bab ii kajian pustaka dan hipotesis … 2.pdffarma yang melakukan aksi manipulasi dengan...

24
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Keagenan ( Agency Theory ) Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan terjadi ketika adanya sebuah kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa, kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut.Menurut Jensen dan Meckling (1976) Agency Theory adalah sebuah hubungan kerja sama yang dituangkan di dalam kontrak antara manajer (agent) dan pemilik (principal). Jensen and Meckling (1976) juga menyatakan bahwa, teori ini mengutamakan adanya perbedaan atau terpisahanya fungsi antara kepemilikan (prinsipal) dengan fungsi manajemen (agen). Adanya perbedaan atau terpisahnya fungsi ini menyebabkan timbulnya suatu permasalahan atau konflik yang disebut sebagai masalah keagenan (agency problem). Timbulnya konflik ini dikarenakan pihak manajemen memiliki kesempatan untuk mencapai keinginan pribadi mereka dan tentu saja mengabaikan kepentingan dan keinginan dari para pihak pemegang saham sebagai pemilik perusahaan. Konsep dari teori keagenan ini adalah agen mempunyai jauh lebih banyak informasi mengenai kondisi perusahaan yang sesungguhnya dibandingkan dengan

Upload: lequynh

Post on 22-Apr-2018

220 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep

2.1.1 Teori Keagenan ( Agency Theory )

Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan terjadi ketika

adanya sebuah kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan

orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa, kemudian mendelegasikan wewenang

pengambilan keputusan kepada agen tersebut.Menurut Jensen dan Meckling (1976)

Agency Theory adalah sebuah hubungan kerja sama yang dituangkan di dalam

kontrak antara manajer (agent) dan pemilik (principal). Jensen and Meckling (1976)

juga menyatakan bahwa, teori ini mengutamakan adanya perbedaan atau terpisahanya

fungsi antara kepemilikan (prinsipal) dengan fungsi manajemen (agen). Adanya

perbedaan atau terpisahnya fungsi ini menyebabkan timbulnya suatu permasalahan

atau konflik yang disebut sebagai masalah keagenan (agency problem). Timbulnya

konflik ini dikarenakan pihak manajemen memiliki kesempatan untuk mencapai

keinginan pribadi mereka dan tentu saja mengabaikan kepentingan dan keinginan dari

para pihak pemegang saham sebagai pemilik perusahaan.

Konsep dari teori keagenan ini adalah agen mempunyai jauh lebih banyak

informasi mengenai kondisi perusahaan yang sesungguhnya dibandingkan dengan

2

informasi yang dimiliki oleh prinsipal. Hal ini tentu saja menimbulkan adanya

asimetri informasi (information assymmetry) dan otomatis pihak prinsipal pun

mewaspadai segala perilaku yang dilakukan oleh agen serta memiliki

ketidakpercayaan apakah kepentingan mereka telah diutamakan oleh para agen.

Konsep lainnya ialah kontrak atau hubungan keagenan ini dimanfaatkan oleh

prinsipal dan agen yang berperilaku rasional dengan tujuan mengoptimalkan

kepentingannya masing-masing, sehingga dapat dinyatakan bahwa agen memiliki

tujuan pribadinya yang mendorong ia untuk tidak mengutamakan tujuan dan

kepentingan dari prinsipal sebagai pemilik perusahaan (Adams, 1994). Tujuan

mementingkan diri sendiri ini dikarenakan adanya moral hazard dari agen dan

masalahnya sering dikenal sebagai moral hazard problem. Selain itu, yang juga

menjadi sebuah permasalahan ialah munculnya adverse selection yang artinya

pemilik perusahaan (prinsipal) tidak dapat dengan pasti mengetahui bahwa

manajemen (agen) yang dipilih memang mempunyai kemampuan sesuai dengan

bidangnya dan apakah ia bersedia untuk mengutamakan kepentingan prinsipal

dibandingkan kepentingan dirinya sendiri (Gilardi, 2001).

