuhan dua maksim, pelanggaran dua
maksim dan pemenuhan satu maksim.
Skripsi Elisabet Verdiana (2007) berjudul “Plesetan dalam Kolom Capek
Harian Suara Merdeka (Sebuah Analisis Wacana)”. Permasalahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah (1a) bagaimanakah implikatur yang terdapat dalam kolom
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
capek? (1b) bagaimanakah praanggapan yang terdapat dalam kolom capek ? (2a)
mendeskripsikan referensi yang terdapat dalam kolom capek (2b) bagaimanakah
inferensi dalam kolom capek? (3) mendeskripsikan jenis dan fungsi plesetan yang
terdapat dalam kolom capek?
Simpulan dalam penelitian ini adalah (1a) implikatur yang terdapat dalam
Kolom Capek menyatakan sindiran terhadap perseorangan, kelompok maupun
lembaga yang ada di Indonesia. (1b) beberapa hal pentingnya praanggapan dalam
Kolom Capek, yaitu : penulis tidak perlu menjelaskan arti kata satu-persatu sehingga
dapat menghemat tempat, penulis tidak terlalu menggurui pembaca, (2a) jenis-jenis
referensi atau pengacuan yang terdapat dalam Kolom Capek, yaitu pengacuan
endofora yang meliputi: (a) endofora kataforis, (b) endofora anaforis, dan pengacuan,
(2b) inferensi dalam Kolom Capek ini yang ditafsirkan melalui penafsiran lokal
(mencari konteks terdekat yang melingkupi wacana) dan penafsiran analogi
(memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian/keseluruh) sebuah
wacana), (3) beberapa jenis plesetan yang terdapat dalam Kolom Capek, yaitu
plesetan fonologis, plesetan grafis, plesetan morfemis, plesetan frasal, plesetan
kalimat, plesetan ideologis, dan beberapa fungsi plesetan yang terdapat dalam Kolom
Capek.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada
penelitian Aris Mustofa, 2010 membuat skripsi dengan judul “Wacana Humor Dalam
Plesetan Gokil Karya Diela Maya” menggunakan kajian pragmatik dengan sumber
data buku plesetan gokil karya Diela Maya. Penelitian selanjutnya oleh Elisabet
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Verdiana, 2007 dengan judul “Plesetan dalam Kolom Capek Harian Suara Merdeka”.
Menggunakan kajian analisis wacana dengan sumber data Koran. Dari uraian tersebut
yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pendekatan
penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik dengan sumber data Kaos Tomat.
Penelitian lain yang membedakan Kaos Tomat dan penelitian sebelumnya adalah
penelitian ini bersifat lebih mengembangkan, lebih bervariasi dan menambah
wawasan khususnya pembelajaran pragmatik yang terdapat pada plesetan Kaos
Tomat, di dalamnya menjelaskan tentang wujud tindak tutur ilokusi dan wujud
implikatur apa saja yang terdapat dalam Kaos Tomat.
B. Landasan Teori
Landasan teori digunakan untuk membedah permasalahan yang diangkat
dalam sebuah penelitian. Teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hakikat Pragmatik
Istilah pragamatik pertama kali muncul dari seorang filosof pada tahun 1938
yang bernama Charles Morris. Menurut Charles Morris yang dikutip dari Levinson
dalam F. X. Nadar (2009:5), membagi ilmu tentang tanda atau semiotik menjadi tiga
konsep dasar, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. mengartikan bahwa pragmatik
sebagai “the study of relation of signs to interpreters” atau studi relasi antara tanda-
tanda dengan para penafsiran. Oleh karena itu, tanda-tanda yang dimaksud dalam
pengertian tersebut adalah bahasa yang berawal dari suatu pemikiran dan kemudian
berkembang pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik. Perkembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
bidang ini di Amerika diilhami oleh karya filsuf yang memperhatikan bahasa, yaitu
Austin pada tahun 1962 dan muridnya Searle pada tahun 1969-1975. Austin menulis
buku yang berjudul How to Do Things with Word, Austin mengemukakan gagasan
tentang tuturan gagasan tentang tuturan perfomatif dan konstatif. Gagasan lain yang
amat penting adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Searle meneruskan pemikiran Austin dengan bukunya yang berjudul Speech
Acts: An Essay in The Philosophy of Language. Pada karyanya yang lain Searle
berpendapat bahwa tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dapat dikategorikan
menjadi lima macam saja, yaitu asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi.
Sejak terbitnya dua karya perintis pragmatik itu, bermunculan karya lain di bidang
ini. Grice pada tahun 1975 mencetuskan teori tentang implikatur percakapan
(conversational implikatur). Gagasan itu dipublikasikan dalam artikelnya yang
berjudul Logic and Conversation. Gagasan penting lain dalam artikel itu adalah
prinsip kerja sama (cooperative principle), yaitu prinsip percakapan yang
membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan
dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip itu dijabarkan ke dalam
empat maksim, yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Pada tahun 1978
Brown dan Levinson mengemukakan masalah kesantunan berbahasa yang berkenaan
dengan nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif.
Pada tahun 1983 terbit karya Leech berjudul Principles of Pragmatics. Buah
pikiran penting penulisannya terdapat di dalam karya ini, yaitu tentang prinsip
kesantunan (politeness principle). Gagasan Leech tentang kesantuan itu berkenaan
dengan kaidah yang dirumuskan dalam enam maksim. Keenam maksim itu adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
maksim kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kecocokan, dan
kesimpatian.