Kita sering mendengar istilah agency cost, agency cost merupakan biaya-biaya

yang ditanggung oleh pemilik perusahaan (prinsipal) untuk mencegah terjadinya

agency problem. Biaya untuk melakukan monitoring adalah salah satu bentuk biaya

yang dikeluarkan oleh pemilik perusahaan (prinsipal). Contohnya adalah uang yang

digunakan untuk membiayai pengauditan laporan keuangan oleh auditor eksternal

3

(Adams, 1994). Biaya monitoring untuk melakukan audit laporan keuangan

merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya agency problem. Setiawan

(dalam Rahayu, 2012), dalam teori agensi, auditor adalah pihak yang dianggap

mampu menengahi kepentingan pihak prinsipal dan agen dalam mengelola keuangan

perusahaan. Auditor independen juga berfungsi untuk mengurangi tejadinya agency

problem yang timbul dari perilaku mementingkan diri sendiri yang dilakukan oleh

agen. Perbedaan kepentingan tersebut rentan menyebabkan konflik, terjadinya konflik

cenderung menyebabkan manajemen diganti dan pergantian manajemen diikuti

dengan pergantian auditor.

2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)

Teori sinyal memanfaatkan bahwa terdapat kandungan informasi pada

pengumuman suatu informasi yang dapat menjadi sinyal bagi investor dan pihak

potensial lainnya dalam mengambil keputusan ekonomi. Suatu pengumuman

dikatakan mengandung informasi apabila dapat memicu reaksi pasar, yaitu dapat

berupa perubahan harga saham atau abnormal return. Apabila pengumuman tersebut

memberikan dampat positif berupa kenaikan harga saham, maka pengumuman

tersebut merupakan sinyal positif. Namun jika pengumuman tersebut memberikan

dampak negatif, maka pengumuman tersebut merupakan sinyal negatif. Berdasarkan

teori ini maka pengumuman laporan keuangan atau laporan audit merupakan

informasi yang penting dan dapat mempengaruhi dalam proses pengambilan

keputusan (Scott, 2010).

4

Manfaat utama teori ini adalah akurasi dan ketepatan waktu penyajian laporan

keuangan ke publik adalah sinyal dari perusahaan akan adanya informasi yang

bermanfaat dalam kebutuhan untuk pengambilan keputusan dari inverstor. Semakin

panjang audit delay menyebabkan ketidakpastian pergerakan harga saham (Wiwik,

2006). Investor dapat mengartikan lamanya audit delay disebabkan perusahaan

memiliki bad news yang dianggap sebagai sinyal negatif karena tidak segera

mempublikasikan laporan keuangannya, yang akan berakibat pada penurunan harga

saham perusahaan.

2.1.3 Peraturan Pemerintah Mengenai Rotasi Wajib Auditor

Akibat dari adanya kasus Enron di Amerika Serikat pada tahun 2001 yang

mengakibatkan runtuhnya KAP Arthur Anderson, berbagai negara kini menetapkan

aturan mengenai rotasi wajib auditor. Indonesia juga pernah mengalami hal serupa,

skandal yang melibatkan auditor pernah terjadi pada perusahaan PT. Kimia Farma

Tbk yang melakukan manajemen laba pada laporan keuangan tanggal 31 Desember

2001. Pada saat itu yang menjadi auditor adalah KAP Hans Tuanakotta & Mustofa

(HTM). Akibat skandal ini, KAP Hans Tuanakotta & Mustofa menghadapi sanksi

yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka dan dikenakan sanksi

denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Hal ini terjadi bukan karena

kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas

semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia

Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan.

5

Sejak saat itu, Indonesia menetapkan aturan mengenai Pergantian KAP dan

Auditor melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 359/ KMK.06/ 2003 tentang “Jasa

Akuntan Publik” yang berbunyi, pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan

dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) paling lama 5

(lima) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama 3

(tiga) tahun buku berturut-turut.

Peraturan yang mengatur tentang pembatasan masa penugasan auditor ini

kemudian disempurnakan padatanggal 5 Februari 2008 melalui Peraturan Menteri

Keuangan Republik Indonesia No. 17/PMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik”.

Terdapat perubahan mengenai pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan

sebuah entitas. Pada pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa pemberian jasa audit kepada

satu klien yang sama dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang sama

maksimal selama 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan

Publik yang sama selama 3 (tiga) tahun buku bertutut-turut. Sedangkan pada Pasal 3

ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa, Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik

(KAP) dapat menerima kembali penugasan audit umum untuk klien setelah 1 (satu)

tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan klien yang

sama.

Aturan tersebut mengharuskan perusahaan untuk melaksanakan rotasi audit

dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Penjelasan diatas yaitu mengenai auditor

switching yang bersifat wajib (mandatory), sedangkan dalam penelitian ini

6

difokuskan kepada terjadinya auditor switching yang lebih bersifat sukarela

(voluntary) terlepas dari peraturan tersebut.

2.1.4 Pengertian Auditing

Menurut Sukrisno (2004: 3) auditing adalah suatu pemeriksaan yang

dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan

keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan

dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat

mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.

Menurut Mulyadi (2002: 9) secara umum auditing adalah suatu proses

sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai

pernyataan-pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan

tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah

ditentukan, serta menyampaikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan.

2.1.5 Manfaat Audit

Menurut Abdul (2008) manfaat audit dapat dipandang dari dua sisi, yaitu:

1) Manfaat audit dari sisi ekonomis

a) Meningkatkan kredibilitas perusahaan

Laporan keuangan yang diaudit oleh auditor independen akan lebih

dipercaya oleh para pemakai laporan keuangan dari pada laporan

keuangan yang tidak diaudit. Kredibilitas perusahaan di mata pemakai

laporan keuangan akan meningkat. Dengan demikian, para pemakai,

7

terutama investor dan kreditor, akan memandang bahwa risiko investasi

atas perusahaan tersebut relatif rendah daripada perusahaan yang

laporan keuangannya tidak diaudit.

b) Meningkatkan efisiensi dan kejujuran

Audit laporan keuangan yang dilakukan secara berfrekuensi teratur akan

membawa dampak positif bagi efisiensi dan kejujuran karyawan. Bila

karyawan mengetahui bahwa audit independen akan dilakukan, maka ia

akan berusaha menekan sekecil mungkin kesalahan dalam proses

akuntansi dan mengurangi kesalahan penilaian aktiva.

c) Meningkatkan efisiensi operasional perusahaan

Auditor independen, berdasarkan pengujiannya dapat memberikan

rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki pengendalian internal

dan untuk meningkatkan efisiensi operasional perusahaan klien.

d) Mendorong efisiensi pasar modal

Pada tingkat makro, audit memberi dampak positif yang sangat penting.

Audit yang dilakukan secara efektif akan menghasilkan laporan

keuangan auditan yang berkualitas, relevan dan handal atau reliable.

Dengan demikian, pasar modal yang menggunakan informasi yang

dihasilkan laporan keuangan sebagai sumber informasi utamanya, akan

dapat berjalan secara efisien. Pasar modal yang efisien akan

8

menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien pula sehingga

perekonomian nasional akan berjalan secara efisien.

2) Manfaat audit dari sisi pengawasan

a) Preventive Controll

Tenaga akuntansi akan bekerja lebih berhati-hati dan akurat bila mereka

menyadari akan audit.

b) Detective Controll

Suatu penyimpangan atau kesalahan yang terjadi lazimnya akan dapat

diketahui dan dikoreksi melalui suatu proses audit.

c) Reporting Controll

Setiap kesalahan perhitungan, penyajian, atau pengungkapan yang tidak

dikoreksi dalam keuangan akan disebutkan dalam laporan pemeriksaan.

Dengan demikian pembaca laporan keuangan terhindar dari informasi

yang keliru atau menyesatkan.

2.1.6 Tahapan Audit Laporan Keuangan

Menurut Al. Haryono (2001 : 169) proses audit dalam laporan keuangan baik

audit pada perusahaan besar maupun kecil selalu terdapat empat tahapan kegiatan

yaitu:

1) Penerimaan Penugasan

Tahap awal dalam suatu audit laporan keuangan adalah mengambil

keputusan untuk menerima atau menolak suatu kesempatan menjadi

auditor bagi klien lama atau klien yang sudah pernah diaudit. Pada tahap

9

ini hanya standar umum dari standar auditing yang perlu diterapkan. Pada

umumnya keputusan untuk menerima atau menolak ini sudah dilakukan

sejak enam hingga sembilan bulan sebelum akhir tahun buku yang akan

diperiksa.

2) Perencanaan Audit

Tahap kedua dari suatu audit menyangkut penerapan strategi audit untuk

pelaksanaan dan penentuan lingkup audit. Penerapan merupakan tahap

yang paling sulit dan sangat menentukan keberhasilan penugasan audit.

Dalam tahap ini perlu diterapkan standar umum dan standar pekerjaan dari

standar auditing. Perencanaan audit biasanya dilakukan antar tiga hingga

enam bulan sebelum akhir tahun buku klien.