Menurut Yule (2006:3) pragmatik adalah studi tentang maksud tuturan.
Artinya studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis dan
ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca. Sebagai akibatnya studi lebih banyak
berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-
tuturannya dari pada dengan makna terpisah atau frase yang ada dalam tuturan itu
sendiri. Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics menyebutkan beberapa
batasan ilmu pragmatik. Menurutnya (2006:3-4) ilmu pragmatik mempunyai empat
batasan. Keempat batasan itu, yakni:
1. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang maksud penutur.
2. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang makna kontekstual.
3. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang bagaimana agar lebih banyak
yang disampaikan dari pada yang dituturkan.
4. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang ungkapan jarak hubungan.
Menurut I Dewa Putu Wijana pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu
digunakan dalam komunikasi (1996:1).
Pragmatik mengungkapkan maksud suatu tuturan di dalam peristiwa
komunikasi, oleh karena itu analisis pragmatik berupaya menemukan maksud
penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan secara
tersirat di balik tuturan. Maksud tuturan dapat diidentifikasikan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
mempertimbangkan komponen situasi tutur yang mencakupi penutur, mitra tutur,
tujuan, konteks, tuturan sebagai hasil aktivitas, dan tuturan sebagai tindakan verbal
(Rustono, 1999:17). Pragmatik selalu dikaitkan dengan pemakaian bahasa sebagai
alat komunikasi yang sesuai konteksnya atau sesuai dengan faktor-faktor penentu
dalam komunikasi (Harimurti Kridalaksana, 2001:137). Berdasarkan definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mempelajari bahasa
sekaligus konteks yang melatarbelakanginya.
Levinson memaparkan bahwa pragmatik merupakan kajian hubungan antara
bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dengan
demikian untuk memahami pemakaian bahasa dituntut pula pemahaman konteks yang
mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson,
yaitu bahwa pragmatik mengkaji tentang kemampuan pemakai bahasa untuk
mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai dengan kalimat-kalimat
tersebut (levinson dalam Muhammad Rohmadi, 2004:4).
Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa
yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar,
dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang
dibicarakan (Verhaar, 1999:14).
Menurut Mey (1993: 38), pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari
kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh
konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Lebih lanjut dapat
dijelaskan bahwa konteks yang dimaksud terdiri dari konteks yang bersifat sosial dan
konteks yang bersifat sosietal. Konteks sosial (social context) muncul dari dampak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
interaksi antar anggota dalam suatu masyarakat dan budaya tertentu. Konteks sosial
(societal context) merupakan jenis konteks yang faktor penentunya berupa kedudukan
(rank) anggota masyarakat dalam institusi. Orientasi konteks sosietal adalah
kekuasaan (power), sedangkan pada konteks sosial berupa solidaritas (solidarity).
Dari uraian Mey di atas bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang
mendasarkan pijakan analisisnya pada entitas konteks. Adapun konteks yang
dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh
penutur dan mitra tutur dan yang menyertai dan mewadahi pertuturan tertentu.
Dalam pragmatik, ada dua hal penting yang perlu dicermati, yakni
penggunaan bahasa dan konteks. Penggunaan bahasa di sini menyangkut fungsi
bahasa (language functions), sedangkan konteks terkait erat dengan budaya di dalam
masyarakat yang menunjukkan masyarakat satu dengan lainnya (Edy Tri Sulistyo,
2013:4).
Konteks yang semacam itu lazim disebut dengan konteks situasi tutur (speech
situasional contexts). Konteks situasi tutur di dalam bidang pragmatik mencakup
aspek-aspek: (1) penutur dan lawan tutur (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4)
tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan (5) tuturan sebagai produk tindak
verbal (I Dewa Putu Wijana, 1996:10-12).
2. Aspek-Aspek Tindak Tutur
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyatan ini sejalan
dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur
merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Memperhitungkan situasi tutur sangat penting di dalam pragmatik. Maksud tuturan
yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya.
Tidak selamanya tuturan itu secara langsung menggambarkan makna yang dikandung
oleh unsur-unsur (Rustono, 1999:25).
Menyangkut kemungkinan bermacam-macam maksud yang dapat
diekspresikan oleh penutur, Leech (dalam Rustono, 1999:26-29) menyatakan bahwa
di dalam bahasa pada dasarnya terdapat lima komponen situasi tutur, yakni:
a. Penutur dan Mitra Tutur
Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi
pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Mitra tutur adalah orang yang
menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pertuturan. Aspek-aspek yang
terkait antara lain usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin tingkat
pendidikan, dan tingkat keakraban (Rustono, 1999:25).
b. Konteks Tuturan
Konteks tuturan mencakup semua fisik atau latar sosial yang relevan dengan
tuturan yang diekspresikan. Konteks yang berupa fisik disebut ko-teks (cotext),
sedangkan konteks latar sosial disebut konteks. Dalam pragmatik, konteks itu pada
hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang
dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Konteks ini membantu mitra tutur di
dalam menafsirkan maksud diinginkan oleh penutur.
c. Tujuan Tuturan
Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan
tindakan bertutur. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya berbagai macam
maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Bentuk-bentuk tuturan Pagi,
Selamat pagi dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama, yakni menyapa
mitra tuturan yang dijumpai pada pagi hari. Selain itu Selamat pagi dengan berbagai
variasinya bila diucapkan dengan nada tertentu dan situasi yang berbeda dapat pula
digunakan untuk mengejek guru yang terlambat masuk kelas (I Dewa Putu Wijana,
1996:11).
d. Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
Tindak tutur merupakan tindakan juga. Konsep ini bertentangan dengan
akronim NATO (no action talking only) yang memandang berbicara bukanlah
tindakan. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan (act).