3) Pelaksanaan Pengujian Audit

Tahap ketiga dalam laporan keuangan adalah melaksanakan pengujian

audit (audit test). Tahap ini sering disebut juga sebagai pelaksanaan

pekerjaan lapangan. Tujuan utama tahap ini adalah mendapatkan bukti

mengenai efektivitas struktur pengendalian intern klien dan kewajaran

laporan keuangannya. Pada tahap ini harus diterapkan standar umum dan

standar lapangan dari standar audit

4) Pelaporan Temuan

Tahap terakhir dari suatu audit adalah pelaporan temuan. Laporan audit

dapat berupa laporan standar yaitu laporan audit dengan pendapat wajar

10

tanpa pengecualian, atau bisa juga menyimpang dari laporan standar. Pada

tahap ini harus dilaksanakan standar umum dan standar pelaporan dari

standar auditing. Laporan audit biasanya antar satu hingga tiga minggu

setelah berakhirnya pekerjaan lapangan.

2.1.7 Laporan Keuangan

Laporan keuangan menjadi salah satu alat yang digunakan oleh penggunanya

untuk mengambil suatu keputusan, dalam laporan keuangan berisi informasi-

informasi penting mengenai kinerja dari perusahaan tersebut. Menurut Standar

Akuntansi Keuangan (2012:1) laporan keuangan merupakan bagian dari proses

pelaporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laba rugi, laporan

perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya

sebagai laporan arus kas, dan laporan arus dana). Menurut Setiawan (2013), laporan

keuangan perusahaan merupakan salah satu sumber informasi yang penting

disamping informasi lain seperti informasi industri, kondisi perekonomian, pangsa

perusahaan, kualitas manajemen dan lainnya. Berbeda dengan setiawan, menurut

Zaki Baridwan (2013: 17), laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses

pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi

selama tahun buku yang bersangkutan.

Laporan keuangan ini dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk

mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para

pemilik perusahaan. Laporan keuangan juga dapat digunakan untuk memenuhi tujuan

11

lain yaitu sebagai laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan di luar

perusahaan.Berdasarkan hal tersebut, informasi yang terkandung dalam laporan

keuangan tersebut haruslah lengkap dan jelas serta dapat menggambarkan secara

tepat kejadian-kejadian ekonomi dalam perusahaan yang berpengaruh terhadap

hasil operasi usaha tersebut.

Konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan adalah pengungkapan yang

cukup (adequate), wajar (fair), dan lengkap (full) (Lestari, 2010: 16). Dalam Standar

Akuntansi Keuangan (2012: 5) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia

disebutkanterdapat empat karakteristik kualitatif pokok dalam laporan keuangan

yaitu:

1) Dapat Dipahami

Kualitas penting informasi dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk

dapat dipahami oleh pengguna. Dalam hal ini, pengguna diasumsikan memiliki

pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi,

serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar.

2) Relevan

Informasi yang relevan yaitu informasi dapat memenuhi kebutuhan pengguna

dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan

apabila dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna, dengan membantu

mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini dan masa depan, menegaskan atau

memperbaiki harapan yang dibuat sebelumnya, tersedia tepat waktu bagi

12

pengambil keputusan sebelum kehilangan kesempatan atau untuk mempengaruhi

keputusan yang diambil.

3) Keandalan

Informasi harus bersifat andal (reliable). Informasi memiliki kualitas andal jika

bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat

diandalkan penggunaannya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful

representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar

diharapkan dapat disajikan.

4) Dapat dibandingkan

Pengguna harus dapat memperbandingkan laporan keuangan perusahaan antar

periode untuk mengidentifikasikan kecenderungan (trend) posisi dan kinerja

keuangan. Pengguna juga harus dapat memperbandingkan laporan keuangan

antar perusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja, serta perubahan

posisi keuangan secara relatif. Ketaatan pada standar akuntansi keuangan,

termasuk pengungkapan kebijakan akuntansi yang digunakan oleh perusahaan

dapat membantu dalam mencapai karakteristik ini.

2.1.8 Audit Delay

Audit delay didefinisikan sebagai lamanya waktu penyelesaian audit yang

diukur dari tanggal penutupan tahun buku, hingga tanggal diselesaikannya laporan

auditor independen (Wiwik Utami, 2006). Lamanya waktu audit ini dihitung dari

selisih tanggal laporan keuangan tahunan perusahaan sampai dengan tanggal laporan

13

auditor independen yang dikeluarkan oleh Kantor Akuntan Publik (Prasongkoputra,

2013). Hal ini sesuai dengan definisi Yuliyanti (2011: 13), dimana audit delay adalah

waktu antara tanggal laporan keuangan dan laporan audit. Informasi yang mempunyai

nilai tinggi dapat menjadi informasi yang tidak relevan apabila tidak tersedia pada

saat dibutuhkan atau tepat pada waktunya. Ketepatan waktu dalam menyampaikan

laporan keuangan dan keakuratannya sangat mempengaruhi nilai manfaat bagi

penggunanya, sehingga laporan keuangan harus disajikan tepat pada waktunya.

Menurut Ashtonet.al. (1987) yang didukung oleh Lawence dan Bryan (1998)

menyatakan bahwa proses audit sangat memerlukan waktu yang berakibat adanya

audit delay yang nantinya akan sangat berpengaruh pada ketepatan waktu pelaporan

keuangan. Semakin panjang audit delay maka akan berdampak negatif, karena

informasi yang terkandung dalam laporan keuangan tersebut akan mengurangi nilai

manfaatnya karena tidak lagi relevan bagi para pengguna informasi keuangan tersebut

dalam hal di sini adalah investor. Givoly dan Palmon (1992) menyatakan lamanya

waktu penyelesaian audit akan dapat mempengaruhi ketepatan waktu publikasi

informasi keuangan auditan, sehingga berdampak pada reaksi pasar terhadap

keterlambatan informasi tersebut dan mempengaruhi tingkat ketidakpastian

keputusan yang didasarkan pada informasi yang dipublikasikan. Bamber dan

Schoderbek (1993) menyatakan bahwa penundaan pelaporan keuangan dikaitkan

dengan kesulitan finansial, adanya kontrak dalam proses dan usaha manajemen untuk

menghindari penyelidikan dan ketidak percayaan investor.

14

Jadi dapat disimpulkan, bahwa ketepatwaktuan dalam penyampaian informasi

merupakan kualitas yang berkaitan dengan ketersediaan informasi pada saat

dibutuhkan. Lamanya waktu antara tanggal laporan keuangan dan laporan audit

(audit delay) mencerminkan ketepatwaktuan penyampaian laporan keuangan.

Ketepatwaktuan penyampaian informasi mengandung arti bahwa informasi tersedia

sebelum kehilangan kemampuannya untuk mempengaruhi atau membuat perbedaaan

dalam keputusan.

2.1.9 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan merupakan pengukur yang menunjukkan besar atau

kecilnya suatu perusahaan yang dapat dilihat dari jumlah aset yang dimiliki oleh

perusahaan. Setiawan (2013), mengartikan ukuran perusahaan sebagai suatu skala

dimana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan dengan berbagai cara antara lain

dinyatakan dalam total aktiva, nilai pasar saham, dan lain-lain. Chambers dan

Pennman (1984), melakukan penelitian di Amerika menemukan bukti empiris bahwa

ada hubungan terbalik antara ukuran perusahaan dengan audit delay.

Machfoedz (dalam Indriani, 2014), menyebutkan pada dasarnya Ukuran

Perusahaan terbagi pada tiga kategori, yaitu perusahaan besar (large firm),

perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm). Penentuan

perusahaan ini didasarkan pada total aset perusahaan, kategori ukuran perusahaan

yaitu:

15

1) Perusahaan Besar

Perusahaan besar adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih lebih besar

dari Rp 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki penjualan lebih dari

Rp50Milyar/tahun.

2) Perusahaan Menengah

Perusahaan menengah adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih Rp 1-

10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki hasil penjualan lebih besar

dari Rp 1 Milyar dan kurang dari Rp 50 Milyar.

3) Perusahaan Kecil

Perusahaan kecil adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih paling

banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan memiliki hasil

penjualan minimal Rp 1Milyar/tahun.

2.1.10 Profitabilitas

Profitabilitas mencerminkan suatu keberhasilan perusahaan dalam

memperoleh keuntungan dari kegiatan operasionalnya. Menurut Hanafi dan Halim

(2000), profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan

(profitabilitas) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Profitabilitas

merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola

kekayaan perusahaan yang ditunjukan oleh laba yang dihasilkan. Secara garis besar

laba yang dihasilkan perusahaan berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan

oleh perusahaan.Perusahaan tidak akan menunda penyampaian informasi yang berisi

berita baik. Oleh karena itu, perusahaan yang mampu menghasilkan profit akan

16

cenderung mengalami audit delay yang lebih pendek, sehingga hal tersebut dapat

segera disampaikan kepada para investor dan pihak-pihak yang berkepentingan

(Indriani, 2014).