Tindak tutur sebagai suatu tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan
menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan
mencubit tanganlah yang berperan, pada tindakan menendang kakilah yang berperan,
sedangkan pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan kaki, dan alat
ucap adalah bagian tubuh manusia (Rustono, 1999:28).
e. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan merupakan hasil tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa.
Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal yang terjadi dalam situasi tertentu.
Tuturan dibedakan menjadi dua yaitu tindakan verbal dan tindakan non verbal.
3. Tindak Tutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Di dalam pragmatik, tuturan merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks
situasi tutur sehingga aktivitasnya disebut tindak tutur. Menurut Rustono (1999:31)
tindak tutur (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik.
Oleh karena sifatnya yang sentral itulah, tindak tutur bersifat pokok di dalam
pragmatik. Mengajarkan sebuah tuturan tertentu bisa dipandang sebagai melakukan
tindakan (mempengaruhi, menyuruh) mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu.
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa tindak tutur adalah produk atau hasil
dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari
interaksi lingual. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa tindak tutur adalah
sepenggal tuturan yang dihasilkan sebagai bagian terkecil dalam interaksi lingual.
Tindak tutur dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.
Istilah dan teori tindak tutur diperkenalkan pertama kali oleh J. L. Austin,
seorang guru besar Universitas Harvard pada tahun 1956. Teori yang berasal dari
mata kuliah itu kemudian dibukukan oleh J. O. Urmson (1962) dengan judul How to
do Things with Word? Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi
linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Acts: An Essay in
The Philosophy of Language (Abdul Chaer dan Leoni Agustina, 2004:50). Melalui
buku itu, Austin mengemukakan pandangan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi
untuk mengatakan sesuatu, bahasa juga dapat digunakan untuk melakukan sesuatu.
Berkaitan dengan teori tindak tutur Austin (1962) mengemukakan dua
terminologi, yaitu tindak tutur konstatif (constative) dan tuturan performatif
(performative). Tuturan konstatif adalah tuturan yang pengutaraanya hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
dipergunakan untuk menyatakan sesuatu (1962:4-6). Tuturan performatif adalah
tuturan pengutaraanya dipergunakan untuk melakukan sesuatu.
Searle mengemukakan bahwa secara pragmatik setidak-tidaknya ada tiga jenis
tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak tutur lokusi,
tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi (dalam Suyono, 1990:17). Berikut
keterangan lebih lanjut tentang ketiga tindak tutur tersebut.
1) Tindak lokusi
Tindak lokusi yaitu tindak tutur yang menyatakan sesuatu. Secara jelasnya
tindak lokusi merupakan makna harfiah. Tindak lokusi adalah tindak tutur yang
menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang
bermakna dan dapat dipahami.
2) Tindak ilokusi
Tindak ilokusi adalah tindak tutur untuk menginformasikan sesuatu, juga
dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ilokusi di samping
menginformasikan sesuatu kepada mitra tutur juga menuntut suatu tindakan. Tindak
ilokusi dalam pemahamannya harus mempertimbangkan siapa penutur dan mitra
tuturnya, kapan, dan dimana tindak tutur itu terjadi, situasi, dan sebagainya. Tindak
tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima
kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Dengan demikian, tindak ilokusi
merupakan bagian sentral dalam memahami tindak tutur.
3) Tindak Perlokusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Tindak perlokusi yaitu tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudnya untuk
mempergunakan mitra tutur. Tindak tutur ini mempunyai pengaruh bagi mitra tutur
baik secara sengaja atau tidak secara sengaja dilakukan oleh penuturnya. Tindak tutur
perlokusi sulit dideteksi, karena harus melibatkan konteks tuturannya. Hal ini dapat
ditegaskan bahwa setiap tuturan dari seorang penutur memungkinkan sekali
mengandung hanya mengandung tindak tutur lokusi, dan perlokusi. Namun, tidak
menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau ketiga-tiganya
sekaligus.
4. Jenis-Jenis Tindak Tutur
Tindak tutur yang tidak terhitung jumlahnya oleh Searle (1975:59-82)
dikategorikan:
1) Tindak Tutur Asertif (assertives) atau Representatif
Tindak tutur Asertif (assertives) adalah tindak tutur yang mengikat
penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya. Termasuk dalam tindak tutur
ini misalnya tuturan-tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan,
menunjukkan, menyebutkan, memberikan, kesaksian, berspekulasi, dan sebagainya.
2) Tindak Tutur Direktif (directives)
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar
mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturannya itu. Jenis tindak
tutur ini kadang-kadang disebut juga tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam
jenis tindak tutur direktif adalah tuturan-tuturan memaksa, mengajak, meminta,
menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, menasihati, memberi aba-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
aba, menantang, dan sebagainya. Indikator bahwa tuturan itu direktif adalah suatu
tindakan yang harus dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan itu.
3) Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar
ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif adalah tuturan-tuturan
memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan,
mengucapkan selamat, mengucapkan rasa senang, menyanjung, dan sebagainya.
4) Tindak Tutur Komisif
Tindak tuturan komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Yang termasuk ke dalam
jenis tindak tutur komisif adalah tuturan-tuturan berjanji, bersumpah, mengancam,
menyatakan, kesanggupan, menawarkan, dan sebagainya.