Penelitian ini mengukur profitabilitas dengan menggunakan ROA karena

dapat menilai apakah perusahaan telah efisien dalam menggunakan aktivanya pada

kegiatan operasionalnya menghasilkan keuntungan. ROA (Return on Assets) adalah

perbandingan antara jumlah laba yang dihasilkan terhadap asset yang digunakan,

sehingga menunjukan sejumlah perusahaan mampu dalam menghasilkan laba dari

sumber daya (asset) yang dimiliki. Dengan demikian kemungkinan Profitabilitas

yang diukur dengan Return on Asset dapat mempengaruhi audit delay (Setiawan,

2013). Sedangkan Courtis (1976), tidak menemukan hubungan yang signifikan antara

keterlambatan pelaporan dan ukuran perusahaan, umur, jumlah pemegang saham, dan

panjang laporan tahunan di Selandia Baru. Tetapi, ditemukannya hubungan terbalik

antara laba mutlak dan keterlambatan pelaporan pada penelitian tersebut.

2.1.11 Leverage

Rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah rasio yang digunakan untuk

mengukur seberapa besar aset perusahaan dibiayai oleh utang. Menurut Kasmir

(2009), rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk

membayar seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila

perusahaan dilikuidasi.

17

Menurut Brigham dan Houston (2009), rasio leverage memiliki tiga

implikasi penting yaitu:

a) Dengan memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham dapat

mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut sekaligus membatasi

investasi yang mereka berikan.

b) Kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai

suatu batasan keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal

yang diberikan oleh pemegang saham, maka semakin kecil risiko yang harus

dihadapi kreditor.

c) Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana hasil

pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka pengembalian dari

modal pemilik akan diperbesar, atau “diungkir” (leveraged).

2.1.12 Pergantian Auditor

Pergantian auditor (auditor switching) adalah pergantian Akuntan Publik

atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang dilakukan oleh perusahaan klien. Menurut

Halim (1997), terdapat beberapa faktor penyebab dari adanya pergantian auditor

yakni adanya merjer antara dua perusahaan yang memiliki kantor akuntan publik

yang berbeda, ketidakpuasan atas kinerja kantor akuntan publik yang terdahulu, dan

mungkin saja karena adanya merjer antar kantor akuntan publik.

Secara garis besar terdapat dua faktor yang melatarbelakangi perusahaan dalam

melakukan pergantian auditor yakni faktor dari internal perusahaan atau faktor klien

18

(client related factor) yang terdiri dari kesulitan keuangan, manajemen yang gagal,

perubahan ownership, Initial Public Offering (IPO) dan faktor selanjutnya adalah

faktor yang berasal dari eksternal perusahaan atau faktor auditor (auditor related

factor) yang terdiri dari fee audit dan kualitas audit (Mardiyah, 2002). Hal ini

dipertegas oleh Rahayu (2012), yang mengungkapkan dua pendekatan untuk

mengetahui apa yang menyebabkan perusahaan memutuskan untuk melakukan

pergantian Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yaitu dari segi auditor

dan segi perusahaan itu sendiri.

Jika perusahaan mengganti auditornya bukan dalam kondisi yang

mengharuskan ia untuk mengganti auditor, maka dapat diprediksi bahwa terdapat dua

kemungkinan yang terjadi. Pertama, pihak auditor mengundurkan diri dari

pekerjaannya atau yang kedua adalah pihak perusahaan memutus ikatan kontrak

kepada auditor tersebut. Salah satunya mungkin akan terjadi diantara dua

kemungkinan tersebut, namun fokus utama bukanlah pada hal itu melainkan apa saja

alasan yang melatar belakangi perusahaan mengganti auditornya secara sukarela

(voluntary) dan siapa yang akan menjadi auditor selanjutnya dari perusahaan tersebut.

Menurut Wijayani (2011), alasan yang paling umum dari terjadinya pergantian

auditor adalah tidak sepakatnya perusahaan sebagai klien pada praktik akuntansi

tertentu yang dilakukan oleh auditor sehinggamenyebabkan perusahaan mengganti

auditor terdahulu dengan auditor baru yang mampu sepakat dengan kebijakan dan

praktik akuntansi perusahaan.

19

Nagy (2005) menyatakan bahwa, saat perusahaan mengganti auditornya ke

auditor yang baru, tentu saja akan timbul ketimpangan informasi atau suatu keadaan

yang sering dikenal sebagai asimetri informasi antara perusahaan dengan auditor

yang baru. Hal ini disebabkan karena perusahaan memiliki informasi yang jauh lebih

banyak dan lebih mencerminkan keadaan perusahaan sesungguhnya dibandingkan

informasi yang dimiliki oleh auditor baru. Jika auditor menerima permintaan

pelaksanaan penugasan audit oleh perusahaan, maka dapat diprediksi ada dua alasan

yang mendasarinya. Pertama, auditor menerima permintaan tersebut karena memiliki

akses yang cukup baik kepada auditor terdahulu sehingga dapat lebih mudah untuk

meminta informasi mengenai keseluruhan usaha perusahaan. Alasan kedua, bisa saja

auditor menerima permintaan pelaksanaan penugasan audit oleh perusahaan karena

hal selain alasan pertama, contohnya adalah alasan finansial, padahal auditor baru ini

belum tentu memahami dengan baik apa usaha dari perusahaan tersebut.

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Audit Delay

Penelitian yang dilakukan oleh (Carslaw dan Kaplan, 1991 dalam

Prasongkoputra, 2013:30) meyatakan bahwa internal kontrol pada perusahaan besar

lebih kuat dan terencana, sehingga membuat kemungkinan kesalahan pada laporan

keuangan lebih sedikit dan memungkinkan auditor dapat mengandalkan

informasi yang terdapat pada laporan keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh

Halim (2000) yang mengungkapkan bahwa, semakin besar ukuran perusahaan yang

20

diaudit maka audit delay akan semakin lama, ini berkaitan dengan semakin

banyaknya sampel yang harus diambil dan semakin luas prosedut audit yang harus

ditempuh. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliyanti (2011); Ettredge (2009);

Kartika (2009); Rachmawati (2008) yaitu ukuran perusahaan berpengaruh positif

terhadap audit delay. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pertama yang

terbentuk yaitu:

H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif pada audit delay.

2.2.2 Pengaruh Profitabilitas pada Audit Delay

Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi membutuhkan

waktu audit lebih cepat karena adanya pertanggungjawaban untuk

menyampaikan kabar baik kepada publik (Estrini, 2013). Profitabilitas pada

penelitian ini menggunakan ROA, perusahaan dengan ROA yang tinggi berarti

perusahaan telah menggunakan aset-asetnya secara efisien sehingga dapat

menghasilkan laba yang tinggi bagi perusahaan maupun pemegang saham. Jadi,

perusahaan memiliki insentif yang besar untuk menerbitkan laporan keuangan

lebih cepat untuk memberikan sinyal positif kepada para pengguna laporan

keuangan khususnya investor (Scott, 2010 dalam Prasongkoputra, 2013:62).

Hal ini dapat dijelaskan dalam penelitian Purnamasari (2012), menyatakan

tingkat profitabilitas perusahaan yang lebih tinggi membutuhkan waktu dalam

pengauditan laporan keuangan lebih cepat dikarenakan keharusan untuk

menyampaikan kabar baik secepatnya kepada publik. Hasil penelitian Prasongkaputra

21

(2013); Rachmawati (2008); Yulianty (2011); Aryati (2005) menejelaskan bahwa

profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap audit delay. Berdasarkan uraian

di atas, maka hipotesis kedua yang terbentuk yaitu:

H2: Profitabilitas tidak berpengaruh pada audit delay.

2.2.3 Pengaruh Leverage pada Audit Delay

Menurut Kartika (2011), solvabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan

untuk membayar seluruh kewajiban perusahaan. Perusahaan dikatakan mampu

apabila perusahaan mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua

hutangnya. Sebaliknya, apabila proporsi hutang lebih besar dari aktiva yang dimiliki

perusahaan akan mengakibatkan kerugian dan dapat meningkatkan kehati-hatian dari

auditor terhadap laporan keuangan yang akan diaudit. Kehati-hatian auditor dalam

menyelesaikan audit laporan keuangan akan mengakibatkan keterlambatan dalam

menyampaikan laporan keuangan kepada publik.

Lianto dan Kusuma (2010) mengungkapkan proporsi hutang yang besar

terhadap total aktiva akan meningkatkan kecenderungan kerugian dan dapat

meningkatkan kehati-hatian auditor terhadap laporan keuangan yang akan diaudit,

sehingga penyelesaian audit atas laporan keuangan dapat mengalami keterlambatan.