5) Tindak Tutur Deklarasi
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya
untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Fraser (dalam
Rustono, 1999:40) menyebut jenis tindak tutur ini dengan istilah establishive atau
isbati. Tuturan yang termasuk dalam tindak tutur deklarasi adalah tuturan-tuturan
dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, memaafkan, dan
sebagainya. Menurut Yule (1996:53), penutur harus memiliki peran institusional
khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Sebuah tuturan mempunyai tujuan. Untuk dapat menerima tujuan itu, agar
tepat dengan tujuannya, beberapa situasi sangat mempengaruhi: isi leksikal dari suatu
ujaran harus tepat, situasi sosial yang terjadi harus tepat, penutur harus bersungguh-
sungguh dengan apa yang dikatakan dan mitra menerima tuturan sesuai dengan
tujuannya. Tindak tutur dibedakan menurut tujuannya, apakah berkaitan dengan
kenyataan atau fakta-fakta potensial, sesuatu yang akan atau sudah terjadi antara
penutur dan mitra tutur. Dalam hal ini Kreidler (1998:183-194) membagi tindak tutur
menjadi tujuh:
1) Asertif (Assertif Utterances)
Penutur menggunakan bahasa untuk menceritakan apa yang mereka ketahui
dan percayai. Tujuannya yaitu memberikan informasi, misalnya mengatakan,
mengumumkan, menjelaskan, menunjukkan, menyebutkan, melaporkan,
menceritakan, memberitahukan (Kreidler, 1998:183).
Bahasa ini berkaitan dengan pengetahuan, dengan pengertian, ini menyangkut
soal data yang akan atau sudah ada, yang terjadi atau sudah terjadi atau tidak terjadi.
Jadi, tuturan asertif berada benar atau salah, dan biasanya dapat verivikasi atau
dipalsukan.
2) Performatif (Performative Utterences)
Tindak tutur yang membuat atau menyebabkan resminya apa yang diucapkan,
misalnya mengumumkan, membabtis, menyebut, mencalonkan, menamakan,
menjatuhkan hukuman (Kreidler, 1998:185).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Tuturan performatif membuat sesuatu terjadi hanya dengan menuturkannya.
Hal ini meliputi taruhan-taruhan dan hal-hal yang diucapkan dalam berbagai upacara
dan tindakan resmi yang mempengaruhi orang lain dengan siapa penutur berbicara.
3) Verdikatif (Verdikative Utterances)
Tindak tutur verdikatif terjadi karena penutur membuat perkiraan atau penilaian
terhadap tindakan orang lain, biasanya mitra tutur, misalnya menuduh, bertanggung
jawab, berterima kasih (Kreidler, 1998:187). Sejak tuturan-tuturan ini ada, penilaian
seorang penutur terhadap tindakan mitra tutur sebelumnya atau apa yang terjadi pada
mitra tutur, diingat oleh penutur.
4) Ekpresif (Expressive Utterances)
Tindak tutur ekspresif terjadi karena tindakan penutur, kegagalan penutur
serta akibat yang ditimbulkan kegagalan itu, misalnya mengakui, bersimpati,
memaafkan, dan sebagainya (Kreidler, 1998:188). Ekspresif terjadi ketika penutur
mengatakan perbuatan yang telah mereka lakukan dan perasaannya saat ini.
5) Direktif (Direktif Utterances)
Penutur meminta mitra tutur untuk melakukan perbuatan atau tidak
melakukan tindakan. Dalam direktif, penutur mencoba untuk mempengaruhi tindakan
mitra tutur. Tindakan tutur direktif terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Perintah (Commands)
Sebuah perintah dapat berjalan jika penutur mempunyai derajat yang
lebih tinggi dalam mengatur tindakan mitra tutur.
b. Permohonan atau Permintaan (Request)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Permohonan atau permintaan adalah ekspresi dari apa yang penutur
inginkan dari mitra tutur untuk melakukan atau membalas dengan perbuatan.
Permohonan tidak mengharuskan penutur mempunyai derajat lebih tinggi dari
mitra tutur.
c. Anjuran (Suggestions)
Tuturan yang kita ujarkan untuk orang lain untuk memberikan pendapat
kita apa yang harus dan tidak mereka lakukan.
6) Komisif (Commissive Utterances)
Tuturan yang kita ujarkan untuk orang lain untuk melakukan suatu tindakan,
misalnya menyetujui, bertanya, menawarkan, menolak, berjanji, bersumpah (Kreidler,
1998:192).
7) Fatis (Phatic Utterances)
Tindak tutur yang bertujuan untuk menciptakan hubungan antara penutur dan
mitra tutur (Kreidler, 1998:194). Tindak tutur fatis meliputi ucapan salam, ucapan
salam berpisah, cara-cara yang sopan seperti thank you, you are welcome, exusme me
yang tidak berfungsi verdikatif atau ekspresif. Tuturan fatis juga meliputi semua
pertanyaan-pertanyaan pendek tentang cuaca, menanyakan keadaan satu sama lain,
dan apapun biasa, dan diharapkan dalam kehidupan sosial. Tuturan fatis merupakan
suatu tuturan yang bertujuan untuk mempererat ikatan dalam kehidupan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tindak tutur menurut Wijana dibedakan menurut jenis-jenisnya. Wijana
membagi jenis tindak tutur menjadi beberapa jenis sebagai berikut (I Dewa Putu
Wijana, 1996:29-36).
a. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
1) Tindak tutur langsung
Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang dengan mudah dapat diketahui
adanya hubungan langsung antara struktur dengan fungsi. Berdasarkan modusnya
secara formal, kalimat dibagi menjadi tiga yaitu kalimat berita (deklaratif), kalimat
tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita digunakan untuk
menyampaikan sesuatu atau memberitahukan sebuah informasi, kalimat tanya
dipergunakan untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah digunakan untuk
memerintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Apabila ketiga jenis kalimat
tersebut difungsikan secara konvensional, maka akan terbentuklah tindak tutur
langsung (direct speech act).