Hasil penelitian yang dilakukan Silvia dan Wirakusuma (2013); Yuliyanti (2011);

Lestari (2010:65) menjelaskan bahwa, variabel leverage berpengaruh positif terhadap

lamanya audit delay. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disusun hipotesis ketiga

sebagai berikut :

22

H3: Leverage berpengaruh positif pada audit delay.

2.2.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh

Pergantian Auditor

Ukuran perusahaan merupakan suatu skala yang mengkasifikasikan besar

kecilnya perusahaan yang berhubungan dengan financial perusahaan. Dimana

perusahaan yang besar dipercayai dapat menyelesaikan kesulitasn-kesulitan keuangan

yang dihadapinya daripada perushaan kecil (Mutchler, 1985). Perusahaan besar

cenderung lebih mempunyai kendali internal yang lebih ketat sehingga memudahkan

proses audit oleh auditor independen, sehingga dapat mengurangi audit delay (Habib

dan Bhuiyan, 2011). Terlebih apabila ukuran perusahaan tersebut besar, maka

perusahaan tentunya akan menginginkan pemilihan auditor yang memiliki kualitas

yang tinggi, yang dapat menyebabkan terjadinya pergantian auditor. Hasil penelitan

Setiawan (2013); Rachmawati (2008); Subekti dan Widiyanti (2004) menyatakan

ukuran perusahaan berpengaruh signifikan pada audit delay. Berdasarkan uraian di

atas, maka hipotesis keempat adalah:

H4: Pergantian auditor memperkuat pengaruh ukuran perusahaan pada audit delay.

2.2.5 Pengaruh Profitabilitas pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh

Pergantian Auditor

Profitabilitas merupakan suatu tolak ukur kinerja keuangan yang dapat

menggambarkan reputasi klien secara menyeluruh (Sartono, 2004). Profitabilitas

dapat dilihat dari persentase perubahan Return on Assets (ROA), yang dapat

23

digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai kondisi keuangan perusahaan

tersebut (Kartika, 2006; dalam Damayanti dan Sudarma, 2008). Persentase Perubahan

ROA yang semakin besar menunjukkan semakin baik pula prospek bisnisnya. Hal itu

dapat mendorong perusahaan untuk mengganti auditor karena kinerja keuangan

perusahaan yang semakin membaik, perusahaan merasa mampu untuk membayar

Kantor Akuntan Publik lain yang mungkin memiliki kualitas audit yang lebih baik

dari Kantor Akuntan Publik yang dipakainya (Trisnawati dan Wijaya, 2009). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Estrini (2013); Lestari (2010); dan Siwy (2012)

menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap audit delay. Berdasarkan

uraian di atas, maka hipotesis selanjutnya adalah:

H5: Pergantian auditor memperkuat pengaruh profitabilitas pada audit delay.

2.2.6 Pengaruh Leverage pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh Pergantian

Auditor

Rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah rasio yang digunakan untuk

mengukur seberapa besar aset perusahaan dibiayai oleh utang. Menurut Kasmir

(2009), rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk

membayar seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila

perusahaan dilikuidasi. Manajer memiliki kesempatan untuk mengalihkan

kesejahteraan debtholder dengan melakukan berbagai tindakan (Jensen dan

Meckling, 1976). Berdasarkan hal tersebut, maka semakin meningkat jumlah utang,

semakin terbuka kesempatan untuk mentransfer kesejahteraan menjauh dari

24

debtholder. Perjanjian utang yang umumnya bersumber pada informasi akuntansi

kemudian disusun untuk membatasi pengalihan kesejahteraan itu. Pengauditan yang

berkualitas selanjutnya dibutuhkan untuk meningkatkan reliabilitas informasi

akuntansi yang digunakan untuk meverifikasi kepatuhan perusahaan terhadap

perjanjian utang tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat memungkinkan timbulnya

kecenderungan perusahaan untuk berganti ke auditor yang mempunyai kualitas lebih

baik. Klien akan menginginkan KAP yang memiliki auditor berpengalaman dan

mempunyai alat-alat yang canggih atau prosesing data elektronik yang canggih

sehingga akan mengurangi terjadinya audit delay. Hasil penelitian Rachmawati

(2008); Widiyanti dan Wirakusuma (2012); Sumartini (2014); dan Juanita (2012)

menyatakan bahwa leverage tidak memiliki pengaruh terhadap audit delay.

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis selanjutnya adalah:

H6: Pergantian auditor memperlemah pengaruh leverage pada audit delay.