2) Tindak tutur tidak langsung
Tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) adalah tindak tutur untuk
memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini
dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang
diperintah tidak merasa dirinya diperintah.
b. Tindak tutur literal dan Tindak tutur tidak literal
Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna
kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur literal adalah tindak tutur yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang
menyusunnya (I Dewa Putu Wijana, 1996:32).
Contoh.
1. Penyanyi itu suaranya bagus.
2. Suaramu bagus, (tapi tak usah nyanyi saja).
Kalimat pertama apabila diutarakan untuk maksud memuji atau mengagumi
kemerduan suara penyanyi yang dibicarakan, merupakan tindak tutur literal,
sedangkan kalimat kedua, karena penutur memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya
tidak bagus dengan mengatakan tak usah nyanyi saja, merupakan tindak tutur tidak
literal.
Selanjutnya apabila tindak tutur langsung disinggungkan (diinteraksikan)
dengan tindak tutur literal dan tidak literal, akan didapatkan tindak tutur tindak tutur
sebagai berikut.
c. Tindak Tutur Langsung Literal dan Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
1) Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur langsung literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan
modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud
memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat
berita, menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya, dan sebagainya (I Dewa Putu
Wijana, 1996:33).
2) Tindak tutur langsung tidak literal
Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diungkapkan
dengan modus kalimat tidak sesuai dengan maksud pengutaraanya, tetapi makna kata-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak
tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya (I
Dewa Putu Wijana, 1996:34).
d. Tindak Tutur Tidak Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
1) Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan
modus kalimat yang sesuai maksud tuturan tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak
memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah
diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan
kalimat berita (I Dewa Putu Wijana, 1996:35).
2) Tindak tutur tidak langsung tidak literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan
dengan modus kalimat dan tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan (I
Dewa Putu Wijana, 1996:35-36).
5. Implikatur
Salah satu bagian dari pragmatik adalah implikatur. Implikatur (implicature)
berasal dari kata kerja “to imply” kata tersebut secara etimologis bermakna “to fold
something into something else” yang berarti mengatakan sesuatu dalam sesuatu.
Konsep implikatur pertama kali dikenalkan H. P. Grice (1975) untuk memecahkan
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.
Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara
harfiah (Brown dan Yule dalam Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik, 2006:170).
Muhammad Rohmadi, (2004:113) menyatakan bahwa Implikatur adalah
ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan. Pemahaman terhadap implikatur akan lebih mudah jika
penulis atau penutur dan pembaca atau lawan tutur telah berbagi pengalaman.
Pengalaman dan pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan dan
pengalaman tentang berbagai konteks tuturan yang melingkupi kalimat-kalimat yang
dilontarkan penulis.
Pertuturan yang terdapat dalam sebuah komunikasi tidak selalu menghasilkan
pemahaman yang mirip atau sama antara pembaca dan penulis. Pembaca dan penulis
harus memiliki latar belakang yang sama tentang sesuatu yang dipertuturkan.
Keduanya terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang
sedang dipertuturkan tersebut saling dimengerti.
Kunjana Rahardi (2002:43), mengemukakan bahwa di dalam implikatur,
hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu
bersifat tidak mutlak. Berpijak pada pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dalam
membuat perumusan sebuah ungkapan terdapat berbagai macam kemungkinan
implikatur dari sebuah ungkapan yang sama tanpa pembatasan satu maksud saja.
Kecenderungan sifat implikatur yang tidak terbatas dan tidak mutlak ini
sejalan dengan pendapat I Dewa Putu Wijana (1996:38), karena implikatur bukan
merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua proposisi itu
bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence). Implikatur biasanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
ditandai dengan penggunaan kata “mungkin”. Ungkapan yang berbunyi “ Kakak
segera datang, cepatlah diam dan jangan menangis!” bukan semata-mata
dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa kakaknya akan segera datang dari tempat
tertentu. Ungkapan tersebut dapat mengimplikasikan bahwa Si Kakak adalah orang
yang paling ditakuti anak yang menangis tersebut karena sering marah apabila
adiknya menangis. Implikasi lainnya dapat pula Si Kakak seorang yang sangat
penyayang karena biasa memberikan hadiah pada keduanya setelah pulang dari
bepergian sehingga tangisan salah satu adiknya harus segera diakhiri.
Implikatur yang diutarakan oleh Grice (dalam Soeseno Kartomihardjo,
1993:30) sebagai ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan.
Dengan demikian, implikatur mengisyaratkan adanya perbedaan antara
tuturan dengan maksud yang ingin disampaikan. Namun, perbedaan itu tidak menjadi
kendala dalam percakapan, karena para peserta tutur sudah saling mengetahuinya.
Oleh karena itu, maksud atau implikasi terkadang memang tidak perlu
diungkapkannya secara eksplisit.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, masyarakat bahasa sering
menggunakan implikatur untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya memperhalus
proposisi yang diujarkan dan menyelamatkan muka (saving save). Dalam hubungan
timbal balik dalam konteks budaya kita, penggunaan implikatur terasa lebih sopan,
misalnya untuk tindak tutur memerintah, menolak, meminta, memberi nasihat,
menegur, dan lain-lain. Tindak tutur yang banyak melibatkan reaksi “emosi” mitra
tutur pada umumnya lebih diterima jika disampaikan dengan implikatur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Jadi, implikatur merupakan salah satu gagasan cukup penting dalam
pragmatik, karena secara umum implikatur memberikan beberapa sumbangan sebagai
berikut (Levinson dalam Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik, 2006:173).
a. Implikatur dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan
yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik.
b. Implikatur dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah
dari yang dimaksudkan si pemakai bahasa.
c. Implikatur dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang
hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
d. Implikatur dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan
tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).
Implikatur konvensional adalah implikatur yang mengungkapkan suatu makna
implisit yang secara umum atau secara konvensional dapat diterima oleh semua
orang. Menurut Grice (dalam Leech, 1993:17) implikatur konvensional sebagai
implikasi pragmatik yang diperoleh langsung dari makna dan bukan dari prinsip-
prinsip percakapan.
Implikatur konvensional ditentukan oleh arti konvensioanl kata-kata yang
dipakai. Contohnya adalah “Suroto orang Jawa, karena itu ia mengerti sopan
santun” (Rustono, 1999:80).
Implikasi tuturan di atas adalah bahwa Suroto akan sopan santun merupakan
konsekuensi karena ia orang Jawa. Jika Suroto bukan orang Jawa, tentu tuturan itu
tidak berimplikasi bahwa Suroto mengerti sopan santun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas ini, implikatur
konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim.
Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan, dan tidak tergantung
pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Implikatur konvensional
diasosiasikan dengan kata-kata itu digunakan. Kata penghubung “tetapi” dalam
bahasa Inggris adalah salah satu dari kata-kata ini.
Contoh:
Jack is old and healthy.
(Jack itu tua dan sehat)
Jack is old but healthy
(Jack itu tua tapi sehat)
Secara konvensional ujaran kedua menjelaskan bahwa ada kontras antara tua
dan sehat yakni meskipun tua tapi Jack sehat. Namun demikian, implikatur yang
sama ini tidak dihasilkan oleh ujaran yang pertama, suatu padanan ujaran yang kedua
tergantung pada kebenaran. Perubahan bentuk linguistik dari ”but” ke “and” dalam
hal ini telah menyebabkan implikatur tersebut menjadi terlepas.
Implikatur non konvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi
pragmatis yang tersirat di dalam suatu percakapan. Implikatur percakapan memiliki
makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pasalnya, pemahaman terhadap hal
“yang dimaksudkan” sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan.
Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan (speech act).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Grice (dalam Leech, 1993:18) memperkenalkan verba implicate dan nomina
yang berkaitan dengannya, yaitu implicature (impliying) dan implicatum (what is
implied). Tuturan memgimplikasikan sesuatu, yang memiliki fungsi pragmatis lain,
yang kemudian dinamakan implikasi. Karena implikasi itu hadir dalam kaitannya
dengan prinsip pragmatis, implikasi itu dinamakan pula implikasi pragmatis. Jadi,
implikatur percakapan itu merupakan implikasi pragmatis yang dikandung di dalam
suatu tuturan percakapan akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan.
6. Plesetan
a. Latar Belakang dan Pengertian Plesetan
Menurut kamus Horne plesetan berasal dari akar kata pleset (bahasa Jawa)
yang artinya „meluncur di tempat licin untuk bersenang-senang atau bermai-main
dengan kata‟ (Ariel Heryanto, 1996:110) sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI, 2005:366), bahasa Indonesia menyerap bentuk ini menjadi
“peleset”: gagal mencapai tujuan, tidak mengenai sasaran, atau terpelanting jatuh
(dalam Ariel Heryanto, 1996: 110). Kedua pengertian tersebut mempunyai makna
yang bertentangan, namun yang paling mendekati plesetan dalam pembahasan ini
adalah istilah berdasarkan kamus Horne.
Plesetan adalah cabang humor yang tergolong humor ganas, karena mengajak
penikmatnya untuk berpikir. Pada intinya, plesetan mengurangi kesedihan seseorang,
asal kata dari Keep Less Sad yang berarti: jaga jangan sampai sedih, (Wahyu Liz,
2012:49). Dunia plesetan awalnya terangkat dari kota Yogyakarta, tepatnya pada
tahun 80-an ketika muncul ketoprak plesetan, yakni ketoprak yang gaya panggungnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
di luar pakem. Ketoprak plesetan mengusung cerita-cerita ketoprak pada umumnya,
namum disampaikan dalam bahasa humor khas Yogyakarta. Plesetan sudah menjadi
bahasa keseharian di Yogyakarta karena bahasa ini santai dan banyak digunakan oleh
anak remaja, (Wahyu Liz, 2012:50).
Adanya fenomena plesetan ini memunculkan sebuah ide untuk menggarapnya
ke bidang yang lebih luas lagi. Di Yogyakarta muncul kaos plesetan Dagadu dengan
gaya dan konsep tentang Yogyakarta. Selanjutnya di Bali muncul Kaos Jogger
(pabrik kata-kata), sedangkan di Bandung ada C 59 dengan ciri khasnya tersendiri,
dan di Indonesia sendiri kini muncul Kaos Tomat Adaideaje. Semuanya bermain
dengan kata-kata verbal kata-kata yang unik dan menggelitik.
Bahasa plesetan merupakan sebuah gejala sosio-budaya dan politik yang
memahami berbahasa sebagai sebuah subjek, bahkan sumber pengetahuan, dan bukan
sekedar sebuah objek pelajaran yang beku bagi para pemakainya. Contoh gejala
berbahasa khususnya di Yogyakarta, menunjukkan bertahannya ketidak-terdugaan
dari kejawan dalam masyarakat modern. Sebagaimana dikemukakan Budi Sutanto
(1992: 41-42) bahwa:
Bahasa plesetan di Yogyakarta dipelopori mahasiswa arsitektur UGM pada
tahun 1991. Mereka meniru nama-nama berbau asing dari beberapa toko barang
konsumeris modern di jalan Malioboro, seperti Matahari Departement Stores, New
City Fashion, Kentucky Fried Chiken, dan toko jeans Madonna diplesetkan menjadi;
matasapi, Yu Sity, Kethaki fried chiken dan Mae Donna.
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa bahasa plesetan
sebenarnya muncul dari golongan akademisi modern. Bahasa plesetan pada
kemunculannya berhubungan erat dengan prokem dan slang. Hubungan ini terletak
pada bentuknya, tetapi fungsi, makna, dan tujuannya berbeda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
b. Aturan Plesetan
Menurut Wahyu Liz Adaideaje (2012:49), tidak ada peraturan khusus dalam
plesetan, karena yang ditekankan adalah hasil akhir berupa kegembiraan. Pada iklan-
iklan di berbagai media, banyak yang menggunakan plesetan kata sebagai penarik
minat massa. Plesetan adalah unikversal, artinya unik dan diterima semua lapisan
masyarakat. Plesetan yang bagus adalah plesetan yang bukan sekedar humor belaka,
tetapi juga memiliki makna yang dalam. Misalnya, pepatah yang menyatakan bahwa
kita harus memilih sesuatu hal yang baik, namun jangan mencampakkan begitu saja
yang telah berjasa pada kita, ibarat Gadis Manis Simbah Dibuang. Ini adalah plesetan
dari Habis Manis Sepah Dibuang. Jadi pepatah plesetan tersebut memiliki makna
yang dalam.
c. Kategori plesetan
Kategori plesetan dideskripsikan Wahyu Liz Adaideaje menjadi 5 yaitu: (1)
Plesetan dengan persamaan bunyi. “Aku belajar desain grafis secara autodijak,
artinya dijak konco, diajak temen belajar bareng”. Kata autodijak ini diplesetkan dari
autodidak, letak plesetannya pada persamaan bunyi. Inilah plesetan verbal yang
terucap dan bagi kalangan komedian ini banyak digunakan di atas panggung, (2)
Plesetan dalam bahasa tulis. Ada faktor ambigu dalam sebuah kalimat yang
dimanfaatkan oleh para penulis humor untuk dijadikan bahan plesetan. Contoh “saat
lebaran tiba adalah saat yang paling romantis dan bahagia, karena semua orang
mengungkapkannya dengan : padamu Dik”. Makna kata Padamu Dik ini sebenarnya
adalah PADA MUDIK: bersama-sama mudik. Namun mengandung makna mudik
untuk bertemu kekasihnya di kampong, (3) Plesetan dalam Ucapan Verbal dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Bahasa Tulis. Menggunakan kategori seperti nama buah, nama bunga, nama pohon,
untuk dirangkai dalam satu kalimat, (4) Plesetan dengan membolak-balikkan kata, (5)
Plesetan dengan menguraikan kata, (Wahyu Liz, 2012:49).
d. Teori Pembentuk Plesetan
Pada dasarnya bahasa plesetan bertujuan menimbulkan senyum, bahkan tawa
orang yang menikmatinya. Berangkat dari pernyataan ini, humor merupakan aspek
terpenting dari diciptakannya plesetan. Wilson (dalam Wuri Soedjatmiko, 1992: 70)
mengemukakan bahwa ada tiga teori humor, yakni: teori pembebasan, teori konflik,
dan teori ketidakselarasan. (1) Teori Pembebasan merupakan penjelasan dari sudut
dampak emosional, berkaitan langsung dengan kondisi psikologi si pembuat dan si
penerima; (2) Teori Konflik memberikan tekanan pada implikasi perilaku humor,
yaitu konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan;dan (3) Teori
Ketidakselarasan merujuk pada penjelasan kognitif, yaitu dua makna atau interpretasi
yang tidak sama, yang digabungkan dalam satu makna gabungan yang kompleks.
Teori humor menurut aliran semantik merupakan wujud pemanfaatan keambiguan di
tingkat kata (keambiguan leksikal), keambiguan di tingkat kalimat, dan di tingkat
wacana.
Victor Raskin (dalam Wuri Soedjatmiko, 1992: 76) yang meneliti humor dari
segi linguistik, juga memiliki konsep seperti Wilson dengan istilah yang sedikit
berbeda, yaitu “persepsi-kognitif ”, Perilaku sosial, dan “psikoanalitis”. Teori
“persepsi-kognitif” sama dengan teori ketidakselarasan, teori perilaku sosial sama
dengan teori konflik, dan teori psikoanalitik sama dengan teori pembebasan. Ada
pembagian-pembagian lain seperti yang dikemukakan oleh Freud (dalam Wuri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Soedjatmiko, 1992:76), yang merupakan sintetis dari ketiga teori Wilson.Freud
mengatakan bahwa humor (a) merupakan penyimpangan dari pikiran wajar, dan (b)
diekspresikan secara ekonomis dalam kata-kata dan waktu.
Teori yang menurut peneliti layak dipakai dalam analisis ini adalah teori
pragmatik humor. Teori humor memanfaatkan penyimpangan tindak tutur (Speech
act) dalam komunikasi yang wajar atau serius. Senada dengan pernyataan itu I Dewa
Putu Wijana (2003:19) merinci pendekatan pragmatik humor pada hakikatnya adalah
penyimpangan dua jenis implikatur, yakni implikatur konvensional (conventional
implicature) dan implikatur pertuturan (cooperative implicature). Implikatur
konvensional berisi bentuk linguistik yang menentukan makna. Implikatur pertuturan
berisi wacana yang menentukan makna.
Grice (dalam Wuri Soedjatmiko, 1992:76), merumuskan prinsip tindak ujar
sebagai ungkapan: “Buatlah sumbangan komunikasi Anda seperlunya, sesuai dengan
tujuan dan arah pembicaraannya”. Ungkapan tersebut dirinci menjadi beberapa
maksim atau aturan penindakan ujaran, yaitu : (1) maksim kuantitas; (2) maksim
kualitas; (3) maksim relevansi; dan (4) maksim cara. Keempat maksim tersebut berisi
anjuran-anjuran agar peserta tutur mematuhi dalam peristiwa komunikasi yang wajar.
Keempat maksim ini terangkum dalam sebuah prinsip kerja sama antara penutur dan
lawan tutur.
e. Fungsi plesetan
Sebagaimana fungsi bahasa, fungsi plesetan juga sebagai alat komunikasi,
terutama oleh kaum muda tetapi tidak menutup kemungkinan anak-anak dan orang
tua menggunakannya. Dapat ditelusuri bahwa kaum remaja cenderung kreatif dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
inovatif dalam berbahasa. Plesetan merupakan jenis perkembangan fenomena bahasa
dalam wujud pidjin, slang, prokem, dan jargon di kalangan remaja.
Fungsi lain dari bahasa plesetan diungkapkan Ariel Heryanto (1996:117),
yakni fungsi bahasa plesetan sebagai fungsi estetik atau puitik dalam bahasa yang
dimungkinkan oleh hakikat bahasa itu sendiri. Bahasa plesetan mengandung fungsi
psikologi. Plesetan ini menjadi semacam “pelarian“ dari problema dunia dan hanya
memainkan gambaran tentang dunia, tanpa berupaya mengubah dunia itu supaya
lebih baik (Ariel Heryanto, 1996:118). Orang yang berbahasa plesetan bermaksud
menghindar dari aturan konvensi bahasa pada masyarakat di sekitarnya. Remaja
sebagai kaum dalam kondisi psikologi memberontak aturan, mencari eksistensi, dan
ingin menonjol juga menjadikan plesetan sebagai produk dari transformasinya.
Menurut Kunjana Rahardi, (2006:14) jika dilihat dari sisi pembinaan dan
pengembangan bahasa secara formal-struktural, bentuk-bentuk plesetan bahasa
memang tidak sepenuhnya mendukung pemahaman dan pendalaman khalayak.
Bahasa plesetan mempunyai fungsi ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Ariel
Heryanto (1996: 118) bahwa plesetan dianggap dapat serius, yakni ketika menjadi
komoditi (barang dagangan) dalam industri tontonan hiburan. Bahasa plesetan pada
Kaos Tomat termasuk juga dalam fungsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti untuk
meyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka berpikir yang terkait dalam
penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini.
Wacana Plesetan
Pada Kaos Tomat
1. Print-out Desain Kaos Tomat
2. Pencipta Plesetan Kaos Tomat
Implikatur
Menurut Grice
Tindak Tutur
Menurut Searle
Masalah :
1. Wujud Tindak Tutur Ilokusi
2. Wujud Implikatur
Hasil Analisis:
1. Deskripsi Tindak Tutur Ilokusi
2. Deskripsi Implikatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Penjelasan tentang bagan.
Sumber data penelitian ini adalah Print-out desain Kaos Tomat dan pencipta
plesetan Kaos Tomat, yakni Wahyu Liz Adaideaje. Data dalam penelitian ini adalah
kata, frasa, klausa, kalimat, dan indeksial gambar. Dari data tersebut muncul
permasalahan berupa tuturan yang mengandung tindak tutur ilokusi dan implikatur.
Permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan teori pragmatik, yaitu teori tindak tutur Searle dan teori Implikatur
Grice.
Teori Searle digunakan untuk mengidentifikasi jenis tindak tutur ilokusi yang
terdapat dalam plesetan Kaos Tomat. Hal ini merupakan langkah awal sebelum
menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Tahap selanjutmya
adalah menjawab permasalahan implikatur dengan menggunakan teori Grice.
Permasalahan tersebut sangat tepat apabila dianalisis dengan menggunakan teori
Searle dan Grice dikarenakan teori Searle dan Grice membahas tindak tutur dan
implikatur yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.
Hasil analisis data penelitian ini berwujud deskripsi tindak tutur ilokusi dan
implikatur yang mengandung plesetan Kaos Tomat.